Buntut Kasus Keracunan, MBG Didesak Dihentikan Sementara hingga Evaluasi Menyeluruh Dilakukan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Maraknya kasus keracunan makan bergizi gratis (MBG) di berbagai daerah berujung pada munculnya desakan dari berbagai pihak untuk mengevaluasi program ini secara menyeluruh.
Program prioritas nasional di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto ini sejatinya bertujuan mulia: mengurangi malanutrisi, menciptakan lapangan kerja, serta menopang ketahanan ekonomi.
Namun, yang terjadi di lapangan, MBG justru menunjukkan potret nyata dari lemahnya pengawasan negara terhadap kualitas gizi dan keamanan pangan anak-anak sekolah.
Mendengar banyak kasus keracunan MBG, Menteri Sekretariat Negara Prasetyo Hadi menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat.
“Tentunya kami atas namanya pemerintah dan mewakili Badan Gizi Nasional, memohon maaf karena telah terjadi kembali beberapa kasus di beberapa daerah,” kata Prasetyo di Kompleks Istana, Jakarta, Jumat (19/9/2025).
Sementara Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai bahwa kasus keracunan makanan yang dialami anak-anak di berbagai daerah akibat program tersebut sudah tidak bisa lagi ditolerir.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mengatakan, harus ada evaluasi menyeluruh terhadap program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Jasra mengusulkan Badan Gizi Nasional (BGN) selaku penyelenggaranya, untuk menghentikan sementara program MBG karena peristiwa keracunan makanan yang terus meningkat.
“KPAI usul hentikan sementara, sampai benar-benar instrumen panduan dan pengawasan yang sudah dibuat BGN benar-benar dilaksanakan dengan baik,” ujar Jasra.
Dia menjelaskan, pemerintah perlu menyadari dan peka dengan masalah dan kondisi kesehatan anak-anak yang menjadi penerima manfaat program MBG.
“Saya kira pertahanan anak sekecil itu, sangat berbeda dengan orang dewasa. Apalagi kita tahu, kebijakan negara yang mengetahui kondisi dari dalam keluarga (masih sulit ditembus),” kata Jasra.
Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Muhammad Qodari juga senada dengan usulan KPAI.
Ia menyebut perlunya evaluasi secara menyeluruh terhadap pelaksanaan program MBG.
Qodari mengatakan, pelaksanaan program MBG perlu dibenahi mulai dari mekanisme hingga kelembagaan guna mencegah kembali terulangnya kasus keracunan MBG yang terjadi di sejumlah daerah.
“Memang harus ada perbaikan mekanisme, perbaikan kelembagaan, dan perbaikan dari berbagai macam sisi. Ini sedang berlangsung prosesnya, doakan. Ini sudah
wake up call
, bagaimana bahwa ini harus bisa diperbaiki dengan secepat-cepatnya. Yang kita khawatirkan adalah accident di daerah-daerah terpencil yang fokusnya belum sebaik seperti di daerah perkotaan,” kata Qodari di Jakarta, dilansir dari ANTARA, Sabtu (20/9/2025).
MBG, kata Qodari, seharusnya dirancang sebagai program dengan standar nol kasus atau zero accident.
“Hemat saya (MBG) perlu perbaikan secara menyeluruh, baik dari segi pendirian SPPG-nya maupun juga dari segi delivery-nya di lapangan,” ujar Qodari.
BGN sebagai pelaksana program MBG seharusnya dapat mencegah kasus keracunan tersebut.
Tegasnya, program MBG tidak boleh dijalankan dengan kesalahan sekecil apapun.
“Kan MBG tingkat accident-nya cuma 5 persen, cuman 1 persen, enggak bisa. Ini ada program dengan
zero tolerance
terhadap
accident
. Jadi MBG itu harus
perfect
, harus sempurna. Setiap hari, sepanjang tahun, selama program ini (berjalan), itu yang harus dituju oleh para pihak yang terlibat dengan MBG,” ujar Qodari.
Kepala Biro Hukum dan Humas Badan Gizi Nasional (BGN) Khairul Hidayati menekankan pentingnya penguatan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur MBG di tengah isu pangan yang kian sensitif.
SPPG bukan hanya sekadar dapur pelayanan gizi, tetapi juga sebagai ujung tombak pelaksanaan program MBG yang menjadi amanat Presiden Prabowo.
“SPPG bukan hanya dapur pelayanan gizi, tetapi juga wajah BGN serta ujung tombak program MBG di mata masyarakat. Apa yang dilakukan SPPG di lapangan, baik besar maupun kecil, akan ikut memengaruhi bagaimana publik memandang program dan lembaga ini,” ujar Hida dalam keterangan resmi, Sabtu (20/9/2025).
Ia mengatakan, peran komunikasi publik dalam menjaga kepercayaan masyarakat terhadap program MBG cukup penting.
“SPPG berperan vital untuk pelayanan gizi di masyarakat. Namun, seiring meningkatnya perhatian publik terhadap isu pangan dan gizi, peran SPPG tidak lagi sebatas teknis,” ujar Hida.
Dia mengatakan, setiap peristiwa yang menyangkut pangan dan gizi akan cepat menyebar dan memengaruhi persepsi publik, termasuk beberapa insiden keamanan pangan yang belakangan mencuat.
“Kondisi tersebut menuntut kita untuk tidak hanya sigap dalam pelayanan, tetapi juga mampu menjelaskan dengan baik kepada publik,” ungkap Hida.
Dalam pelaksanaannya, terjadi kasus keracunan MBG di sejumlah daerah.
Di Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, ratusan pelajar diduga keracunan usai menyantap menu MBG di sekolah pada Rabu (17/9/2025).
Data dari RS Trikora Salakan hingga Kamis (18/9/2025) pukul 07.00 WITA mencatat jumlah korban mencapai 251 pelajar.
Ratusan pelajar yang terdampak berasal dari berbagai sekolah di Banggai Kepulauan, yakni SMA 1 Tinangkung, SMK 1 Tinangkung, SDN Tompudau, SDN Pembina, SDN Saiyong, dan MTs Alkhairaat Salakan.
Tercatat ada sekitar 90 orang siswa yang diduga keracunan makanan MBG di MTsN dan SMAN yang berada di Kecamatan Empang pada Rabu (17/9/2025).
Di Maluku, belasan siswa Sekolah Dasar (SD) Negeri 19 Kota Tual diduga mengalami keracunan usai menyantap menu MBG yang disediakan di sekolah tersebut pada Kamis (18/9/2025).
Para siswa yang menyantap makanan bergizi gratis ini mengalami mual, pusing, dan sakit kepala usai menyantap hidangan yang disediakan.
Akibat kejadian itu, belasan siswa tersebut terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit Maren di Kota Tual untuk menjalani perawatan medis.
Terbaru menimpa 569 siswa di Kabupaten Garut, Jawa Barat, pada Kamis (18/9/2025).
Sebanyak 194 pelajar dari tingkat SD, SMP, hingga SMA dilaporkan mengalami gejala keracunan setelah menyantap makanan dari program MBG. Mayoritas siswa berasal dari Kecamatan Kadungora.
Dari jumlah tersebut, 177 siswa mengalami gejala ringan, sedangkan 19 lainnya harus menjalani perawatan intensif di Puskesmas Kadungora.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Organisasi: PERSEPSI
-
/data/photo/2025/01/23/6791fccb4af7a.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
10 Pemimpin yang Terisolasi dari Kabar Rakyatnya Nasional
Pemimpin yang Terisolasi dari Kabar Rakyatnya
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
“
The great enemy of the truth is very often not the lie, but the myth, persistent, persuasive, and unrealistic.
” (John F. Kennedy)
SEORANG
presiden, siapa pun dia, bergantung pada informasi yang diterimanya setiap hari. Artinya, realitas masyarakat tidak terlihat secara langsung, tapi melalui laporan, ringkasan, atau bisikan lingkaran dalam seorang presiden.
Jika informasi yang diterima utuh, analisisnya tepat, maka keputusan bisa presisi. Namun, jika terdistorsi, negara bisa tergiring ke arah yang salah, bahkan berbahaya.
Akhir-akhir ini, terdapat kesan bahwa sebagian besar publik nampaknya merasa pemerintah agak terlambat merespons aspirasi warganya, sehingga dibutuhkan demonstrasi besar atau menunggu isu-isu tertentu viral terlebih dahulu.
Boleh jadi kesan ini tidak sepenuhnya tepat, tetapi beberapa bulan terakhir, muncul persepsi bahwa langkah Presiden Prabowo Subianto kerap tertinggal dari tuntutan masyarakat.
Ketika rakyat berharap kebijakan A, yang hadir justru kebijakan B, itu pun datang terlambat. Situasi ini menimbulkan kesan bahwa data dan fakta yang seharusnya menjadi fondasi keputusan tidak sepenuhnya tersaji di meja presiden. Akibatnya, kebijakan yang mestinya dapat diputuskan cepat dan tepat justru tersendat.
Pertanyaan yang tak terhindarkan muncul di benak publik, benarkah orang-orang di sekitar Presiden Prabowo menyampaikan informasi apa adanya?
Ataukah sebagian fakta ditutup-tutupi, dipoles, bahkan disisihkan demi menjaga kenyamanan politik?
Jika yang sampai ke meja Presiden hanyalah laporan yang sudah disaring, bagaimana mungkin keputusan pemerintah bisa selaras dengan aspirasi rakyat?
Tak peduli bagaimana teknis penyampaian informasi, atau dalam kondisi apa pun Presiden berada, ia seharusnya tetap memperoleh asupan informasi yang bergizi mengenai keadaan rakyatnya.
Pemerintahan bukanlah mesin yang boleh berhenti sejenak, melainkan institusi yang bekerja dua puluh empat jam tanpa jeda.
Karena itu, keterlambatan atau distorsi informasi tidak bisa ditoleransi. Terlambat atau tedistorsi sama saja dengan membiarkan keputusan diambil dalam ruang gelap, sementara rakyat menunggu keadilan yang seharusnya hadir tepat waktu.
Dalam tradisi administrasi publik, gagasan bahwa negara harus bekerja tanpa henti sudah lama ditekankan.
Woodrow Wilson (1887) dalam
The Study of Administration
menyebut pemerintahan sebagai “the most continuous of human concerns,” yang menegaskan bahwa urusan publik tidak pernah berhenti dan karenanya administrasi harus beroperasi secara konstan serta berkelanjutan.
James Madison dalam
Federalist Papers No. 37
(1788) menulis bahwa pemerintahan “must be adequate to the exigencies of the nation,” sebuah pengingat bahwa kebutuhan rakyat tidak mengenal batas waktu.
Kajian kontemporer juga menguatkan hal ini. Farazmand (2001) dalam H
andbook of Crisis and Emergency Management
memperkenalkan konsep pemerintahan sebagai institusi “24-hour emergency system”, di mana eksekutif harus siap mengambil keputusan kapan pun krisis datang.
OECD (2018) bahkan menyebut negara modern sebagai
always-on state,
pemerintahan yang tidak mengenal jeda karena kompleksitas global menuntut respons setiap saat.
Dari perspektif ini, tidak ada alasan teknis yang dapat membenarkan keterlambatan informasi di meja Presiden.
Pemerintahan adalah kerja dua puluh empat jam, tujuh hari sepekan. Setiap penyumbatan informasi sama saja dengan memutus denyut nadi negara.
Prinsip
the right man in the right place
harus berlaku mutlak. Untuk informasi yang urgen dan darurat, Presiden harus dapat mengandalkan lembaga yang memang berwenang, seperti Badan Intelijen Negara maupun lembaga strategis terkait intelijen lainnya.
Lembaga itupun dituntut menyajikan laporan yang utuh dan berdaging, bukan potongan kabar yang terdistorsi.
Dalam konteks ini, tidak boleh ada pihak yang tidak berkepentingan ikut mencampuri, apalagi mengambil alih peran di luar tugas pokok dan fungsinya.
Hirarki eksekutif harus dihormati agar informasi yang sampai ke Presiden benar-benar murni, tepat waktu, dan relevan dengan kebutuhan negara.
Jangan sampai kedekatan personal dijadikan alasan untuk melangkahi kewenangan institusi yang sah.
Literatur ilmu politik modern menekankan pentingnya
institutionalization of power
(Huntington, 1968), yaitu kekuasaan yang dijalankan harus melalui prosedur kelembagaan, bukan hubungan pribadi. Ketika jalur formal diabaikan, prinsip spesialisasi runtuh, dan muncullah nepotisme.
Robert Klitgaard (1988) dalam kajiannya tentang korupsi juga menegaskan bahwa ketika kewenangan bercampur dengan kedekatan personal, peluang penyalahgunaan menjadi lebih besar.
Itulah yang sering menyalakan kemarahan rakyat di banyak negara, dari Amerika Latin hingga Asia, karena publik menyaksikan negara dijalankan oleh jaringan kekerabatan dan loyalitas pribadi, bukan oleh kompetensi dan otoritas institusional.
Dalam literatur ekonomi politik, penyumbatan informasi sering dijelaskan lewat kerangka
bureaucratic politics model
(Allison & Zelikow, 1999).
Di sini, kebijakan tidak lahir dari satu komando tunggal, melainkan dari tarik menarik antar aktor birokrasi yang masing-masing membawa agenda.
Informasi yang akhirnya sampai ke Presiden bukanlah cermin murni kondisi lapangan, melainkan hasil tawar-menawar kepentingan.
Douglas North (1990) menyebut fenomena ini sebagai bukti rapuhnya institusi, aturan main negara dikalahkan oleh kalkulasi sempit aktor yang berkuasa atas aliran informasi.
Dalam kondisi seperti ini, keputusan publik rawan bias, bahkan salah arah, bukan karena Presiden tidak mau bertindak, melainkan karena bahan baku keputusan sudah terdistorsi sejak awal.
Risikonya tidak berhenti pada kemungkinan lahirnya keputusan yang keliru. Lebih dari itu, pemimpin dapat terjebak dalam ruang gema, merasa keadaan terkendali sementara masyarakat justru menanggung beban yang berat.
Situasi semacam ini membuat negara lamban merespons krisis, sekaligus menggerus kepercayaan publik yang melihat ketidaksetaraan antara pernyataan pemimpin dan pengalaman sehari-hari mereka.
Fenomena seperti ini sebenarnya sudah menjadi bagian integral politik pemerintahan. Sejarah pemerintahan modern memberi banyak bukti bagaimana pemimpin bisa terjebak dalam gelembung data.
Di Cina, penelitian King, Pan, & Roberts (2013) menunjukkan bagaimana sistem sensor dan kontrol arus informasi membuat pimpinan hanya menerima gambaran tertentu dari realitas sosial.
Kritik publik kerap disaring, sementara informasi yang menekankan stabilitas diperbesar. Akibatnya, pemimpin bisa merasa masyarakat terkendali, padahal di bawah permukaan ketidakpuasan terus menumpuk.
Hal itu terlihat di Nepal baru-baru ini. Perdana Menteri Khadga Prasad Sharma Oli menerima pasokan informasi yang terbatas mengenai keresahan rakyat atas kondisi ekonomi dan praktik korupsi. Lingkaran dalam yang sarat nepotisme justru menutupi gejolak publik.
Akibatnya, Sharma tidak sepenuhnya mengetahui kemarahan masyarakat, terutama generasi muda yang resah menatap masa depan, sementara para pejabat dan keluarganya justru memamerkan kemewahan di berbagai media sosial.
Alih-alih memperbaiki ekonomi dan menertibkan perilaku pejabatnya, pemerintah justru memilih menutup 26 platform media sosial. Alasannya untuk mengatasi hoaks, ujaran kebencian, dan penipuan daring.
Namun, langkah itu diambil karena Sharma diyakinkan bahwa sumber kegaduhan publik adalah maraknya berita palsu, bukan krisis nyata yang dirasakan rakyat.
Kebijakan itu berbalik arah. Generasi muda, yang kehidupannya lekat dengan dunia digital, turun ke jalan dan mengepung rumah para pejabat, termasuk kediaman perdana menteri.
Salah informasi berujung pada salah langkah, dan salah langkah berakhir pada perlawanan rakyat.
Di Myanmar, sejak kudeta militer 2021, Human Rights Watch (2022) mencatat bagaimana junta berusaha mengendalikan aliran informasi baik ke publik maupun ke pucuk pimpinan.
Laporan tentang krisis ekonomi dan protes sosial disaring ketat. Hasilnya, kebijakan rezim kerap terputus dari realitas dan memperparah krisis politik.
Contoh lain datang dari Sri Lanka. Menurut International Crisis Group (2022), lingkaran keluarga Rajapaksa menutup-nutupi data fiskal dari Presiden Gotabaya Rajapaksa. Krisis devisa yang sebenarnya genting dipoles seolah terkendali.
Begitu cadangan menipis dan rakyat turun ke jalan menuntut pangan dan energi, Presiden pun kehilangan legitimasi.
Tak ada kesangsian, keterlambatan informasi berdampak langsung pada kebijakan.
Mari ambil contoh sederhana dari kasus jaminan sosial. Jika Presiden terlambat tahu ada pekerja informal meninggal karena kecelakaan kerja, misalnya, maka sinyal untuk memperbaiki sistem jaminan ketenagakerjaan juga ikut tertunda.
Padahal satu nyawa yang hilang bisa menjadi peringatan dini untuk menyelamatkan ribuan nyawa lain.
Dalam konteks politik, pemimpin yang terus-menerus disuguhi laporan manis akan berisiko kehilangan legitimasi.
Rakyat mudah menangkap ketidaksinkronan antara apa yang diucapkan pemimpin dengan apa yang mereka alami sehari-hari. Situasi semacam ini merupakan resep klasik bagi lahirnya krisis kepercayaan.
Pertanyaan pentingnya adalah mengapa lingkaran dalam cenderung menyaring informasi. Ada yang berangkat dari motif protektif, yaitu keinginan menjaga agar pemimpin tidak terlalu terbebani dengan kabar buruk.
Ada pula yang bermula dari motif politik, demi mengamankan posisi dengan menampilkan keadaan seolah terkendali.
Tidak jarang juga muncul motif ekonomi, ketika informasi berubah menjadi sumber rente yang hanya dapat diakses dan diolah oleh pihak tertentu.
Seluruh motif tersebut beroperasi dalam ruang yang sama, yakni ketiadaan mekanisme kontrol yang efektif.
Selama Presiden tidak memiliki kanal alternatif untuk mendengar suara rakyat secara langsung, lingkaran dalam akan tetap menjadi penyaring tunggal yang menentukan versi realitas apa yang sampai ke pucuk kekuasaan.
Menghadapi masalah sekompleks ini, langkah perbaikan sebaiknya ditempuh secara bertahap dan realistis.
Satu, meningkatkan transparansi atas data publik yang sudah tersedia, tanpa perlu membangun sistem baru yang rumit dan tanpa menambah personel yang tidak relevan.
Banyak kementerian dan lembaga sebenarnya telah mengumpulkan data penting, tetapi informasi itu masih tersebar dan tidak terintegrasi.
Tugas utama pemerintah adalah menyatukan data tersebut dalam sistem yang dapat diakses lintas lembaga, lalu memastikan ringkasannya sampai ke Presiden tanpa jeda.
Dua, memperkuat fungsi penasihat Presiden yang bersifat independen, bukan dengan membentuk lembaga baru, melainkan dengan mengoptimalkan mekanisme yang sudah ada seperti Kantor Staf Presiden atau Dewan Pertimbangan Presiden.
Yang diperlukan adalah memastikan kursi di dalamnya ditempati oleh sosok dengan keahlian teruji, bukan sekadar representasi politik.
Pada kenyataannya, pemerintah sudah memiliki segambreng unit dan lembaga pengumpul informasi, mulai dari kementerian teknis, lembaga survei, hingga badan intelijen.
Namun, pertanyaan yang lebih mendasar adalah apakah semua informasi itu benar-benar sampai ke
end user
, yaitu pejabat yang berwenang mengambil keputusan, atau justru berhenti di lapisan birokrasi menengah yang menyaring sesuai kepentingannya?
Tiga, membangun saluran aspirasi publik yang sederhana dan fungsional. Alih-alih membuat portal baru yang berisiko mandek, pemerintah dapat memaksimalkan kanal pengaduan yang sudah ada seperti SP4N-LAPOR! dengan kewajiban agar ringkasan keluhan utama disampaikan langsung dalam rapat kabinet mingguan.
Cara ini lebih mudah diterapkan daripada menciptakan sistem baru yang justru kompleks.
Selama ini, saluran semacam itu justru sering terabaikan. Tidak jelas apakah situs-situs pengaduan benar-benar dimanfaatkan sebagai jembatan antara rakyat dan pemerintah, atau sekadar dijadikan formalitas belaka.
Tanpa mekanisme yang memastikan keluhan sampai ke pengambil kebijakan, kanal tersebut hanya menjadi etalase digital yang menghabiskan anggaran tanpa daya guna.
Empat, menumbuhkan budaya birokrasi yang berani menyampaikan kabar buruk. Perubahan budaya tentu tidak bisa instan, tetapi dapat dimulai dengan memberi perlindungan bagi pejabat menengah yang berani melaporkan informasi tidak populer.
Dengan perlindungan itu, informasi yang sampai ke pucuk pimpinan tidak hanya berupa kabar baik, tetapi juga peringatan dini yang penting bahkan genting.
Masalahnya, birokrasi kita tidak terbiasa menghadapi risiko, tidak terbiasa membicarakan skenario terburuk, dan tidak terbiasa menyusun langkah antisipasi sejak dini.
Kalaupun dibahas, percakapan itu biasanya berlangsung terbatas di ruang internal, tidak melibatkan masyarakat sebagai pihak yang paling terdampak.
Padahal, mengenali risiko justru penting agar dampak yang lebih buruk dapat dicegah. Ketiadaan tradisi ini membuat perangkat antisipatif kita minim dan rapuh ketika berhadapan dengan guncangan besar.
Maka jangan berharap Indonesia bisa seketika meniru Jepang atau negara lain yang telah membangun
early warning system
yang mumpuni.
Untuk sampai ke sana, keberanian menyampaikan kabar buruk, baik di dalam birokrasi maupun secara terbuka kepada rakyat, harus lebih dulu menjadi budaya.
Jika kita bicara apa adanya, perangkat apa yang tidak dimiliki pemerintah untuk menghimpun informasi? Semuanya sesungguhnya sudah dimiliki.
Pemerintah memiliki berlapis instrumen yang mampu menangkap data dari masyarakat, lembaga riset, hingga teknologi digital yang semakin canggih. Tidak ada alasan bagi negara modern untuk merasa terisolasi dari arus informasi.
Tantangannya justru terletak pada bagaimana informasi itu dikelola dan disampaikan. Lingkaran terdekat pemimpin bisa menjadi jembatan yang memperlancar, tetapi juga berpotensi menjadi tembok yang menahan.
Di titik inilah ujian kepemimpinan sesungguhnya, apakah Presiden mendapatkan gambaran utuh dari realitas rakyat, atau hanya versi yang telah dipilah-pilah oleh lingkaran dalamnya.
Terakhir, wacana pembatasan satu orang satu akun media sosial, misalnya, mudah dianggap publik sebagai upaya membatasi kebebasan berekspresi.
Alih-alih menyelesaikan masalah, kebijakan semacam itu justru berisiko menurunkan kepercayaan dan memicu resistensi.
Dalam hal ini, pemerintah perlu juga berhati-hati atas rencana penerapan kebijakan tersebut.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Badan Komunikasi Pemerintah: Membangun komunikasi lebih responsif
Jakarta (ANTARA) – Perubahan Kantor Komunikasi Kepresidenan (KKK) menjadi Badan Komunikasi Pemerintah (BKP) diharapkan bukan sekadar pergantian label birokratis, tetapi langkah strategis untuk memperkuat arsitektur strategi komunikasi pemerintahan dalam menghadapi dinamika politik, sosial, dan teknologi yang kian kompleks.
Keberhasilan transformasi ini bergantung pada eksekusi presisi, koordinasi lintas sektoral yang solid, dan kemampuan menjawab tantangan problem komunikasi pemerintahan.
Ini menandakan pergeseran paradigma dari pendekatan sentralistik pada posisi seorang presiden ke orientasi lebih holistik, yakni mencakup seluruh ekosistem pemerintahan.
Perubahan diharapkan memperluas cakupan, peningkatan koordinasi, dan restrukturisasi organisasi, bukan sekadar kosmetik administratif, tetapi kebutuhan mendesak untuk menyatukan narasi pemerintah di tengah fragmentasi informasi dan polarisasi opini publik.
Perluasan cakupan menunjukkan ambisi untuk menjadikan badan ini sebagai pusat gravitasi komunikasi pemerintah, tidak hanya menangani kebijakan strategis presiden, tetapi juga mengorkestrasi pesan dari berbagai kementerian lembaga.
Era baru polarisasi komunikasi publik.
Di era “post truth”, di mana fakta mudah dikooptasi opini publik, perlu keberadaan entitas yang mampu menyatukan narasi lintas sektoral menjadi krusial. Namun, tanpa otoritas yang jelas dan mekanisme koordinasi yang kuat, ambisi ini berisiko terjebak dalam labirin birokrasi.
Peningkatan koordinasi mudah diucapkan, tetapi penuh tantangan. Koordinasi lintas kementerian sering kali menjadi titik lemah pemerintahan Indonesia, ditandai dengan ego sektoral dan inkonsistensi pesan. Badan Komunikasi Pemerintah harus mampu menjadi konduktor yang memastikan harmoni narasi, bukan sekadar penyalur informasi yang pasif, dalam ruang media sosial yang kerap mendistorsi fakta. Karena itu perlu langkah visioner dan dalam struktur yang ramping, bukan malah sebuah birokrasi yang memperlambat kepekaan dan respons terhadap isu – isu kritis.
Pakar Komunikasi Pemerintahan Joel Netshitenzhe menyatakan, komunikasi pemerintah harus didasarkan pada program dan strategi komunikasi yang terpadu. Maka jika restrukturisasi organisasi, dilakukan dengan tepat, dapat menjadi katalis untuk efisiensi, sekaligus membangun komunikasi pemerintah terpadu, kredibel dan akuntabel.
Otoritas yang diperluas
Badan Komunikasi Pemerintah harus diberikan otoritas cukup untuk menavigasi ekosistem komunikasi lintas lembaga melalui “hub nasional” yang memungkinkan kolaborasi dapat dilakukan, sehingga perangkat komunikasi pada kementerian lembaga lebih efektif. Sesuai peran sebagai pengelolaan komunikasi pemerintahan, penyebarluasan informasi, dan penanganan krisis komunikasi.
Pengelolaan komunikasi pemerintahan menuntut kemampuan untuk merumuskan narasi yang koheren dan resonan dengan publik. Dalam konteks Indonesia, di mana keberagaman sosial dan budaya sering kali memunculkan interpretasi beragam terhadap kebijakan, badan ini harus mampu merangkai pesan inklusif namun tetap tegas.
Peran media sosial
Penyebarluasan informasi melalui media sosial dan saluran lainnya adalah medan pertempuran baru. Di era dimana hoaks dan disinformasi menyebar lebih cepat daripada fakta, Badan Komunikasi Pemerintah harus bergerak lincah, memanfaatkan algoritma media sosial untuk menjangkau audiens yang tepat. Namun, ini bukan sekadar soal kecepatan semata. Kualitas konten, yang autentik, transparan, dan relevan, akan menentukan apakah pesan pemerintah mampu menembus kebisingan informasi, atau justru menimbulkan kegaduhan baru.
Dalam konteks ini boleh jadi mengadopsi cara – cara negara maju, seperti bagaimana strategi komunikasi Gedung Putih memasuki ruang generasi milenial, dengan menempatkan sosok anak Caroline Leavitt, sebagai Juru Presiden Trump
Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa komunikasi pemerintah seringkali tergelincir dan terkesan defensif, kehilangan momentum membentuk persepsi ruang publik. Maka kedepan pengelolaan krisis komunikasi harus respons cepat, empati yang tulus, dan strategi yang terukur. Kasus seperti kebocoran data pribadi, kedaruratan bencana alam atau kegagalan implementasi kebijakan, acap kali memperlihatkan kelemahan strategi komunikasi pemerintah dalam mengelola narasi krisis.
Dalam situasi demikian Badan Komunikasi Pemerintah, harus memiliki tim yang terlatih untuk merespons dalam hitungan jam, bukan hari, serta mampu merangkul kritik tanpa terjebak dalam pola defensif yang kontraproduktif.
Membangun kepercayaan publik
Badan Komunikasi Pemerintah selayaknya mampu menjadi game-changer di ranah media sosial, dimana fakta bisa dikalahkan opini, lewat pedang media sosial bermata dua. Misalnya, di satu sisi, platform X memungkinkan pemerintah menjangkau publik secara langsung. Di sisi lain, algoritma bisa menjadi sensasional yang dorong narasi negatif atau hoaks. Badan ini perlu menguasai seni komunikasi digital, termasuk memanfaatkan data analitik untuk memahami sentimen publik dan menyesuaikan strategi secara real-time.
Kegagalan beradaptasi akan membuat pemerintah terus tertinggal dalam adu argumentasi mempertahan narasi.
Kuncinya adalah keterbukaan atau transparansi dan kepercayaan terhadap diseminasi informasi pemerintah. Ingat, publik Indonesia, semakin kritis dan terhubung dalam jaringan real time yang kadang tak terkendali.
Isu sensitif, seperti konflik agraria, isu keagamaan, atau ketimpangan ekonomi, menuntut pendekatan yang cerdas dan sensitif. Badan ini harus mampu merangkul perspektif beragam tanpa terjebak dalam jebakan polarisasi. Misalnya, saat menangani isu seperti relokasi warga terdampak proyek infrastruktur, komunikasi harus menunjukkan empati sekaligus menjelaskan manfaat jangka panjang proyek tersebut. Ini bukan tugas mudah, tetapi tanpa kemampuan ini, badan ini berisiko menjadi penutup luka yang rapuh di tengah badai kritik.
Menuju komunikasi pemerintahan responsif
Keberhasilan strategi komunikasi pemerintah sangat tergantung pada sejauh mana Badan ini mampu mengatasi inersia birokrasi dan memahami denyut nadi publik, tidak terjebak dalam pendekatan reaktif dan elitis. Perlu antitesa dengan lebih proaktif, inklusif, dan berbasis data.Secara strategis, pemerintah perlu menetapkan indikator keberhasilan, seperti tingkat kepercayaan publik, efektivitas respons krisis, atau jangkauan pesan di platform digital. Selain itu, investasi dalam sumber daya manusia—tim yang terlatih dalam komunikasi digital, analisis data, dan manajemen krisis. Tanpa itu perubahan struktural hanya akan kosmetik tanpa substansi.
*) Dr. Eko Wahyuanto, dosen Sekolah Tinggi Multimedia ST-MMTC Komdigi Yogyakarta
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-
/data/photo/2025/09/19/68cd6a6bddcc9.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Baru Punya 11.000, Jateng Kekurangan Lebih dari 16.000 Dokter Regional 19 September 2025
Baru Punya 11.000, Jateng Kekurangan Lebih dari 16.000 Dokter
Tim Redaksi
SEMARANG, KOMPAS.com
– Pemerintah Provinsi Jawa Tengah masih memerlukan tambahan 16.458 dokter untuk ditempatkan di fasilitas kesehatan di seluruh kabupaten dan kota.
Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah, Sumarno, dalam acara Musyawarah Wilayah Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) Regional Wilayah IV yang diadakan di Hotel Santika Premiere Semarang pada Jumat, 19 September 2025.
Sumarno menjelaskan bahwa perbandingan jumlah dokter umum dan spesialis saat ini masih jauh dari kebutuhan, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk di Indonesia.
Sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO), satu dokter seharusnya melayani 1.000 penduduk.
“Khusus di Jawa Tengah, saat ini memiliki 11.405 dokter. Sedangkan jumlah idealnya setidaknya 27.863 dokter,” ungkap Sumarno dalam keterangan tertulisnya.
Lebih lanjut, Sumarno mengungkapkan bahwa lulusan dokter umum dan spesialis dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia masih belum mencukupi kebutuhan.
Dia menekankan perlunya peran AIPKI untuk memperbanyak lulusan baru di bidang kedokteran guna mengurangi kesenjangan yang ada.
Sumarno juga mengimbau agar asosiasi dapat mengedukasi masyarakat untuk menarik minat pelajar melanjutkan pendidikan di jurusan kedokteran.
Menurut Sumarno, persepsi masyarakat mengenai mahalnya biaya masuk fakultas kedokteran harus diubah agar semakin banyak calon dokter yang dapat memenuhi kebutuhan layanan kesehatan di Indonesia.
“Barangkali secara akademik di sekolah SMA, mereka punya potensi untuk masuk di kedokteran. Namun, ketika berbicara masalah biaya, banyak yang tidak berani,” katanya.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi, Khairul Munadi, juga menyoroti tantangan lain dalam dunia kesehatan di Indonesia, yaitu masalah distribusi.
Dia menegaskan perlunya kerjasama antara pemerintah pusat, daerah, serta perguruan tinggi untuk mengatasi tantangan ini.
“Contoh kecil saja, untuk pendidikan kedokteran dan spesialis, dibutuhkan rumah sakit. Rumah sakit tidak mungkin didirikan sendiri oleh perguruan tinggi, terutama kampus yang baru. Oleh karena itu, perlu bergandengan tangan dan dukungan dari pemerintah daerah,” ungkap Khairul.
Dalam upaya menuju Indonesia sehat 2045, Presiden Prabowo Subianto berencana membuka 158 program studi kedokteran baru.
Humas dan Kemitraan AIPKI, Tonang Dwi Ardyanto, menambahkan bahwa sejak didirikan pada tahun 2001, jumlah fakultas kedokteran yang tergabung dalam asosiasi ini meningkat dari 17 menjadi 127 anggota.
Keberadaan asosiasi bertujuan untuk menjaga mutu pendidikan kedokteran.
Forum ini bertujuan untuk membahas solusi pemenuhan kebutuhan dokter umum dan dokter spesialis di Indonesia, yang menjadi salah satu tantangan besar dalam sektor kesehatan saat ini.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Penjelasan Terbaru Kepala BKN Setelah Pernyataannya Dinilai Merendahkan PPPK
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Zudan Arif Fakrulloh menyampaikan pernyataan terbaru terkait pernyataannya yang oleh sebagian bermuatan merendahkan PPPK.
Prof Zudan menyatakan, dirinya tidak ada sedikit pun maksud meremehkan PPPK. Justru dia mengaku ingin menyampaikan fakta desain kebijakan kepegawaia bahwa ada dua skema yaitu PNS dan PPPK, dimana skema manajemen PNS yang berorientasi pada batas usia pensiun.
“Sementara skema PPPK berorientasi pada basis perjanjian kerja dengan masa tertentu, paling singkat satu tahun dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan,” tegas Prof Zudan saat menerima perwakilan Asosiasi Dosen ASN PPPK Indonesia (ADAPI), Rabu (17/9) di Kantor Pusat BKN Jakarta.
Pertemuan tersebut untuk menyamakan pemahaman aturan manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), agar tidak muncul kesalahpahaman saat menafsirkan penjelasan tentang manajemen PPPK yang beredar beberapa waktu lalu.
Prof. Zudan mengapresiasi langkah pihak ADAPI ini dengan menjelaksan bahwa materi yang disampaikan dalam kegiatan seminar di Universitas Lancar Kuning Riau pada tanggal 14 Agustus 2025, merupakan penjelasan berbasis fakta sesuai dengan ketentuan perundang-undangan terkait manajemen ASN yang ada, diantaranya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, serta regulasi turunannya.
Untuk menghindari salah tafsir dan pemahaman terhadap hal tersebut, Prof. Zudan mengajak semua pihak termasuk para PPPK pentingnya memahami betul seluruh aturan manajemen ASN secara utuh agar tidak ada salah persepsi.
-

Gen Z Nepal Usai Gulingkan Pemerintah: Politisi Makin Kaya, Kami Menderita
Kathmandu –
Protes kaum Gen Z yang berlangsung dalam 48 jam berhasil menggulingkan pemerintah Nepal. Namun, kemenangan itu disertai harga mahal.
“Kami bangga, tapi bercampur trauma, penyesalan, dan kemarahan,” kata Tanuja Pandey, salah seorang penyelenggara aksi massa.
Sebanyak 72 orang dilaporkan meninggal dunia sehingga rangkaian demonstrasi sepanjang pekan lalu disebut-sebut sebagai kerusuhan paling mematikan di Nepal dalam beberapa dekade terakhir.
Gedung-gedung pemerintah, rumah para politisi, dan hotel-hotel mewah seperti Hilton yang baru dibuka Juli 2024 dijarah, dirusak, dan dibakar. Istri mantan perdana menteri bahkan meninggal dunia setelah kediamannya dibakar massa.
Rangkaian protes itu menunjukkan “penolakan total terhadap kelas politik Nepal yang memerintah dengan buruk selama puluhan tahun serta mengeksploitasi sumber daya negara,” kata Ashish Pradhan, penasihat senior di International Crisis Group.
Namun di sisi lain, rangkaian protes juga berdampak terhadap layanan pemerintahan, yang disebut Pradhan, “setara dengan gempa bumi 2015 yang merenggut hampir 9.000 nyawa.”
Aksi protes itu tak cuma membuat layanan di ibu kota Kathmandu lumpuh setidaknya 300 kantor pemerintah di antero Nepal ikut terdampak.
Ada pula kerugian finansial yang diperkirakan mencapai 3 triliun rupee Nepal (US$21,3 miliar atau Pound 15,6 miliar), atau hampir setengah Pendapatan Domestik Bruto (PDB) negara tersebut, demikian dilaporkan Kathmandu Post.
Kantor media yang didirikan Februari 1993 itu turut diserang dan dibakar massa dalam rangkaian protes pekan lalu.
‘Nepo babies’
Dua hari sebelum aksi berdarah pada 8 September, Pandey yang merupakan aktivis lingkungan, sempat mengunggah video tambang di Chure salah satu pegunungan paling rapuh di kawasan itu.
Dalam videonya, aktivis 24 tahun itu turut menuliskan bahwa sumber daya Nepal harus dimiliki rakyat, bukan “perusahaan terbatas milik politisi.”
Ia juga menyerukan teman-temannya untuk “turun ke jalan melawan korupsi dan penyalahgunaan kekayaan negara.”
Didorong kemarahan, kaum muda Nepal menjuluki anak-anak politisi sebagai “nepo babies”. Salah satunya, Saugat Thapa, anak seorang pejabat daerah (Instagram/sgtthb)
Seperti halnya gerakan anak muda lain di Asia, protes Gen Z di Nepal tidak memiliki pemimpin tunggal. Tak cuma Pandey, seruan serupa digaungkan banyak orang tak lama setelah pemerintah melarang 26 platform media sosial dengan dalih mereka gagal melakukan pendaftaran di dalam negeri.
Beberapa bulan terakhir, kemarahan massa juga menumpuk terhadap para “nepo babies”: anak-anak politisi berpengaruh dari berbagai partai. Lewat media sosial, mereka dituding memamerkan kekayaan yang tidak bisa dijelaskan asal muasalnya.
Salah satu foto paling viral memperlihatkan Saugat Thapa, anak seorang pejabat daerah yang berdiri di samping sebuah pohon Natal yang disusun dari kotak-kotak jenama mewah seperti Louis Vuitton, Gucci, dan Cartier.
Baca juga:
Setelah viral, Thapa berkelit dengan mengatakan tudingan itu “kesalahan persepsi yang tidak adil”, seraya menambahkan bahwa ayahnya “mengembalikan setiap rupee yang diperoleh dari tugas pelayanan publik kepada masyarakat.”
Pandey mengaku sudah menonton hampir semua konten “nepo babies”.
Namun, ia menyebut terdapat satu video terpatri di benaknya: tentang perbandingan kehidupan mewah keluarga politisi dengan seorang pemuda Nepal biasa yang terpaksa bekerja di negara Teluk.
“Rasanya sakit melihat itu, apalagi saat mengetahui bahwa seorang anak muda terdidik bahkan dipaksa meninggalkan negaranya karena gaji di sini jauh di bawah standar hidup layak,” katanya.
Kekecewaan pada politik
Nepal merupakan negara demokrasi yang tergolong muda.
Setelah perang sipil selama satu dekade yang dipimpin kelompok Maois dan menewaskan lebih dari 17.000 orang, Nepal beralih menjadi republik pada 2008 sebelumnya berbentuk monarki di bawah Raja Gyanendra.
Meski begitu, stabilitas dan kemakmuran yang dijanjikan tak kunjung datang.
Dalam 17 tahun, pemerintahan di Nepal sudah berganti sebanyak 14 kali dan tidak satu pun perdana menteri yang menuntaskan masa jabatan lima tahun.
Kekuasaan politik di negara itu secara bergantian dikuasai partai komunis dan Nepali Congress yang berhaluan sosial-demokrat.
Sebanyak tiga pemimpin, termasuk KP Sharma Oli yang baru-baru ini mundur usai protes Gen Z, sejatinya sudah beberapa kali kembali ke tampuk kekuasaan.
Baca juga:
PDB per kapita tetap di bawah US$1.500, menjadikan Nepal negara termiskin kedua di Asia Selatan hanya di atas Afghanistan. Sekitar 14% penduduk bekerja di luar negeri, serta satu dari tiga rumah tangga menggantungkan hidup pada kiriman uang dari luar negeri (remitansi).
Pandey sendiri berasal dari keluarga kelas menengah di Nepal timur, putri seorang pensiunan guru sekolah negeri.
Tiga tahun lalu, ia didiagnosis tumor otak dan sampai sekarang masih menjalani perawatan. Tagihan medis hampir membuat keluarganya bangkrut, sehingga kakak perempuannya memutuskan pindah ke Australia agar bisa membantu pembiayaan.
Sebelum aksi, Pandey bersama para koleganya menyusun pedoman yang menekankan non-kekerasan, saling menghormati, dan kewaspadaan terhadap “penumpang gelap.”
8 September
Pada 8 September pagi, Pandey bersama beberapa temannya tiba di Maitighar Mandala, bundaran besar di pusat Kathmandu. Ia memprediksi protes hari pertama hanya akan diikuti ribuan orang, tapi rupanya jauh lebih besar.
Aakriti Ghimire, 26 tahun, salah satu peserta aksi, mengatakan bahwa protes semula berjalan damai dan penuh kebersamaan.
“Kami semua duduk, menyanyikan lagu-lagu lama Nepal,” ujarnya.
“Slogan protes dan semua yang ditampilkan sangat lucu, kami semua menikmatinya. Setelah kami memulai konvoi [sementara] polisi hadir untuk memastikan tidak ada kendaraan yang menghalangi,” katanya.
Pandey dan Ghimire mulai merasakan bahaya sekitar tengah hari, ketika massa bergerak ke New Baneshwor, kawasan gedung parlemen. Keduanya menyaksikan segerombolan orang datang dengan sepeda motor.
Hotel Hilton menjadi salah satu target aksi pembakaran di Nepal (Reuters)
Pandey menggambarkan gerombolan itu terlihat lebih tua daripada rata-rata demonstran Gen Z yang hadir, sementara Ghimire yakin bahwa mereka adalah penyusup.
“Sulit untuk membedakan mana demonstran damai yang memang datang untuk sesuatu dan mana yang datang dengan niat merusuh,” kata Ghimire.
Sebagian massa kemudian mencoba menerobos barikade keamanan di seputaran gedung parlemen, tapi polisi membalas dengan menembakkan gas air mata, meriam air, dan tembakan peluru tajam.
Sejumlah bukti menunjukkan polisi menggunakan peluru tajam dan dituding menembaki siswa sekolah yang ikut dalam protes.
Sampai saat ini, investigasi terkait hal itu masih berlangsung.
Kekacauan dan korban
Sehari usai kerusuhan 8 September, Pandey dan Ghimire memilih berdiam di rumah dan memantau perkembangan situasi lewat internet.
Mereka kemudian mengetahui situasi kian menggila. Massa membakar gedung parlemen, kantor perdana menteri, dan bangunan pemerintah lainnya.
“Banyak orang membagikan kepuasan mereka saat menyaksikan para politikus mendapat konsekuensi atas apa yang telah mereka lakukan,” kata Ghimire soal rumah-rumah pejabat yang dibakar.
Hanya saja, suasana kemudian berubah muram.
“Saya menyaksikan orang menenteng botol-botol berisi bensin yang didapat dari sepeda-sepeda motor. Mereka mulai menyerang gedung parlemen,” ujar Pandey.
Sebagai lulusan fakultas hukum, ia menangis saat melihat gedung Mahkamah Agung ludes terbakar, menyebu bangunan itu seperti “kuil” baginya.
Sejumlah orang ambil bagian dalam acara mengheningkan cipta bagi para korban yang tewas dalam rangkaian demonstrasi di Nepal (Reuters)
Teman-temannya yang ada di lokasi berusaha memadamkan api dengan air. Mereka tahu itu bakal sia-sia tapi mereka melakukannya untuk sekadar menenangkan hati.
“Orang-orang mengatakan para pembakar itu memang berniat datang untuk merusak Siapa orang-orang itu?” tanya Ghimire.
“Video-video yang beredar memperlihatkan mereka menggunakan penutup wajah.”
Suasana panas sedikit mereda setelah tentara turun tangan dan memberlakukan jam malam selama beberapa hari.
Mantan Ketua Mahkamah Agung, Sushila Karki, belakangan ditunjuk sebagai perdana menteri sementara. Ia memang didukung para demonstran untuk mengisi jabatan tersebut.
Pandey berharap Karki “bisa memimpin dengan baik, menggelar pemilu tepat waktu, dan menyerahkan kekuasaan ke rakyat.”
Namun, kecemasan soal masa depan politik Nepal tetap masih kuat.
Rumela Sen, pakar Asia Selatan di Columbia University, khawatir menyaksikan “glorifikasi terhadap tentara yang belum pernah terjadi sebelumnya sebagai suara kewarasan dan stabilitas.”
Banyak pula pihak yang tak nyaman dengan keterlibatan Durga Prasai dalam negosiasi awal undangan keterlibatan militer.
Prasai pernah ditangkap karena terlibat aksi pro-monarki yang rusuh pada Maret lalu. Ia sempat kabur ke India lalu dikembalikan ke Nepal. Para demonstran Gen Z tak sejalan dengan hal ini.
Seiring itu, keluarga korban kini mulai menghadapi kenyataan pahit.
“Kami sangat terpukul karena kehilangan putra tercinta,” kata Yubaraj Neupane, ayah Yogendra (23 tahun) yang tewas dalam aksi.
“Saya masih belum mengetahui bagaimana ia meninggal dunia.”
Menurut laporan autopsi, Yogendra ditembak di bagian belakang kepala, dekat gedung parlemen.
Pemuda dari Nepal tenggara itu sedang menempuh studi di Kathmandu dan bercita-cita jadi pegawai negeri. Yogendra dikenal tekun belajar semasa hidupnya.
Pada 8 September, ia ikut turun ke jalan bersama teman-temannya, dengan mimpi dapat membawa perubahan. Keluarga baru mengetahui bahwa Yogendra ikut dalam protes setelah ia menelepon keluarga untuk mengabarkan situasi mulai memanas.
“Ia rela mengorbankan nyawanya demi perubahan,” kata sang paman, Saubhagya.
“Darah dan pengorbanannya harus diakui, supaya anak-anak muda lain tak perlu lagi turun ke jalan di masa depan.”
Pandey mengaku menyimpan optimistisme, meski trauma pekan lalu bakal bersemayam selamanya. Ini adalah kebangkitan politik bagi generasinya.
“Kami tidak mau lagi diam atau menerima ketidakadilan,” pungkas Pandey.
“Ini bukan sekadar dorongan lembut; ini dobrakan keras terhadap sistem yang sudah puluhan tahun menyimpan kekuasaan.”
(nvc/nvc)
-

Arah komunikasi Prabowo dalam narasi global
Jakarta (ANTARA) – Presiden Prabowo Subianto akan naik podium dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80 pada 23 September di Markas Besar PBB, New York.
Prabowo tampil sebagai pembicara ketiga, setelah Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Penempatan urutan ketiga ini di luar tradisi PBB.
Ini bukan sekadar urutan agenda tetapi dapat dipandang secara eksistensial, bahwa Indonesia sebagai negara non-blok, yang lahir dari semangat Konferensi Asia-Afrika 1955, ditempatkan di posisi yang jarang diberikan untuk aktor di luar hegemoni Barat-Latin Amerika.
Secara filosofis, posisi ini mengingatkan kita pada dialektika Hegel: bahwa tesis Barat yang diwakili Amerika, antitesis Global South diwakili Brazil, dan sintesis potensial dari Indonesia menggambarkan betapa diperhitungkannya posisi Indonesia di percaturan internasional.
Nampaknya dunia sedang mencari jalan baru untuk menyelesaikan ketegangan antara Barat dan BRICS, Amerika dan Tiongkok, serta melemahnya multilateralisme global.
Karena itu Presiden Prabowo diharapkan mampu membangun narasi sebagai jembatan bagi para pihak, bukan sekadar gema retorik di tengah erosi multilateralisme.
Suara Jakarta di New York
Secara historis, pidato Prabowo menandai kembalinya presiden Indonesia ke podium Majelis Umum setelah absen satu dekade. Presiden Joko Widodo, selama dua periode, memilih mendelegasikan tugas ini kepada Menteri Luar Negeri, sebagai sebuah pilihan pragmatis. Prabowo menjadi presiden keempat RI yang berpidato langsung di sidang ini, setelah pendahulunya presiden Soekarno, Suharto, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Tradisi PBB menempatkan Brasil dan AS di urutan pertama, sementara slot ketiga sering menjadi arena uji bagi aktor menengah yang berpotensi memediasi. Posisi ketiga lebih dilihat sebagai bobot diplomatik strategis dan simbol kehormatan. Peluang ini sekaligus merupakan pernyataan implisit bagi Indonesia untuk mengisi kekosongan narasi global.
Tesis ini menguji kredibilitas Prabowo dalam membangun narasi politik internasional: apakah ia bisa mengubah persepsi soal urutan berbicara menjadi amplifier bagi suara Jakarta di New York.
Komunikasi multilateralisme
Di tengah ketegangan Barat-BRICS, rivalitas AS-Tiongkok, dan pelemahan fondasi multilateralisme serta perang Rusia – Ukraina, pidato Presiden Prabowo tak hanya harus didengar, tapi juga diukur; apakah posisi Indonesia, yang dianggap unik, mampu menjadi jembatan ketegangan akibat benturan aliansi ekonomi, dan keberpihakan pada entitas global secara netral, seperti soal Palestina.
Ini sangat tergantung dari pilihan materi atau narasi yang akan digaungkan Prabowo di arena sidang tersebut.
Secara filosofis, Presiden Prabowo tetap dapat menggemakan gagasan tentang “perdamaian abadi” melalui federasi republik: multilateralisme, bukan utopia dalam konstruksi rasional yang rapuh.
Prabowo juga harus mampu mendinginkan eskalasi BRICS dan Amerika, Trump dan Tiongkok, bukan sekadar mengutuk perang misalnya, tetapi mengusulkan kerangka pragmatis. Fokus pada isu Palestina, Qatar, dan stabilitas global lain, sebuah portofolio mencerminkan peran netral Indonesia sebagai aktor global.
Narasi Internasional Prabowo harus tetap dalam dimensi komunikasi bergestur Indonesia, mencerminkan semangat ideologis Indonesia, seperti yang pernah dilakukan presiden Soekarno ketika itu. Setiap narasi yang disodorkan harus mencerminkan gagasan identitas sebagai bangsa merdeka dan berdaulat baik secara: politik, ekonomi dan sosial dalam konstelasi global yang aktif, jauh dari jebakan polarisasi.
Kiprah Indonesia
Menurut Analisis Center for Strategic and International Studies (CSIS), enam bulan pertama kepemimpinan Prabowo ditandai “diplomatic charm offensive” di mana Indonesia berupaya memperbesar pengaruhnya secara global, fokus pada multi-alignment dan kebijakan “good neighbor” yang bisa jadi jembatan Barat dan Global South, tanpa mengabaikan orientasi regional dan domestik. Sebagai pemimpin informal ASEAN Prabowo harus menempatkan Indonesia sebagai mediator dalam konflik kawasan seperti Laut China Selatan.
Arah kebijakan luar negeri seperti itulah yang ditunggu dunia internasional di tengah ambisi besar, menciptakan perdamaian dunia. Dorongan Indonesia terhadap posisi ASEAN menuju peran global harus disisipkan sebagai upaya menciptakan kedaulatan, modernisasi pertahanan, dan keseimbangan ekonomi.
Karena itu keputusan bergabung dengan BRICS harus memberi benefit pada kawasan ASEAN, meskipun beresiko menimbulkan ketegangan baru dengan AS.
Narasi Prabowo harus “big deal,” sehingga bisa lebih memorable daripada pidato Soekarno jika substansinya kuat.
Maka Presiden Prabowo seharusnya mengangkat isu-isu strategis yang mencerminkan posisi netral Indonesia dan kontribusinya bagi multilateralisme.
Pertama, isu Palestina harus menjadi prioritas utama, dengan dorongan kuat untuk pengakuan negara Palestina dan solusi dua negara, sebagaimana ditegaskan oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia. Termasuk kecaman serangan Israel baru-baru ini guna mendukung stabilitas Timur Tengah.
Kedua, perubahan iklim dan tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), di mana Indonesia bisa mensponsori isu lingkungan global, termasuk transisi energi dan konservasi hutan hujan.
Ketiga, hak asasi manusia sebagai bagian dari ujian politik, dengan merespons kritik internasional atas rekam jejak domestiknya.
Keempat, eskalasi geopolitik seperti rivalitas AS-Tiongkok dan perang Rusia-Ukraina, di mana Indonesia dapat mengusulkan kerangka “constructive pragmatism” sebagai model perdamaian, termasuk mediasi di konflik regional. Kelima, penguatan multilateralisme melalui BRICS dan ASEAN, dengan pengenalan konsep “Asta Cita” (delapan cita-cita) ke dunia untuk menekankan peran Indonesia sebagai jembatan. Isu-isu ini tidak hanya akan memperkuat “soft power” Indonesia, sekaligus memperkokoh posisinya sebagai pemimpin tangguh dari Asean.
*) Dr. Eko Wahyuanto, dosen Sekolah Tinggi Multimedia ST-MMTC Komdigi Yogyakarta
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-
/data/photo/2025/08/22/68a848a1b1871.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Rapor Merah Indeks Korupsi di Indonesia, Banyak Anggota Dewan Korup Nasional 18 September 2025
Rapor Merah Indeks Korupsi di Indonesia, Banyak Anggota Dewan Korup
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang berada di angka 37 menjadi sorotan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ibnu Basuki Widodo.
Ibnu mengatakan, skor IPK tersebut merupakan yang terbaru atau tahun 2024 yang menggambarkan situasi korupsi di Indonesia sudah merah.
“Skor kita hanya 37, kalau kita sekolah itu enggak lulus, nilainya merah semua, merah sekali,” ujar Ibnu dalam sambutan di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta Selatan, Rabu (17/9/2025).
Menurut Ibnu, skor tersebut membuat Indonesia kini berada di urutan ke-99 dari 180 negara di 2024.
Kemerosotan IPK itu terjadi karena korupsi di Indonesia begitu banyak dan terjadi di berbagai sektor.
Ia mencontohkan, banyak aparat penegak hukum yang semestinya menjaga integritas justru terlibat korupsi.
“Bahkan para penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum itu pun terkontaminasi dengan korupsi. Kita hanya 37, padahal seharusnya dapat 100 yang bagus,” kata Ibnu.
Pada 2019, Indonesia pernah meraih menjadi negara dengan nomor urut ke-80, tetapi merosot ke nomor 99.
“Nilai kita pernah naik di 2019 adalah 80, tetapi turun tiba-tiba menjadi 34, baru-baru ini naik ke 37,” ucap dia.
Ibnu mengatakan, skor IPK yang rendah menampar semua pihak untuk bekerja sama memberantas korupsi karena pemberantasan korupsi bukan hanya tugas penegak hukum.
“Jadi untuk meningkatkan Indeks Anti Korupsi, kita bersama-sama. Ini bukan tugas penegak hukum saja, melainkan tugas negara bersama-sama,” kata Ibnu.
Untuk diketahui, skor IPK dirilis oleh Transparency International (TI), lembaga yang mengkaji korupsi di berbagai negara.
Skor 0 menjadi indikator sangat korup, sedangkan 100 paling bersih.
Skor IPK 37 membuat Indonesia kalah dari sejumlah negara di ASEAN, yakni Vietnam (40), Timor Leste (44), Malaysia (50), dan Singapura (84).
Basuki mengungkapkan, tingginya angka kasus korupsi di Indonesia diisi oleh pegawai pihak swasta dengan jumlah 485 kasus, diikuti eselon I, II, III, dan IV dengan jumlah 443 kasus, serta anggota DPR RI-DPRD 364 kasus.
Jumlah keseluruhan pelaku tindak pidana korupsi itu mencapai 1.878, berdasarkan profesi dan jabatan, yang telah ditindak hingga triwulan II 2025.
“Tindak pidana yang pernah ditangani ada 1.878 pelaku, antara lain DPR-DPRD 364, kepala lembaga atau kementerian 41, walikota/bupati dan wakil 171, eselon I, II, III, dan IV itu 443, hakim 31, jaksa 13, polisi 6, swasta 485 kasus,” tutur Ibnu.
Menurutnya, penyelenggara negara yang terseret korupsi biasanya tergoda karena adanya kesempatan, iming-iming dari pelaku, dan integritas yang lemah.
Beberapa modus korupsi yang menyeret penyelenggara negara, menurut dia, adalah menyangkut pengadaan barang dan jasa, gratifikasi, dan penyuapan.
“Modusnya adalah barang dan jasa 428 temuan, perizinan 28, gratifikasi atau penyuapan 1.068, ini yang paling besar. Kadang-kadang kita tidak sadari kita sedang menggunakan gratifikasi,” ungkap Ibnu.
Pada kesempatan itu, Ibnu menyinggung pandangan yang menganggap koruptor bisa diciduk KPK karena sedang sial.
Padahal, menurutnya, mereka tidak saja sial.
Sebab, mereka kehilangan reputasi, jabatan, dan kepercayaan publik.
“Ada yang masih mengatakan kalau (koruptor) ditangkap itu cuma sial doang,” ujar Ibnu.
Menurut dia, akibat perbuatan culas itu, keluarga, terutama istri dan anak-anaknya, menjadi terdampak.
Mereka dihujat orang lain karena korupsi yang dilakukan oleh sang ayah, misalnya.
“Yang kasihan keluarganya, istrinya, anak-anaknya, ‘pantas kaya, orang bapaknya korupsi’,” tuturnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Pakar Sesalkan Viral Surat Ortu Diminta Tak Gugat Keracunan Makan Bergizi Gratis
Jakarta –
Pakar epidemiologi Dicky Budiman dari Universitas Griffith Australia menyesalkan komunikasi pihak sekolah yang ramai disorot media sosial pasca meminta pihak orangtua tidak menuntut bila terjadi keracunan akibat makan bergizi gratis (MBG).
Menurutnya, imbauan semacam ini, terlebih disebar secara tertulis dan resmi, rentan menimbulkan berbagai macam persepsi buruk di kalangan orangtua.
“Imbauan surat seperti ini tidak tepat dan menimbulkan persepsi lepas tangan, jadi ini tentu berpotensi besar adanya miskomunikasi yang dapat memperlemah hubungan publik atau orangtua pada program makan bergizi gratis,” sorot Dicky saat dihubungi detikcom Rabu (17/9/2025).
“Perlu ada standar komunikasi resmi dari Badan Gizi Nasional (BGN) terkait sosialisasi respons program makan bergizi ini,” sambung dia.
Menurut Dicky, hal ini juga menandakan pentingnya pemerintah terbuka terkait mekanisme surveilans gizi serta keamanan pangan pada makanan bergizi gratis.
Terlebih, pangan setiap hari disalurkan dari beragam dapur umum di sejumlah wilayah. BGN dinilai butuh membuka pelaporan cepat bila terjadi insiden kasus keracunan.
“Dan hal lain yang juga ingin saya sampaikan, alih-alih meminta orangtua tidak menggugat sebaiknya yang dibangun atau disampaikan kepada orangtua adalah memastikan kondisi kesehatan anak, kemungkinan alergi anak, pada makanan tertentu,” tuturnya.
Keterangan lain yang bisa disampaikan adalah pernyataan tertulis komitmen serius dari pemerintah daerah juga sekolah untuk memastikan keamanan pangan dalam program makan bergizi gratis. Tidak malah sebaliknya.
(naf/naf)
/data/photo/2025/09/19/68ccf16eb698f.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
