Anggota DPR Desak Hakim yang Vonis Kasus Korupsi APD Covid-19 Diperiksa
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Anggota Komisi III
DPR RI
dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
Hasbiallah Ilyas
mendorong agar majelis hakim yang memberikan vonis rendah kepada terdakwa kasus korupsi pengadaan 1,1 juta alat pelindung diri (APD) Covid-19 untuk diperiksa oleh Komisi Yudisial (KY) atau Mahkamah Agung (MA).
Seperti diketahui, eks Pejabat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Budy Sylviana dihukum tiga tahun penjara meski merugikan negara hingga Rp 319 miliar.
“Kalau hanya seperti itu hakimnya juga diperiksa itu,” ujar Hasbiallah, usai acara diskusi publik “Legalisasi Kasino di Indonesia: Antara Kepastian Hukum, Tantangan Sosial, dan Peluang Ekonomi” yang diadakan Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) di Jakarta, Sabtu (7/6/2025).
Hasbi mengatakan, karena kasus korupsi ini terjadi di masa pandemi, maka hukuman yang dijatuhkan kepada para terdakwa seharusnya lebih berat dari kasus korupsi pada umumnya.
“Enggak bisa, itu (terjadi saat) Covid-19 itu,” lanjut dia.
Hasbi menegaskan, koruptor yang memanfaatkan masa Covid-19 untuk melakukan tindakan jahat sudah sepatutnya dihukum seberat-beratnya.
“Korupsi Covid-19 itu menurut saya korupsi yang merusak soal nyawa ini. Bukan hanya soal merugikan keuangan tapi soal nyawa. Itu harus dihukum dengan seberat-beratnya,” kata dia.
Diberitakan sebelumnya, tiga orang terdakwa kasus pengadaan 1,1 juta APD Covid-19 telah menerima vonis dari majelis hakim.
Ketiga terdakwa ini adalah mantan pejabat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Budi Sylvana, Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo, dan Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM) Ahmad Taufik.
Mantan pejabat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Budi Sylvana dihukum tiga tahun penjara dalam dugaan korupsi pengadaan 1,1 juta set alat pelindung diri (APD) Covid-19.
Budi merupakan pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengadaan di masa darurat yang menggunakan dana siap pakai Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tersebut.
“Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama tiga tahun,” kata Ketua Majelis Hakim Syofia Marlianti Tambunan dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jumat (5/6/2025).
Selain pidana penjara, majelis hakim juga menjatuhkan pidana denda Rp 100 juta, dengan ketentuan penjara subsidair dua bulan kurungan.
Budi tidak dihukum untuk membayar uang pengganti sebagaimana dua terdakwa lainnya, Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo dan Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM) Ahmad Taufik.
Kemudian, Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo dihukum 11 tahun dan enam bulan penjara dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) Covid-19.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menyebut, Satrio terbukti bersalah menyalahgunakan wewenang, melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara Rp 319.691.374.183,06 (Rp 319,6 miliar).
Selain pidana badan, Satrio juga dihukum membayar denda Rp 1 miliar subsidair empat bulan kurungan.
Satrio juga dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp 59.980.000.000 atau senilai uang korupsi yang dinikmati Satrio dalam perkara rasuah ini.
Lalu, Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM) Ahmad Taufik dihukum 11 tahun penjara dalam kasus korupsi pengadaan 1,1 juta set alat pelindung diri (APD) Covid-19.
Tidak hanya kurungan penjara, majelis hakim juga menghukum Taufik membayar denda Rp 1 miliar.
Jika tidak dibayar, maka hukuman pidana badannya akan ditambah empat bulan penjara.
Selain itu, majelis hakim juga menghukum Taufik membayar uang pengganti sebesar Rp 224.186.961.098 (Rp 224,1 miliar).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Organisasi: PPK
-
/data/photo/2025/06/07/68440b168ddf6.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Anggota DPR Desak Hakim yang Vonis Kasus Korupsi APD Covid-19 Diperiksa Nasional 8 Juni 2025
-

KPK Kembalikan Rp 5,4 Miliar dari Kasus Pemerasan TKA di Kemenaker
Jakarta, Beritasatu.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan telah mengembalikan uang negara sebesar Rp 5,4 miliar. Uang tersebut terkait kasus dugaan korupsi berupa pemerasan dan gratifikasi dalam pengurusan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker).
Pengembalian uang ini dilakukan oleh para tersangka dan pihak terkait melalui rekening penampungan milik KPK. “Hingga saat ini, para pihak termasuk para tersangka telah mengembalikan uang ke negara sebesar Rp 5,4 miliar,” ujar Pelaksana Harian Direktur Penyidikan KPK Budi Sukmo Wibowo, Jumat (6/6/2025).
Budi menyebut, penyidik KPK masih terus melacak aliran dana dan kemungkinan keterlibatan pihak lain, mengingat praktik pemerasan ini telah berlangsung sejak 2012.
KPK bahkan membuka kemungkinan penggunaan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) untuk memaksimalkan pengembalian aset negara. “Praktik ini sudah berlangsung sejak 2012, maka kami akan mengembangkan perkara ke TPPU agar lebih mudah melakukan asset recovery terhadap para oknum,” tegas Budi.
KPK telah melakukan penggeledahan di berbagai lokasi, termasuk kantor Kemenaker, rumah para tersangka, serta kantor agen pengurusan TKA yang terlibat.
Dalam kasus ini, delapan tersangka utama ditetapkan oleh KPK. Mereka diduga melakukan pemerasan terhadap pemohon RPTKA, dan berhasil mengumpulkan uang senilai Rp 53,7 miliar. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp 8,94 miliar dibagikan ke 85 pegawai Direktorat PPTKA.
KPK telah menetapkan delapan tersangka korupsi pemerasan TKA di Kemenaker:
1. Dirjen Binapenta dan PKK Kemenaker 2020-2023 Suhartono (SUH)
2. Direktur PPTKA 2019-2024, Dirjen Binapenta 2024-2025 Haryanto (HAR)
3. Direktur PPTKA 2017-2019 Wisnu Pramono (WP)
4. Koordinator Uji Kelayakan 2020-2024, Direktur PPTKA 2024-2025 Devi Angraeni (DA)
5. Mantan Kasubdit dan PPK PPTKA Gatot Widiartono (GW)
6. Staf Direktorat PPTKA 2019-2024 Putri Citra Wahyoe (PCW)
7. Staf Direktorat PPTKA 2019-2024 Jamal Shodiqin (JS)
8. Staf Direktorat PPTKA 2019-2024 Alfa Eshad (AE) -

KPK Bongkar Modus PNS Kemenaker Peras TKA hingga Rp 53,7 Miliar
Jakarta, Beritasatu.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap modus kasus dugaan korupsi berupa pemerasan dan gratifikasi oleh sejumlah pejabat dan pegawai di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker).
Delapan tersangka diduga memeras pemohon dokumen rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) hingga meraup keuntungan sebesar Rp 53,7 miliar.
KPK sudah menetapkan delapan tersangka:
1. Dirjen Binapenta dan PKK Kemenaker 2020-2023 Suhartono (SUH)
2. Direktur PPTKA 2019-2024 dan Dirjen Binapenta dan PKK 2024-2025 Haryanto (HAR)
3. Direktur PPTKA 2017-2019 WP Wisnu Pramono (WP)
4. Koordinator Uji Kelayakan 2020-2024, Direktur PPTKA 2024-2025 Devi Angraeni (DA)
5. Mantan Kasubdit dan PPK PPTKA, kini Koordinator Pengendalian TKA Gatot Widiartono (GW)
6. Staf Direktorat PPTKA 2019-2024 Putri Citra Wahyoe (PCW)
7. Staf Direktorat PPTKA 2019-2024 Jamal Shodiqin (JS)
8. Staf Direktorat PPTKA 2019-2024 Alfa Eshad (AE)Pelaksana Harian Direktur Penyidikan KPK Budi Sukmo Wibowo menjelaskan, para tersangka menggunakan posisinya untuk memeras perusahaan yang ingin mempekerjakan TKA di Indonesia. Dokumen RPTKA, yang merupakan syarat wajib untuk izin kerja dan tinggal TKA, dijadikan alat untuk memaksa pemohon menyerahkan uang.
“Verifikator, seperti PCW, AE, dan JS hanya memproses permohonan RPTKA dari pemohon yang telah memberikan atau berjanji akan memberikan uang,” ujar Budi, Jumat (6/6/2025).
Jika RPTKA tidak diterbitkan, maka penerbitan izin kerja dan izin tinggal TKA akan terhambat, dan pemohon terkena denda hingga Rp 1 juta per hari. Hal inilah yang menyebabkan banyak perusahaan terpaksa menyuap pejabat Kemenaker agar proses dipercepat.
Selain itu, permohonan yang tidak disertai uang tidak diproses, bahkan tidak diberi tahu jika terdapat kekurangan berkas. Jadwal wawancara via Skype pun hanya diberikan kepada pihak yang sudah “menyetor” uang.
Dana hasil pemerasan tidak hanya dinikmati oleh para pejabat tinggi, tetapi juga dibagi secara rutin, yaitu disetorkan ke rekening khusus, dibagi setiap dua minggu, digunakan untuk konsumsi pribadi, dan jamuan makan malam pegawai.
“SUH, WP, HAR, dan DA memerintahkan staf untuk memprioritaskan pemohon yang sudah membayar, dan aktif menerima dana korupsi,” tambah Budi.
Berikut perincian uang yang diterima delapan tersangka:
1. Haryanto Rp 18 miliar
2. Putri Citra Wahyoe Rp 13,9 miliar
3. Gatot Widiartono Rp 6,3 miliar
4. Devi Anggraeni Rp 2,3 miliar
5. Jamal Shodiqin Rp 1,8 miliar
6. Alfa Eshad Rp 1,1 miliar
7. Wisnu Pramono Rp 580 juta
8. Suhartono Rp 460 juta. -

Kasus APD Covid-19: Eks Pejabat Kemenkes Divonis 3 Tahun Bui dan Pengusaha 11 Tahun
Bisnis.com, JAKARTA — Tiga orang terdakwa kasus korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) Covid-19 di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dinyatakan bersalah dan divonis hukuman pidana penjara.
Ketua Majelis Hakim Syofia Marlianti mengatakan salah satu dari tiga orang terdakwa itu yakni mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes, sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek APD, Budi Sylvana. Dua terdakwa lainnya adalah pengusaha yang menggarap proyek pengadaan APD sebanyak 5 juta set yakni Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo, serta Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM), Ahmad Taufik.
Terdakwa Budi mendapatkan hukuman yang jauh lebih ringan dari dua orang pengusaha itu yakni pidana penjara selama tiga tahun dan denda sebesar Rp100 juta subsidair kurungan 2 bulan.
“Menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sehingga melanggar Pasal 3 juncto Pasal 16 Undang-Undang (UU) No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No.20/2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dakwaan alternatif kedua,” ujarnya di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Kamis (5/6/2025).
Sementara itu, kedua pengusaha yang menggarap proyek APD selama pandemi Covid-19 dengan total 5 juta set itu mendapatkan masing-masing sekitar 11 tahun.
Bagi terdakwa Satrio, pengusaha itu dijatuhi vonis 11 tahun penjara dan 6 bulan, serta denda Rp1 miliar subsidair 4 bulan kurungan. Dia juga diminta untuk membayar uang pengganti Rp59,98 miliar subsidair 3 tahun penjara.
Sementara itu, terdakwa Taufik dijatuhi vonis 11 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsidair 4 bulan kurungan. Uang pengganti yang diminta oleh Pengadilan untuk dibayar Taufik jauh lebih tinggi yakni Rp224,18 miliar subsidair 4 tahun penjara.
Keduanya terbukti menyebabkan kerugian keuangan negara sekitar Rp319 miliar sebagaimana audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dakwaan alternatif pertama,” terang Hakim Ketua.
Apabila dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka vonis kepada ketiga terdakwa lebih ringan dari tuntutan. Budi awalnya dituntut 4 tahun penjara, sedangkan Satrio 14 tahun dan 10 bulan penjara serta Taufik 14 tahun dan 4 bulan penjara.
Adapun pidana uang pengganti yang dijatuhkan kepada Satrio dan Taufik sama besarannya sebagaimana yang dituntut oleh JPU KPK.
Berdasarkan catatan Bisnis, anggaran yang digunakan untuk pengadaan APD itu berasal dari Dana Siap Pakai (DSP) milik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Penyidik KPK pun mengendus dugaan penggelembungan harga pengadaan APD atau mark-up.
Kasus dugaan korupsi itu bermula ketika pemerintah berupaya untuk memenuhi kebutuhan APD saat awal pandemi Covid-19 sekitar empat tahun lalu. Pengadaan dilakukan dengan turut melibatkan aparat seperti TNI dan Polri.
Bahkan, APD itu langsung diambil oleh TNI dari Kawasan Berikat berdasarkan instruksi Kepala BNBP yang saat itu memimpin Gugus Tugas Covid-19. Dia tidak lain dari Letjen TNI Doni Monardo, yang kini sudah meninggal dunia.
APD lalu diambil aparat pada 21 Maret 2020 untuk disebar ke 10 provinsi. Namun, pengambilan dilakukan tanpa kelengkapan dokumentasi, bukti pendukung, serta surat pemesananan.
-

Kasus Pemerasan TKA, KPK Bakal Periksa Eks Menaker Hanif Dhakiri dan Ida Fauziyah
Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memeriksa dua mantan Menteri Ketanagakerjaan (Menaker) sebagai saksi terkait dengan kasus dugaan pemerasan Rencana Pengurusan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).
Dua orang mantan menteri itu yakni Hanif Dhakiri, yang menjabat Menaker 2014-2019, serta Ida Fauziyah, yang menjabat selama 2019-2024. Keduanya kini merupakan anggota DPR periode 2024-2029 dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Pelaksana Harian (Plh) Direktur Penyidikan KPK Budi Sokmo mengakui, kedua mantan menteri itu bakal dimintai klarifikasi lantaran adanya dugaan penerimaan gratifikasi secara berjenjang dari staf hingga pimpinan tertinggi kementerian. Para tersangka yang ditetapkan mulai dari staf hingga selevel direktur jenderal (dirjen).
Untuk diketahui, KPK menjerat sebanyak delapan orang tersangka dari internal Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Ditjen Binapenta dan PKK) Kemnaker, dengan pasal pemerasan dan gratifikasi.
“Tadi sudah saya sampaikan juga ya berjenjang dari Menteri HD sampai IF pasti akan kita klarifikasi terhadap beliau-beliau terhadap praktik yang ada di bawahnya, karena secara manajerial, beliau-beliau adalah pengawasnya,” terang Budi pada konferensi pers, Kamis (5/6/2025).
Budi memastikan penyidik akan meminta klarifikasi apabila aliran uang hasil korupsi itu mencapai level paling atas Kemnaker. Penegak hukum juga akan mengklarifikasi semua bukti temuan saat penggeledahan.
Dia mengatakan pimpinan tertinggi kementerian bakal diklarifikasi guna mengusut apabila praktik pemerasan maupun penerimaan gratifikasi itu berdasarkan sepengetahuan mereka atau tidak.
“Apakah praktik ini sepengetahuan atau seijin atau apa, perlu kami klarifikasi. Hal tersebut sangat penting untuk dilaksanakan sehingga nanti apa yang kita lakukan ke depan upaya pencegahan juga in line dari atasnya sampai bawah satu perintah bahwa itu menteri bersih, Insyallah bawahnya bersih,” ujarnya.
Menurut Budi, penegak hukum turut menjerat para tersangka dengan pasal gratifikasi guna menjaga-jaga apabila bukti yang diperoleh tidak cukup untuk dugaan pemerasan. Pengenaan pasal gratifikasi juga diharapkan bisa menyasar ke pimpinan tertinggi kementerian apabila bukti terkait berhasil ditemukan.
“Sehingga nanti kalau bisa sampai ke level paling tinggi di kementerian tersebut bisa mencakup unsur-unsur pasal yang dikenakan,” papar Budi.
Adapun 8 orang tersangka yang dimaksud adalah:
1. SH (Suhartono), Dirjen Binapenta dan PKK 2020-2023;
2. HY (Haryanto), selaku Direktur Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) 2019-2024 kemudian diangkat menjadi Dirjen Binapenta dan PKK 2024-2025;
3. WP (Wisnu Pramono), selaku Direktur PPTKA 2017-2019;
4. DA (Devi Angraeni), selaku Koordinator Uji Kelayakan Pengesahan PPTKA 2020-Juli 2024 kemudian diangkat menjadi Direktur PPTKA 2024-2025;
5. GTW (Gatot Widiartono), selaku Kepala Subdirektorat Maritim dan Pertanian Ditjen Binapenta dan PKK 2019-2021, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) PPTKA 2019-2024, serta Koordinator Bidang Analisis dan Pengendalian Tenaga Kerja Asing Direktorat PPTKA 2021-2025;
6. PCW (Putri Citra Wahyoe), selaku Staf pada Direktorat PPTKA 2019-2024;
7. JMS (Jamal Shodiqin), selaku Staf pada Direktorat PPTKA 2019-2024; serta
8. ALF (Alfa Eshad), selaku Staf pada Direktorat PPTKA 2019-2024.
Lembaga antirasuah menduga kedelapan tersangka itu melakukan pemerasan terhadap calon tenaga kerja asing (TKA) yang ingin melakukan pekerjaan di Indonesia.
Untuk diketahui, agar bisa bekerja di Indonesia, calon pekerja migran dari luar negeri itu harus mendapatkan RPTKA. Sementara itu, RPTKA dikeluarkan oleh Ditjen Binapenta dan PKK.
Sampai dengan saat ini, terang Budi, KPK menduga jumlah uang yang diterima para tersangka dan pegawai dalam Direktorat PPTKA Ditjen Binapenta dan PKK dari pemohonan RPTKA mencapai Rp53,7 miliar.
“Bahwa penelusuran aliran uang dan keterlibatan pihak lain dalam perkara ini masih terus dilakukan penyidikan,” terang Budi.
-

Modus Pemerasan TKA di Kemnaker: Staf hingga Dirjen Diduga Terlibat
Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga staf hingga pejabat setingkat direktur jenderal (dirjen) terlibat dalam kasus pemerasan terkait dengan pengurusan Rencana Pengurusan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).
Untuk diketahui, KPK telah menetapkan total delapan orang tersangka pada kasus tersebut. Keseluruhannya merupakan staf pegawai hingga dirjen di lingkungan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta dan PKK) Kemnaker.
Pelaksana Harian (Plh) Direktur Penyidikan Budi Sokmo menjelaskan, para tersangka diduga melakukan pemerasan terhadap TKA yang melakukan pekerjaan di Indonesia.
“Dengan cara yaitu, para tenaga kerja asing ini apabila akan masuk ke Indonesia atau melakukan kerja, akan meminta izin berupa RPTKA. Nah, kewenangan pengeluaran RPTKA ini ada Ditjen Binapenta. Dari sini ternyata ada celah-celah,” ujar Budi pada konferensi pers, Kamis (5/6/2025).
Menurut Budi, para tersangka diduga menemukan sejumlah celah korupsi pada pengurusan RPTKA yang dilakukan para agen penyalur pekerja migran di Indonesia.
Salah satu celah, yakni pada wawancara setelah pengajuan data calon TKA secara online. Hasil verifikasi syarat administrasi pengajuan RPTKA itu akan diberitahukan kepada para agen dalam waktu lima hari, baik apabila dinyatakan lengkap atau masih perlu perbaikan.
Lembaga antirasuah menduga, para agen yang tidak memberikan uang ke para tersangka, maka tidak akan pernah mendapatkan konfirmasi atas hasil persyaratan administrasi RPTKA yang diajukan.
“Bagi agen yang mengurus TKA ini telah menyerahkan sejumlah uang, karena memang sudah mengetahui untuk mengruus itu sudah diminta, maka pemberitahuannya tidak secara online tetapi diberikan secara pribadi melalui WhatsApp kepada para pengurus atau agen,” ujar Budi.
Adapun para agen TKA yang tidak memberikan uang lalu akan mendatangi para tersangka untuk mengonfirmasi ihwal perkembangan pengajuan RPTKA mereka. Pada saat itu, terang Budi, tersangka dari level staf hingga Dirjen meminta sejumlah uang kepada para agen.
“Dari sinilah kemudian oknum-oknum tadi yang staf paling bawah tadi, atas perintah dari atasannya berjenjang sampai dengan dirjennya itu menentukan tarif-tarifnya berapa yang harus dipungut ketika perizinan bisa dikeluarkan. Di sinilah terjadi prosesnya permintaan sejumlah uang kepada para agen dengan alasan supaya RPTKA dikeluarkan,” papar Budi.
Celah lain yang diduga dilihat oleh para tersangka, kata Budi, yaitu soal pentingnya RPTKA bagi para calon pekerja migran. Apabila RPTKA tidak segera diterbitkan, para TKA akan terlambat mendapatkan penempatan sehingga diganjar denda. Besaran dendanya pun dihitung setiap hari.
“Para agen tadi mau tidak mau, harus memmberikan. Kalau tidak ya mereka akan mendapatkan denda lebih besar daripada uang yang harus dikeluarkan untuk mengurus RPTKA tersebut,” ujar Budi.
8 Tersangka Suap TKA
1. SH (Suhartono), Dirjen Binapenta dan PKK 2020-2023;
2. HY (Haryanto), selaku Direktur Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) 2019-2024 kemudian diangkat menjadi Dirjen Binapenta dan PKK 2024-2025;
3. WP (Wisnu Pramono), selaku Direktur PPTKA 2017-2019;
4. DA (Devi Angraeni), selaku Koordinator Uji Kelayakan Pengesahan PPTKA 2020-Juli 2024 kemudian diangkat menjadi Direktur PPTKA 2024-2025;
5. GTW (Gatot Widiartono), selaku Kepala Subdirektorat Maritim dan Pertanian Ditjen Binapenta dan PKK 2019-2021, Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK) PPTKA 2019-2024, serta Koordinator Bidang Analisis dan Pengendalian Tenaga Kerja Asing Direktorat PPTKA 2021-2025;
6. PCW (Putri Citra Wahyoe), selaku Staf pada Direktorat PPTKA 2019-2024;
7. JMS (Jamal Shodiqin), selaku Staf pada Direktorat PPTKA 2019-2024; serta
8. ALF (Alfa Eshad), selaku Staf pada Direktorat PPTKA 2019-2024.
Sampai dengan saat ini, terang Budi, KPK menduga jumlah uang yang diterima para tersangka dan pegawai dalam Direktorat PPTKA Ditjen Binapenta dan PKK dari pemohonan RPTKA mencapai Rp53,7 miliar.
“Bahwa penelususan aliran uang dan keterlibatan pihak lain dalam perkara ini masih terus dilakukan penyidikan,” pungkasnya.
Selain dijerat dengan pasal pemerasan, para tersangka turut dijerat dengan pasal gratifikasi yang tertera pada Undang-Undang (UU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
-

Tersandung Kasus PDNS, Komdigi Bersih-bersih Lakukan Ini
Jakarta, CNBC Indonesia – Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) berupaya untuk bersih-bersih usai ditimpa berbagai kasus. Termasuk kasus dugaan korupsi Pusat Data Nasional Sementara (PDNS).
Inspektur Jenderal Kementerian Komdigi Arief Tri Hardiyanto mengatakan pihaknya telah melakukan evaluasi sejak PDNS diserang malware. Salah satunya terkait proses pengamanannya lebih lanjut, yang juga dibantu beberapa pihak termasuk dari BSSN.
“Dan kemudian itu, pak presiden minta untuk dilakukan tata kelolanya. Itu di-update,” kata Arief di kantor Komdigi, Kamis (5/6/2025).
“Sekarang ini dengan ada kasus korupsi, maka ada beberapa concern dari APH ya yang baru timbul saat ini,” dia melanjutkan.
Menurutnya perlu penanganan khusus terkait kasus dugaan korupsi. Pihak Komdigi juga melakukan tengah berproses melakukan evaluasi.
“Kita melakukan audit dari segi tata kelolanya, dan kemudian dari aspek SDM teknologinya,” jelasnya.
Kasus dugaan korupsi PDNS menyeret nama Semuel Abrijani Pangerapan yang pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika periode 2016-2024. Dia telah ditetapkan sebagai tersangka bersama dengan empat orang lainnya dalam kasus tersebut.
Tersangka lainnya adalah Bambang Dwi Anggono (BDA), selaku Direktur Layanan Aplikasi Informatika Pemerintah Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Pemerintahan Kemenkominfo periode 2019-2023. Berikutnya Nova Zanda atau NZ, merupakan penjabat membuat komitmen (PPK) dalam pengadaan barang atau jasa dan Pengelolaan Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) pada Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2020 sampai dengan 2024.
Tersangka keempat adalah Alfi Asman (AA) selaku Direktur Bisnis PT Aplika Nusa Lintas Arta periode 2014-2023. Terakhir bernama Pini Panggar Agusti (PPA) selaku Account Manager PT Dokotel Teknologi (2017-2021).
Komdigi juga menyiapkan Pusat Data Nasional di Cikarang. Menteri Komdigi Meutya Hafid dan jajarannya terus melakukan diskusi untuk melakukan pengelolaan PDN usai dibuka nanti.
Arief mengatakan pihaknya juga melakukan pengawalan dalam beberapa tahapan. Termasuk saat mengecek lapangan langsung dan mesin yang akan dibeli.
“Kita pastikan speknya itu sesuai dengan kontrak ya. Jumlahnya kemudian kualitas berfungsi mesin itu. Kita ikut melakukan cek fisik,” kata Arief.
(fab/fab)


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5157674/original/024181600_1741611508-20250310-Ridwan_Kamil-HEL_1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)