Organisasi: PPK

  • 10
                    
                        Kasus "Bullying" Timothy Mahasiswa Unud, Jangan Berlalu Tanpa Makna…
                        Nasional

    10 Kasus "Bullying" Timothy Mahasiswa Unud, Jangan Berlalu Tanpa Makna… Nasional

    Kasus “Bullying” Timothy Mahasiswa Unud, Jangan Berlalu Tanpa Makna…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Kematian mahasiswa Universitas Udayana (Unud) Bali, Timothy Anugerah Saputra (22), Rabu (15/10/2025), yang diduga terkait kasus perundungan, tidak boleh berlalu begitu saja tanpa makna.
    Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian menegaskan bahwa peristiwa yang menimpa Timothy menjadi peringatan keras bahwa kekerasan dan perundungan di dunia pendidikan masih terus terjadi.
    Dunia pendidikan harus melakukan introspeksi dan reformasi budaya kampus agar kekerasan dalam bentuk apa pun tidak lagi terjadi.
    “Kami tidak ingin tragedi ini berlalu tanpa makna. Ini saatnya seluruh perguruan tinggi melakukan introspeksi dan reformasi budaya kampus. Pendidikan sejati hanya bisa tumbuh dalam lingkungan yang aman, inklusif, dan manusiawi,” ujar Hetifah, Minggu (19/10/2025).
    Tragedi ini memunculkan desakan agar semuakampus berbenah dan memastikan lingkungan akademik benar-benar aman bagi mahasiswa.
    Menurut Hetifah, kampus harus menjadi tempat aman bagi mahasiswa untuk tumbuh dan berkembang, tanpa rasa takut atau tekanan sosial dari lingkungan sebayanya.
    Oleh karena itu, dia mendorong semua perguruan tinggi untuk menjalankan Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi.
    Selain itu, Hetifah meminta setiap kampus mengaktifkan Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (PPK), serta membuka kanal pelaporan yang aman dan mudah diakses mahasiswa.
    “Setiap perguruan tinggi harus mengaktifkan Satgas PPK serta membuka kanal pelaporan yang aman bagi mahasiswa. Jangan biarkan korban takut bicara. Kampus juga perlu menyediakan layanan konseling dan pendampingan psikologis secara berkelanjutan,” kata dia.
    Komisi X juga mendesak Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) untuk turun langsung menangani kasus ini.
    Hetifah menyebutkan, langkah cepat dari kementerian diperlukan agar ada kejelasan dan keadilan bagi semua pihak.
    “Komisi X DPR RI mendukung Kemendiktisaintek untuk turun langsung meninjau kasus ini, serta mendorong penegakan aturan bagi pelaku dan perlindungan maksimal bagi korban,” ujar Hetifah.
    Dia menambahkan, pihak kampus juga perlu melakukan investigasi menyeluruh dan memastikan tindak lanjut yang transparan bagi para pelaku perundungan.
    “Kampus adalah tempat belajar, bukan tempat untuk menekan, mempermalukan, atau menyingkirkan seseorang. Kita harus memastikan setiap mahasiswa merasa aman dan dihargai. Kasus seperti ini tidak boleh terulang lagi,” kata Hetifah.
    Menanggapi hal itu, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Brian Yuliarto menyatakan telah memerintahkan Rektor Universitas Udayana membentuk tim investigasi dan menjalin komunikasi intensif dengan keluarga korban.
    “Kami meminta juga pihak kampus untuk terus-menerus berkomunikasi, menjalin hubungan dengan pihak keluarga, apa yang dibutuhkan untuk bisa membuat kondisi lebih baik dari keluarga korban,” ujar Brian di Jakarta, Minggu (19/10/2025) malam.
    Dia juga memastikan pemerintah mendukung langkah Universitas Udayana untuk menindaklanjuti kasus ini secara menyeluruh.
    “Tentu nanti tim dari Universitas Udayana kami mendukung dan mendorong agar seluruh proses bisa dilakukan dengan baik, ya, sesuai ketentuan yang ada,” imbuh Brian.
    Brian menegaskan, kampus seharusnya menjadi ruang yang benar-benar aman dari segala bentuk kekerasan dan perundungan.
    “Kampus itu harus aman dari tindakan kekerasan maupun perundungan,” kata dia.
    Diberitakan sebelumnya, Timothy ditemukan meninggal dunia di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unud, Denpasar.
    Kasus ini menjadi sorotan publik setelah muncul dugaan bahwa korban mengalami perundungan karena beredarnya percakapan bernada tidak empatik dari sejumlah mahasiswa di media sosial.
    Kepala Seksi Humas Polresta Denpasar Kompol I Ketut Sukadi mengatakan, polisi masih melakukan penyelidikan untuk memastikan penyebab kematian Timothy.
    “Polisi masih melakukan serangkaian penyelidikan untuk menemukan titik terang apakah korban memang bunuh diri atau ada unsur kecelakaan atau seperti apa. Masih ada pendalaman dari Polsek Denpasar Barat,” ujar Sukadi, Sabtu (18/10/2025).
    Sementara itu, beberapa organisasi kemahasiswaan di Unud telah menjatuhkan sanksi kepada sejumlah mahasiswa yang diduga terlibat dalam percakapan tidak empatik tersebut.
    Tercatat ada enam mahasiswa diberhentikan tidak dengan hormat dari organisasi kemahasiswaan.
    Namun, pihak kampus belum menetapkan sanksi akademik apa pun.
    Pelaksana Tugas Wakil Dekan III FISIP Unud Made Anom Wiranata menyatakan, dekanat masih berkoordinasi dengan program studi dan dosen pengampu untuk menentukan langkah selanjutnya.
    “Secara umum, sikap termasuk etika dan moral atau yang sering disebut soft skill merupakan komponen dari penilaian terhadap mahasiswa. Detailnya, kami akan bicara dengan program studi dan dosen pengampu,” kata Anom.
    Dia juga menegaskan, hingga saat ini belum ada bukti bahwa kematian Timothy berkaitan langsung dengan percakapan daring tersebut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Asal-muasal Bullying di Kampus Universitas Udayana yang Akibatkan Mahasiswa Berprestasi Tewas Akhiri Hidup Sendiri

    Asal-muasal Bullying di Kampus Universitas Udayana yang Akibatkan Mahasiswa Berprestasi Tewas Akhiri Hidup Sendiri

    Kabar meninggalnya Timothy memicu gelombang simpati dan kemarahan publik, terlebih setelah beredar tangkapan layar percakapan grup WhatsApp yang menunjukkan korban sering dijadikan bahan ejekan.

    Ironisnya, usai insiden itu, sebagian mahasiswa justru melecehkan kematian Timothy di media sosial, sehingga memantik kecaman luas dari warganet.

    Menanggapi hal ini, pihak Universitas Udayana menyampaikan kronologi awal dan memastikan bahwa korban dikenal sebagai mahasiswa berprestasi.

    Ketua Unit Komunikasi Publik Unud, Ni Nyoman Dewi Pascarani, mengungkapkan bahwa berdasarkan keterangan saksi, korban diduga melompat dari lantai dua sekitar pukul 09.00 WITA sebelum akhirnya meninggal dunia di rumah sakit.

    “Universitas Udayana mengenang almarhum sebagai pribadi yang memiliki komitmen tinggi dalam menjalani studi dan memberikan teladan dalam pencapaian akademik,” kata Dewi.

    Dewi menambahkan, percakapan nir-empati yang beredar di media sosial terjadi setelah korban meninggal dunia, bukan penyebab peristiwa tersebut.

    “Berdasarkan hasil rapat koordinasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik bersama DPM, Himpunan Mahasiswa Program Studi, dan mahasiswa yang terlibat dalam percakapan, dapat dipastikan bahwa isi percakapan tersebut terjadi setelah almarhum meninggal dunia, bukan sebelum peristiwa yang menimpa almarhum,” kata Dewi, kemarin.

    Kasus perundungan ini kini ditangani oleh Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (Satgas PPK) Universitas Udayana.

    “Universitas tidak akan segan memberikan sanksi tegas kepada pelaku kekerasan di lingkungan kampus,” tegas Dewi.

  • Kematian Mahasiswa FISIP Unud Belum Jelas, Kampus Mengaku Sudah Tugaskan Satgas PPK Dalami Kasusnya
                
                    
                        
                            Denpasar
                        
                        19 Oktober 2025

    Kematian Mahasiswa FISIP Unud Belum Jelas, Kampus Mengaku Sudah Tugaskan Satgas PPK Dalami Kasusnya Denpasar 19 Oktober 2025

    Kematian Mahasiswa FISIP Unud Belum Jelas, Kampus Mengaku Sudah Tugaskan Satgas PPK Dalami Kasusnya
    Tim Redaksi
    DENPASAR, KOMPAS.com
    – Kasus kematian mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Udayana (Unud), berinisial TAS (22), belum menemukan titik terang.
    Orangtua korban yang sebelumnya sempat tidak melaporkan kasus ini ke polisi, akhirnya memutuskan untuk melapor.
    Menanggapi hal ini, Ketua Unit Komunikasi Publik Universitas Udayana, Dr Dewi Pascarani menyebut pihak kampus sudah menugaskan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (PPK) untuk mendalami kasus ini.
    “Unud sudah menugaskan Satgas PPK untuk mendalami kasus ini. Kami berkomitmen untuk memberikan sanksi yang sesuai dengan peraturan yang berlaku,” jelas Dewi, saat dikonfirmasi
    Kompas.com
    pada Minggu (19/10/2025).
    Sebagaimana diberitakan sebelumnya, orangtua korban telah melaporkan peristiwa tersebut secara resmi ke polisi untuk mengetahui secara pasti kronologi insiden yang menimpa anaknya.
    “Ingin mencari kebenaran kronologi kematian (TAS) karena yang selama ini kita terima itu berita masih simpang siur terkait kronologis kematiannya. Oleh sebab itu saya serahkan kepada pihak kepolisian yang memang sudah jadi tugasnya mereka, karena saya pun juga gak bisa menyelidiki masalah ini,” kata Lukas Triana Putra, ayah kandung korban di Polresta Denpasar, Sabtu (18/10/2025).
    Selain itu, pihak Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof IGNG Prof Ngoerah Denpasar juga telah mengeluarkan dokter peserta didik (koas) yang memberikan komentar bully atau tidak pantas atas kematian TAS.
    Plt Direktur Utama RS Ngoerah, I Wayan Sudana, mengatakan, para dokter koas tersebut telah dikembalikan ke Universitas Udayana untuk diproses lebih lanjut.
    “Terkait adanya peserta didik atau co-ass yang diduga terlibat dalam komentar tidak pantas di media sosial sehingga menimbulkan citra buruk terhadap RS Ngoerah dan Universitas Udayana, RS Ngoerah mengambil tindakan tegas untuk mengembalikan peserta didik tersebut ke Universitas Udayana untuk dilakukan pendalaman dan investigasi,” kata Wayan dalam keterangan rilis, Minggu (19/10/2025).
    Selain dokter koas tersebut, diketahui ada 6 mahasiswa lainnya dari jurusan berbeda yang juga sempat menyampaikan ujaran nirempati, termasuk dari mahasiswa Fisip.
    Sebelumnya, Wakil Dekan 1 sekaligus Plt. Wakil Dekan 3 FISIP Universitas Udayana (Unud), Made Anom Wiranata, mengungkapkan saat ini belum ditentukan secara resmi sanksi untuk mahasiswa yang menyampaikan ujaran nirempati.
    Dia menekankan bahwa ujaran nirempati tersebut muncul usai kematian mahasiswa FISIP Unud, TAS, pada Rabu (15/10/2025).
    Anom menegaskan kembali bahwa tidak ada bukti penyebab kematian korban adalah karena chat nirempati itu.
    “Secara umum, sikap termasuk etika dan moral atau sering disebut soft skill adalah komponen dari penilaian (terhadap mahasiswa). Detailnya (sanksi), kami akan bicara dengan Prodi dan Dosen Pengampu,” jelas Anom Wiranata, saat dikonfirmasi Sabtu (18/10/2025).
    Namun 6 mahasiswa Universitas Udayana yang menyampaikan ujaran nirempati tersebut telah diberhentikan tidak dengan hormat sebagai pengurus di organisasi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kemendikti Turun Tangan Pastikan Kematian Mahasiswa Unud Diusut Transparan

    Kemendikti Turun Tangan Pastikan Kematian Mahasiswa Unud Diusut Transparan

    Jakarta

    Informasi dalam artikel ini tidak ditujukan untuk menginspirasi siapa pun untuk melakukan tindakan serupa. Bila Anda merasakan gejala depresi dengan kecenderungan berupa pemikiran untuk bunuh diri, segera konsultasikan persoalan Anda ke pihak-pihak yang dapat membantu, seperti psikolog, psikiater, ataupun klinik kesehatan mental.

    Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Ditjen Dikti Kemdiktisaintek) telah berkoordinasi dengan pihak Universitas Udayana (Unud) terkait mahasiswa berinisial TAS (22) yang diduga bunuh diri karena bullying. Ditjen Dikti Khairul meyakini pihak kampus akan transparan menangani kasus ini.

    “Kemdiktisaintek turut berdukacita atas wafatnya Saudara Timothy, mahasiswa Universitas Udayana. Kami telah berkoordinasi dengan pimpinan universitas untuk memastikan penanganan kasus ini dilakukan dengan baik, objektif, dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” ujar Khairul saat dihubungi detikcom, Minggu (19/10/2025).

    Kemendikti mempercayai pihak kampus akan bijak juga transparan, mengutamakan perlindungan dan memulihkan suasana akademik hang aman bagi civitas kampus.

    “Kami percaya pihak kampus akan menempuh langkah yang bijak, transparan, dan berkeadilan, dengan tetap mengutamakan perlindungan serta pemulihan suasana akademik yang aman bagi seluruh sivitas,” ujarnya.

    “Sebagai upaya sistemik, setiap perguruan tinggi telah diwajibkan membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (Satgas PPK) sesuai Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024, yang bertugas mencegah, menerima laporan, dan menindaklanjuti berbagai bentuk kekerasan, termasuk perundungan,” ucapnya.

    “Kemdiktisaintek terus mendorong agar Satgas berfungsi secara efektif serta memperkuat budaya kampus yang berintegritas, empatik, dan bebas dari kekerasan,” tutupnya.

    Kasi Humas Polresta Denpasar Kompol I Ketut Sukadi mengatakan korban sempat terlihat panik sebelum kejadian. Menurutnya, saksi melihat TAS muncul dari arah pintu lift dengan menggendong tas ransel dan memakai baju putih.

    “Terlihat seperti orang panik dan seperti melihat-lihat situasi sekitar kampus,” ujar Sukadi, Kamis (16/10).

    TAS tergeletak di depan lobi kampus FISIP Unud setelah melompat dari lantai empat. Ia sempat dilarikan ke RSUP Prof Ngoerah Denpasar, tetapi nyawanya tak tertolong. Ia dinyatakan meninggal pukul 13.03 Wita akibat pendarahan internal.

    Seusai kematian TAS, sejumlah tangkapan layar percakapan grup mahasiswa beredar di media sosial. Dalam percakapan itu, sejumlah mahasiswa lintas fakultas seperti FISIP, FKP, dan Kedokteran menertawakan kematian TAS. Mereka bahkan mengolok-olok dan membandingkan fisiknya dengan kreator konten Kekeyi.

    Sikap nirempati itu memicu gelombang kemarahan publik. Banyak mahasiswa Unud dan warganet menilai tindakan tersebut tak pantas dilakukan, apalagi oleh sesama mahasiswa kampus ternama. Ironisnya, beberapa pelaku justru aktif di organisasi kemahasiswaan.

    FISIP Unud Buka Suara

    Wakil Dekan III FISIP Unud, I Made Anom Wiranata, mengatakan pelaku bullying terhadap mahasiswa Universitas Udayana (Unud) TAS (22) bukan merupakan teman sekelas korban. Anom mengatakan korban dan para pelaku tak saling mengenal.

    “Saudara T itu meninggal bukan karena bullying. Apalagi adik-adik di depan ini tidak mengenal Saudara T. Bullying terjadi setelah T jatuh. Itu bukan dari teman-teman kami, juga bukan dari teman sekelasnya. Bukan sama sekali,” kata Anom dilansir detikBali, Sabtu (18/10/2025).

    Anom mengatakan TAS melakukan bunuh diri bukan disebabkan oleh perundungan. Dia mengatakan perilaku bullying muncul di media sosial setelah bunuh diri tersebut.

    “Saudara T ini, menurut penuturan ibunya, memiliki masalah kesehatan mental. Sejak SMP, Saudara T mendapat penanganan psikologis dari konselor. Ada terapinya,” ujarnya.

    Namun, dia mengatakan, TAS kemudian menolak melanjutkan terapi itu saat masuk perguruan tinggi. Anom pun mengimbau para mahasiswa lebih peka dan memahami bahwa setiap orang memiliki cara berbeda dalam menghadapi masalah.

    “Memiliki gangguan mental dan tidak sanggup untuk menanggung barangkali segala jenis persoalan yang bagi orang lain beda cara penanganan dan penerimaannya. Kita tidak bisa menyamakan antara Saudara Timoti dengan masyarakat lainnya,” tuturnya.

    (idn/idn)

  • Kejagung Konfirmasi Pengembalian Uang dari Tersangka di Kasus Korupsi Chromebook

    Kejagung Konfirmasi Pengembalian Uang dari Tersangka di Kasus Korupsi Chromebook

    GELORA.CO -Kejaksaan Agung (Kejagung) rupanya menerima pengembalian uang di kasus korupsi pengadaan Chromebook di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan periode 2019-2022. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna menjelaskan uang itu diterima dari salah satu tersangka dari kementerian yang berjumlah miliaran Rupiah.

    “Ada pengembalian sejumlah uang, baik dalam bentuk Dolar maupun Rupiah, kurang lebih hampir Rp10 miliar. Ini dari beberapa pihak, pihak yang kooperatif, dari salah satu tersangka, terus dari pihak KPA, terus dari pihak PPK,” kata Anang kepada wartawan di Kejagung, Jumat, 17 Oktober 2025.

    Sayangnya, Anang enggan membuka identitas tersangka yang mengembalikan uang tersebut beserta jumlahnya. Sebab, proses penyidikan dan kelengkapan pemberkasan masih berlangsung

    “Yang jelas penyidik tidak hanya memproses nantinya terhadap tersangka atau per orangnya, tapi kita ke depan seiring dengan itu berjalan juga dengan kegiatan penelusuran aset dan perlu diingat bahwa penelusuran aset tidak hanya berhenti pada saat penyidikan. Nanti pun dalam tahap penuntutan ataupun setelah perkara ini berjalan pun tetap bisa,” kata Anang 

    Bukan hanya dari Kementerian, Kejagung juga mengaku menerima pengembalian uang dari pihak vendor. 

    Kejagung telah menetapkan lima tersangka dalam kasus korupsi pengadaan Chromebook. Selain Mantan Menteri Nadiem Makarim,  empat lainnya adalah; Sri Wahyuningsih selaku Direktur Sekolah Dasar Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah tahun 2020-2021, Mulyatsyah selaku Direktur SMP Kemendikbudristek 2020, Jurist Tan selaku Staf khusus Mendikbudristek Bidang Pemerintahan era Menteri Nadiem Makarim, dan Ibrahim Arief selaku konsultan Perorangan Rancangan Perbaikan Infrastruktur Teknologi Manajemen Sumber Daya Sekolah pada Kemendikbudristek. 

    Para tersangka diduga melakukan persekongkolan jahat berujung korupsi terhadap program digitalisasi terkait bantuan laptop Chromebook dengan anggaran keseluruhan Rp9,3 triliun yang berujung kerugian negara Rp1,9 triliun.

    Mereka dijerat dengan Pasal 1 Ayat 14 juncto Pasal 42 Ayat 1 juncto Pasal 43 Ayat 1 UU 30/2016 tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 131 UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 2 Ayat 1 Pasal 3 juncto Pasal 18 UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP

  • Universitas Udayana Buka Suara Terkait Isu Bullying Penyebab Kematian Mahasiswa Sosiologi

    Universitas Udayana Buka Suara Terkait Isu Bullying Penyebab Kematian Mahasiswa Sosiologi

    Liputan6.com, Jakarta Suasana duka menyelimuti Universitas Udayana (Unud) setelah seorang mahasiswa fakultas sosiologi berinisial TAS (22) ditemukan tergeletak di halaman depan Gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Rabu (15/10/2025).

    Mahasiswa asal Cimahi, Jawa Barat, itu sempat dilarikan ke RSUP Prof Ngoerah Denpasar, namun nyawanya tidak tertolong dan dinyatakan meninggal dunia pada pukul 13.03 Wita.

    Beberapa hari setelah peristiwa itu, tangkapan layar percakapan grup mahasiswa Unud beredar luas di media sosial. Dalam tangkapan layar tersebut, sejumlah mahasiswa menuliskan komentar yang dinilai tidak pantas dan menunjukkan kurangnya empati terhadap korban.

    Wakil Dekan Bidang Akademik dan Perencanaan sekaligus Plt Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Informasi FISIP Unud, I Made Anom Wiranata, menjelaskan bahwa fakultas telah memberikan sanksi akademik terhadap mahasiswa yang diduga terlibat.

    “Tadi saya sudah sampaikan kepada kaprodi. Saya akan menulis surat kepada yang bersangkutan agar diberikan sanksi pengurangan nilai softskill dan itu hanya terbatas pada satu semester,” ujar Anom, Kamis (16/10/2025).

    Dia menambahkan bahwa sanksi ini disertai dengan kewajiban membuat surat pernyataan dan video klarifikasi permintaan maaf. “Membuat surat pernyataan, mengakui itu. Karena buktinya terlalu otentik ada screenshot-nya. Untuk memperbaiki situasi,” ujarnya.

    Anom menegaskan sanksi ini merupakan upaya pembinaan agar mahasiswa memahami etika komunikasi di ruang publik.

    “Sanksi ini bukanlah ekspresi kebencian kami sebagai seorang pimpinan. Kami ini seorang guru, tugasnya mendidik,” katanya.

    Dalam kesempatan yang sama, Anom juga menyebut bahwa almarhum TAS memiliki riwayat gangguan kesehatan mental sejak SMP dan telah mendapatkan penanganan psikologis.

    “Menurut penuturan ibunya, almarhum TAS memiliki masalah kesehatan mental sejak SMP dan sudah mendapatkan penanganan psikologis dari konselor, ada terapinya. Lanjut sampai dengan SMA, hanya saja yang bersangkutan (TAS) menolak untuk mendapat terapi lanjutan, karena tidak mengetahui penyebabnya, tapi itu yang terjadi,” jelasnya.

    Humas Universitas Udayana, Dewi Pascarani menyatakan telah menggelar rapat koordinasi bersama Fakultas FISIP, DPM, Himpunan Mahasiswa Program Studi, serta mahasiswa yang terlibat dalam percakapan tersebut.

    Dewi menegaskan, pihaknya telah memastikan bahwa isi percakapan yang beredar terjadi setelah korban meninggal dunia, bukan sebelum peristiwa tersebut terjadi.

    “Dengan demikian, ucapan nirempati yang beredar di media sosial tidak berkaitan atau menjadi penyebab almarhum menjatuhkan diri dari lantai atas gedung FISIP,” ungkap Dewi Pascarani, Jumat (17/10/2025).

    Hasil rapat akan diteruskan kepada Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (Satgas PPK) Unud untuk dilakukan penyelidikan dan penanganan lanjutan, sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

    “Universitas Udayana mengecam keras segala bentuk ucapan, komentar, atau tindakan nirempati, perundungan, kekerasan verbal, maupun tindakan tidak empatik, baik di dunia nyata maupun di ruang digital. Tindakan seperti ini bertentangan dengan nilai-nilai Tri Dharma Perguruan Tinggi dan etika akademik universitas,” ucap Dewi.

    Rektor Universitas Udayana I Ketut Sudarsana menyampaikan duka mendalam atas kepergian TAS. Ia juga menegaskan kampus harus menjadi ruang aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan.

    “Universitas akan menindak tegas setiap pelanggaran yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan kehormatan akademik,” ujar Sudarsana.

  • Korupsi Pembangunan Puskesmas Oesao Terbongkar: 2 Tersangka Ditahan, Negara Rugi Rp 400 Juta

    Korupsi Pembangunan Puskesmas Oesao Terbongkar: 2 Tersangka Ditahan, Negara Rugi Rp 400 Juta

    Liputan6.com, Jakarta – Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), resmi menetapkan dua tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi proyek pembangunan Puskesmas Oesao dengan total nilai Rp1,2 miliar lebih.

    Kedua tersangka masing-masing berinisial AB, selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan DW selaku pelaksana lapangan atau kontraktor pekerjaan.

    Kepala Kejari Kabupaten Kupang Yupiter Selan, mengatakan, setelah melalui serangkaian penyelidikan, dua pihak ini telah ditetapkan sebagai tersangka dan langsung dilakukan penahanan.

    “Keduanya langsung kami tahan selama 20 hari ke depan,” ujar Kepala Kejari Kabupaten Kupang Yupiter Selan, Jumat 17 Oktober 2025.

    Yupiter menjelaskan bahwa dari hasil perhitungan sementara, kerugian keuangan negara mencapai lebih dari Rp400 juta. Nilai tersebut berasal dari ketidaksesuaian antara volume pekerjaan dan realisasi di lapangan pada proyek pembangunan Puskesmas tersebut.

     

  • Wamendagri apresiasi efisiensi anggaran dilakukan pemda di Riau

    Wamendagri apresiasi efisiensi anggaran dilakukan pemda di Riau

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto mengapresiasi upaya efisiensi anggaran dan pengendalian inflasi yang dilakukan pemerintah daerah di Provinsi Riau.

    Bima dalam keterangannya di Jakarta, Kamis, juga mengapresiasi langkah pemda di Riau yang tetap berkomitmen menjaga prioritas pembangunan di tengah kebijakan efisiensi dan penyesuaian transfer keuangan.

    Upaya tersebut tercermin dari fokus pada perbaikan infrastruktur jalan, serta kebijakan pemutihan pajak kendaraan bermotor sebagai bentuk optimalisasi pendapatan daerah.

    “Ini saya kira patut diapresiasi. Nah, kemudian kami juga mencatat bagaimana Pak Gubernur (Riau) bersama Pak Kapolda, ini peduli terhadap lingkungan hidup, kepada ekosistem, Taman Nasional Tesso Nilo, dan lain-lain. Tadi malam kami berbincang bersama Pak Kapolda, ada langkah-langkah tegas, kami sangat apresiasi,” kata Bima.

    Hal itu disampaikan Bima saat memimpin Rapat Koordinasi Evaluasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025 dan Pengendalian Inflasi di Provinsi Riau di Kantor Gubernur Riau, Kota Pekanbaru.

    Bima menjelaskan rakor tersebut menjadi ajang silaturahmi sekaligus forum untuk bertukar informasi terkait pengelolaan keuangan negara dan daerah.

    Ia juga menyoroti upaya pengendalian inflasi di Provinsi Riau yang sebelumnya sempat mencatat angka tertinggi nomor dua secara nasional, yakni sebesar 5,08 persen.

    Empat kabupaten/kota yang mencatatkan inflasi tertinggi, yaitu Kabupaten Indragiri Hilir (4,46 persen), Kabupaten Kampar (3,91 persen), Kota Dumai (3,59 persen), dan Kota Pekanbaru (3,34 persen).

    Meski demikian, Bima mengapresiasi langkah-langkah cepat pemda di Riau dalam menekan laju inflasi melalui berbagai intervensi.

    “Apresiasi, Pak Gubernur (Riau), tadi sudah ada operasi pasar murah ya. Apresiasi untuk Pak Gubernur, dan silakan kepala daerah yang lain juga, pastikan sidak ke pasar supaya tidak ada penahanan barang, dan buka kerja sama dengan daerah lain untuk memperlancar pasokan. Ada juga gerakan menanam gitu ya, dimasifkan ini, PKK, dan lain-lain,” ujarnya.

    Pada kesempatan itu, Bima mewakili Kementerian Dalam Negeri memberikan catatan agar Pemerintah Provinsi Riau tetap memastikan pemenuhan standar pelayanan minimal (SPM) di tengah kebijakan efisiensi.

    Ia menegaskan keberhasilan SPM memerlukan koordinasi erat antara kepala daerah, Kemendagri, dan Kementerian Keuangan untuk mengidentifikasi serta mengantisipasi SPM yang berpotensi terdampak.

    “Mendagri meminta kami untuk melakukan simulasi. Pak Menteri sampaikan jangan sampai SPM itu terdampak,” tuturnya.

    Bima juga meminta para kepala daerah untuk berkoordinasi dan mengidentifikasi SPM yang berpotensi terdampak dalam situasi efisiensi saat ini.

    Ia menekankan pentingnya penyelarasan antara kebutuhan daerah dan program pemerintah pusat agar alokasi anggaran dapat lebih tepat sasaran.

    Menurutnya, hal ini menjadi momentum bagi Pemda untuk melakukan refleksi dan menata kembali APBD agar lebih sehat dan efisien.

    Selanjutnya, Bima menekankan pentingnya peningkatan realisasi belanja daerah. Kemendagri memberikan catatan agar percepatan realisasi APBD terus dilakukan sehingga perputaran uang di daerah tetap terjaga.

    Menurutnya, pemerintah pusat akan menelaah lebih lanjut apabila realisasi belanja masih berada di bawah rata-rata nasional.

    Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, yakni per 30 September 2024, rata-rata realisasi belanja pemerintah provinsi serta kabupaten/kota secara nasional mencapai 57,2 persen.

    Sementara itu, tahun 2025 pada tanggal yang sama, angkanya tercatat baru mencapai 54,45 persen. Adapun Provinsi Riau, realisasi belanja berada di angka 52,98 persen atau sedikit lebih rendah dari rata-rata nasional.

    Terkait kondisi ini, Kemendagri mencatat sejumlah faktor yang mempengaruhi rendahnya serapan belanja daerah, antara lain penetapan APBD yang tidak sesuai ketentuan, penetapan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang molor, serta hambatan pada proses pengadaan barang dan jasa (PBJ).

    Padahal, percepatan penetapan PPK dan pelaksanaan PBJ menjadi kunci penting untuk mempercepat perputaran ekonomi di daerah.

    “Kami mengapresiasi kepala daerah yang setiap minggu selalu mengecek realisasi belanja ini. Mandeknya di mana, PBJ ini masalahnya apa, mana yang force majeure karena fisik, mana yang karena faktor administrasi, atau mana yang hanya realisasi pembayaran saja,” jelasnya.

    Bima berharap pemda di Provinsi Riau dapat segera mengatasi berbagai kendala yang menghambat serapan anggaran dan mendorong agar seluruh kabupaten/kota di Riau mampu mencatat realisasi APBD di atas rata-rata nasional.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Undip Akan Sanksi Maba Edit Foto Cabul Siswi-Guru SMA di Semarang Pakai AI

    Undip Akan Sanksi Maba Edit Foto Cabul Siswi-Guru SMA di Semarang Pakai AI

    Jakarta

    Viral sejumlah siswi dan guru di SMA Negeri 11 Semarang menjadi korban editing konten pornografi berbasis Artificial Intelligence (AI). Pelaku belakangan diketahui bernama Chiko Radityatama Agung Putra yang merupakan mahasiswa baru Fakultas Hukum (FH) Universitas Diponegoro (Undip).

    Fakultas Hukum (FH) Universitas Diponegoro (Undip) mengatakan akan menindak tegas pelaku pelecehan itu.

    “Fakultas Hukum Undip langsung memproses cepat dengan melaporkan kasus ini ke Satgas PPK Undip untuk segera diproses pemeriksaan dan penjatuhan sanksi,” kata Dekan Fakultas Hukum Undip, Retno Saraswati, melalui pesan teks kepada awak media, dilansir detikJateng, Rabu (16/10/2025).

    “Fakultas Hukum Undip bersikap tegas terhadap setiap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh mahasiswanya, termasuk perbuatan yang dilakukan oleh Sdr. Chiko Radityatama Agung Putra,” tegasnya.

    Pelaku sebelumnya membuat video permintaan maaf yang diunggah ke media sosial dan disampaikan langsung di hadapan pihak sekolah. Dalam video klarifikasi berdurasi sekitar dua menit itu, Chiko mengakui perbuatannya.

    (rdp/idh)

  • 5
                    
                        PPPK: Janji yang Tak Setara
                        Nasional

    5 PPPK: Janji yang Tak Setara Nasional

    PPPK: Janji yang Tak Setara
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    KETIKA
    pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara, publik birokrasi menyambutnya dengan harapan baru.
    Undang-undang itu menegaskan bahwa Aparatur Sipil Negara terdiri atas dua kelompok: Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Di atas kertas, keduanya setara dalam prinsip dan penghargaan.
    Namun, sebagaimana banyak janji negara lainnya, kesetaraan itu berhenti di atas kertas. Dalam praktik birokrasi, PPPK masih menjadi warga kelas dua.
    Mereka direkrut melalui seleksi nasional yang ketat, bekerja di posisi strategis yang sama dengan PNS, tetapi tidak menikmati kepastian karier, mobilitas jabatan, atau jaminan pensiun yang memadai.
    Revisi UU ASN yang kini masuk dalam Program Legislasi Nasional 2025 sejatinya diharapkan menuntaskan ironi tersebut.
    Namun, proses pembahasan justru memperlihatkan wajah lama birokrasi: lamban, politis, dan terbelenggu kalkulasi fiskal. Janji kesetaraan yang diucapkan dengan lantang kembali terperangkap dalam bahasa rapat dan perhitungan anggaran.
    Sebagian besar PPPK adalah mereka yang telah lama mengabdi: guru, tenaga kesehatan, dan staf teknis di daerah.
    Mereka dulunya berstatus honorer, digaji seadanya, lalu dijanjikan kepastian hukum melalui formasi PPPK.
    Namun kini, setelah diangkat, mereka justru terjebak dalam sistem yang belum siap memberikan perlakuan setara.
    Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2024 memang memperbarui struktur gaji dan tunjangan PPPK. Namun, di banyak daerah implementasinya tersendat karena keterbatasan fiskal.
    Pemerintah daerah kesulitan membayar gaji PPPK dari belanja pegawai yang sudah melampaui batas 30 persen APBD.
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 202/PMK.05/2020, yang mengatur tata cara pembayaran gaji dan tunjangan PPPK, hanya menjelaskan mekanisme teknis—tanpa solusi atas kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah.
    Perbedaan perlakuan juga tampak dalam jenjang karier. PNS dapat berpindah antarinstansi, naik pangkat, dan menduduki jabatan struktural.
    PPPK sebaliknya, terikat kontrak dan lokasi kerja, dengan masa kerja yang bergantung pada perpanjangan tahunan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).
    Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK sudah membuka ruang mutasi antarinstansi dengan syarat persetujuan kedua PPK.
    Namun, dalam praktiknya, sistem birokrasi belum siap. Banyak instansi tidak memiliki mekanisme mutasi PPPK, sehingga mereka tetap terkungkung dalam lingkaran administrasi yang sempit.
    Ironinya, dalam banyak kasus, PPPK justru menanggung beban kerja yang sama—bahkan lebih berat—daripada PNS, karena di banyak sekolah dan puskesmas hanya ada satu tenaga fungsional yang harus melayani ribuan warga.
    Negara menuntut kesetiaan dan profesionalisme, tetapi kepastian hidup masih menjadi kemewahan.
    Memang benar, sebagian hak dasar seperti perlindungan jaminan kecelakaan kerja dan kematian sudah diatur dalam PP 49/2018 Pasal 99. Namun, jaminan pensiun dan karier yang setara masih belum nyata. Di sinilah rasa keadilan birokrasi diuji.
    Revisi UU ASN yang sedang digodok DPR menjadi ujian keseriusan negara menegakkan prinsip meritokrasi.
    DPR mendorong beberapa gagasan besar: menyetarakan hak pensiun PPPK dengan PNS, memperpanjang masa kontrak agar tidak bergantung pada evaluasi tahunan, dan membuka peluang alih status bagi PPPK berprestasi.
    Namun, pemerintah menanggapinya dengan hati-hati. Kekhawatiran terhadap beban fiskal menjadi alasan klasik yang berulang.
    Dalam rapat Komisi II DPR (Maret 2025), pemerintah memperkirakan tambahan beban keuangan negara sekitar Rp 18 triliun per tahun jika hak pensiun PPPK disetarakan penuh dengan PNS.
    Solusi yang kini dibahas adalah skema pensiun berbasis iuran bersama, di mana negara dan pegawai sama-sama menanggung kontribusi.
    Padahal, masalah kesetaraan bukan sekadar soal angka. Ini soal penghargaan atas pengabdian.
    Bila negara bisa menanggung ratusan triliun rupiah untuk proyek-proyek ambisius dan subsidi politik, mengapa jaminan masa depan bagi aparatur yang melayani rakyat dianggap beban?
    Revisi UU ASN juga harus berhati-hati terhadap jebakan baru: kebijakan PPPK paruh waktu yang diatur dalam Keputusan MenPANRB Nomor 16 Tahun 2025.
    Kebijakan ini memang ditujukan untuk menata tenaga non-ASN. Namun jika tidak diatur dalam undang-undang, status paruh waktu justru bisa menjadi “honorer gaya baru”—bekerja untuk negara tanpa kepastian karier yang layak.
    Ketimpangan antara PNS dan PPPK bukan sekadar administratif, melainkan struktural. Ia menggambarkan wajah ganda birokrasi Indonesia: di satu sisi berbicara tentang meritokrasi, di sisi lain masih memelihara sistem hierarkis yang menilai pegawai dari status, bukan prestasi.
    Bagi sebagian kepala daerah, PPPK bukan mitra profesional, tetapi sekadar tenaga kontrak yang bisa digerakkan sesuai kebutuhan politik lokal.
    Laporan Ombudsman RI tahun 2024 bahkan mencatat adanya indikasi penyalahgunaan wewenang dalam perpanjangan kontrak PPPK di sejumlah daerah, terutama bagi pegawai yang kritis terhadap kebijakan pimpinan.
    Kesenjangan ini tidak hanya melukai rasa keadilan, tetapi juga merusak semangat reformasi birokrasi.
    PNS mendapat penghargaan simbolik sebagai “abdi negara”, sedangkan PPPK sering dianggap “pekerja kontrak pemerintah”. Padahal, keduanya sama-sama melayani publik, terikat pada sumpah jabatan, dan tunduk pada sistem merit yang sama.
    Reformasi ASN tidak akan berarti bila negara masih memandang aparatur dari status hukum, bukan dari kontribusi terhadap pelayanan publik.
    Keadilan birokrasi bukan sekadar tabel gaji atau angka tunjangan. Ia diukur dari bagaimana negara memperlakukan setiap pegawai sebagai manusia yang bermartabat.
    Dalam konteks PPPK, keadilan berarti memberikan kepastian hukum, perlindungan sosial, dan ruang karier yang adil.
    Negara perlu membangun sistem jaminan pensiun dan hari tua yang modern dan berkelanjutan.
    Skema pensiun berbasis iuran—di mana PPPK dan pemerintah sama-sama berkontribusi—bisa menjadi jalan tengah antara kemampuan fiskal dan kewajiban moral.
    Selain itu, fungsi Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) harus diperkuat, bukan dilemahkan. Pengawasan merit perlu dijaga agar pengangkatan, promosi, dan mutasi PPPK tidak terjebak dalam politik patronase.
    Revisi UU ASN semestinya menjadi momentum koreksi moral terhadap sistem kepegawaian yang masih elitis. Setiap aparatur, apa pun status hukumnya, layak mendapat perlakuan yang adil.
    Harapan PPPK kini bertumpu pada keberanian politik pemerintah dan DPR. Setelah satu tahun penerapan UU ASN baru dan kebijakan gaji yang diperbarui, publik birokrasi menunggu bukti, bukan lagi janji.
    Di sekolah, rumah sakit, dan kantor pelayanan publik, rakyat tidak peduli siapa yang melayani mereka—PNS atau PPPK. Yang mereka harapkan hanyalah pelayanan yang cepat, jujur, dan manusiawi. Negara seharusnya menjawab dengan kebijakan yang adil, bukan diskriminatif.
    Jika PPPK terus dibiarkan menunggu di ruang kebijakan yang tak kunjung pasti, maka reformasi birokrasi hanya akan menjadi mitos. Janji kesetaraan akan tinggal kenangan, seperti banyak janji lain yang tak pernah ditepati.
    Negara harus menepati janjinya bukan karena tekanan politik, tetapi karena panggilan moral: menghormati setiap pengabdian yang telah diberikan warganya kepada republik.
    Reformasi birokrasi sejati bukan sekadar efisiensi, melainkan keberanian untuk menegakkan keadilan di dalam tubuh negara sendiri. PPPK telah menunjukkan loyalitas tanpa jaminan; kini giliran negara menepati janji tanpa alasan.
    Revisi UU ASN menjadi cermin bagi arah moral birokrasi kita. Bila kesetaraan hanya menjadi retorika, dan nasib PPPK tetap di ruang tunggu, maka yang gagal bukan undang-undangnya, melainkan nurani negara yang kehilangan rasa adilnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.