Organisasi: OPEC

  • Harga Minyak Hari Ini 30 Agustus 2025, Brent dan WTI Kompak Merosot – Page 3

    Harga Minyak Hari Ini 30 Agustus 2025, Brent dan WTI Kompak Merosot – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Harga minyak dunia turun pada hari Jumat (Sabtu waktu Jakarta) karena para pedagang memperkirakan permintaan minyak yang lebih lemah di AS yang merupakan pasar minyak terbesar di dunia. Selain itu, harga minyak juga terpengaruh kemungkinan adanya pergerakan di balik layar menuju kesepakatan gencatan senjata di Ukraina.

    Dikutip dari CNBC, Sabtu (30/8/2025), harga minyak Brent turun 50 sen, atau 0,73% dan ditutup pada harga USD 68,12 per barel. Sementara harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) turun 50 sen atau 0,73% dan ditutup pada harga USD 68,12 per barel. Harga minyak mentah berjangka turun 59 sen atau 0,91% dan ditutup pada USD 64,01 per barel.

    Analis PVM Oil Associates Tamas Varga mengatakan, pasar sebagian mengalihkan fokusnya ke pertemuan OPEC+ minggu depan.

    Produksi minyak mentah telah meningkat dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya, yang dikenal sebagai OPEC+, karena kelompok tersebut telah mempercepat kenaikan produksi untuk mendapatkan kembali pangsa pasar, meningkatkan prospek pasokan dan membebani harga minyak global.

    Namun, kata Analis senior di Price Futures Group Phil Flynn, kenaikan tersebut belum masuk ke pasar AS, di mana musim berkendara musim panas berakhir dengan libur Hari Buruh pada hari Senin, sehingga meningkatkan kekhawatiran tentang penurunan permintaan.

    “Pesimisme tentang permintaan, saya tidak melihatnya. Pasokan dari OPEC seharusnya meningkat, tetapi kita tidak melihatnya di Amerika Serikat. Saya pikir situasinya akan tetap ketat,” jelas Flynn.

     

  • Harga Minyak Mentah Melonjak Usai Drone Rusia Kembali Serang Ukraina – Page 3

    Harga Minyak Mentah Melonjak Usai Drone Rusia Kembali Serang Ukraina – Page 3

    Selain konflik geopolitik, pelaku pasar juga mencermati respons India terhadap tekanan AS untuk menghentikan impor minyak Rusia. Ketegangan meningkat setelah Trump menggandakan tarif impor dari India hingga 50% pada Rabu lalu.

    Meski begitu, para pedagang memperkirakan ekspor minyak Rusia ke India justru akan naik pada September.

    Di sisi lain, harga minyak sempat tertekan akibat ekspektasi permintaan bahan bakar yang lebih rendah usai libur panjang Hari Buruh di AS.

    Pasokan global juga diperkirakan meningkat seiring rencana OPEC+ menambah produksi 547.000 barel per hari pada September.

    “Permintaan yang lebih lemah dan pasokan yang lebih tinggi akan mendorong kenaikan stok minyak, yang akan membebani kontrak berjangka energi di seluruh segmen. Hal ini sejalan dengan transisi musim panas ke musim gugur, ketika permintaan bensin menurun dan kilang beralih ke produksi bahan bakar musim dingin yang lebih murah,” tulis Ritterbusch and Associates dalam catatannya.

  • Harga Minyak Mentah Indonesia Turun!

    Harga Minyak Mentah Indonesia Turun!

    Jakarta

    Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral merilis harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) Juli 2025 sebesar US$ 68,59 per barel. Angka ini turun sebesar US$ 0,74 per barel dari ICP Juni 2025.

    Penetapan ICP ini tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 269.K/MG.01/MEM.M/2025 pada tanggal 8 Agustus 2025. Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Migas Tri Winarno mengatakan beberapa faktor menjadi pemicu penurunan harga ICP Juli 2025.

    Misalnya, pasokan minyak mentah di mana Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak atau Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) merevisi estimasi pasokan Declaration of Cooperation (DoC) pada tahun 2025 naik sebesar 349 ribu barel per hari, menjadi 41,56 juta barel per hari dibandingkan proyeksi publikasi sebelumnya.

    “Hal tersebut ditandai oleh Keputusan 8 negara OPEC+ untuk kembali meningkatkan produksi pada periode Agustus 2025 sebesar 548 ribu barel per hari yang berpotensi menambah pasokan minyak mentah untuk pasar,” ungkap Tri Winarno dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu (16/8).

    Faktor lain yang turut mempengaruhi turunnya harga minyak mentah bulan Juli 2025 ini adalah kekhawatiran pasar terkait potensi kenaikan tarif perdagangan global akibat kebijakan AS dan peningkatan stok crude oil Amerika Serikat.

    “Stok crude oil naik sebesar 7,7 juta barel menjadi 426,7 juta barel pada akhir Juli 2025 yang menyebabkan peningkatan pasokan minyak mentah dunia,” jelasnya.

    Sementara untuk kawasan Asia Pasifik, penurunan harga minyak mentah dipengaruhi oleh run rate kilang di Taiwan mengalami penurunan pada akhir Juli 2025 menjadi 780 ribu barel per hari (71,5% dari total kapasitas) dibandingkan awal Juni 2025 sebesar 835 ribu barel per hari (76,6% dari total kapasitas).

    Selanjutnya, perkembangan harga rata-rata minyak mentah utama pada Juli 2025 dibandingkan Juni 2025 mengalami penurunan sebagai berikut:

    – Dated Brent turun sebesar US$ 0,47/bbl dari US$ 71,46/bbl menjadi US$ 70,99/bbl.
    – WTI (Nymex) turun sebesar US$ 0,08/bbl dari US$ 67,33/bbl menjadi US$ 67,24/bbl.
    – Brent (ICE) turun sebesar US$ 0,25/bbl dari US$ 69,80/bbl menjadi US$ 69,55/bbl.
    – Basket OPEC naik sebesar US$ 1,04/bbl dari US$ 69,73/bbl menjadi US$ 70,78/bbl.
    – Rata-rata ICP minyak mentah Indonesia turun sebesar US$ 0,74/bbl dari US$ 69,33/bbl menjadi US$ 8,59/bbl.

    (hns/hns)

  • Harga Minyak Mentah Melonjak Usai Drone Rusia Kembali Serang Ukraina – Page 3

    Harga Minyak Mentah Anjlok, Pelaku Pasar Waspadai Potensi Pelonggaran Sanksi Rusia – Page 3

    Selain faktor geopolitik, pasar juga dibayangi kekhawatiran permintaan bahan bakar yang melemah di China. Data resmi menunjukkan output industri pada Juli tumbuh pada laju terendah dalam delapan bulan, sementara penjualan ritel meningkat paling lambat sejak Desember.

    Produksi kilang minyak China naik 8,9% secara tahunan pada Juli, namun menurun dibandingkan Juni yang merupakan level tertinggi sejak September 2023. Ekspor produk minyak juga meningkat, menandakan lemahnya konsumsi domestik.

    Di sisi suplai, prospek surplus minyak global semakin besar. Baker Hughes melaporkan jumlah rig minyak AS naik satu menjadi 412 unit pekan ini.

    Sementara itu, analis Bank of America memproyeksikan surplus rata-rata 890.000 barel per hari dari Juli 2025 hingga Juni 2026, seiring meningkatnya pasokan dari OPEC+.

    Prediksi ini sejalan dengan laporan Badan Energi Internasional (IEA) awal pekan yang menyebut pasar minyak global membengkak akibat peningkatan produksi OPEC+.

  • OPEC Revisi Estimasi Pasokan Minyak, ICP Juli 2025 Turun ke Level US,59 per Barel

    OPEC Revisi Estimasi Pasokan Minyak, ICP Juli 2025 Turun ke Level US$68,59 per Barel

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian crude price/ICP) Juli 2025 pada angka US$68,59 per barel. Angka tersebut turun US$0,74 dibanding ICP Juni 2025 yang senilai US$69,33 per barel.

    Adapun, penetapan ICP Juli ini tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 269.K/MG.01/MEM.M/2025 pada tanggal 8 Agustus 2025.  

    Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Tri Winarno menjelaskan beberapa faktor menjadi pemicu penurunan harga ICP Juli 2025. Faktor itu yakni pasokan minyak mentah di mana Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang merevisi estimasi pasokan Declaration of Cooperation (DoC) pada 2025 naik sebesar 349.000 barel per hari, menjadi 41,56 juta barel per hari dibandingkan proyeksi publikasi sebelumnya.

    “Hal tersebut ditandai oleh Keputusan 8 negara OPEC+ untuk kembali meningkatkan produksi pada periode Agustus 2025 sebesar 548 ribu barel per hari yang berpotensi menambah pasokan minyak mentah untuk pasar,” ungkap Tri Winarno melalui keterangan resmi, Rabu (13/8/2025).

    Tri mengungkapkan, beberapa faktor lain yang turut mempengaruhi turunnya harga minyak mentah bulan Juli 2025 ini adalah kekhawatiran pasar terkait potensi kenaikan tarif perdagangan global akibat kebijakan AS dan peningkatan stok minyak mentah Negeri Paman Sam.

    “Stok crude oil naik sebesar 7,7 juta barel menjadi 426,7 juta barel pada akhir Juli 2025 yang menyebabkan peningkatan pasokan minyak mentah dunia,” jelasnya.

    Sementara untuk kawasan Asia Pasifik, kata Tri, penurunan harga minyak mentah dipengaruhi oleh run rate kilang di Taiwan mengalami penurunan pada akhir Juli 2025 menjadi 780.000 barel per hari (71,5% dari total kapasitas) dibandingkan dengan awal Juni 2025 sebesar 835.000 barel per hari (76,6% dari total kapasitas).

    Adapun, perkembangan harga rata-rata minyak mentah utama pada Juli 2025 dibanding Juni 2025 mengalami penurunan sebagai berikut: 

     Dated Brent turun sebesar US$0,47 dari US$71,46 menjadi US$70,99 per barel
    WTI (Nymex) turun sebesar US$0,08 dari US$67,33 menjadi US$67,24 per barel
    Brent (ICE) turun sebesar US$0,25 dari US$69,80 menjadi US$69,55 per barel
    Basket OPEC naik sebesar US$1,04 dari US$69,73 menjadi US$70,78 per barel
    Rata-rata ICP minyak mentah Indonesia turun sebesar US$0,74 dari US$69,33 menjadi US$68,59 per barel

  • OPEC Ramal Permintaan Minyak Dunia Meningkat pada 2026

    OPEC Ramal Permintaan Minyak Dunia Meningkat pada 2026

    Bisnis.com, JAKARTA — Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) memperkirakan permintaan global terhadap minyak akan meningkat pada 2026 di tengah percepatan pertumbuhan permintaan dan melambatnya ekspansi pasokan dari produsen pesaing.

    Melansir Bloomberg pada Rabu (13/6/2025), OPEC menaikkan estimasi pertumbuhan permintaan minyak dunia pada 2026 sebesar 100.000 barel per hari (bph) menjadi 1,4 juta bph, sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun ini, seiring prospek ekonomi yang lebih kuat. Sementara itu, proyeksi pertumbuhan pasokan dari luar OPEC dipangkas dengan jumlah yang sama.

    Data dari sekretariat OPEC di Wina menunjukkan persediaan minyak global akan terkuras signifikan tahun depan—hampir 1,2 juta bph—kecuali kelompok tersebut dan sekutunya mengaktifkan kembali sebagian produksi yang masih tertahan.

    Meski demikian, proyeksi OPEC dalam beberapa tahun terakhir kerap dinilai terlalu optimistis, bahkan tahun lalu organisasi ini memangkas proyeksi permintaan hingga 32% dalam enam kali revisi bulanan.

    Kebijakan terbaru menunjukkan bahwa Arab Saudi sebagai pemimpin OPEC turut merasakan optimisme tersebut. Keputusan awal bulan ini mempercepat penuh pengaktifan kembali produksi 2,2 juta bph, satu tahun lebih cepat dari jadwal.

    Harga minyak justru melemah di tengah percepatan pasokan tersebut, seiring memburuknya prospek ekonomi akibat perang dagang Presiden Amerika Serikat Donald Trump. 

    Harga minyak mentah di London sudah turun 11% sepanjang tahun menjadi sekitar US$66 per barel. OPEC dan sekutunya mengisyaratkan langkah berikutnya dapat berupa kenaikan, jeda, atau bahkan pengurangan produksi.

    Perubahan Data

    Dalam laporan bulanan OPEC yang dirilis Selasa (12/8/2025), data pasokan dari OPEC+ menunjukkan gambaran yang bercampur, diperumit oleh perubahan metode pelaporan yang mulai diterapkan bulan lalu.

    Produksi minyak mentah dari 22 anggota OPEC+ naik 335.000 bph pada Juli, dengan sekitar separuh kenaikan berasal dari Arab Saudi. Namun, untuk bulan kedua berturut-turut, data tersebut menampilkan angka “supply-to-market” dari Saudi—yang mengecualikan pergerakan ke dan dari persediaan—alih-alih ukuran tradisional berupa volume produksi.

    Laporan mencatat pasokan ke pasar dari Saudi naik 165.000 bph menjadi 9,525 juta bph, tetapi dalam catatan kaki disebutkan bahwa kerajaan itu melaporkan penurunan produksi aktual sebesar 551.000 bph menjadi 9,2 juta bph.

    Bulan lalu, Arab Saudi menyatakan telah menaikkan produksi pada Juni untuk mengamankan pasokan di tengah konflik Israel-Iran, tanpa menjual tambahan pasokan tersebut kepada pembeli.

    Sejumlah perusahaan yang memverifikasi produksi atas nama OPEC menyebut diminta untuk melaporkan angka supply-to-market pada Juni, yang lebih rendah dibanding estimasi produksi mereka sehingga menunjukkan kepatuhan Saudi terhadap kuota OPEC+.

    OPEC tidak menjelaskan alasan mulai memasukkan data alternatif ini untuk anggota terkuatnya.

    Para anggota kunci OPEC+ yang dipimpin Saudi dan Rusia akan menggelar konferensi video pada 7 September untuk membahas langkah selanjutnya.

  • Harga Minyak Turun Lagi, Kini Dijual US$ 66 Per Barel

    Harga Minyak Turun Lagi, Kini Dijual US$ 66 Per Barel

    London, Beritasatu.com – Harga minyak mentah anjlok pada awal minggu, melanjutkan penurunan lebih dari 4% pekan lalu akibat tarif Trump.

    Kenaikan produksi OPEC, dan ekspektasi bahwa Amerika Serikat (AS) dan Rusia semakin mendekati pakta gencatan senjata Ukraina, membebani harga minyak.

    Harga minyak mentah Brent turun 52 sen, atau 0,78% menjadi US$ 66,07 per barel, sementara harga minyak mentah West Texas Intermediate AS turun 58 sen menjadi US$ 63,30.

    Ekspektasi terhadap potensi berakhirnya sanksi, yang membatasi pasokan minyak Rusia ke pasar internasional, meningkat setelah Presiden AS Donald Trump mengatakan akan bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin pada 15 Agustus 2025 di Alaska untuk merundingkan akhir perang di Ukraina.

    Berita ini muncul seiring AS meningkatkan tekanan terhadap Rusia, meningkatkan kemungkinan sanksi terhadap Moskow juga akan diperketat jika kesepakatan damai tidak tercapai. 

    Selain perundingan AS-Rusia, data inflasi AS juga menjadi pendorong harga utama lainnya minggu ini.

    “Data IHK yang lebih lemah dari perkiraan akan meningkatkan ekspektasi penurunan suku bunga The Fed yang lebih awal dan lebih dalam, yang kemungkinan akan merangsang aktivitas ekonomi dan meningkatkan permintaan minyak mentah,” ujar analis pasar IG, Tony Sycamore, seperti dilansir Reuters, Senin (11/8/2025).

    “Sebaliknya, data yang lebih tinggi akan memicu kekhawatiran stagflasi dan mendorong kembali ekspektasi penurunan suku bunga The Fed,” tambah dia.

    Tarif impor yang lebih tinggi yang diberlakukan Trump terhadap puluhan negara diperkirakan akan membebani aktivitas ekonomi karena memaksa pengalihan rantai pasokan dan inflasi yang lebih tinggi.

  • Begini Kondisi Harga Minyak Menanti Pertemuan Trump dan Putin – Page 3

    Begini Kondisi Harga Minyak Menanti Pertemuan Trump dan Putin – Page 3

    Minggu ini, Trump mengancam akan menaikkan tarif terhadap India jika terus membeli minyak Rusia. Trump juga mengatakan Tiongkok, pembeli minyak mentah Rusia terbesar, dapat dikenakan tarif serupa dengan yang dikenakan terhadap impor India.

    “Berbagai pertimbangan non-minyak sedang dipertimbangkan, termasuk kekhawatiran atas dampak tarif dan berita utama yang beredar selama beberapa hari terakhir mengenai pertemuan Trump dan Putin dalam waktu dekat,” kata Analis Pasar Energi Sparta Commodities, Neil Crosby.

    “Risiko utama saat ini sangat kuat, terutama karena adanya perubahan sikap mengenai siapa yang akan hadir dalam pertemuan mengenai Ukraina dan dalam situasi apa,” ungkap dia.

    Analis ANZ Bank mengatakan, Tarif AS yang lebih tinggi atas impor dari sejumlah mitra dagang mulai berlaku pada hari Kamis, meningkatkan kekhawatiran atas aktivitas ekonomi dan permintaan minyak mentah.

    OPEC+ pada hari Minggu sepakat untuk meningkatkan produksi minyak sebesar 547.000 barel per hari untuk bulan September, yang terbaru dalam serangkaian kenaikan produksi yang dipercepat untuk mendapatkan kembali pangsa pasar dan menambah pasokan.

     

  • Mampukah AS Paksa India-China Stop Beli Minyak Rusia?

    Mampukah AS Paksa India-China Stop Beli Minyak Rusia?

    Jakarta

    India dan Cina dengan tegas menolak ancaman sanksi sekunder Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Sanksi tersebut merupakan hukuman bagi negara yang nekat masih membeli minyak Rusia. Selama ini, pendapatan dari ekspor minyak dipercaya merupakan sumber duit terbesar bagi Moskow demi membiayai invasi di Ukraina.

    Beijing dan New Delhi menegaskan, akan melindungi ketahanan energi dan kedaulatan ekonominya, dari apa yang oleh Beijing disebut secara lugas sebagai “pemaksaan dan tekanan” dari Amerika Serikat. Cina merupakan importir minyak terbesar Rusia pada tahun 2022.

    India, di sisi lain, menuding Barat bersikap hipokrit. Mereka menyoroti fakta bahwa Uni Eropa tetap mengimpor energi dari Rusia, meskipun telah secara signifikan mengurangi kebergantungan sejak perang dimulai.

    New Delhi juga mengingatkan bahwa Washington sebelumnya justru mendorong India membeli minyak dari Rusia, demi menstabilkan harga minyak global yang meningkat tajam setelah invasi Rusia dimulai.

    Pembelian minyak India dari Rusia meningkat hampir 19 kali lipat dalam empat tahun terakhir, dari 0,1 menjadi 1,9 juta barel per hari, sementara pembelian Cina naik 50% menjadi 2,4 juta barel per hari.

    Petras Katinas, analis energi yang berbasis di Lituania dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), mengatakan kepada DW bahwa India—pembeli minyak terbesar kedua dari Rusia—menghemat hingga USD 33 miliar ongkos pembelian energi antara 2022 hingga 2024. Penghematan tersebut merupakan hasil dari potongan harga besar-besaran oleh Moskow setelah AS dan Eropa mengurangi impor minyak dan gas Rusia.

    Kebijakan lama India yang menyeimbangkan hubungan dengan AS, Rusia, dan Cina, tanpa memprioritaskan salah satu negara, menurut Katinas, menjadi landasan keputusan untuk membeli minyak mentah Rusia dengan diskon besar. “New Delhi memprioritaskan keamanan dan keterjangkauan energi,” ujarnya.

    Ancaman Trump guncang pasar global

    Alhasil, harga minyak naik hampir 1% setelah pengumuman tersebut. Media India melaporkan, tarif baru dapat meningkatkan tagihan impor minyak India hingga US$ 11 miliar. New Delhi menyebut kebijakan Trump sebagai “tidak adil, tak berdasar, dan tidak masuk akal.”

    Trump menyatakan tarif akan berlaku dalam waktu 21 hari, memberi waktu bagi India dan Rusia untuk bernegosiasi dengan AS terkait pajak impor tersebut. Presiden AS juga diperkirakan akan mengumumkan sanksi sekunder yang lebih luas terhadap negara dan entitas yang masih berdagang dengan Rusia.

    Sanksi sekunder dipercaya akan menjadi pukulan besar bagi ekonomi Rusia yang melambat akibat sanksi Barat. Dengan belanja militer kini melampaui 6% dari PDB dan inflasi riil diperkirakan sejumlah analis mencapai 15–20%, Rusia membakar cadangan devisa dan menghadapi tekanan besar terhadap anggaran dan industri senjata nasional.

    Bagi pasar global, sanksi baru dapat memicu guncangan besar pada harga energi dan arus perdagangan, seperti yang terjadi pada 2022, ketika harga minyak melonjak dan Rusia menyiasati sanksi Barat dengan menjual dengan harga murah kepada dua ekonomi terbesar dunia.

    “Kalau India tidak membeli minyak Rusia pada 2022, tidak ada yang tahu harga minyak akan berapa — USD 100, USD 120, atau USD 300 per barel,” ujar Sumit Ritolia, analis minyak di New Delhi dari lembaga riset perdagangan Kpler, kepada DW. Minyak mentah WTI sempat bertahan antara USD 74 hingga USD 95 per barel dalam beberapa minggu sebelum invasi.

    Tarif sekunder Trump sebesar 25% dapat memaksa India mengurangi sebagian perdagangan minyaknya dengan Rusia. Sanksi tambahan hanya akan memperburuk keadaan.

    Katinas menyebut sanksi sekunder sebagai eskalasi besar. “Sanksi itu mengancam akses perusahaan India ke sistem keuangan AS dan membuat bank, kilang, serta perusahaan pelayaran terpapar dampak besar, mengingat keterlibatan mereka dalam pasar global,” katanya.

    Harga minyak melonjak, inflasi mengancam

    Jika suplai 5 juta barel minyak Rusia per hari tiba-tiba lenyap dari pasar, para analis memperkirakan harga akan kembali melonjak, karena negara-negara yang terdampak harus berebut pasokan lain. Meskipun kartel minyak OPEC baru-baru ini meningkatkan produksi, mengganti volume sebesar itu dalam waktu singkat akan sangat sulit karena kapasitas cadangan yang terbatas dan kendala logistik.

    “Tak ada pasokan yang bisa menggantikan 5 juta barel itu dengan cukup cepat untuk mencegah lonjakan harga,” ujar Alexander Kolyandr, peneliti senior di Center for European Policy Analysis, kepada The Independent.

    Ritolia mengatakan kepada DW bahwa perusahaan India mungkin butuh waktu hingga satu tahun untuk mengurangi ketergantungan pada minyak Rusia, jika memang harus dilakukan.

    Harga minyak yang lebih tinggi akan memicu kenaikan tajam inflasi, baik di AS maupun secara global. Bank Sentral AS memperkirakan, setiap kenaikan USD 10 pada harga minyak mentah akan menambah sekitar 0,2 poin persentase pada inflasi. Bank sentral India mencapai kesimpulan serupa.

    Jika harga naik dari USD 66 menjadi USD 110–120 per barel, kenaikan inflasi sekitar 1 poin persentase akan menaikkan biaya hidup bagi konsumen dan dunia usaha, terutama di sektor energi, transportasi, dan pangan.

    Cina diampuni, India kena imbas?

    Analis energi Katinas berpendapat, Cina—yang total volume perdagangannya dengan AS empat kali lebih besar dari India—”mungkin akan dikecualikan” dari kebijakan baru Gedung Putih. Dengan nilai perdagangan bilateral melebihi USD 580 miliar, skala ekonomi Cina memberi mereka daya tawar yang tidak dimiliki India.

    Cengkeraman Cina atas pasokan mineral tanah jarang — isu panas dalam hubungan AS-Cina — menjadi salah satu pengungkit yang digunakan Beijing untuk meredam sikap Trump.

    Dengan India tak memiliki pengaruh serupa, Trump awal pekan ini menggandakan tekanan pada New Delhi. Dia menyatakan bahwa dampak dari sanksi baru terhadap Rusia dan India akan “menjatuhkan dua ekonomi itu secara bersamaan.”

    Keuntungan India dari minyak Rusia menyusut

    Sementara itu, India tak lagi menikmati keuntungan besar seperti pada 2022, ketika diskon minyak Rusia mencapai USD 15–20 per barel. “Kini, margin itu menyusut menjadi sekitar USD 5,” menurut Ritolia dari Kpler.

    Berupaya mengisi kembali pundi-pundi perangnya, Rusia kini makin agresif memaksimalkan pendapatan energi. Permintaan dari Turki — yang kini menjadi pelanggan minyak terbesar ketiga Rusia — serta negara-negara Asia lainnya, yang mengimpor minyak Rusia dengan label alternatif untuk menghindari sanksi AS, membantu mengangkat harga.

    Meski begitu, kilang-kilang India terus melaku pembelian dari Rusia. Impor minyak mentah dari Rusia pada Juni mencapai level tertinggi dalam 11 bulan, yakni 2,08 juta barel per hari, menyumbang 44% dari total pasokan minyak mentah India — lonjakan tajam yang didorong oleh pertimbangan geopolitik dan harga.

    Di luar retorika, respons Cina tampaknya akan mengikuti pola sebelumnya saat menghadapi sanksi sekunder. Bank-bank Cina makin enggan menangani transaksi Rusia, bahkan dalam mata uang yuan, memaksa Moskow bergantung pada perantara bayangan dan jalur pihak ketiga.

    Bagi Beijing, impor minyak adalah prioritas yang relatif terlindungi dari tekanan politik. Sementara itu, India dipandang lebih mungkin mengambil sikap hati-hati: mengurangi pembelian jika ditekan, tapi tidak serta-merta menghentikan impor minyak Rusia.

    Ritolia berspekulasi bahwa India mungkin akan “mengurangi” impor minyaknya dari Rusia, namun menambahkan, “Saya tidak melihat India akan turun ke angka nol dalam waktu dekat.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
    Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
    Editor: Agus Setiawan

    (ita/ita)

  • IHSG berpotensi variatif seiring sentimen domestik dan global

    IHSG berpotensi variatif seiring sentimen domestik dan global

    Jakarta (ANTARA) – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Senin berpotensi bergerak variatif seiring sentimen data-data ekonomi domestik dan global.

    IHSG dibuka melemah 7,46 poin atau 0,10 persen ke posisi 7.530,31.

    Sementara, kelompok 45 saham unggulan atau indeks LQ45 turun 2,07 poin atau 0,26 persen ke posisi 794,75.

    “IHSG diperkirakan fluktuatif di level 7.400 sampai 7.680 seiring pasar yang akan lebih reaktif pada pekan ini,” ujar Analis Phintraco Sekuritas Ratna Lim dalam kajiannya di Jakarta, Senin.

    Dari dalam negeri, pelaku pasar akan menantikan data pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 yang diperkirakan 4,8 persen year on year (yoy) dari sebelumnya 4,87 persen (yoy).

    Selain itu, pelaku pasar masih akan mencermati kelanjutan earning season kuartal II 2025.

    Dari mancanegara, data nonfarm payrolls (NFP) Amerika Serikat (AS) pada Juli 2025 tercatat sebanyak 73 ribu, atau di bawah estimasi 110 ribu.

    Sementara itu, untuk data NFP Juni 2025 direvisi turun menjadi 14 ribu dari sebelumnya 147 ribu, dan Mei 2024 direvisi menjadi 19 ribu dari 125 ribu.

    Data itu mengindikasikan pasar tenaga kerja AS mulai melemah, yang menimbulkan kekhawatiran terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi.

    Data tenaga kerja terbaru itu meningkatkan ekspektasi bahwa The Fed akan menurunkan suku bunga pada September 2025 mendatang.

    Di sisi lain, Presiden AS Donald Trump melalui perintah eksekutif menetapkan tarif impor antara 10-41 persen untuk 68 negara mitra dagang yang akan mulai berlaku pada 7 Agustus 2025.

    Sebagai dampak dari potensi penurunan suku bunga The Fed pada September 2025, tarif impor, dan pengunduran diri salah seorang Gubernur The Fed, US 10-year Bond Yield turun 13 basis poin level 4.236 persen pada Jumat (1/8/2025).

    Hal itu juga mendorong penguatan harga emas akibat permintaan akan safe haven. Harga minyak turun karena kekhawatiran akan kenaikan produksi oleh OPEC+ pada September.

    Pada perdagangan Jumat (1/8/2025), bursa saham Eropa ditutup melemah, diantaranya Euro Stoxx 50 melemah 2,90 persen, indeks FTSE 100 Inggris melemah 0,70 persen, indeks DAX Jerman turun 2,66 persen, serta indeks CAC Prancis melemah tipis 2,91 persen.

    Bursa saham AS di Wall Street juga ditutup melemah pada Jumat (1/8/2025), di antaranya Dow Jones melemah 1,23 persen di level 43.588,58, indeks S&P 500 turun 1,60 persen di level 6.238,01, dan Nasdaq merosot 2,24 persen ke level 20.650,1.

    Bursa saham regional Asia pagi ini, antara lain indeks Nikkei melemah 689,82 poin atau 1,67 persen ke 40.111,50, indeks Shanghai menguat 8,42 poin atau 0,23 persen ke 3.567,87, indeks Hang Seng menguat 85,69 poin atau 0,21 persen ke 24.586,55, dan indeks Strait Times menguat 27,74 poin atau 0,71 persen ke 4.183,45.

    Pewarta: Muhammad Heriyanto
    Editor: Kelik Dewanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.