Organisasi: PERSEPSI

  • Badai PHK Mengincar Pekerja, Pengusaha Ketar-ketir Dampaknya

    Badai PHK Mengincar Pekerja, Pengusaha Ketar-ketir Dampaknya

    Bisnis.com, JAKARTA — Badai pemutusan hubungan kerja alias PHK terus menghantui pekerja di Indonesia. Pada perayaan Hari Buruh Internasional kemarin, misalnya, ratusan pekerja di sektor komunikasi dan informasi, mengalami PHK massal. Peristiwa itu menunjukkan, bahwa kondisi ketenagakerjaan di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. 

    Sekadar catatan, sampai dengan Februari 2025 lalu, jumlah pekerja yang kehilangan pekerjaannya mencapai 18.610 atau naik 459,6% dibandingkan posisi Januari 2025 yang sebanyak 3.325. Sementara itu, jika dibandingkan dengan Februari 2024 yang tercatat sebanyak 7.694 pekerja, angka kenaikannya hampir menembus 200%. 

    Adapun wilayah Jawa Tengah, menjadi penyumbang jumlah pekerja yang kena PHK paling banyak. Totalnya mencapai 57,37% atau 10.677 pekerja. Tingginya angka PHK di Jateng disebabkan oleh sejumlah faktor, salah satunya PHK massal di raksasa tekstil, PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) alias Sritex. 

    Sementara itu, data Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) menyebut bahwa sekitar 23.000-an pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang Januari-awal April 2025.

    Presiden KSPN Ristadi menyampaikan, total korban PHK itu berasal dari sekitar 18 perusahaan dan sebagian besar pekerja yang di PHK merupakan anggota KSPN. “Data dari KSPN sampai awal April, data kami sekitar 23.000-an ya [yang ter-PHK] itu memang mayoritas anggota kami saja yang mengalami PHK dari sekitar 18 perusahaan,” kata Ristadi kepada Bisnis, belum lama ini.

    Ristadi mengungkap, kasus PHK paling banyak terjadi di sektor padat karya, utamanya di wilayah Jawa Tengah. Dia memperkirakan, tren PHK masih akan terus terjadi kedepannya, bahkan berpeluang memakan lebih banyak korban.

    Menurutnya, kondisi ini kian diperparah seiring adanya efek domino dari kebijakan tarif timbal balik yang diterapkan oleh Amerika Serikat (AS). Dia menjelaskan, Indonesia perlu mewaspadai ‘muntahan’ produk impor berharga murah.

     “Ini yang sebetulnya akan lebih membahayakan, mengancam eksistensi industri produsen dalam negeri kita,” ujarnya.

    Satgas PHK Sampai Mana? 

    Sementara itu, pemerintah sedang membahas aturan untuk pembentukan Satuan Tugas alias Satgas PHK. Presiden Prabowo Subianto bahkan telah secara spesifik menyebut Satgas PHK sebagai salah satu kado kepada buruh pada peringatan May Day kemarin.

    Prabowo menyebut Satgas Buruh menjadi satu dari 3 kebijakan pro buruh yang akan dikeluarkan oleh pemerintahan dalam waktu dekat. Selain Satgas, adapula rencana membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional hingga percepatan pengesahan sejumlah undang-undang yang menyentuh langsung kehidupan pekerja.

    “Saya ingin memberi hadiah kepada kaum buruh pada hari ini. Saya akan segera membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional,” ujar Prabowo dalam sambutannya saat menghadiri May Day di kawasa Monas, Jakarta, Kamis (1/5/2025).

    Dewan tersebut, kata Prabowo, akan terdiri dari tokoh-tokoh serikat buruh dari seluruh Indonesia dan akan bertugas memberi nasihat langsung kepada Presiden mengenai peraturan perundangan yang tidak berpihak kepada pekerja.

    Sementara itu, merespons masukan dari tokoh-tokoh buruh nasional seperti Said Iqbal dan Jumhur Hidayat, Prabowo juga mengumumkan pembentukan satuan tugas khusus untuk menangani kasus pemutusan hubungan kerja atau Satgas PHK.

    “Kami tidak akan membiarkan pekerja di-PHK seenaknya. Bila perlu, negara akan turun tangan,” tegasnya.

    Adapun Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli mengatakan pihaknya tengah merampungkan konsep pembentukan Satgas PHK bersama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) dan Kementerian Sekretariat Negara (Kemensesneg).

    “Kami bersama Kemenko Ekonomi dan Kemensesneg sedang finalisasi konsep Satgas PHK,” kata Yassierli kepada Bisnis, Rabu (30/4/2025).

    Untuk diketahui, Satgas PHK dibentuk untuk memantau dan mengantisipasi kemungkinan lonjakan pemutusan hubungan kerja, terutama di sektor-sektor strategis yang menyerap banyak tenaga kerja. 

    Di sisi lain, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyampaikan peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) 2025 akan dipusatkan di Lapangan Monas, Jakarta, pada 1 Mei 2025.

    Said memperkirakan acara ini akan dihadiri lebih dari 200.000 buruh beserta keluarga, serta masyarakat luas yang ingin bergabung dalam gelombang solidaritas kelas pekerja.

    Said menjelaskan bahwa May Day tahun ini setidaknya membawa enam isu utama yang menjadi harapan buruh Indonesia. Pertama, hapus outsourcing. Kedua, membentuk Satgas PHK.

    Ketiga, mewujudkan upah yang layak. Keempat, lindungi buruh dengan mengesahkan RUU Ketenagakerjaan baru. Kelima, lindungi pekerja rumah tangga dengan mengesahkan RUU PPRT. Keenam, berantas korupsi dan sahkan RUU Perampasan Aset.

    “May Day bukan sekadar perayaan, melainkan panggung untuk menyuarakan keadilan sosial dan hak-hak pekerja. Keenam isu ini merupakan cermin dari kebutuhan nyata buruh Indonesia,” imbuhnya.

    Ketar-ketir Dampak PHK 

    Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyoroti tiga dampak utama yang bakal mencuat apabila tren Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terus meningkat sepanjang tahun ini.

    Ketua Umum (Ketum) Apindo, Shinta W. Kamdani menjelaskan bahwa tren PHK yang belakangan meningkat didorong oleh sejumlah faktor, mulai dari menurunnya permintaan, tingginya biaya logistik, hingga meningkatnya Upah Minimum Provinsi (UMP).

    “Kenaikan biaya produksi, kenaikan UMP yang cukup signifikan, serta tekanan dari kompetitor di negara lain yang memiliki biaya tenaga kerja lebih rendah, serta pergantian regulasi ketenagakerjaan yang terlalu sering juga menciptakan ketidakpastian,” jelasnya kepada Bisnis, Kamis (1/5/2025).

    Alhasil, PHK menjadi salah satu jalan terakhir yang dipilih oleh para pelaku usaha. Meskipun pada dasarnya para pelaku usaha bakal berupaya keras untuk menghindari langkah tersebut selama masih memungkinkan.

    Apindo memproyeksi setidaknya terdapat 3 dampak utama yang dapat terjadi apabila angka PHK terus meningkat. Pertama, konsumsi rumah tangga bakal mengalami pelemahan. Alasannya, karena berkurangnya daya beli dari keluarga terdampak. 

    “Ini penting [jadi perhatian], karena konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50% terhadap PDB Indonesia,” tegas Shinta.

    Kedua, PHK tersebut bakal meningkatkan angka pengangguran terbuka, yang dapat berdampak pada stabilitas sosial-ekonomi jika tidak ditangani dengan tepat.

    Ketiga, akan menekan kepercayaan investor, baik domestik maupun asing, karena muncul persepsi ketidakstabilan pasar tenaga kerja dan lemahnya permintaan domestik.

    “Oleh karena itu, isu PHK tidak bisa dilihat semata-mata sebagai masalah hubungan industrial, tetapi sebagai indikator tekanan struktural dalam ekonomi yang perlu respons lintas sektor,” pungkasnya.

  • Prabowo Bakal Revisi Sejarah Indonesia, Akademisi Ingatkan Hal Ini

    Prabowo Bakal Revisi Sejarah Indonesia, Akademisi Ingatkan Hal Ini

    Bisnis.com, Jakarta — Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto melalui Menteri Kebudayaan Fadli Zon diminta untuk menyajikan konten sejarah yang otentik dan benar jika berkukuh ingin merevisi sejarah Indonesia.

    Akademisi sekaligus Sejarawan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Johan Wahyudhi berpandangan bahwa wacana revisi terhadap sejarah Indonesia tetap harus diapresiasi karena masyarakat berhak mendapatkan asupan sejarah Indonesia baru yang telah melalui tahapan penelitian sejarah. 

    Menurutnya, Indonesia merupakan daerah yang luas mulai dari Aceh sampai Papua dan tidak semua daerah punya peluang untuk mendapat porsi yang sama untuk konten sejarah nasional, selain Pulau Jawa dan Pulau Sumatra.

    “Sebab itu revisi konten-konten sejarah nasional masih perlu diproduksi,” tuturnya kepada Bisnis di Jakarta, Rabu (30/4/2025).

    Kendati demikian, Johan menyarankan ke Fadli Zon agar para sejarawan dan penulis sejarah yang berkecimpung dalam proyek revisi sejarah Indonesia harus berintegritas menyajikan konten sejarah yang benar dan otentik. 

    Menurutnya, sejarah Indonesia yang baru nanti harus disi dengan figur yang layak untuk diteladani, bukan sosok yang punya skandal kriminal atau sosok yang di masa lalu terbukti pernah berkolaborasi dengan penjajah untuk menghalangi kemerdekaan Indonesia secara penuh.

    “Mereka harus mereview sejumlah tokoh atau peristiwa sejarah yang memang sudah teruji kebenarannya,” katanya.

    Selain itu, Johan juga menyarankan agar konten sejarah yang baru memiliki nuansa moderasi beragama dan toleransi antar sesama. Pasalnya, kata Johan, isu agama kerap ditukangi oleh kepentingan tertentu yang kemudian bisa memperkuat persepsi tentang agama menjadi candu kemajuan bangsa.

    “Jadi perlu ditonjolkan kiprah dari para kyai, pesantren dan ulama yang memang telah memelihara persaudaraan antariman dan punlik layak mendapat konten semacam ini supaya menjadi panduan untuk berpikir dan bertindak di masa depan,” ujarnya.

    Sebelumnya, Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengungkapkan penulisan ulang sejarah Indonesia yang sempat diungkapkannya beberapa waktu lalu, saat ini masih dalam tahap awal.

    “Sekarang ini masih dalam tahap awal, update temuan-temuan baru, mulai prasejarah sampai yang kontemporer gitu, tentu dengan penguatan-penguatan,” kata Fadli di Perpustakaan Ajip Rosidi Bandung, Senin.

    Penulisan ulang sejarah nasional Indonesia ini, kata Fadli, akan melibatkan sejarawan yang dihimpun dari seluruh Indonesia dan termasuk dari perguruan tinggi.

    “Jadi masing-masing (era) ada timnya, dibuat per buku, tentu tim itu disusun berdasarkan ahlinya. Kita tidak menulis dari nol, sudah ada SNI tahun 1984, lalu ada Indonesia dalam arus sejarah tahun 2012, kita melanjutkan dan mendasarkan dari itu, dengan kajian-kajian,” ujarnya.

  • Khofifah Digugat Warga Lamongan Buntut Tak Ada Pemutihan Tunggakan Pajak Kendaraan di Jatim – Halaman all

    Khofifah Digugat Warga Lamongan Buntut Tak Ada Pemutihan Tunggakan Pajak Kendaraan di Jatim – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawangsa digugat oleh seorang warga Kabupaten Lamongan bernama Alfiyah Nimah karena tidak adanya pemutihan tunggakan pajak kendaraan di Jawa Timur.

    Dikutip dari Tribun Jatim, Alfiyah ingin agar kebijakan tersebut diterapkan di Jatim.

    Adapun gugatan ini berawal dari adanya kebijakan pemutihan tunggakan pajak kendaraan yang diterapkan di daerah lain seperti Jawa Barat yang diinisiasi oleh Dedi Mulyadi selaku gubernur.

    Gugatan ini pun ternyata sudah sampai di tahap sidang perdana pada Rabu (30/4/2025) hari ini.

    Namun, sidang tersebut berujung ditunda lantaran Biro Hukum Provinsi Jatim yang datang mewakili Khofifah belum mengantongi surat kuasa.

    Kuasa hukum Alfiyah, Mochammad Sholeh, menuturkan gugatan tersebut lantaran kliennya menilai pemutihan tunggakan pajak motor adalah kebijakan yang pro terhadap rakyat.

    Alfiyah berharap agar kebijakan tersebut turut diterapkan di Jatim di tengah kondisi ekonomi saat ini yang menurutnya tidak baik-baik saja.

    “Karena faktanya sekarang ekonomi sedang tidak baik-baik saja, masyarakat banyak yang tidak membayar pajak bukan karena tidak mau, tetapi memang lagi tidak punya uang,” ujar Sholeh.

    Di sisi lain, Sholeh turut menyoroti isu korupsi yang terjadi di Jawa Timur yang dianggap memicu persepsi negatif di masyarakat tentang pembayaran pajak.

    Namun, jika Khofifah menolak, Sholeh mengusulkan solusi alternatif yaitu penghapusan tunggakan pajak bagi kendaraan di bawah 2.000 cc.

    Dia mengatakan usulan itu bisa diterapkan lantaran mayoritas masyarakat menengah ke bawah dianggap tidak memiliki kendaraan dengan kapasitas mesin di bawah 2.000 cc.

    “Tentu tidak adil mobil Mercy dibeli dengan harga miliaran tapi bayar pajak tidak mau. Apalagi mobil mewah jenis Porsche, Ferrari kalau tidak diberi pengampunan masyarakat ke bawah ya gak bingung, wong selama ini hanya bisa lihat di TV. Harapannya Gubernur Khofifah bijak,” ucap Sholeh.

    Kata Pihak Khofifah

    Kepala Biro Hukum Pemprov Jatim Adi Sarono mengungkapkan hari itu datang ke sidang untuk mewakili Khofifah mengadvokasi kepentingan masyakarat Jawa Timur.

    Namun, ia mengaku untuk sementara belum bisa memberi komentar tentang substansi perkara karena belum menerima secara formal naskah gugatan. 

    “Saya belum layak menyampaikan isinya, kami akan mengikuti persidangan gugatan akan disampaikan pada sidang berikutnya. Dan saat itulah kami baru bisa mengetahui,” terang Adi.

    Daftar Provinsi yang Terapkan Pemutihan Pajak Kendaraan

    Berdasarkan catatan Tribunnews.com, ada 15 provinsi yang menerapkan pemutihan pajak kendaraan, yaitu sebagai berikut.

    1. Aceh (sampai 31 Desember 2025)
    2. Kepulauan Riau (Januari-Juni 2025)
    3. Bengkulu (7 Januari-7 Mei 2025)
    4. Lampung (mulai 1 Mei 2025)
    5. Banten (10 April-30 Juni 2025)
    6. Jawa Barat (20 Maret-30 Juni 2025)
    7. Jawa Tengah (8 April-30 Juni 2025)
    8. Bali (mulai 5 Januari 2025)
    9. Kalimantan Utara (sampai 31 Desember 2025)
    10. Kalimantan Timur (8 April-30 Juni 2025)
    11. Kalimantan Selatan (5 Januari-31 Desember 2025)
    12. Kalimantan Barat (hingga Juli 2025)
    13. Kalimantan Utara (hingga 31 Desember 2025)
    14. Sulawesi Tengah (hingga 14 Mei 2025)
    15. Sulawesi Tenggara (hingga 31 Mei 2025)

    Sebagian artikel telah tayang di Tribun Jatim dengan judul “Alfiyah Warga Lamongan Gugat Gubernur Jatim Khofifah Soal Pajak Kendaraan, Ingin Tiru Jawa Barat”

    (Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto/Hasanudin Aco)(Tribun Jatim/Tony Hermawan)

  • Dedi Mulyadi Tegaskan Program Barak Pelajar Bukan Pelatihan Militer

    Dedi Mulyadi Tegaskan Program Barak Pelajar Bukan Pelatihan Militer

    JAKARTA – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, meluruskan persepsi publik terkait program siswa tinggal di barak militer. Ia menegaskan bahwa program tersebut bukan pelatihan militer, melainkan pembinaan karakter, mental, dan kebugaran pelajar.

    “Tidak ada pelatihan militer. Ini pembinaan yang tidak mereka dapat di lingkungan rumah,” ujar Dedi saat ditemui di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa 29 April.

    Menurut Dedi, program ini bertujuan membentuk kebiasaan hidup sehat dan disiplin di kalangan pelajar. Siswa akan dibina untuk menjauhi perilaku menyimpang seperti merokok, konsumsi alkohol, dan penyalahgunaan obat-obatan.

    “Tujuannya agar mereka jadi anak-anak yang bugar, tidak minum, tidak merokok, tidak pakai obat-obatan,” tegasnya.

    Dedi memastikan bahwa kegiatan belajar tetap berjalan seperti biasa. Para siswa tetap mengikuti pelajaran sekolah, hanya saja mereka tinggal di barak militer atau kepolisian dengan jadwal harian yang lebih disiplin dan terstruktur.

    “Enggak ada problem. Mereka tetap belajar, gurunya tetap datang dari sekolah asal,” jelas Dedi.

    Ia merujuk pada pengalamannya membina siswa di sekolah sepak bola Asad Jaya Perkasa, di mana para siswa tinggal di barak dan berhasil menjadi atlet profesional. Model serupa, kata Dedi, bisa diterapkan untuk membentuk karakter pelajar secara umum.

    “Saya dahulu bikin sekolah sepak bola Asad Jaya Perkasa. Mereka tinggal di barak, dan sekarang jadi pemain nasional,” ungkapnya.

    Selama di barak, siswa akan menjalani rutinitas harian yang disiplin. Mereka tidur pukul 20.00 WIB, bangun pukul 04.00 WIB, lalu melanjutkan kegiatan dengan olahraga, belajar, menjaga kebersihan, dan mengaji bagi yang muslim. Bahkan, siswa juga diajarkan berpuasa setiap Senin dan Kamis.

    “Hari Senin sampai Kamis diajari puasa. Malam belajar ngaji. Kan bagus,” tutup Dedi.

  • Direksi BUMN Bukan Penyelenggara Negara, Erick Thohir Koordinasi dengan KPK

    Direksi BUMN Bukan Penyelenggara Negara, Erick Thohir Koordinasi dengan KPK

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri BUMN Erick Thohir berkoordinasi dengan berbagai lembaga, termasuk KPK, untuk membahas sederet perubahan di tubuh perusahaan pelat merah menyusul lahirnya Undang-Undang (UU) No.1/2025 tentang BUMN.

    Salah satunya mengenai posisi komisaris hingga direksi BUMN yang diatur bukan merupakan penyelenggara negara. 

    Erick menjelaskan Kementerian BUMN  saat ini masih berkoordinasi untuk menyinkronkan berbagai aturan baru di UU BUMN, termasuk mengenai status penyelenggara negara pada petinggi pelat merah. Dia menyebut koordinasi dilakukan salah satunya dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

    “Justru kenapa kita ada sinkronisasi dengan KPK, Kejaksaan, BPK, semua ini ya tadi, untuk supaya semuanya transparan, dan ada juklak-juklak daripada penugasan yang lebih ini,” katanya kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (29/4/2025). 

    Lebih lanjut, Erick memastikan bakal ada peraturan turunan yang akan mendefinisikan lebih lanjut aturan mengenai status penyelenggara negara bagi komisaris-direksi BUMN sebagaimana tertuang di dalam UU. 

    Menurutnya, beleid tersebut belum sepenuhnya dijalankan dan masih dirapikan sebelum seutuhnya diterapkan. 

    “Iya pasti, ini kan namanya baru lahir. Baru lahir, belum jalan. Justru kita rapikan sebelum jalan, dari pada nanti ikut geng motor tabrak-tabrakan, mendingan kita rapikan,” kata pria yang merangkap sebagai Ketua Dewan Pengawas Danantara itu. 

    Erick memastikan upaya sinkronisasi definisi soal status penyelenggara negara atas komisaris-direksi BUMN itu akan terus dilakukan. Dia enggan berkomentar lebih lanjut. 

    “Iya itu UU-nya ada definisinya, tapi tentu ini yang kita harus sinkronisasi. Saya tidak mau terlalu mendetailkan, nanti ada perbedaan persepsi yang jadi polemik baru. Nah ini yang kita tidak mau, kenapa sejak awal kita langsung rapatkan,” terang Menteri BUMN sejak 2019 itu.

    Berdasarkan catatan Bisnis, rancangan Revisi Undang-undang No.19/2003 tentang BUMN versi DPR menegaskan bahwa Badan Pengelola Investasi Danantara serta Direksi, Komisaris, hingga Dewan Pengawas BUMN bukan bagian dari rumpun penyelenggara negara. Ketentuan mengenai status kepegawaian Badan tercantum dalam Pasal 3 Y RUU BUMN.

    Sementara itu, ketentuan yang mengatur mengenai status Direksi, Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan penyelenggara negara diatur secara eksplisit dalam Pasal 9G.

    Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

    “Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.” 

    Adapun, Pasal 87 angka 5 menyatakan bahwa pegawai BUMN juga bukan penyelenggara negara. Namun demikian, aturan itu hanya melekat kepada mereka yang diangkat hingga diberhentikan sesuai dengan peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. 

    Di sisi lain, untuk komisaris atau dewan pengawas yang berasal dari penyelenggara negara, statusnya sebagai penyelenggara tetap melekat.  

    Menariknya, ketentuan mengenai status kepegawaian karyawan hingga direksi BUMN bersifat lex specialist, kecuali ketentuan lainnya terkait penyelenggara negara yang tidak diatur dalam RUU BUMN. 

    Itu artinya tidak ada celah dari undang-undang lain untuk mengintervensi status BUMN bukan sebagai penyelenggara negara. 

    Ketentuan tersebut juga berlaku terhadap UU No.28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), terutama Pasal 2, yang kategorikan pegawai BUMN sebagai penyelenggara negara. Aturan inilah yang sering menjadi rujukan penegak hukum untuk menindak oknum di BUMN. 

  • Sekolah dalam Bayang Kasta

    Sekolah dalam Bayang Kasta

    Jakarta – Dalam upaya mengejar visi Indonesia Emas 2045, pemerintah memperkenalkan dua kebijakan pendidikan yang secara sekilas tampak menjanjikan: Sekolah Garuda dan Sekolah Rakyat. Sekolah Garuda ditujukan bagi siswa-siswa berprestasi tinggi, dengan tujuan menyiapkan mereka untuk menembus universitas-universitas kelas dunia. Sementara itu, Sekolah Rakyat menyasar anak-anak dari keluarga miskin ekstrem, dengan janji pemenuhan kebutuhan dasar serta pembinaan karakter.

    Kedua inisiatif ini terlihat seperti dua strategi paralel untuk mencapai kemajuan dan pemerataan pendidikan. Namun, di balik wajah progresifnya, tersembunyi potensi bahaya yang justru bisa memperlebar jurang kesenjangan sosial dalam dunia pendidikan Indonesia. Alih-alih menjembatani kesenjangan dan memperkuat keadilan sosial, kebijakan ini malah dapat memperkuat dikotomi kelas yang sudah lama menghantui sistem pendidikan nasional kita.

    Sekolah Garuda, dengan fasilitas unggulannya dan proses seleksi ketat, menjadi simbol eksklusivitas yang mengangkat siswa “terpilih” ke puncak piramida pendidikan. Sebaliknya, Sekolah Rakyat mencerminkan narasi penyelamatan terhadap kelompok termarjinalkan, yang diberi bekal cukup untuk bertahan hidup namun tidak cukup untuk menyaingi rekan-rekannya di medan kompetisi global. Di titik ini, pendidikan bukan lagi ruang bersama, melainkan arena segregasi berbasis ekonomi dan potensi.

    Kondisi ini memperlihatkan gejala polarisasi yang kian tajam: satu sisi mencerminkan elite intelektual dengan akses menuju dunia global, sementara sisi lain menggambarkan keterbatasan yang dibungkus dengan semangat kerakyatan. Pendekatan yang terlalu berbeda dalam satu sistem kebijakan justru menciptakan batas-batas sosial yang kian sulit ditembus. Pendidikan, yang seharusnya menjadi alat mobilitas sosial, berubah menjadi alat pengukuhan posisi kelas.

    Yang lebih mengkhawatirkan adalah kemungkinan munculnya stigma yang melekat seumur hidup. Seorang lulusan Sekolah Rakyat, meskipun berprestasi, akan tetap dibayangi oleh label sebagai “produk bantuan sosial”. Label ini, meski tak terucap, bisa melekat dalam proses penerimaan kerja, interaksi sosial, bahkan dalam persepsi diri anak itu sendiri. Pendidikan yang memisahkan berdasarkan latar belakang justru merampas hak anak untuk tumbuh dengan rasa percaya diri dan keyakinan bahwa dirinya setara dengan siapa pun.

    Di sisi lain, Sekolah Garuda pun tidak lepas dari masalah. Dengan segala eksklusivitas dan label prestisius yang melekat, sekolah ini bisa membentuk generasi yang terisolasi dari realitas sosial di sekitarnya. Anak-anak dari Sekolah Garuda mungkin memiliki pengetahuan dan keterampilan tinggi, tetapi tanpa pemahaman mendalam tentang keberagaman sosial dan dinamika ketimpangan, mereka tumbuh dalam gelembung elit yang rapuh. Ini adalah konsekuensi dari pemisahan sistemik yang tidak hanya memisahkan akses, tapi juga pengalaman hidup.

    Dampaknya sangat luas. Anak-anak dari latar belakang ekonomi rendah yang masuk Sekolah Rakyat tumbuh dengan realitas yang dibingkai sebagai “penerima manfaat”, sedangkan anak-anak Sekolah Garuda dibentuk menjadi “pemimpin masa depan”. Narasi ini bukan hanya tidak adil, tapi juga merusak. Ia menciptakan dua generasi yang berjalan di jalur berbeda—satu dibimbing menuju pusat kekuasaan dan pengaruh, dan yang lain diarahkan untuk sekadar bertahan dalam batasan yang ditentukan.

    Dalam konteks ideologi bangsa, pemisahan ini mencederai Pancasila, terutama sila kedua dan kelima. Pendidikan yang berkeadilan tidak mengenal pemisahan berdasar status ekonomi. Semua anak bangsa, tanpa kecuali, harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang dalam sistem pendidikan yang inklusif dan setara. Ketika pemerintah memisahkan anak-anak berdasarkan ekonomi dan potensi intelektual, maka itu bukan hanya persoalan kebijakan—itu adalah pengkhianatan terhadap dasar negara.

    Sekolah bukanlah tempat untuk membedakan siapa yang layak masuk ke universitas top dunia dan siapa yang hanya pantas mendapat pelatihan keterampilan dasar. Sekolah adalah tempat menyemai mimpi, membangun solidaritas, dan menyatukan perbedaan. Ketika pendidikan justru menjadi alat klasifikasi sosial, maka yang hilang bukan hanya kesetaraan, tapi juga semangat kebersamaan yang menjadi jantung dari bangsa ini.

    Kebijakan semacam ini seharusnya diganti dengan pendekatan afirmatif yang lebih inklusif. Artinya, semua sekolah publik harus dibangun dengan kualitas yang merata, fasilitas yang layak, guru yang kompeten, dan sistem pendukung yang kuat bagi siswa dari latar belakang ekonomi rendah. Tidak perlu membangun sekolah khusus untuk anak miskin—cukup membuat semua sekolah yang bisa merangkul mereka.

    Beasiswa, bimbingan belajar gratis, dan pelatihan pedagogi kritis bagi guru adalah contoh kebijakan yang lebih humanis dan menjangkau. Dengan pendekatan ini, siswa miskin tetap berada dalam ruang yang sama dengan siswa lain, namun mereka diberikan dukungan ekstra agar bisa mengejar ketertinggalan dan berkembang sesuai potensinya. Inilah bentuk keadilan sosial yang tidak merendahkan martabat manusia.

    Membangun sekolah elit dan sekolah rakyat secara terpisah juga mengirim pesan yang keliru tentang apa arti kecerdasan dan kesuksesan. Seakan-akan kecerdasan hanya milik mereka yang sejak awal terdeteksi unggul, sementara yang lain cukup diajarkan untuk “menjadi baik”. Padahal, potensi manusia tidak bisa diukur secara sempit lewat tes akademik. Banyak siswa dari latar belakang miskin yang unggul, hanya saja mereka belum diberi ruang untuk menunjukkan kemampuan mereka.

    Alih-alih memisahkan, mengapa tidak menyatukan? Bayangkan jika seluruh SMA di Indonesia menjadi “Sekolah Garuda”, bukan dalam kemewahan fisik, tapi dalam semangat: semangat mutu, inklusivitas, dan kebersamaan. Pendidikan semacam ini akan menciptakan ruang belajar yang penuh keragaman dan saling pengertian, di mana anak-anak dari berbagai latar belakang saling mengenal dan bertumbuh bersama.

    Penting untuk diingat bahwa niat baik tidak selalu menghasilkan kebijakan baik. Sekolah Garuda dan Sekolah Rakyat mungkin dilahirkan dengan semangat memperbaiki, namun jika arah kebijakannya memisahkan dan membatasi, maka itu bukan perbaikan, melainkan perpecahan. Dalam perjalanan menuju Indonesia Emas, pendidikan harus menjadi alat untuk menyatukan, bukan membelah.

    Kita membutuhkan sistem pendidikan yang membebaskan semua anak dari belenggu kemiskinan, diskriminasi, dan stereotip. Keadilan dalam pendidikan tidak boleh dimaknai sebagai memberi sesuai kelas, tapi memastikan semua anak, dari mana pun asalnya, bisa tumbuh sebagai anak bangsa yang bermartabat. Semua anak Indonesia adalah anak Garuda—dan setiap dari mereka pantas mendapat sayap untuk terbang setinggi mungkin.

    Roy Martin Simamora pengajar Filsafat Pendidikan PSP, ISI Yogyakarta

    (mmu/mmu)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Apa Itu ‘Matahari Kembar’? Seret Nama Prabowo dan Jokowi

    Apa Itu ‘Matahari Kembar’? Seret Nama Prabowo dan Jokowi

    PIKIRAN RAKYAT – Isu “matahari kembar” mencuat di ranah politik nasional, dipicu oleh serangkaian kunjungan sejumlah menteri Kabinet Merah Putih ke kediaman mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Solo selama momen Lebaran kemarin.

    Fenomena ini menimbulkan spekulasi mengenai adanya dua pusat kekuasaan yang berpotensi memengaruhi stabilitas dan arah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

    Kunjungan para menteri, termasuk nama-nama penting seperti Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, Menko Pangan Zulkifli Hasan, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, memicu pertanyaan tentang loyalitas dan dinamika hubungan antara pemerintahan saat ini dengan mantan presiden yang masih dianggap memiliki pengaruh signifikan.

    Awal Mula Isu ‘Matahari Kembar’ dan Tanggapan

    Isu “matahari kembar” pertama kali mencuat setelah serangkaian kunjungan para menteri ke kediaman Jokowi di Solo. Beberapa pihak menilai kunjungan tersebut sebagai manuver politik, terutama di tengah masa transisi dan konsolidasi kekuasaan di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran.

    Wakil Presiden ke-13 RI, Ma’ruf Amin, berusaha meredakan spekulasi dengan menyatakan bahwa kunjungan tersebut hanyalah silaturahmi biasa.

    “Saya kira itu bagian dari yang harus diartikan sebagai silaturahmi dengan mantan presiden, mantan wakil presiden, dan dengan yang lain-lain,” ujarnya dikutip Pikiran-Rakyat.com dari Antara.

    Presiden Prabowo Subianto sendiri dikabarkan telah menghubungi Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar (Cak Imin), dan meminta para menterinya untuk merapatkan barisan.

    Cak Imin mengungkapkan bahwa Prabowo menyampaikan ucapan selamat Idulfitri sekaligus mengingatkan pentingnya soliditas antarkabinet.  

    Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi juga menegaskan bahwa tidak ada indikasi “matahari kembar” dalam pertemuan tersebut. Ia menyebut kunjungan para menteri sebagai silaturahmi Lebaran yang wajar, bukan manuver politik.

    “Enggak, sama sekali tidak. Karena bagi beliau, semangatnya ‘kan silaturahmi, jadi tolong jugalah, jangan kemudian diasosiasikan ini ada menteri yang silaturahmi kepada Bapak Jokowi, lantas dianggap ada matahari kembar … jangan begitu,” katanya dikutip Pikiran-Rakyat.com dari Antara.

    Ganjar Pranowo, Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Pemerintahan, juga berpendapat bahwa kunjungan tersebut hanyalah silaturahmi biasa. Namun, ia mengingatkan bahwa dalam sebuah pemerintahan, pusat kekuasaan harus tetap satu, yaitu di tangan presiden.

    Jokowi berfoto bersama Prabowo dan influencer.

    “Siapa pun yang ada di republik ini kendalinya dan demokrasi dalam pemerintah hanya satu presiden itu. Maka kembar-kembar itu enggak boleh ada. Kalau pun ada asumsi-asumsi saya kira segera harus diambil alih,” ujarnya.

    Isu “matahari kembar” berpotensi memengaruhi stabilitas dan efektivitas pemerintahan Prabowo-Gibran. Jika spekulasi ini tidak dikelola dengan baik, dapat menimbulkan ketidakpastian dan keraguan di kalangan publik dan investor.

    Selain itu, isu ini juga dapat memengaruhi dinamika hubungan antara partai-partai politik yang mendukung pemerintahan saat ini.

    Jika ada persepsi bahwa mantan presiden memiliki pengaruh yang terlalu besar, hal ini dapat menimbulkan ketegangan dan persaingan di antara partai-partai tersebut.

    Menghadapi isu “matahari kembar”, Presiden Prabowo Subianto telah mengambil langkah-langkah untuk merapatkan barisan dan membangun soliditas di dalam kabinetnya.

    Permintaannya kepada para menteri untuk fokus pada tugas masing-masing dan mendukung kepemimpinannya menunjukkan upaya untuk menjaga stabilitas dan efektivitas pemerintahan.  

    Selain itu, komunikasi yang jelas dan transparan dari pihak istana juga penting untuk meredakan spekulasi dan membangun kepercayaan publik.

    Mensesneg Prasetyo Hadi telah menegaskan bahwa tidak ada indikasi “matahari kembar” dan bahwa semua menteri fokus pada tugas mereka masing-masing.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Syarat Masuk Sekolah Rakyat yang Dibangun untuk Keluarga Kurang Mampu

    Syarat Masuk Sekolah Rakyat yang Dibangun untuk Keluarga Kurang Mampu

    Bisnis.com, PADANG – Menteri Sosial RI Saifullah Yusuf menyatakan siswa yang akan ikut dalam program sekolah rakyat merupakan dari kondisi keluarga kurang mampu karena dalam proses administrasi dilakukan secara teliti dan sesuai fakta.

    Dia menyebutkan di dalam proses mendirikan sekolah, menentukan tenaga pendidik, hingga anak-anak yang dinilai layak menjadi siswa di sekolah rakyat, dilakukan melalui sejumlah tahapan. Sehingga nantinya di dalam pelaksanaan, kualitas pendidikan di sekolah rakyat setara dengan sekolah pada umumnya.

    “Sekolah rakyat ini bentuk komitmen pemerintah memberikan hak kepada anak-anak di negeri ini mendapatkan pendidikan. Makanya dalam menjalankan program ini kami benar-benar validasi datanya dari usulan yang ada, dengan cara melihat fakta kondisi keluarga dari siswa itu. Jika sesuai syarat, semuanya sesuai prosedur, maka berhak untuk jadi siswa sekolah rakyat,” katanya di Padang, Selasa (29/4/2025).

    Dia menjelaskan adapun proses yang dilakukan itu mulai dari administrasi yang kemudian mengacu kepada Data tunggal sosial ekonomi (DTSEN), serta adanya kunjungan ke rumah calon siswa sekolah rakyat, untuk mengetahui kondisi ekonomi keluarga.

    “Nanti ada tes kesehatan juga. Bila seluruh tahapan sudah dilakukan, dan dinilai memenuhi syarat, dan Wali Kota atau Bupati setuju, bismilah sekolah rakyat pun dimulai,” ujarnya.

    Menteri yang akrab disapa Gus Ipul ini menyampaikan mengingat besar harapan Presiden Prabowo agar sekolah rakyat berjalan sesuai harapan, maka perlu bagi pemerintah pusat berkoordinasi dengan pemerintah daerah serta turut membangun kemitraan dengan pihak perguruan tinggi, agar visi dan misi adanya sekolah rakyat tersebut bisa satu persepsi.

    “Makanya kami datang ke sini (Padang) untuk koordinasi dengan kepala daerah, dan jangan sampai melanggar prosedur, atau KKN,” tegasnya.

    Gus Ipul juga menjelaskan terkait progres sekolah rakyat yang kini tengah terus dimatangkan kesiapannya untuk dimulai di tahun 2025 ini, telah ada 500 kepala sekolah yang layak untuk menjadi kelapa sekolah rakyat, yang nantinya ditempatkan di seluruh daerah di Indonesia.

    Tidak hanya kepala sekolah, dalam penempatan tenaga pendidik, juga akan memilih guru yang berstatus ASN hingga PPPK paruh dan penuh waktu, dan mereka merupakan SDM yang berdomisili di sesuai wilayah keberadaan sekolah rakyat.

    Selain itu syarat lainnya, kata Gus Ipul, untuk mendirikan sekolah rakyat ini minimal ada lahan 7-8 hektare lebih yang bertujuan untuk pembangunan sekolah rakyat tersebut. Dengan adanya luasan lahan itu, selain membangun secara fisik untuk sekolah, nantinya juga akan dibangun sarana dan prasarana pendukung lainnya.

    “Makanya soal syarat mendirikan sekolah rakyat ini akan dilakukan langsung Kementerian PU,” jelasnya.

    Dikatakannya dalam rencana pembangunan sekolah rakyat ini, sebanyak 100 titik sekolah dari pemerintah dan 100 titik nya lagi akan dikolaborasikan dengan pihak swasta. Artinya sekolah rakyat ini, akan diperuntukan bagi SD, SMP, SMA.

    “Jadi untuk tahap ini kami berharap minimal satu kabupaten dan kota di Indonesia ini punya sekolah rakyat,” harapnya.

    Mensos Gus Ipul menyampaikan kondisi terkini telah ada sebanyak 53 titik sekolah rakyat di seluruh Indonesia akan dimulai pada tahun ajaran baru 2025/2026, dan terdapat dua titik diantaranya berada di Sumbar.

    Seiring telah adanya 53 titik itu, pihak Kemensos saat ini juga masih terus melakukan pengecekan ke seluruh daerah di Indonesia terkait kesiapan sekolah rakyat. 

    “Jadi dua titik yang telah siap melaksanakan sekolah rakyat di Sumbar itu ada di Kota Padang dan Solok. Dua daerah tersebut dinyatakan layak untuk melaksanakan program sekolah rakyat,” sebutnya.

  • Kiamat Makin Cepat, Tandanya Terlihat dari Nasi dan Susu

    Kiamat Makin Cepat, Tandanya Terlihat dari Nasi dan Susu

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pemanasan global yang menjadi tanda ‘kiamat’ di Bumi membawa petaka baru bagi umat manusia. Suhu Bumi yang kian panas membuat bakteri dan kuman lebih mudah terkontaminasi ke makanan.

    Salah satu korbannya adalah Sumitra Sutar, 75 tahun, yang tinggal di desa Haroli, Maharashtra, India.

    Selama lebih dari 5 dekade, Sutar kerap mengonsumsi sisa nasi dan kari lentil sebagai makanan pokoknya. Namun, tiba-tiba makanan rutinnya itu membuat tubuh Sutar bereaksi berbeda.

    Sekitar 5 tahun lalu, Sutar muntah-muntah setidaknya 15 kali sehari usai mengonsumsi makanan rutinnya tersebut. Akhirnya, ia mengetahui penyebabnya adalah bakteri bawaan makanan yang menghasilkan racun berbahaya.

    Racun itu menyebabkan muntah, radang mata, hingga infeksi saluran pernapasan, dikutip dari LiveScience, Senin (28/4/2025).

    Pemanasan global telah membuat patogen jenis Bacillus cereus lebih mudah tumbuh dalam makanan yang disimpan setelah dimasak. Sebuah penelitian menemukan bahwa memasak nasi di rumah tidak cukup untuk menonaktifkan sporanya.

    Peneliti dan pekerja kesehatan memberikan peringatan soal fenomena ini. Suplai makanan disebut lebih rentan terhadap pembusukan yang lebih parah akibat panas ekstrem yang lebih sering, banjir, dan kekeringan.

    Hal ini meningkatkan risiko kontaminasi dan wabah penyakit bawaan dari makanan. Menurut para ahli, panas ekstrem dapat mempercepat pembusukan makanan karena memungkinkan bakteri berkembang biak lebih ganas.

    Meningkatnya air akibat banjir besar dapat mencemari tanaman dengan limbah. Sementara itu, kelembapan yang lebih tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri salmonella pada selada dan produk lain yang dimakan mentah.

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa 600 juta orang jatuh sakit setiap tahun akibat penyakit bawaan makanan, yang menyebabkan 420.000 kematian.

    Anak-anak di bawah usia 5 tahun berada pada risiko yang sangat tinggi, dan setiap tahun 125.000 anak kehilangan nyawa mereka karena penyakit yang sebagian besar dapat dicegah tersebut.

    Banyak faktor yang memperkuat masalah ini, misalnya praktik pertanian dan rantai pasokan pangan global yang tidak ramah lingkungan.

    Sebuah studi tinjauan yang diterbitkan dalam eBiomedicine tahun ini menemukan bahwa untuk setiap kenaikan suhu 1,8 F (1 C), ancaman salmonella non-tifoid dan campylobacter meningkat 5%. Bakteri tersebut menyebabkan orang sakit, biasanya melalui keracunan makanan.

    Markas Bakteri

    Desa tempat tinggal Sutar melaporkan kenaikan temperatur yang signifikan dalam satu dekade terakhir. Musim panas di desa tersebut bisa mencapai 43 derajat Celcius.

    Penduduk di wilayah tersebut dan sekitarnya melaporkan peningkatan sakit akibat keracunan makanan, menurut pekerja medis setempat, Padmashri Sutar.

    “Peningkatan temperatur mendorong pertumbuhan bakteri seperti listeria, campylobacter, dan salmonella di makanan-makanan seperti daging, produk susu, dan seafood,” kata Ahmed Hamad, dosen di Benha University, Mesir.

    Sebuah studi di Meksiko Barat Laut melihat bagaimana faktor lingkungan memengaruhi penyebaran spesies salmonella yang memicu beragam penyakit dari makanan.

    Penelitian lainnya yang dirilis di Applied and Environmental Microbiology pada tahun ini menemukan perubahan iklim akan meningkatkan risiko penyakit dari makanan yang disebabkan salmonella. Bakteri ini telah berdampak pada 1,2 juta orang di AS setiap tahunnya.

    “Selama gelombang panas, level patogen mikroorganisme di produk-produk makanan bisa meningkatkan risiko penyakit,” tertulis dalam laporan tersebut.

    Bersamaan dengan gelombang panas, banjir bisa menyebabkan limpahan kotoran ternak dari penggembalaan hewan yang berdekatan dengan lahan pertanian, sehingga mencemari hasil pertanian, termasuk sayur-sayuran yang biasanya dikonsumsi mentah.

    “Memasak makanan dengan suhu 70 derajat Celcius selama setidaknya 2 menit bisa menghancurkan patogen yang menempel di permukaan makanan,” kata Martin Richter, kepala unit keamanan makanan di German Federal Institute for Risk Assessment.

    Kesalahpahaman Masyarakat

    Pakar mengatakan perlu edukasi yang lebih mendalam bagi masyarakat terkait bahaya perubahan iklim dalam meningkatkan penyakit dari makanan.

    “Banyak orang menilai perubahan iklim semata-mata sebagai isu lingkungan, tanpa melihat efeknya ke kesehatan publik, termasuk peningkatan risiko penyakit dari makanan,” kata Hamad.

    Hamad mengatakan ada kesalahpahaman di masyakarat bahwa cuaca dingin bisa membunuh patogen. Padahal, ia menegaskan beberapa bakteri seperti listeria tetap dapat tumbuh pada temperatur dingin. Hal ini memicu risiko pada perubahan iklim yang membuat cuaca dingin.

    Padmashri yang merupakan pekerja medis di desa Haroli mengatakan penduduk setempat kerap menginterupsi ketika ia menjelaskan tentang alasan di balik meningkatkan penyakit dari makanan.

    Penduduk setempat memiliki persepsi bahwa penyakit dari makanan semata-mata disebabkan penanganan yang buruk. Ia harus bersabar dalam menjelaskan bahwa perubahan iklim menjadi faktor utama munculnya penyakit dari makanan.

    “Orang-orang tak mau menerima bahwa perubahan iklim menyebabkan penyakit dari makanan,” kata dia.

    Ia mengatakan penduduk di desanya tidak mau peduli terkait isu perubahan iklim dan dampaknya, meski sudah dirasakan langsung.

    (fab/fab)

  • Masih Jadi Misteri, Apa Sih yang Dirasakan Manusia di Momen Sakaratul Maut?

    Masih Jadi Misteri, Apa Sih yang Dirasakan Manusia di Momen Sakaratul Maut?

    Jakarta

    Fenomena menjelang kematian dapat diikuti dengan sejumlah halusinasi. Misalnya seperti melihat cahaya putih hingga merasakan kehadiran semacam entitas supranatural.

    Para ilmuwan berusaha untuk menjelaskan kondisi seseorang yang hampir meninggal dunia atau dikenal sebagai near-death experience (NDE). Hasil temuan ini dipublikasikan dalam jurnal Nature Reviews Neurology.

    Mereka menggambarkan NDE sebagai episode kesadaran yang terputus saat menghadapi ancaman fisik yang bersifat aktual atau potensial. Untuk mengungkapnya, mereka menggunakan teori psikologi evolusioner neurofisiologis.

    Teori ini memahami pengalaman mendekati kematian atau Neurophysiological Evolutionary Psychological Theory Understanding Near-death Experience atau NEPTUNE untuk menjelaskan fenomena tersebut.

    Dalam teori tersebut, NDE dimulai saat kadar oksigen menurun di otak, sementara konsentrasi karbon dioksida meningkat, yang memicu asidosis serebral.

    “Hal ini kemudian memicu reaksi berantai yang menyebabkan peningkatan rangsangan saraf di wilayah otak utama, termasuk persimpangan temporo parietal dan lobus oksipital, disertai dengan pelepasan neurotransmitter endogen secara besar-besaran,” jelas pada ahli, dikutip dari IFL Science.

    Tahapan ini akan menghasilkan beberapa ciri NDE. Misalnya peningkatan sinyal serotonin yang membuat halusinasi visual yang jelas. Selain itu, muncul juga perasaan damai yang mendalam karena adanya lonjakan kadar endorfin dan GABA.

    Dopamin yang terlalu banyak disebut menghasilkan perasaan hiperrealitas soal halusinasi.

    Selain itu, para peneliti mencatat bahwa NDE lebih umum terjadi pada orang yang secara khusus cenderung mengalami intrusi REM, di mana aktivitas otak yang terkait dengan mimpi terjadi saat terjaga.

    “Sifat khusus ini berpotensi berkontribusi pada fitur-fitur NDE utama, termasuk persepsi cahaya yang tidak biasa, kehilangan tonus otot normal, euforia, dan sensasi seperti keluar dari tubuh,” tulis peneliti.

    Namun, penelitian ini masih meninggalkan beberapa pertanyaan. Salah satunya kombinasi apa yang dapat memunculkan fenomena NDE.

    (sao/kna)