Evolusi Syarat Capres-Cawapres: Dari Era Soekarno hingga Kini
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Syarat untuk menjadi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Indonesia mengalami perjalanan panjang, mengikuti perubahan konstitusi dan dinamika politik sejak era Presiden Pertama RI, Soekarno hingga kini.
Dari semula berlandaskan semangat revolusi dan perjuangan kemerdekaan, kini ketentuan itu kian kompleks, menyesuaikan sistem demokrasi elektoral yang diatur undang-undang dan peraturan pemilu.
Pakar kepemiluan Titi Anggraini menilai, perubahan syarat pencalonan dari masa ke masa menunjukkan dua sisi mata uang antara demokratisasi dan pembatasan.
“Kalau kita telusuri, syarat pencalonan presiden dan wakil presiden memang mengalami pergeseran mengikuti dinamika politik dan perubahan konstitusi. Pada masa awal kemerdekaan, syaratnya sederhana dan menekankan integritas kebangsaan. Setelah reformasi, muncul penegasan baru seperti kewajiban dukungan partai serta syarat administratif dan moral yang lebih detail,” kata Titi kepada Kompas.com, Jumat (10/10/2025).
Namun, menurutnya, perubahan itu tidak selalu identik dengan penguatan demokrasi.
“Ada kecenderungan bahwa regulasi pencalonan semakin berfungsi sebagai instrumen kontrol politik dan pembatasan untuk ikut berkontestasi, bukan untuk penyaringan calon yang berkualitas,” kata dia.
Pada masa awal kemerdekaan, konstitusi Indonesia masih sederhana.
UUD 1945 sebelum amendemen menyebutkan presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Tidak ada mekanisme pemilihan langsung, dan tidak ada syarat elektoral yang rumit.
Syarat utama seorang calon presiden saat itu hanya mencakup warga negara Indonesia sejak lahir, tidak pernah menerima kewarganegaraan lain, dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam praktiknya, Soekarno terpilih secara aklamasi oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 sebagai presiden pertama RI, tanpa ada kompetisi politik atau mekanisme pencalonan seperti saat ini.
Memasuki masa Orde Baru, mekanisme pemilihan presiden tetap dilakukan oleh MPR.
Namun, prosesnya berubah menjadi sangat formalistik.
Presiden Soeharto terpilih secara berulang melalui MPR dengan pencalonan yang praktis tanpa pesaing.
Syarat calon presiden tetap merujuk pada UUD 1945, tetapi dalam praktiknya, dukungan politik di MPR yang didominasi Golkar dan ABRI memastikan Soeharto menjadi calon tunggal.
Meski demikian, pada masa ini mulai diperkenalkan ketentuan administratif, seperti batas usia minimum 35 tahun dan kewajiban setia kepada Pancasila dan UUD 1945.
Perubahan besar terjadi setelah amendemen UUD 1945 pada awal 2000-an.
Amandemen ketiga UUD mengubah sistem pemilihan presiden menjadi langsung oleh rakyat.
Pasal 6A UUD 1945 hasil amendemen menegaskan, pasangan capres-cawapres diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.
Sejak saat itu, aturan teknis diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Pemilu.
Pada Pemilu 2004, Indonesia untuk pertama kalinya menggelar pemilihan presiden secara langsung.
Syarat pencalonan diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2003, yang mewajibkan partai politik atau gabungan partai memiliki sekurang-kurangnya 15 persen kursi DPR atau 20 persen suara sah nasional.
Ambang batas ini, yang dikenal sebagai presidential threshold, kemudian menjadi perdebatan panjang karena dianggap membatasi munculnya alternatif calon di luar partai besar.
Titi menilai,
presidential nomination threshold
merupakan salah satu hambatan paling nyata terhadap demokratisasi elektoral di Indonesia.
“Awalnya, aturan ini dimaksudkan untuk memperkuat sistem presidensial agar tidak terlalu fragmentaris. Tapi dalam praktiknya justru membatasi jumlah calon, menghambat regenerasi elite, dan mempersempit pilihan rakyat,” ujarnya.
Menurutnya, ambang batas pencalonan presiden telah mengubah hak pencalonan menjadi privilege partai besar.
“Dalam sistem presidensial yang demokratis, setiap partai peserta pemilu seharusnya memiliki hak yang sama untuk mengajukan pasangan calon. Membatasi pencalonan berbasis hasil pemilu legislatif sebelumnya sangat tidak relevan, baik secara konstitusional maupun demokratis,” jelas Titi.
Ia menambahkan, untuk menjaga efektivitas pemerintahan presidensial, bukan jumlah calon yang harus dibatasi, melainkan sistem kepartaian dan proses pencalonannya yang diperkuat.
“Caranya dengan mendorong koalisi berbasis platform serta memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pencalonan,” kata Titi.
Dalam perkembangannya, peraturan pemilu terus berubah.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 mempertegas kembali ambang batas pencalonan sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK) juga beberapa kali memutus perkara yang berkaitan dengan syarat pencalonan, termasuk soal usia minimal capres-cawapres dan status pejabat kepala daerah.
Putusan MK pada 2023, misalnya, membuka peluang bagi kepala daerah berusia di bawah 40 tahun untuk maju sebagai calon wakil presiden, asalkan berpengalaman sebagai kepala daerah terpilih.
Putusan ini memicu perdebatan publik karena dianggap membuka ruang politik dinasti.
Titi menilai, perdebatan batas usia menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia belum sepenuhnya mencapai meritokrasi dan keadilan kesempatan.
“Batas usia dibenarkan jika tujuannya memastikan kematangan dan kapasitas calon. Tapi kalau digunakan secara politis untuk membuka jalan bagi pihak tertentu atau menutup peluang pihak lain, maka itu bentuk ketidakadilan baru,” katanya.
Ia menegaskan, fenomena politik dinasti bukan semata soal hubungan keluarga, tetapi menyangkut etika kekuasaan.
“Demokrasi akan tetap sehat selama peluang politik didasarkan pada kemampuan dan pilihan rakyat, bukan pada akses istimewa terhadap sumber daya negara,” ujar Titi.
Untuk itu, menurutnya, arah regulasi ke depan perlu difokuskan pada pencegahan penyalahgunaan kekuasaan, bukan sekadar pelarangan hubungan keluarga semata.
Titi juga menekankan pentingnya penguatan proses rekrutmen politik di internal partai.
“Salah satu caranya dengan menerapkan syarat minimal sebagai kader bagi calon yang akan dinominasikan partai. Misalnya, berstatus sebagai kader minimal tiga tahun bagi calon anggota DPR dan DPRD. Dengan begitu, mereka yang dicalonkan benar-benar hasil proses kaderisasi,” ucapnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Organisasi: PPKI
-

Warga Malaysia Ingin Gabung ke RI, Kibarkan Bendera Merah Putih
Jakarta, CNBC Indonesia – Indonesia dan Malaysia adalah dua negara yang bertetangga. Sekitar delapan dekade lalu, kedua bangsa serumpun Melayu ini hampir dipersatukan di bawah satu pemerintahan bernama Negara Indonesia Raya.
Namun, rencana besar itu akhirnya gagal terwujud, meski kala itu warga Malaysia sudah sempat mengibarkan bendera Merah Putih.
Cerita bermula pada 12 Agustus 1945 ketika 3 tokoh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ketiga tokoh itu adalah Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat, dipanggil ke Dalat, Vietnam, untuk bertemu Marsekal Terauchi.
Pemimpin militer Jepang di Asia Tenggara itu menjanjikan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus 1945.
Dalam perjalanan pulang, rombongan Soekarno singgah di Singapura dan melanjutkan ke Taiping, Perak, guna bertemu tokoh nasionalis Melayu Ibrahim Yaacob dan Burhanuddin Al-Helmy. Keduanya adalah pemimpin Kesatuan Melayu Muda (KMM) dan Kesatuan Rakyat Indonesia Semenanjung (KRIS) yang berjuang membebaskan Malaya dari Inggris.
Pertemuan tersebut melahirkan gagasan Negara Indonesia Raya, yang mencakup Indonesia, Malaya, Singapura, Brunei, dan Kalimantan Utara. Menurut peneliti Graham Brown dalam risetnya tahun 2005, ide ini lahir dari kolaborasi tokoh lokal dengan Jepang.
Dalam kesempatan itu, Soekarno mengatakan: “Mari kita ciptakan satu tanah air bagi mereka yang berdarah Indonesia.”
Ibrahim Yaacob pun menjawab: “Kami orang Melayu akan setia menciptakan tanah air dengan menyatukan Malaya dengan Indonesia yang merdeka.”
Namun, rencana penyatuan itu tidak mendapat persetujuan penuh. Sejarawan Boon Kheng Cheah menulis dalam Red Star Over Malaya (1983), ada kemungkinan Mohammad Hatta dan tokoh lain menolak ide persatuan tersebut.
Tak lama berselang, Jepang menyerah kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945. Situasi itu mendorong golongan muda di Jakarta mendesak proklamasi kemerdekaan segera dilakukan. Setelah drama Rengasdengklok, Indonesia akhirnya merdeka pada 17 Agustus 1945, lebih cepat dari rencana Jepang.
Sejak saat itu, gagasan Indonesia Raya pun kandas. Ibrahim Yaacob harus mengubah arah perjuangannya, sementara Malaysia baru meraih kemerdekaan 12 tahun kemudian, tepatnya pada 31 Agustus 1957.
Catatan:
Naskah ini merupakan bagian dari CNBC Insight, rubrik yang menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu. Lewat kisah seperti ini, CNBC Insight juga menghadirkan nilai-nilai kehidupan dari masa lampau yang masih bisa dijadikan pelajaran di hari ini.
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
-
/data/photo/2022/01/14/61e1552a88494.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
DPR HUT ke-80 pada Hari Ini, Ini Sejarah Terbentuknya Parlemen di RI Nasional 29 Agustus 2025
DPR HUT ke-80 pada Hari Ini, Ini Sejarah Terbentuknya Parlemen di RI
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com
– Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memasuki usia ke-80 tahun yang diperingatkan setiap 29 Agustus.
Pada usia yang ke-80 tahun, DPR saat ini tengah menjadi sorotan publik karena berbagai tunjangan besar yang mereka terima.
Salah satunya adalah tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan yang diterima oleh setiap anggota DPR.
Selain tunjangan, pernyataan kontroversial sejumlah legislator juga tengah dikritik, karena dianggap tidak mencerminkan sosok yang mewakili rakyat.
Hal tersebut membuat sejumlah kelompok masyarakat geram dan menggelar aksi di sekitaran Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Senin Senin (25/8/2025) dan Kamis (28/8/2025).
Massa yang menggelar demonstrasi datang dari beragam kalangan, seperti mahasiswa, buruh, hingga pengemudi ojek online.
Jauh sebelum kontroversinya pada belakangan ini, ada baiknya kembali ke belakang untuk melihat sejarah terbentuknya DPR yang diperingatkan setiap 29 Agustus.
DPR memiliki tugas sebagai lembaga pengawasan atas kebijakan yang dibuat pemerintah dan sejumlah lembaga negara lainnya. Selain itu, DPR juga berfungsi sebagai lembaga legislasi dan anggaran.
Awal mula terbentuknya DPR sebetulnya sudah ada cikal bakalnya sejak zaman penjajahan Belanda, tepatnya sejak 1916.
Saat itu, pemerintahan Belanda di Indonesia membentuk parlemen bernama Volksraad. Namun berakhirnya masa penjajahan Belanda di Indonesia membuat
Volksraad
tidak diakui lagi.
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menetapkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang kita kenal sebagai Undang-undang Dasar (UUD) 1945.
ANTARAFOTO/Dhemas Reviyanto Suasana saat Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato dalam Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR-DPD RI Tahun 2025 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (15/8/2025). ANTARAFOTO/Dhemas Reviyanto/app/rwa.
Maka mulai saat itu, penyelenggara negara didasarkan pada ketentuan-ketentuan menurut Undang-undang Dasar 1945.
Sistem semacam parlemen baru pun mulai dibentuk pada era kemerdekaan Indonesia. Sesuai dengan ketentuan dalam Aturan Peralihan pada 29 Agustus 1945, dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat atau KNIP beranggotakan 137 orang.
Komite Nasional Indonesia Pusat ini diakui sebagai cikal bakal lembaga parlemen di Indonesia. Tanggal ini pula yang dijadikan sebagai hari lahir DPR.
Kala itu KNIP ini diketuai oleh Kasman Singodimedjo dan Wakil Ketuanya yang terdiri dari Sutardjo Kartohadikusumo, J. Latuharhary, dan Adam Malik.
Dalam masa awal ini, KNIP telah mengadakan sidang di Solo pada 1946, Malang pada 1947, dan Yogyakarta pada 1949.
Tidak sampai di situ, KNIP mengalami sejumlah perubahan pada 15 Februari 1950. Mulai dari DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 15 Februari 1950-16 Agustus 1950.
Kemudian berubah menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) pada 16 Agustus 1950-26 Maret 1956. Lalu, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) pada 26 Juni 1960-15 November 1965.
Hingga akhirnya menjadi DPR lewat hasil pemilihan umum (pemilu) kedua di Indonesia pada DPR 28 Oktober 1971.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Peristiwa 15 Agustus 1945: Indonesia alami kekosongan kekuasaan
Sumber foto: https://shorturl.at/uLtQS/elshinta.com.
Peristiwa 15 Agustus 1945: Indonesia alami kekosongan kekuasaan
Dalam Negeri
Editor: Sigit Kurniawan
Jumat, 15 Agustus 2025 – 06:12 WIBElshinta.com – Pada tanggal 15 Agustus 1945 terjadi kekosongan kekuasaan di Indonesia. Hal tersebut terjadi karena Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.
Berikut ini kronologi kekosongan kekuasaan atau disebut vacuum of power yang terjadi pada tanggal 15 Agustus 1945 di Indonesia.
Indonesia pernah mengalami kekosongan kekuasaan pada tanggal 15 Agustus 1945. Dalam sejarah penjajahan di Indonesia, Jepang mulai berkuasa pada Maret 1942.
Pada saat itu, Jepang tengah terlibat Perang Dunia II, khususnya Perang Asia-Pasifik melawan Sekutu. Pada 6 dan 9 Agustus 1945, bom atom dijatuhkan oleh Sekutu di Hiroshima dan Nagasaki.
Kehancuran yang disebabkan oleh dua bom atom tersebut membuat pemerintahan Jepang melihat bahwa mereka tidak bisa lagi menghindari kekalahan dari Sekutu.
Akhirnya, pada 14 Agustus 1945 Kaisar Jepang Hirohito memutuskan untuk menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.
Menyerah tanpa syarat berarti penyerahan di mana tidak ada jaminan apapun yang diberikan kepada pihak yang menyerah.
Keesokan harinya, pada 15 Agustus 1945, Kaisar Hirohito menyampaikan langsung keputusan menyerahnya Jepang tanpa syarat kepada Sekutu melalui radio nasional.
Menyerahnya Jepang kepada Sekutu menimbulkan kekosongan kekuasaan di Indonesia.
Sebenarnya Jepang berusaha menyembunyikan berita penyerahannya supaya tidak terdengar oleh para pemuda Indonesia.
Akan tetapi, berita penting itu terdengar oleh salah satu tokoh golongan muda Indonesia, yakni Sutan Syahrir.
Menyadari adanya kekosongan kekuasaan, Syahrir segera mengajak para pejuang golongan muda untuk mendesak Soekarno agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Melansir laman Kementerian Sekretariat Negara RI, pada 15 Agustus 1945 sekitar pukul 22.00 WIB, di kediaman Bung Karno berlangsung perdebatan antara golongan pemuda dengan Soekarno-Hatta.
Perbedaan pendapat antara golongan tua dan muda mengenai proklamasi terletak pada masalah waktu. Soekarno tetap berpendapat bahwa Jepang masih berkuasa secara de facto.
Karena itu, Soekarno ingin sidang bersama PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) terlebih dulu, yang tugasnya mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.
Pertimbangan Soekarno untuk mengadakan sidang bersama PPKI sebelum proklamasi kemerdekaan yakni agar tidak terjadi pertumpahan darah dengan tentara Jepang.
Hatta juga menyampaikan bahwa usul para pemuda tidak dapat diterima dengan alasan kurang perhitungan serta kemungkinan timbulnya banyak korban jiwa dan harta.
Sumber : Elshinta.Com
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5312665/original/013938300_1754971391-WhatsApp_Image_2025-08-12_at_10.54.45.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kisah Soekarno-Hatta Tertawa Terpingkal Ditunjuki Asap Revolusi Ternyata Petani Bakar Jerami – Page 3
80 tahun lalu pada 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Lambert Giebels, penulis biografi Bung Karno menyebut proklamasi RI sebagai salah satu paling sederhana pernah ada di dunia. Mulai hari ini Liputan6.com akan menurunkan serial tulisan tentang peristiwa unik dan menarik sekitar Proklamasi Kemerdekaan RI. Tulisan tersebut kami kumpulkan dalam TAG Mozaik Proklamasi. Selamat menikmati.
Liputan6.com, Jakarta – Proklamasi kemerdekaan Indonesia terwujud setelah suasana perbedaan pendapat antara kelompok muda dan kelompok tua. Bahkan perbedaan pendapat itu sebenarnya sudah berlangsung sejak sebelum Proklamasi. Sebenarnya, baik kelompok tua maupun kelompok muda memiliki tujuan sama yaitu mengantar Indonesia menuju kemerdekaan, hanya caranya berbeda.
Kelompok muda sesuai kehendak alamiah pemuda menghendaki cara revolusioner yaitu Proklamasi diselenggarakan sesegera mungkin untuk menunjukkan kemerdekaan diraih tanpa campur tangan Jepang. Sementara kelompok tua ingin Proklamasi diperhitungkan secara matang tanpa menafikan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia bentukan Jepang yang sudah bekerja sejak lama.
Setidaknya ada beberapa kelompok pendorong dinamis dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Dikutip dari Sejarah Pergerakan Nasional karya Prof Dr Suhartono terbitan Pustaka Pelajar 1994, kelompok itu antara lain kelompok Sukarni, kelompok pelajar mahasiswa, kelompok Sjahrir dan kelompok Angkatan Laut (Kaigun). Kelompok pertama ingin membentuk massa aksi untuk menghadapi pemerintah, kelompok kedua mendorong dan menyatukan pelajar dan mahasiswa dalam satu gerakan dengan menggelar rapat-rapat besar di seluruh Jakarta. Kelompok Sjahrir bekerja sama dengan Sukarni terutama melihat perkembangan politik luar negeri terkait kekalahan Jepang sementara kelompok Kaigun dimotori Subardjo, Sudiro dll mendidik pemuda menjadi tenaga penggerak Proklamasi.
Menyusul kekalahan Jepang dari Sekutu 15 Agustus 1945 para pemuda bertekad segera mewujudkan Proklamasi. Menurut mereka, Proklamasi sudah ada di tangan mereka karena sudah menguasai massa di Jakarta. Mereka mendesakkan tuntutan kepada Soekarno-Hatta agar memproklamasikan kemerdekaan secepat mungkin.
Oleh kelompok pemuda antara lain Sukarni, Chaerul Saleh, dan Wikana, Soekarno dan Hatta lantas dibawa ke Rengasdengklok, wilayah yang dikuasai Peta pada 16 Agustus agar mau menandatangani Proklamasi yang segera dibacakan. Mereka khawatir kalau tetap di Jakarta, Soekarno akan diperalat Jepang.
Dalam buku otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Soekarno menceritakan momen penculikannya ke Rengasdengklok dalam bab tersendiri berjudul “Diculik.”
“Sekarang, Bung. Sekarang. Mari kita kobarkan revolusi yang hebat malam ini juga. Kita memiliki pasukan Peta, pemuda, Barisan Pelopor, bahkan heiho sudah siap semua. Bila Bung memberi sinyal, seluruh Jakarta akan terbakar. Ribuan pasukan bersenjata dan pasukan yang dipersiapkan akan mengepung kota, melaksanakan revolusi bersenjata dan menghancurkan seluruh tentara Jepang,” kata Chaerul Saleh malam itu jelang membawa Bung Karno ke Rengasdengklok.
“Coba buktikan kepada saya. Saya tidak yakin atas kekuatanmu!” timpal Soekarno. “Kami sudah siap mempertaruhkan semua jiwa kami,” balas para pemuda.
“Ya saya tahu. Akan tetapi kekuatan yang segelintir itu tidak cukup untuk melawan kekuatan bersenjata dan kesiapan total dari tentara Jepang.Coba, apa yang bisa kau perlihatkan kepada saya. Mana bukti kekuatan yang diperhitungkan itu. Apa tindakan keamananmu untuk menyelamatkan perempuan dan anak-anak? Bagaimana pandangan tentang cara mempertahankan kemerdekaan setelah diplokamirkan? Kita tidak akan mendapat bantuan dari Jepang atau Sekutu. Coba bayangkan kita akan tegak di atas kekuatan sendiri,” ujar Soekarno kesal.
Singkat cerita, para pemuda tetap membawa Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok pada 16 Agustus selepas sahur (saat itu bulan Ramadan) hingga sore hari. Revolusi di Jakarta yang dikatakan para pemuda itu tidak ada. Yang dikatakan rakyat akan melucuti Jepang tidak ada. Tidak terjadi apa-apa di Jakarta hari itu.
Hatta menjelaskan momen seharian di Rengasdengklok dalam buku Hatta Menjawab terbitan Gunung Agung 1978. Dia mengatakan kepada Dr Z Yasni yang mewawancarainya. “Kami menunggu dan menunggu saja sejak pagi itu. Kerja kami sama Bung Karno tak lain hanya berganti-ganti dengan Fatmawati memangku dan menenangkan Guntur (Guntur Soekarnoputra ketika itu berusia 8 bulan) yang menangis terus karena tidak ada susu.”
Sejarah kemudian bicara bahwa Proklamasi tidak bisa dipaksakan oleh kelompok radikal di bawah Sukarni dkk. Taktik intimidasi ternyata tidak bisa melawan hukum revolusi bahwa perubahan besar terjadi jika dikemudikan pemimpin yang tahu apa maunya, pandai membuat perhitungan tepat dan mampu mengukur kekuatan lawan.
Sore hari 16 Agustus 1945, Soekarno, Hatta, Fatmawati dan Guntur dijemput Soebardjo kembali ke Jakarta. Di sinilah momen lucu itu terjadi. Bersama mereka itu Sukarni mengantar ke Jakarta dengan sedikit-sedikit memegang pistol sepanjang perjalanan.
Selagi melewati wilayah Klender (sekarang jakarta Timur), mereka melihat asap api kebakaran di kejauhan. Sukarni yang gelisah meloncat dari duduknya. “Ha” teriaknya. “Lihatlah! Itu sudah mulai. Revolusi sudah berkobar persis seperti yang kami janjikan. Jakarta sudah terbakar. Lebih baik kita cepat-cepat kembali ke Rengasdengklok,” pekik Sukarni.
“Tidak, kita mendekat ke sana dan menyelidikinya,” perintah Soekarno.
Mereka semua keluar dari kendaraan untuk memeriksa asal asap supaya lebih jelas. Ternyata, hanya tampak petani kurus, kecil, berpakaian compang-camping sedang membakar jerami.
Soekarno menoleh ke Sukarni dan menertawakannya. “Ini hanyalah seorang marhaen membakar jerami.”
Bung Hatta juga menceritakan momen kocak tersebut. “Dan semua kami ketawa kepingkel-pingkel. Dan Sukarni kelihatan malu-malu kucing sedikit,” kata Hatta.
Dengan situasi kebatinan saat itu wajar jika Bung Karno dan Hatta tertawa terpingkal-pingkal oleh ulah Sukarni. Siapapun juga akan tertawa termasuk M. Roem yang menuliskannya dalam sebuah artikel berjudul Sukarni, Anak dari Zamannya. Artikel itu dimuat dalam buku kumpulan tulisannya Bunga Rampai dari Sedjarah terbitan Bulan Bintang 1972.
“Waktu saya membaca bagian dari Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat ini, saya tidak dapat menahan ketawa,” kata diplomat yang punya andil dalam perjanjian Roem-Royen selama revolusi Indonesia itu.
-
/data/photo/2025/07/04/686801a07f5bc.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Fadli Zon Tetapkan Hari Kebudayaan Nasional Jatuh pada 17 Oktober, Sama Seperti Ultah Prabowo
Fadli Zon Tetapkan Hari Kebudayaan Nasional Jatuh pada 17 Oktober, Sama Seperti Ultah Prabowo
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Menteri Kebudayaan
Fadli Zon
mengumumkan penetapan 17 Oktober sebagai
Hari Kebudayaan Nasional
(HKN), yang mana sama seperti tanggal ulang tahun Presiden Prabowo Subianto.
Fadli Zon mengatakan, penetapan ini merupakan langkah strategis untuk memperkuat kesadaran kolektif bangsa Indonesia tentang pentingnya pelestarian, perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan dalam pembangunan nasional yang berkelanjutan.
“Tanggal 17 Oktober dipilih berdasarkan pertimbangan kebangsaan yang mendalam, merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjojo pada 17 Oktober 1951,” ujar Fadli, kepada Kompas.com, Senin (14/7/2025).
Fadli Zon memaparkan, PP tersebut menetapkan Lambang Negara Indonesia, yaitu
Garuda Pancasila
, dengan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika
sebagai bagian integral dari identitas bangsa.
“Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar semboyan, tetapi filosofi hidup bangsa Indonesia yang mencerminkan kekayaan budaya, toleransi, dan persatuan dalam keberagaman,” ujar dia.
“PP Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara merupakan tonggak sejarah penetapan Garuda Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai simbol resmi Indonesia,” sambung Fadli Zon.
Berikut tujuan penetapan Hari Kebudayaan Nasional:
1. Penguatan Identitas Nasional – Lambang Garuda Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yang ditetapkan pada 17 Oktober 1951 adalah simbol pemersatu bangsa. Penetapan HKN diharapkan dapat mengingatkan seluruh rakyat Indonesia akan pentingnya menjaga identitas kebangsaan.
2. Pelestarian Kebudayaan – Sebagai momentum untuk mendorong upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan sebagai fondasi pembangunan.
3. Pendidikan dan Kebanggaan Budaya – Mendorong generasi muda untuk memahami akar budaya Indonesia dan menjadikannya sumber inspirasi dalam menghadapi tantangan global.
Maka dari itu, Fadli melihat 17 Oktober sebagai momen penting dalam perjalanan Indonesia.
“17 Oktober adalah momen penting dalam perjalanan identitas negara kita. Ini bukan hanya tentang sejarah, tetapi juga tentang masa depan kebudayaan Indonesia yang harus dirawat oleh seluruh anak bangsa,” kata Fadli.
Fadli mengatakan, dengan ditetapkannya HKN, pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan pemahaman publik tentang nilai-nilai kebudayaan nasional.
Selain itu, memperkuat peran kebudayaan dalam memajukan peradaban bangsa, serta menjadikan kebudayaan sebagai landasan pembangunan karakter dan kesejahteraan masyarakat.
Fadli Zon pun mengajak seluruh pemangku kepentingan, termasuk komunitas budaya, akademisi, dan masyarakat umum, untuk bersama-sama memaknai Hari Kebudayaan Nasional sebagai bagian dari upaya kolektif membangun Indonesia yang beradab dan berbudaya.
Sementara itu, Fadli mengungkapkan usulan ini awalnya datang dari kalangan seniman dan budayawan Yogyakarta yang terdiri dari para maestro tradisi dan kontemporer.
Mereka melakukan kajian sejak Januari 2025 dan disampaikan ke Kementerian Kebudayaan setelah beberapa kali diskusi mendalam.
Berikut sejumlah pertimbangan penetapan tanggal 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan:
1. Secara historis, tanggal 17 Oktober memiliki makna yang kuat dalam sejarah Kebudayaan Indonesia.
Pada 17 Oktober 1951, Presiden Soekarno secara resmi menetapkan Bhinneka Tunggal Ika sebagai bagian dari lambang Garuda Pancasila melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 1951 yang ditandatangani Presiden Sukarno tentang Lambang Negara Garuda Pancasila yang di dalamnya mengandung simbolisasi hari kemerdekaan, dasar negara, serta semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
2. Dalam Penjelasan PP Nomor 66 Tahun 1951 Pasal 5, tentang makna semboyan Bhinneka Tunggal Ika, disebutkan bahwa perkataan Bhinneka itu ialah gabungan dua perkataan: “bhinna” (berbeda) dan “ika” (satu): berbeda-beda tetapi tetap satu jua, menggambarkan persatuan atau kesatuan Nusa dan Bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam etnis, suku, bahasa, dan agama yang berbeda.
3. Semangat mempersatukan bangsa Indonesia sebagaimana makna pada semboyan Bhinneka Tunggal Ika mulai muncul sejak Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, dan Sidang BPUPKI/PPKI 1945.
Pada sidang BPUPKI, M Yamin, Bung Karno, dan I Bagus Sugriwa menemukan kalimat di Kitab Sutasoma “Bhinneka Tunggal Ika. Tan Hana Dharma Mangrowa” yang memiliki arti “Walaupun berbeda-beda, tetapi tetap satu jua.”
Semboyan ini menekankan persatuan di tengah keberagaman budaya, suku, agama, dan ras di Indonesia yang selanjutnya menjadi simbol bahwa budaya adalah perekat keberagaman di Indonesia yang mampu menyatukan perbedaan sehingga menjadi fondasi bagi kerukunan bangsa.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Hari Bhayangkara ke-79 Diperingati 1 Juli 2025: Menapaki Sejarah Panjang Polri
PIKIRAN RAKYAT – Setiap tanggal 1 Juli, bangsa Indonesia memperingati Hari Bhayangkara sebagai tonggak kelahiran Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Tahun ini, perayaan tersebut memasuki usia ke-79. Momen ini menjadi refleksi perjalanan panjang Polri dalam menjaga keamanan, ketertiban, dan penegakan hukum sejak masa kemerdekaan hingga era modern.
Peringatan Hari Bhayangkara tahun ini diselenggarakan di kawasan Monas, Jakarta Pusat. Sejumlah atraksi teknologi kepolisian, termasuk robot humanoid milik Polri, turut ditampilkan dalam gladi kotor jelang acara puncak pada Selasa, 1 Juli 2025.
Jejak Sejarah Hari Bhayangkara
Penetapan Hari Bhayangkara merujuk pada Penetapan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1946, yang secara resmi menyatakan pembentukan Djawatan Kepolisian Negara. Tanggal 1 Juli 1946 inilah yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahir Polri.
Namun jejak sejarah Polri jauh lebih tua, menelusuri akar budaya dan masa kolonial. Istilah “Bhayangkara” berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti penjaga atau pelindung. Nama ini merujuk pada pasukan elit yang dibentuk oleh Patih Gajah Mada pada masa Kerajaan Majapahit, dengan tugas utama menjaga keselamatan raja dan stabilitas kerajaan.
Masa Kolonial dan Pendudukan Jepang
Pada masa penjajahan Belanda, sistem kepolisian mulai dibentuk secara modern. Sekitar tahun 1897 hingga 1920, dibentuk satuan-satuan kepolisian yang merekrut pribumi melalui pelatihan dan seleksi ketat. Formasi inilah yang kemudian menjadi cikal bakal institusi Polri.
Saat Jepang menduduki Indonesia, struktur kepolisian kembali berubah. Jepang membentuk korps kepolisian di berbagai wilayah, termasuk di Jakarta, Bukittinggi, Makassar, dan Banjarmasin. Para pegawai pribumi dari sistem Jepang ini kemudian menjadi bagian penting dalam pembentukan kepolisian nasional pascakemerdekaan.
Lahirnya Kepolisian Negara
Setelah Indonesia merdeka, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 19 Agustus 1945 menetapkan pembentukan lembaga Kepolisian Negara. Tak lama kemudian, pada 29 September 1945, Presiden Soekarno menunjuk Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo sebagai Kepala Kepolisian Negara pertama.
Pada masa awal, Djawatan Kepolisian Negara berada di bawah Kementerian Dalam Negeri, namun operasionalnya dijalankan oleh Jaksa Agung. Barulah pada 1 Juli 1946, pembentukan kepolisian secara mandiri diresmikan melalui regulasi negara, yang menjadi dasar peringatan Hari Bhayangkara.
Polri terus mengalami perubahan struktural dan kebijakan. Pada tahun 1969, Polri ditetapkan sebagai institusi yang berdiri sendiri. Berbagai upaya modernisasi dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme dan pelayanan kepada masyarakat, termasuk penguatan teknologi, integritas personel, dan kolaborasi dengan berbagai pihak dalam menjaga keamanan nasional.
Hari Bhayangkara ke-79 bukan hanya sekadar seremoni, tetapi juga momentum evaluasi dan apresiasi terhadap dedikasi seluruh jajaran kepolisian yang telah mengabdi untuk bangsa dan negara.***
-

Sri Mulyani ‘Bingung’ WTO Letoy
Oleh: Sefdin Alamsyah*
MENTERI Keuangan Sri Mulyani menyebut Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sangat tidak berguna di era sekarang. Itu dikatakan perempuan berdarah Kebumen yang lahir di Lampung itu, dalam forum CNBC Economic Update 2025 di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Rabu 18 Juni 2025, yang dilansir banyak media.
“Hari ini negara-negara besar tidak mempercayai lembaga multilateral karena merasa tidak terwadahi interest-nya. Sehingga negara-negara yang kuat merasa; ‘That I have to solve my own problem, without using those multilateral institution’,” tegas Ani.
Masih kata Ani, saat ini era sudah bergeser ke unilateral. Ini utamanya terjadi imbas Amerika Serikat (AS) yang selalu merasa sebagai korban globalisasi. Padahal, lanjut Ani, WTO dan organisasi global lain awalnya dibentuk oleh AS bersama negara G7.
Ani juga menyinggung negara di dunia sekarang lebih memilih mengamankan kepentingan masing-masing. Ini yang akhirnya melanggengkan persaingan politik, ideologi, militer, keamanan, sampai ekonomi.
“Coba kita lihat akhir-akhir ini, dalam dua bulan terakhir. Negara terbesar, Amerika Serikat, terkuat, ekonominya terbesar yang merasa menjadi victim dari globalisasi yang merupakan sistem yang diadvokasi oleh Amerika Serikat sendiri,” sambung Ani.
Pernyataan Ani ini seperti menunjukkan kebingungan. Karena tidak ada teori yang bisa menjawab situasi saat ini. Padahal, teorinya sederhana: Karma. Negara-negara yang dulu mengimpor mazhab pasar bebas, ekonomi neoliberal dan globalisasi sekarang sedang terkena karmanya sendiri.
AS sekarang APBN-nya suffering. Karena harus menanggung biaya social safety net yang begitu besar. Akibat dari industri manufakturnya yang jeblok. Karena perusahaan di AS yang sudah diberi ruang oleh globalisasi melalui model ekonomi pasar bebas, memindahkan pabrik-pabriknya ke Asia-Afrika yang biaya buruhnya lebih murah.
Celakanya, hasil keuntungan mereka tidak lagi masuk ke AS. Tapi parkir dan diinvestasikan lagi di beberapa negara di luar AS. Hasilnya? Pajak yang masuk ke AS mengecil. Akibatnya: APBN negara Paman Sam itu “keringat dingin”. Karena harus membiayai penduduknya yang menjadi pengangguran dan angkanya meningkat.
Skenario Trump menggunakan senjata hambatan tarif sejatinya adalah upaya untuk melakukan Reshoring. Untuk memindahkan kembali operasi produksi perusahaan AS dari luar negeri ke AS. Tapi rupanya doktrin ekonomi liberal dan globalisasi lebih menarik perusahaan AS untuk melakukan offshoring. Alias memindahkan operasi produksi ke luar negeri untuk mengurangi biaya produksi.
China, sejak 40 tahun yang lalu, sebagai negara yang paling banyak menerima tamu perusahaan-perusahaan asing, cerdik mengelola. China sadar. Dirinya dituju karena upah buruh yang murah. Bukan karena persahabatan. Tapi karena buruh yang pekerja keras. Tidak banyak istirahat. Apalagi merokok sambil kerja.
Sekarang tiba-tiba Trump marah-marah ke China. Rupanya Trump terlambat menbaca buku ‘Globalization and Its Discontents’ karya Joseph E. Stiglitz. Yang membahas kritik terhadap dampak negatif globalisasi. Terutama dalam hubungannya dengan negara berkembang.
Trump rupanya juga lupa sejarah. Bahwa gagasan globalisasi melalui pendirian World Bank, IMF, GATT yang dilahirkan dalam pertemuan di Bretton Woods juga inisiasi AS. Hakikat tujuan pertemuan itu adalah agar kolonialisme tetap dapat dilanjutkan tanpa harus melakukan pendudukan fisik.
Rupanya dunia harus mulai sadar. Sistem pasar bebas yang menyerahkan ekonomi tersusun dengan sendirinya oleh mekanisme pasar: gagal. Sekarang saatnya kita kembali menengok sejarah. Menengok pikiran para hikmat yang dulu di Indonesia pernah ada. Mereka bersidang di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Mereka menawarkan sistem Negara Sosialisme yang Berketuhanan melalui Lima Sila yang dijabarkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli. Sebelum diobrak-abrik dalam Amandemen pada tahun 1999 hingga 2002.
Negara dengan sistem Sosialisme yang Berketuhanan ini adalah penjabaran dari lima Sila di dalam Pancasila. Sila Pertama, Ketuhanan yang berarti ekonomi harus mendasarkan kepada moral, karena pemilik sejati adalah Tuhan.
Sila Kedua, Kemanusian yang Adil dan Beradab, artinya ekonomi itu harus bersifat manusiawi dan adil, dengan menganggap sama semua manusia. Satu dengan yang lain tidak boleh ada yang memiliki kedudukan atau hak yang lebih tinggi untuk melakukan penghisapan kepada yang lemah.
Lalu Sila Ketiga, Persatuan Indonesia, adalah wujud dari nasionalisme ekonomi, sehingga semua kebijakan harus sejalan dengan nasionalisme. Contoh teranyar: Jangan membuat gaduh dengan memindahkan hak atas pulau-pulau kecil.
Sila Keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, adalah prinsip demokrasi ekonomi. Setiap orang, meskipun dia miskin atau lemah, tetap harus diikutsertakan melalui perwakilan yang utuh dan perwakilan yang mewakili mereka dalam setiap pembuatan kebijakan.
Dan yang terakhir, Sila Keadilan Sosial adalah tujuan dari semuanya itu.
Kalau diperas: Sila Pertama dan Kedua adalah dasarnya, yaitu moral dan kemanusiaan. Sila Ketiga dan Keempat adalah caranya. Dan Sila Kelima adalah tujuannya.
Jadi, wajar kalau Sri Mulyani bingung melihat situasi global hari ini. Tapi kata Gus Baha: Bingung itu perlu. Katanya: Barokahnya bingung orang tidak menjadi sombong dan tidak merasa paling tahu. Karena segala sesuatu harus dipikirkan dan dikaji dulu secara mendalam.
*(Penulis adalah pendiri Pusat Studi Pembangunan berbasis Pancasila. Kandidat Doktor Hukum dan Pembangunan, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya.)
/data/photo/2024/10/20/671497d48bc97.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2883893/original/062503000_1565946761-Oto_Iskandar_di_Nata_in_20000_IDR.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)