Jakarta (ANTARA) – Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menekankan pentingnya penguatan tata kelola investasi dan hilirisasi nasional sebagai prasyarat utama agar Indonesia terbebas dari jebakan kelas pendapatan menengah (middle income trap).
Dalam pemaparan Laporan Hasil Kajian Sistemik Ombudsman RI Tahun 2025 di Jakarta, Rabu, anggota Ombudsman RI Hery Susanto menilai peluang Indonesia untuk menjadi kekuatan ekonomi besar masih terbuka lebar.
“Namun, tanpa perbaikan mendasar pada aspek tata kelola, kualitas pelayanan publik, dan keberlanjutan kebijakan, transformasi ekonomi berisiko berjalan timpang,” kata Hery dalam acara tersebut, yang dipantau secara daring.
Berdasarkan proyeksi, kata dia, Indonesia diperkirakan baru keluar dari jebakan kelas pendapatan menengah pada rentang 2036 hingga 2038.
Ia berpendapat rentang waktu tersebut berpotensi semakin mundur apabila pertumbuhan ekonomi tidak diiringi dengan tata kelola investasi dan hilirisasi yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Adapun kajian sistemik bertajuk Pengawasan Program Investasi dan Hilirisasi Nasional dalam Mewujudkan Indonesia Bebas dari Middle Income Trap disusun menggunakan metode kualitatif.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam, diskusi grup terarah (FGD), tinjauan lapangan, penelusuran dan analisis regulasi, serta dokumentasi kegiatan.
Data dihimpun dari seluruh pemangku kepentingan dengan mengedepankan pendekatan koordinasi eptahelix, yakni kolaborasi antara Ombudsman, pemerintah, legislatif, akademisi, pelaku usaha, masyarakat, serta pers, guna memastikan kajian bersifat komprehensif dan objektif.
Kajian Ombudsman RI mencatat Indonesia saat ini masih berada pada kategori negara berpendapatan menengah-atas (upper middle income country) dengan Pendapatan Nasional Bruto (GNI) per kapita sekitar 4.800 dolar Amerika Serikat (AS) hingga 5.100 dolar AS pada periode 2023-2024, di mana masih cukup jauh dari ambang negara berpendapatan tinggi.
Ombudsman RI juga menemukan ketimpangan antara pertumbuhan ekonomi dan kualitas tata kelola di sejumlah daerah. Maluku Utara mencatat pertumbuhan ekonomi sangat tinggi hingga 35,26 persen, namun nilai kepatuhan pelayanan publik relatif lebih rendah.
Sebaliknya, Kepulauan Riau menunjukkan keseimbangan yang lebih baik antara pertumbuhan ekonomi dan kepatuhan pelayanan publik.
Dari sisi lingkungan, aktivitas hilirisasi nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara berdampak pada peningkatan polusi udara, antara lain karbon monoksida (CO), ozon (O3), dan nitrogen dioksida (NO2), yang memerlukan pengawasan berkelanjutan.
Kajian juga mencatat dominasi Penanaman Modal Asing (PMA) pada industri nikel, sementara kontribusi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) masih terbatas. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi di sejumlah wilayah belum sepenuhnya berdampak optimal pada penyerapan tenaga kerja lokal.
Berdasarkan temuan kajian, Ombudsman RI menyampaikan lima saran strategis kepada pemerintah pusat dan daerah, yakni penguatan koordinasi lintas sektor dan kesinambungan kebijakan, pemerataan investasi dan infrastruktur pendukung, dukungan afirmatif bagi investor dalam negeri, pengawasan lingkungan yang lebih ketat, serta kebijakan investasi dan hilirisasi yang inklusif melalui peningkatan SDM lokal dan serapan tenaga kerja.
Ombudsman RI akan terus menjalankan fungsi pengawasan untuk memastikan kebijakan investasi dan hilirisasi tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjamin kualitas pelayanan publik, perlindungan lingkungan, dan keadilan sosial bagi masyarakat.
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menegaskan upaya Indonesia untuk keluar dari jebakan kelas pendapatan menengah masih dihadapkan pada berbagai tantangan dan ketidakpastian global.
“Risiko ketidakpastian masih membayangi, termasuk pengaruh dinamika geopolitik global. Namun demikian, Pemerintah juga terus melakukan antisipasi terhadap berbagai risiko tersebut,” ujar Susiwijono.
Ia menyampaikan terdapat sinyal optimisme pada tahun 2025, tercermin dari sejumlah indikator makroekonomi yang menunjukkan ketahanan ekonomi nasional. Dari berbagai indikator, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berada di atas 5 persen.
Susiwijono juga menyatakan dukungan instansinya terhadap kajian yang dilakukan Ombudsman RI. Menurutnya, kajian tersebut penting sebagai bahan masukan dalam perumusan dan evaluasi kebijakan ekonomi nasional ke depan.
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
