Rugikan Negara Rp 2,9 Miliar, Pejabat di Sampang Ditahan Kejari
Tim Redaksi
SAMPANG, KOMPAS.com
– Kasus dugaan korupsi dalam proyek Lapis Penetrasi Makadam (Lapen) di Kabupaten Sampang, Jawa Timur menyeret empat pelaku.
Salah satu pelaku merupakan pejabat di salah satu dinas di Pemerintah Kabupaten
Sampang
.
Kepala Kejaksaan Negeri Sampang Fadhilah Helmi mengatakan, pihaknya telah mengamankan empat pelaku hasil limpahan berkas dari penyidik Polda Jatim.
“Tadi sudah dilakukan penyerahan tersangka dan barang bukti. Ada empat tersangka yang kami tahan,” ujarnya, Rabu (19/11/2025).
Empat tersangka itu yakni MHM sebagai PPK Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sekaligus pegawai di kantor Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Sampang, AZM sebagai Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), serta dua perantara atau broker, yakni SIS dan KU.
Empat tersangka itu diduga terlibat dalam dugaan tindak pidana korupsi atas penyalahgunaan wewenang, dalam pelaksanaan pengadaan langsung atas 12 paket pekerjaan rehabilitasi dan pemeliharaan jalan.
Anggaran proyek itu bersumber dari Dana Insentif Daerah (DID) di Dinas PUPR Sampang tahun 2020 lalu.
“Selain para tersangka, kami juga menerima barang bukti uang tunai senilai Rp 641.400.000 dari hasil penyitaan,” ujar dia.
Dari aksi dugaan korupsi yang dilakukan keempat tersangka tersebut, negara diduga mengalami kerugian sebanyak Rp 2,9 miliar.
Selain itu, Fadhilah belum bisa menentukan adanya tambahan tersangka dalam kasus itu.
Menurutnya, pengembangan kasus tersebut perlu melihat fakta persidangan dari empat tersangka.
“Kita lihat perkembangan berikutnya berdasarkan fakta persidangan nanti,” ujar dia.
Kini, para tersangka harus mendekam di Rutan Kelas llB Sampang selama 20 hari. Terhitung sejak hari ini hingga tanggal 8 Desember 2025 mendatang.
Sebelumnya, kasus dugaan korupsi dalam proyek Lapen ini dilaporkan oleh warga Sampang ke Polda Jatim pada tahun 2022 lalu.
Proyek senilai Rp 12 miliar yang bersumber dari DID tahap ll itu semula untuk mempercepat Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pada 2020.
Namun, proyek miliaran rupiah itu diduga dikerjakan secara asal-asalan. Bahkan, proyek tersebut diduga dikerjakan tanpa melalui tahap lelang.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Organisasi: PPK
-
/data/photo/2025/11/19/691dc77d8d8fb.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Rugikan Negara Rp 2,9 Miliar, Pejabat di Sampang Ditahan Kejari Surabaya 19 November 2025
-
/data/photo/2025/11/19/691d404b5949e.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Sidang Korupsi Jalan Sumut, Jaksa Sebut Bobby Nasution dan Rektor USU Tak Ada dalam Berkas Penyidik Medan 19 November 2025
Sidang Korupsi Jalan Sumut, Jaksa Sebut Bobby Nasution dan Rektor USU Tak Ada dalam Berkas Penyidik
Tim Redaksi
MEDAN, KOMPAS.com
– Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantaan Korupsi (KPK), Eko Wahyu Prayitno, menyampaikan bakal menghadirkan 30 hingga 40 orang untuk diperiksa sebagai saksi pembuktian terhadap tiga terdakwa kasus korupsi jalan di Sumatera Utara.
Ketiga terdakwa itu di antaranya mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUPR) Sumut, Topan Obaja Ginting, dan mantan Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Dinas PUPR Gunung Tua, Rasuli Efendi Siregar.
Kemudian terdakwa Heliyanto, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Satuan Kerja (Satker) Balai Besar Pelaksana Jalan Nasional (BBPJN) Wilayah I Sumut.
Namun, saat ditanya apakah dari jumlah saksi tersebut ada nama Gubernur
Sumatera Utara
,
Bobby Nasution
, dan Rektor Universitas Sumatera Utara (USU),
Muryanto Amin
, jaksa menyatakan tak ada.
“Nantilah kita lihat dulu ya saksi-saksinya. Itu nanti pasti tahu kan siapa yang kami hadirkan. Kalau tidak salah di berkas penyidik memang keduanya itu tidak ada,” kata Eko setelah pembacaan dakwaan di Pengadilan Negeri (PN) Medan, Rabu (19/11/2025) selesai.
Bobby Nasution dikaitkan dengan kasus ini karena, selain menjadi pejabat pemerintah tertinggi di daerah dan memiliki kewenangan penuh dalam kebijakan, dia juga ikut saat melakukan survei jalan di Sipiongot, Kabupaten Padang Lawas Utara, sebelum terjadi operasi tangkap tangan oleh KPK.
Sebelumnya, nama Gubernur Bobby Nasution disebut-sebut untuk dipanggil memberikan keterangan di persidangan.
Kemudian Muryanto Amin, komisi antirasuah pernah melayangkan surat pemanggilan kepada
rektor USU
itu untuk dimintai keterangan terkait kasus yang melibatkan
Topan Ginting
.
Akan tetapi, hingga ketiga terdakwa itu disidangkan di PN Medan, Muryanto diduga belum juga memenuhi undangan KPK.
Diberitakan sebelumnya, ketiga terdakwa itu didakwa melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa pelanggaran dapat dikenakan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun serta pidana denda antara Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar.
Khususnya, poin a menyebutkan bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, dengan tujuan menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya, dapat dijatuhi hukuman.
Topan, Rasuli, dan Heliyanto, tiga dari lima terdakwa yang ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 28 Juni 2025. Mereka ditangkap terkait dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Sumatera Utara dengan total nilai mencapai Rp 231,8 miliar.
Dua terdakwa lainnya adalah kontraktor swasta, yakni Direktur Utama PT Dalihan Natolu Grup, Akhirun Piliang dan Direktur Utama PT Rona Mora, Reyhan Dulsani.
Dalam kasus ini, Akhirun dan Reyhan diduga memberikan sejumlah uang kepada pejabat PUPR Sumut sebesar Rp 100 juta pada tahun 2025 serta kepada Satker PJN Wilayah I Sumut sebesar Rp 3,9 miliar.
Keduanya telah dituntut hukuman penjara, dengan Akhirun mendapatkan tuntutan 3 tahun penjara dan Reyhan 2 tahun 6 bulan penjara.
Jaksa berpendapat bahwa perbuatan para terdakwa memenuhi unsur dakwaan, baik dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU 20 Tahun 2001, maupun dalam Pasal 13 UU 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU 20 Tahun 2001.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Kasus Jalan Sumut, KPK Belum Temukan Keterlibatan Bobby
Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum memanggil Gubernur Sumatra Utara Bobby Nasution terkait kasus dugaan korupsi proyek jalan di provinsi tersebut.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan pihaknya belum menemukan keterlibatan menantu Joko Widodo itu sehingga sampai saat ini Bobby belum dipanggil untuk diperiksa.
“Sampai saat ini belum. Kita fokus di pihak yang diduga melakukan suap dan penerima terkait dengan proyek pengadaan jalan,” ujar Budi di Gedung Merah Putih dikutip Selasa (18/11/2025).
Namun, Budi menyampaikan pihaknya telah memanggil sejumlah pihak yang dianggap mengetahui perkara tersebut untuk melengkapi informasi.
Lembaga antirasuah juga masih mencermati perkembangan dalam kasus ini, meskipun Bobby direncanakan hadir dalam persidangan Tipikor.
Budi menjelaskan proses penyidikan sudah dinyatakan lengkap oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan dilimpahkan. Bahkan, katanya, pelimpahan sudah ditahap kedua baik dari pihak pemberi maupun penerima.
“Kluster pemberi sudah berjalan sidangnya kemudian kluster penerima ini kita sedang menunggu penetapan jadwal sidangnya dari PN Medan,” ucap Budi.
Nantinya JPU akan menghadirkan barang bukti, tersangka, dan saksi ahli untuk memperkuat pembuktian dari yang didakwakan.
Diketahui, kasus ini menyeret mantan Kepala Dinas PUPR Provinsi Medan Topan Obaja Ginting, Rasuli Efendi Siregar (RES) adalah Kepala UPTD Gunung Tua Dinas PUPR Sumut dan Heliyanto merupakan PPK Satker PJN Wilayah I Sumut. Berkas persidangan telah dilimpahkan pada 12 November 2025.
“Hari ini, Rabu (12/11), Tim JPU KPK melimpahkan perkara dugaan tindak pidana korupsi terkait suap proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR Provinsi Sumatra dan proyek di Satker PJN Wilayah 1 Sumatra Utara, ke PN Tipikor Medan atas nama Tersangka Topan Obaja Ginting, Rasuli dan Heliyanto,” pungkas Budi.
Dugaan tindak pidana korupsi proyek pembangunan jalan itu senilai Rp231,8 miliar di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Sumut. Topan diduga mengatur untuk memenangkan perusahaan swasta guna menangani proyek tersebut. Dari pengkondisian ini, Topan mendapat janji fee Rp8 miliar.
-

KPK ‘Cupu’ tak Berani Hadirkan Menantu Jokowi di Sidang Suap Proyek Jalan Sumut
GELORA.CO – Indonesia Corruption Watch (ICW) melakukan aksi teatrikal di depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (14/11/2025).
Aksi yang menampilkan wayang dan penggunaan sejumlah topeng itu merupakan bentuk sindiran terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinilai tidak berani memeriksa Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Bobby Nasution, dalam kasus dugaan suap proyek pembangunan jalan di Sumut.
“Kita menuntut KPK untuk memeriksa Bobi dalam perkara korupsi pembangunan jalan Sipiongot–Labuhanbatu dan Hutaimbaru–Sipiongot,” kata Peneliti ICW, Zararah Azhim Syah, kepada awak media di lokasi.
Zararah mengingatkan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Medan, melalui Ketua Majelis Khamozaro Waruwu, pernah memerintahkan Jaksa Penuntut KPK untuk menghadirkan Bobby sebagai saksi dalam sidang terdakwa pemberi suap, Direktur Utama PT Dalihan Na Tolu Grup, Muhammad Akhirun Piliang.
Menurut Zararah, dasar hukum pemeriksaan Bobby sudah jelas. Namun KPK dinilai terus menunda dan tidak menepati janji yang sebelumnya disampaikan Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak.
“Dan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak pada 30 September juga menyatakan bahwasanya apabila ada perintah dari pengadilan, maka KPK akan memeriksa Bobi Nasution begitu, karena ada dasar hukumnya,” ucapnya.
Zararah bahkan menyebut KPK terkesan takut memeriksa menantu Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi). Ia merujuk pemberitaan media yang menyatakan adanya usulan internal penyidik untuk memeriksa Bobby, namun tidak ditindaklanjuti kasatgas penyidikan kasus tersebut.
“Bahkan yang kami tahu penyidik KPK sudah mengusulkan kepada ketua satgas yang menangani kasus ini untuk memeriksa Bobby, tapi ketiga kepala satgas tersebut tidak ada yang berani untuk memeriksa Bobby,” kata Zararah.
Dalam aksi tersebut, para peserta duduk di halaman yang dipagari kawat berduri sambil memainkan wayang-wayang kertas berbentuk berbagai tokoh. Mereka juga membawa properti bambu dan sejumlah poster bernada sindiran.
Di belakang peserta aksi terbentang spanduk besar berwarna oranye bertuliskan “Kalau KPK Masih Independen Periksa Bobby Sekarang!” Puluhan poster senada juga diletakkan di lantai, antara lain bertuliskan “Periksa Bobby” “KPK Takut Sama Siapa?” hingga “KPK Cupu Karena Cepu.”
Beberapa peserta aksi tampak menggunakan topeng bergambar wajah Jokowi, Bobby, dan Kahiyang Ayu. Aksi teatrikal ini menjadi simbol kritik keras terhadap KPK yang dinilai enggan memeriksa Bobby dalam kasus dugaan suap proyek infrastruktur jalan di Sumut.
Eks Kadis PUPR Sumut Segera Disidang
Mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Sumatera Utara, Topan Obaja Ginting (TOP), yang disebut dekat dengan Gubernur Bobby Nasution, akan segera diadili di Pengadilan Tipikor Medan.
Dua pejabat lain turut menjadi terdakwa, yakni Rasuli Efendi Siregar (RES), Kepala UPTD Gunung Tua Dinas PUPR Sumut sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), serta Heliyanto (HEL), PPK Satuan Kerja PJN Wilayah I Sumut.
Ketiganya didakwa terkait penerimaan suap proyek pembangunan jalan di lingkungan Dinas PUPR Sumatera Utara dan Satker PJN Wilayah I Sumut. Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK telah melimpahkan berkas perkara dan para terdakwa ke Pengadilan Tipikor Medan.
“Hari ini, Rabu (12/11), Tim JPU KPK melimpahkan perkara dugaan tindak pidana korupsi terkait suap proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR Provinsi Sumatra dan proyek di Satker PJN Wilayah 1 Sumatra Utara ke PN Tipikor Medan a.n. Tersangka Topan Obaja Ginting, Rasuli, dan Heliyanto,” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo.
Budi mengatakan, masyarakat diminta menunggu jadwal sidang perdana dengan agenda pembacaan surat dakwaan oleh JPU.
“Sidang bersifat terbuka. KPK mengajak masyarakat untuk turut mengikuti jalannya persidangan sebagai salah satu bentuk pelibatan publik dalam pemberantasan korupsi,” ujarnya.
Sementara itu, pihak pemberi suap telah lebih dulu disidangkan. Mereka adalah Direktur Utama PT Dalihan Na Tolu Grup, Muhammad Akhirun Piliang alias Kirun, serta Direktur PT Rona Mora, Muhammad Rayhan Dulasmi.
Keduanya didakwa memberikan suap sebesar Rp4,5 miliar kepada sejumlah pihak, termasuk Kepala Dinas PUPR Sumut, Topan Obaja Ginting. Akhirun dituntut 3 tahun penjara, sedangkan Rayhan dituntut 2 tahun 6 bulan.
Pada hari yang sama, keduanya membacakan pembelaan (pledoi) atas tuntutan jaksa. Budi menyebut para terdakwa memberikan apresiasi atas pembuktian jaksa selama persidangan.
“Pada hari ini juga, telah selesai agenda pledoi dari terdakwa Muhammad Akhirun Piliang dan Muhammad Rayhan yang pada intinya mereka salut atas pembuktian dari Tim JPU KPK selama persidangan,” kata Budi.
Kasus suap ini terungkap dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK di Sumut pada Kamis malam, 26 Juni 2025.
Namun hingga kini, langkah JPU KPK untuk menghadirkan Gubernur Sumut, Bobby Nasution (BN), sebagai saksi dalam sidang kasus suap tersebut masih belum jelas.
Ketua Majelis Hakim Tipikor PN Medan, Khamozaro Waruwu, sempat memerintahkan jaksa agar menghadirkan Bobby di persidangan terdakwa Akhirun. Tidak lama setelah perintah itu, rumah Khamozaro dilaporkan mengalami kebakaran dan memicu dugaan teror.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, mengatakan pemanggilan Bobby masih menunggu laporan jaksa kepada pimpinan KPK.
“Kami tambahkan kembali terkait dengan tadi pertanyaan bagaimana saudara BN. Seperti sudah disampaikan oleh Pak Ketua, kita juga sama sedang menunggu itu,” kata Asep di Gedung Merah Putih KPK, Senin (10/11/2025).
Asep menjelaskan laporan jaksa baru akan disampaikan setelah sidang perkara dengan terdakwa pemberi suap, Muhammad Akhirun Piliang (KIR), diputuskan. Pemanggilan Bobby kemungkinan dilakukan pada sidang lain yang masih berkaitan dengan perkara suap yang menjerat Topan Obaja Ginting.
“Ini kan belum putusannya. Putusannya seperti apa, setelah persidangan baru dilaporkan. Kita tunggu ya, sama-sama,” ujar Asep.
-

BKN Ungkap Data Mengejutkan Berkaitan dengan Pengangkatan PPPK Paruh Waktu
Fajar.co.id, Jakarta — Saat rapat kerja bersama Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, pada Senin (10/11/2025), Kepala BKN, Prof Zudan Arief Fakhrulloh, menyampaikan kabar mengejutkan.
Dia menyebutkan, baru sekitar 15 persen PPPK Paruh Waktu yang menerima SK pengangkatan.
Penyebabnya, lanjut Prof Zudan, karena berkaitan dengan anggaran dan dinamika politik.
“Untuk PPPK paruh waktu, dari total 1,24 juta usulan, baru 15 persen SK yang terbit karena kendala di tingkat daerah, terutama terkait anggaran dan dinamika politik,” urai Zudan, dikutip dari situs resmi BKN.
Hanya saja, tidak dijelaskan dinamika politik seperti apa yang dimaksudnya
Adapun terkait anggaran, kemungkinan besar lantaran hampir semua pemda melakukan pengencangan ikat pinggang alias efisiensi sebagai dampak pemangkasan dana transfer ke daerah (TKD) 2026.
Persentase jumlah SK PPPK Paruh Waktu yang disampaikan Prof Zudan pada Senin hampir pasti bertambah, karena hari ini sudah Kamis (13/11/2025).
Sebagaimana diketahui, penerbitan SK pengangkatan PPPK Paruh Waktu merupakan kewenangan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di masing-masing instansi.
SK pengangkatan tersebut merupakan tahapan setelah BKN menerbitkan NIP PPPK Paruh Waktu.
Sementara itu, para Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja atau PPPK 2021 di lingkungan Pemkab Jember, Jawa Timur, merasa gelisah.
Penyebabnya, masa kontrak kerja PPPK full time itu akan habis pada Desember 2025.
Namun, belum ada tanda-tanda perpanjangan perjanjian kerja bagi PPPK 2021.
Hal itu diungkapkan Koordinator PPPK Kabupaten Jember Susiyanto.
-

BKN Ungkap Data Mengejutkan Berkaitan dengan Pengangkatan PPPK Paruh Waktu
Fajar.co.id, Jakarta — Saat rapat kerja bersama Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, pada Senin (10/11/2025), Kepala BKN, Prof Zudan Arief Fakhrulloh, menyampaikan kabar mengejutkan.
Dia menyebutkan, baru sekitar 15 persen PPPK Paruh Waktu yang menerima SK pengangkatan.
Penyebabnya, lanjut Prof Zudan, karena berkaitan dengan anggaran dan dinamika politik.
“Untuk PPPK paruh waktu, dari total 1,24 juta usulan, baru 15 persen SK yang terbit karena kendala di tingkat daerah, terutama terkait anggaran dan dinamika politik,” urai Zudan, dikutip dari situs resmi BKN.
Hanya saja, tidak dijelaskan dinamika politik seperti apa yang dimaksudnya
Adapun terkait anggaran, kemungkinan besar lantaran hampir semua pemda melakukan pengencangan ikat pinggang alias efisiensi sebagai dampak pemangkasan dana transfer ke daerah (TKD) 2026.
Persentase jumlah SK PPPK Paruh Waktu yang disampaikan Prof Zudan pada Senin hampir pasti bertambah, karena hari ini sudah Kamis (13/11/2025).
Sebagaimana diketahui, penerbitan SK pengangkatan PPPK Paruh Waktu merupakan kewenangan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di masing-masing instansi.
SK pengangkatan tersebut merupakan tahapan setelah BKN menerbitkan NIP PPPK Paruh Waktu.
Sementara itu, para Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja atau PPPK 2021 di lingkungan Pemkab Jember, Jawa Timur, merasa gelisah.
Penyebabnya, masa kontrak kerja PPPK full time itu akan habis pada Desember 2025.
Namun, belum ada tanda-tanda perpanjangan perjanjian kerja bagi PPPK 2021.
Hal itu diungkapkan Koordinator PPPK Kabupaten Jember Susiyanto.
-
/data/photo/2025/11/12/69147d48c437a.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Pleidoi Reyhan Dulsani pada Sidang Korupsi Jalan Sumut: Tak Ada Niat Jahat, Hanya Bantu Ayah Medan 12 November 2025
Pleidoi Reyhan Dulsani pada Sidang Korupsi Jalan Sumut: Tak Ada Niat Jahat, Hanya Bantu Ayah
Tim Redaksi
MEDAN, KOMPAS.com
– Reyhan Dulsani menerima mikrofon dari ayahnya, Akhirun Piliang, untuk selanjutnya membacakan pleidoi atau nota pembelaan di Pengadilan Negeri (PN) Medan, Rabu (12/11/2025).
Reyhan, yang duduk di sebalah kanan ayahnya, mengatakan menyesal dan menyadari dirinya berada dalam proses hukum, yang tidak pernah disangka bakal berat seperti saat ini.
Dia mengaku tidak mempunyai niat lain, kecuali membantu ayahnya, karena ingin berbakti terhadap seorang yang selama hidupnya jadi teladan.
“Yang mulia, saya memahami di perkara ini saya dianggap turut serta. Apa pun yang saya lakukan dalam kerjaan, sepenuhnya atas perintah ayah saya. Saya tak pernah niat jahat dan menikmati uang yang disangkakan, tak punya niat memperkaya diri,” kata Reyhan.
Sebagai anak, ia mengaku tak pernah berpikir apa yang dilakukannya melanggar hukum.
Dia mengaku hanya membantu ayahnya dalam mencari nafkah dan tak mengerti uang serta apa maksud tujuan uang tersebut.
Dia menyebut tugasnya hanya administratif, menandatangani berkas, dan memastikan pekerjaan dilakukan serta tidak pernah menjanjikan sesuatu dan tidak ikut suap proyek.
“Saya berniat bantu orang tua. Saya tak menyangka perkara ini bisa menjadi berat bagi saya. Di usia saya yang muda ini seharusnya punya waktu bekerja dan belajar, tapi hari-hari saya sekarang diliputi rasa penyesalan dan bersalah. Kini ayah dan saya sama-sama di kursi pesakitan,” ucap Reyhan.
Reyhan menyampaikan ingin menebus kesalahan dan kembali kepada ibunya yang tiap hari menangis mendoakannya. Dengan penuh kerendahan hati, ia memohon kepada yang mulia agar berkenan memberikan kesempatan kedua.
“Saya ingin mengembalikan kepercayaan keluarga dan masyarakat. Semoga berkenan mempertimbangkannya dalam putusan supaya saya bisa memperbaiki diri untuk keluarga,” ujar Reyhan.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Muhammad Akhirun Piliang 3 tahun penjara dan
Reyhan Dulsani
selama 2,6 tahun dalam kasus korupsi jalan di
Sumatera Utara
.
Menurut jaksa, perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur dakwaan, yaitu alternatif pertama Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Kemudian, dakwaan kedua, Pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Selain pidana penjara, jaksa juga menjatuhkan hukuman denda Rp 150 juta subsider kurungan 6 bulan terhadap terdakwa Akhirun dan denda Rp 100 juta subsider kurungan 6 bulan kepada Reyhan Dulsani.
Dalam kasus ini, para terdakwa memberikan sejumlah uang kepada pejabat PUPR
Sumut
Rp 100 juta pada 2025 dan Satuan Kerja Pelaksana Jalan Nasional (PJN) 1 Wilayah Sumut Rp 3,9 miliar.
Kasus ini bermula dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 28 Juni 2025 terkait dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Sumatera Utara senilai total Rp 231,8 miliar.
KPK menetapkan lima tersangka, yakni Topan Obaja Putra Ginting, eks Kepala UPTD Dinas PUPR Gunung Tua, Rasuli Efendi Siregar dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Satker PJN Wilayah I Sumatera Utara, Heliyanto.
Lalu kontraktor dari pihak swasta, yaitu Direktur Utama PT Dalihan Natolu Grup (DNG), Akhirun Piliang, dan Direktur Utama PT Rona Mora, Reyhan Dulsani.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5411290/original/009905100_1763010154-Polda_Jawa_Barat_menangkap_Sekretaris_Dinas_Perumahan__Kawasan__dan_Pertanahan_Kabupaten_Kuningan_atas_dugaan_tindak_pidana_korupsi_proyek_Jalan_Lingkar_Timur_Kuningan.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)