Organisasi: PERSEPSI

  • Manajemen SKK Migas Tandatangani Deklarasi Komitmen Integritas Pencegahan Korupsi

    Manajemen SKK Migas Tandatangani Deklarasi Komitmen Integritas Pencegahan Korupsi

    Jakarta, Beritasatu.com – Dalam rangka memperingati Hari Antikorupsi Sedunia 2025 yang jatuh hari ini, Manajemen SKK Migas secara resmi menandatangani Deklarasi Komitmen Integritas yang memuat delapan poin utama terkait upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi. Penandatanganan ini turut disertai pembacaan deklarasi oleh seluruh pekerja SKK Migas sebagai bentuk public commitment sebuah janji moral kepada bangsa bahwa SKK Migas berdiri teguh sebagai institusi dengan tata kelola yang bersih, transparan, dan profesional.

    Prosesi penandatanganan disaksikan langsung oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setyo Budiyanto, serta Kepala SKK Migas, Djoko Siswanto dan pekerja SKK Migas.

    Ketua KPK, Setyo Budiyanto, menyampaikan apresiasinya atas rangkaian inisiatif pencegahan korupsi yang telah dilakukan SKK Migas. Ia menyoroti salah satu pesan sederhana namun kuat yang ditemuinya saat berada di fasilitas SKK Migas.

    “Saya ke toilet SKK Migas, ada yang menggelitik tapi mengandung makna luar biasa, uang kantor, uang KKKS, uang teman, uang vendor, bukan uangmu. Ini pesan yang luar biasa,” ujar Setyo Budiyanto.

    Menurutnya, pesan-pesan sederhana seperti itu seharusnya menjadi pengingat kuat bagi setiap pekerja untuk menjauh dari potensi tindakan koruptif.

    Dalam kesempatan tersebut, Ketua KPK juga menyinggung Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang saat ini berada pada angka 37 dari 100. Angka ini menjadi pengingat bahwa praktik korupsi masih terjadi dan membutuhkan komitmen seluruh pihak untuk memberantasnya.

    “Itu artinya korupsi masih ada. Swasembada energi tidak akan ada tanpa swasembada integritas,” tegas Setyo Budiyanto.

    Sementara itu, Kepala SKK Migas, Djoko Siswanto, menekankan bahwa peringatan Hari Antikorupsi Sedunia menjadi momentum penting untuk memperkuat barisan integritas di lingkungan SKK Migas.

    “Momentum ini untuk memastikan bahwa tidak ada jendela yang pecah di SKK Migas. Kalaupun ada retakan kecil, kita perbaiki bersama sebelum menjadi kerusakan besar,” ujar Djoko.

    Djoko menjelaskan bahwa tema peringatan tahun ini, “Satu Energi, Satu Integritas: Basmi Korupsi Demi Swasembada Energi” mencerminkan komitmen SKK Migas dalam menjaga integritas sebagai fondasi utama mewujudkan kemandirian energi bangsa.

    “Tidak ada swasembada energi tanpa swasembada integritas. Integritas adalah energi yang menggerakkan setiap keputusan, setiap proses bisnis, dan setiap kebijakan yang kita ambil,” tambahnya.

    Deklarasi komitmen integritas yang ditandatangani pada perayaan ini menjadi penegasan bahwa SKK Migas tidak hanya berfokus pada pencapaian target produksi, lifting, atau penyelesaian proyek strategis, namun juga memastikan bahwa seluruh langkah tersebut dijalankan dengan prinsip integritas yang kuat, demi masa depan energi Indonesia yang berdaulat dan berkelanjutan.

  • Korupsi Bisa Hancurkan Pembangunan Daerah, Ini Penyebabnya

    Korupsi Bisa Hancurkan Pembangunan Daerah, Ini Penyebabnya

    Jakarta, Beritasatu.com – Korupsi merupakan hambatan besar dalam mewujudkan pembangunan daerah yang maju, merata, dan berkelanjutan.

    Praktik ini tidak hanya muncul dari tindakan individu yang menyalahgunakan kewenangan, tetapi juga berakar pada persoalan struktural dalam birokrasi, budaya politik, serta sistem sosial yang memungkinkan penyimpangan terjadi berulang.

    Akibatnya, kerugian tidak hanya dirasakan negara secara finansial, tetapi juga berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat.

    Apa Itu Korupsi menurut Hukum Indonesia?

    Dalam Undang-Undang (UU) Nomor. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi mencakup berbagai tindakan melanggar hukum yang merugikan negara.

    Tindakan tersebut meliputi perilaku memperkaya diri sendiri atau orang lain secara tidak sah, penyalahgunaan wewenang yang merugikan publik, penerimaan suap dan gratifikasi yang tidak dilaporkan, penggelapan aset milik negara, serta berbagai bentuk tindakan lain yang menguntungkan kelompok tertentu dan mengakibatkan kerugian bagi masyarakat luas.

    Bentuk Korupsi yang Menghambat Pembangunan Daerah

    Berbagai bentuk korupsi dapat merusak kualitas pembangunan di daerah. Berikut ini jenis yang paling sering terjadi:

    1. Suap dan gratifikasi

    Praktik suap muncul ketika pejabat menerima imbalan untuk mengeluarkan keputusan tertentu, termasuk memenangkan tender proyek. Proyek akhirnya diberikan bukan berdasarkan kualitas atau kebutuhan daerah, tetapi kedekatan dan kepentingan pihak tertentu.

    2. Penggelapan anggaran

    Dana publik yang dialokasikan untuk pembangunan daerah kerap diselewengkan dan digunakan untuk kepentingan pribadi, sehingga dana tidak pernah benar-benar sampai kepada masyarakat.

    3. Penyalahgunaan wewenang

    Jabatan digunakan untuk mengatur perizinan, anggaran, atau proyek demi keuntungan kelompok tertentu. Keputusan yang seharusnya dibuat berdasarkan kebutuhan publik berubah menjadi alat untuk memperkaya pihak tertentu.

    4. Nepotisme dan kolusi

    Pejabat menunjuk kerabat atau orang dekat untuk mengisi jabatan atau memenangkan proyek tertentu. Kualitas dan kompetensi bukan lagi pertimbangan utama, sehingga kualitas pembangunan ikut terpengaruh.

    5. Korupsi pengadaan barang dan jasa

    Korupsi dalam pengadaan proyek sering melibatkan permainan harga, pengaturan pemenang tender, dan penggunaan material berkualitas rendah. Jenis korupsi ini menjadi salah satu penyebab terbesar rusaknya infrastruktur daerah.

    6. Korupsi birokrasi kecil (pungli)

    Pungutan liar yang terjadi di berbagai layanan publik membuat pelayanan lambat, merepotkan, dan membebani masyarakat kecil meski nilainya tampak kecil.

    Faktor Utama Pemicu Korupsi

    Korupsi tumbuh dari kombinasi faktor individu dan faktor sistemik dalam pemerintahan.

    Faktor Individu

    Kasus korupsi sering dipicu oleh integritas yang rendah, keserakahan, gaya hidup konsumtif, hingga persepsi korupsi adalah hal yang lumrah dilakukan.

    Faktor Sistemik

    Korupsi juga berkembang karena pengawasan internal yang lemah, birokrasi yang rumit dan tidak transparan, minimnya akuntabilitas, serta budaya politik transaksional. Ketimpangan ekonomi dan beban sosial menambah kompleksitas masalah ini, sehingga korupsi semakin mudah terjadi.

    Bagaimana Korupsi Menghambat Pembangunan Daerah?

    1. Membocorkan anggaran publik

    Ketika korupsi merampas dana publik, anggaran pembangunan seperti sekolah, fasilitas kesehatan, hingga perbaikan jalan tidak dapat terlaksana dengan maksimal.

    2. Menurunkan kualitas infrastruktur

    Material yang dikurangi, proses yang dipersingkat, atau proyek yang dikerjakan asal-asalan menjadi akibat umum korupsi. Dampaknya terlihat pada jalan cepat rusak, jembatan tidak kokoh, gedung sekolah tidak aman, dan proyek yang berakhir mangkrak.

    3. Menghambat investasi

    Investor menghindari daerah dengan reputasi korup karena birokrasi tidak pasti, biaya suap tinggi, dan risiko hukum besar. Akibatnya, daerah kehilangan peluang lapangan kerja dan pendapatan baru.

    4. Menurunkan kualitas layanan publik

    Korupsi di sektor layanan dasar membuat masyarakat tidak menerima haknya. Anggaran obat hilang, sekolah kekurangan fasilitas, dan bantuan sosial salah sasaran.

    5. Merusak kepercayaan publik

    Ketika masyarakat tidak percaya pada pemerintah daerah, tingkat partisipasi publik menurun dan konflik sosial rentan muncul. Kondisi ini menghambat stabilitas dan pembangunan jangka panjang.

    6. Memperlebar ketidakadilan sosial

    Kelompok miskin menjadi korban paling terdampak karena layanan publik sering dipersulit dengan biaya tambahan. Pembangunan pun hanya dinikmati kelompok tertentu yang dekat dengan kekuasaan.

    Contoh Hambatan Pembangunan Akibat Korupsi

    Banyak daerah mengalami kemunduran akibat praktik korupsi. Proyek infrastruktur sering mangkrak karena dana dikorupsi atau di-mark up, pembangunan jalan desa menjadi cepat rusak akibat penggunaan material berkualitas rendah, bantuan sosial tidak tepat sasaran karena permainan elite lokal, dan perizinan usaha dipersulit karena adanya pungutan liar. Akibatnya, daerah sulit berkembang meski anggaran terus digelontorkan setiap tahun.

    Bagaimana Cara Mencegah Korupsi?Penguatan regulasi dan penegakan hukum

    Pencegahan korupsi memerlukan kerangka hukum yang kuat, seperti UU Tipikor, UU Pengelolaan Keuangan Negara, UU Keterbukaan Informasi Publik, dan UU Pelayanan Publik. Penegakan hukum yang tegas dan konsisten memberi efek jera bagi pelaku korupsi dan mempertegas pelanggaran tidak dapat ditoleransi.

    Penanaman nilai integritas sejak dini sangat penting untuk membentuk generasi yang jujur dan bertanggung jawab. Pendidikan antikorupsi membantu masyarakat mengenali dan menolak praktik koruptif.

    Perubahan pola pikir masyarakat menjadi fondasi penting dalam pemberantasan korupsi. Praktik seperti toleransi terhadap suap kecil atau pemberian hadiah kepada pejabat harus dihentikan. Budaya transparansi dan keberanian menolak pungli perlu dibangun secara kolektif.

    Reformasi pengadaan barang dan jasa

    Sektor pengadaan pemerintah merupakan titik paling rawan korupsi. Reformasi perlu dilakukan dengan meningkatkan transparansi di setiap tahapan dan melibatkan masyarakat serta lembaga independen untuk memantau pelaksanaan proyek agar celah penyimpangan dapat ditutup.

    Pemanfaatan teknologi untuk transparansi

    Sistem digital, seperti e-government, e-budgeting, dan e-procurement mempersempit peluang korupsi. Teknologi memungkinkan publik mengawasi setiap alur anggaran dan realisasi proyek secara terbuka sehingga manipulasi data, mark up, dan penyimpangan menjadi lebih sulit dilakukan.

    Korupsi adalah ancaman nyata bagi pembangunan daerah yang berkeadilan dan berkelanjutan. Tanpa komitmen kuat dari pemerintah, masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan, berbagai program pembangunan tidak akan berjalan optimal.

  • Grafiti Liar di Ruang Publik, Ekspresi Seni atau Merusak?
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        9 Desember 2025

    Grafiti Liar di Ruang Publik, Ekspresi Seni atau Merusak? Megapolitan 9 Desember 2025

    Grafiti Liar di Ruang Publik, Ekspresi Seni atau Merusak?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Suatu pagi pada awal tahun ini, Tedi (45) dibuat terperangah di depan tokonya di Kramat, Senen, Jakarta Pusat.
    Rolling door
    ruko yang sehari-hari digunakan untuk usaha fotokopi dan alat tulis kantor (ATK) itu penuh oleh coretan tebal berwarna hitam.
    Tulisan tak beraturan itu menutupi hampir seluruh permukaan pintu logam.
    Belum sempat pulih dari kejadian itu, baru sebulan terakhir bagian samping dinding rukonya kembali menjadi sasaran.
    “Sudah dua kali. Pagi mau buka toko, saya lihat lagi penuh tulisan,” kata Tedi saat ditemui
    Kompas.com
    di rukonya, Senin (8/12/2025).
    Tedi harus mengeluarkan biaya ekstra untuk mengecat ulang. Namun, yang lebih ia cemaskan adalah persepsi pelanggan terhadap tempat usahanya.
    “Saya takut pelanggan mikir ini tempat enggak aman. Jadi menurunkan citra usaha saya juga,” ujar dia.
    Namun, ia tak berani menegur pelaku karena tidak mengenalnya.
    Tedi memahami, sebagian orang menyebut
    grafiti
    sebagai seni jalanan. Namun baginya, seni tetap harus menghormati ruang milik orang lain.
    “Kalau asal coret di tempat orang, itu bukan seni. Itu merusak,” katanya tegas.
    Sementara diskursus seni dan hak berekspresi terus bergulir, warga seperti Tedi harus menghadapi kerugiannya sendiri.
    Bagi pelaku usaha kecil, penurunan citra berarti hilangnya pendapatan.
    “Saya menghargai kreativitas, tapi harus ada batasnya,” kata Tedi.
    Coretan ini tidak hanya mengusik Tedi.
    Pengamatan
    Kompas.com,
     Senin (8/12/2025), di sejumlah wilayah Jakarta Pusat, Selatan, dan Timur, grafiti dalam bentuk mural maupun coretan spontan semakin banyak ditemui.
    Wilayah Gondangdia dan Cikini menjadi titik dengan temuan grafiti paling menonjol. Tepatnya di Jalan Cut Nyak Dien dan Gondangdia 3.
    Di dua lokasi, terlihat pembatas bangunan dekat sebuah
    guest house
    tampak penuh graffiti bombing yang menumpuk, mengontraskan bangunan modern di sekitarnya.
    Coretan lain berupa karakter kartun cerah menghiasi lorong sempit di kawasan itu.
    Kemudian di bawah
    flyover
    dan jalur kereta, struktur beton jembatan layang menjadi kanvas bagi karya besar berwarna ungu, biru muda, pink, dan kuning.
    Sementara di Jalan Medan Merdeka Barat, Menteng Raya, Kramat Kwitang. Terlihat banyak
    rolling door
    ruko dan fasad bangunan tak terawat ditutup coretan
    bubble
    atau
    throw-up
    hitam-putih dan biru.
    Mayoritas coretan ditemukan pada pagar seng proyek, bangunan tua dan ruko hingga dinding pembatas jalan besar yang dicoret huruf tebal tanpa pesan jelas.
    Dalam beberapa lokasi, grafiti dianggap mempercantik suasana.
    Namun, di titik lain, warga mengeluhkan bahwa coretan yang hadir tanpa izin justru memberi kesan kumuh dan mengganggu identitas lingkungan.
    Untuk memahami pandangan para pelaku karya jalanan atau seniman grafiti, Kompas.com mewawancarai Haikal Nugroho (27), seniman grafiti dari Jakarta Timur.
    Haikal mengakui sebagian besar masyarakat melihat grafiti identik dengan perusakan fasilitas publik. Namun ia menegaskan banyak seniman ingin berkarya secara bertanggung jawab.
    “Bagi kami tantangannya tetap berkarya tanpa bikin orang merasa dirugikan,” ujar Haikal saat dihubungi, Senin.
    Menurutnya, batas seni dan vandalisme terletak pada izin dan konteks.
    “Kalau kita dapat izin pemilik bangunan, itu seni. Kalau kita coret di tempat orang tanpa izin, ya itu vandal,” katanya.
    Haikal berharap pemerintah menyediakan ruang legal untuk mural agar para seniman bisa menyalurkan kreativitas tanpa mengganggu warga.
    “Jangan hanya ditertibkan, tapi kasih wadah. Kalau ada tembok legal, grafiti liar bisa berkurang,” lanjutnya.
    Ia juga berpesan agar warga tidak hanya melihat sisi negatif coretan jalanan, melainkan ada ruang dialog dan kolaborasi.
    Kasatpol PP Jakarta Pusat Purnama Hasudungan Panggabean saat dikonfirmasi menyatakan sudah ada langkah penindakan bagi pelaku coret-coret sembarangan.
    “Kalau kepergok akan kita tangkap dan suruh hapus serta buat pernyataan,” kata Purnama.
    Bagi pelajar yang tertangkap, pembinaan akan melibatkan sekolah mereka.
    Namun Purnama membedakan grafiti yang dianggap merusak dengan mural yang mendukung keindahan wilayah.
    “Kalau berbentuk mural untuk menambah keindahan, itu boleh dilakukan di area agak dalam. Bukan di jalan-jalan protokol,” tegas dia.
    Fenomena grafiti dan vandalisme di kota tak dapat dipotong hanya dari sisi estetika dan pelanggaran.
    Menurut Sosiolog UNJ Rakhmat Hidayat, grafiti memiliki sejarah panjang sebagai simbol perlawanan dan ekspresi identitas kelompok muda perkotaan.
    Rakhmat menjelaskan grafiti tumbuh dari street culture yang lekat dengan marjinalisasi.
    “Ini ekspresi identitas, sering muncul dari mereka yang kecewa terhadap sistem,” kata Rakhmat.
    Dalam beberapa tahun terakhir, coretan di ruang publik kerap memuat kritik sosial terhadap kebijakan dan elite politik.
    “Vandalisme yang sarkastik sering menunjukkan kota itu hidup. Ada dinamika, ada suara rakyat yang tidak tertampung dalam kanal formal,” ujarnya.
    Namun ia menyadari sebagian aksi corat-coret dilakukan tanpa pesan, hanya sebagai bentuk provokasi kelompok anak muda, misalnya supporter sepak bola atau siswa sekolah terlibat konflik.
    Meski begitu, bagi Rakhmat, ruang publik tetap bagian dari hak warga kota.
    “Ekspresi itu nggak bisa dibungkam. Secara sosiologis, setiap warga kota punya hak untuk memiliki kota,” katanya.
    Penertiban menurutnya harus berimbang, tidak semata represif, tetapi juga membuka ruang alternatif untuk berekspresi.
    Rakhmat menilai, jika Jakarta membuka lebih banyak ruang yang dikelola dengan baik, dinamika ekspresi bisa diarahkan ke bentuk yang produktif.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Komisi I Minta Komdigi Luruskan Narasi Negara Tak Hadir di Aceh-Sumatra

    Komisi I Minta Komdigi Luruskan Narasi Negara Tak Hadir di Aceh-Sumatra

    Bisnis.com, JAKARTA — Anggota Komisi I DPR RI fraksi partai Gerindra Endipat Wijaya menyoroti kelemahan strategi Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang dinilai gagal mengimbangi kecepatan arus informasi di media sosial. 

    Sorotan tajam itu tertuju pada fenomena di mana bantuan negara yang masif dalam penanggulangan bencana di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat justru tertutup oleh persepsi publik bahwa “negara tidak hadir”.

    Hal ini terungkap dalam pembahasan mengenai pentingnya amplifikasi informasi strategis guna menangkal disinformasi yang kian masif menyebar di masyarakat.

    Wijaya mengungkapkan fakta ironis yang terjadi di lapangan. Menurut dia, pemerintah sejatinya telah bergerak cepat dengan mengerahkan sumber daya yang sangat besar.

    “Ada orang yang baru datang bikin 1 posko, ngomong pemerintah tidak ada”, ujarnya di ruang Komisi 1 DPR RI Senin (08/12/2025).

    Bantuan logistik telah mencapai 20 ton yang telah disalurkan, didukung dengan alokasi anggaran mencapai triliunan rupiah untuk penanggulangan dampak bencana di wilayah-wilayah tersebut, tambahnya.

    Namun, besarnya upaya dan anggaran yang dikucurkan negara tersebut dinilai “kalah viral” dibandingkan narasi-narasi alternatif yang beredar di media sosial. Akibatnya, muncul citra negatif yang kuat di masyarakat bahwa upaya pemerintah diremehkan atau bahkan dianggap tidak ada sama sekali.

    Komisi I juga mengidentifikasi adanya fenomena yang disebut sebagai “The One Who Stole the Show”.

    Fenomena ini merujuk pada pola di mana individu atau kelompok tertentu yang mungkin hanya datang sesaat ke lokasi bencana justru berhasil mendominasi ruang percakapan publik. 

    Aksi mereka yang seringkali sporadis berhasil menjadi viral dan “mencuri panggung”, secara efektif mengalahkan eksposur terhadap kerja sistematis, terstruktur, dan masif yang dilakukan oleh aparatur pemerintah.

    DRR RI menunjukkan kekhawatiran ketika konten-konten viral tersebut membentuk opini publik bahwa aktor-aktor individual inilah yang paling berjasa, sementara peran negara terpinggirkan dari kesadaran publik.

    Situasi ini dinilai telah menciptakan disinformasi yang “sangat tidak baik” terkait kepentingan umum. Narasi “negara tidak hadir” yang terbentuk akibat kekalahan dalam perang informasi ini dianggap berbahaya karena dapat menggerus kepercayaan publik terhadap institusi negara.

    “Jadi yang kayak gitu mohon dijadikan perhatian sehingga ke depan tidak ada lagi informasi yang seolah-olah negara tidak hadir di mana-mana. Padahal negara sudah hadir.” tambah Wijaya.

    Wijaya juga menegaskan bahwa amplifikasi informasi strategis kini menjadi kebutuhan yang mendesak. Pemerintah didorong untuk tidak hanya fokus pada kerja teknis di lapangan, tetapi juga harus memenangkan narasi di ruang digital. (Muhammad Diva Farel Ramadhan)

  • PJHB Tancap Gas! Keel Laying Armada Baru Resmi Dimulai, Laba PJHB Diproyeksi Meroket 50 Persen

    PJHB Tancap Gas! Keel Laying Armada Baru Resmi Dimulai, Laba PJHB Diproyeksi Meroket 50 Persen

    Kedekatan geografis dan jejaring pemegang saham utama—termasuk Presiden Komisaris Hero Gozali yang berasal dari Kalimantan—memperkuat konektivitas PJHB dengan pusat kegiatan pertambangan dan energi, termasuk ekosistem bisnis milik konglomerat Prajogo Pangestu, di mana Petrosea, salah satu klien PJHB, berkiprah.

    Sektor pelayaran sendiri kini menjadi primadona baru di pasar modal Indonesia, ditopang oleh kebutuhan logistik proyek hilirisasi, peningkatan permintaan alat berat, serta booming komoditas.

    Sejak IPO pada 6 November, saham PJHB telah menunjukkan kenaikan impresif dari Rp330 menjadi Rp615. “Dengan ekspansi tiga kapal baru dan kontrak industri yang terus bertambah, kami menargetkan perusahaan dapat tumbuh lebih dari 50% pada 2026. Fundamentalnya sudah terbentuk sejak tahun ini, dan kapasitas baru akan mulai berdampak penuh tahun depan,” ujar Abie.

    “Penambahan tiga kapal sekaligus akan membawa dampak langsung ke kapasitas dan revenue PJHB. Kami ingin memastikan momentum pasca-IPO benar-benar dirasakan investor,” ujar Abie.

    Tidak banyak emiten yang mampu melakukan pembangunan armada begitu cepat setelah melantai di bursa. Eksekusi kilat PJHB ini menciptakan kepercayaan investor, visibilitas pertumbuhan pendapatan, serta ekspansi selama kurun waktu 2025–2027.

    Hal ini mendorong persepsi pasar bahwa PJHB adalah salah satu emiten pelayaran paling agresif dan terukur dalam memanfaatkan dana IPO.

    Dengan tiga kapal dibangun secara paralel, PJHB memproyeksikan peningkatan kapasitas angkut dan pendapatan signifikan mulai 2025. Kombinasi kontrak strategis, permintaan sektor industri, dan pipeline ekspansi menjadikan PJHB berada pada jalur pertumbuhan yang solid.

  • Jakbar lakukan evaluasi kinerja gugus tugas Kota Layak Anak

    Jakbar lakukan evaluasi kinerja gugus tugas Kota Layak Anak

    Jakarta (ANTARA) – Pemerintah Kota Jakarta Barat (Pemkot Jakbar) melalui Suku Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) mengevaluasi kinerja gugus tugas Kota Layak Anak (KLA) 2026.

    Kepala Suku Dinas PPAPP Jakarta Barat, Dyan Airlangga di Jakarta, Senin, mengatakan evaluasi tersebut, utamanya menyasar alur koordinasi tim tugas KLA Kota Jakarta Barat.

    “Tujuannya memperkuat komitmen daerah, gugus tugas, dan mendorong kolaborasi lintas sektor dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak,” kata Dyan dalam rapat koordinasi gugus tugas KLA.

    Kegiatan itu, kata dia, diharapkan dapat menyamakan persepsi tim gugus tugas, memperkuat koordinasi, serta merumuskan langkah strategis untuk mewujudkan Jakarta Barat sebagai KLA yang berkualitas.

    “Inovasi dalam pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak juga menjadi salah satu fokus yang ditekankan,” tutur dia.

    Menurutnya, KLA merupakan sistem pembangunan berbasis pemenuhan hak anak. “Jadi itu butuh komitmen bersama dari pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha,” kata dia.

    Adapun indikator penilaian KLA berdasarkan Peraturan Presiden (PP) Nomor 25 Tahun 2021, yang memuat 24 indikator mencakup berbagai klaster mulai dari kelembagaan, hak sipil dan kebebasan, pengasuhan alternatif, kesehatan dan kesejahteraan, pendidikan, hingga perlindungan khusus.

    “Sedang untuk dua klaster tambahan Kecamatan Layak Anak (Kelana) dan Desa/Kelurahan Layak Anak juga menjadi perhatian penting dalam evaluasi dua tahun terakhir,” pungkas dia.

    Pemkot Jakbar terus mengembangkan dan membuka banyak tempat untuk pemenuhan hak anak, di antaranya 58 RPTRA, satu Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) dan 58 Pos Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) untuk aduan laporan kekerasan pada setiap RPTRA hingga tahun 2025.

    Lebih lanjut, Pemkot Jakbar juga menyediakan Pos Perlindungan Perempuan dan Anak yang terus berkembang di setiap kecamatan serta jumlah aktivis perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat yang semula berjumlah 8 kelompok, kini menjadi 56 kelompok.

    Pewarta: Redemptus Elyonai Risky Syukur
    Editor: Laode Masrafi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Zulhas, Political Selfie, dan Literasi Visual Publik
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        8 Desember 2025

    Zulhas, Political Selfie, dan Literasi Visual Publik Nasional 8 Desember 2025

    Zulhas, Political Selfie, dan Literasi Visual Publik
    Pengamat Komunikasi Politik dan Sosiologi Media
    VIDEO
    dan foto kunjungan Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, di lokasi banjir bandang Sumatera beredar luas di berbagai platform. Ia tampak memanggul karung beras, melangkah di tengah genangan, dengan kamera yang terus mengikuti setiap gerakan. Potongan lain memperlihatkan ia ikut membersihkan rumah warga terdampak banjir.
    Paket visual ini dengan cepat diberi label “
    pencitraan
    ” dan “akting” oleh banyak warganet. Setelahnya, unggahan dan pemberitaan itu direspons dengan kalimat sinis, kritis dan skeptis. Di mata para pengkritik, adegan memanggul beras dan menyapu lumpur itu tampak lebih mirip set pengambilan gambar daripada kerja darurat di tengah krisis.
    Tak ayal, perang klaim antara “turun langsung membantu” dan kecurigaan “sekadar pencitraan” menjadi sumbu polemik. Semua terjadi di tengah bencana yang skalanya jauh dari ringan. Pertanyaan utama tak pelak langsung mendera benak publik, bukan hanya apakah
    Zulkifli Hasan
    tulus atau tidak ketika memanggul karung beras.
    Yang lebih krusial, apakah praktik pejabat yang mengemas kehadiran di lokasi bencana sebagai materi visual ini dapat dipahami sebagai
    political selfie
    dalam pengertian yang dikaji di banyak negara. Bila ya, kita perlu menimbang dampaknya bagi korban, bagi kualitas demokrasi, dan bagi cara negara memaknai kehadiran di tengah bencana.
    Achilleas Karadimitriou dan Anastasia Veneti (2016) menyebut
    political selfie
    sebagai “image event” baru di medan komunikasi politik digital. Menurut mereka, ada empat fungsi utama
    political selfie
    , yaitu menghasilkan materi visual sendiri di luar filter redaksi, menciptakan rasa intim, menjadi alat branding politik, dan menarik perhatian media.
    Dalam kerangka ini, selfie bukan lagi foto spontan, melainkan bagian dari strategi permanen membangun citra. Dengan demikian,
    political selfie
    adalah momen ketika tubuh politisi dan kamera sengaja dipertemukan untuk tujuan politik, bukan sekadar dokumentasi.
    Melalui perspektif ini, video karung beras tampak sangat pas dengan anatomi
    political selfie
    . Materi visualnya diambil dari akun Instagram resmi @zul.hasan yang sepenuhnya dikelola tim. Sudut pengambilan gambar menonjolkan beban di pundak dan kedekatan fisik dengan warga, membangun kesan pemimpin yang “turun tangan”. Dari sana, potongan gambar diangkat ulang oleh media daring dan menjadi berita. Ini mengunci frame: menteri pekerja keras hadir di tengah lumpur banjir.
    Penelitian Mireille Lalancette dan Vincent Raynauld (2017, 2019) tentang Instagram Justin Trudeau menunjukkan pola serupa. Selfie dan potret santai sang perdana menteri dipakai untuk menjual citra pemimpin muda, dekat, dan hangat. Isu kebijakan hadir sebagai latar naratif, bukan pusat gambar.
    Penelitian ini menemukan bahwa logika “viral” dan estetika positif dalam membentuk persepsi publik sering kali menutupi konflik kebijakan yang jauh lebih kompleks.
    Studi lain tentang
    selfie journalism
    di pemilu Siprus (Papathanassopoulos et al., 2018) menunjukkan hampir seluruh selfie politisi yang dianalisis menggambarkan momen positif dan emosional, dengan konteks politik yang minim.
    Selfie menjadi alat mobilisasi kesan, bukan penjelasan kebijakan. Pola ini tampak berulang di banyak negara ketika kampanye dan kerja pemerintahan melebur dalam satu arus konten yang mengumbar visual dramatis. Di titik itu, bencana alam menyediakan panggung yang sangat “fotogenik” bagi politisi.
    Lebih jauh, Jeremiah Morelock dan Felipe Narita (2021) meyakini masyarakat sekarang hidup dalam
    society of the selfie
    , di mana promosi diri menjadi logika dasar yang merembes ke hampir semua ruang sosial, termasuk politik dan kebencanaan. Dalam logika ini, tidak cukup hadir dan bekerja, seorang pejabat juga harus terlihat bekerja, sebaik mungkin, dalam format yang mudah dibagikan.
    Bencana lalu berisiko direduksi menjadi panggung yang menyediakan “stok gambar” bagi politisi, alih alih momentum untuk mengakui kegagalan tata kelola dan memperbaikinya.
    Sejalan dengan banyak teoretisi yang mengkaji gejala
    political selfie
    , Kuntsman dan Stein (2017) memperkenalkan gagasan
    selfie citizenship
    untuk menjelaskan bagaimana warga biasa menggunakan selfie sebagai klaim kewargaan. Seturut itu, Butkowski (2023) lewat studi “I voted selfies” menunjukkan bahwa swafoto usai mencoblos dapat menjadi cara warga menegaskan diri sebagai bagian dari komunitas politik yang peduli.
    Dalam kedua kasus ini, selfie mengalir dari bawah ke atas, dari mereka yang lemah kuasa ke ruang publik yang sering mengabaikan suara mereka. Sebaliknya,
    political selfie
    pejabat di tengah bencana bergerak dari atas ke bawah, dari pemegang kekuasaan kepada warga yang baru kehilangan rumah dan keluarga. Korban tidak benar-benar memiliki kuasa untuk menolak ikut masuk frame, apalagi mengatur bagaimana gambarnya akan digunakan.
    Ketika tubuh mereka hadir sebagai latar yang memperkuat citra empatik pejabat, mereka lebih menjadi properti visual daripada subjek politik yang setara. Di titik ini, adalah krusial mengajukan kriteria etis terkait fenomena
    political selfie
    .
    Pertama, siapakah yang menjadi pusat visual dalam
    political selfie
    di lokasi bencana: wajah pejabatkah atau informasi penting bagi korban? Kedua, apakah warga memiliki cukup ruang aman untuk mengatakan ‘tidak’ untuk difoto, tanpa tekanan simbolik dari aparat, staf, dan suasana resmi? Ketiga, apakah gambar tersebut disertai penjelasan kebijakan yang konkret, atau berhenti pada dramatisasi empati dan ketegasan?
    Jika tiga pertanyaan itu diajukan pada video karung beras, jawabannya mengkhawatirkan. Frame jelas memusatkan tubuh pejabat, sementara korban dan relawan berada di belakang sebagai latar. Mustahil membayangkan pengungsi yang kelelahan berani menolak ketika anggota rombongan menjepret.
    Sudah menjadi tabiat umum bahwa keterangan yang menyertai unggahan lebih banyak bicara tentang kehadiran pemerintah, bukan rincian langkah struktural untuk memulihkan nasib ratusan ribu pengungsi.
    Pembelaan “memanggul beras bukan pencitraan, tetapi tugas pejabat sesuai Undang-Undang Penanggulangan Bencana” tidak cukup menjawab problem ini. Undang-Undang memang mewajibkan pejabat turun membantu, tetapi tidak pernah memerintahkan setiap gerak dijadikan konten yang memusatkan figur pejabat.
    Justru di titik ini, kepekaan terhadap hierarki kuasa dan martabat korban harus menjadi perhatian utama, termasuk dalam keputusan sederhana: siapa yang diundang ke depan kamera, dan untuk tujuan apa.
    Kontroversi
    political selfie
    di Sumatera sebenarnya menunjukkan tumbuhnya literasi visual publik. Ketika warganet cepat mengenali
    staging
    dan simbolisme yang berlebihan, hal itu secara implisit menunjukkan bahwa medan politik layar sudah tidak bisa lagi dianggap ruang pasif yang hanya menghamburkan agenda simbolis.
    Namun literasi ini perlu diarahkan lebih bermakna, agar kritik tidak berhenti di soal gaya, tetapi menyasar juga pola komunikasi kekuasaan yang mereduksi lokasi bencana menjadi panggung citra.
    Ringkasnya, alih-alih sebagai jembatan informasi yang menyejukkan, praktik
    political selfie
    (amat dikhawatirkan) menggeser fokus dari hak korban ke hak pejabat untuk tampil ‘sempurna’ bak pahlawan di layar. Padahal, dalam bencana sebesar ini, ukuran utama seharusnya terletak kepada seberapa jauh kebijakan yang lahir (setelah kamera dimatikan) mampu memulihkan asa korban dan berdampak signifikan terhadap mitigasi bencana ke depan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Reputasi Gemilang, MPP Kota Kediri Raih Peringkat 1 Se-Jawa dengan Rating Google 4,9

    Reputasi Gemilang, MPP Kota Kediri Raih Peringkat 1 Se-Jawa dengan Rating Google 4,9

    Kediri (beritajatim.com) – Mall Pelayanan Publik (MPP) Kota Kediri mengukuhkan reputasinya sebagai yang terbaik di Jawa dengan mencatatkan rating superior 4,9 dari 396 ulasan di Google Review. Pencapaian istimewa ini menempatkan MPP Kota Kediri di peringkat pertama, melampaui daerah besar lain seperti Kota Surabaya dan Kabupaten Kediri yang menempati posisi berikutnya, sekaligus membuktikan bahwa kualitas pelayanan mengalahkan kuantitas fasilitas.

    Penilaian publik yang sangat tinggi ini menegaskan persepsi positif masyarakat terhadap layanan yang cepat, mudah, dan terintegrasi. Reputasi tersebut kian menonjol karena MPP Kota Surabaya, meskipun memiliki jangkauan dan jumlah layanan yang lebih banyak, justru berada di bawah MPP Kota Kediri. Hal ini menunjukkan bahwa fokus pada pengalaman pengguna (UX) menjadi kekuatan utama.

    Asisten Perekonomian dan Pembangunan, Hery Purnomo, saat memberikan arahan dalam Rapat Koordinasi Pemantauan dan Evaluasi MPP, Senin (8/12), menyampaikan bahwa reputasi cemerlang ini harus dijadikan modal utama. Ia juga menekankan bahwa capaian tersebut harus menjadi motivasi kuat untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan.

    “MPP hadir dengan tujuan besar: menghadirkan pelayanan cepat, mudah, nyaman, dan aman. Reputasi baik yang kita peroleh adalah cermin kerja keras, tetapi juga pengingat bahwa masih ada banyak hal yang perlu kita benahi,” ujarnya.

    Dalam kegiatan yang terselenggara di ruang Joyoboyo Balaikota Kediri ini, Hery mengungkap bahwa di balik reputasi tinggi tersebut, MPP Kota Kediri masih menghadapi sejumlah tantangan serius. Masalah tersebut mencakup kedisiplinan sebagian petugas yang belum konsisten, keterbatasan ruang pelayanan, sarana pendukung yang masih perlu ditingkatkan, hingga komitmen Unit Penyelenggara Pelayanan (UPP) yang belum merata.

    Tantangan utama yang mendesak adalah jumlah UPP yang masih minimal. “Jumlah Unit Penyelenggara Pelayanan (UPP) di Kota Kediri baru mencapai 13 (jumlah yang terendah di Jawa) sementara beberapa daerah sudah memiliki lebih dari 25 UPP,” tegas Hery.

    “Perlu kita tingkatkan agar dalam waktu dekat jumlah UPP dapat bertambah menjadi minimal 25,” lanjutnya. Sejumlah instansi besar seperti BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, BPOM, BNN, dan KPP Pratama disebut siap bergabung memperkuat layanan.

    Sementara itu, hasil evaluasi KemenPAN-RB tahun 2024 yang menunjukkan skor 76,33 menjadi pengingat bahwa proses peningkatan tidak boleh berhenti. Hery menilai perlunya pembenahan komprehensif yang meliputi kompetensi pegawai, digitalisasi layanan, penguatan pengelolaan keuangan, serta penyempurnaan proses internal.

    Dengan total 16.070 pengguna MPP sepanjang Januari – November 2025, evaluasi terhadap pengalaman pengguna menjadi semakin penting. Layanan yang modern dan efisien sangat menarik bagi Gen Z dan milenial.

    “Meskipun mayoritas ulasan sangat positif, tetap ada beberapa penilaian rendah yang harus kita cari akar masalahnya,” tegas Hery.

    Di sisi lain, Kepala DPMPTSP sekaligus Koordinator Penyelenggaraan MPP Kota Kediri, Edi Darmasto, memaparkan bahwa reputasi tinggi tersebut tidak terlepas dari kemudahan layanan yang terintegrasi di satu lokasi.

    Berlokasi di lantai 2 Doho Plaza, MPP Kota Kediri saat ini menyediakan 96 layanan dari 12 instansi. Layanan tersebut sangat beragam, mulai dari administrasi kependudukan, perizinan, imigrasi, kepolisian, pertanahan, hingga layanan pengadilan dan kejaksaan. Bank Jatim melengkapi layanan melalui fasilitas pembayaran PBB, PDAM, PLN, Telkom, BPJS, pajak restoran, hingga transaksi perbankan.

    “Dari 16.070 pengunjung yang tercatat sepanjang 2025, layanan Dispendukcapil menjadi yang paling banyak diakses dengan 7.376 pengguna, diikuti DPMPTSP sebanyak 3.994 pengguna. Hasil Survei Kepuasan Masyarakat dengan 99,68% responden memberikan bintang lima juga selaras dengan rating Google Review yang sangat tinggi,” terang Edy.

    Edi menegaskan bahwa reputasi baik tersebut akan dijaga dengan langkah-langkah peningkatan berkelanjutan. Di antaranya penguatan SDM, monitoring dan evaluasi berkala, penataan ulang ruang layanan, perbaikan alur pelayanan, serta percepatan digitalisasi layanan termasuk survei online.
    Dengan reputasi yang kini melampaui kota-kota besar lain, MPP Kota Kediri membuktikan bahwa pelayanan publik tidak selalu bergantung pada besarnya fasilitas, melainkan komitmen untuk memberikan layanan terbaik.

    “Ke depan, DPMPTSP menargetkan MPP sebagai ikon pelayanan publik yang semakin modern, mudah diakses, dan dapat dipercaya seluruh warga,” tutup Edy. [nm]

  • Mau Islah dengan Rais Aam, Gus Yahya Minta Ulama Sepuh Jaga PBNU

    Mau Islah dengan Rais Aam, Gus Yahya Minta Ulama Sepuh Jaga PBNU

    Jombang, Beritasatu.com – Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menyatakan dirinya terbuka untuk islah dengan rais aam syuriyah PBNU seusai menyampaikan klarifikasi di hadapan forum sesepuh dan mustasyar Nahdlatul Ulama (NU) di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. 

    Gus Yahya juga memohon kepada para ulama untuk ikut menjaga tatanan organisasi PBNU supaya tidak runtuh di tengah jalan.

    Gus Yahya mengatakan dirinya dan jajaran PBNU sejak awal berkhidmah dengan niat tulus, sehingga penting menjaga struktur yang telah diwariskan para pendiri. 

    “Mohon dipertimbangkan tentang masa depan tatanan organisasi Nahdlatul Ulama ini, supaya tatanan ini tidak runtuh di tengah jalan,” kata Gus Yahya di Tebuireng, Sabtu (6/12/2025) malam.

    Ia mengingatkan sejak awal NU didirikan Rais Akbar Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, membuat aturan dan struktur organisasi yang ketat serta kewenangannya dibatasi oleh anggaran dasar. Oleh karena itu, Gus Yahya mengajak semua warga NU untuk berpikir dengan benar, agar tatanan organisasi tidak runtuh hanya karena tuduhan yang tidak mendasar yang ditujukan kepada dirinya.

     “Maka mari kita berpikir tetap dengan betul agar tatanan ini tidak diruntuhkan dan membawa jam’iyah ini mundur 100 tahun,” tegasnya.

    Dalam forum tersebut, Gus Yahya mendapatkan kesempatan untuk menjelaskan secara lengkap berbagai persoalan organisasi yang selama ini ditujukan kepadanya. Menurutnya, seluruh kebutuhan klarifikasi yang sebelumnya disampaikan melalui utusan Rais Aam telah dijawab secara tuntas. 

    Penjelasan tersebut pun juga dilengkapi dokumen dari Bendahara Umum PBNU Sumantri Suwarno serta Sekjen Amin Said Husni. “Semuanya telah saya jawab dengan tuntas dilengkapi dengan penjelasan-penjelasan dari Saudara Sumantri sebagai pemegang buku keuangan PBNU serta penjelasan-penjelasan dari Pak Amin Said Husni,” tukas Gus Yahya.

    Gus Yahya juga menyinggung polemik audit keuangan yang menurutnya telah jelas dan terbuka. Ironisnya, hasil audit data sementara oleh auditor, ternyata dimanipulasi oleh pihak – pihak tertentu dan menimbulkan kegaduhan dengan berbagai tuduhan tidak mendasar.

    “Auditornya sudah mundur gara-gara opininya dimanipulasi. Hasil audit data sementaranya itu diminta kemudian dimanipulasi jadi tuduhan-tuduhan tidak berdasar. Ahli-ahli hukum sudah bicara. Semuanya sudah bicara,” ungkapnya.

    Ia menilai persoalan tersebut tidak perlu ditutupi, melainkan harus diluruskan agar tidak menambah kerumitan dalam organisasi.

    “Maka mari kita luruskan dulu supaya tidak tambah-tambah masalah,” kata Gus Yahya.

    Menanggapi pernyataan bahwa pertemuan di Tebuireng tidak memengaruhi risalah rapat syuriyah, Gus Yahya menilai rapat harian syuriyah justru sudah bermasalah sejak awal.

    “Mau pengaruh atau tidak pengaruh, monggo, tetapi sudah menjadi persepsi bahwa apa yang terjadi dengan harian syuriyah itu sangat bermasalah, membuat keputusan di luar wewenangnya. Jadi ini bermasalah. Semua ikutannya dari keputusan ini bermasalah semua,” tegasnya.

    Ia juga mengkritisi rencana Rapat Pleno PBNU pada 9 Desember 2025 yang disebut mendasarkan diri pada keputusan bermasalah itu.

    “Kalau itu didasarkan pada Rapat Harian Syuriyah tanggal 20 November, itu berarti mendasarkan diri pada keputusan yang bermasalah. Pengambilalihan jabatan ketua umum untuk dirangkap oleh Rais Aam sangat-sangat bermasalah,” ujarnya.

    Gus Yahya menambahkan ia akan terus berkomunikasi dengan para kiai sepuh serta PWNU dan PCNU seluruh Indonesia untuk mencari penyelesaian terbaik.

    Ia mengaku sangat berterima kasih kepada para kiai sepuh, mustasyar, dan para sesepuh ulama memberikan ruang baginya untuk menyampaikan penjelasan secara terbuka. “Saya sangat berterima kasih bahwa beliau-beliau berkenan untuk memanggil saya. Saya sangat terharu bahwa para sesepuh kita masih begitu peduli kepada jam’iyah Nahdlatul Ulama ini,” pungkasnya.

  • Gus Yahya akui terbuka untuk islah

    Gus Yahya akui terbuka untuk islah

    Jombang (ANTARA) – Ketua Umum PBNU K.H. Yahya Cholil Staquf menyatakan dirinya terbuka untuk islah, yang disampaikan usai menghadiri silaturahim PBNU sesi kedua di Pesantren Tebuireng, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.

    “Saya sangat berterima kasih bahwa beliau-beliau berkenan untuk memanggil saya. Saya sangat terharu bahwa para sesepuh kita masih begitu peduli kepada jam’iyah Nahdlatul Ulama ini,” katanya dalam keterangan yang diterima, Minggu (7/12/2025).

    Dalam forum tersebut, Gus Yahya mengakui mendapat kesempatan untuk menjelaskan secara lengkap berbagai persoalan organisasi yang selama ini ditujukan kepadanya.

    Menurutnya, seluruh kebutuhan klarifikasi yang sebelumnya disampaikan melalui utusan Rais Aam telah ia jawab secara tuntas. Penjelasan tersebut juga turut dilengkapinya dengan dokumen dari Bendahara Umum PBNU Sumantri Suwarno serta Sekjen Amin Said Husni.

    “Semuanya telah saya jawab dengan tuntas, dilengkapi dengan penjelasan-penjelasan dari saudara Sumantri sebagai pemegang buku keuangan BPNU… serta penjelasan-penjelasan dari Pak Amin Said Husni,” jelasnya.

    Dirinya juga menitipkan pesan khusus kepada para kiai terkait masa depan tatanan organisasi NU.

    Ia menegaskan bahwa dirinya dan jajaran PBNU sejak awal berkhidmah dengan niat tulus, sehingga penting menjaga struktur yang telah diwariskan para pendiri.

    “Mohon dipertimbangkan tentang masa depan tatanan organisasi Nahdlatul Ulama ini upaya tatanan ini tidak runtuh di tengah jalan,” kata dia.

    Ia pun mengingatkan bahwa sejak awal NU didirikan dengan aturan dan struktur yang ketat. Bahkan Rais Akbar Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy’ari, juga tetap dibatasi wewenangnya oleh anggaran dasar.

    “Maka mari kita berpikir tetap dengan betul agar tatanan ini tidak diruntuhkan dan membawa jam’iyah ini mundur 100 tahun,” kata dia.

    Terkait dengan pernyataan bahwa pertemuan di Pesantren Tebuireng, Jombang, tidak memengaruhi risalah rapat syuriyah, Gus Yahya menilai rapat harian syuriyah justru sudah bermasalah sejak awal.

    “Mau pengaruh atau tidak pengaruh, monggo. Tapi sudah menjadi persepsi bahwa apa yang terjadi dengan harian syuriyah itu sangat bermasalah, membuat keputusan di luar wewenangnya. Jadi ini bermasalah. Semua ikutannya dari keputusan ini bermasalah semua,” kata dia.

    Ia juga mengkritisi rencana Rapat Pleno PBNU pada 9 Desember 2025 yang disebut mendasarkan diri pada keputusan bermasalah itu.

    “Kalau itu didasarkan pada rapat harian syuriyah tanggal 20 November 2025, itu berarti mendasarkan diri pada keputusan yang bermasalah. Pengambilalihan jabatan ketua umum untuk dirangkap oleh Rais Aam sangat-sangat bermasalah,” ujarnya.

    Gus Yahya pun menambahkan bahwa dirinya akan terus berkomunikasi dengan para kiai sepuh serta PWNU dan PCNU seluruh Indonesia untuk mencari penyelesaian terbaik.

    Pewarta: Asmaul Chusna
    Editor: Triono Subagyo
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.