Organisasi: PERSEPSI

  • 80,7 Persen Masyarakat Dukung Soeharto jadi Pahlawan Nasional

    80,7 Persen Masyarakat Dukung Soeharto jadi Pahlawan Nasional

    GELORA.CO -Sebanyak 80,7 persen masyarakat setuju jika Presiden ke-2 RI Soeharto ditetapkan sebagai pahlawan nasional.

    Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif KedaiKOPI Hendri Satrio atau Hensat berdasarkan hasil surveinya terkait persepsi publik tentang wacana pengangkatan Presiden ke-2 RI Soeharto dan Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi pahlawan nasional.

    “Sebanyak 80,7 persen mendukung Soeharto menjadi pahlawan nasional, sementara yang tidak mendukung 15,7 persen dan yang tidak tahu 3,6 persen,” kata Hensat dalam keterangan yang diterima redaksi di Jakarta, Sabtu, 8 November 2025.

    Ia mengurai berdasarkan survei tersebut, masyarakat setuju dengan pengusungan Soeharto jadi pahlawan nasional karena beberapa hal.

    Tercatat ada 78 persen orang mendukung dengan alasan dianggap berhasil membawa Indonesia mencapai swasembada pangan.

    Selain itu, 77,9 persen mendukung dengan alasan Soeharto dinilai berhasil melakukan pembangunan untuk bangsa.

    Selanjutnya, 63,2 persen masyarakat mendukung dengan alasan Soeharto dinilai berhasil menghadirkan sekolah dan sembako murah dan 59,1 persen dengan alasan stabilitas politik yang baik.

    Sedangkan, barisan yang tidak mendukung Soeharto terbagi menjadi beberapa kelompok.

    Sebanyak 88 persen responden tidak mendukung Soeharto karena maraknya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme selama masa jabatannya.

    Kemudian 82,7 persen responden tidak mendukung karena Soeharto dianggap membungkam kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. 

    Lalu, ada 79,6 persen menolak karena Soeharto merupakan pelanggar HAM dan 61,3 persen beralasan Soeharto terlibat dalam kasus intimidasi beberapa pihak dalam peristiwa kontroversi.

    Hensat menambahkan, temuan data tersebut seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah dalam memutuskan gelar pahlawan untuk Soeharto.

    Ia berharap seluruh pandangan masyarakat ini dapat diperhitungkan sehingga keputusan yang diambil pemerintah nantinya merupakan jalan tengah yang tepat.

    “Ini adalah alasan alasan yang sangat krusial bagi sejarah Indonesia. Jadi dan ini harusnya bisa menjadi pertimbangan dari pemerintah dalam memutuskan nantinya. Jadi jangan hanya dilihat banyak yang setuju, tapi dilihat juga yang tidak setuju,” jelas Hensat.

    Survei yang dilakukan Kedai Kopi dilakukan mulai 5 November 2025 hingga 7 November 2025.

    Survei menggunakan metode Computerized Assited Self Interview (CASI) dengan responden 1.231 di seluruh Indonesia. Responden dalam survei ini mulai dari usia 17 sampai 60 tahun.

    Soeharto dan Gus Dur telah diusulkan masuk dalam daftar 49 nama pahlawan nasional. Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon menyatakan Soeharto telah memenuhi syarat untuk mendapatkan gelar Pahlawan. 

  • Survei Indikator Politik: 77,7% Publik Puas dengan Kinerja Setahun Prabowo

    Survei Indikator Politik: 77,7% Publik Puas dengan Kinerja Setahun Prabowo

    Bisnis.com, JAKARTA – Survei Indikator Politik Indonesia mengungkapkan 77,7% masyarakat sangat/cukup puas dengan kinerja Presiden Prabowo Subianto selama 1 tahun menjabat.

    Hasil tersebut diperoleh dari survei dengan jumlah sampel 1.220 orang menggunakan metode multistage random sampling. Margin of error kurang lebih 2,9%. Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih. 

    Populasi survei adalah seluruh warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih dalam pemilihan umum, 17 tahun atau lebih.

    “Yang mengatakan sangat puas atau cukup puas di setahun pemerintahan Prabowo itu 77,7%. Jadi cukup tinggi ,” kata Founder & Peneliti Utama Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, dikutip dari YouTube Indikator Politik Indonesia, Sabtu (8/11/2025).

    Dalam data yang dipaparkan, 17,3% responden merasa sangat puas, 60,4% cukup puas, 19,8% kurang puas, 1,0% tidak puas sama sekali, dan sekitar 1,5% tidak jawab.

    Dia mengatakan, berdasarkan kategori jenis kelamin, laki-laki cenderung lebih puas dengan nilai 81,4% dan kurang/tidak puas sama sekali sebesar 17,7%.

    Pada perempuan 73% sangat/cukup puas dan 24,0% kurang atau tidak puas sama sekali. Kemudian, dari kategori generasi, Gen Z (1997-2012) 81,8% merasa sangat/cukup puas dan 17,6% kurang atau tidak puas sama sekali. Milenials (1981-1996) 77,1% menyampaikan sangat/cukup puas dan 21,4% merasa kurang/tidak puas.

    Lalu, Gen X (1965-1980) 75,8% merasa sangat/cukup puas, sedangkan 23,0% merasa kurang/tidak puas sama sekali. Adapun, 74% Baby Boomers merasa sangat/cukup puas dan 21,5 kurang/tidak puas sama sekali.

    Dia menuturkan, alasan responden yang memilih puas terhadap kinerja Prabowo karena berhasil mengentaskan kasus korupsi.

    “19,5% dari masyarakat yang puas itu menyebut variabel Pak Prabowo dianggap berhasil memberantas korupsi,” ucapnya.

    Namun, dia menekankan bahwa itu adalah persepsi dari sejumlah masyarakat. Dia memahami adanya perbedaan data sehingga dirinya mempersilakan bagi kelompok aktivis untuk memberikan data lain terkait kepuasan masyarakat terhadap kinerja Prabowo selama 1 tahun. 

    Adapun, 8,6% responden merasa puas dengan kinerja Prabowo karena berlangsungnya Program Makan Bergizi Gratis (MBG).

  • Jerman Khawatirkan Masa Depan Demokrasi

    Jerman Khawatirkan Masa Depan Demokrasi

    Berlin

    Dunia digital media sosial kian riuh dan cepat. Siapa yang menonjol, akan terangkat ke permukaan — Donald Trump, Elon Musk, Javier Milei. Mereka menguasai tajuk berita lewat pesta mewah, roket luar angkasa, hingga gergaji mesin. Semangat zaman seolah diringkas dalam segelintir tokoh flamboyan.

    Namun di luar hiruk-pikuk itu, ada kelompok yang justru tampak seperti antitesis dunia digital: kelas menengah — orang-orang yang jarang menjadi sorotan, tapi menjadi tulang punggung masyarakat demokratis dan terbuka.

    Karena peran penting itulah, selama hampir dua dekade para ilmuwan sosial Jerman meneliti bagaimana “tengah” ini berpikir. Studi yang dilakukan atas dukungan Friedrich-Ebert-Stiftung itu menelusuri sikap mereka terhadap ekstremisme kanan, xenofobia, antisemitisme, dan pandangan sosial-darwinistik. Studi ini disebut sebagai semacam seismograf sosial, alat pendeteksi dini terhadap gejala anti-demokrasi di Jerman.

    Spektrum tengah yang stabil tapi tegang

    Hasil penelitian terbaru menggambarkan kondisi yang kontradiktif: stabil, tapi tegang.

    “Kelompok tengah kini lebih stabil dan menahan laju dukungan terhadap ekstremisme kanan,” kata Andreas Zick, Direktur Institut Penelitian Konflik dan Kekerasan di Universitas Bielefeld, kepada DW.

    Tim peneliti mewawancarai sekitar 2.000 responden dari berbagai lapisan — mencerminkan keragaman latar belakang, pendidikan, pendapatan, dan perilaku pemilih di Jerman.

    Ekstremisme kanan menurun

    Berbeda dengan gambaran gaduh di media sosial dan kenaikan pamor partai Alternatif untuk Jerman (AfD), temuan ini menunjukkan: hanya tiga persen warga Jerman memiliki pandangan ekstrem kanan yang solid — angka yang menurun dibanding masa lalu.

    Mayoritas masyarakat justru melihat demokrasi dan keberagaman secara positif. Tujuh dari sepuluh responden menganggap peningkatan ekstremisme kanan sebagai ancaman — meski faktanya tren itu menurun. Lebih dari setengah responden juga menyatakan siap terlibat melawan ekstremisme.

    Koreksi terhadap citra miring

    Temuan ini juga membantah persepsi umum bahwa kawasan timur Jerman lebih ekstrem dibanding barat. Memang, xenofobia lebih banyak ditemukan di timur, tapi secara mengejutkan, pandangan ekstrem kanan yang utuh justru sedikit lebih banyak di barat.

    Para peneliti mendefinisikan “pandangan ekstrem” bukan dari satu-dua sikap diskriminatif, melainkan bila seluruh pandangan hidup seseorang dibentuk oleh ide-ide anti-demokratis dan anti-kemanusiaan.

    Meski kabar baiknya cukup banyak, para ilmuwan tetap waspada. “Kita harus bertanya, seberapa kuat demokrasi bila diuji dari tengahnya sendiri?” ujar Zick.

    Di zona abu-abu

    Tim peneliti menemukan semakin banyak orang berada di wilayah abu-abu — tidak ekstrem, tapi juga tidak teguh mendukung demokrasi. “Jika kita lihat pandangan mereka terhadap isu rasisme dan seksisme, kelompok ini cenderung condong ke penolakan demokrasi ketimbang dukungan,” kata Zick.

    Mereka lebih mudah terpengaruh populisme dan retorika kanan. Yang lebih mengkhawatirkan: kepercayaan terhadap institusi dan prinsip demokrasi menurun tajam.

    Fenomena ini tak lepas dari serangan terus-menerus partai AfD terhadap institusi negara, partai demokratis, dan masyarakat sipil. Dengan dukungan algoritma media sosial, narasi mereka — sering kali disertai gambar buatan kecerdasan buatan (AI) — menyebar luas, menampilkan Jerman seolah berada di tepi kehancuran.

    Akibatnya, banyak media justru ikut terjebak dalam nada panik dan sensasi: apakah masyarakat Jerman akan “tergelincir”?

    Tren autoritarianisme di kalangan muda

    Meski para peneliti menilai alarm semacam itu berlebihan, mereka tetap mencatat tren mengkhawatirkan: pandangan ekstrem kanan meningkat di kalangan muda.

    “Semakin muda usianya, semakin kuat kecenderungan ke arah pandangan ekstrem,” ujar Nico Mokros, salah satu penulis studi dan pakar radikalisme pemuda.

    Mokros menemukan, sebagian anak muda mulai menyerap unsur ideologi nasional-sosialis: keyakinan akan diktator kuat, sentimen antisemit, dan kerinduan pada nasionalisme sempit.

    Yang lebih ironis, di satu sisi mereka menginginkan figur kuat yang bisa memutuskan segalanya, tapi di sisi lain frustrasi karena keputusan hidup mereka diambil orang lain. Frustrasi itu sering berubah menjadi agresi terhadap kelompok minoritas — mencari kambing hitam untuk melampiaskan kemarahan.

    Para peneliti memperingatkan, dinamika ini bisa berujung pada kekerasan dan eksklusi sosial.

    Suara tengah yang tak boleh diabaikan

    Pesan utama dari penelitian ini jelas: suara kelompok tengah harus lebih mendapat ruang dalam wacana publik.

    Menurut Zick, hal itu belum terjadi. “Ketika orang melihat ekstremisme kanan meningkat, tapi negara seolah tak berbuat cukup, kepercayaan terhadap demokrasi menurun,” katanya.

    “Dan di situlah ekstremis serta populis masuk dengan klaim: kami punya solusinya.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Jerman
    Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
    Editor: Yuniman Farid

    Tonton juga video “Erdogan Sekakmat Kanselir Jerman yang Salahkan Hamas Atas Gaza”

    (nvc/nvc)

  • Senin, Komisi Reformasi Polri Akan Gelar Rapat Perdana di Mabes

    Senin, Komisi Reformasi Polri Akan Gelar Rapat Perdana di Mabes

    Senin, Komisi Reformasi Polri Akan Gelar Rapat Perdana di Mabes
    Tim Redaksi
    TANGERANG SELATAN, KOMPAS.com
    – Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri Jimly Asshiddiqie mengatakan, akan menggelar rapat perdana di Mabes Polri, Jakarta, pada Senin (10/11/2025) lusa.
    “Senin besok rapat pertama di
    Mabes Polri
    ,” kata Jimly, saat ditemui di Masjid Asy-Syarif, BSD, Serpong, Tangerang Selatan, Banten (8/11/2025).
    Jimly mengungkapkan, rapat perdana akan digelar untuk menyamakan persepsi antara anggota tim.
    Selain itu, rapat juga akan membahas soal target dan agenda Komisi Percepatan
    Reformasi Polri
    .
    “Kita akan membahas, kita mau pasang target bagaimana, mau (agenda ke depannya),” tegas dia.
    Sebagai ketua, Jimly berharap masing-masing anggota komisi bisa aktif, termasuk untuk menyerap aspirasi rakyat.
    “Supaya tim ini jangan sekadar membuat keputusan, tapi juga bagaimana mengelola aspirasi yang puncaknya kemarahannya tecermin bulan Agustus kemarin,” imbuh dia.
    Dia tidak ingin komisi ini hanya menjadi formalitas serta menyajikan keputusan yang tekstual saja.
    Oleh karenanya, anggota komisi juga harus aktif menyerap
    aspirasi masyarakat
    guna memperbaiki citra Polri.
    “Nah, jadi, jangan hanya rumusan-rumusan tekstual, ya bisa tulis sendiri, tapi kan enggak bisa menyelesaikan masalah karena masalah kita ada di pikiran 280 juta rakyat yang kecewa pada institusi kepolisian kita, kecewa kepada kinerja aparat, dan lain sebagainya,” terang dia.
    Diketahui,
    Komisi Percepatan Reformasi Polri
    baru saja dibentuk oleh Presiden RI Prabowo Subianto di Istana Merdeka, Jakarta, pada Jumat (7/11/2025).
    Adapun komisi ini terdiri atas 10 anggota.
    Jimly Asshiddiqie
    ditunjuk sebagai ketua merangkap anggota.
    Sementara anggotanya adalah Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra; Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Otto Hasibuan; Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian; dan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas.
    Lalu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan periode 2019-2024, Mahfud MD; Penasihat Khusus Presiden bidang Keamanan, Ketertiban Masyarakat, dan Reformasi Kepolisian, Ahmad Dofiri; Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo; Kapolri 2019-2021 Idham Aziz; dan Kapolri 2015-2016 Badrodin Haiti.
    Pembentukan komisi ini tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 122/P Tahun 2025 tentang Pengangkatan Keanggotaan Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ditetapkan pada 7 November 2025.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 13 Tahun di Kursi Sekda Ponorogo, Karier Panjang Agus Pramono Berujung Sorotan KPK

    13 Tahun di Kursi Sekda Ponorogo, Karier Panjang Agus Pramono Berujung Sorotan KPK

    Ponorogo (beritajatim.com) — Tiga belas tahun bukan waktu yang singkat bagi seorang birokrat untuk bertahan di pucuk karier tertinggi aparatur sipil daerah. Nama Agus Pramono, Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Ponorogo, menjadi contoh paling nyata. Sejak tahun 2012, Dia menjadi figur sentral di balik dinamika pemerintahan Bumi Reog. Yakni dengan mendampingi tiga bupati berbeda dan menjadi motor birokrasi lintas rezim.

    Namun, di tahun ke-13 masa jabatannya, namanya justru mencuat bukan karena prestasi kinerja, melainkan karena Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (7/11/2025) sore. Dalam operasi tersebut, KPK mengamankan sejumlah pejabat penting di Ponorogo, termasuk sang Sekda.

    Selama lebih dari satu dekade menjabat, Agus Pram, sapaan akrabnya, dikenal luas sebagai sosok birokrat senior yang meniti karier dari bawah. Dia memegang posisi strategis ketika Ponorogo bertransformasi menjadi daerah dengan sistem keuangan daerah berbasis elektronik dan BLUD di banyak instansi. Stabilitas birokrasi di masa pergantian bupati pun kerap dikaitkan dengan peran “tangan dingin” Agus dalam mengatur roda administrasi.

    Dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tahun 2024 yang diserahkan ke KPK pada 4 Februari 2025, Agus Pramono melaporkan kekayaan total sebesar Rp8,89 miliar, setelah dikurangi utang Rp1,5 miliar dari total aset bruto Rp10,39 miliar. Laporan tersebut telah dinyatakan lengkap secara administrasi oleh KPK.

    Dari data resmi yang diunggah melalui situs elhkpn.kpk.go.id, kekayaan terbesar Agus bersumber dari aset tanah dan bangunan senilai Rp8,87 miliar, tersebar di Kabupaten Ponorogo, Kota dan Kabupaten Madiun, serta Kota Makassar.

    Beberapa di antaranya adalah tanah dan bangunan seluas 355 meter persegi di Ponorogo senilai Rp1,24 miliar, serta tanah 864 meter persegi di Kabupaten Madiun dengan nilai Rp524,9 juta. Ia juga memiliki beberapa properti di Kota Madiun dengan nilai bervariasi antara Rp200 juta hingga Rp700 juta.

    Selain properti, Dia tercatat memiliki alat transportasi dan mesin senilai Rp265,98 juta, termasuk Toyota Jeep tahun 2016 senilai Rp240 juta, serta dua motor jenis Honda CBR 150 dan Honda GL Pro. Adapun kas dan setara kas mencapai Rp1,16 miliar, sementara harta bergerak lain sebesar Rp84,4 juta. Tidak tercantum surat berharga ataupun aset lain di luar kategori tersebut.

    Selama menjabat Sekda, Agus dikenal tak banyak bicara di ruang publik, tetapi berpengaruh dalam setiap kebijakan teknis. Dia menjadi figur yang dikenal dekat dengan para kepala dinas dan menjadi “jembatan administratif” antara Bupati dan jajaran ASN. Namun, ketenangan panjang itu kini terusik setelah namanya muncul dalam daftar pejabat yang diamankan KPK.

    Hingga kini, lembaga antirasuah tersebut belum merinci peran Agus dalam operasi tangkap tangan yang juga menyeret Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko. Namun, publik Ponorogo kini menyoroti perjalanan panjang birokrasi yang ia pimpin.

    “Kalau dihitung dari 2012, berarti sudah 13 tahun. Belum pernah ada Sekda di Ponorogo yang menjabat selama itu,” sebut sumber internal di lingkup Pemkab Ponorogo, Sabtu (8/11/2025).

    Selama masa kepemimpinannya sebagai Sekda, Agus kerap digambarkan sebagai sosok yang piawai dalam menjaga ritme kerja birokrasi. Di bawah pengaruhnya, sejumlah kebijakan reformasi administrasi berjalan relatif stabil. Namun, seiring waktu, panjangnya masa jabatan juga menimbulkan persepsi bahwa terlalu lama berkuasa di satu jabatan bisa menumpulkan sensitivitas terhadap risiko.

    Kini, setelah 13 tahun menjabat, perjalanan panjang Agus Pramono menapaki birokrasi Ponorogo seolah memasuki babak baru yang tak terduga. Dari seorang teknokrat senior yang mengawal 3 bupati, Dia kini berada di persimpangan sejarah birokrasi daerah. Yalni antara dedikasi panjang dan badai integritas yang menanti pembuktian. (end/ian)

  • Peneliti: Jika pahlawan diukur dari dampaknya, Soeharto layak dinilai

    Peneliti: Jika pahlawan diukur dari dampaknya, Soeharto layak dinilai

    “Pembangunan sekolah secara masif pada awal 1970-an, reformulasi struktur perencanaan pembangunan serta modernisasi pertanian pada dekade 1980-an merupakan bagian dari proses nation-building yang membentuk fondasi sosial dan ekonomi Indonesia saat in

    Jakarta (ANTARA) – Wacana mengenai penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Presiden Ke-2 RI Soeharto dinilai perlu ditempatkan dalam kerangka penilaian sejarah yang menyeluruh.

    Peneliti sekaligus Wakil Direktur Intelligence and National Security Studies (INSS) Yusup Rahman Hakim dalam keterangan di Jakarta, Jumat mengatakan pembacaan terhadap kontribusi Soeharto sebaiknya dilakukan berdasarkan dampak kebijakan publik dan pembangunan jangka panjang, bukan semata pada persepsi politik yang terfragmentasi.

    Menurut Yusup, sejumlah kebijakan pada masa pemerintahan Soeharto memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penguatan kapasitas negara, terutama dalam bidang pendidikan dasar, pembangunan administrasi pemerintahan, dan ketahanan pangan.

    “Pembangunan sekolah secara masif pada awal 1970-an, reformulasi struktur perencanaan pembangunan serta modernisasi pertanian pada dekade 1980-an merupakan bagian dari proses nation-building yang membentuk fondasi sosial dan ekonomi Indonesia saat ini,” kata Yusup.

    Ia menyatakan perluasan akses pendidikan dasar saat itu mendorong mobilitas sosial yang lebih luas dan memunculkan kenaikan tingkat literasi penduduk.

    Sementara, keberhasilan mencapai kecukupan pangan pada pertengahan 1980-an memperkuat kemandirian ekonomi desa dan memperbaiki kesejahteraan petani.

    Kendati demikian, Yusup menekankan bahwa catatan kritis pada masa tersebut, seperti pembatasan ruang demokrasi dan praktik korupsi dalam lingkar kekuasaan tetap harus dicatat sebagai bagian integral dari sejarah Indonesia.

    “Pengakuan terhadap kontribusi tidak berarti menghapus kritik. Sejarah harus dicatat lengkap, dengan capaian dan konsekuensinya. Dari sanalah bangsa ini belajar,” ujarnya.

    Yusup melanjutkan bahwa mekanisme penetapan gelar pahlawan nasional sudah memiliki kerangka hukum dan proses verifikasi yang berlapis sehingga diskusi publik mengenai Soeharto sebaiknya dilakukan secara terbuka dan berbasis kajian.

    “Diskusi mengenai Soeharto sebagai pahlawan nasional sah untuk dibahas selama penilaiannya berpijak pada data, bukan sekadar opini yang saling menegasikan,” ujar Yusup.

    Menurutnya, kedewasaan berdemokrasi tercermin ketika masyarakat mampu membaca sejarah secara berimbang, tanpa terjebak glorifikasi maupun penolakan total.

    Adapun Presiden Prabowo Subianto menerima 49 nama calon pahlawan nasional dari Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) Fadli Zon, termasuk ada nama Soeharto dan Presiden Ke-4 RI K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

    Fadli Zon yang juga Menteri Kebudayaan itu menjelaskan dari 49 nama itu, sebanyak 24 nama di antaranya merupakan nama-nama yang masuk daftar prioritas.

    Selain Soeharto dan Gus Dur, tokoh lain yang diusulkan, antara lain aktivis buruh perempuan asal Nganjuk, Jawa Timur, Marsinah; ulama asal Bangkalan Syaikhona Muhammad Kholil; Rais Aam PBNU K.H. Bisri Syansuri; K.H. Muhammad Yusuf Hasyim dari Tebuireng, Jombang; Jenderal TNI (Purn) M. Jusuf dari Sulawesi Selatan; serta Jenderal TNI (Purn) Ali Sadikin dari Jakarta (mantan Gubernur Jakarta).

    Pewarta: Benardy Ferdiansyah
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Sehari Sebelum Ditangkap KPK, Bupati Ponorogo Kumpulkan Pejabat dan DPRD
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        7 November 2025

    Sehari Sebelum Ditangkap KPK, Bupati Ponorogo Kumpulkan Pejabat dan DPRD Surabaya 7 November 2025

    Sehari Sebelum Ditangkap KPK, Bupati Ponorogo Kumpulkan Pejabat dan DPRD
    Editor
    PONOROGO, KOMPAS.com
    – Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko dikabarkan ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Ponorogo, Jawa Timur, pada Jumat (7/11/2025).
    Sehari sebelum ditangkap KPK, Kang Giri, sapaan akrabnya, sempat mengumpulkan pejabat Pemkab dan DPRD
    Ponorogo
    dalam pertemuan di aula Badan Perencanaan Pembangunan, Riset, dan Inovasi Daerah (Bapperinda), pada Kamis (6/11/2025).
    Pertemuan itu sebagai tindak lanjut setelah rombongan Pemkab Ponorogo ke Jakarta menghadiri undangan KPK pada Kamis (23/10/2025).
    Pada pertemuan di Baperinda itu, Sugiri menyebut untuk menyamakan persepsi antara legislatif dan eksekutif dalam memperkuat tata kelola pemerintahan.
    Biasanya DPRD dan Pemkab hanya bertemu pada forum paripurna atau acara resmi tertentu.
    “Namanya pemahaman menyamakan persepsi dalam tata kelola pemerintahan,” ujar Sugiri, Kamis (6/11/2025), seperti dikutip
    Tribun Jatim
    .
    Dalam pertemuan itu pula, Sugiri membahas berbagai aspek penting dalam pemerintahan daerah, mulai dari pengelolaan pokok pikiran (pokir) DPRD, penyaluran hibah daerah, hingga pengadaan barang dan jasa melalui e-katalog.
    Sementara itu, OTT terhadap
    Bupati Ponorogo

    Sugiri Sancoko
    dibenarkan oleh Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto saat dikonfirmasi Kompas.com, Jumat.
    “Benar,” kata Fitroh.
    OTT itu berkaitan dengan mutasi dan promosi jabatan di internal Pemkab Ponorogo.
    “(Kasus) mutasi dan promosi jabatan,” kata Fitroh.
    Sebagian dari artikel ini telah tayang di Tribunjatim-timur.com dengan judul Sehari Sebelum Ditangkap KPK, Bupati Ponorogo Kumpulkan Pejabat dan DPRD
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Bakorwil II Bojonegoro Tekankan Pemanfaatan Hasil Hutan Berkelanjutan untuk Ekonomi Masyarakat

    Bakorwil II Bojonegoro Tekankan Pemanfaatan Hasil Hutan Berkelanjutan untuk Ekonomi Masyarakat

    Bojonegoro (beritajatim.com) – Badan Koordinasi Wilayah Pemerintahan dan Pembangunan (Bakorwil) II Bojonegoro menggelar Rapat Koordinasi Pemanfaatan Hasil Hutan Berkelanjutan guna memperkuat sosial ekonomi masyarakat di kawasan hutan Kabupaten/Kota se-Wilayah Kerja, Kamis (6/11/2025).

    Acara dibuka oleh Kepala Bakorwil II Bojonegoro, Agung Subagyo, yang diwakili Kepala Bidang Sarana Prasarana, Vivit Nurhidayah. Dalam sambutannya, ia menekankan pentingnya keseimbangan antara keberlanjutan lingkungan dan penguatan ekonomi masyarakat sekitar hutan.

    “Kami belum membahas sampai ke sana, kemarin kami baru menyamakan persepsi antara pemerintah pusat, provinsi dan kab/kota dalam penanganan kehutanan sosial,” ujar Vivit, Jumat (7/11/2025), menanggapi rencana pendirian pabrik etanol berbahan baku sorgum yang belum dibahas.

    Vivit menegaskan bahwa pemanfaatan hasil hutan tidak hanya harus menjaga kelestarian ekologis, tetapi juga memberikan ruang bagi masyarakat memperoleh nilai ekonomi secara adil dan berkelanjutan. “Kuncinya adalah tata kelola yang tepat dan kemitraan yang kuat di tingkat tapak,” tambahnya.

    Narasumber dari Koordinator Jabatan Fungsional Pengawasan dan Perlindungan Hutan KHDTK Universitas Brawijaya, Daru Adianto, menekankan pentingnya kolaborasi multipihak dalam pengembangan usaha berbasis kawasan hutan. Menurutnya, keberhasilan pengelolaan hutan sangat bergantung pada sinergi antara masyarakat, perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan dunia usaha.

    Tahapan pengembangan usaha hasil hutan bukan kayu dilakukan melalui riset pasar, pengembangan produk, uji coba skala kecil, hingga penyempurnaan model secara berkelanjutan. “Setelah memahami karakter lokal, kita rancang model usaha, uji, evaluasi, dan perbaiki secara konsisten,” jelas Daru.

    Dalam forum tersebut, juga dibahas pendampingan kelompok masyarakat pengelola hutan, peluang pengembangan komoditas unggulan berbasis kawasan, serta opsi perluasan akses pemasaran melalui kemitraan dengan berbagai pihak.

    Rapat koordinasi ini diharapkan menjadi referensi dalam penyusunan program dan koordinasi lintas sektor untuk memastikan pemanfaatan hasil hutan berkelanjutan di wilayah kerja Bakorwil II Bojonegoro dapat memberi manfaat ekonomi sekaligus menjaga kelestarian lingkungan. [lus/beq]

  • Presiden Bukan Pahlawan!

    Presiden Bukan Pahlawan!

    Presiden Bukan Pahlawan!
    Peneliti & Assessor pada IISA Assessment Consultancy & Research Centre
    ADA
    satu usulan yang belakangan ini kembali muncul ke permukaan: semua presiden Indonesia sebaiknya otomatis diberi gelar pahlawan.
    Sekilas terdengar masuk akal. Bukankah mereka pernah memimpin bangsa ini? Bukankah jabatan tertinggi layak mendapat penghormatan tertinggi?
    Namun, di balik logika yang tampak mulia itu tersembunyi kekeliruan yang tak bisa dibiarkan: kita mencampuradukkan otoritas dengan integritas.
    Kita menganggap bahwa karena seseorang pernah menjadi
    presiden
    , maka ia pasti layak disebut pahlawan.
    Padahal, Undang-Undang No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan menetapkan syarat yang jauh lebih dalam: integritas moral, keteladanan, perilaku baik, dan bebas dari hukuman pidana berat.
    Mengabaikan syarat-syarat ini demi memudahkan proses bukanlah bentuk penghormatan, melainkan bentuk amnesia kolektif yang disengaja.
    Kita ingin mengenang tanpa mengingat, memuliakan tanpa mengkaji. Kita ingin sejarah yang nyaman, bukan sejarah yang jujur.
    Setiap presiden Indonesia adalah figur yang kompleks. Soekarno adalah proklamator, tapi juga membubarkan DPR dan menerima status presiden seumur hidup.
    Soeharto dikenal sebagai “Bapak Pembangunan”, tapi warisannya dibayangi pelanggaran HAM dan praktik KKN yang diakui secara resmi.
    Habibie membuka ruang demokrasi, tetapi masa jabatannya diwarnai krisis multidimensi. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dijuluki “Bapak Pluralisme”, tapi kepemimpinannya memicu ketegangan politik.
    Susilo Bambang Yudhoyono mendamaikan Aceh, tetapi dikritik atas konflik antara KPK dan Polri. Jokowi membangun infrastruktur masif, tapi mendapat “Rapor Merah” dari mahasiswa atas regresi demokrasi.
    Obsesi terhadap pemimpin sempurna adalah refleksi psikologis yang belum dewasa. Kita ingin pahlawan yang bersih dari cela, padahal sejarah tidak pernah sesederhana itu.
    Kepahlawanan bukanlah hasil jabatan, melainkan hasil evaluasi kritis terhadap jasa dan kontroversi. Mengkultuskan presiden sebagai pahlawan tanpa syarat adalah bentuk pelarian dari kenyataan bahwa pemimpin adalah manusia yang penuh paradoks.
    Jika kita ingin menjadi bangsa yang dewasa, kita harus berani berkata: jabatan bukan jaminan jasa. Presiden bukan otomatis pahlawan. Titik.
    Jika elite politik menawarkan logika otoritas, ruang digital menyodorkan jebakan lain:
    bandwagon fallacy
    . Kita menganggap sesuatu benar karena populer.
    Di era algoritma, kita menyaksikan runtuhnya figur “pahlawan monolitik” yang dulu dinarasikan negara.
    Seperti diungkap Jean-François Lyotard, kita hidup di zaman “ketidakpercayaan terhadap metanarasi”. Narasi pahlawan sempurna adalah metanarasi yang telah runtuh.
    Roland Barthes dalam “The Death of the Author” menekankan bahwa makna kini ditentukan oleh pembaca, bukan penulis. Dalam konteks digital, “pembaca” adalah publik yang dimediasi algoritma.
    Namun, algoritma tidak netral. Ia dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan, bukan kebenaran.
    Konten yang sederhana, emosional, dan nostalgik—seperti meme “Piye kabare? Isih penak jamanku, toh?”—lebih mudah viral daripada laporan pelanggaran HAM yang kompleks dan traumatis. Ini bukan ingatan otentik, melainkan produk amnesia historis yang dimediasi teknologi.
    Ketika jumlah
    likes
    dan
    shares
    dianggap sebagai validasi sejarah, kita telah keliru menyamakan legitimasi algoritmik dengan legitimasi historis.
    Akibatnya, memori kolektif terfragmentasi ke dalam perang narasi yang tak kunjung usai. Kita tidak lagi mendidik memori, melainkan memuja popularitas.
    Fenomena ini bukan sekadar soal nostalgia. Ia adalah cerminan dari cara kita mengonsumsi sejarah: cepat, dangkal, dan emosional.
    Kita lebih mudah tersentuh oleh meme daripada oleh arsip. Kita lebih percaya pada viralitas daripada pada verifikasi. Dan dalam proses itu, kita kehilangan kemampuan untuk membedakan antara kenangan dan kenyataan.
    Ironisnya, artikel ini pun berisiko menjadi bagian dari algoritma yang ia kritik. Namun, lebih baik menjadi virus reflektif daripada menjadi vaksin yang tak pernah disuntikkan.
    Untuk keluar dari jebakan logika dan algoritma ini, kita membutuhkan reformasi sistemik yang membangun kedewasaan historis. Tiga langkah utama dapat ditempuh:
    Pertama, Reformasi Institusional. Proses pemberian gelar pahlawan harus transparan dan deliberatif.
    Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan perlu bertransformasi dari lembaga administratif-seremonial menjadi lembaga edukatif-deliberatif.
    Setiap kandidat kontroversial harus disertai publikasi neraca sejarah yang utuh—kajian komprehensif atas jasa dan kontroversinya. Bukan hanya daftar pujian, tetapi juga daftar kritik. Bukan hanya glorifikasi, tetapi juga evaluasi.
    Bayangkan jika setiap pengajuan gelar pahlawan disertai dengan dokumen sejarah yang jujur dan lengkap. Ini bukan sekadar penghargaan, tetapi pendidikan publik.
    Kita tidak hanya memberi gelar, tetapi juga memberi ruang bagi bangsa untuk belajar dari sejarahnya sendiri.
    Kedua, Reformasi Edukasional. Kurikulum sejarah nasional harus mengadopsi pendekatan
    Critical Historical Thinking
    .
    Sejarah tidak boleh lagi diajarkan sebagai hafalan nama dan tanggal. Ia harus menjadi metode investigasi yang mengajarkan analisis terhadap ambivalensi dan bukti yang saling bertentangan.
    Sejarawan Hilmar Farid menekankan pentingnya menjadi bangsa yang “tidak takut pada sejarah”. Ini berarti berani menghadapi sisi gelap masa lalu, bukan menutupinya demi kenyamanan politik atau nostalgia.
    Anak-anak kita harus diajak untuk bertanya, bukan hanya menghafal. Mereka harus diajak untuk membaca sumber primer, membandingkan narasi, dan memahami bahwa sejarah adalah arena interpretasi.
    Ketiga, Reformasi Kognitif Publik. Kita memerlukan gerakan nasional Literasi Digital Kritis. Ini bukan sekadar cek fakta, tetapi edukasi tentang cara kerja algoritma,
    echo chamber
    , dan bias kognitif.
    Publik harus memahami bagaimana algoritma mengeksploitasi emosi dan preferensi untuk membentuk persepsi sejarah.
    Ketahanan kognitif kolektif adalah benteng terakhir melawan
    bandwagon fallacy.
    Tanpa itu, kita akan terus terjebak dalam narasi viral yang menyesatkan dan kehilangan kemampuan untuk mengevaluasi sejarah secara kritis.
    Gerakan ini harus melibatkan sekolah, media, komunitas, dan platform digital. Kita perlu membangun budaya digital yang tidak hanya cepat dan interaktif, tetapi juga reflektif dan bertanggung jawab.
    Kita perlu mengajarkan bahwa tidak semua yang viral itu benar, dan tidak semua yang populer itu pantas dikenang.
    Kepahlawanan sejati tidak lahir dari jabatan atau viralitas. Ia lahir dari keberanian kolektif untuk mengingat secara jujur dan mengevaluasi secara kritis.
    Tugas kita bukan mencari pahlawan sempurna, melainkan menjadi bangsa yang dewasa—yang mampu belajar dari pemimpin yang tidak sempurna.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Wali kota perintahkan jajarannya sigap beri pertolongan kepada warga

    Wali kota perintahkan jajarannya sigap beri pertolongan kepada warga

    Jakarta (ANTARA) – Wali Kota Jakarta Selatan Muhammad Anwar memerintahkan jajarannya untuk sigap dan segera memberikan pertolongan kepada warga di wilayah tersebut yang terdampak bencana dan musibah, seperti pohon tumbang.

    “Seperti yang kita ketahui, di Jakarta Selatan akhir-akhir ini sering terjadi pohon tumbang dan banjir, maka itu saya amanahkan juga untuk pemangkasan pohon secara merata dan sigap memberikan pertolongan warga terdampak bencana,” katanya.

    Anwar dalam pengerahan kepada pejabat baru di Ruang Gelatik Utama Kantor Wali Kota Jakarta Selatan, Kamis, mengingatkan kondisi saat ini, terutama terkait kebersihan lingkungan, banjir, pohon tumbang dan sebagainya yang harus dihadapi dengan sigap oleh seluruh unsur pemerintah.

    Dia juga meminta 151 pejabat yang baru dilantik di wilayahnya untuk menjaga kepercayaan masyarakat dengan berkinerja baik dan berintegritas.

    Dia mengimbau agar pejabat baru jangan pernah merasa lebih dan berkuasa atas jabatan yang diamanahkan.

    Sebaliknya, jangan merasa hina bila berganti jabatan. “Mutasi dan promosi jabatan adalah hal biasa yang menjadi kebutuhan organisasi,” katanya.

    Anwar mengatakan, pengarahan ini bertujuan untuk menyamakan persepsi dan langkah ke depan dalam pelayanan terhadap masyarakat DKI Jakarta, khususnya di Jakarta Selatan (Jaksel).

    Dia menyebutkan beberapa poin penting dalam pengarahan. Salah satunya yakni terkait integritas dan akuntabilitas yang mutlak.

    Kemudian, adaptasi dengan tugas, tanggung jawab, inovasi, efisiensi dalam pelayanan, kolaborasi dan solidaritas tim serta orientasi pada hasil.

    “Saya yakin dan percaya bahwa bapak dan ibu adalah orang-orang pilihan yang memiliki kualifikasi dan integritas untuk mengemban tugas ini,” katanya.

    Anwar menambahkan, untuk menjaga pelayanan publik tetap optimal, seluruh jajaran diminta untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya.

    Hal ini sebagaimana tugas, pokok dan fungsi yang telah ditetapkan serta sesuai ketentuan peraturan yang berlaku.

    “Kita sebagai pamong harus siap dalam kondisi apapun, namun juga harus meningkatkan kehati-hatian. Bekerjalah sesuai koridor hukum dan batasan pelayanan yang jangan sampai kita melanggar aturan,” katanya.

    Dengan demikian, Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan berkomitmen menjaga amanah, transparansi dan kepercayaan ini di tengah tuntutan masyarakat.

    Diharapkan setiap langkah dan keputusan dapat dipertanggungjawabkan, baik secara administratif maupun moral sesuai aturan.

    Pewarta: Luthfia Miranda Putri
    Editor: Sri Muryono
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.