Organisasi: PERSEPSI

  • Penelitian Ini Ungkap Panjang Penis Pria, Segini Rata-rata Ukurannya

    Penelitian Ini Ungkap Panjang Penis Pria, Segini Rata-rata Ukurannya

    Jakarta

    Ukuran penis sering kali menjadi indikator ‘kejantanan’ atau kepuasan seksual wanita. Meski sebenarnya tidak terlalu penting, nyatanya banyak pria yang peduli dengan ukuran penis mereka.

    Ukuran penis rata-rata pria di dunia sebenarnya jauh lebih kecil daripada yang dibayangkan. Dr Karan Rajan mengungkapkan terdapat sebuah sensus yang dilakukan King’s College London untuk mengukur penis pria di seluruh dunia.

    Dalam sensus tersebut, sebanyak 15 ribu pria terlibat. Peneliti saat itu melakukan pengukuran panjang penis pada saat lemas, maupun ereksi.

    Sensus ini dilakukan untuk membantu pria yang mengalami kecemasan soal ukuran penis, dengan membuat grafik ukuran yang lebih pasti dan membongkar berbagai mitos soal bentuk penis.

    “Studi ini mengungkap bahwa panjang rata-rata penis lemas adalah 3,6 inci (9,1 cm), dan panjang rata-rata penis ereksi adalah 5,165 inci (13,1 cm),” ujar Dr Karan dikutip dari Lad Bible, Jumat (12/12/2025).

    Temuan ini mengejutkan, terlebih ada standar ukuran penis yang tidak realistis akibat adanya konten pornografi. Akibatnya muncul ekspektasi sosial yang sebenarnya tidak sepenuhnya tepat.

    “Ekspektasi sosial, yang dipelintir oleh pornografi, Hollywood, rumor, dan penggambaran yang berlebihan, membuat banyak pria berpikir bahwa ukuran rata-rata mendekati 6 inci,” jelas Dr Rajan.
    “Kebanyakan pria sayangnya mengira diri mereka lebih kecil dari rata-rata, dan distorsi ini memicu persepsi negatif terhadap tubuh,” sambungnya.

    Oleh karena itu, sebenarnya tidak ada alasan untuk insecure dengan ukuran penis masing-masing, berapapun ukurannya.

    Menurut DataPandas.org yang merangkum data dari jurnal BJU International Sexual Medicine pada tahun 2014, Ekuador berada di peringkat pertama dengan panjang ereksi penis hingga 17,59 cm.

    Kemudian disusul oleh Republik Kongo dengan 17,33 cm dan Nigeria dengan 17 cm. Sedangkan, Indonesia berada di posisi 134 dengan panjang ereksi rata-rata 10,37 cm.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/kna)

  • Lihat Penampakan Hantu Belum Tentu Mistis, Bisa Jadi karena Ada Gangguan di Otak

    Lihat Penampakan Hantu Belum Tentu Mistis, Bisa Jadi karena Ada Gangguan di Otak

    Jakarta

    Kisah-kisah seram seperti melihat penampakan hantu atau mendengar suara tak lazim kadang bikin merinding. Namun, rupanya pengalaman-pengalaman seperti ini belum tentu sesuatu yang mistis.

    Rupanya, kondisi ini juga dapat dijelaskan secara medis. Dalam dunia medis, kondisi ini bisa muncul akibat gangguan tertentu pada otak yang memengaruhi persepsi dan cara seseorang melihat realitas. Seperti apa penjelasannya?

    Spesialis bedah saraf dr Dimas Rahman Setiawan, SpBS menjelaskan hal tersebut memang mungkin terjadi. Orang dengan gangguan otak tertentu dapat mengalami aura atau gangguan persepsi yang membuatnya seakan-akan mendengar atau melihat sesuatu, padahal tidak ada.

    “Jadi dari segi ilmunya itu bisa dikategorikan sebagai sebuah aura. Kadang-kadang aura itu bisa merupakan penanda gejala kejang, atau memang rangsangan yang terlalu berlebihan,” ungkap dr Dimas ketika berbincang dengan detikcom beberapa waktu lalu.

    Ia lantas mencontohkan fenomena ini juga dapat terjadi pada orang dengan gangguan skizofrenia. Skizofrenia merupakan gangguan kesehatan jiwa yang memengaruhi cara orang berpikir, merasakan emosi, dan mempersepsikan realitas.

    Pengidap skizofrenia dapat mengalami halusinasi, delusi, gangguan berpikir, hingga perubahan perilaku yang mengganggu aktivitas sehari-hari. Gangguan ini berkaitan dengan perubahan fungsi serta kimia otak, dan gejalanya bisa dikendalikan dengan terapi yang tepat.

    “Pada pasien-pasien skizofrenia, atau pasien-pasien dengan gangguan kejujuran lain, kadang-kadang memang ada kondisi-kondisi di mana dia mulai mendengar halusinasi, atau suara-suara seperti itu,” ucap dr Dimas.

    “Jadi itu memang terkait juga sama kondisi hormon. Dan enzim-enzim yang ada di otak. Jadi banyak sekali enzim-enzim di otak yang terkait dengan penyakit-penyakit tertentu,” tandasnya.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/up)

  • Kebiasaan Sehari-hari yang Bikin Gairah Seks Menurun

    Kebiasaan Sehari-hari yang Bikin Gairah Seks Menurun

    JAKARTA – Hubungan seks yang berkualitas baik tak hanya mempengaruhi kenikmatan, tetapi juga membantu menguatkan ikatan emosional pasangan suami istri. Oleh karena itu, penting bagi suami dan istri membangun kebiasaan baik setiap hari agar tidak memperburuk performa di ranjang.

    “Ada banyak hal yang jelas berkontribusi terhadap penurunan gairah seks, seperti terlalu banyak stres dan terlalu sedikit tidur,” kata seksolog klinis, Lawrence Siegel, dikutip dari Huffpost, pada Sabtu, 13 Desember 2025.

    Adapun beberapa kebiasaan sehari-hari yang dapat menurunkan gairah seks adalah berikut ini.

    1. Terlalu sering bermain ponsel

    Terlalu sering atau banyak bermain ponsel seperti scrolling media sosial setiap harinya ternyata dapat menurunkan gairah bercinta. Ini karena kebiasaan tersebut membuat seseorang sulit merasa terhubung dengan tubuhnya sendiri.

    Terlalu banyak bermain ponsel dengan segala hal yang diakses bisa membuat seseorang terisolasi secara sosial, serta berisiko mengalami stres dan kecemasan. Hal ini akan membuat dorongan dan hasrat untuk bercinta menjadi anjlok.

    2. Terlalu banyak duduk

    Aktivitas fisik minim sehari-hari dan terlalu banyak duduk bisa mendapatkan berbagai penyakit seperti masalah jantung dan diabetes. Namun, kebiasaan ini juga ternyata berkaitan dengan hasrat seksual.

    “Penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi antara peningkatan aktivitas fisik dan peningkatan kesehatan dan fungsi seksual. Selain itu, ketidakaktifan dapat berdampak buruk pada suasana hati, harga diri, dan persepsi pasangan,” jelas terapis seks dan psikolog klinis, Kelifen Pomeranz.

    3. Kurang minum air putih

    Air putih merupakan sumber hidrasi utama bagi tubuh. Gairah seks dipengaruhi oleh kelancaran aliran darah yang juga dipengaruhi langsung kadar asupan air putih dalam tubuh.

    “Hidrasi merupakan bagian terpenting dari gairah, fungsi, orgasme, dan kesenangan,” pungkas seksolog, Goody Howard.

  • Riset Perhumas Indicators 2025: Kepercayaan Publik ke Swasta Tinggi, BUMN Disorot Soal Independensi Politik

    Riset Perhumas Indicators 2025: Kepercayaan Publik ke Swasta Tinggi, BUMN Disorot Soal Independensi Politik

    Surabaya (beritajatim.com) – Perhimpunan Hubungan Masyarakat (Perhumas) mengungkap peta kepercayaan publik terbaru di Indonesia melalui hasil riset Perhumas Indicators 2025 yang dirilis dalam Konvensi Humas Indonesia (KHI) 2025 di Surabaya, Sabtu (13/12/2025). Berdasarkan survei nasional yang melibatkan 1.350 responden, sektor swasta dinilai memiliki tingkat kepercayaan paling tinggi, sementara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masih berada di level menengah dan menghadapi tantangan besar terkait persepsi intervensi politik.

    Survei yang dilakukan bekerjasama dengan Lembaga Riset Populix ini menyasar responden dari berbagai wilayah, mulai dari Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua, Bali, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Riset ini menggunakan delapan indikator utama sebagai tolak ukur, yakni Inovasi, Environmental Social Governance (ESG), People Management, Teknologi, Komunikasi, Kepemimpinan, Manajemen Kualitas Kinerja, dan Penanganan Krisis.

    Ketua Umum Perhumas, Boy Kelana Soebroto, menjelaskan bahwa hasil riset ini menjadi benchmark krusial bagi organisasi untuk mengukur posisi reputasi mereka di mata masyarakat.

    “Perhumas Indicators merupakan arah baru kepercayaan dan benchmark reputasi lembaga publik, koorporasi serta BUMN. Perhumas Indicators ini merupakan pengembangan dari survei Perhumas Indicators 2023 dan dapat digunakan sebagai rujukan dalam mengukur tingkat kepercayaan publik dan reputasi,” papar Boy Kelana.

    Koordinator Tim Riset, Dr. Nurlaela Arief, MBA, membedah temuan spesifik dari data yang terkumpul. Menurutnya, perusahaan swasta saat ini berada pada posisi yang sangat strategis dengan penilaian kepercayaan yang tinggi dari publik. Tantangan terbesar bagi sektor privat adalah mempertahankan performa tersebut di seluruh delapan indikator yang telah ditetapkan.

    Kondisi berbeda dialami oleh sektor pelat merah. Nurlaela menyoroti bahwa BUMN masih berkutat di level kepercayaan menengah. Sorotan tajam diarahkan pada aspek independensi perusahaan negara tersebut.

    “Dari delapan indikator tersebut terlihat bahwa Perusahaan BUMN pada level menengah dan perlu lebih meningkatkan kepercayaan publik termasuk terhadap pengaruh politik dengan menunjukkan independensi dan kecepatan dalam merespon krisis,” ujar Nurlaela Arief.

    Di sisi lain, sektor pemerintah menunjukkan tren yang menggembirakan. Riset mencatat adanya peningkatan kepercayaan publik dibandingkan tahun 2023. Namun, publik tetap memberikan catatan kritis agar pemerintah memperbaiki gaya komunikasi dan kepemimpinan.

    “Pemerintah perlu lebih memperkuat kepemimpinan dan komunikasi publik melalui pesan yang cepat, jelas, transparan dan berbasis data, termasuk peningkatan tata kelola pemerintah serta layanan digital bagi publik,” tambah Nurlaela.

    Riset komprehensif ini diinisiasi oleh tim ahli yang terdiri dari Benny S Butar-Butar, Dr. Emilia Bassar, Dr. Saurma MGP Siahaan, M.I.Kom, Grahita Muhammad, serta sejumlah kontributor lainnya. Hasil Perhumas Indicators 2025 ini diharapkan menjadi peringatan sekaligus panduan bagi BUMN dan Pemerintah untuk berbenah, serta bagi sektor swasta untuk terus menjaga standar kualitasnya. [beq]

  • Dari Bumi Majapahit, Khofifah Ajak Humas Jahit Persatuan Indonesia Lahir Batin

    Dari Bumi Majapahit, Khofifah Ajak Humas Jahit Persatuan Indonesia Lahir Batin

    Surabaya (beritajatim.com) – Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menyerukan pesan kebangsaan yang kuat saat membuka Konvensi Humas Indonesia (KHI) 2025 di Hotel Bumi Surabaya, Sabtu (13/12/2025). Mengambil semangat dari kejayaan sejarah masa lalu, Khofifah mengajak seluruh praktisi hubungan masyarakat (humas) untuk mengambil peran strategis dalam merajut konektivitas bangsa, tidak hanya sekadar narasi di atas kertas, melainkan sebuah gerakan nyata “menjahit” Indonesia secara lahir dan batin.

    Khofifah menyambut hangat para delegasi nasional dengan mengingatkan bahwa mereka kini berpijak di tanah yang menjadi cikal bakal penyatuan Nusantara. Ia berharap energi positif dari tempat tersebut dapat meresap ke dalam semangat para peserta konvensi.

    “Selamat datang di Jawa Timur. Ini Bumi Majapahit. Jadi, usahakan minum air Bumi Majapahit supaya kenusantaraan kita terwujud lahir batin,” ujarnya di hadapan ratusan praktisi humas, akademisi, dan pejabat publik.

    Menurut Khofifah, narasi tentang merajut suku, agama, dan tradisi dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) saja tidak cukup tanpa implementasi pemerataan pembangunan. Ia menegaskan posisi Jawa Timur sebagai “Gerbang Baru Nusantara” yang bertugas menyeimbangkan kemajuan antara wilayah Indonesia Barat yang sudah pesat dengan wilayah Indonesia Timur yang masih perlu dorongan akselerasi.

    Prinsip utama yang ditekankan Gubernur perempuan pertama di Jatim ini adalah memastikan tidak ada satu pun warga bangsa yang tertinggal dalam pembangunan. Semangat inilah yang harus disuarakan oleh para humas.

    “Maka, kita semua profesi apapun, sektor apapun, saya rasa kita punya tugas supaya apa yang ada di dalam roof and didis, no one left behind itu betul-betul kita bangun, kita wujudkan,” tegasnya.

    Dalam upaya konkret merajut persatuan tersebut, Khofifah menekankan pentingnya pelibatan generasi muda. Ia mencontohkan program Misi Dagang Jawa Timur yang selalu menyertakan duta wisata Raka-Raki serta siswa berprestasi. Bukan sebagai pelengkap, anak-anak muda ini diberi keleluasaan untuk bernegosiasi dan berdiskusi tentang potensi daerahnya dengan perspektif mereka sendiri.

    Khofifah percaya bahwa cara pandang anak muda yang segar dan cerdas diperlukan untuk menyongsong masa depan bangsa. Ia memberikan kepercayaan penuh kepada mereka untuk mengambil peran aktif dalam diplomasi daerah.

    “Anak-anak muda ini biarlah menjahit negerinya dengan pola pikir dan perspektif mereka bagaimana hari ini kita bersiap menjemput Indonesia Emas 2045,” imbuh Khofifah.

    Oleh karena itu, Khofifah menilai profesi humas memiliki posisi yang sangat strategis untuk melanjutkan tugas “menjahit” kebangsaan ini secara utuh. Ia berharap humas tidak hanya berhenti pada pembentukan persepsi, tetapi turut serta membangun fondasi persatuan yang kokoh di tengah keberagaman, selaras dengan semangat inklusivitas yang diwariskan dari Bumi Majapahit. [beq]

  • Dari Bumi Majapahit, Khofifah Ajak Humas Jahit Persatuan Indonesia Lahir Batin

    Kutip Hadis Qudsi di KHI 2025 Surabaya, Khofifah: ‘Bicara Baik’ Adalah Doa untuk Kekuatan Bangsa

    Surabaya (beritajatim.com) – Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa memberikan dimensi spiritual yang mendalam saat membuka Konvensi Humas Indonesia (KHI) 2025 di Hotel Bumi Surabaya, Sabtu (13/12/2025). Di hadapan ratusan praktisi komunikasi dari seluruh Indonesia, Khofifah tidak hanya berbicara soal strategi teknis, melainkan menekankan bahwa narasi positif atau “Bicara Baik” merupakan manifestasi doa yang mampu menjadi kekuatan nyata bagi bangsa di tengah benturan peradaban digital.

    Dalam pidatonya yang menyentuh hati, Khofifah mengutip sebuah Hadis Qudsi sebagai landasan filosofis bagi profesi humas. Ia mengingatkan bahwa kata-kata dan persepsi yang dibangun oleh humas memiliki dampak psikologis dan spiritual yang besar, karena Tuhan bekerja sesuai dengan prasangka hamba-Nya.

    “Hadis ini menyebut, ‘Aku akan memberikan apa yang dipersepsikan oleh hambaku.’ Maka memang bicara baik menjadi penting. Kalau Perhumas selalu menyampaikan bicara baik, bicara baik, bicara baik. Maka nanti yang di langit itu akan memberikan kekuatan kepada kita,” ujar Khofifah dengan nada optimis.

    Gubernur perempuan pertama di Jatim ini menyadari bahwa tantangan humas saat ini sangat kompleks, mulai dari disrupsi Artificial Intelligence (AI) hingga arus informasi digital yang tak terbendung. Namun, ia meyakini bahwa benturan persepsi dan budaya tersebut hanya bisa diredam jika praktisi humas konsisten membangun narasi positif dan menjauhkan diri dari pesimisme.

    “Meskipun mungkin kita berhadapan sangat banyak hal bahwa benturan-benturan budaya, benturan-benturan persepsi dan seterusnya melalui digital IT, melalui AI, tetapi yakinkan bahwa ana inda dhani abdihi,” tegasnya mengingatkan peserta untuk memegang teguh prinsip tersebut.

    Khofifah mengajak seluruh peserta untuk menanamkan keyakinan kolektif bahwa Indonesia adalah bangsa yang kuat dan inovatif. Menurutnya, optimisme ini harus terus disuarakan agar menjadi realitas yang terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

    “Tetaplah berprasangka yang baik. Tetaplah berprasangka yang positif, tetaplah berprasangka bahwa Indonesia kuat, warga Indonesia adalah warga yang punya daya saing yang bagus dan punya kekuatan inovasi yang bagus,” imbuh Khofifah.

    Selain pesan spiritual, Khofifah juga menekankan semangat persatuan yang digaungkan dari “Bumi Majapahit”. Ia mengundang para tamu untuk meresapi semangat Nusantara yang lahir dari tanah Jawa Timur, di mana persatuan bukan sekadar narasi, melainkan aksi nyata untuk memastikan pemerataan pembangunan.

    “Provinsi, selamat datang di Jawa Timur. Ini Bumi Mojopahit. Jadi, usahakan minum air Bumi Mojopahit supaya kenuntaraan kita terwujud lahir batin,” sapanya hangat kepada para delegasi.

    Menutup sambutannya, Khofifah berharap forum KHI 2025 ini tidak sekadar menjadi ajang diskusi teknis, tetapi menjadi titik tolak untuk “menjahit” kembali persatuan Indonesia secara lahir dan batin. Dengan memadukan kekuatan inovasi—di mana Jatim baru saja dinobatkan sebagai provinsi dengan Indeks Inovasi Terbaik oleh Kemendagri—dan kekuatan spiritual “Bicara Baik”, Khofifah optimis Indonesia mampu menjemput masa keemasan di tahun 2045. [beq]

  • Respon Tantangan AI, Perhumas Rilis Kode Etik Baru dan Indikator Terukur di KHI 2025

    Respon Tantangan AI, Perhumas Rilis Kode Etik Baru dan Indikator Terukur di KHI 2025

    Surabaya (beritajatim.com) – Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas) resmi meluncurkan pemutakhiran Kode Etik Kehumasan yang mengakomodasi penggunaan Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence/AI) serta memperkenalkan Perhumas Indicators 2025 dalam pembukaan Konvensi Humas Indonesia (KHI) 2025 di Hotel Bumi Surabaya, Sabtu (13/12/2025). Langkah strategis ini diambil untuk menjawab tantangan disrupsi teknologi sekaligus memastikan kinerja humas dapat diukur secara presisi berbasis data.

    Ketua Umum DPP Perhumas, Boy Kelana Soebroto, menegaskan bahwa pembaruan standar profesi ini mendesak dilakukan. Menurutnya, humas kini berhadapan langsung dengan otomatisasi ruang informasi yang menuntut standar etika baru.

    “Tantangan hari ini bukan hanya tentang penyampaian pesan, tetapi juga sudah meluas masuk ke dalam destruksi teknologi. Termasuk artificial intelligence, automatisasi ruang informasi, kompetisi reputasi bangsa, di mata global,” ujar Boy di hadapan ratusan praktisi humas.

    Dalam peluncuran tersebut, Boy menjelaskan bahwa kode etik terbaru ini dirancang untuk menjadi panduan moral praktisi saat menggunakan teknologi canggih. Pemanfaatan AI dalam produksi konten komunikasi tidak boleh mengaburkan fakta atau melanggar privasi.

    “Hari ini kita bersama-sama akan melakukan peluncuran pemutakhiran kode etik Perhumas yang merupakan wujud tekad kita bersama dalam menjaga integritas profesi di tengah kompleks dan perkembangan zaman. Di dalam kode etik ini tertanam prinsip kebenaran, transparansi, akurasi, tanggung jawab, dan keberpihakan pada kepentingan publik. Dan tentu saja sudah memasukkan unsur-unsur terkait teknologi terkini yaitu artificial intelligence,” paparnya.

    Langkah Perhumas ini mendapat dukungan penuh dari Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Dirjen Komunikasi Publik dan Media Komdigi, Fifi Aleyda Yahya, yang turut hadir, mengingatkan bahwa regulasi dan etika adalah pagar pengaman agar teknologi tetap memanusiakan manusia.

    “Kami juga membuat regulasi dan etika teknologi termasuk pedoman etika kecerdasan artifisial. Tujuannya agar inovasi tetap manusiawi dan bertanggung jawab insyaallah,” kata Fifi.

    Fifi menambahkan, meski teknologi seperti AI mempercepat proses kerja, peran manusia dalam menimbang rasa tidak tergantikan. “AI bisa membantu menyaring data tapi hanya kita yang bisa memberikan rasa atau empati,” tegasnya.

    Selain aspek etika, sorotan utama dalam KHI 2025 adalah peluncuran Perhumas Indicators 2025. Bekerja sama dengan lembaga riset Populix, instrumen ini dihadirkan untuk mengubah cara praktisi humas dalam menilai keberhasilan komunikasi. Humas tidak lagi sekadar bekerja berdasarkan intuisi, melainkan data konkret yang dapat dipertanggungjawabkan.

    Boy Kelana Soebroto memaparkan bahwa indikator ini berfungsi ganda: mengukur tingkat kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah maupun swasta, serta menilai kualitas narasi yang beredar di masyarakat.

    “Perhumas Indicators hadir untuk mengukur tingkat kepercayaan terhadap institusi, pemerintah, swasta, dan juga membaca kualitas narasi publik serta menilai efektivitas strategi komunikasi yang dilakukan oleh sebuah institusi,” jelas Boy.

    Pentingnya pengukuran ini didasari oleh pemahaman bahwa reputasi adalah modal vital bagi keberlangsungan organisasi maupun negara.

    “Kita semua memahami dengan sangat jelas bahwa kepercayaan dan reputasi bukan hanya sekedar persepsi, tetapi juga merupakan aset strategi yang dapat berdampak pada stabilitas pertumbuhan bangsa,” tambah Boy.

    Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menyambut baik inisiatif berbasis data dan etika ini. Sebagai tuan rumah, Khofifah menekankan bahwa inovasi dan pengukuran kinerja adalah hal yang juga diterapkan di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

    “Awal tahun biasanya saya berhari-hari untuk mendeteksi, mengetahui dan mengukur inovasi-inovasi yang mereka sudah lakukan,” ungkap Khofifah.

    Ia juga menekankan bahwa narasi positif atau “Bicara Baik” yang dikampanyekan Perhumas harus berjalan beriringan dengan kemampuan adaptasi teknologi. Khofifah menutup pandangannya dengan optimisme bahwa kolaborasi antara data, etika, dan inovasi akan membawa Indonesia lebih kompetitif.

    “Maka memang bicara baik menjadi penting. Kalau perhumas selalu menyampaikan bicara baik, bicara baik, bicara baik. Maka nanti yang di langit itu akan memberikan kekuatan kita,” pungkas Khofifah. [beq]

  • Perhumas Kampanyekan ‘Bicara Baik’ di KHI 2025 Surabaya, Tekankan Inovasi Humanis dan Etika di Era AI

    Perhumas Kampanyekan ‘Bicara Baik’ di KHI 2025 Surabaya, Tekankan Inovasi Humanis dan Etika di Era AI

    Surabaya (beritajatim.com) – Organisasi profesi Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas) secara tegas mengkampanyekan gerakan “Bicara Baik” sebagai pondasi etika dan strategi komunikasi di tengah tantangan akselerasi teknologi, khususnya Kecerdasan Buatan (AI). Kampanye ini menjadi inti dari perhelatan Konvensi Humas Indonesia (KHI) 2025 yang diselenggarakan di Hotel Bumi Surabaya pada Sabtu (13/12/2025).

    Dipilihnya Surabaya sebagai tuan rumah adalah pengakuan atas posisi strategis kota tersebut yang melambangkan inovasi dan transformasi pembangunan Indonesia modern. Agenda utama Perhumas adalah mendorong standar profesionalisme humas yang berdaya saing internasional dengan tetap menjaga narasi konstruktif.

    Ketua Umum DPP Perhumas, Boy Kelana Soebroto, menegaskan bahwa profesi kehumasan telah bertransformasi menjadi aktor strategis yang menjaga harmoni, membangun optimisme, dan menciptakan konektivitas positif bagi bangsa.

    “Saat ini dalam mengemban profesi kehumasan kita bukan hanya berbicara tentang komunikasi saja tetapi juga mengenai persatuan narasi, menjaga kedaulatan dan martabat bangsa serta daya saing Indonesia di kancah global,” ujar Boy Kelana Soebroto dalam sambutannya.

    Ia menyoroti tantangan hari ini yang meluas pada destruksi teknologi, termasuk AI dan otomatisasi ruang informasi. Untuk menjawab tantangan tersebut, Perhumas meluncurkan pemutakhiran Kode Etik Perhumas.

    “Di dalam kode etik ini tertanam prinsip kebenaran, transparansi, akurasi, tanggung jawab, dan keberpihakan pada kepentingan publik. Dan tentu saja sudah memasukkan unsur-unsur terkait teknologi terkini yaitu artificial intelligence,” tegas Boy.

    Peluncuran kode etik baru ini merupakan wujud tekad Perhumas dalam menjaga integritas profesi dan memastikan bahwa inovasi yang dilakukan praktisi humas selalu bersifat manusiawi dan bertanggung jawab.

    Senada dengan Perhumas, Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Fifi Aleyda Yahya, menyoroti betapa pentingnya sentuhan manusia dalam komunikasi di tengah laju teknologi.

    “Teknologi memang boleh cepat Ibu Bapak tapi manusia yang memberikan sentuhan, memberikan arah begitu. Jadi tetap unsur manusia ini sungguh sangat penting,” kata Fifi Aleyda Yahya.

    Fifi mengakui bahwa AI dapat membantu menyaring data, tetapi hanya manusia yang mampu memberikan rasa, empati, dan mengelola persepsi publik dengan kearifan. Ia menekankan peran sentral humas sebagai penjaga etika dan kurator kepercayaan publik.

    “Bapak Ibu Humas bukan hanya penyampai informasi tapi Bapak Ibu semua adalah penafsir hasil kebijakan, penjaga etika dan kurator kepercayaan publik,” imbuhnya.

    Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, yang membuka konvensi, mendukung penuh gerakan “Bicara Baik” sebagai energi positif bagi bangsa. Khofifah menekankan bahwa semangat ini harus ditanamkan dari Bumi Majapahit, tempat KHI 2025 diselenggarakan.

    Mengutip Hadis Qudsi, Khofifah mengingatkan tentang kekuatan prasangka (persangkaan) yang dimiliki oleh manusia.

    “Kata Allah, ‘Aku akan memberikan apa yang dipersepsikan oleh hambaku.’ Tetaplah berprasangka yang baik. Tetaplah berpasangka yang positif, tetaplah berpasangka bahwa Indonesia kuat,” pesan Khofifah kepada peserta konvensi.

    Khofifah juga menyoroti pentingnya inovasi dalam birokrasi, menginformasikan bahwa Jawa Timur baru saja meraih penghargaan sebagai provinsi dengan Indeks Inovasi terbaik di Indonesia. Hal ini sejalan dengan tema KHI 2025, yaitu “Inovasi Bersama Untuk Indonesia Berdaya Saing Global.”

    Selain peluncuran kode etik, KHI 2025 juga menghadirkan agenda strategis lainnya, termasuk:

    Peluncuran Perhumas Indicators 2025: Sebuah alat ukur tingkat kepercayaan terhadap institusi pemerintah dan swasta.
    Peluncuran Tiga Paket Buku Kolaborasi Praktisi Humas: Meliputi bahasan tentang Penguatan ESG, Reputasi Nasional, dan Komunikasi Krisis di era digital.
    Penyelenggaraan Anugerah Humas 2025: Penghargaan yang mendorong kualitas profesi humas di seluruh Indonesia.

    Perhumas berkomitmen untuk semakin memperkuat nation branding dan reputasi Indonesia melalui semangat Indonesia Bicara Baik, baik di dalam negeri maupun di kancah internasional. [beq]

  • 3
                    
                        Kritis Integritas: Pembangkangan Polri atas Putusan MK
                        Nasional

    3 Kritis Integritas: Pembangkangan Polri atas Putusan MK Nasional

    Kritis Integritas: Pembangkangan Polri atas Putusan MK
    Penyuluh Antikorupsi Sertifikasi | edukasi dan advokasi antikorupsi. Berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya integritas dan transparansi di berbagai sektor
    Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
    DI TENGAH
    upaya memperkuat supremasi hukum di Indonesia, keputusan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menerbitkan Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 menjadi sorotan tajam.
    Langkah ini muncul setelah Mahkamah Konstitusi (MK) secara tegas melarang anggota Polri aktif menjabat di kementerian dan lembaga sipil.
    Tindakan yang seolah tak mengindahkan keputusan MK ini menggugah pertanyaan mendalam tentang komitmen institusi penegak hukum dalam menjaga integritas dan netralitasnya.
    Pembangkangan terhadap putusan MK bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi juga ancaman terhadap prinsip dasar negara hukum.
    Dengan tetap mengizinkan anggota Polri menjabat di instansi sipil, Kapolri tidak hanya merendahkan kewibawaan hukum, tetapi juga berpotensi memicu konflik kepentingan.
    Situasi ini mengaburkan batas antara kekuasaan sipil dan aparat, di mana polisi seharusnya menjadi penegak hukum yang independen, justru terjerat dalam kebijakan politik sipil.
    Tindakan pemerintah dalam menanggapi situasi ini sangat krusial. Di saat masyarakat mendesak agar integritas hukum ditegakkan, langkah berani untuk menarik anggota Polri dari jabatan sipil dan menghentikan implementasi Perpol 10/2025 menjadi penting dan mendesak.
    Hanya dengan mematuhi putusan MK dan menjalankan prinsip-prinsip profesionalitas, kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian dapat dipulihkan, serta memastikan bahwa Indonesia tetap berkomitmen pada supremasi hukum, bukan pada kekuasaan semata.
    Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 yang mengizinkan anggota Polri aktif menjabat di 17 kementerian dan lembaga sipil terasa seperti tamparan bagi integritas institusi negara.
    Aturan ini muncul hanya sebulan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) secara tegas melarang praktik semacam itu melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menyatakan bahwa anggota Polri hanya boleh menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun.
    Putusan MK tersebut bukanlah hal sepele. MK membatalkan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
    Alasan utamanya adalah untuk menjaga netralitas Polri sebagai penegak hukum, mencegah konflik kepentingan, dan menghindari politisasi institusi kepolisian.
    Sebelum putusan ini, polisi aktif sering ditempatkan di posisi strategis sipil, seperti di kementerian atau lembaga negara, yang menurut para pemohon uji materi termasuk aktivis hak asasi manusia, merusak prinsip pemisahan kekuasaan.
    Pakar hukum tata negara pun menilai putusan ini berlaku serta merta, mengharuskan polisi aktif yang sedang menjabat segera mundur.
    Namun, respons Kapolri justru sebaliknya. Perpol baru tersebut secara eksplisit mengatur bahwa anggota Polri dapat bertugas di 17 instansi sipil, termasuk Kementerian Kehutanan, Kementerian Hukum dan HAM, hingga lembaga seperti Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Intelijen Negara (BIN), KPK.
    Ini bukan hanya kontradiktif dengan putusan MK, tapi juga mengabaikan seruan dari DPR RI yang mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk menarik polisi dari jabatan sipil demi menghormati keputusan konstitusi.
    Tidak salah jika banyak masyarakat beranggapan bahwa tindakan ini merupakan bentuk pembangkangan hukum yang jelas, yang dapat merusak kepercayaan publik terhadap Polri dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penjaga konstitusi.
    Jika keputusan MK, yang seharusnya final dan mengikat, tidak dianggap serius, maka persepsi publik terhadap institusi tersebut bisa runtuh.
    Pertanyaan yang muncul adalah, untuk apa adanya Mahkamah Konstitusi jika putusannya tidak dihormati?
    Di sisi lain, pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM berargumen bahwa putusan MK tidak berlaku surut. Artinya, larangan hanya untuk pengangkatan baru, sementara yang sudah menjabat boleh tetap.
    Pendapat ini didukung oleh sebagian kalangan, termasuk dari Nahdlatul Ulama (NU), yang melihatnya sebagai cara untuk menghindari kekacauan administratif mendadak.
    Namun, argumen ini lemah secara hukum. Putusan MK bersifat final dan mengikat, dan prinsip non-retroaktif biasanya tidak berlaku untuk isu konstitusional yang menyangkut prinsip dasar negara.
    Jika dibiarkan, ini bisa menjadi preseden berbahaya: lembaga eksekutif bisa mengabaikan MK dengan dalih interpretasi sendiri.
    Menurut saya, tindakan Kapolri mencerminkan masalah lebih rumit dan ruwet dalam
    reformasi Polri
    . Reformasi polri juga tampaknya tak berdaya. Benarlah adanya bahwa reformasi Polri itu sekadar
    omon-omon
    di warung kopi.
    Indonesia bukan negara polisi, tapi negara hukum di mana supremasi konstitusi harus diutamakan.
    Dengan membiarkan anggota Polri tetap menjabat di instansi sipil, Kapolri tidak hanya melemahkan netralitas Polri, tapi juga menggerus kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum.
    Tentu saja hal Ini bisa memicu konflik kepentingan, di mana polisi yang seharusnya independen justru terlibat dalam kebijakan sipil, potensial menimbulkan korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Inilah yang menjadi kekhawatiran saya.
    Sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi, Presiden Prabowo memiliki peran sentral dalam memastikan kepatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
    Tanggung jawab ini tidak hanya bersifat otoritatif, tetapi juga mencerminkan kewajiban moral untuk menjaga agar seluruh lembaga negara, termasuk Polri, tunduk pada konstitusi.
    Dalam konteks ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mendesak pemerintah untuk menarik personel Polri dari jabatan sipil. Tindakan ini diharapkan dapat menghormati dan menegakkan keputusan MK yang telah ada.
    Langkah yang seharusnya diambil oleh pemerintah bukanlah mempertahankan Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 (Perpol 10/2025), melainkan melakukan penataan transisi yang sesuai dengan hukum. Beberapa langkah penting yang dapat dilakukan antara lain:
    Pertama, menghentikan sementara implementasi Perpol 10/2025 sampai proses harmonisasi dengan putusan MK selesai. Langkah ini akan memberikan waktu yang cukup bagi pemerintah untuk mengevaluasi dan menyesuaikan regulasi yang ada guna mematuhi keputusan MK.
    Kedua, segera menarik anggota Polri aktif dari jabatan sipil yang jelas bertentangan dengan putusan MK. Hal ini esensial untuk menghindari konflik kepentingan dan memastikan bahwa penegakan hukum tetap profesional dan bebas dari intervensi.
    Ketiga, melakukan audit transparan terhadap seluruh bentuk penugasan personel aktif di luar struktur kepolisian. Dengan adanya audit ini, publik akan mendapatkan gambaran jelas tentang penggunaan sumber daya Polri dan menjamin keadilan dalam penugasan.
    Keempat, membangun mekanisme transisi yang memungkinkan jabatan-jabatan yang ditinggalkan diisi oleh unsur Aparatur Sipil Negara (ASN) atau pejabat sipil lain. Ketersediaan layanan publik tidak boleh terganggu selama masa transisi ini.
    Mekanisme yang baik akan memastikan kelangsungan pelayanan masyarakat tanpa menyalahi ketentuan hukum.
    Langkah-langkah ini tidak hanya menunjukkan komitmen pemerintah dalam menjaga integritas konstitusi, tetapi juga merupakan bentuk upaya untuk mencegah erosi terhadap prinsip profesionalitas dan netralitas Polri.
    Dengan mengedepankan kepatuhan terhadap hukum, pemerintah dapat memperkuat legitimasi institusinya di hadapan publik, serta menciptakan kepercayaan yang lebih besar terhadap lembaga-lembaga negara
    Pelanggaran terhadap konstitusi tidak selalu terjadi secara frontal. Sering kali ia berlangsung lewat regulasi teknis, keputusan administratif, atau penafsiran yang memelintir makna putusan peradilan.
    Dalam kasus ini, Perpol 10/2025 menjadi contoh bagaimana aturan internal dapat menggeser batas-batas konstitusional secara perlahan, tapi signifikan.
    Ketika MK telah mengeluarkan putusan final, yang dibutuhkan bukanlah perdebatan panjang, melainkan kepatuhan. Mengabaikannya berarti membiarkan marwah negara hukum terkikis sedikit demi sedikit.
    Polri membutuhkan kepercayaan publik untuk menjalankan tugasnya. Kepercayaan itu hanya dapat bertahan jika institusi kepolisian menunjukkan komitmen terhadap prinsip dasar negara hukum.
    Indonesia bukan negara polisi. Indonesia adalah negara hukum. Karena itu, langkah apa pun yang berpotensi mengaburkan batas antara kekuasaan sipil dan aparat harus dihentikan.
    Tugas negara hari ini bukan hanya memperkuat supremasi hukum, tetapi juga memastikan bahwa tidak ada lembaga yang berdiri di atas konstitusi.
    Dalam setiap langkah kita menuju keadilan, sangat jelas bahwa hukum harus menjadi penuntun, bukan sekadar aturan yang bisa diabaikan.
    Ketika lembaga-lembaga negara mulai mengabaikan putusan hukum, kita bukan hanya menghadapi ancaman terhadap integritas institusi, tetapi juga mengorbankan kepercayaan masyarakat yang telah dibangun dengan susah payah.
    Masyarakat berhak mendapatkan penegakan hukum yang adil dan bijaksana, serta aparat yang mampu menjaga netralitasnya dalam setiap keputusan.
    Pada akhirnya, saatnya bagi kita semua untuk bersuara, menantang setiap bentuk pembangkangan hukum yang merusak fondasi konstitusi.
    Marilah kita bergerak bersama, mendorong pemerintah dan lembaga terkait untuk kembali pada prinsip-prinsip yang mendasar, demi masa depan yang lebih baik dan berkeadilan. Polisi kembalilah mengayomi bukan menguasai.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Para Guru Besar dan Civitas Akademika Diajak Rancang Masa Depan Indonesia melalui Transmigrasi Baru

    Para Guru Besar dan Civitas Akademika Diajak Rancang Masa Depan Indonesia melalui Transmigrasi Baru

    Para Guru Besar dan Civitas Akademika Diajak Rancang Masa Depan Indonesia melalui Transmigrasi Baru
    Tim Redaksi
    KOMPAS.com
    – Para Guru Besar dan civitas akademika se-Indonesia diajak untuk terlibat dalam merancang masa depan Indonesia melalui Transmigrasi 5.0, sebuah kerangka pembangunan kewilayahan berbasis sains dan teknologi (saintek).
    Langkah itu dianggap strategis untuk memanfaatkan momentum bonus demografi.
    Ajakan tersebut disampaikan Menteri
    Transmigrasi
    (Mentrans) M Iftitah Sulaiman Suryanagara dalam Kongres V Forum Dewan Guru Besar Indonesia (FDGBI) di kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (
    ITS
    ) di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (11/12/2025).
    “Saya datang bukan sekadar menjelaskan program, tetapi mengajak kita mendesain masa depan Indonesia. Saya percaya ITS dan para guru besar akan menjadi jantung intelektual dari desain besar itu,” ujar Iftitah dalam rilis pers yang diterima Kompas.com, Jumat (12/12/2025).
    Menjawab tantangan tersebut, Iftitah menilai pusat pertumbuhan ekonomi Indonesia harus dibangun dari daerah dan wilayah perbatasan yang selama ini belum dioptimalkan.
    “Pertumbuhan yang tidak hanya menambah produk domestik bruto (PDB) secara kosmetik, tetapi menghasilkan pangan, energi, industri, teknologi, dan kapasitas manusia yang nyata. Pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan, yang menciptakan lebih banyak lapangan kerja untuk rakyat di sekitarnya. Sehingga, tidak ada lagi pengangguran di bumi tercinta ini,” tuturnya.
    Dalam paparannya, Iftitah juga meluruskan persepsi lama mengenai transmigrasi. Ia menegaskan, transmigrasi saat ini bukan lagi sekadar perpindahan penduduk, melainkan pembangunan kawasan berbasis produktivitas.
    “Transmigrasi merupakan kerangka pembangunan paling lengkap karena bekerja pada tiga fondasi sekaligus: lahan, manusia, dan produktivitas,” ungkap Iftitah.
    Dalam kesempatan itu, Iftitah menekankan bahwa pembangunan kawasan transmigrasi akan mengandalkan sains, data, dan teknologi.
    Konsep Transmigrasi 5.0 mencakup pemodelan iklim 30 tahun ke depan, analisis geospasial berbasis kecerdasan buatan (AI), pemetaan rantai pasok, hingga desain permukiman berbasis ekosistem pertumbuhan.
    “Bayangkan bila setiap kawasan transmigrasi dirancang dengan standar ilmiah. Hasilnya adalah kawasan yang menjadi
    smart agro-estate, smart fisheries, rural industry hub,
    dan
    smart settlement
    berbasis data,” ujar Iftitah.
    Kementerian Transmigrasi (
    Kementrans
    ) saat ini menyiapkan dua hingga tiga kawasan sebagai laboratorium hidup (
    living lab
    ) untuk uji penerapan teknologi dan riset kampus.
    Tak hanya itu, program Transmigrasi Patriot dan Beasiswa Patriot disiapkan sebagai mesin talenta untuk menyiapkan pemimpin lapangan masa depan.
    Oleh karena itu, Iftitah mengajak para guru besar, termasuk ITS, untuk berperan dalam tiga hal utama, yaitu desain bersama (
    co-design
    ), proyek percontohan (
    pilot project
    ), dan pembentukan talent pipeline pembangunan kawasan.
    “Pembangunan kawasan baru harus menjadi karya bersama, lingkungan, robotika, industri, kelautan, energi, agrikultur, transportasi, tata kota. Ini bukan proyek satu disiplin, tetapi
    symphony of sciences
    ,” ujarnya.
    Menutup pidatonya, Iftitah menegaskan, masa depan Indonesia tidak akan lahir dari kota besar semata, melainkan pertumbuhan baru di daerah.
    “Jika Indonesia ingin melompat, lompatan itu tidak akan lahir dari Jakarta atau Surabaya saja. Ia muncul dari desa modern,
    agro-estate
    digital, industri perikanan terpadu, energi terbarukan, dan kota-kota teknologi di daerah. Mari kita bangun Indonesia bukan hanya dengan angka, tetapi dengan jiwa. Bukan hanya dengan teknologi, tetapi dengan keberanian membuka
    frontier
    baru,” pungkasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.