Organisasi: PDSKJI

  • Darurat Kesehatan Mental Gen Z, 720 Ribu Anak Muda Meninggal Bunuh Diri

    Darurat Kesehatan Mental Gen Z, 720 Ribu Anak Muda Meninggal Bunuh Diri

    Jakarta

    CATATAN: Depresi dan munculnya keinginan bunuh diri bukanlah hal sepele. Kesehatan jiwa merupakan hal yang sama pentingnya dengan kesehatan tubuh atau fisik. Jika gejala depresi semakin parah, segeralah menghubungi dan berdiskusi dengan profesional seperti psikolog, psikiater, maupun langsung mendatangi klinik kesehatan jiwa. Layanan konsultasi kesehatan jiwa juga disediakan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) di laman resminya yaitu www.pdskji.org. Melalui laman organisasi profesi tersebut disediakan pemeriksaan secara mandiri untuk mengetahui kondisi kesehatan jiwa seseorang.

    Data mengkhawatirkan diungkap Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait angka bunuh diri. Mereka mencatat setidaknya 720 ribu generasi muda kehilangan nyawa karena bunuh diri setiap tahun.

    Bunuh diri bahkan dikategorikan sebagai penyebab kematian tertinggi ketiga anak muda, dengan usia terbanyak antara 15-29 tahun.

    WHO mencatat faktor risiko bunuh diri lainnya meliputi kondisi kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi, rasa kehilangan, kesepian, diskriminasi, perselisihan hubungan, masalah keuangan, nyeri dan penyakit kronis, kekerasan, pelecehan, serta konflik atau keadaan darurat kemanusiaan lainnya.

    Depresi merupakan penyebab utama disabilitas pada remaja. Depresi dapat menjadi penyebab bunuh diri, dan
    bunuh diri merupakan penyebab ke-3 kematian pada remaja di dunia.

    Kebanyakan dari gangguan psikologis tersebut tidak disadari dan tidak mendapatkan penanganan yang tepat.

    Survei mengenai kesehatan mental pada remaja di Indonesia tahun 2022, mendapatkan hasil 5,5 persen remaja
    usia 10-17 tahun mengalami gangguan mental. Sebanyak 1 persen remaja mengalami depresi, 3,7 persen cemas, post traumatic syndrome disorder (PTSD) 0,9 persen, dan attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD) sebanyak 0,5 persen.

    Stigma seputar kondisi kesehatan mental dan bunuh diri membuat banyak orang yang berpikir untuk bunuh diri tidak mencari bantuan. Bunuh diri dan percobaan bunuh diri memiliki efek berantai yang berdampak pada keluarga, teman, kolega, komunitas, dan masyarakat.

    Beberapa orang menganggap bunuh diri itu egois, tetapi penggambaran ini keliru dan merendahkan, kata para ahli, karena orang yang mencoba atau bunuh diri sering kali ingin mengakhiri rasa sakit mereka atau menganggap diri mereka sebagai beban.

    Tanda-tanda peringatan bunuh diri

    Dikutip dari laman CNN, para ahli dan peneliti kesehatan mental masih belum menemukan cara untuk memprediksi secara pasti siapa yang berisiko mencoba bunuh diri, dan apakah atau kapan orang yang rentan akan melakukannya.

    Hal ini karena stresor yang dapat menyebabkan bunuh diri bagi sebagian orang tidak memiliki dampak yang sama pada orang lain. Selain itu, tidak selalu ada jangka waktu yang panjang di mana seseorang memiliki kecenderungan bunuh diri dan bertindak dengan cara yang menandakan perlunya bantuan.

    Namun, ada beberapa situasi di mana seseorang yang memiliki kecenderungan bunuh diri dan berencana untuk jangka waktu yang lama akan menunjukkan perubahan perilaku atau emosional. Perubahan-perubahan tersebut, serta faktor-faktor risiko lainnya, dapat mencakup hal-hal berikut:

    Perilaku tidak biasa dengan barang-barang yang berpotensi mematikan seperti senjata api atau pilMemberikan barang-barang berhargaTidur berlebihan atau kurang tidurMenarik diri atau mengisolasi diriMabuk berat atau mengemudi secara ugal-ugalanMembicarakan keinginan untuk mati, baik melalui bunuh diri maupun cara lainKesulitan mencari alasan untuk hidupMerasa seperti beban, tidak dibutuhkan, atau merasa tidak memiliki tempat di mana pun atau bersama siapa punMerasa putus asaMasalah penyalahgunaan zatRiwayat traumaMengalami gangguan mental seperti depresi, kecemasan, skizofrenia, dan gangguan kepribadian, terutama jika tidak menerima perawatanRiwayat bunuh diri pribadi atau keluargaAkses mudah ke sarana yang berpotensi fatalKehilangan minat dalam beraktivitas atau bersekolah

    Halaman 2 dari 2

    (kna/kna)

  • Data WHO Ungkap Bunuh Diri Jadi Salah Satu Pemicu Utama Kematian Anak Muda

    Data WHO Ungkap Bunuh Diri Jadi Salah Satu Pemicu Utama Kematian Anak Muda

    Jakarta

    CATATAN: Depresi dan munculnya keinginan bunuh diri bukanlah hal sepele. Kesehatan jiwa merupakan hal yang sama pentingnya dengan kesehatan tubuh atau fisik. Jika gejala depresi semakin parah, segeralah menghubungi dan berdiskusi dengan profesional seperti psikolog, psikiater, maupun langsung mendatangi klinik kesehatan jiwa. Layanan konsultasi kesehatan jiwa juga disediakan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) di laman resminya yaitu www.pdskji.org. Melalui laman organisasi profesi tersebut disediakan pemeriksaan secara mandiri untuk mengetahui kondisi kesehatan jiwa seseorang.

    Lebih dari 1 miliar orang di dunia hidup dengan gangguan kesehatan mental, menurut data terbaru yang dirilis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Kondisi seperti kecemasan dan depresi menimbulkan beban besar, baik secara manusiawi maupun ekonomi.

    Meski banyak negara telah memperkuat kebijakan dan program kesehatan mental, WHO menyebut investasi dan tindakan yang lebih besar masih dibutuhkan secara global untuk meningkatkan layanan yang melindungi dan memajukan kesehatan mental masyarakat.

    Gangguan kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi sangat umum terjadi di semua negara dan komunitas, memengaruhi orang dari segala usia dan tingkat pendapatan. Kondisi ini menjadi penyebab terbesar kedua dari disabilitas jangka panjang, berkontribusi pada hilangnya kualitas hidup sehat.

    Dampaknya juga meningkatkan biaya perawatan kesehatan bagi individu dan keluarga, sekaligus menyebabkan kerugian ekonomi yang besar di seluruh dunia.

    Adapun temuan tersebut tertuang dalam dua laporan terbaru, World Mental Health Today dan Mental Health Atlas 2024, yang dirilis menjelang Pertemuan Tingkat Tinggi PBB tentang penyakit tidak menular dan kesehatan mental di New York, 25 September 2025.

    “Transformasi layanan kesehatan mental adalah salah satu tantangan kesehatan masyarakat paling mendesak. Investasi pada kesehatan mental berarti investasi pada manusia, komunitas, dan ekonomi. Tidak ada negara yang bisa mengabaikannya,” tegas Direktur Jenderal WHO, Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, dikutip dari laman resmi WHO, Kamis (4/9/2025).

    Laporan ini juga menunjukkan, meskipun prevalensi gangguan kesehatan mental dapat berbeda menurut jenis kelamin, perempuan secara keseluruhan lebih terdampak. Gangguan kecemasan dan depresi menjadi jenis yang paling umum, baik pada laki-laki maupun perempuan.

    Bunuh Diri Jadi Penyebab Kematian Utama di Kalangan Anak Muda

    Bunuh diri tetap menjadi masalah serius, merenggut sekitar 727.000 jiwa hanya pada tahun 2021. Bunuh diri merupakan salah satu penyebab utama kematian pada anak muda di seluruh negara dan lapisan sosial-ekonomi.

    Meski sudah ada upaya global, kemajuan dalam menurunkan angka kematian akibat bunuh diri masih jauh dari target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) PBB, yaitu penurunan sepertiga angka bunuh diri pada 2030. Dengan tren saat ini, diperkirakan penurunan hanya akan mencapai 12 persen pada tenggat tersebut.

    Dampak ekonomi gangguan kesehatan mental juga sangat besar. Selain biaya perawatan yang tinggi, kerugian tidak langsung, khususnya akibat hilangnya produktivitas, jauh lebih besar. Hanya dari depresi dan kecemasan saja, ekonomi global diperkirakan kehilangan sekitar 1 triliun dolar AS setiap tahunnya.

    Temuan-temuan ini menegaskan perlunya investasi berkelanjutan, prioritas yang lebih kuat, serta kolaborasi lintas sektor untuk memperluas akses terhadap layanan kesehatan mental, mengurangi stigma, dan mengatasi akar penyebab gangguan kesehatan mental.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Bahaya Self-diagnosis Kesehatan Mental Lewat Informasi di Medsos”
    [Gambas:Video 20detik]
    (suc/kna)

  • Kemenkes Buka Data, 1 dari 10 Anak Sekolah Pernah Coba Bunuh Diri

    Kemenkes Buka Data, 1 dari 10 Anak Sekolah Pernah Coba Bunuh Diri

    Jakarta

    CATATAN: Depresi dan munculnya keinginan bunuh diri bukanlah hal sepele. Kesehatan jiwa merupakan hal yang sama pentingnya dengan kesehatan tubuh atau fisik. Jika gejala depresi semakin parah, segeralah menghubungi dan berdiskusi dengan profesional seperti psikolog, psikiater, maupun langsung mendatangi klinik kesehatan jiwa. Layanan konsultasi kesehatan jiwa juga disediakan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) di laman resminya yaitu www.pdskji.org. Melalui laman organisasi profesi tersebut disediakan pemeriksaan secara mandiri untuk mengetahui kondisi kesehatan jiwa seseorang.

    Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin menyoroti kondisi kesehatan anak-anak usia sekolah di Indonesia, terutama terkait kesehatan mental. Temuan ini didapat dari program Cek Kesehatan Gratis (CKG) yang telah dilakukan di 72 Sekolah Rakyat berasrama di bawah naungan Kementerian Sosial. Hingga saat ini, lebih dari 7.000 anak telah diperiksa.

    Berdasarkan hasil CKG, Menkes menyebut banyak anak sekolah mengalami gangguan kecemasan hingga depresi, atau menurut data sekitar 2 persen atau 1 dari 50 anak usia 15-24 tahun mengalami depresi.

    “Karena banyak selama ini tidak bisa mengidentifikasi kalau ada masalah kejiwaan masalah kesehatan jiwa di anak-anak kita,” ujarnya dalam konferensi pers terkait Kick off Cek Kesehatan Gratis Sekolah, Kamis (31/7/2025).

    Menkes mengatakan, salah satu faktor yang berkontribusi terhadap tingginya masalah kesehatan mental pada anak-anak adalah penggunaan gawai (gadget) yang berlebihan, yang dapat meningkatkan risiko kecemasan.

    Temuan lain yang mengkhawatirkan, 1 dari 10 peserta didik usia 13-17 tahun dilaporkan pernah melakukan percobaan bunuh diri lebih dari satu kali dalam 12 bulan terakhir sebelum survei dilakukan.

    Karena itu, Menkes berharap pemeriksaan kesehatan jiwa bisa menjadi langkah preventif untuk mencegah masalah yang lebih serius di masa depan.

    “Ternyata cukup banyak yang mengalami kecemasan, depresi, mungkin karena melihat gadget, sosial media, dan segala macam, nah itu kita mulai ukur,” lanjutnya lagi.

    (suc/kna)

  • Singapura Krisis Kesehatan Mental, 1 dari 4 Remaja Pernah Lukai Diri Sendiri

    Singapura Krisis Kesehatan Mental, 1 dari 4 Remaja Pernah Lukai Diri Sendiri

    Jakarta

    CATATAN: Depresi dan munculnya keinginan bunuh diri bukanlah hal sepele. Kesehatan jiwa merupakan hal yang sama pentingnya dengan kesehatan tubuh atau fisik. Jika gejala depresi semakin parah, segeralah menghubungi dan berdiskusi dengan profesional seperti psikolog, psikiater, maupun langsung mendatangai klinik kesehatan jiwa. Layanan konsultasi kesehatan jiwa juga disediakan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) di laman resminya yaitu www.pdskji.org. Melalui laman organisasi profesi tersebut disediakan pemeriksaan secara mandiri untuk mengetahui kondisi kesehatan jiwa seseorang.

    Sebuah penelitian terbaru mengungkapkan bahwa satu dari empat anak muda mengaku pernah melukai diri setidaknya satu kali dalam hidup mereka. Ini mengungkap prevalensi dan pola perilaku melukai diri sendiri tanpa bunuh diri atau self injury without suicidal intent (NSSI) di kalangan anak muda di Singapura.

    NSSI biasanya mencakup melukai diri sendiri (cutting), membakar diri, memukul, atau menimbulkan bahaya fisik lainnya.

    Penelitian tersebut menemukan bahwa perilaku NSSI rata-rata dilakukan oleh anak usia 14 tahun. Sementara pada pria, puncak kedua perilaku tersebut terjadi pada usia sekitar 18 tahun.

    Hasil Penelitian

    NSSI berulang, yang didefinisikan sebagai setidaknya lima kejadian melukai diri sendiri, dilaporkan oleh 11,6 persen responden.

    Metode melukai diri sendiri yang paling umum dalam penelitian tersebut adalah cutting, yang dilakukan hampir 13,5 persen anak muda. Hal ini diikuti dengan menggaruk, memukul diri sendiri, dna membenturkan kepala mereka ke sesuatu.

    Studi yang dipublikasi pada Maret itu juga mengambil data dari National Youth Mental Health Study dengan 2.600 peserta berusia 15 hingga 35 tahun. Studi nasional tersebut dilakukan oleh Institute of Mental Health (IMH).

    Ketua dewan medis di IMH, Dr Swapna Verma, mengatakan bahwa NSSI bukanlah gangguan mental, melainkan perilaku yang sering kali menandakan masalah yang mendasarinya.

    “Anak muda mungkin melakukan tindakan menyakiti diri sendiri sebagai cara untuk mengatasi emosi atau tekanan yang luar biasa yang tidak dapat mereka atasi dengan cara yang lebih sehat,” jelas Dr Swapna dikutip dari The Straits Times.

    “Bagi sebagian orang, tindakan ini memberikan kelegaan sementara dari perasaan yang kuat, seperti kesedihan, kemarahan, kecemasan, atau mati rasa. Yang lain mungkin menggunakannya untuk mengkomunikasikan tekanan,” lanjutnya.

    Studi tersebut menyoroti beberapa faktor risiko yang terkait dengan perilaku melukai diri.

    Dilaporkan usia orang muda yang rentan melukai diri lebih tinggi adalah 15 hingga 29 tahun yang berpendidikan rendah. Hal ini juga dilakukan pada mereka yang mengalami gejala depresi dan kecemasan parah, atau sangat parah.

    Perilaku NSSI juga dua kali lebih mungkin dilakukan oleh mereka yang tidak puas dengan citra tubuhnya.

    “Diduga individu yang tidak puas dengan tubuhnya mengembangkan sikap acuh tak acuh dalam melindunginya, bersamaan dengan meningkatnya toleransi terhadap rasa sakit,” beber Kepala peneliti senior IMH Sherilyn Chang yang terlibat dalam studi.

    “Ketidakpedulian dan sikap acuh tak acuh terhadap tubuhnya tersebut memudahkan individu terlibat dalam perilaku melukai diri sendiri saat mereka menghadapi tekanan emosional yang intens.”

    Melihat hal ini, para peneliti dari studi tersebut menekankan pentingnya melatih orang-orang di sekolah, seperti guru dan konselor untuk mengenali dan menanggapi tanda-tanda melukai diri sendiri dengan tepat.

    Mereka juga menyerukan banyak program pencegahan, seperti program untuk meningkatkan ketahanan pada anak muda atau mengajarkan strategi penanganan yang lebih sehat untuk membantu mereka mengelola emosi.

  • Cerita Perempuan yang Nyawanya ‘Diselamatkan’ Seporsi Mie Kari

    Cerita Perempuan yang Nyawanya ‘Diselamatkan’ Seporsi Mie Kari

    Jakarta

    CATATAN: Depresi dan munculnya keinginan bunuh diri bukanlah hal sepele. Kesehatan jiwa merupakan hal yang sama pentingnya dengan kesehatan tubuh atau fisik. Jika gejala depresi semakin parah, segeralah menghubungi dan berdiskusi dengan profesional seperti psikolog, psikiater, maupun langsung mendatangai klinik kesehatan jiwa. Layanan konsultasi kesehatan jiwa juga disediakan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) di laman resminya yaitu www.pdskji.org. Melalui laman organisasi profesi tersebut disediakan pemeriksaan secara mandiri untuk mengetahui kondisi kesehatan jiwa seseorang.

    Bagi Melati (bukan nama sebenarnya), kehidupan pernah membawanya ke titik paling rendah dalam hidup. Tidak pernah terbayangkan olehnya, bahwa ada suatu masa dirinya akan ‘berdiri’ di antara hidup dan mati.

    “Aku bahkan udah nulis catatan bundir (bunuh diri) dan narik semua uang di ATM buat bayar utang kalo ada yang merasa pernah diutangi. Udah nge-gantung beberapa menit sampai kepala, tenggorokan rasanya mau remuk. Tiba-tiba talinya lepas karena aku nggak pandai bikin simpul,” tulis Melati di media sosial X, dikutip detikcom atas izin yang bersangkutan, Jumat (13/6/2025).

    Kehidupan yang tak berjalan seperti apa yang dimau Melati, membuatnya ingin mencoba mengakhiri hidup sekali lagi. Namun, sepertinya Tuhan sedang mencoba membuat gadis itu bisa bertahan. Percobaannya, kembali tak berhasil.

    “Nyoba lagi tapi kali ini kayunya yang patah karena akunya terlalu berat mungkin. Terus nangis, hidup udah susah mau mati pun susah,” tulisnya.

    Di antara kekecewaan dan kesedihan tersebut, Melati ingat satu hal: makanan yang membuat dunianya kembali baik-baik saja.

    “Akhirnya ke dapur, masak mie kari spesial pake cabe empat biji (aku gak suka makanan yang terlalu pedes). Habis makan terus bobo,” tulisnya.

    Bagi sebagian orang, semangkuk mi kari mungkin hanyalah makanan biasa yang disantap untuk mengganjal lapar. Bagi Melati, lebih dari itu, aroma kari dan kenyalnya mi adalah titik balik.

    “Sampek sekarang lupa kalo kemaren udah se gak peduli itu sama hidup. Bahkan nggak peduli kalopun harus masuk neraka karena bundir. Rasanya yang kemarin menggantung di langit-langit kamar itu bukan aku,” tulisnya.

    Dari kejadian tersebut, Melati mulai menemukan kebahagiaan-kebahagiaan kecil dalam hidupnya. Seperti kucingnya yang melahirkan empat anak-anak lucu.

    Melati mulai bersemangat kembali dalam hidup dan tidak meremehkan setiap perjuangan yang dilakukannya dalam setiap hembusan napas.

    “Thanks for the love and supports ya teman teman. Buat yang sudah berbagi kisahnya juga terima kasih karena telah memilih bertahan. Aku tau tindakan aku kemarin bodoh banget dan tidak layak ditiru. Wish u all have a good day!” tulisnya.

    NEXT: Survival Instinct di Balik Tindakan Bunuh Diri

    Psikolog dari Ohana Space, Veronica Adesla mengatakan depresi memang menjadi salah satu fakto mengapa seseorang sampai nekat ingin mengakhiri hidup.

    “Ada namanya major depressive disorder (MDD), orang yang udah masuk dan tingkatannya parah, akan ada action-nya,” kata Veronica saat dihubungi detikcom, Jumat (13/6/2025).

    “Mulai dari keinginan untuk mengakhiri hidup, kemudian memikirkan caranya, mencari tahu cara-caranya, sampai kemudian perilaku yang dilakukan untuk mengakhiri hidup,” lanjutnya.

    Menurut Veronica, ada satu ‘kunci’ bernama survival instinct atau naluri bertahan hidup. Hal-hal kecil seperti makanan favorit, ingat kepada orang-orang terkasih, hingga ketakutan-ketakutan biasanya menjadi penentu di momen antara hidup dan mati tersebut.

    “Biasanya di saat critical, insting untuk hidup ini teraktivasi bisa karena banyak hal. Misal, ‘ohh kalau ini aku lakukan dan tidak berhasil, aku malah menambah beban orang lain, kalau aku jadi cacat bagaimana?’,” kata Veronica.

    “Atau kemudian ada orang yang tiba-tiba menghubungi, dan kemudian dia merasa tidak sendiri. Kalau dia memaknai, ini berarti Tuhan nggak mau aku meninggal, masih ingin aku hidup,” sambungnya.

    Segera Cari Pertolongan

    Veronica melanjutkan, kepada siapa-siapa saja yang memiliki niat untuk mengakhiri hidup, bisa segera mencari bantuan. Baik itu ke psikolog atau orang-orang yang dipercaya.

    “Carilah orang yang memang cukup bisa dipercaya, orang yang nggak judgemental, orang yang dia nyaman untuk diajak bicara. Kompeten, maksudnya tidak menghakimi, dan mungkin bisa memberikan pemahanan,” katanya.

    “Mencari penguatan dari sisi spiritual itu boleh banget. Bahwa dia menjalani kehidupan ini nggak sendirian, bahwa Allah tuh ternyata baik loh,” tutupnya.

    Simak Video “Video Laura Theux Alami Baby Blues gegara Baca Komentar Netizen “
    [Gambas:Video 20detik]

  • Kemenkes Buka Data, 1 dari 10 Anak Sekolah Pernah Coba Bunuh Diri

    Viral Pria Pamit Bunuh Diri Ditemukan Makan Soto, Psikolog Soroti Survival Instinct

    Jakarta

    CATATAN: Depresi dan munculnya keinginan bunuh diri bukanlah hal sepele. Kesehatan jiwa merupakan hal yang sama pentingnya dengan kesehatan tubuh atau fisik. Jika gejala depresi semakin parah, segeralah menghubungi dan berdiskusi dengan profesional seperti psikolog, psikiater, maupun langsung mendatangai klinik kesehatan jiwa. Layanan konsultasi kesehatan jiwa juga disediakan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) di laman resminya yaitu www.pdskji.org. Melalui laman organisasi profesi tersebut disediakan pemeriksaan secara mandiri untuk mengetahui kondisi kesehatan jiwa seseorang.

    Warga Kretek, Bantul, belakangan digegerkan dengan seorang pria yang berencana bunuh diri. Namun, setelah ditelusuri oleh pihak kepolisian, mereka justru menemukan pria tersebut sedang sarapan soto dengan kondisi sehat.

    Sebelumnya, pria tersebut menuliskan sebuah surat ‘perpisahan’ kepada keluarganya. Akibat tekanan kehidupan, dirinya mengatakan ingin mengakhiri hidup dengan cara melompat dari atas Jembatan Kretek I.

    ‘*** (tertulis nama dan alamat). Tolong yang membaca surat ini beri tahu keluarga saya. Saya sengaja loncat dari jembatan ini. Saya sudah tidak layak hidup. Tolong yang baca ini panggil Tim SAR buat nemuin jasad saya’

    Kasi Humas Polres Bantul, AKP I Nengah Jeffry mengatakan bahwa kejadian bermula saat warga menemukan satu unit motor bernomor polisi AB 3347 TT di sekitar Jembatan Kretek I, Minggu (8/6) pukul 23.30 WIB, beserta selembar kertas berisi pesan ‘perpisahan’.

    “Petugas sudah menghubungi pihak keluarga, dan telah dilakukan olah TKP juga. Hasilnya ditemukan kejanggalan terkait korban lompat ke sungai,” kata Jeffry saat dihubungi wartawan, dikutip dari detikJogja, Jumat (13/6/2025).

    Kasus ini juga menjadi sorotan warganet yang menyinggung hal-hal kecil bisa ‘menyelamatkan’ nyawa seseorang, termasuk makan soto.

    Menanggapi kasus tersebut, Psikolog dari Ohana Space Veronica Adesla mengatakan setiap orang memiliki survival instinct atau naluri bertahan hidup. Menurut Veronica, survival instinct biasanya menjadi faktor penentu pada tindakan mengakhiri hidup.

    “Biasanya di saat critical, insting untuk hidup ini teraktivasi bisa karena banyak hal. Misal, ‘ohh kalau ini aku lakukan dan tidak berhasil, aku malah menambah beban orang lain, kalau aku jadi cacat bagaimana?’” kata Veronica saat dihubungi detikcom, Jumat (13/6/2025).

    “Atau kemudian ada orang yang tiba-tiba menghubungi, dan kemudian dia merasa tidak sendiri. Kalau dia memaknai, ini berarti Tuhan nggak mau aku meninggal, masih ingin aku hidup,” sambungnya.

    Keputusan seseorang untuk mengakhiri hidup, lanjut Veronica bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh. Menurutnya, sampai kepada keputusan itu, seseorang mungkin telah mendapatkan banyak tekanan dalam hidupnya.

    “Ada namanya major depressive disorder (MDD), orang yang udah masuk dan tingkatannya parah, akan ada action-nya,” kata Veronica.

    “Mulai dari keinginan untuk mengakhiri hidup, kemudian memikirkan caranya, mencari tahu cara-caranya, sampai kemudian perilaku yang dilakukan untuk mengakhiri hidup,” lanjutnya.

    Hal ini membuat netizen atau siapa saja jangan sampai meremehkan seseorang yang mengutarakan niatnya untuk mengakhiri hidup.

    “Mulut orang itu kan kadang jahat ya, ahh cuman cari perhatian aja kali. Nggak boleh banget kayak gitu,” tutupnya.

    (dpy/kna)

  • Rekomendasi Perhimpunan Dokter Spesialis Jiwa Aturan Wajib Tes Mental bagi PPDS Diterapkan – Halaman all

    Rekomendasi Perhimpunan Dokter Spesialis Jiwa Aturan Wajib Tes Mental bagi PPDS Diterapkan – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

    TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA — Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dukung aturan Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) yang mewajibkan pemeriksaan kesehatan jiwa secara berkala bagi peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).

    Ketua Umum PDSKJI Prof. Dr. Andi Jayalangkara Tanra, Sp.KJ(K) mengatakan, kebijakan ini merupakan langkah terobosan dalam menjaga kualitas dan profesionalisme dokter sebagai garda terdepan dalam pelayanan kesehatan.

    Profesionalisme tenaga medis tidak hanya ditentukan oleh kompetensi klinis, tetapi juga kesiapan psikologis dalam menghadapi beban kerja, tantangan etik, serta tekanan emosional yang menyertai praktik kedokteran.

    “Pemeriksaan kesehatan jiwa secara berkala memungkinkan deteksi dini terhadap potensi gangguan psikologis dan menjadi bagian dari sistem pendukung profesional yang sehat dan berkelanjutan,” tulis pertanyaan resmi yang diterima Minggu (13/4/2025).

    Kesehatan jiwa tenaga medis harus menjadi perhatian bersama, sebagai bagian integral dari sistem kesehatan nasional.

    PDSKJI meyakini bahwa dokter yang sehat secara mental akan mampu memberikan pelayanan yang lebih aman, empatik, dan berkualitas tinggi.

    Dalam konteks ini, pelaksanaan tes kesehatan jiwa tidak boleh dipandang sebagai bentuk penghakiman, melainkan sebagai bagian dari sistem mutu dan pembinaan profesional yang bersifat manusiawi.

    Berikut Rekomendasi PDSKJI:

    1. Pelaksanaan skrining kesehatan jiwa secara berkala di seluruh institusi pendidikan kedokteran spesialis, minimal satu kali setiap tahun menggunakan wawancara klinis serta alat ukur psikologis yang tervalidasi secara ilmiah.

    2. Penerapan pendekatan edukatif dan non-stigmatisasi dalam proses pemeriksaan, guna memastikan bahwa tes ini menjadi bagian dari pengembangan profesional, bukan sebagai alat kontrol atau penilaian semata.

    3. Penyediaan layanan pendampingan psikologis dan psikiatri yang sistematis di setiap institusi pendidikan, agar peserta PPDS yang membutuhkan dukungan dapat memperoleh akses layanan yang tepat dan cepat.

    4. Menjaga kerahasiaan dan etika profesional selama proses skrining dan tindak lanjut, sesuai dengan prinsip-prinsip kedokteran dan kesehatan jiwa.

    5. Mendorong kolaborasi lintas profesi antara institusi pendidikan, organisasi profesi kedokteran, dan lembaga pemerintah untuk
    mendukung implementasi kebijakan ini secara berkelanjutan.

    6. Menjaga kesehatan jiwa dokter adalah bagian dari menjaga keselamatan pasien dan mutu layanan kesehatan secara keseluruhan.

    PDSKJI berkomitmen untuk terus menjadi mitra strategis pemerintah dan institusi pendidikan dalam membangun sistem kesehatan yang lebih manusiawi, sehat, dan profesional.

    Sebelumnya, Kemenkes menyatakan tes berkala diperlukan untuk menghindari manipulasi test kejiwaan dan mengidentifikasi secara dini kesehatan jiwa peserta didik. 

    Upaya ini untuk merespons tindak pidana kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh dr. PAP yang merupakan peserta PPDS Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (Undap).

    Tes kejiwaan akan dilakukan kepada PPDS seluruh angkatan.

    “Kemenkes akan melakukan pemeriksaan mental juga untuk para peserta dokter spesialis sehingga peristiwa (dr PAP) tidak lagi terjadi,” tutur Wakil Menteri Kesehatan (wamenkes RI) Prof Dante Harbuwono saat ditemui di Puskesmas Kelapa Gading, Jakarta Utara, Kamis (10/4/2025).

    Ia menerangkan, seluruh dokter PPDS maupun calon PPDS harus mengikuti tes Minnesota Multiphasic Personality Inventory atau tes MMPI.

    “Gunanya untuk pemeriksaan keseluruhan kesehatan jiwa. Ini untuk pencegahannya tes MMPI, tes mental, untuk prosedur pendidikan. Mereka (calon dokter) tidak hanya pintar, tapi mereka juga sehat secara jasmani dan secara rohani,  supaya mereka bisa melaksanakan tugas dokter yang mulia itu menangani masyarakat dari dalam hati dan tidak melakukan penyalahgunaaan wewenang,” jelas dia.

  • Perhimpunan Dokter Jiwa Dukung Penuh Wacana Tes Kesehatan Mental Peserta PPDS

    Perhimpunan Dokter Jiwa Dukung Penuh Wacana Tes Kesehatan Mental Peserta PPDS

    Jakarta

    Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin akan mewajibkan tes kesehatan mental bagi peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Keputusan tersebut diambil oleh Menkes mengingat ada beberapa kasus yang melibatkan PPDS.

    Kebijakan ini dilakukan guna mencegah adanya masalah kesehatan mental yang dilakukan oleh dokter residen. Menyusul terjadinya pemerkosaan yang dilakukan oleh dokter PPDS Priguna Anugerah terhadap anak pasien.

    “Ini kan bisa dicegah ini kan masalah kejiwaan mental, sekarang Kemenkes akan mewajibkan semua peserta PPDS yang mau masuk harus tes kesehatan mental dulu,” katanya ditemui di kediaman Presiden Ke-7 Joko Widodo (Jokowi) di Sumber, Banjarsari, Kota Solo, dikutip detikJateng, Senin (14/4/5).

    Terkait hal itu, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) menyambut baik penerapan tes kesehatan jiwa berkala bagi peserta PPDS. Penerapan kebijakan ini merupakan langkah terobosan dalam menjaga kualitas dan profesionalisme dokter sebagai garda terdepan dalam pelayanan kesehatan.

    “Profesionalisme tenaga medis tidak hanya ditentukan oleh kompetensi klinis, tetapi juga kesiapan psikologis dalam menghadapi beban kerja, tantangan etik, serta tekanan emosional yang menyertai praktik kedokteran,” demikian keterangan resmi PDSKJI yang diterima detikcom, Senin (14/4/2025).

    PDSKJI mengatakan pemeriksaan kesehatan jiwa secara berkala memungkinkan deteksi dini terhadap potensi gangguan psikologis dan menjadi bagian dari sistem pendukung profesional yang sehat dan berkelanjutan.

    Kesehatan jiwa tenaga medis juga harus menjadi perhatian bersama sebagai bagian integral dari sistem kesehatan nasional.

    “Kami meyakini bahwa dokter yang sehat secara mental akan mampu memberikan pelayanan yang lebih aman, empatik, dan berkualitas tinggi. Dalam konteks ini, pelaksanaan tes kesehatan jiwa tidak boleh dipandang sebagai bentuk penghakiman, melainkan sebagai bagian dari sistem mutu dan pembinaan profesional yang bersifat manusiawi,” lanjut keterangan tersebut.

    Di sisi lain, PDSKJI juga memberikan sederet rekomendasi terkait pelaksanaan skrining kesehatan jiwa untuk tenaga medis, termasuk peserta PPDS. Di antaranya sebagai berikut.

    1. Pelaksanaan skrining kesehatan jiwa secara berkala di seluruh institusi pendidikan kedokteran spesialis, minimal satu kali setiap tahun menggunakan wawancara klinis serta alat ukur psikologis yang tervalidasi secara ilmiah.

    2. Penerapan pendekatan edukatif dan non-stigmatisasi dalam proses pemeriksaan, guna memastikan bahwa tes ini menjadi bagian dari pengembangan profesional, bukan sebagai alat kontrol atau penilaian semata.

    3. Penyediaan layanan pendampingan psikologis dan psikiatri yang sistematis di setiap institusi pendidikan, agar peserta PPDS yang membutuhkan dukungan dapat memperoleh akses layanan yang tepat dan cepat.

    4. Penyediaan layanan pendampingan psikologis dan psikiatri yang sistematis di setiap institusi pendidikan, agar peserta PPDS yang membutuhkan dukungan dapat memperoleh akses layanan yang tepat dan cepat.

    5. Mendorong kolaborasi lintas profesi antara institusi pendidikan, organisasi profesi kedokteran, dan lembaga pemerintah untuk mendukung implementasi kebijakan ini secara berkelanjutan.

    “Menjaga kesehatan jiwa dokter adalah bagian dari menjaga keselamatan pasien dan mutu layanan kesehatan secara keseluruhan. PDSKJI berkomitmen untuk terus menjadi mitra strategis pemerintah dan institusi pendidikan dalam membangun sistem kesehatan yang lebih manusiawi, sehat, dan profesional,” kata PDSKJI.

    (suc/up)

  • Merasa Tak Bisa Pulih dari Bipolar, Pria 28 Tahun Memilih ‘Bunuh Diri Medis’

    Merasa Tak Bisa Pulih dari Bipolar, Pria 28 Tahun Memilih ‘Bunuh Diri Medis’

    Jakarta

    CATATAN: Depresi dan munculnya keinginan bunuh diri bukanlah hal sepele. Kesehatan jiwa merupakan hal yang sama pentingnya dengan kesehatan tubuh atau fisik. Jika gejala depresi semakin parah, segeralah menghubungi dan berdiskusi dengan profesional seperti psikolog, psikiater, maupun langsung mendatangi klinik kesehatan jiwa. Layanan konsultasi kesehatan jiwa juga disediakan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) di laman resminya yaitu www.pdskji.org. Melalui laman organisasi profesi tersebut disediakan pemeriksaan secara mandiri untuk mengetahui kondisi kesehatan jiwa seseorang.

    Seorang pria di Belanda berusia 28 tahun memilih mengakhiri hidupnya dengan euthanasia atau bunuh diri medis. Ia memilih euthanasia daripada harus terus hidup dengan penyakit mental.

    Diberitakan People, Joseph Awuah-Darko yang merupakan seorang seniman Inggris-Ghana, didiagnosis gangguan bipolar dan telah mendokumentasikan perjuangannya selama puluhan tahun dengan masalah mental di media sosial.

    Setelah perawatannya gagal dan tidak ada kesembuhan, ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Kini, ia sedang menunggu persetujuan untuk euthanasia, yang bisa menghabiskan waktu hingga empat tahun.

    “Hai, saya Joseph, saya bipolar dan pindah ke Belanda untuk mengakhiri hidup saya secara medis,” tutur Joseph.

    Gangguan bipolar merupakan kondisi manik-depresif pada otak yang menyebabkan perubahan ekstrem pada suasana hati dan tingkat energi. Ada empat jenis dasar gangguan ini, yang ditandai dengan periode kegembiraan dan hiperaktif yang dikenal sebagai episode manik, yang kemudian diikuti tahap depresif saat pasien mengalami perasaan sedih dan depresi.

    Dalam video yang diunggah di Instagram, Joseph mengatakan bahwa dia setiap hari bangun dengan rasa sakit yang hebat. Hal itulah yang membuatnya memilih kematian yang dibantu secara medis.

    Dia menghabiskan waktu lima tahun untuk merenungkan keputusannya sebelum mengajukan permintaan resmi ke Euthanasia Expert Centre di Belanda.

    “Saya tidak mengatakan bahwa hidup (sebagai sebuah fenomena) yang tidak layak dijalani. Yang ingin saya katakan adalah beban mental saya sudah benar-benar tidak tertahankan,” jelas Joseph.

    “Saya tidak istimewa, seperti banyak orang berusia 20-an. Kelelahan yang terus-menerus, beban hutang, depresi yang melumpuhkan, siklus media yang penuh kekerasan, dan realitas distopia AI… semua terasa berat. Realitas yang saya hadapi sebagai bipolar memperburuk semuanya,” lanjutnya.

    Kondisi tersebut yang membuat Joseph merasa siap untuk meninggalkan kehidupannya dengan euthanasia.

    Di Belanda, euthanasia menjadi legal saat Undang-Undang Pengakhiran Hidup atas permeintaan dan bunuh diri dengan bantuan (prosedur peninjauan) disahkan pada April 2001. Dan mulai berlaku pada April 2002.

    Dengan disahkannya undang-undang tersebut, Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalkan euthanasia. Situs web resmi pemerintah negara tersebut menyatakan bahwa prosedur tersebut dilakukan oleh dokter yang memberikan ‘dosis fatal obat yang sesuai kepada pasien atas permintaannya sendiri’.

    “Ada martabat yang melekat dalam melakukannya dengan cara ini, dengan banyak ketenangan, kesabaran, dan pengertian karena mengetahui bahwa Anda tidak akan ditemukan tak bernyawa oleh orang lain, bukan kondektur kereta, bukan saudara Anda, bukan teman-teman Anda,” terang Joseph.

    “Anda akan mengakhiri hidup tanpa kekerasan dengan bantuan medis, dengan dukungan, dengan ketenangan dari orang-orang yang mencintai Anda.”

    Setelah membagikan kisahnya kepada publik, Joseph menerima tanggapan dengan emosi yang campur aduk. Ada yang menghormati keputusannya dan ada yang memohon untuk mengubah pikirannya.

    Selain itu, Joseph menerima lebih dari 100 pesan dari orang asing yang mengundangnya untuk makan malam bersama. Ia menyebutnya sebagai ‘The Last Supper Project’, yang akan dilakukan dengan bepergian dan makan bersama orang asing sambil menunggu persetujuan permintaan euthanasianya.

    Sejauh ini, Joseph telah bepergian ke Paris, Milan, Brussels, dan Berlin untuk 57 kali makan malam, yang didokumentasikannya di media sosial. Dia telah merencanakan lebih dari 120 kali makan malam lagi hingga bulan Agustus.

    “Saya memiliki hubungan yang sangat emosional dengan makanan, mulai dari kenangan akan bawang goreng dan nasi jollof buatan ibu saya, menyantap prosciutto yang lezat di Venesia, hingga daging yang lezat di Argentina saat saya biasa menonton ayah saya bermain polo,” kata Joseph.

    “Saya berpikir, saat saya menjalani transisi tanpa kekerasan dalam hidup saya, mengapa saya tidak berhubungan dengan orang lain untuk makan bersama?” sambungnya.

    Meski sudah menjalani projek tersebut, Joseph masih terbangun dengan napas tersengal-sengal dan rasa sakit yang dalam terkait dengan bipolarnya. Ia berharap, orang dengan penyakit mental kronis harus diperhatikan dengan baik.

    (sao/kna)

  • Punya Penyakit yang Tak Bisa Sembuh, Wanita Ini Putuskan ‘Bunuh Diri Medis’

    Punya Penyakit yang Tak Bisa Sembuh, Wanita Ini Putuskan ‘Bunuh Diri Medis’

    Jakarta

    CATATAN: Depresi dan munculnya keinginan bunuh diri bukanlah hal sepele. Kesehatan jiwa merupakan hal yang sama pentingnya dengan kesehatan tubuh atau fisik. Jika gejala depresi semakin parah, segeralah menghubungi dan berdiskusi dengan profesional seperti psikolog, psikiater, maupun langsung mendatangi klinik kesehatan jiwa. Layanan konsultasi kesehatan jiwa juga disediakan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) di laman resminya yaitu www.pdskji.org. Melalui laman organisasi profesi tersebut disediakan pemeriksaan secara mandiri untuk mengetahui kondisi kesehatan jiwa seseorang.

    Jessica Lantz (43) di Oregon, Amerika Serikat menjalani ‘bunuh diri medis’ euthanasia pada 12 Februari 2025. Hal itu dilakukannya di tengah perjuangan melawan penyakit parah dermatomiositis selama 10 tahun terakhir.

    Dermatomikosis merupakan autoimun langka yang dapat menyebabkan peradangan pada otot dan kulit. Penyakit ini bisa memicu kelemahan otot, nyeri, kesulitan menelan, hingga masalah paru-paru.

    Kru TV di Oregon berkesempatan merekam aktivitas Lantz 47 jam sebelum euthanasia dengan obat dilakukan. Dalam kesempatan tersebut, Lantz mengungkapkan salam perpisahannya.

    “Semoga beruntung untuk semua orang. Anda dapat merasakan diri Anda sekarat, bukan hanya rasa sakit atau hal-hal yang dikaitkan dengan penyakit, tapi Anda bisa merasakan tubuh berangsur-angsur sekarat,” ucap Lantz dikutip dari Express, Selasa (11/3/2025).

    Lantz merasa dirinya tidak akan hidup lebih lama lagi setelah bulan Februari. Hal itu yang membuat ia memutuskan melakukan euthanasia pada bulan tersebut. Lantz juga merasa tubuhnya sudah tidak berfungsi dengan sebagaimana mestinya.

    “Tergantung ke mana arahnya, ginjal saya akan berhenti berfungsi, saya akan mengalami serangan jantung atau stroke parah, atau saya tidak akan bisa bernapas, atau saya akan mati kelaparan,” sambungnya.

    Oregon telah melegalkan ‘bunuh diri medis’ sejak tahun 1997. Undang-undangnya tidak banyak berubah selama hampir 30 tahun.

    Layanan ini hanya bisa didapatkan oleh orang dewasa yang memiliki kemampuan mental dan penyakit parah. Pasien juga diperkirakan akan meninggal dalam waktu 6 bulan dengan kriteria yang sudah ditentukan oleh undang-undang.

    Setelah dinilai oleh dua dokter dan dinyatakan memenuhi syarat, Lantz diberi resep obat yang disimpan dalam kotak terkunci.

    “Saya tidak berpikir dua kali atau ragu. Itu hanya lebih berat dan menyedihkan. Saya merasa akan merindukan semua orang,” tandasnya.

    (avk/kna)