Organisasi: PERSEPSI

  • Industri Alat Olahraga RI Unjuk Gigi, Nilai Pasar Domestik Triliunan

    Industri Alat Olahraga RI Unjuk Gigi, Nilai Pasar Domestik Triliunan

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkapkan, industri alat olahraga RI mampu berkontribusi signifikan trhadap perekonomian nasional. Bahkan, industri olahraga RI disebut kini telah mulai menunjukkan taringnya di pasar internasional.

    Kemenperin mencatat, industri olahraga RI cetak surplus perdagangan. Dan, menempati peringkat ke-24 dunia dalam kontribusi ekspor alat olahraga.

    “Tahun 2024, nilai ekspor alat olahraga kita meningkat 4,6 persen dibandingkan tahun 2023. Negara tujuan utama ekspor Indonesia meliputi Amerika Serikat, Korea Selatan, Jepang, dan Belanda,” kata Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita dalam keterangannya di Jakarta, dikutip Senin (22/9/2025).

    Agus mengutip data Trademap.org yang menunjukkan, mayoritas produk alat olahraga yang diekspor Indonesia berupa sarung tangan olahraga, bola golf, joran pancing, bola tiup, serta peralatan senam/gimnastik dan atletik.

    “Sementara itu, data Euromonitor dan Ken Research menyebutkan, estimasi nilai pasar domestik produk alat olahraga buatan lokal mencapai Rp2,3 triliun,. Dengan penjualan tertinggi merupakan perlengkapan sepak bola,” ungkap Agus.

    “Hal ini menunjukkan industri olahraga kita memiliki potensi yang besar, namun masih memerlukan kerja keras untuk dapat terus meningkatkan daya saing dan posisi Indonesia di pasar global. Artinya, industri alat olahraga bukan hanya mendukung sektor ekspor, tetapi juga menjadi penopang penting penciptaan lapangan kerja di dalam negeri,” katanya.

    Kemenperin mengutip Euromonitor dan Ken Research yang mencatat pola industri olahraga RI, dengan porsi market share produk alat olahraga impor dan lokal adalah 98% impor dan 2% produk dalam negeri.

    Sebanyak 70% produk alat olahraga diperdagangkan online, sedangkan 30% lainnya secara offline. Produk alat olahraga terbanyak adalah sepak bola (30%), perlengkapan lari (20%), perlengkapan fitness (19%), dan produk lain-lain (31%).

    Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Reni Yanita menambahkan, jika ditilik dari Data Industri Alat Olahraga SIINas tahun 2025 dan Direktori Industri Besar Sedang BPS tahun 2024, jumlah industri alat olahraga di Indonesia mencapai 128 unit usaha. Dengan total tenaga kerja 15.663 orang.

    “Adapun jumlah sentra IKM alat olahraga sebanyak delapan titik yang tersebar di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Saat ini sudah mulai berkembang ke Riau, Sumatra Utara dan Bali,” kata Reni.

    “Dengan potensi tersebut, Kemenperin aktif mendorong ekosistem industri alat olahraga agar kinerjanya semakin melesat dan berdaya saing global. Kami ingin terus memastikan bahwa Indonesia tidak hanya menjadi pasar, tetapi juga dapat memainkan peran sebagai produsen utama alat olahraga yang berdaya saing global,” tambahnya.

    Karena itu, imbuhnya, penerapan kebijakan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) akan dioptimalkan untuk mendukung iklim usaha industri alat olahraga di Tanah Air.

    “Pemerintah menerbitkan regulasi dan kebijakan untuk meningkatkan nilai investasi dan ekspor serta mengoptimalkan TKDN. Selain itu, Kemenperin telah melakukan pendampingan di sentra IKM, fasilitasi mesin dan/atau peralatan, fasilitasi sertifikasi, serta promosi dan pameran,” sebutnya.

    “TKDN salah satu modal utama untuk menempatkan produk kita di pasar domestik. TKDN menjadi instrumen penting untuk memastikan bahan baku, tenaga
    kerja, dan nilai tambah tetap berada di dalam negeri,” ujarnya.

    Hingga saat ini, sambung Reni, tercatat sebanyak 36 pelaku industri alat olahraga dengan produk ber-TKDN, mencakup berbagai produk seperti bola futsal, bola sepak, raket, meja tenis, hingga panel panjat tebing.

    Di sisi lain, dia mengakui, masih berderet tantangan yang harus dihadapi pelaku usaha industri olahraga untuk mampu menembus pasar internasional.

    “Misalnya, kuatnya dominasi merek internasional di pasar domestik karena persepsi kualitas dan afiliasi sponsor global. Promosi produk dalam negeri yang masih terbatas. Hingga belum adanya pameran industri olahraga yang rutin atau reguler dan berskala besar,” cetus Reni.

    Karena itu, ungkap dia, pemerintah memerlukan kerja sama yang erat dengan berbagai kementerian dan lembaga, asosiasi olahraga, hingga pelaku industri untuk memperkuat pengembangan sektor industri olahraga nasional.

    “Kita mesti maju bersama, agar produk dalam negeri mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” tukasnya.

    Sebelumnya, Kemenperin telah menandatangani Nota Kesepahaman dengan Komite Olahraga Nasional Indonesia tentang Pengembangan Sektor Industri Olahraga pada 10 Oktober 2024. Ini meliputi koordinasi dan sinergitas tugas serta fungsi para pihak, pertukaran data dan/atau informasi yang akurat, serta sinergi kemitraan dengan sektor lainnya dalam rangka penggunaan produk industri olahraga nasional pada kegiatan keolahragaan.

    Foto: Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Reni Yanita mengamati berbagai produk bola yang diproduksi oleh pelaku IKM dalam negeri. (Dok. Kemenperin)
    Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Reni Yanita mengamati berbagai produk bola yang diproduksi oleh pelaku IKM dalam negeri. (Dok. Kemenperin)

    (dce/dce)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Robot Pengganti Manusia Segera Tiba, Tandanya Makin Jelas Terlihat

    Robot Pengganti Manusia Segera Tiba, Tandanya Makin Jelas Terlihat

    Jakarta, CNBC Indonesia – Era robot humanoid atau yang menyerupai manusia semakin nyata. OpenAI, perusahaan pengembang ChatGPT, mulai serius menggarap riset robotika dengan merekrut sejumlah peneliti berpengalaman di bidang kecerdasan buatan (AI) dan sistem humanoid.

    Sumber yang mengetahui langkah perusahaan menyebutkan OpenAI kini tengah membentuk tim khusus untuk mengembangkan algoritma AI yang mampu mengendalikan robot humanoid maupun jenis robot lain. Sistem ini nantinya dilatih melalui teleoperasi dan simulasi.

    Bahkan, OpenAI dikabarkan telah mulai melatih algoritma AI agar lebih mampu memahami dunia fisik, sehingga robot bisa bernavigasi dan melakukan berbagai tugas layaknya manusia.

    Sejumlah perekrutan terbaru menegaskan keseriusan OpenAI. Chengshu Li, peneliti dari Stanford University yang fokus pada tolok ukur kemampuan robot humanoid dalam pekerjaan rumah tangga, resmi bergabung pada Juni 2025.

    Selain itu, beberapa peneliti lain dari laboratorium robotika juga telah direkrut, menurut informasi dari profil LinkedIn mereka.

    Meski menolak berkomentar langsung mengenai rencana robotikanya, OpenAI belakangan memasang banyak lowongan kerja terkait posisi tersebut.

    Beberapa posisi menuntut keahlian teleoperasi, simulasi dengan Nvidia Isaac, hingga perancangan sistem mekanik untuk produksi massal.

    Hal ini memunculkan spekulasi bahwa OpenAI bisa jadi sedang menyiapkan robot buatan sendiri atau mengembangkan sistem pelatihan robot berskala besar.

    Dalam keterangan lowongan tersebut, OpenAI menegaskan tim robotikanya berfokus pada pengembangan robot serbaguna dan mendorong pencapaian kecerdasan buatan umum (AGI) di dunia nyata.

    Langkah ini menandai kembalinya OpenAI ke riset robotika setelah sempat menghentikannya pada 2021. Sebelumnya, perusahaan pernah mencuri perhatian dengan algoritma yang mampu menyelesaikan Rubik’s cube menggunakan tangan robot mirip manusia.

    Stefanie Tellex, seorang ahli robotika dari Universitas Brown, mengatakan membangun robot yang lebih efektif akan membutuhkan perancangan dan pelatihan model AI yang mampu memproses input persepsi berdimensi tinggi dengan kecepatan tinggi, serta menghasilkan output fisik berdimensi tinggi dengan kecepatan tinggi.

    “Artinya model yang dapat melihat dan bertindak dengan ketepatan tinggi. Meski begitu, Tellex tidak mengetahui secara spesifik rencana OpenAI,” ujar dia, dikutip dari Wired, Senin (22/9/2025).

    OpenAI tidak sendirian, persaingan di bidang humanoid kian ketat dengan hadirnya startup seperti Figure, Agility, dan Apptronik. Perusahaan besar seperti Tesla dan Google juga sudah berinvestasi besar-besaran untuk mengembangkan robot mirip manusia.

    “Saya tidak melihat mereka memiliki keunggulan ajaib dibanding pihak lain,” kata Tellex.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Warga RI Makin Loyal, Ogah Pindah Langganan Internet Rumah pada 2025

    Warga RI Makin Loyal, Ogah Pindah Langganan Internet Rumah pada 2025

    Bisnis.com, JAKARTA— Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat mayoritas pelanggan internet tetap (fixed broadband) di Indonesia masih cenderung setia menggunakan provider yang sama. 

    Berdasarkan survei APJII terkait Profil Internet Indonesia pada 2025, sebanyak 87,48% responden menyatakan tidak pernah berganti operator atau selalu menggunakan provider yang sama. Angka ini lebih tinggi dibandingkan 2024 yang sebesar 85,32%. 

    Data tersebut juga mengungkap, responden yang jarang berpindah atau hanya sekali dalam beberapa tahun tercatat sebesar 7,23% pada 2025. APJII belum mendata terkait kategori tersebut pada periode yang sama sebelumnya. 

    Adapun yang berganti operator sekali dalam 1–2 tahun porsinya lebih kecil yaitu 3,93% pada 2025. Kategori pengguna yang lebih sering berpindah, yakni 1–2 kali dalam setahun, mencapai 1,10% pada 2025, meningkat dari 0% pada 2024. 

    Namun, pengguna yang sangat sering berpindah lebih dari 2 kali setahun justru menurun drastis ke 0,26% pada 2025 dari 1,20% pada 2024.

    Secara keseluruhan apabila menengok data dua tahun sebelumnya, pada 2023 tercatat 92,40% pengguna tidak pernah berganti ISP, 5,47% berganti sekali, 1,21% berganti dua kali, dan 0,92% lebih dari dua kali. 

    Pada 2024, persentasenya berubah menjadi 90,18% tidak pernah berganti, 6,37% sekali, 2,26% dua kali, dan 1,20% lebih dari dua kali.

    Selain data frekuensi pergantian ISP untuk internet tetap, APJII juga mengungkap persepsi pelanggan terhadap legalitas penyedia layanan internet tetap. 

    Pada 2025, 51,38% responden mengaku berlangganan internet dengan harga murah dari provider tidak resmi/ilegal, turun tajam dari 85,32% pada 2024.

    Di sisi lain, 38,81% pengguna menyatakan tidak mempermasalahkan legalitas penyedia sepanjang kualitas layanan memadai, melonjak dibandingkan tahun lalu yang tercatat 0%. 

    Sementara itu, hanya 9,82% responden yang memilih berlangganan dari provider resmi dengan harga lebih tinggi, turun dari 14,68% pada 2024.

  • Garuda Angkat Bicara soal Tudingan Jual Beli Jam Penerbangan

    Garuda Angkat Bicara soal Tudingan Jual Beli Jam Penerbangan

    Jakarta

    PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk merespons tudingan keberadaan mafia yang memperjualbelikan jam penerbangan favorit di industri penerbangan Tanah Air. Direktur Niaga Garuda Indonesia, Reza Aulia Hakim menilai anggapan itu terjadi karena tingginya ekspektasi terhadap Garuda Indonesia.

    Menurut Reza, jumlah pesawat Garuda Indonesia ke rute tertentu berkurang secara frekuensi. Hal inilah yang menyebabkan munculnya anggapan bahwa Garuda tidak hadir melayani di jam-jam favorit.

    “Mungkin dengan berkurangnya jumlah pesawat yang mungkin sebelumnya kita terbang ke suatu destinasi secara frekuensinya cukup banyak dan saat ini dengan keterbatasan armada sehingga secara frekuensi berkurang. Nah ini yang mungkin menyebabkan persepsi dari masyarakat bahwasannya kenapa Garuda tidak hadir di prime time,” ujarnya saat ditemui di Kompleks DPR RI, Jakarta Pusat, Senin (22/9/2025).

    Menurut Reza, pihaknya terus meninjau ulang jadwal-jadwal penerbangan yang saat ini ada. Hal itu dilakukan demi memastikan layanan ke masyarakat bisa berjalan optimal.

    Saat dikonfirmasi soal keberadaan mafia, Reza tidak menjawab tegas. Ia hanya menjelaskan bahwa pengajuan slot rute penerbangan yang dilakukan Garuda Indonesia ke Kementerian Perhubungan mendapat dukungan baik oleh otoritas terkait

    “Kami dalam posisi melihat proses yang kami lakukan untuk pengajuan slot atau rute ini saat ini sangat-sangat di-support langsung baik dan prosedur kami jalankan sesuai ketentuan yang berlaku di Kemenhub,” sebut Reza.

    Sebelumnya, Anggota Komisi VI DPR Fraksi PDI Perjuangan, Mufti Anam menyatakan kecurigaannya soal tidak adanya layanan Garuda Indonesia dan Citilink di jam-jam tertentu. Penerbangan di jam favorit justru dikuasai oleh maskapai swasta.

    “Kemudian saya ada sedikit curiga ketika saya naik penerbangan di jam-jam tertentu, favorit kenapa ya Garuda nggak ada, kenapa Citilink nggak ada, kenapa maskapai swasta. Kemudian saya ngobrol sama temen Komisi V katanya jam penerbangan itu diperjualbelikan, betul pak?” tanya Mufti.

    Bahkan kabarnya, ada transaksi jual beli jam penerbangan dengan nilai mencapai miliaran rupiah. Ia meminta manajemen Garuda Indonesia memberikan penjelasan agar ditindaklanjuti oleh penegak hukum.

    “Kami minta dijawab di tempat ini tuh betul nggak ada mafia soal jam terbang itu, dan harganya katanya miliaran rupiah. Kalau ada kami minta penegak hukum mengusut soal itu,” tutupnya.

    (acd/acd)

  • 10
                    
                        Istana Sebut Kenaikan Gaji ASN Belum Pasti, Baru Sebatas Rencana
                        Nasional

    10 Istana Sebut Kenaikan Gaji ASN Belum Pasti, Baru Sebatas Rencana Nasional

    Istana Sebut Kenaikan Gaji ASN Belum Pasti, Baru Sebatas Rencana
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Kepala Staf Presiden (KSP) Qodari menekankan, belum ada kepastian mengenai “rencana kenaikan gaji aparatur sipil negara (ASN) yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2025.
    Qodari menyebutkan, berdasarkan pengalaman yang ada, rencana pemerintah yang terdapat dalam perpres tersebut tidak otomatis bakal dilaksanakan.
    “Kebijakan kenaikan gaji belum bisa dipastikan. Rencana kebijakan ada dalam lampiran Perpres 79 Tahun 2025 sebagai pemutakhiran rencana kerja pada 30 Juni 2025,” ujar Qodari di Istana, Jakarta, Senin (22/9/2025).
    “Pengalaman menunjukkan bahwa ada rencana-rencana kebijakan yang tercantum dalam RKP, tapi tidak atau belum bisa dilaksanakan di tahun bersangkutan. Misalnya cukai minuman berpemanis dalam kemasan, pajak karbon, dan lain-lain,” imbuh dia.
    Qodari pun mengingatkan, pada Jumat (19/9/2025), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi juga sudah menjelaskan bahwa belum ada pembahasan kenaikan gaji ASN.
    Ia menyebutkan, gaji ASN pun baru saja dinaikkan pada tahun 2024.
    “Mengacu pada PP Nomor 5 Tahun 2024 dan Perpres Nomor 10 Tahun 2024, jadi, terakhir baru tahun lalu naik gaji,” ucap Qodari.
    Lebih lanjut, Qodari menjelaskan bahwa asumsi perhitungan kebutuhan penggajian bagi 4,7 juta ASN saat ini membutuhkan sekitar Rp 178,2 triliun per tahun.
    Angka tersebut belum termasuk tunjangan untuk para ASN, termasuk tunjangan hari raya (THR).
    “Apabila dilakukan peningkatan secara moderat, saya nggak usah sebut moderat, angka 8 persen saja lah, nanti orang bilang moderat 8 itu rendah lagi ya. Pokoknya seperti kenaikan gaji tahun 2024, maka akan dibutuhkan tambahan minimal Rp 14,24 triliun pada RKP,” kata Qodari.
    “Jadi intinya, diperlukan perhitungan keuangan dan kondisi keuangan yang lebih baik atau yang bisa memenuhi kondisi dan ya kebutuhanlah untuk kenaikan gaji ini teman-teman. Mudah-mudahan itu bisa menjelaskan,” imbuh dia.
    Sebagai informasi, Perpres 79/2025 memuat rencana kenaikan gaji ASN 2025 untuk kelompok prioritas, yaitu guru, dosen, tenaga kesehatan, penyuluh, anggota TNI-Polri, dan pejabat negara.
    “Menaikkan gaji ASN, khususnya untuk guru, dosen, tenaga kesehatan, penyuluh, TNI-Polri, dan pejabat negara,” tertulis dalam lampiran perpres tersebut, dikutip dari
    Kompas.com
    , Sabtu (20/9/2025).
    Kebijakan ini disebut sebagai bagian dari program prioritas yang masuk dalam dokumen pemutakhiran RKP 2025.
    Perpres untuk memutakhirkan RKP 2025 hanya bersifat rencana, bukan peraturan teknis penggajian.
    Implementasi masih membutuhkan regulasi lanjutan, termasuk pembahasan APBN dan aturan teknis di kementerian terkait.
    Kepala Biro Data, Komunikasi, dan Informasi Publik Kemenpan-RB Mohammad Averrouce memberikan klarifikasi terkait kenaikan gaji yang termasuk di dalam RKP 2025.
    “Kami sampaikan belum ada pembahasan sampai saat ini,” kata Averrouce, dilansir dari
    Kompas.com
    , Jumat (19/9/2025).
    Kemenpan-RB menekankan pentingnya membedakan dokumen perencanaan dengan regulasi teknis.
    Artinya, meski tercantum di perpres, implementasi kenaikan gaji ASN tetap menunggu proses lanjutan.
    Selain menjembatani persepsi publik, Kemenpan-RB juga memastikan ASN, TNI, dan Polri tetap fokus pada program prioritas nasional.
    “Sebagaimana arahan Bapak Presiden untuk ASN, TNI, dan Polri untuk terus mengawal dan mengakselerasi program prioritas nasional agar targetnya terpenuhi,” ucap Averrouce.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ekonom sebut peran pemerintah krusial dalam alih kelola kebun sawit

    Ekonom sebut peran pemerintah krusial dalam alih kelola kebun sawit

    Jakarta (ANTARA) – Ekonom Universitas Indonesia (UI) Eugenia Mardanugraha menilai pemerintah memegang peran krusial dalam memastikan pengelolaan kebun sawit yang diambil alih, dapat berjalan optimal.

    Hal ini menyusul pengambilalihan 3,1 juta ha dari 5 juta ha lahan kebun sawit oleh pemerintah karena melanggar hukum dan masuk ke dalam kawasan hutan.

    “Pemerintah perlu memberi insentif untuk investasi keamanan dan produktivitas, serta menjatuhkan sanksi jika terjadi pembiaran yang merugikan ekonomi negara,” kata Euginia dalam keterangannya di Jakarta, Senin.

    Adapun pengelolaan kebun sawit seluas 1,5 juta ha tersebut kini telah diserahkan kepada PT Agrinas Palma Nusantara.

    Namun, lahan sawit sitaan itu menghadapi tantangan serius, mulai dari perusakan oleh massa hingga lemahnya pengamanan di lapangan.

    Eugenia menilai situasi ini berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi dalam skala besar jika tidak segera ditangani dengan serius.

    :Potensi produksi yang hilang dari 3,1 juta hektare lahan bisa mencapai 10,85 juta ton hingga 12,4 juta ton CPO (crude palm oil) per tahun. Dengan harga rata-rata Rp12-14 juta per ton, kerugian negara bisa mencapai Rp130-174 triliun per tahun. Itu belum termasuk dampak turunan terhadap tenaga kerja, penerimaan pajak, dan devisa ekspor,” ujar Eugenia.

    Ia mengingatkan gangguan di lahan seluas itu mengancam stabilitas produksi sawit nasional. Penurunan pasokan CPO berisiko menekan ketersediaan bahan baku industri domestik, mengurangi devisa ekspor, sekaligus memicu kenaikan harga minyak goreng dan biodiesel di dalam negeri.

    “Kondisi ini akan merusak iklim investasi dan menciptakan ketidakpastian jangka panjang bagi industri sawit Indonesia,” tambah Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tersebut.

    Dari perspektif investasi, ia menilai persepsi investor bisa memburuk apabila pemerintah dianggap abai dalam menjaga aset strategis itu.

    “Hal ini bisa menurunkan valuasi industri sawit, menahan masuknya investasi baru, serta meningkatkan persepsi risiko terhadap tata kelola perkebunan sawit nasional,” ujarnya.

    Lebih jauh, ia menegaskan pentingnya pemanfaatan teknologi untuk pengamanan skala besar. Dengan jutaan hektare lahan, penggunaan drone, satelit, dan sistem keamanan digital menjadi keharusan.

    “Harapan kami, pemerintah mendorong pengelolaan sawit yang benar-benar produktif. Agrinas dituntut untuk menghasilkan minimal dua kali lipat dibandingkan pemilik lama, sehingga kontribusinya terhadap ekspor, penerimaan negara, serta ketahanan pangan dan energi bisa maksimal,” imbuhnya.

    Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
    Editor: Kelik Dewanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Menyelaraskan Kebijakan Institusi Negara dengan Visi-Misi Presiden

    Menyelaraskan Kebijakan Institusi Negara dengan Visi-Misi Presiden

    Jakarta

    Konsolidasi Kabinet Merah Putih melalui tiga kali reshuffle menjadi upaya Presiden Prabowo Subianto memperbaiki dan meningkatkan efektivitas tata kelola pemerintahannya. Selain fokus mewujudkan stabilitas nasional dan ketertiban umum, Presiden Prabowo juga fokus pada upaya memperbaiki kinerja kabinet melayani masyarakat. Semua anggota Kabinet Merah Putih diharapkan menyelaraskan fokus dan kebijakan teknis institusi dengan fokus atau visi-misi Presiden Prabowo.

    Ragam masalah yang berkait langsung dengan kepentingan atau kebutuhan harian masyarakat begitu sering mengemuka di ruang publik, akhir-akhir ini. Dari kasus beras oplosan, kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) pada stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) milik swasta, hingga rentetan kasus keracunan makanan dalam program MBG (makan bergizi gratis) untuk siswa sekolah. Semua persoalan ini tak bisa dipisahkan dari tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) sejumlah institusi negara sebagai regulator maupun pelaksana teknis.

    Masyarakat yang sangat terganggu oleh ragam persoalan itu tentu saja menyuarakan kekecewaan, kecaman dan pertanyaan. Reaksi seperti itu wajar adanya dan karena sudah menjadi persoalan nyata yang eksesnya dirasakan jutaan orang, masyarakat pun menilai dan melihat gambaran tentang melemahnya fungsi sejumlah institusi negara sebagai regulator. Melalui media sosial, publik pun sudah menyoal dan mempertanyakan efektivitas tupoksi institusi-institusi yang terkait langsung dengan aneka persoalan tadi.

    Selain masalah yang berkait dengan kebutuhan harian masyarakat, melemahnya penegakan hukum pun terus dipersoalkan berbagai kalangan. Institusi penegak hukum terlihat melemah dan tidak bersungguh-sungguh melaksanakan tupoksi-nya. Masyarakat kecewa karena tebang pilih kasus penegakan hukum dipraktekkan secara terbuka. Ada kasus korupsi yang cepat ditanggapi, sementara kasus lain yang menjadi sorotan masyarakat justru terkesan diambangkan. Rasa keadilan publik pun saat ini terhina karena ada terpidana yang tak kunjung dieksekusi.

    Patut untuk disadari oleh semua pejabat negara bahwa kesan publik tentang melemahnya efektivitas sejumlah institusi dalam melaksanakan tupoksi-nya memberi pengaruh sangat signifikan bagi terbentuknya persepsi publik tentang plus-minus kepemimpinan Presiden Prabowo. Sejumlah institusi terkesan tidak atau belum menyelaraskan fokus kebijakan dan programnya dengan visi-misi Presiden Prabowo. Itulah salah satu alasan mengapa Presiden Prabowo Harus tiga kali melakukan reshuffle Kabinet Merah Putih sepanjang tahun 2025 ini.

    Tidak sulit-sulit amat untuk memahami karakter dan fokus kepemimpinan Presiden Prabowo. Ketika merealisasikan program MBG, presiden memberi pesan kepada semua pihak bahwa dia sangat peduli pada aspek kebutuhan dasar masyarakat, utamanya pangan dan gizi, pendidikan dan kesehatan. Maka, kasus beras oplosan seharusnya tidak terjadi atau minimal bisa dicegah untuk tidak berlarut-larut. Jutaan keluarga sudah dirugikan oleh kasus ini.

    Bagi sebagian besar masyarakat, BBM termasuk kebutuhan rutin karena berkait mobilitas. Kasus kelangkaan BBM di SPBU swasta pun seharusnya tidak terjadi ketika situasi dan kondisi sangat normal seperti sekarang. Presiden Prabowo tahu dan mendengar bahwa masyarakat sangat terganggu oleh kasus kelangkaan itu.

    Merespons kelangkaan BBM di SPBU swasta, Presiden Prabowo pada Jumat (19/9) memanggil Direktur Utama Pertamina, Simon Mantiri. Sudah pasti bahwa Presiden Prabowo memerintahkan Pertamina dan institusi terkait lainnya agar kelangkaan itu segera diatasi. Dengan memperbaiki tata kelola pengadaan, masyarakat tentu berharap kasus seperti ini tidak terulang lagi.

    Mengetahui MBG sebagai program unggulannya menimbulkan masalah di tingkat pelaksanaan, Presiden Prabowo pun pasti segera bereaksi. Sangat disayangkan karena program populis ini dilaksanakan dengan semangat kehati-hatian yang terbilang minim. Jangankan Presiden Presiden, masyarakat pun sangat kecewa dengan realisasi program MBG. Selain kasus keracunan, ada sejumlah keluhan lain yang sudah disuarakan masyarakat di ruang publik. Muncul kesan bahwa realisasi program MBG tidak disertai pengawasan yang memadai.

    Pada kasus kelangkaan BBM di SPBU swasta, Presiden Prabowo sudah memanggil institusi terkait untuk segera mengatasi masalah di sub-sektor itu. Pemanggilan itu hendaknya ditanggapi sebagai pesan kepada semua institusi negara untuk selalu fokus pada program dan mewujudkan kinerja yang mumpuni.

    Setiap pimpinan institusi tentu berwenang menerbitkan kebijakan atau peraturan baru untuk percepatan realisasi program. Namun, akan sangat ideal jika setiap kebijakan atau peraturan baru yang diberlakukan selalu berdasarkan kalkulasi yang tepat dan bijak, serta mengandung kepastian bahwa kebijakan baru itu tidak menimbulkan ekses yang berujung pada kerugian masyarakat.

    Dengan mengenali dan memahami karakter dan fokus kepemimpinan Presiden Prabowo, semua anggota Kabinet Merah Putih diharapkan segera menyelaraskan fokus dan kebijakan teknis institusi masing-masing dengan fokus atau visi-misi Presiden Prabowo. Menyelaraskan yang segera sangat diperlukan untuk menghindari tumpang tindih dan kesimpangsiuran kebijakan, demi terwujudnya citra dan persepsi positif bagi kepemimpinan Presiden Prabowo.

    Bambang Soesatyo, Anggota DPR RI; Eks Ketua MPR RI ke-15; Eks Ketua DPR RI ke-20; Ketua Komisi 3 DPR RI ke-7. Pengajar Tetap Pascasarjana (S3) Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Universitas Jayabaya dan Universitas Pertahanan (Unhan)

    (ega/ega)

  • 10
                    
                        Keracunan Massal MBG Berulang: Segera Moratorium, Evaluasi, dan Investigasi
                        Nasional

    10 Keracunan Massal MBG Berulang: Segera Moratorium, Evaluasi, dan Investigasi Nasional

    Keracunan Massal MBG Berulang: Segera Moratorium, Evaluasi, dan Investigasi
    Pemerhati masalah politik, pertahanan-keamanan, dan hubungan internasional. Dosen Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM), Bandung.
    PROGRAM
    Makan Bergizi Gratis (MBG) sejatinya dirancang sebagai ikon politik sekaligus kebijakan unggulan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
    Saat kampanye, program ini digadang-gadang sebagai jawaban atas problem klasik gizi buruk, stunting, serta ketidakmerataan akses pangan di kalangan anak sekolah.
    Namun, beberapa bulan setelah implementasi, alih-alih menjadi kebanggaan, MBG justru berubah menjadi sumber krisis nasional.
    Tagar
    #MakanBeracunGratis
    yang viral di media sosial menjadi simbol runtuhnya kepercayaan publik terhadap program ini.
    Tidak ada yang meragukan besarnya skala dan niat baik program MBG. Dengan alokasi anggaran mencapai Rp 71 triliun, pemerintah berupaya memastikan jutaan pelajar Indonesia mendapat asupan gizi layak setiap hari.
    Namun, fakta di lapangan menunjukkan kontras yang tajam, di mana lebih dari 5.360 anak menjadi korban keracunan hingga September 2025. Beberapa kasus mencatat angka korban yang mencengangkan, seperti 569 pelajar di Garut dan 277 pelajar di Banggai Kepulauan.
    Jika program dengan dana raksasa justru menghasilkan derita massal, pertanyaan mendasar harus diajukan; di mana letak kesalahannya?
    Apakah pada strategi desain kebijakan, lemahnya implementasi, atau ada faktor sabotase yang sengaja dimainkan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab?
    Analisis data menunjukkan bahwa akar persoalan dalam Program MBG bukan sekadar insiden teknis, melainkan kegagalan sistemik yang menyentuh hampir seluruh aspek tata kelola.
    Kegagalan ini bisa dilihat dari empat dimensi utama yang saling berkaitan, yaitu kecepatan pelaksanaan, integritas kelembagaan, manajemen rantai pasok, serta krisis kepercayaan publik.
    Pertama, pelaksanaan program dilakukan secara tergesa-gesa dalam skala nasional tanpa infrastruktur pengawasan memadai.
    Orientasi pemerintah tampaknya lebih berat pada aspek kuantitas, seperti hanya menghitung berapa banyak dapur yang dibangun, dan berapa banyak anak yang terlayani.
    Sementara dimensi kualitas pangan dan keamanan konsumsi terabaikan. Akibatnya, makanan yang seharusnya menjadi penopang gizi justru berulang kali memicu keracunan massal pada anak-anak, kelompok yang seharusnya paling dilindungi.
    Kedua, terdapat masalah serius terkait dapur fiktif dan dugaan korupsi. DPR mengungkapkan adanya sekitar 5.000 dapur MBG yang ternyata tidak benar-benar ada.
    Fakta ini membuka indikasi kuat bahwa sebagian dana program menguap tanpa manfaat nyata bagi masyarakat.
    Jika temuan ini benar, maka persoalannya bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan praktik korupsi terstruktur yang merampas hak anak-anak Indonesia untuk memperoleh makanan bergizi dengan aman.
    Ketiga, kelemahan juga tampak dalam rantai pasok dan sistem logistik. Kasus keracunan massal akibat pergantian pemasok ikan menegaskan bahwa mekanisme verifikasi dan kontrol kualitas sangat rapuh.
    Tidak hanya itu, laporan tentang makanan basi, menu berbelatung, hingga kontroversi penggunaan wadah makanan (
    food tray
    ) yang dituding mengandung minyak babi memperburuk citra program di mata publik.
    Masalah-masalah ini menunjukkan bahwa aspek teknis – mulai dari penyimpanan, distribusi, hingga standar kebersihan – tidak dikelola secara profesional.
    Keempat, krisis semakin dalam akibat defisit kepercayaan publik. Alih-alih mengakui kesalahan dan membuka ruang transparansi, pemerintah justru menerbitkan surat pernyataan yang meminta orangtua murid untuk tidak menuntut apabila terjadi keracunan.
    Langkah ini bukan hanya gagal meredakan keresahan, melainkan semakin memperkuat persepsi bahwa negara berupaya lepas dari tanggung jawab moral dan hukum.
    Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap program MBG kian merosot, bahkan berpotensi bergeser menjadi penolakan terbuka.
    Dengan demikian, jelas bahwa masalah MBG tidak berhenti pada level teknis, melainkan mencerminkan cacat desain kebijakan dan lemahnya tata kelola.
    Jika tidak segera diperbaiki melalui evaluasi menyeluruh dan investigasi transparan, program yang semula digadang-gadang sebagai ikon kepedulian sosial justru berisiko tercatat sebagai kegagalan monumental dalam sejarah kebijakan publik Indonesia.
    Tidak sedikit yang menduga adanya unsur sabotase terhadap MBG. Dugaan ini muncul karena banyaknya insiden terjadi serentak di berbagai daerah dengan pola mirip, seperti keracunan massal, pasokan bahan pangan rusak, hingga isu sensitif soal halal.
    Namun, tanpa bukti empiris yang kuat, asumsi ini masih spekulatif.
    Yang lebih nyata adalah indikasi inkompetensi dan tata kelola yang buruk. Jika Badan Gizi Nasional (BGN) gagal memverifikasi dapur, mengawasi rantai pasok, serta menjaga standar kebersihan, maka tanggung jawab utama tetap berada di pundak pemerintah.
    Sabotase mungkin ada, tetapi kelemahan sistem yang membuka celah terjadinya sabotase itu.
    Persoalannya, dampak krisis MBG melampaui aspek kesehatan. Ia kini menjelma menjadi liabilitas politik bagi pemerintahan Prabowo-Gibran.
    Kegagalan dalam mengelola program unggulan bisa menjadi preseden buruk, yakni rakyat kehilangan kepercayaan pada janji-janji politik.
    Situasi semakin sensitif karena korbannya adalah pelajar sekolah, mayoritas Generasi Z, kelompok yang sangat aktif di media sosial dan memiliki kemampuan mobilisasi opini.
    Jika pemerintah tidak segera melakukan evaluasi fundamental, isu MBG bisa bergulir menjadi gerakan massa yang lebih besar, apalagi di tengah polarisasi politik pasca-pemilu.
    Dalam situasi krisis seperti saat ini, langkah paling rasional yang dapat ditempuh pemerintah adalah moratorium sementara terhadap Program MBG, khususnya di daerah-daerah yang mencatat kasus keracunan massal dengan korban terbanyak.
    Moratorium bukan berarti membatalkan niat mulia untuk memberi makan anak bangsa, melainkan langkah darurat untuk menghentikan jatuhnya korban baru sambil melakukan evaluasi mendalam.
    Setelah moratorium, yang diperlukan adalah investigasi independen yang transparan. Tim investigasi ini idealnya melibatkan berbagai pihak, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Kesehatan, akademisi, organisasi masyarakat sipil, serta perwakilan orangtua murid.
    Dengan komposisi lintas sektor, investigasi diharapkan mampu menyentuh akar persoalan, bukan sekadar menutup permukaan masalah.
    Fokus utama harus mencakup verifikasi ulang terhadap lebih dari 8.000 dapur MBG untuk memastikan apakah benar-benar ada atau fiktif; audit forensik alur anggaran guna mencegah kebocoran dana; uji laboratorium acak terhadap menu yang disajikan di sekolah; serta pemeriksaan menyeluruh atas rantai pasok bahan makanan, mulai dari pemasok hingga distribusi terakhir.
    Langkah berikutnya adalah desain ulang mekanisme program. Pengalaman menunjukkan bahwa model yang terlalu sentralistik sangat rentan menimbulkan masalah.
    Karena itu, desentralisasi menjadi pilihan logis dengan memberdayakan kantin sekolah dan UMKM katering lokal yang sudah terverifikasi.
    Dengan memotong rantai distribusi, risiko makanan basi, rusak, atau terkontaminasi bisa ditekan secara signifikan.
    Di sisi lain, desentralisasi juga membuka peluang pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal sehingga manfaat program terasa lebih luas.
    Pengawasan terhadap program pun perlu ditransformasikan secara partisipatif dan berbasis digital. Orangtua murid bisa dilibatkan melalui komite sekolah untuk memastikan kualitas makanan, sementara data distribusi, hasil uji sampel, serta laporan keluhan harus dipublikasikan secara transparan dalam
    dashboard
    daring
    real-time
    .
    Dengan mekanisme ini, pengawasan publik tidak hanya menjadi formalitas, melainkan benar-benar hidup dan responsif.
    Namun, semua reformasi itu akan kehilangan makna bila pemerintah kembali terjebak pada pola komunikasi lama yang defensif dan tertutup. Komunikasi krisis yang beradab menjadi kunci.
    Membungkam keluhan publik atau menggulirkan narasi propagandis hanya akan memperburuk luka kepercayaan masyarakat. Sebaliknya, yang dibutuhkan adalah komunikasi yang jujur, terbuka, dan empatik.
    Presiden Prabowo harus tampil di depan publik, tidak sekadar menyampaikan permintaan maaf, tetapi juga menunjukkan rencana konkret perbaikan dengan langkah yang terukur.
    Dengan cara itu, kepercayaan masyarakat dapat dipulihkan, dan program MBG bisa kembali menempati posisi semula sebagai kebijakan pro-rakyat yang membanggakan.
    Program MBG adalah kebijakan dengan niat luhur, tetapi implementasi yang buruk telah mengubahnya menjadi bencana politik dan sosial.
    Oleh karena itu, dibutuhkan langkah drastis, yaitu moratorium, evaluasi menyeluruh, dan investigasi independen.
    Jika reformasi dilakukan dengan transparan, MBG masih bisa diselamatkan sebagai program strategis yang membanggakan.
    Namun, jika pemerintah memilih jalan pintas dengan retorika kosong dan perbaikan kosmetik, MBG berpotensi tercatat sebagai kegagalan monumental dalam sejarah kebijakan sosial Indonesia.
    Dan bagi Presiden Prabowo, kegagalan ini bisa berbalik menjadi bom waktu politik yang merusak legitimasi kepemimpinannya sejak tahun pertama berkuasa.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pejabat publik dan ujian integritas

    Pejabat publik dan ujian integritas

    Mataram (ANTARA) – Integritas pejabat publik adalah fondasi utama kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

    Di era digital, kepercayaan itu tidak hanya ditentukan oleh program pembangunan atau kebijakan besar, melainkan juga oleh hal-hal kecil seperti sikap, tutur kata, hingga gestur yang terekam kamera.

    Dunia maya yang serba cepat menjadikan setiap gerak-gerik pejabat sebagai konsumsi publik yang bisa dipuji, dikritik, atau bahkan dipelintir dalam hitungan detik.

    Kini, ruang untuk bersikap tanpa sorotan hampir hilang. Potongan video berdurasi singkat mampu menciptakan opini massal dan memicu polemik berkepanjangan.

    Fenomena ini bukan sekadar persoalan komunikasi, melainkan ujian etika bagi pejabat yang diharapkan menjadi teladan. Publik menuntut figur yang sabar, santun, dan mampu menjaga wibawa jabatan, bahkan dalam situasi sepele sekalipun.

    Fenomena itu mencuat di Nusa Tenggara Barat (NTB) setelah beredarnya video Kepala Kanwil Kemenag NTB, Zamroni Aziz. Dalam rekaman yang beredar luas sejak akhir pekan lalu, ia tampak menyingkirkan gagang mikrofon saat pelantikan Kepala Kemenag Dompu, Najamuddin, Jumat (19/9). Potongan gambar itu ditafsir berbeda-beda, bahkan ada yang menyebutnya sebagai aksi “melempar mikrofon” di hadapan hadirin.

    Bagi sebagian warga, gestur itu mencederai wibawa acara resmi. Walaupun Kemenag NTB segera mengklarifikasi bahwa mikrofon hanya disingkirkan karena menghalangi prosesi ucapan selamat, persepsi publik sudah telanjur terbentuk. Di era media sosial, gestur kecil bisa membesar menjadi simbol integritas yang dipertanyakan.

    Kasus ini menjadi pengingat bahwa integritas pejabat tidak hanya diukur dari kebijakan besar, tetapi juga dari sikap dan ekspresi spontan yang terekam kamera. Kepercayaan publik dapat runtuh bukan karena aturan yang dilanggar, melainkan karena etika dan kepatutan yang dianggap terabaikan.

    Belum reda isu mikrofon, publik NTB dikejutkan lagi oleh pelantikan Irnadi Kusuma sebagai Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) NTB. Nama Irnadi sempat jadi sorotan karena pernah diputus bersalah dalam kasus pidana dengan hukuman enam bulan penjara dan masa percobaan satu tahun.

    Pemerintah Provinsi NTB menegaskan bahwa pengangkatan tersebut sah secara aturan. Kepala Dinas Kominfotik NTB, Yusron Hadi, menyebut proses seleksi sudah melewati uji kompetensi, penilaian kinerja, hingga pertimbangan teknis BKN. Menurutnya, setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk berkontribusi sepanjang tidak ada aturan hukum yang melarang.

    Namun, legitimasi administratif tidak serta-merta menjawab pertanyaan moral. Publik mempertanyakan, apakah pantas seorang mantan terpidana memimpin jabatan strategis di birokrasi daerah?

    Celah hukum

    Secara hukum, memang tidak ada aturan tegas yang melarang mantan terpidana menduduki jabatan struktural setelah masa hukumannya selesai. Peraturan Pemerintah (PP) No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS, yang diperbarui dengan PP No. 17 Tahun 2020, lebih banyak mengatur syarat administratif. Celah inilah yang membuat kasus Irnadi sah secara hukum, namun dipersoalkan dari sisi etika.

    Di negara lain, standar integritas pejabat jauh lebih ketat. Seorang pejabat publik dituntut bebas dari catatan pidana karena jabatan publik adalah simbol kepercayaan rakyat. Secara legal boleh, tetapi secara sosial kontraproduktif. Kepercayaan publik bisa terkikis, bahkan muncul stigma bahwa birokrasi mengabaikan kepatutan.

    Bila dikaitkan dengan asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) dalam UU No. 30 Tahun 2014, keputusan seperti ini berpotensi mengabaikan asas kepatutan dan kepentingan umum. Legitimasi moral yang tergerus dapat berakibat lebih fatal daripada sekadar polemik teknis kepegawaian.

    Dua peristiwa di NTB ini sesungguhnya berkelindan pada satu isu yakni integritas pejabat. Integritas tidak cukup diukur dari kepatuhan terhadap aturan, tetapi juga simbol, teladan, dan persepsi publik.

    Gestur seorang pejabat yang tampak emosional dapat merusak citra. Begitu pula mengangkat mantan terpidana ke kursi penting bisa dianggap menurunkan standar moral birokrasi. Dalam kedua kasus, publik menilai nilai kepatutan telah diabaikan.

    Birokrasi bekerja bukan hanya secara teknis, tetapi juga dalam arena simbolik. Masyarakat menilai pejabat dari etika, wibawa, dan sikap sehari-hari, bukan hanya dari laporan kinerja. Retaknya integritas di satu sisi bisa menggerus legitimasi kebijakan di sisi lain.

    Ada contoh baik dari berbagai daerah maupun negara yang bisa dijadikan acuan. Sejumlah pemerintah daerah di Indonesia telah menyusun kode etik pejabat yang lebih ketat daripada aturan nasional. Bahkan, ada kepala daerah yang berani menolak calon pejabat berkasus meski secara administratif memenuhi syarat.

    Di tingkat global, negara-negara Skandinavia menetapkan standar tinggi. Transparansi rekam jejak pejabat bersifat wajib, sehingga publik bisa mengakses informasi lengkap. Prinsipnya sederhana adalah integritas tidak boleh ditawar.

    Pembinaan etika

    Kasus Zamroni dan Irnadi seharusnya menjadi alarm korektif bagi birokrasi NTB. Regulasi yang ada memberi ruang legal, tetapi masih kurang memperhatikan norma etik. Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh.

    Pertama, revisi regulasi dengan memperketat syarat pengangkatan pejabat dengan menambahkan kriteria “rekam jejak bersih”. Kedua, kode etik daerah, dimana Pemprov NTB dapat merumuskan kode etik pejabat yang menekankan aspek moral, bukan sekadar administratif.

    Ketiga, pembinaan karakter ASN yakni dengan menggelar pelatihan pejabat harus mencakup integritas, kepemimpinan etis, dan pengendalian diri. Keempat, transparansi publik yakni membuka akses informasi rekam jejak calon pejabat akan memperkuat akuntabilitas.

    Dua peristiwa yang hampir bersamaan di NTB menjadi cermin penting yakni integritas pejabat publik tidak bisa diremehkan. Dari mikrofon yang tersingkir hingga kursi jabatan yang diperebutkan, publik menilai semuanya sebagai ukuran moral.

    Kepercayaan masyarakat adalah modal utama birokrasi. Sekali retak, sulit dipulihkan. Karena itu, pejabat publik mesti menyadari bahwa setiap tindakan mereka adalah cermin negara.

    Pertanyaannya, apakah kita akan terus membiarkan celah hukum dan sikap simbolik merusak kepercayaan, atau berani menegakkan standar integritas yang lebih tinggi demi marwah pelayanan publik?

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • 4 Alasan Kenapa Mobil Pakai Sirine Rotator Ditolak Masyarakat

    4 Alasan Kenapa Mobil Pakai Sirine Rotator Ditolak Masyarakat

    Jakarta

    Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri Irjen Pol Agus Suryonugroho membuat aturan tegas soal penggunaan sirine dan rotator (strobo) di jalan raya. Polisi menghentikan sementara pengawalan yang menggunakan sirine rotator sembari melakukan proses evaluasi komprehensif. Agus menerapkan kebijakan tersebut berangkat dari aspirasi masyarakat yang membuat gerakan penolakan sirine dan rotator di jalan raya. Ini empat alasan kenapa sirine dan rotator ditolak masyarakat.

    “Kami menghentikan sementara penggunaan suara-suara itu sembari dievaluasi secara menyeluruh. Pengawalan tetap bisa berjalan, hanya saja untuk penggunaan sirene dan strobo sifatnya dievaluasi. Kalau memang tidak prioritas, sebaiknya tidak dibunyikan,” ujar Agus dikutip dari detikNews, Minggu (21/9/2025).

    Menurut pengamat transportasi Djoko Setijowarno, sirene dan rotator, yang dikenal sebagai strobo, adalah alat yang dirancang untuk memberikan peringatan darurat. Namun, penggunaan yang tidak tepat seringkali membuat masyarakat menolaknya. Masyarakat pun sudah cukup gerah dengan kebisingan di jalanan.

    “Pertama, penyalahgunaan dan hak istimewa yang tak tepat. Alasan paling mendasar adalah penyalahgunaan. Masyarakat sering melihat kendaraan pribadi atau pejabat yang bukan dalam keadaan darurat menggunakan strobo untuk menerobos kemacetan. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa strobo adalah simbol hak istimewa, bukan alat untuk keselamatan publik. Penggunaan yang tidak pada tempatnya ini menciptakan rasa tidak adil dan memicu kemarahan,” ungkap Djoko dalam keterangannya.

    Kedua, gangguan dan kebisingan. Suara sirene yang nyaring bisa sangat mengganggu, terutama di lingkungan padat penduduk atau saat kondisi tengah malam. Gangguan ini tidak hanya mengganggu kenyamanan, tetapi juga dapat menimbulkan stres, bahkan memicu kecemasan. Orang tua, orang sakit, atau mereka yang ingin beristirahat sering merasa terganggu oleh kebisingan yang berlebihan.

    “Ketiga, regulasi yang kurang tegas. Meskipun sudah ada aturan yang mengatur siapa saja yang berhak menggunakan sirene dan strobo (seperti mobil ambulans, pemadam kebakaran, dan polisi), penegakan hukumnya sering kali dianggap lemah. Ketidaktegasan ini membuat banyak orang berani menggunakannya tanpa izin, memperburuk masalah penyalahgunaan,” sambung Djoko.

    Keempat, mengurangi kepercayaan publik. Ketika strobo digunakan secara sembarangan, kepercayaan masyarakat terhadap sistem darurat bisa menurun. Ketika mendengar sirene, masyarakat tidak lagi yakin apakah itu benar-benar situasi darurat atau hanya kendaraan yang ingin mencari jalan pintas. “Akibatnya, ketika ada situasi darurat yang nyata, respons masyarakat untuk memberikan jalan mungkin tidak secepat atau setanggap seharusnya,” tukas Djoko.

    (lua/riar)