Organisasi: PERSEPSI

  • Jokowi Diam-diam Temui Prabowo, Ini Prediksi Masuk Akal Rocky Gerung, Gibran dan Bobby Nasution Ikut Disebut

    Jokowi Diam-diam Temui Prabowo, Ini Prediksi Masuk Akal Rocky Gerung, Gibran dan Bobby Nasution Ikut Disebut

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pengamat Politik Rocky Gerung menilai pertemuan Presiden ke-7 Joko Widodo dengan Presiden Prabowo Subianto di kediaman Prabowo di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (4/10/2025) bukan sekadar temu kangen dan silaturahmi biasa. Ia menduga ada maksud lain baliknya.

    Hal tersebut, kata dia, bisa dibaca bukan dengan bocoran. Tapi persepsi akurat dan metodologis.

    “Tentu yang dibicarakan bukan sekadar kangen-kangenan, atau silaturahmi segala macam,” kata Rocky dikutip dari Rocky Gerung Official, Jumat (10/10/2025).

    Di tengah berbagai isu yang berkembang, dia mengatakan publik membaca bahwa pertemuan itu membahas nasib keluarga Jokowi. Terutama Jokowi sendiri, anaknya Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming, dan menantunya, Bobby Nasution.

    “Jadi tetap orang mulai membaca apakah kegelisahan Pak Jokowi, tentang keadaan anak-anaknya, terutama Pak Gibran dan belakangan ada Pak Bobby Nasution yang adalah Gubernur Sumatera Utara,” jelasnya.

    “Itulah jadi tema utama sehingga ada urgensi Pak Prabowo menerima Pak Jokowi. Atau ada urgensi Pak Jokowi ingin bertemu dengan Pak Prabowo,” sambungnya.

    Rocky mengibaratkan kasus yang Jokowi dan keluarganya hadapi semacam jadi berita selebriti.

    “Nasibnya Pak Jokowi apa, nasibnya Pak Gibran apa, nasibnya Pak Bobby apa. Kan itu sudah jadi kasus selebriti, jadi sesuatu kasus yang diselebritikan, dibicarakan maksudnya secara luas,” ujarnya.

    Dugaannya, kata Rocky, makin masuk akal. Bahwa pasti yang dibicarakan adalah soal keluarga Pak Jokowi yang mulai gelisah.

  • Pemerintah Genjot Kesiapan ASN Tangani Krisis di Era Digital

    Pemerintah Genjot Kesiapan ASN Tangani Krisis di Era Digital

    Jakarta

    Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) memperkuat kesiapan aparatur sipil negara (ASN) menghadapi krisis komunikasi di era digital.

    Lewat Direktorat Komunikasi Publik, Kemkomdigi menggelar Bimbingan Teknis (Bimtek) Media Handling Isu Krisis yang difokuskan untuk melatih kemampuan respons cepat, tepat, dan terkoordinasi di tengah situasi darurat informasi.

    Ketua Tim Pengelolaan Komunikasi Strategis Pemerintah Kemkomdigi, Hastuti Wulanningrum, mengatakan bahwa opini publik kini terbentuk sangat cepat di tengah keterbukaan informasi dan derasnya arus media digital. Kondisi ini menuntut aparatur pemerintah untuk memiliki strategi komunikasi yang gesit dan kredibel.

    “Isu kecil dapat dengan mudah menjadi krisis besar yang mengancam reputasi dan kredibilitas pemerintah. Karena itu, informasi kepada publik harus disampaikan secara cepat, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan,” ujar Hastuti, Rabu (8/10/2025).

    Melalui bimtek ini, ASN diharapkan mampu mengelola komunikasi publik secara profesional, mulai dari penyusunan narasi, simulasi menghadapi media, hingga koordinasi lintas sektor. “Setiap krisis bukan hanya bisa dikendalikan, tapi juga menjadi peluang memperkuat kepercayaan publik,” tambahnya.

    Bimtek yang digelar di Bali ini juga menjadi momentum pembelajaran dari berbagai kasus lapangan, salah satunya krisis banjir yang sempat melanda pulau tersebut pada September 2025. Isu itu sempat memicu penyebaran rumor dan informasi tidak terverifikasi, memperlihatkan pentingnya komunikasi krisis yang cepat dan terkoordinasi.

    Pranata Humas Ahli Muda Diskominfotik Provinsi Bali, I Gusti Ayu Sukmawati, menilai krisis informasi bisa berdampak langsung pada citra daerah, terutama bagi Bali yang bergantung pada sektor pariwisata. “Posko informasi sangat diperlukan, dan dibutuhkan kolaborasi dengan penyedia data dan mitra media. Informasi boleh datang dari mana saja, tapi keluar harus dari satu pintu,” tegasnya.

    Sementara itu, Kepala UPTD Pengendalian Bencana Daerah BPBD Bali, I Wayan Suryawan, menambahkan bahwa krisis bukan hanya soal bencana fisik, tetapi juga persepsi publik terhadap kinerja pemerintah. “Bencana bisa ditanggulangi dengan cepat, tapi kalau komunikasi kita lambat, itu akan jadi bencana berikutnya,” ujarnya.

    Ia menekankan pentingnya kolaborasi lintas kanal komunikasi selama krisis berlangsung, dengan pesan yang seragam namun disampaikan lewat berbagai saluran agar menjangkau masyarakat lebih luas.

    Upaya Kemkomdigi ini dinilai menjadi langkah strategis di tengah meningkatnya kompleksitas krisis digital-di mana kecepatan, transparansi, dan koordinasi menjadi kunci menjaga kepercayaan publik terhadap pemerintah.

    (rrd/rir)

  • Kurs Rupiah Ditutup Perkasa, Menguat ke Level Segini – Page 3

    Kurs Rupiah Ditutup Perkasa, Menguat ke Level Segini – Page 3

    Adapun untuk faktor internal yang mempengaruhi penguatam rupiah adalah nilai cadangan devisa Indonesia pada akhir September 2025 tercatat sebesar USD 148,7 miliar, lebih rendah dari posisi pada akhir Agustus 2025 sebesar USD 150,7 miliar. 

    “Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah. Serta dipengaruhi kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah Bank Indonesia dalam menghadapi ketidakpastian pasar keuangan global yang tetap tinggi,” ujarnya.

    Posisi cadangan devisa akhir September 2025 tersebut setara dengan pembiayaan 6,2 bulan impor. Atau setara 6,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

    Bank Indonesia menilai cadangan devisa ini tetap kuat mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. BI terus meningkatkan sinergi dengan Pemerintah dalam memerkuat ketahanan eksternal guna menjaga stabilitas perekonomian untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

    “Ke depan, Bank Indonesia meyakini ketahanan sektor eksternal tetap kuat sejalan dengan prospek ekspor yang tetap terjaga serta neraca transaksi modal dan finansial yang diprakirakan tetap mencatatkan surplus. Itu sejalan persepsi positif investor terhadap prospek perekonomian domestik dan imbal hasil investasi yang tetap menarik,” pungkasnya.

     

  • Politik Anti-Imigran Dorong Meningkatnya Rasisme di Jerman

    Politik Anti-Imigran Dorong Meningkatnya Rasisme di Jerman

    Jakarta

    Meningkatnya dukungan terhadap kelompok sayap kanan, ekonomi yang mandek, dan fokus politik yang terus mengarah pada isu migrasi menjadi faktor utama yang memperburuk diskriminasi rasial di negara-negara Eropa, seperti Jerman.

    Tahir Della dari organisasi Initiative of Black People in Germany mengatakan kepada DW bahwa fokus politik yang berlebihan pada migrasi dikhawatirkan menimbulkan efek domino. Kemajuan yang telah dicapai Jerman selama puluhan tahun untuk menjadi negara yang lebih inklusif terhadap orang kulit hitam bisa terancam mundur.

    “Kami sudah mulai merasakannya. Setiap kali muncul perdebatan soal migrasi, keberadaan orang kulit hitam dan keturunan Afrika di Jerman sering dipertanyakan,” ujar Della.

    Menurut laporan “Being Black in the EU 2023” dari Badan Hak Asasi Manusia Uni Eropa (EU Agency for Fundamental Rights/ EUFRA), Jerman sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di Uni Eropa, mencatat peningkatan tertinggi dalam diskriminasi terhadap orang kulit hitam.

    Sejak laporan itu keluar, situasi politik Jerman berubah. Setelah pemilu federal 2025, partai sayap kanan Alternatif untuk Jerman (Alternative for Germany/AfD) yang dikenal dengan pandangan anti-imigrannya, menjadi partai dengan suara terbanyak kedua.

    Ekonomi Jerman, yang selama ini menjadi mesin industri Eropa, belum pulih sejak pandemi COVID-19. Dalam dua tahun terakhir, Jerman menjadi satu-satunya negara di kelompok G7 yang tidak tumbuh, dan diperkirakan kembali stagnan pada 2025. Kondisi ini bisa berdampak besar terhadap kehidupan warga kulit hitam.

    Apakah Jerman gagal mendukung imigran?

    Dari sisi ekonomi, imigran asal Afrika sub-Sahara yang sebagian besar menjadi responden kulit hitam dalam survei EUFRA, hidup dalam kondisi yang lebih sulit dibanding kelompok lain di Jerman. Tingkat pengangguran mereka mencapai lebih dari 16%, lebih dari tiga kali lipat warga negara Jerman, dan dua poin lebih tinggi dari rata-rata imigran. Pendapatan mereka juga cenderung lebih rendah.

    De Souza bercerita kepada DW bahwa ada pasien yang menolak dirawat oleh tenaga medis kulit hitam. Menurut laporan tahun 2024 dari Kantor Federal Anti-Diskriminasi Jerman, diskriminasi rasial memang masih marak di sektor kesehatan.

    Bagi de Souza, bekerja dan tinggal di Berlin terasa lebih aman dibanding pindah ke daerah lain seperti Brandenburg, meski biaya hidup di ibu kota jauh lebih tinggi.

    “Dalam dunia kesehatan, tim kerja itu sangat penting,” ujarnya, sambil menambahkan bahwa banyak rekan asal Afrika yang bekerja di luar Berlin menghadapi situasi yang jauh lebih berat.

    Namun, keputusan tinggal di kota yang lebih mahal karena takut diskriminasi juga bisa berarti sebagian besar penghasilannya habis untuk membayar sewa.

    Peneliti yang meneliti kesenjangan gaji antara imigran dan warga lokal menyebut fenomena ini sebagai “sorting”, yaitu imigran cenderung terkumpul di pekerjaan dengan bayaran rendah. Di Jerman, warga keturunan Afrika banyak bekerja di sektor kebersihan dan pekerjaan kasar lainnya. Negara ini juga termasuk yang paling buruk di Eropa dalam hal kesenjangan pendapatan bagi imigran asal Afrika sub-Sahara.

    Perbedaan penghasilan juga bisa disebabkan oleh sulitnya pengakuan terhadap ijazah dan pengalaman kerja dari luar negeri. Selain itu, kebijakan imigrasi turut mempengaruhi siapa yang diizinkan masuk dan seberapa besar peluang mereka untuk berhasil di pasar kerja.

    Diskriminasi dalam perekrutan kerja

    Meskipun kesenjangan upah mulai menyempit di generasi berikutnya, termasuk bagi keturunan Afrika sub-Sahara, diskriminasi dalam proses perekrutan masih banyak terjadi di Jerman.

    Menurut riset Universitas Siegen, antara 2023 hingga awal 2025, pelamar dengan nama bernuansa Afrika atau Arab menjadi yang paling jarang mendapat panggilan wawancara untuk pelatihan vokasi. Ironisnya, ini terjadi di tengah kekurangan tenaga magang di banyak perusahaan Jerman.

    Diskursus publik juga bisa memperburuk diskriminasi dalam perekrutan, kata sosiolog Malte Reichelt dari Lembaga Riset Ketenagakerjaan (Institute for Employment Research) Jerman, yang ikut meneliti kesenjangan upah antara imigran dan warga lokal. “Kategori ras tertentu menjadi lebih menonjol dalam perdebatan publik, dan itu terbawa ke proses perekrutan,” ujarnya.

    Fenomena ini bukan hanya terjadi di Jerman. Di seluruh Uni Eropa, orang kulit hitam merupakan kelompok yang paling sering melaporkan diskriminasi ketika mencari pekerjaan dan Jerman kembali menempati posisi kedua terburuk.

    Meski laporan seperti ini bisa memberi gambaran, data tersebut belum sepenuhnya mencerminkan pengalaman nyata orang-orang yang mengalaminya.

    Luksemburg jadi contoh kecil yang bisa ditiru

    Setelah mendapat peringkat buruk dalam laporan Being Black in the EU tahun 2017, Luksemburg, sebuah negara kecil namun makmur, tempat lebih dari 10% penduduknya lahir di luar Uni Eropa, mengambil langkah maju dengan melakukan survei nasional soal persepsi publik terhadap diskriminasi rasial dan etnis. Hasilnya dipublikasikan pada 2022, dan kini negara itu tengah menyusun rencana aksi nasional melawan rasisme.

    “Rencana ini bertujuan mengambil langkah konkret untuk memerangi semua bentuk rasisme dan diskriminasi melalui penelitian, pelatihan, dan kampanye kesadaran publik,” ujar Frederic Docquier, ekonom asal Belgia sekaligus wakil direktur Lembaga Riset Sosioekonomi (Luxembourg Institute of Socio-Economic Research/LISER).

    “Kita perlu memastikan bahwa diskriminasi itu nyata, bukan sekadar persepsi,” tambahnya.

    Menurut Docquier, diskriminasi juga punya dampak ekonomi. “Kelompok yang terdiskriminasi membayar pajak lebih sedikit dibanding potensi mereka dan jika mereka kesulitan mendapat pekerjaan, mereka akan bergantung pada tunjangan pengangguran yang tentu membebani negara.”

    Sementara itu, Tahir Della berharap Jerman bisa melakukan penelitian dan pengumpulan data yang lebih menyeluruh, bukan hanya menggambarkan kondisi saat ini, tetapi juga perjalanan hidup orang-orang yang mengalami diskriminasi.

    “Kita perlu tahu seperti apa rasanya tumbuh dan hidup di sini, serta pengalaman yang mereka alami setiap hari,” ujarnya.

    Editor: Yuniman Farid

    (ita/ita)

  • Ironi Warga RI: Lapangan Kerja Terbatas, PHK Datang Silih Berganti

    Ironi Warga RI: Lapangan Kerja Terbatas, PHK Datang Silih Berganti

    Bisnis.com, JAKARTA – Survei Bank Indonesia (BI) mencatat indeks keyakinan konsumen terendah sejak 3 tahun terakhir. Rendahnya keyakinan konsumen itu terjadi karena masyakarat mulai pesimistis terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan.

    Indeks ketersediaan lapangan kerja menjadi satu-satunya indikator yang berada di zona pesimis atau di bawah nilai acuan di level 92.

    Sementara itu, investasi yang digembar-gemborkan naik ternyata cukup lamban dalam menyerap tenaga kerja. Padahal, kalau merujuk kepada pernyataan Menteri Ketenagakerjaan Yassierli belum lama ini, ada sekitar 7 juta warga negara Indonesia yang menganggur, belum lagi hingga Agustus 2025 lalu sekitar 44.333 pekerja terkena pemutusan hubungan kerja PHK.

    Di sisi lain, alih-alih menciptakan lapangan kerja baru, pemerintah justru hanya menyediakan program magang bukan kepada mahasiswa tetapi kepada lulusan fresh graduate. Berbagai program deregulasi yang dimulai dari pemberlakukan Online Single Submission (OSS), implementasi Undang-undang Cipta Kerja, hingga berbagai kemudahan dari aspek fiskal, tidak mampu sepenuhnya menyerap angkatan kerja yang tersedia.

    Ironisnya, dari sekitar 7 jutaan pengangguran, kalau merunut pernyataan Menaker Yassierli, 1 juta di antaranya berstatus sebagai sarjana.

    Persoalan semakin pelik kalau melihat struktur tenaga kerja setidaknya sampai Februari 2025 lalu. Pekerja informal tetap mendominasi angkatan kerja Indonesia. Masih merujuk data BPS, statistik juga menunjukkan bahwa sebanyak 86,58 juta orang bekerja di sektor informal dari total angkatan kerja sebanyak 153,05 juta orang. Itu artinya, hampir 60% orang bekerja di Indonesia berada di sektor informal.

    Sebaliknya, pada periode tersebut juga, hanya 59,19 juta orang yang bekerja di sektor formal atau sebesar 40,60% dari total angkatan kerja. 

    Besaran persentase pekerja sektor informal pun naik dari periode Februari 2024 atau setahun sebelumnya, yakni dari 59,17%. Bahkan, pada Februari 2023 sempat menyentuh 60,12%. 

    Adapun kalau melihat data secara lebih rinci, jika dibandingkan dengan Februari 2024, jumlah pekerja yang berstatus sebagai buruh, pegawai atau karyawan juga mengalami penurunan secara persentase. Sekadar contoh, pada Februari 2025 lalu jumlah penduduk yang berstatus sebagai buruh, pegawai dan karyawan hanya sebesar 37,08%, turun dibandingkan Febuari 2024 yang tercatat sebesar 37,31%.

    1 dari 7 Anak Muda Menganggur

    Sementara itu, laporan Bank Dunia (World Bank) menyebut generasi muda Asia kesulitan mendapatkan pekerjaan layak termasuk di Indonesia, dengan banyak yang terjebak di sektor informal berproduktivitas rendah. 

    Dalam laporan pembaruan ekonomi regional yang dirilis Selasa (7/10/2025), Bank Dunia mencatat adanya kesenjangan signifikan antara pekerja muda dan berpengalaman di sejumlah negara Asia. 

    Laporan tersebut memaparkan, di China dan Indonesia, satu dari tujuh anak muda masih menganggur. Lembaga tersebut juga memperingatkan bahwa jumlah penduduk yang rentan jatuh ke jurang kemiskinan kini lebih besar dibandingkan kelas menengah di sebagian besar negara.

    “Secara umum tingkat ketenagakerjaan tinggi, tetapi anak muda kesulitan menemukan pekerjaan. Sebagian besar masyarakat di Asia yang mencari kerja memang mendapatkannya, namun banyak yang terjebak di sektor informal atau berproduktivitas rendah,” tulis Bank Dunia.

    Partisipasi angkatan kerja juga masih rendah di negara-negara Pasifik dan di kalangan perempuan. 

    Data yang dipaparkan oleh Bank Dunia itu juga sejalan dengan data BPS, bahwa jumlah penduduk di usaia produktif misalnya 15 -59 tahun mewakili 19,2% dari total tingkat pengangguran terbuka.

    Apa Kata Pengamat?

    Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengaku tidak heran dengan perkembangan turunnya keyakinan konsumen yang salah satunya dipicu oleh pesimisme terhadap ketersediaan lapangan kerja. 

    “IKK jatuh ke kisaran 115 karena mesin ekspektasi rumah tangga tertekan dari tiga sisi sekaligus: harga pangan merangkak, pasar kerja terasa sepi, dan porsi cicilan menyita pendapatan,” ujar Syafruddin kepada Bisnis, Rabu (8/10).

    Dia menjelaskan banyak laporan terdahulu yang sudah menunjukkan sinyal pelemahan ekonomi. Contohnya, IKK Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) merosot ke 90,5 pada September 2025 dengan alasan “harga sembako naik” dan “kondisi kerja sulit”.

    Selain itu, Bank Indonesia sudah memberi peringatan sejak Agustus: IKK turun ke 117,2, sedangkan Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja (IKLK) berada di zona pesimis di sekitar 93, yang menandai persepsi bahwa lowongan menyempit.

    Pada saat yang sama, sambungnya, porsi pendapatan yang tersedot cicilan meningkat, sehingga rumah tangga menahan belanja besar. “Kombinasi tekanan biaya hidup, akses kerja yang dirasa makin sulit, dan ruang belanja yang mengecil mendorong konsumen menilai masa kini berat dan masa depan belum meyakinkan—cukup untuk menyeret IKK ke titik terendah dalam sekitar 3,5 tahun,” jelas Syafruddin.

    Dalam IKK, salah satu komponen yang dinilai adalah ekspektasi ketersediaan lapangan kerja. Sejak Mei 2025, indeks ketersediaan lapangan kerja (IKLK) terus berada di zona pesimis atau di bawah nilai acuan.

    IKLK berada di level 92 pada September 2025. Angka itu turun dari bulan sebelumnya atau Agustus 2025, yang berada di level 93,2. Padahal, pemerintah telah meluncurkan berbagai program stimulus untuk menjaga daya beli dan menciptakan lapangan kerja, seperti program magang fresh graduate, pajak penghasilan karyawan ditanggung pemerintah (PPh 21 DTP) untuk sektor pariwisata dan padat karya, iuran JKK dan JKM untuk lepas, hingga Padat Karya Tunai.

    Syafruddin menilai program-program tersebut belum mengangkat ekspektasi ketersediaan kerja secara signifikan karena sebagian besar stimulus masih bersifat mereduksi biaya dan menyerap tenaga kerja sementara, bukan menambah pesanan produksi yang memicu perekrutan permanen.

    Dia mencontohkan, program Padat Karya Tunai memang membantu masyarakat berpendapatan rendah, tetapi bersifat harian dan jangka pendek sehingga tidak cukup kuat untuk mengubah persepsi peluang kerja di masyarakat. Begitu pula insentif PPh 21 DTP dan diskon iuran JKK/JKM yang menurunkan beban perusahaan dan pekerja, namun dinilai tidak otomatis mendorong peningkatan permintaan tenaga kerja.

    “Tanpa lonjakan order yang jelas—entah dari ekspor, pariwisata, pengadaan pemerintah yang membeli output UKM, atau proyek bernilai tambah—perusahaan cenderung menunda kontrak baru. Hasilnya, publik masih membaca sinyal pasar kerja sebagai ‘ketat,’ dan IKLK bertahan di bawah 100 walau stimulus diumumkan,” tutup Syafruddin.

  • Rakyat Makin Pesimistis soal Lapangan Kerja Meski Ada Stimulus Ekonomi, Kenapa?

    Rakyat Makin Pesimistis soal Lapangan Kerja Meski Ada Stimulus Ekonomi, Kenapa?

    Bisnis.com, JAKARTA — Laporan Bank Indonesia menunjukkan bahwa indeks ketersediaan lapangan kerja (IKLK) masih berada di zona pesimis, bahkan terus memburuk.

    Sejak Mei 2025, IKLK memang terus berada di zona pesimis atau di bawah nilai acuan 100. IKLK berada di level 92 pada September 2025 atau turun dari bulan sebelumnya di level 93,2.

    Padahal, pemerintah sudah mengumumkan sejumlah insentif ekonomi untuk mendukung industri hingga penciptaan lapangan kerja. Misalnya paket stimulus akhir 2025 seperti Program Magang Lulusan Perguruan Tinggi (maksimal fresh graduate satu tahun) untuk minimal 20.000 penerima manfaat.

    Kemudian perluasan Pajak Penghasilan (PPh) 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk pekerja di sektor terkait pariwisata sebanyak 552.000 pekerja. 

    Tak hanya itu, bantuan Iuran JKK dan JKM bagi pekerja bukan penerima upah (BPU) yang meliputi mitra pengemudi transportasi online/ojek daring, ojek pangkalan, sopir, kurir, logistik untuk 731.361 orang.

    Lalu program Padat Karya Tunai (cash for work) Kemenhub dan Kemen PU untuk 609.465 orang, hingga percepatan deregulasi lewat PP 28/2025 (Integrasi sistem kementerian/lembaga dan RDTR digital ke OSS) pada 50 daerah pada 2025 dan lanjut menjadi 300 daerah pada 2026.

    Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengaku tidak heran berbagai program tersebut belum mengangkat ekspektasi ketersediaan kerja secara signifikan.

    Bagaimanapun, sambungnya, sebagian besar masih bersifat mereduksi biaya dan menyerap tenaga kerja sementara, bukan menambah pesanan produksi yang memicu perekrutan permanen.

    Dia mencontohkan, program Padat Karya Tunai memang membantu masyarakat berpendapatan rendah, tetapi bersifat harian dan jangka pendek sehingga tidak cukup kuat untuk mengubah persepsi peluang kerja di masyarakat.

    Begitu pula insentif PPh 21 DTP dan diskon iuran JKK/JKM yang menurunkan beban perusahaan dan pekerja, namun dinilai tidak otomatis mendorong peningkatan permintaan tenaga kerja.

    “Tanpa lonjakan order yang jelas—entah dari ekspor, pariwisata, pengadaan pemerintah yang membeli output UKM, atau proyek bernilai tambah—perusahaan cenderung menunda kontrak baru. Hasilnya, publik masih membaca sinyal pasar kerja sebagai ‘ketat,’ dan IKLK bertahan di bawah 100 walau stimulus diumumkan,” jelas Syafruddin kepada Bisnis, Rabu (8/10/2025).

    Senada, Peneliti Center of Reform on Economics (Core Indonesia) Yusuf Rendy Manilet menilai sejumlah stimulus ekonomi itu memang akan berpengaruh secara signifikan ke persepsi masyarakat.

    Dia menjelaskan, tantangan utama kebijakan stimulus kali ini terletak pada aspek cakupan. Skala program magang dan padat karya dinilai masih terlalu kecil bila dibandingkan dengan jumlah pengangguran dan setengah pengangguran nasional.

    Akibatnya, stimulus hanya memberikan efek jangka pendek pada sebagian masyarakat penerima, tanpa mampu mengubah secara signifikan ekspektasi pasar kerja secara luas.

    “Program-program itu bisa memberi dorongan sementara terhadap konsumsi, terutama bagi penerima langsung, tetapi dampaknya terhadap penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan kemungkinan tetap terbatas,” ujar Yusuf kepada Bisnis, Rabu (8/10/2025).

    Dengan tekanan pendapatan yang berlanjut dan cakupan stimulus yang belum memadai, dia meyakini pemulihan optimisme konsumen, khususnya di kelas menengah, masih memerlukan waktu dan dukungan kebijakan yang lebih terarah.

  • Parcok dari Tahun 2000 Bukan 2020

    Parcok dari Tahun 2000 Bukan 2020

    GELORA.CO –  – Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, Inspektur Jenderal Polisi (Purn) Napoleon menyebut Polri bukan ‘Parcok’ alias Partai Coklat, sehingga harus diselamatkan dari kepentingan politik praktis.

    Dirinya mengkritik kondisi internal Korps Bhayangkara yang dinilai sudah kehilangan independensi sebab terlalu dekat dengan kekuasaan politik.

    “Polri itu bukan Parcok. Siapa yang tidak suka dengan statemen ini berarti dia Parcok atau yang membuat Parcok,” kata dia, Rabu, 7 Oktober 2025.

    Dia menyebut fenomena ‘Parcok’ bukan hal baru. Namun, lanjutnya, sudah mendarah daging sejak dua dekade lalu.

    Napoleon mengatakan istilah Parcok muncul buntut penilaian publik kalau Polri berafiliasi dengan partai politik demi dapat keuntungan dari pemerintah. Menurutnya persepsi itu berakar dari perilaku sebagian pimpinan Polri yang menjual independensi institusi untuk kepentingan kekuasaan.

    “Parcok ini dimulai dari sekitar tahun 2000-an, bukan 2020. Karena ada pimpinan-pimpinan Polri waktu itu yang menggadaikan institusi besar ini kepada kepentingan partai tertentu. Turun ke Kapolri berikutnya, dan hari ini pun kita lihat itu,” katanya.

    Sebelumnya diberitakan, eks Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, Inspektur Jenderal (Purn) Napoleon Bonaparte, melontarkan kritik pedas terhadap Korps Bhayangkara. Ia menilai, reformasi Polri selama ini tak akan pernah berhasil jika tidak dimulai dari pucuk pimpinan.

    “Reformasi polisi ini bagus, tetapi harus dari puncak, dari atas,” kata dia, Rabu, 8 Oktober 2025.

    Napoleon menyoroti sistem kepemimpinan Polri yang dinilainya terlalu sentralistik. Ia bahkan tak segan menyebut bahwa kekuasaan Kapolri bak tak terbantahkan di dalam institusi.

    “Kita tahulah di Polri itu ‘Tuhan’ nya ada dua. Allah sama Kapolri,” ucap Napoleon.

  • Pengamat Skakmat Pernyataan Provokatif Mantan Kepala BAIS TNI Soleman Ponto terhadap Polri

    Pengamat Skakmat Pernyataan Provokatif Mantan Kepala BAIS TNI Soleman Ponto terhadap Polri

    GELORA.CO –  Pernyataan mantan Kepala BAIS TNI, Soleman B Ponto, tentang Polri kembali menuai perhatian.

    Bukan karena bobot argumennya, melainkan karena bias dan aroma provokatif yang menyertainya.

    Salah satu kecaman terhadap pernyataan Soleman B Ponto datang dari Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi.

    “Alih-alih menyampaikan kritik yang konstruktif, Ponto justru terjebak dalam narasi yang berpotensi membenturkan institusi TNI dengan Polri, bahkan mendiskreditkan Polri di mata masyarakat,” kata Haidar Alwi, Kamis (9/10/2025).

    Dua poin pernyataan Ponto yang disoroti Haidar Alwi antara lain soal penerimaan hibah dari pihak ketiga dan penugasan anggota di luar struktur Polri.

    Dalam kritik pertamanya, Ponto menyebut Polri menerima hibah dua hektar tanah di kawasan PIK 2 dari Agung Sedayu Group untuk pembangunan asrama Brimob.

    Ia menarasikan hal itu dengan nada insinuatif, seolah-olah hibah tersebut mengandung kepentingan terselubung.

    “Keduanya menampilkan ketidakobjektifan yang mencolok, seolah-olah Polri menjadi pihak tunggal yang layak dicurigai,” tuturnya.

    “Ironisnya, TNI sebagai institusi yang pernah menaungi Ponto juga menerima hibah dalam skala yang tidak kalah besar namun tak pernah menjadi bahan kritiknya,” ungkap Haidar.

    Data menunjukkan, TNI menerima 11.250 unit rumah dinas Kodim dari PT Hutama Andalan Karya Abadi (HAKA), dana CSR Rp57,5 miliar dari 14 perusahaan, puluhan ribu meter persegi keramik dari PT Arwana Citra Mulia Tbk, serta kendaraan dan genset dari PT Respati Solusi Rekatama dan PT ANTAM.

    Semua itu diterima atas nama sinergi pembangunan pertahanan negara, dan tidak pernah dianggap bermasalah.

    “Maka ketika hibah kepada Polri disampaikan dengan kacamata negatif, sementara hibah kepada TNI diabaikan begitu saja, sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa kritik Ponto bersifat berpura-pura bahkan cenderung mengandung agenda terselubung,” jelasnya.

    Ponto mengungkit data bahwa ada 4.351 anggota Polri bertugas di luar struktur institusi, lalu menyebut hal itu sebagai penyimpangan.

    Padahal, Ponto menutup mata terhadap kenyataan bahwa di tubuh TNI sendiri terdapat 4.472 prajurit yang juga ditugaskan di berbagai instansi sipil.

    “Bila fenomena ini diterima sebagai hal yang wajar di lingkungan TNI, mengapa tiba-tiba menjadi masalah besar ketika terjadi di Polri? Sikap seperti ini bukan hanya tidak objektif, tapi juga membangun persepsi timpang seolah-olah TNI steril dan Polri bermasalah,” ujarnya.

    Menurutnya, kritik memang perlu, namun harus lahir dari integritas dan intelektual, bukan motif emosional atau politik.

    Sebab, ketika seorang mantan Kepala BAIS TNI mengabaikan keseimbangan fakta, maka kredibilitas argumennya runtuh di hadapan logika publik.

    “Kritik yang adil membangun kepercayaan. Kritik yang bias membangun perpecahan. Dan sayangnya, apa yang disampaikan Soleman Ponto lebih mendekati yang kedua,” pungkas Haidar.***

  • Pengamat Skakmat Pernyataan Provokatif Mantan Kepala BAIS TNI Soleman Ponto terhadap Polri

    Pengamat Skakmat Pernyataan Provokatif Mantan Kepala BAIS TNI Soleman Ponto terhadap Polri

    GELORA.CO –  Pernyataan mantan Kepala BAIS TNI, Soleman B Ponto, tentang Polri kembali menuai perhatian.

    Bukan karena bobot argumennya, melainkan karena bias dan aroma provokatif yang menyertainya.

    Salah satu kecaman terhadap pernyataan Soleman B Ponto datang dari Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi.

    “Alih-alih menyampaikan kritik yang konstruktif, Ponto justru terjebak dalam narasi yang berpotensi membenturkan institusi TNI dengan Polri, bahkan mendiskreditkan Polri di mata masyarakat,” kata Haidar Alwi, Kamis (9/10/2025).

    Dua poin pernyataan Ponto yang disoroti Haidar Alwi antara lain soal penerimaan hibah dari pihak ketiga dan penugasan anggota di luar struktur Polri.

    Dalam kritik pertamanya, Ponto menyebut Polri menerima hibah dua hektar tanah di kawasan PIK 2 dari Agung Sedayu Group untuk pembangunan asrama Brimob.

    Ia menarasikan hal itu dengan nada insinuatif, seolah-olah hibah tersebut mengandung kepentingan terselubung.

    “Keduanya menampilkan ketidakobjektifan yang mencolok, seolah-olah Polri menjadi pihak tunggal yang layak dicurigai,” tuturnya.

    “Ironisnya, TNI sebagai institusi yang pernah menaungi Ponto juga menerima hibah dalam skala yang tidak kalah besar namun tak pernah menjadi bahan kritiknya,” ungkap Haidar.

    Data menunjukkan, TNI menerima 11.250 unit rumah dinas Kodim dari PT Hutama Andalan Karya Abadi (HAKA), dana CSR Rp57,5 miliar dari 14 perusahaan, puluhan ribu meter persegi keramik dari PT Arwana Citra Mulia Tbk, serta kendaraan dan genset dari PT Respati Solusi Rekatama dan PT ANTAM.

    Semua itu diterima atas nama sinergi pembangunan pertahanan negara, dan tidak pernah dianggap bermasalah.

    “Maka ketika hibah kepada Polri disampaikan dengan kacamata negatif, sementara hibah kepada TNI diabaikan begitu saja, sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa kritik Ponto bersifat berpura-pura bahkan cenderung mengandung agenda terselubung,” jelasnya.

    Ponto mengungkit data bahwa ada 4.351 anggota Polri bertugas di luar struktur institusi, lalu menyebut hal itu sebagai penyimpangan.

    Padahal, Ponto menutup mata terhadap kenyataan bahwa di tubuh TNI sendiri terdapat 4.472 prajurit yang juga ditugaskan di berbagai instansi sipil.

    “Bila fenomena ini diterima sebagai hal yang wajar di lingkungan TNI, mengapa tiba-tiba menjadi masalah besar ketika terjadi di Polri? Sikap seperti ini bukan hanya tidak objektif, tapi juga membangun persepsi timpang seolah-olah TNI steril dan Polri bermasalah,” ujarnya.

    Menurutnya, kritik memang perlu, namun harus lahir dari integritas dan intelektual, bukan motif emosional atau politik.

    Sebab, ketika seorang mantan Kepala BAIS TNI mengabaikan keseimbangan fakta, maka kredibilitas argumennya runtuh di hadapan logika publik.

    “Kritik yang adil membangun kepercayaan. Kritik yang bias membangun perpecahan. Dan sayangnya, apa yang disampaikan Soleman Ponto lebih mendekati yang kedua,” pungkas Haidar.***

  • Telkomsel Umumkan Pemenang Kompetisi Riset Nasional by tSurvey & by.U

    Telkomsel Umumkan Pemenang Kompetisi Riset Nasional by tSurvey & by.U

    Jakarta, CNBC Indonesia – Telkomsel, melalui platform survei digital tSurvey dan brand serba digital by.U, resmi mengumumkan tiga pemenang Kompetisi Riset Nasional 2025. Kompetisi yang didukung oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) ini berhasil menjaring 495 pendaftar dari mahasiswa Strata-1 (S1) di seluruh Indonesia, menandai antusiasme tinggi generasi muda terhadap riset berbasis data.

    Kompetisi ini dirancang secara strategis untuk mencapai beberapa tujuan utama, mendukung penguatan kapasitas riset akademik yang kredibel. Kemudian membudayakan praktik riset yang baik dan benar melalui pelatihan, pemanfaatan tSurvey sebagai platform pendukung riset akademik, serta diskusi hasil riset melalui presentasi di hadapan dewan juri profesional dan mendorong lahirnya ide inovatif berbasis data di kalangan mahasiswa dengan topik yang relevan bagi masyarakat.

    Vice President Data Solutions and Digital Financial Services Telkomsel, Alfian Manullang, mengucapkan selamat kepada seluruh pemenang yang telah menunjukkan dedikasi dan kualitas riset yang luar biasa.

    “Kompetisi ini menegaskan komitmen Telkomsel lewat tSurvey untuk mendukung mahasiswa menghasilkan riset berbasis data yang akurat dan berdampak. Antusiasme ratusan peserta yang mendaftar menunjukkan potensi besar talenta muda Indonesia dalam membangun ekosistem riset digital di Indonesia, sekaligus memperkuat daya saing bangsa menuju Indonesia Emas 2045,” jelas Alfian dalam keterangan resmi, Rabu (8/10/2025).

    Seleksi Ketat dan Pelatihan Intensif untuk Hasilkan Riset Terbaik

    Kompetisi Riset Nasional 2025 by tSurvey dan by.U menerapkan proses seleksi yang ketat dan berjenjang sejak dibuka pada Mei 2025. Dari ratusan pendaftar, terpilih 100 peserta terbaik yang berhak mengikuti pelatihan eksklusif “Riset Kuantitatif dengan Online Survey”.

    Dari 100 peserta, disaring kembali menjadi 10 finalis yang mempresentasikan hasil riset mereka di hadapan dewan juri profesional di bidangnya, yaitu Marvin Mahadarma (Head of tSurvey), Prof. Akhmad Fauzy, S.Si., M.Si., Ph.D (Perwakilan Pembelajaran dan Kemahasiswaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi), dan Reza Felix Citra (Litbang Kompas).

    Tiga Penelitian Terbaik Pemenang Kompetisi Riset Nasional 2025 by tSurvey dan by.U
    Setelah melalui penilaian yang mencakup kedalaman analisis, kejelasan metodologi, orisinalitas, dan potensi dampak bagi masyarakat, dewan juri menetapkan tiga penelitian terbaik sebagai pemenang:
    ● Juara 1 – Lukman Al Rasyid, Robincar Tua Tambunan, dan Dzikri Tsabit Imani (Institut Teknologi Bandung), mendapatkan uang tunai Rp20 Juta dan e-sertifikat.
    Judul Penelitian: “Implementasi Model Persamaan Struktur untuk Mengetahui Pengaruh Iklan. Layanan Publik Berbasis Artificial Intelligence (AI) oleh Institusi Pemerintah terhadap Persepsi Masyarakat Indonesia.”
    ● Juara 2 – Anisa Eka Febrianti, Aveny Raisa Maarif, dan Jihan Afifah Rizki Nabila (Universitas Airlangga), mendapat uang tunai Rp15 Juta dan e-sertifikat.
    Judul Penelitian: “Pengaruh Persepsi Risiko Generative AI dan Upaya Adaptabilitas terhadap Kepuasan Finansial Pekerja Gig Digital Artist.”
    ● Juara 3 – Muhammad Feryansyah (Universitas Asahan), mendapat uang tunai Rp 10 Juta dan e-sertifikat.
    Judul penelitian: “Beli Sekarang Bayar Nanti Vs Menabung Sekarang Beli Nanti; Dampak Perilaku Konsumtif pada Gen Z.”

    Selain hadiah utama, ketiga pemenang juga memperoleh kesempatan magang di Telkomsel, voucher by.U, dan poin tSurvey. Sementara tujuh finalis lainnya masing-masing mendapatkan uang tunai senilai Rp500 ribu, e-sertifikat, dan voucher by.U senilai Rp240 ribu. Tidak hanya itu, 100 peserta terpilih juga memperoleh tSurvey Points senilai Rp7,5 juta dan akses Kompas.id Digital Premium selama 1 bulan.

    Perwakilan Juara 1 Institut Teknologi Bandung, Lukman AI Rasyid, mengatakan, kompetisi ini tidak hanya mempermudah kami dalam mengumpulkan data yang akurat dan sesuai kebutuhan, tetapi juga memperluas wawasan kami mengenai pentingnya riset berbasis data.

    “Kami berharap kompetisi seperti ini dapat terus berlanjut dan menjangkau lebih banyak mahasiswa, sehingga semakin banyak ide inovatif yang lahir untuk memberikan solusi nyata bagi masyarakat dan kemajuan Indonesia,” kata Lukman.

    Keberhasilan kompetisi ini menegaskan posisi tSurvey sebagai solusi Beyond Telco dari Telkomsel yang memberikan nilai tambah bagi dunia pendidikan, sekaligus menjadi wujud nyata kontribusi Telkomsel dalam membangun talenta digital dan ekosistem riset Indonesia yang lebih matang dan berdampak.

    (rah/rah)

    [Gambas:Video CNBC]