Organisasi: PPKI

  • Awal 1 Juni Hari Lahir Pancasila, Ini Tema-Filosofi Logo Tahun 2025

    Awal 1 Juni Hari Lahir Pancasila, Ini Tema-Filosofi Logo Tahun 2025

    Jakarta, CNBC Indonesia – 1 Juni diperingati sebagai hari Lahir Pancasila. Sebagai hari untuk mengenang momen penting sejarah lahirnya dasar negara, pemerintah merilis tema dan logo resmi yang berbeda untuk memeriahkan peringatannya.

    Mengutip laman Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)  Republik Indonesia, penetapan Hari Lahir Pancasila merujuk pada momen ketika Sukarno membacakan pidatonya dalam sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945. Pidato tersebut berisi konsep awal Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.

    Sidang BPUPKI sendiri memiliki agenda utama untuk merumuskan persiapan kemerdekaan Indonesia. Melalui proses bertahap, sidang ini akhirnya menghasilkan dasar negara yang kini dikenal sebagai Pancasila.

    Sejarah lahirnya Pancasila berawal dari kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik. Saat itu Jepang meminta bantuan Indonesia menghadapi serangan tersebut.

    Sebagai imbalannya, Jepang berjanji akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dengan membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan ini beranggotakan 62 orang Indonesia dan 8 perwakilan Jepang.

    Anggota BPUPKI dilantik pada tanggal 29 April 1945. Setelah itu, BPUPKI menggelar sidang pertamanya dari 29 Mei hingga 1 Juni 1945 untuk merancang dasar negara Indonesia.

    Kendati demikian, belum ada konsep pasti yang disepakati.

    Soekarno kemudian menyampaikan pidatonya tentang gagasan dasar negara yang terdiri dari lima prinsip, yaitu:

    Kebangsaan

    Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan

    Mufakat atau Demokrasi

    Kesejahteraan Sosial

    Ketuhanan.

    Setelah itu, BPUPKI lalu membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari Soekarno, Mohammad Hatta, Abikoesno Tjokrosoejoso, Agus Salim, Wahid Hasjim, Mohammad Yamin, Abdul Kahar Muzakir, Mr AA Maramis, dan Achmad Soebardjo. Tugas panitia ini adalah menyempurnakan prinsip-prinsip tersebut.

    Berikut hasil perumusan kelima prinsip yang menjadi Pancasila:

    Ketuhanan Yang Maha Esa

    Kemanusiaan yang adil dan beradab

    Persatuan Indonesia

    Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan

    Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

    Pancasila kemudian disahkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Proses pengesahan ini tentunya melewati beberapa tahap persidangan.

    Akhirnya, seperti dilansir Detik Sulsel, sejak saat tanggal 1 Juni ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila. Penetapan ini dimuat dalam Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.

    Tema Peringatan Hari Lahir Pancasila 2025

    Peringatan Hari Lahir Pancasila 2025 mengusung tema “Memperkokoh Ideologi Pancasila Menuju Indonesia Raya”. Hal tersebut dimuat dalam Surat Edaran Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Nomor 4 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Surat Edaran Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Nomor 3 Tahun 2025 Tentang Pedoman Peringatan Hari Lahir Pancasila Tahun 2025

    Tema ini memiliki makna seluruh masyarakat perlu untuk kembali meneguhkan komitmennya terhadap nilai-nilai dasar. Sebab, pancasila bukan sekadar rumusan historis, tetapi pedoman hidup menuju cita-cita Indonesia yang adil dan makmur.

    Tema “Memperkokoh Ideologi Pancasila Menuju Indonesia Raya” menegaskan pentingnya menjaga persatuan dalam keberagaman sebagai kekuatan bangsa. Dari sila pertama hingga kelima, Pancasila menuntun pembangunan kehidupan dengan semangat gotong royong dan keadilan sosial.

    Logo Peringatan Hari Lahir Pancasila 2025 dan Filosofinya.

    Surat Edaran Kepala BPIP tentang Pedoman Peringatan Hari Lahir Pancasila Tahun 2025 juga memuat logo peringatan Hari Lahir Pancasila. Logo tahun ini bernama “Garuda Niskala Hema” yang berbentuk garuda emas dengan lima pilar utama dan buku terbuka.

    Garuda melambangkan kekuatan, kemuliaan, dan dinamika bangsa. Sedangkan Niskala dalam bahasa Sansekerta artinya kokoh dan kuat, atau dalam bahasa Yunani artinya kemenangan.

    Niskala juga sering diartikan sebagai sesuatu yang tidak dapat dilihat, disentuh, atau dirasakan secara fisik. Ini mengartikan, ideologi Pancasila selalu tertanam dalam pikir, laku, dan jiwa manusia Indonesia secara sadar atau tanpa disadari.

    Sementara Hema berarti emas atau sesuatu yang berharga dan indah. Emas juga menggambarkan simbol keberhasilan dan kejayaan.

    Logo “Garuda Niskala Hema” ini terdiri dari tiga elemen utama yang masing-masing memiliki makna sebagai berikut:

    Ilustrasi manusia dengan segitiga emas ke atas melambangkan Generasi Emas Indonesia dan masa depan yang penuh harapan. Warna dan posisi ikon menegaskan peran manusia sebagai pusat pembangunan karakter bangsa.

    Pilar lima tiang kokoh melambangkan lima sila Pancasila sebagai pondasi utama kehidupan berbangsa dan bernegara. Simbol ini menegaskan bahwa setiap tindakan dan kebijakan harus berlandaskan nilai-nilai luhur Pancasila.

    Buku terbuka melambangkan keberanian, kemerdekaan, dan semangat menggapai cita-cita. Simbol ini juga menyiratkan pentingnya pendidikan Pancasila sejak dini sebagai dasar pemahaman dan pengamalan nilai-nilainya.

    Foto: Hari Lahir Pancasila diperingati setiap 1 Juni di Indonesia. (Freepik)
    Hari Lahir Pancasila diperingati setiap 1 Juni di Indonesia. (Freepik)

    (dce)

  • Peristiwa 20 Desember 1945: Wafatnya Otto Iskandar Dinata

    Peristiwa 20 Desember 1945: Wafatnya Otto Iskandar Dinata

    Paguyuban Pasundan berada di bawah pimpinannya menjadi semakin berkembang. Organisasi ini berhasil mendirikan sekolah hingga bank.

    Pada 1930, Otto Iskandardinata terpilih menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) mewakili Paguyuban Pasundan. Ia tak segan memperlihatkan keberaniannya dalam mengecam pemerintah. Keberanian tersebut membuatnya mendapat julukan Si Jalak Harupat, yang artinya burung Jalak yang berani.

    Pada 1932, kongres PPKI digelar di Surabaya. Saat itu, Otto Iskandardinata terpilih menjadi Sekretaris di bawah ketua M.H. Thamrin.

    Pada masa kemerdekaan RI pertama yang berbentuk kabinet Presidentil, Otto Iskandardinata diangkat menjadi Menteri Negara. Ia juga menjadi pemimpin Badan Pembantu Prajurit.

    Bukan itu saja, Otto Iskandardinata juga aktif membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang selanjutnya berkembang menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). TKR kemudian berubah menjadi ABRI dan TNI.

    Otto Iskandardinata pernah masuk dalam daftar hitam. Ia juga pernah membuat khawatir pemerintah Hindia Belanda, salah satunya karena ia berani membongkar kasus bendungan Kemuning. Otto juga merupakan sosok yang pertama kali mempopulerkan kata Indonesia Merdeka yang kemudian disingkat menjadi Merdeka.

    Pada 20 Desember 1945, Otto Iskandardinata meninggal dunia. Ia diduga menjadi salah satu korban Laskar Hitam di Pantai Mauk, Tangerang. Namun, jenazahnya tak pernah ditemukan.

    Otto Iskandardinata ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 088/TK/Tahun 1973 pada 6 November 1973. Wajah pahlawan Otto Iskandardinata tergambar di uang kertas pecahan Rp20.000 yang pertama kali dikeluarkan oleh Bank Indonesia pada 29 Desember 2004.

     

    Penulis: Resla

  • Enam Tokoh Pahlawan Nasional: Kahar Mudzakkir-Ruhana Kuddus

    Enam Tokoh Pahlawan Nasional: Kahar Mudzakkir-Ruhana Kuddus

    JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada enam tokoh, yakni Abdul Kahar Mudzakkir, Alexander Andries (AA) Maramis, KH Masjkur, M Sardjito, Ruhana Kuddus, dan Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi.

    Pemberian gelar pahlawan nasional tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 120/TK/2019 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional tertanggal 7 November 2019 dan diberikan langsung kepada para ahli waris di Istana Negara, Jakarta, Jumat 8 November.

    Enam tokoh yang semasa hidupnya berjuang di berbagai bidang, mendapatkan gelar pahlawan nasional tahun 2019 ini.

    Mereka adalah Ruhana Kuddus, Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi, Prof. Dr. M. Sardjito, Prof. K.H. Abdul Kahar Mudzakkir, Dr.(H.C.) A.A. Maramis dan K.H. Masjkur. pic.twitter.com/Ds0g8je22L

    — Joko Widodo (@jokowi) November 8, 2019

    Keenam tokoh penerima gelar Pahlawan Nasional tahun ini berasal dari beragam profesi dan latar belakang. Dua orang di antaranya merupakan anggota BPUPKI/PPKI, seorang sultan dari Sukawesi Tenggara, seorang dokter yang berjasa di dunia pendidikan, dan seorang perempuan yang berjasa di bidang jurnalis dan pendidikan.

    Berikut tokoh-tokoh penerima gelar Pahlawan Nasional 2019: 

    Abdul Kahar Muzakkir 

    Abdul Kahar Muzakkir. Foto: Wikimedia Commons

    Abdoel Kahar Moezakkir (atau ejaan baru Abdul Kahar Muzakkir) merupakan tokoh pendiri Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Tokoh asal Kotagede ini juga pernah menjadi rektor kampus tersebut periode 1948-1960.

    Selain mendirikan UII, Kahar Muzakkir memang dikenang sebagai cendekiawan Muslim dan pejuang nasional. Dia juga sempat duduk sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). 

    Dr. Sardjito

    Doktor Sardjito. Foto: Wikimedia Commons

    Dr. Sardjito merupakan dokter sekaligus rektor pertama Universitas Gadjah Mada (UGM) periode 1950-1961. Selanjutnya dia juga menjadi rektor UII periode 1963 – 1970.

    Semasa hidupnya, Dr Sardjito kelahiran Magetan ini menciptakan sejumlah vaksin, misalnya untuk typhus, kolera, hingga disentri. Semasa perjuangannya, dia juga berkontribusi dengan membuat makanan dan multivitamin untuk para tentara RI yaitu Biskuit Sardjito. 

    Atas dedikasinya dalam bidang pendidikan dan kesehatan pada era perjuangan kemerdekaan, nama Dr Sardjito juga diabadikan sebagai nama rumah sakit di Yogyakarta, yaitu Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito.

    AA Maramis 

    Mr. Alexander Andries Maramis (1897-1977) akhirnya menjadi Pahlawan Nasional RI tahun 2019. pic.twitter.com/sL4IulHZ22

    — Bode Grey Talumewo (@bode_talumewo) November 8, 2019

    Alexander Andries Maramis atau lebih dikenal sebagai AA Maramis merupakan tokoh yang berasal dari Manado, Sulawesi Utara. Ia merupakan anggota BPUPKI dan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada era kemerdekaan RI. 

    AA Maramis juga pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan dan tanda tangannya ada dalam Oeang Republik Indonesia (ORI) — mata uang RI sebelum rupiah. AA Maramis juga keponakan dari Maria Walanda Maramis, tokoh pejuang perempuan dari Sulawesi Utara, yang sebelumya juga mendapat gelar Pahlawan Nasional. 

    Roehana Koeddoes

    Roehana Koeddoes Foto: Wikimedia Commons

    Roehana Koeddoes (atau Ruhana Kuddus dengan ejaan kini) akhirnya mendapat gelar Pahlawan Nasional. Jurnalis perempuan pertama di Indonesia ini, sempat gagal menjadi pahlawan nasional meski telah memenuhi seluruh persyaratan dalam proses pengusulan dari daerah.

    Roehana kelahiran Koto Gadang, Sumatera Barat, ini memiliki komitmen tinggi di bidang pendidikan dan literasi. Roehana hidup pada zaman yang sama dengan RA Kartini, di mana akses perempuan untuk mendapat pendidikan yang baik sangat dibatasi. Ia adalah pendiri surat kabar perempuan pertama di Indonesia.

    Roehana pernah menjadi pimpinan beberapa surat kabar pada masanya. Ia pernah menulis untuk surat kabar Poetri Hindia, Oetoesan Melajoe, hingga mendirikan surat kabarnya sendiri, Soenting Melajoe. Selain di dunia pers, Roehana juga aktif menjadi penggerak kerajinan di Sumbar, khususnya untuk kaum perempuan.

    Sultan Himayatuddin

    Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi atau dikenal dengan gelar Oputa Yi Koo adalah putra daerah yang memimpin perlawanan terhadap agresi, invasi, dan imperialisme Belanda di wilayah kesultanan Buton pada abad ke-18. Himayatuddin pernah menjabat dua kali dipilih jadi sultan, yakni sebagai Sultan Buton ke-XX (1750-1752) dan ke-XXIII (1760-1760). Beliau wafat pada tahun 1776 masehi.

    Ia mendapat gelar pahlawan karena kegigihannya melawan penjajah Belanda di Tanah Air. Bahkan, ia sampai harus sempat turun tahta akibat perlawanannya dulu.

    KH Masjkur

    Alhamdulillah, KH Masjkur insya Allah akan dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional, pada 10 November 2019.#KyaikuPahlawanku

    | simak sosok beliau berikut ini. 👇🏻

    credit: @nahdlatululama pic.twitter.com/N4pjOSX6c1

    — PWNU Jatim | #HariSantri2019 (@pwnujatim) November 7, 2019

    KH Masjkur adalah tokoh dan ulama dari Nahdlatul Ulama. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Agama di tiga era Perdana Menteri, yakni Amir Syarifuddin, Mohammad Hatta, Soesanto Tirtopordjo atau sekitar periode 1947-1949. Kemudian menjadi Menteri Agama lagi di era Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo sekitar periode 1953-1955. 

    Pada zaman perjuangan kemerdekaan, KH Masjkur ikut menjadi anggota BPUPKI. Ia juga pernah tercatat sebagai pendiri Pembela Tanah Air (PETA), yang kemudian berubah nama Laskar Rakyat dan akhirnya menjadi TNI. Pada pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, ia memimpin barisan Sabilillah. 

    Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan enam nama pahlawan nasional pada 2018 melalui SK Presiden Nomor 123/TK tahun 2018 tentang Penganugrahan Gelar Pahlawan Nasional.

    Enam orang itu yakni almarhum Abdurrahman Baswedan, tokoh dari Provinsi DI Yogyakarta; almarhumah Agung Hajjah Andi Depu, tokoh dari Provinsi Sulawesi Barat; dan almarhum Depati Amir, tokoh dari Provinsi Bangka Belitung.

    Kemudian, almarhum Mr. Kasman Singodimedjo, tokoh dari Provinsi Jawa Tengah; almarhum Ir. H. Pangeran Mohammad Noor, tokoh dari Provinsi Kalimantan Selatan; dan almarhum Brigjen KH Syam’un, tokoh dari Provinsi Banten.    

  • KH Mas Mansur, Pahlawan Nasional dari Muhammadiyah yang karib KH Wahab

    KH Mas Mansur, Pahlawan Nasional dari Muhammadiyah yang karib KH Wahab

    Surabaya (ANTARA) – Organisasi Muhammadiyah, yang kini memasuki ulang tahun (milad) ke-112 sejak didirikan di Yogyakarta pada 18 November 1912, memiliki hubungan erat dengan sosok KH Mas Mansur.

    KH Mas Mansur, sosok Pahlawan Nasional Indonesia adalah pendiri Muhammadiyah Cabang Surabaya pada 17 April 1921, sembilan tahun setelah organisasi tersebut berdiri di Yogyakarta.

    KH Mas Mansur lahir pada 25 Juni 1896 di Kampung Sawahan, Surabaya, dan wafat pada usia 50 tahun pada 25 April 1946. KH Mas Mansur adalah putra KH Mas Ahmad Marzoeki, seorang imam Masjid Ampel, dan Hj Raudhah Sagipoddin dari keluarga pesantren di Sidoresmo, Surabaya.

    Ketertarikan KH Mas Mansur terhadap metode dakwah KH Ahmad Dahlan menjadi salah satu alasan utama ulama kharismatik itu bergabung dengan Muhammadiyah.

    Ketertarikan tokoh besar itu diungkap dalam buku “KH Mas Mansur Sapu Kawat Jawa Timur”, yang awalnya merupakan skripsi karya DR H. Syaifullah, M.Ag.,.

    Buku yang mengupas perjalanan hidup KH Mas Mansur, mulai dari masa mudanya hingga perannya sebagai tokoh nasional, itu kemudian diterbitkan lewat suntingan naskah oleh PW Muhammadiyah Jatim, H. Nadjib Hamid.

    Dalam bedah buku “KH Mas Mansur Sapu Kawat Jawa Timur” di Surabaya (27/10), diceritakan masa muda KH Mas Mansur diisi dengan pendidikan di Pesantren Syaikhona Cholil, Bangkalan, Madura, di mana ia bertemu KH Wahab Hasbullah, salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU).

    Setelah dua tahun mondok di Bangkalan, KH Mas Mansur berangkat ke Mekkah pada usia 12 tahun bersama KH Wahab Hasbullah. Kedua kawan akrab itu agaknya mewarisi “keakraban” KHM Hasyim Asy’ari (pendiri NU) dan KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) yang juga sama-sama pernah mondok di pesantren Bangkalan.

    Keberadaan keduanya untuk belajar itu juga menandai “pertemuan” KHM Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan di Mekkah. Ada sebuah tugu/prasasti yang menandai pertemuan kedua tokoh dari dua organisasi besar di Indonesia itu.

    Di Mekkah, KH Mas Mansur menyaksikan gejolak Perang Dunia I, yang membuat KH Wahab Hasbullah kembali ke Indonesia, sementara KH Mas Mansur melanjutkan studi ke Universitas Al-Azhar, Mesir, selama empat tahun. Di Mesir, ia terpengaruh oleh pemikiran modernisme Islam dari Syeikh Rasyid Ridha, murid modernis Muhammad Abduh.

    Sepulangnya ke Indonesia pada 1915 saat berusia 19 tahun, KH Mas Mansur tidak ke Surabaya lebih dulu melainkan langsung menuju Yogyakarta untuk bertemu KH Ahmad Dahlan.

    Dalam pertemuan itu, ia terkesan dengan metode “tafsir langsung action” KH Ahmad Dahlan, seperti penafsiran QS Al-Maun yang diwujudkan dalam aksi nyata berupa pendirian PKU Muhammadiyah (sosial), rumah sakit pendidikan (kesehatan), dan aksi kemasyarakatan atau kegiatan sosial lainnya.

    Sapu kawat Jawa Timur

    Pada 1921, enam tahun setelah kembali ke Indonesia, KH Mas Mansur meminta KH Ahmad Dahlan datang ke Surabaya dan menginap di tempat tinggalnya.

    Dalam kesempatan itu, KH Mas Mansur menyatakan bergabung dengan Muhammadiyah dan ditunjuk sebagai Ketua Muhammadiyah Cabang Surabaya pada 17 April 1921. KH Ahmad Dahlan menggambarkan KH Mas Mansur sebagai “sapu kawat Jawa Timur,” yang melambangkan kemampuan KH Mas Mansur menyelesaikan berbagai persoalan, dari a sampai z.

    Dari kepemimpinan di Surabaya, KH Mas Mansur terus naik ke posisi strategis di Muhammadiyah, dari PWM Jatim hingga PP Muhammadiyah, termasuk mengusulkan pembentukan Majelis Tarjih pada 1927 dan lebih mengimplementasikan “gaya” KH Ahmad Dahlan..

    Di tingkat pusat, KH Mas Mansur berperan dalam mengembangkan metode dakwah yang lebih modern dan terorganisasi.

    KH Mas Mansur tidak hanya dikenal sebagai ulama, tetapi juga sebagai aktivis pergerakan nasional. Ketika belajar di Yogyakarta, ia juga mengajar dan tinggal di kompleks rumah guru Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, yang bersebelahan dengan rumah Bung Karno. KH Mas Mansur sempat menjadi saksi sekaligus penghulu dalam pernikahan Bung Karno dengan Fatmawati.

    Di Surabaya, ia aktif berdiskusi dengan tokoh pergerakan seperti HOS Tjokroaminoto. Pada 1937-1943, KH Mas Mansur bersama Ki Bagus Hadikusumo menjadi anggota PPKI dan pada tahun 1943 di BPUPKI, yang merupakan langkah awal dalam pembentukan negara Indonesia.

    “KH Mas Mansur memang merupakan sosok yang lengkap, beliau merupakan agamawan, pendidik, politik/orator, dan jurnalis/redaktur,” kata Dr. H. Syaifullah MAg, penulis buku “KH Mas Mansur Sapu Kawat Jawa Timur”.

    KH Mas Mansur dikenal sebagai “4 serangkai “ dalam MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia) yakni Wahono/ketua, KH Wahab Hasbullah, KH Ahmad Dahlan Achyat, dan KH Mas Mansur,” dan PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat), bersama tokoh-tokoh nasional seperti Bung Karno, Bung Hatta, dan Ki Hajar Dewantara.

    KH Mas Mansur wafat pada 25 April 1946 dalam usia yang relatif muda akibat perlakuan buruk dari pihak NICA. KH Mas Mansur dipenjara dua kali karena dianggap berkolaborasi dengan Jepang, meskipun kontribusinya terhadap perjuangan kemerdekaan tidak diragukan.

    Penyiksaan di penjara, termasuk suntikan zat kimia berbahaya, mengakibatkan kerusakan saraf yang pada akhirnya merenggut nyawanya. “Saat keponakannya membesuk di penjara pun diancam macam-macam, namun dimaklumi karena faktor syaraf itu,” kata Syaifullah.

    Editor: Primayanti
    Copyright © ANTARA 2024