Jakarta, CNBC Indonesia – Tentara etnis minoritas bagian dari aliansi pemberontak yang memerangi militer yang berkuasa di Myanmar, telah mengumumkan kesediaannya untuk mengadakan pembicaraan dengan junta setelah pertempuran selama setahun di sepanjang perbatasan Myanmar-China.
Keputusan Tentara Pembebasan Nasional Ta’ang (TNLA) ini muncul saat negara tetangga China menekan pemberontak di tengah degenerasi militer yang cepat, yang telah lama dilihat Beijing sebagai penjamin stabilitas.
TNLA dalam sebuah pernyataan di saluran Telegram resminya mengatakan pihaknya menginginkan penghentian serangan udara militer di wilayahnya di negara bagian Shan utara dan menyatakan keinginannya untuk berunding dan menghargai upaya mediasi China.
“Warga sipil kami menderita akibat serangan udara dan kesulitan lainnya. Jadi, kami perlu mencari jalan keluar,” kata juru bicara TNLA Lway Yay Oo, seperti dikutip dari Reuters, Kamis (28/11/2024).
TNLA merupakan bagian dari serangan terkoordinasi yang diluncurkan tahun lalu yang disebut “Operasi 1027,” dinamai sesuai tanggal dimulainya, yang telah menjadi tantangan terbesar bagi para jenderal Myanmar sejak kudeta mereka, yang mengakibatkan hilangnya beberapa kota dan pos militer.
Dua kelompok lain dalam aliansi tersebut, Tentara Arakan dan Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar, tidak segera menanggapi permintaan komentar terkait hal ini.
Aliansi pemberontak sebelumnya telah mencapai gencatan senjata pada Januari dengan militer Myanmar selama pembicaraan yang dimediasi oleh China, tetapi kesepakatan tersebut gagal pada Juni dan pertempuran kembali terjadi.
Pemerintahan paralel Myanmar, Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), mengatakan Beijing harus mempertimbangkan keinginan rakyat Myanmar ketika terlibat dalam krisis negara tersebut.
“Saya ingin mendorong China agar tidak mengadakan pertemuan yang bertentangan dengan keinginan rakyat Myanmar karena hal itu tidak akan membantu perdamaian negara tersebut,” kata juru bicaranya, Kyaw Zaw.
Myanmar telah dilanda kekacauan sejak militer menggulingkan pemerintahan terpilih yang dipimpin oleh ikon demokrasi Aung San Suu Kyi pada tahun 2021. Hal ini memicu gerakan perlawanan yang dimulai sebagai protes damai dan kemudian berkembang menjadi pemberontakan bersenjata di berbagai bidang.
(luc/luc)