Langgar Izin Tinggal, 8 WNA Nigeria Ditangkap di Apartemen Kelapa Gading
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Delapan warga negara asing (WNA) asal Nigeria ditangkap di apartemen Kelapa Gading, Jakarta Utara, karena melakukan pelanggaran berupa
overstay
atau melewati batas izin tinggal.
Penangkapan dilakukan dalam Operasi Wirawaspada oleh Kantor Imigrasi Kelas I TPI Jakarta Utara pada 15–16 Juli 2025.
“Delapan warga asing asal Nigeria itu ditangkap setelah (kami) melakukan operasi di sejumlah apartemen di Jakarta Utara,” kata Kepala Seksi Intelijen dan Penindakan Keimigrasian pada Kantor Imigrasi Kelas I TPI Jakarta Utara, Widya Anusa Brata dalam keterangannya, Jumat (17/7/2025).
Delapan WNA yang terjaring razia masing-masing berinisial IVC, EDO, CCA, ONA, NEI, REI, FA, dan AIM.
Widya mengatakan, awalnya ada 15 WNA yang terjaring dalam razia tersebut.
Namun, setelah diperiksa, hanya ada delapan WNA yang diduga melakukan pelanggaran berupa
overstay
sesuai dengan Pasal 78 ayat 3 Undang Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian.
Sejauh ini, delapan WNA tersebut dikenakan tindakan administratif pendetensian di Kantor Imigrasi Kelas I TPI Jakarta Utara. Kemudian, selanjutnya akan dikenakan sanksi berupa deportasi dan penangkalan.
Widya menyebutkan, Operasi Wirawaspada dilaksanakan sesuai dengan arahan serta instruksi dari Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan terkait dengan Pelaksanaan Pengawasan Keimigrasian dalam menegakkan hukum keimigrasian.
Jadi, WNA dari berbagai negara diharapkan tidak berani lagi menyalahgunakan atau melebihi izin tinggalnya di Indonesia.
Di sisi lain, operasi ini juga dilakukan guna mencegah gangguan ketertiban umum dan menekan potensi tindak kriminal yang dilakukan oleh oknum WNA nakal.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Organisasi: REI
-
/data/photo/2019/06/13/1402673086.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Langgar Izin Tinggal, 8 WNA Nigeria Ditangkap di Apartemen Kelapa Gading Megapolitan 18 Juli 2025
-

Imigrasi Jakut tangkap delapan WNA Nigeria karena “overstay”
Jakarta (ANTARA) – Seksi Intelijen dan Penindakan Keimigrasian pada Kantor Imigrasi Kelas I TPI Jakarta Utara menangkap delapan warga negara asing (WNA) asal Nigeria yang melakukan pelanggaran keimigrasian berupa melewati batas izin tinggal (overstay) dalam Operasi Wirawaspada.
“Delapan warga asing asal Nigeria itu ditangkap setelah melakukan operasi di sejumlah apartemen di Jakarta Utara,” kata Kepala Seksi Intelijen dan Penindakan Keimigrasian pada Kantor Imigrasi Kelas I TPI Jakarta Utara Widya Anusa Brata di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan delapan WNA asal Nigeria tersebut berinisial (IVC), (EDO), (CCA), (ONA), (NEI), (REI), (FA), dan (AIM).
Mereka diduga melakukan pelanggaran keimigrasian berupa overstay sesuai dengan pasal 78 ayat 3 Undang Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian.
Pada saat ini, kedelapan WN Nigeria dikenakan tindakan administratif keimigrasian berupa detensi di Kantor Imigrasi Kelas I TPI Jakarta Utara.
Widya menjelaskan kedelapan WNA itu selanjutnya akan dikenakan Tindakan Administratif Keimigrasian berupa deportasi dan penangkalan.
Operasi Wirawaspada yang digelar 15-16 Juli 2025 merupakan operasi penegakan hukum keimigrasian dan bagi WNA.
Mereka yang melanggar hukum keimigrasian akan dikenakan tindak pidana keimigrasian atau tindakan administratif keimigrasian berupa deportasi disertai dengan penangkalan.
Adapun operasi tersebut dilaksanakan sesuai dengan arahan serta instruksi dari Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan terkait dengan Pelaksanaan Pengawasan Keimigrasian dalam menegakkan hukum keimigrasian.
Seksi Intelijen dan Penindakan Keimigrasian pada Kantor Imigrasi Kelas I TPI Jakarta Utara menggelar Operasi Wirawaspada di sejumlah lokasi di Jakarta Utara pada 15-16 Juli 2025 (ANTARA/Mario Sofia Nasution)
Selain itu, operasi ini juga bertujuan untuk mencegah gangguan ketertiban umum dan menekan potensi tindak kriminal oleh WNA nakal yang melanggar aturan.
Widya mengatakan saat dilakukan Operasi Wirawaspada, Seksi Intelijen dan Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi Kelas I TPI Jakarta Utara melakukan pemeriksaan terhadap 15 WNA yang ditemukan di wilayah Kelapa Gading dan Penjaringan, Jakarta Utara.
Seksi Intelijen dan Penindakan Keimigrasian pada Kantor Imigrasi Kelas I TPI Jakarta Utara menggelar Operasi Wirawaspada di sejumlah lokasi di Jakarta Utara pada 15-16 Juli 2025 (ANTARA/Mario Sofia Nasution)
Setelah dilakukan pemeriksaan. ditemukan delapan WNA yang terindikasi melanggar aturan keimigrasian. Mereka kemudian dibawa ke Kantor Imigrasi Jakarta Utara untuk dilakukan pemeriksaan
“Setelah lakukan pemeriksaan di lapangan, delapan WNA diduga melakukan pelanggaran keimigrasian berupa overstay dan langsung ditindak,” kata dia.
Pewarta: Mario Sofia Nasution
Editor: Ade irma Junida
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

Kronologi Kepala Dinas PUPR Sumut Kena OTT KPK Soal Dugaan Korupsi Proyek Pembangunan Jalan
Bisnis.com, MEDAN – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjaring Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) berinisial TOPG dalam kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) di Mandailing Natal (Madina) pada Kamis (26/6/2025) malam yang menangkap 6 (enam orang).
Pelaksana Tugas (Plt.) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, awal minggu ini pihaknya mendapat informasi akan adanya pertemuan dan terjadi penyerahan sejumlah uang dari pihak swasta ke pihak tertentu.
Asep juga menyebut telah mendapat informasi adanya penarikan uang sebesar Rp2 miliar dari pihak swasta. Diduga, uang tersebut akan dibagikan ke pihak-pihak tertentu agar yang bersangutan mendapat proyek pembangunan jalan yang akan dimulai dalam waktu dekat di Sumut.
“Kami memantau bahwa pada Kamis malam ada pertemuan antara pihak swasta yakni saudara KIR dan Rei dengan saudara TOP di suatu tempat,” kata Asep dalam keterangan pers di Jakarta, dikutip dari akun youtube KPK, Sabtu (28/6/2025).
Lebih jauh disampaikan Asep, pihaknya menemukan bahwa ada sejumlah proyek pembangunan dan rehabilitasi jalan di Sumut yang dilakukan di Dinas PUPR Sumut dan di Satuan Kerja Pembangunan Jalan Nasional di wilayah I Sumut dengan total Rp231,8 miliar.
Dugaan penyuapan agar memperoleh proyek menguat dengan pergerakan uang sebesar Rp2 miliar dari pihak swasta sebelumnya. Kumpulan informasi ini menjadi landasan KPK bergerak memantau pergerakan para pihak.
“Kami ingin mencegah pihak ini mendapatkan proyek karena pasti hasil pekerjaannya tidak akan maksimal sebab sebagian dari uang tersebut, paling tidak sekitar Rp46 miliar itu akan digunakan untuk menyuap agar memperoleh proyek, bukan untuk pembangunan jalan,” jelasnya.
Adapun sebelumnya KPK menangkap tangan 6 (enam) orang pada Kamis (26/6/2025) di Mandailing Natal. OTT ini merupakan tindak lanjut informasi yang diterima KPK dari masyarakat terkait dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR Sumut dan satker PJN Wilayah I Sumut.
Keenam orang yang ditangkap termasuk Kepala Dinas PUPR Sumut kini telah dibawa ke Gedung Merah Putih KPK untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
-

Usulan Pengembang soal Rencana Rumah Subsidi Diperkecil
Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah pelaku usaha properti menilai rencana rumah subsidi yang diperkecil bertujuan menjawab tantangan keterbatasan lahan dan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), terutama di wilayah perkotaan.
Dalam draf perubahan Keputusan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Tahun 2025, disebutkan bahwa rumah subsidi nantinya dapat dibangun di atas lahan seluas minimal 25m², dengan luas bangunan mulai dari 18 m². Sebelumnya, dalam aturan lama, batas minimum luas tanah ditetapkan 60 m² dan bangunan minimal 21 m².
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Pedesaan Thomas Jusman mengatakan bahwa penambahan opsi rumah subsidi berukuran kecil perlu dipahami sebagai alternatif, bukan pengganti tipe yang sudah ada.
“Ini adalah pilihan tambahan, bukan pengganti rumah tipe 36. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi secara luas agar tidak muncul kesalahpahaman,” ujar Thomas, dikutip Senin (23/6/2025).
Menurut dia, keberadaan rumah subsidi berukuran kecil menjadi krusial di kawasan perkotaan, tempat harga lahan cenderung tinggi dan ketersediaannya terbatas. Thomas juga menekankan bahwa meskipun ukuran diperkecil, standar kelayakan hunian harus tetap merujuk pada Standar Nasional Indonesia (SNI).
Ketua Umum DPP Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himpera) Endang Kawidjaja menilai bahwa revisi ukuran rumah subsidi akan memperluas pilihan bagi masyarakat MBR. Dengan adanya variasi tipe, masyarakat dapat memilih rumah sesuai dengan kemampuan finansial mereka.
“Luas tanah 25 m² dan bangunan 18 m² bisa menjadi solusi untuk tanah-tanah sempit yang sebelumnya tak terpakai karena tidak memenuhi kriteria rumah subsidi,” katanya.
Wakil Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI) Bambang Ekajaya menyarankan agar rumah subsidi berukuran kecil difokuskan pada radius 20 kilometer dari pusat kota. Dia menyebut segmen ini cocok untuk generasi muda atau pasangan baru yang belum memiliki anak.
“Rumah subsidi mungil ini bisa menjadi hunian pertama yang terjangkau di lokasi strategis,” ujarnya.
Direktur PT Ciputra Development Tbk. (CTRA) Budiarsa Sastrawinata menyebut bahwa menyesuaikan ukuran rumah subsidi adalah upaya realistis di tengah tingginya harga tanah. Pengembang tetap bisa menjaga keterjangkauan tanpa menurunkan kualitas.
“Aspek kelayakan dan fungsi tetap bisa terpenuhi meskipun rumah lebih kecil. Yang penting adalah efisiensi desain dan aksesibilitas,” kata Budiarsa.
CEO Lippo Group James Riady mencontohkan proyek Hunian Warisan Bangsa (HWB) sebagai model penerapan rumah subsidi berukuran kecil. Dalam proyek tersebut, disediakan dua tipe unit, yakni tipe satu kamar tidur berukuran bangunan 14m² dan tipe dua kamar tidur berukuran 23,4m², masing-masing dibangun di atas tanah sekitar 25–26m².
Meskipun mungil, rumah-rumah tersebut dirancang dengan mezzanine dan fasilitas lengkap, seperti ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga carport.
“Hunian yang layak tidak selalu berarti luas. Dengan prinsip desain yang baik, rumah kecil pun bisa nyaman, aman, dan terjangkau,” ujar James.
Program rumah subsidi berukuran kecil ini diharapkan dapat membuka akses kepemilikan rumah bagi lebih banyak kelompok masyarakat, terutama yang selama ini terpinggirkan oleh keterbatasan lahan dan tingginya harga rumah.
-

Soal Rumah Subsidi Mini, REI: Lebih Baik Fokus Hunian Vertikal
Bisnis.com, JAKARTA — Real Estat Indonesia (REI) menilai lebih baik pemangku kepentingan sektor perumahaan fokus terhadap hunian vertikal untuk mengatasi backlog di perkotaan, alih-alih memangkas ukuran rumah subsidi.
Rencana perubahan luas rumah subsidi tercantum di dalam draf perubahan Keputusan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Nomor –/KPTS/M/2025. Dalam beleid itu, disebutkan luas tanah rumah bersubsidi minimal sebesar 25 meter persegi (m2) dan paling luas 200 m2. Adapun, luas lantai rumah paling rendah 18 m2 dan paling tinggi 36 m2.
Sementara itu, dalam aturan lama yang masih berlaku, yakni Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 689/KPTS/M/2023, ditetapkan bahwa luas tanah rumah subsidi paling rendah 60 m2 dan paling tinggi 200 m2. Kemudian, luas lantai rumah subsidi minimal 21 m2 dan paling tinggi 36 m2.
Ketua Umum Realestat Indonesia (REI) Joko Suranto menyampaikan pihaknya sudah menyampaikan masukan kepada Kementerian PKP terkait rencana pemangkasan ukuran minimal rumah subsidi. Ada tiga poin utama dalam pesan tersebut.
Pertama, rencana kebijakan ini harus mengacu terhadap regulasi yang sudah ada, seperti Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan, hingga standar WHO.
Menurut standar World Health Organization (WHO) luasan rumah minimal 9 m2 per jiwa, sedangkan Standar Nasional Indonesia (SNI) menetapkan luasan rumah minimal 7,2 m2.
“Jadi mana standar yang mau diambil [untuk rumah subsidi] mestinya berdasarkan ke sana [aturan yang sebelumnya sudah ada],” ujar Joko Suranto mengutip kanal YouTube tvOneNews, Rabu (18/6/2025).
Poin kedua, terkait tingkat kelayakan hunian. Masyarakat Indonesia memiliki budaya silaturahmi yang kuat. Jangan sampai adanya aturan atau kebijakan baru mengamputasi budaya kekerabatan ini karena kecilnya ruangan rumah.
Poin ketiga, rumah subsidi harus terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Harapannya, pemerintah dapat membuat kebijakan jangka panjang yang terukur.
“Karena itu, kami sangat mendukung Program 3 Juta Rumah yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto. Hunian vertikal 1 juta unit adalah jawabannya, dan hampir seluruh dunia melakukan itu,” jelas Joko.
Kemudian target 2 juta rumah di pedesaan dan pesisir berpeluang bisa dilakukan. Penyediaan rumah selain memastikan keberadaan fasilitas tempat tinggal juga mendorong lapangan kerja dan pergerakan ekonomi.
Menurutnya, pemangku kepentingan sektor perumahan sebaiknya mendiskusikan skema hunian vertikal untuk masyarakat perkotaan. Apalagi, Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara berkomitmen untuk memberikan pembiayaan senilai Rp130 triliun untuk mendukung pelaksanaan Program 3 Juta Rumah.
“Mestinya kita bicara skema vertical housing bisa berjalan, sehingga tidak buang waktu mendiskusikan sesuatu yang mestinya lebih clear dari awal,” tutur Joko.
-

Cicilan Rumah Subsidi 18 Meter Persegi Mulai Rp 600.000 Per Bulan
Jakarta, Beritasatu.com – Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) tengah memfinalisasi kebijakan baru terkait penyesuaian ukuran rumah subsidi minimal 18 meter persegi.
Langkah ini diambil guna menekan harga jual dan cicilan agar lebih terjangkau, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah serta generasi muda yang ingin tinggal di perkotaan.
Direktur Jenderal Perumahan Perkotaan Kementerian PKP, Sri Haryati mengungkapkan, penyesuaian ukuran rumah subsidi ini ditargetkan bisa menurunkan cicilan bulanan menjadi sekitar Rp 600.000.
“Insyaallah kalau memang nanti ke depan sudah banyak masukan dari semua stakeholder dengan harga yang lebih murah, cicilannya juga kita dorong bisa lebih murah, bisa Rp 600.000 sampai Rp 700.000 per bulan,” ujar Sri di Jakarta, Senin (16/6/2025).
Saat ini, rata-rata cicilan rumah subsidi masih berada di kisaran Rp 1,2 juta per bulan. Oleh karena itu, Sri menyebut pemangkasan ukuran rumah merupakan salah satu strategi untuk menekan harga sekaligus meningkatkan daya beli masyarakat terhadap sektor perumahan.
Menanggapi kritik terhadap desain rumah subsidi berukuran 14 meter persegi yang dinilai terlalu sempit, Sri Haryati menjelaskan konsep tersebut merupakan bagian dari rancangan milik Lippo Group dan belum dipasarkan.
Desain tersebut, menurutnya, dimaksudkan sebagai alternatif pilihan bagi masyarakat yang ingin memiliki rumah di area perkotaan dengan harga lebih terjangkau.
Sri juga menegaskan, Kementerian PKP sangat terbuka terhadap kritik dan masukan publik terkait inovasi rumah mungil tersebut.
“Karena kami kementerian PKP, pak menteri sangat terbuka untuk berdiskusi dengan seluruh stakeholder. Draft juga kita sebarkan ke seluruh asosiasi pengembang, ke Kadin, ke HIPMI, ke REI dan lain-lain gitu,” ujar Sri Haryati.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3484493/original/061538300_1623847468-20210616-Target-Bantuan-Rumah-Subsidi-5.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Batasan Luas Rumah Subsidi Solusi Tekan Harga Properti – Page 3
Liputan6.com, Jakarta – Wakil Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI), sekaligus pelaku bisnis properti, Bambang Ekajaya, menyampaikan tanggapannya terkait draf Keputusan Menteri (Kepmen) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PKP) Nomor/KPTS/M/2025 yang mengatur batasan luas rumah umum tapak dan luas lantai hunian.
Dalam draf tersebut, ditetapkan bahwa luas bangunan rumah subsidi tapak minimal 25 meter persegi dan maksimal 200 meter persegi. Sementara itu, luas lantai rumah dibatasi antara 18 hingga 35 meter persegi. Ketentuan ini memicu diskusi di kalangan pelaku industri properti.
“Ya ketentuan terbaru kemen PKP memang mengundang perdebatan,” kata Bambang kepada Liputan6.com, Rabu (4/6/2025).
Ia menjelaskan bahwa dengan semakin tingginya biaya pembebasan lahan, terutama di sekitar kota-kota besar, serta meningkatnya biaya konstruksi beberapa tahun terakhir, penurunan luasan rumah menjadi salah satu solusi menekan harga jual bangunan.
“Saya melihat niat pak Ara (Maruarar) baik dengan semakin mahalnya pembebasan lahan, khususnya yang disekitar kota-kota besar dan naiknya biaya konstruksi beberapa tahun terakhir penurunan size, otomatis harga jual bangunan bisa di tekan, minimal harga tidak naik bahkan bisa sedikit di tekan,” jelasnya.
Bambang juga mengajak untuk melihat contoh dari kota-kota besar di luar negeri seperti Singapura, Kuala Lumpur, Hongkong, dan Shanghai, di mana hunian dengan luasan kecil sudah lazim karena harga tanah dan properti yang sangat tinggi. Di Hongkong, misalnya, ada hunian yang hanya seluas 10 meter persegi.
“Kita bisa melakukan studi banding virual luasan hunian-hunian di kota-kota besar seperti di Singapore, Kuala Lumpur Malaysia, Hongkong, Shanghai (di Tiongkok) dan lainnya, khususnya di Hongkong bahkan ada hunian yang hanya 10 m2, karena mahalnya harga-harga properti disana, disiasati dengan pengurangan luasan bangunan agar tetap terjangkau,” ujarnya.
-

Properti Tahan Guncangan, REI: PIK Jadi Tolak Ukur Nasional
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Di tengah gejolak ekonomi dan tekanan pasar, sektor properti di Indonesia tetap menunjukkan ketahanan. Wakil Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI), Bambang Ekajaya, menyebut kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) sebagai contoh sukses pengembangan properti yang terus tumbuh di tengah tantangan.
“PIK adalah salah satu benchmark properti nasional. Meski situasi pasar fluktuatif, pengembangan terus berlanjut hingga PIK 3 dan seterusnya. Ini menunjukkan bahwa jika konsep pengembangannya kuat dan konsisten, pasar tetap merespons positif,” ujar Bambang.
Ia menegaskan, potensi pasar properti nasional masih sangat besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, backlog hunian mencapai 15 juta unit. Artinya, kebutuhan tempat tinggal belum terpenuhi secara maksimal.
“Potensi pasarnya besar sekali. Tapi harus kita akui, lebih dari 70 persen kebutuhan properti saat ini datang dari segmen masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan menengah bawah (MBT),” jelasnya.
Namun di sisi lain, Bambang menyoroti minimnya alokasi subsidi perumahan bagi MBR. Pada 2025, pemerintah hanya menargetkan 420 ribu unit bersubsidi—jauh dari kebutuhan 3 juta unit per tahun.
“Gap ini harus dijembatani dengan kebijakan yang lebih agresif dan dukungan dari semua pihak, termasuk sektor swasta. Tanpa itu, backlog akan semakin sulit dikejar,” tegasnya.
Bambang juga melihat peluang emas bagi investor yang memiliki dana tunai. Saat ini banyak lahan dan properti komersial ditawarkan di bawah harga pasar.
-

Asosiasi pengembang perumahan siap bangun satu juta rumah di pedesaan
Selain memperluas fokus target program, pembangunan satu juta rumah di pedesaan juga akan menggerakkan ekonomi desa
Tangerang (ANTARA) – Asosiasi pengembang perumahan Real Estate Indonesia (REI) menyatakan siap membangun satu juta rumah di pedesaan yang merupakan bagian dari program tiga juta rumah yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto.
Ketua Umum DPP REI Joko Suranto di Tangerang, Banten, Kamis mengatakan saat ini program tiga juta rumah baru menyentuh sekitar 5 – 7 persen dari target melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang tahun ini berkisar hanya 220.000 unit hingga 420.000 unit.
Sementara itu hampir 95 persen lagi dari target tiga juta unit hingga kini belum fokus dikerjakan, termasuk satu juta rumah di pedesaan.
“Selain memperluas fokus target program, pembangunan satu juta rumah di pedesaan juga akan menggerakkan ekonomi desa,” kata Joko Suranto dalam keterangannya.
REI mengambil inisiatif untuk mendorong perluasan target 3 juta rumah hingga pedesaan karena program ini sejak awal memang hendak menyasar masyarakat di perkotaan, pedesaan dan pesisir. “Sesuai paradigma Propertinomic 2.0, maka kami siap untuk membangun satu juta rumah di desa-desa di Indonesia,” ujarnya.
Sesuai instruksi Presiden Prabowo Subianto, pemerintah akan membangun 3 juta rumah bagi masyarakat yang belum memiliki rumah, satu juta di pedesaan, satu juta di pesisir, dan satu juta di perkotaan. Selain itu, terdapat sekitar 13 juta penduduk miskin di desa atau sekitar 11,3 persen dari total penduduk pedesaan yang harus dituntaskan.
Atas dasar itulah, langkah memacu pembangunan rumah di desa akan memiliki manfaat besar antara lain mempercepat pengentasan kemiskinan di pedesaan, menggerakkan ekonomi di desa karena menciptakan putaran ekonomi hingga Rp80 triliun, menciptakan 1 juta lapangan pekerjaan bagi masyarakat desa, serta menciptakan stimulus pendapatan di setiap desa sekitar Rp400 juta.
“Ekosistem ekonomi baru akan terbentuk di pedesaan. Bakal muncul banyak wiraswasta di setiap desa hingga 200.000 wiraswasta yang terdidik selama 5 tahun program sejuta rumah di pedesaan berjalan, misalnya pabrik pembuatan bahan material dan sebagainya,” katanya.
Joko menambahkan yang dibutuhkan pengembang saat ini yakni penentuan kriteria dan kebijakan yang jelas dari pemerintah. Kriteria tersebut antara lain menyangkut syarat penerima manfaat program perumahan tersebut, kriteria desa yang menjadi lokasi pembangunan, kriteria lahan yang dapat dibangun rumah, serta standar spesifikasi dan biaya bangunan.
Selain kriteria, pembangunan rumah di pedesaan juga perlu dukungan beberapa kebijakan diantaranya pertanahan yang berkaitan dengan legalitas tanah untuk lokasi pembangunan rumah.
Lalu butuh kebijakan perizinan khusus untuk membangun rumah di desa, kebijakan peruntukkan tata ruang, kebijakan perbankan menyangkut skema pembiayaan dan aturan penilaian kelayakan oleh perbankan/lembaga yang ditunjuk pemerintah, serta kebijakan pengawasan (monitoring).
“Kebijakan legalitas tanah misalnya soal program sertifikasi lahan milik masyarakat yang akan dibangun rumah, sehingga masyarakat desa menjadi bankable. Ini tentunya menjadi peran Kementerian ATR-BPN yang juga segera kami diskusinya,” ujarnya.
REI saat ini memiliki anggota lebih dari 6.000 perusahaan pengembang dan 80 persen diantaranya merupakan pengembang perumahan bersubsidi yang sudah berpengalaman membangun rumah layak huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Dengan anggota sebanyak itu, maka rata – rata setiap pengembang anggota REI hanya membangun sekitar 200 unit rumah di desa.
“Kami punya 6.000 anggota yang tersebar di 38 provinsi di Indonesia. Proyek anggota REI menyebar hingga ke tingkat kecamatan hingga desa di seluruh pelosok negeri. Oleh karena itu, REI sangat siap untuk memulai pembangunan 1 juta rumah di pedesaan sesuai target Program 3 Juta Rumah,” kata Joko Suranto.
Sesuai dengan informasi yang pernah disampaikan Satgas Perumahan, angsuran KPR untuk masyarakat di pedesaan 80 persen akan disubsidi pemerintah sehingga hanya 20 persen dari cicilan KPR yang dibayarkan masyarakat.
Dengan asumsi nilai bangunan sekitar Rp80 juta hingga Rp100 juta per unit dan angsuran KPR Rp800.000 per bulan, maka masyarakat desa cukup membayar sekitar Rp160.000 setiap bulannya.
Pewarta: Achmad Irfan
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2025
