Organisasi: OECD

  • SAFEnet Sorot Penindasan Digital Selama Aksi Demonstrasi

    SAFEnet Sorot Penindasan Digital Selama Aksi Demonstrasi

    Jakarta

    Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menyoroti represi atau penindasan aktivitas digital selama aksi demonstrasi yang terjadi dalam sepekan terakhir.

    Seperti diketahui, berbagai elemen masyarakat di sejumlah kota di Indonesia menggelar aksi menyuarakan keresahan terhadap kondisi politik serta ketidakadilan sosial dan ekonomi di Tanah Air.

    SAFEnet dalam pernyataan sikapnya menyebutkan bahwa aksi yang telah berlangsung sejak 25 Agustus 2025 tidak hanya diwarnai dugaan pelanggaran hak asasi manusia pada para peserta, tetapi juga berdampak pada hak-hak digital pengguna internet di Indonesia secara masif.

    “Situasi di lapangan juga menunjukkan adanya praktik-praktik yang diduga melanggar prinsip kebebasan berekspresi di ruang digital oleh pemerintah dan platform media sosial,” tulis SAFEnet seperti dikutip dari safenet.or.id, Senin (1/9/2025).

    Sebagai organisasi masyarakat sipil dan non-pemerintah (NGO) yang memperjuangkan hak-hak digital, SAFEnet memandang situasi ini sebagai upaya pembatasan kebebasan berekspresi, otoritarianisme digital, dan militerisasi ruang siber Indonesia.

    Ada enam poin yang disorot SAFEnet terkait pelanggaran serius terhadap hak-hak digital warga, selengkapnya dibeberkan sebagai berikut:

    Kriminalisasi terhadap Khariq Anhar, aktivis mahasiswa dari Universitas Riau dan pengelola akun media sosial Aliansi Mahasiswa Penggugat (AMP) menggunakan Pasal 32 Ayat (1) dan/atau Pasal 35 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (sebagaimana diubah dari waktu ke waktu, untuk selanjutnya disebut ‘UU ITE’). Khariq ditangkap pada 28 Agustus 2025 di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta setelah melakukan kampanye mengenai aksi protes bulan Agustus melalui akun Instagram AMP.Beredarnya kontak WhatsApp sejumlah pegiat koalisi masyarakat sipil yang secara keliru dipresentasikan sebagai milik sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, sehingga menimbulkan spam, pelecehan, sampai gangguan keamanan kepada mereka yang terdampak. Lebih lanjut, ditemukan berbagai macam intimidasi secara masif di ruang digital mulai dari pengancaman, pengungkapan data pribadi, kekerasan berbasis gender online, dan berbagai serangan digital lainnya yang menargetkan individu-individu yang menyampaikan kritik di media sosial.Adanya gangguan terhadap akses internet dan informasi di ruang digital. Moderasi konten, pembatasan akses terhadap sejumlah fitur, dan pemadaman listrik yang terjadi di beberapa bagian wilayah Jakarta dan Bandung yang menjadi titik sentral aksi menyebabkan hambatan arus informasi bagi masyarakat secara umum serta memperbesar potensi ancaman fisik kepada para peserta aksi. Selain itu, ditemukan dugaan sabotase kabel optik server dengan pembakaran yang berpotensi mengganggu jaringan internet serta memengaruhi arus komunikasi dan informasi di Jakarta. Pola ini serupa dengan pola-pola gangguan akses internet pada sejumlah demonstrasi selama beberapa tahun belakangan, di mana peserta kesulitan untuk terhubung ke Internet selama aksi berlangsung.Ditangguhkannya fitur siaran langsung milik TikTok, yang telah menjadi saluran alternatif untuk mendokumentasikan jalannya demonstrasi di jalanan berbagai kota di Indonesia dan merekam tindakan brutal aparat penegak hukum, atas alasan keamanan. Penangguhan ini selain membatasi akses informasi dan komunikasi, juga berimbas pada aspek ekonomi, di mana pengusaha UMKM yang mengandalkan fitur siaran langsung untuk berjualan telah terdampak.Terdapatnya indikasi adanya operasi informasi yang bertujuan mengalihkan perhatian publik dari isu kekerasan polisi. Narasi yang disebarkan berupaya mengarahkan fokus massa untuk menyasar DPR, alih-alih menuntut pertanggungjawaban atas brutalitas polisi. Pada saat yang sama, peserta aksi semakin sering dilabeli sebagai kelompok anarkis, sebagai upaya untuk mendelegitimasi tuntutan mereka. Selain itu, juga terdapat narasi hasutan untuk melakukan tindak kekerasan kepada etnis Tionghoa yang memunculkan trauma peristiwa 1998. Militer juga tampak mencari panggung. Narasi dari sejumlah akun media sosial, termasuk @PuspenTNI, yang menyatakan bahwa Tentara Nasional Indonesia hadir sebagai penengah, pencair suasana, dan turun ke titik-titik demonstrasi untuk mengamankan demonstrasi. Padahal, TNI tidak memiliki tugas pokok dan fungsi untuk mengamankan atau mencairkan suasana di titik-titik demonstrasi.Dikeluarkannya pernyataan dari Kementerian Komunikasi dan Digital mengenai rencana pemanggilan perwakilan Meta dan TikTok pada 26 Agustus 2025 untuk mendiskusikan pemberantasan konten yang dilabeli pemerintah sebagai disinformasi, fitnah, dan ujaran kebencian (DFK).

    Hanya dalam beberapa hari, moderasi konten berlebihan (overmoderation) terjadi di platform milik kedua perusahaan tersebut, antara lain Instagram, YouTube, dan TikTok. Sejumlah akun ditangguhkan dan banyak unggahan terkait kekerasan polisi diturunkan dengan dalih ‘penghasutan dan kekerasan’. Selain itu, beberapa pengguna X juga mendapatkan notifikasi permintaan penurunan konten dari Komdigi. Padahal, konten-konten yang disebarkan merupakan ekspresi yang sah, termasuk dugaan video perintah penembakan dari Kapolri terhadap massa aksi.

    Atas dasar keenam fakta dan peristiwa yang telah dikemukakan di atas, SAFEnet mendesak kepada pihak-pihak berikut untuk segera mengambil tindakan:

    Pemerintah Indonesia, utamanya Kepolisian Republik Indonesia, untuk menghentikan segala bentuk represi digital dalam menangani demonstrasi. Pembatasan HAM harus berdasarkan three-part test, yaitu asas legalitas, nesesitas, dan proporsionalitas. Pemerintah juga harus memastikan perlindungan terhadap hak atas informasi publik di masa krisis. Media, termasuk media independen, harus diberi ruang penuh untuk melakukan liputan tanpa hambatan teknis.Perusahaan-perusahaan media sosial, utamanya Meta, ByteDance, dan Google, untuk memastikan operasi bisnisnya menghormati HAM sesuai dengan Panduan PBB untuk Bisnis dan HAM dan Panduan OECD untuk Perusahaan Multinasional mengenai Perilaku Bisnis yang Bertanggung Jawab dan tidak tunduk pada permintaan moderasi konten maupun pembatasan fitur dari pemerintah Indonesia yang bertentangan dengan HAM.Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk menarik pasukan-pasukannya dari titik demonstrasi dan kembali ke barak, serta menghentikan narasi di media sosial bahwa TNI hadir sebagai penengah, pencair suasana, dan turun ke titik-titik demonstrasi untuk mengamankan demonstrasi.Komnas HAM dan institusi HAM nasional lainnya untuk melakukan investigasi secara menyeluruh terhadap pelanggaran HAM yang terjadi.Komite HAM PBB dan Prosedur Khusus Dewan HAM PBB untuk terus memantau perkembangan situasi hak-hak digital di Indonesia dan melakukan investigasi menyeluruh mengenai pelanggaran hak-hak digital yang terjadi selama masa-masa kritis.

    Demi memastikan keamanan dan keselamatan bersama selama aksi, SAFEnet juga mengimbau agar:

    Seluruh elemen masyarakat sipil untuk meningkatkan keamanan holistik, termasuk keamanan digital, dalam melakukan kerja-kerja organisasi maupun gerakan. Masyarakat sipil dapat beralih ke platform-platform alternatif yang lebih aman sebagai sarana komunikasi dan diseminasi informasi.Seluruh elemen masyarakat sipil untuk tidak terprovokasi oleh upaya yang berpotensi menciptakan konflik horizontal. Penting bagi kita semua untuk memastikan bahwa narasi yang dibangun tidak memuat stigma, pelabelan, maupun hasutan kebencian terhadap kelompok-kelompok kelompok rentan, marjinal, dan minoritas.Masyarakat sipil internasional untuk terus memantau perkembangan terbaru mengenai situasi hak-hak digital di Indonesia dan bersolidaritas bersama masyarakat Indonesia.

    (rns/fay)

  • Menelisik prinsip keadilan pajak ditanggung pemerintah

    Menelisik prinsip keadilan pajak ditanggung pemerintah

    perdebatan soal keadilan tetap relevan, sebab persoalan pajak bukan hanya soal angka, melainkan juga soal legitimasi sosial

    Jakarta (ANTARA) – Dalam diskursus publik, sebagian masyarakat menganggap kebijakan pajak pejabat yang ditanggung pemerintah (DTP) sebagai bentuk privilese yang mengistimewakan pejabat negara, dan seolah-olah menjadi terbebas dari kewajiban membayar pajak.

    Narasi yang muncul di ruang publik pun sering kali bersifat simplistis: “Mengapa rakyat kecil dipotong pajaknya, sementara pajak pejabat justru dibayarkan negara?”

    Pertanyaan tersebut mencerminkan adanya kegelisahan publik atas keadilan sistem perpajakan, terutama dalam konteks ketimpangan ekonomi dan beban fiskal negara.

    Jika ditelisik lebih jauh, polemik ini bukan semata soal hilangnya penerimaan negara. Secara teknis, pajak pejabat yang ditanggung pemerintah tetap masuk ke kas negara. Hanya alur pembayarannya yang berbeda, yakni melalui pos belanja khusus dalam APBN. Artinya, negara tidak mengalami revenue loss.

    Namun, problem yang mengemuka lebih terkait dengan persepsi keadilan. Rakyat melihat adanya perbedaan perlakuan: masyarakat umum harus rela menerima gaji bersih setelah dipotong pajak, sedangkan pejabat tetap menikmati gaji penuh tanpa pengurangan.

    Konteks ekonomi Indonesia semakin memperkuat sensitivitas isu ini. Data Kementerian Keuangan mencatat bahwa rasio pajak Indonesia pada 2024 hanya mencapai 10,18 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), jauh di bawah rata-rata negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) yang berada di kisaran 33 persen.

    Di sisi lain, tingkat ketimpangan pendapatan (rasio Gini) Indonesia pada Maret 2024 berada di angka 0,388, yang menunjukkan masih adanya kesenjangan distribusi pendapatan. Dalam kondisi seperti ini, kebijakan pajak bagi pejabat negara menjadi sorotan tajam karena dianggap bertolak belakang dengan semangat pemerataan.

    Selain itu, belanja pegawai pemerintah pusat pada 2024 mencapai Rp257,2 triliun atau sekitar 8,6 persen dari total belanja negara. Dari angka tersebut, sebagian dialokasikan untuk skema pajak DTP.

    Meskipun porsi DTP relatif kecil dibandingkan total belanja pegawai, simbolismenya besar: publik menilai negara memberikan “fasilitas fiskal” bagi pejabat, sementara masyarakat umum harus berjuang di tengah tekanan harga dan kewajiban pajak yang tidak bisa dihindari.

    Dengan demikian, persoalan utama bukanlah pada hilangnya penerimaan negara akibat skema DTP, melainkan pada legitimasi moral dan rasa keadilan yang muncul di ruang publik.

    Tulisan ini akan mengurai lebih dalam bagaimana mekanisme pajak pejabat DTP bekerja, logika fiskal yang melatarbelakanginya, serta bagaimana kebijakan ini dapat dikaitkan dengan prinsip keadilan pajak yang menjadi fondasi legitimasi sistem perpajakan modern.

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Airlangga Sebut Perjanjian Dagang RI-Eropa Peluang buat UMKM

    Airlangga Sebut Perjanjian Dagang RI-Eropa Peluang buat UMKM

    Jakarta

    RI telah menyelesaikan kesepakatan dagang Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (EU-CEPA). Hal ini dinilai menjadi peluang baru bagi pelaku usaha Tanah Air, khususnya UMKM untuk meningkatkan ekspor ke Eropa.

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, keadaan ekonomi dan industri global saat ini sedang tidak baik-baik saja. Dunia sempat dilanda perang dagang, sebelum akhirnya mereda usai sejumlah kesepakatan dagang yang dijalin Amerika Serikat (AS) dengan mitra-mitra dagangnya.

    Indonesia menjadi salah satu mitra dagang AS yang membawa hasil positif usai negosiasi, dengan tarif ditetapkan sebesar 19%. Selain itu, Indonesia juga sudah bersepakat dengan Uni Eropa dalam IEU-CEPA.

    “IEU-CEPA itu dengan 27 negara di Eropa dan barang Indonesia kalau ekspor tarifnya nol. Nah tentu ini menjadi kesempatan bagi UMKM untuk mendorong orientasi ekspor juga,” kata Airlangga, pembukaan acara Pesta Rakyat 2025 di Smesco Convention Hall, Jakarta, Jumat (22/8/2025).

    Menurut Airlangga, IEU-CEPA membuka peluang besar bagi UMKM RI ke dalam pasar Eropa yang memiliki 27 negara dengan nilai ekonomi mencapai Rp 20 triliun. Angka tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan ekonomi RI yang hanya sekitar Rp 1,4 triliun.

    Airlangga berharap, ekspor ini dapat memperkuat daya saing UMKM, meningkatkan volume ekspor RI, serta mendukung penciptaan lapangan kerja baru di dalam negeri.

    Meski Indonesia menghadapi banyak tantangan global, ia yakin bahwa UMKM Ri memiliki kesempatan besar untuk memperluas jangkauan pasar serta meningkatkan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

    Sebagai informasi, keberhasilan RI dalam menyelesaikan kesepakatan IEU-CEPA sebelumnya juga sempat disinggung Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya saat Penyampaian RUU APBN 2026 dan Nota Keuangan.

    “Negosiasi bebas tarif Indonesia-Uni Eropa sudah kita selesaikan setelah 10 tahun perundingan yang tidak selesai-selesai. Kita berhasil melakukan terobosan pada tahun ini justru di saat ada tantangan dan cobaan yang lebih besar lagi,” kata Prabowo, di Senayan, Jakarta, Jumat (15/8/2025).

    Selain itu, Prabowo juga memamerkan peran aktif Indonesia dalam forum-forum multilateral. Adapun forum tersebut antara lain mulai dari BRICS (Brasil, Rusia, India, China, South Africa), G20, hingga ASEAN.

    “Indonesia terus hadir dan aktif memperjuangkan kepentingan nasional kita. Kita juga sedang mendaftar di OECD insyaallah kita bisa diterima,” ujarnya.

    Prabowo menegaskan, pemerintah RI ingin mempertahankan kepentingan nasional di panggung Global. Indonesia harus bisa berdiri sama tegak dengan semua negara.

    (acd/acd)

  • Kedaulatan Digital, Kunci Masa Depan Penerimaan Pajak

    Kedaulatan Digital, Kunci Masa Depan Penerimaan Pajak

    Bisnis.com, JAKARTA – Dalam laporan E-Conomy SEA 2024 yang disusun oleh Google, Temasek, dan Bain & Company, pertumbuhan ekonomi digital Indonesia pada 2024 mencapai US$90 miliar, naik 13% dibandingkan dengan 2023 senilai US$80 miliar. Pencapaian tersebut sekaligus menjadikan Indonesia sebagai negara dengan Gross Merchandise Value (GMV) tertinggi di kawasan Asia Tenggara.

    Angka tersebut menegaskan posisi Indonesia sebagai pasar terbesar di Asia Tenggara, bahkan melampaui Thailand (US$33 miliar), Malaysia (US$23 miliar), atau Vietnam (US$16 miliar). Capaian tersebut sering dianggap sebagai bukti kebangkitan ekonomi digital kita.

    Namun, di balik optimisme itu tersimpan pertanyaan penting mengenai sejauh mana negara mampu memastikan lonjakan transaksi digital benar-benar memberikan pengaruh positif terhadap penerimaan pajak? Sebab, tanpa kendali dan kedaulatan atas data transaksi, pertumbuhan yang mengesankan itu berisiko hanya berakhir menjadi angka-angka di atas kertas, sementara potensi penerimaan negara malah terabaikan.

    RISIKO KEBOCORAN

    Seluruh sistem perpajakan pada dasarnya berangkat dari data. Di era ekonomi konvensional, data transaksi relatif mudah diperoleh karena mayoritas kegiatan ekonomi terjadi dalam wilayah negara dan tercatat melalui sistem perbankan atau laporan keuangan perusahaan domestik. Dengan kata lain, otoritas pajak memiliki akses langsung terhadap informasi yang menjadi basis pengenaan pajak.

    Namun, logika itu mulai bergeser ketika ekonomi merambah ke ranah digital. Transaksi tidak lagi dibatasi oleh batas geografis, melainkan berlangsung lintas negara, lintas sistem pembayaran, bahkan lintas yurisdiksi hukum. Pergeseran ini membuka ruang bagi sejumlah perusahaan digital raksasa seperti Google, Meta, atau Amazon untuk meraup keuntungan besar di Indonesia yang notabene tidak memerlukan kehadiran secara fisik. Layanan iklan digital, langganan aplikasi, atau transaksi e-commerce kerap hanya tercatat dalam server yang berlokasi di luar negeri. Akibatnya, data yang seharusnya menjadi basis pemajakan justru berada di luar jangkauan otoritas pajak.

    Jika data transaksi ekonomi digital tidak sepenuhnya terkendali, maka proses pemungutan pajak ibarat membidik sasaran dalam kabut. Negara hanya bisa mengandalkan laporan sepihak dari perusahaan asing, yang biasanya menuntut insentif sebagai daya tawar untuk meminimalkan beban pajaknya. Di sinilah kedaulatan digital menjadi krusial.

    Ketika negara tidak memiliki kendali penuh atas data transaksi digital, potensi profit shifting atau pengalihan keuntungan ke yurisdiksi dengan tarif pajak yang rendah menjadi keniscayaan. Dalam praktiknya, perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia dapat memanfaatkan celah regulasi dan keterbatasan akses negara terhadap data ekonomi digital untuk melakukan praktik base erosion and profit shifting (BEPS).

    Data menunjukkan bahwa hanya sekitar 1,8% (Rp25,4 triliun) dari total transaksi ekonomi digital di Indonesia (Rp1.420 triliun) yang berhasil dikonversi menjadi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Padahal secara matematis potensi penerimaan bisa sekitar Rp156 triliun. Ini bukti bahwa negara belum mampu memaksimalkan potensi fiskal dari transaksi digital.

    Selanjutnya, potensi ketidakadilan fiskal makin nyata. UMKM lokal yang berjualan di platform digital diwajibkan melaporkan dan membayar pajak sesuai aturan, sementara raksasa teknologi global bisa saja menghindar melalui rekayasa struktur bisnis. Kondisi tersebut tentunya memunculkan ironi ketimpangan, karena mayoritas pelaku usaha kecil harus tunduk pada aturan, sementara kelompok kapitalis besar leluasa mencari celah.

    Terakhir, jika semua data transaksi ekonomi hanya tersimpan di server asing, maka pemerintah kehilangan instrumen penting untuk merumuskan kebijakan fiskal yang efektif. Penerimaan negara menjadi rapuh, bergantung pada “kemauan baik” perusahaan global dalam melaporkan pendapatannya. Dalam jangka panjang, kondisi ini berbahaya, negara bisa saja tumbuh menjadi pasar digital terbesar di kawasan, tetapi tetap miskin dalam hal penerimaan pajak.

    Pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam. Melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sejumlah kebijakan telah diluncurkan untuk menambal celah penerimaan, salah satunya adalah penerapan PPN atas PMSE. Sejak berlaku pada 2020, beberapa perusahaan global seperti Netflix, Google, dan Spotify telah terdaftar sebagai pemungut PPN, sehingga transaksi digital masyarakat Indonesia turut menyumbang penerimaan negara.

    Selain itu, Indonesia juga terlibat aktif dalam kerja sama internasional di bawah payung OECD/G20. Melalui skema Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting, negara-negara bersepakat untuk membatasi praktik penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional. Salah satu terobosan pentingnya adalah kesepakatan pajak minimum global 15% dan pembagian hak pemajakan bagi negara pasar, termasuk Indonesia.

    Namun, upaya pemerintah dalam memajaki ekonomi digital masih menghadapi tantangan besar. Penerapan PPN PMSE misalnya, baru mencakup sebagian transaksi dan belum mampu menjangkau keseluruhan ekosistem digital. Di sisi lain, rencana implementasi pajak global juga membutuhkan konsensus internasional yang rumit dan proses panjang sebelum benar-benar bisa dijalankan secara efektif.

    Situasi ini makin diperumit oleh dominasi perusahaan digital multinasional yang memiliki sumber daya hukum dan finansial jauh lebih besar dibandingkan otoritas pajak negara berkembang, sehingga mereka relatif lebih mudah mencari celah untuk menghindari kewajiban pajak.

    Masa depan penerimaan negara di era digital sangat ditentukan oleh sejauh mana Indonesia mampu mengukuhkan kedaulatan digitalnya. Ada beberapa langkah strategis yang bisa dipertimbangkan.

    Pertama, Indonesia perlu memperkuat regulasi atas data transaksi digital. Negara harus memiliki kewenangan untuk mengakses data transaksi yang terjadi di wilayah yurisdiksinya, terlepas di mana entitas perusahaan berada. Kewajiban berbagi data dengan otoritas pajak harus menjadi syarat bagi setiap platform yang beroperasi di Indonesia. Kedua, membangun infrastruktur digital nasional yang kuat. Langkah ini meliputi pengintegrasian sistem pembayaran lokal dengan platform e-commerce internasional, sehingga setiap transaksi yang dilakukan masyarakat dapat tercatat secara transparan dan tidak luput dari pengawasan. Investasi pada teknologi big data dan kecerdasan buatan juga diperlukan agar DJP mampu mengolah data dalam skala besar secara cepat dan akurat.

    Ketiga, Indonesia harus aktif mendorong implementasi pajak minimum global dan memastikan hak pemajakan negara pasar tidak diabaikan. Tanpa sikap tegas, potensi penerimaan dari perusahaan multinasional akan terus menguap. Keempat, pemerintah harus mendorong literasi pajak digital di masyarakat. Pemahaman bahwa setiap transaksi digital membawa konsekuensi fiskal perlu terus disosialisasikan. Pajak di era digital bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan wujud partisipasi warga negara dalam menjaga kedaulatan ekonomi bangsa.

    Jika negara gagal menguasai data transaksi ekonomi digital, maka masa depan penerimaan pajak akan rapuh. Sebaliknya, jika Indonesia mampu mengelola data dengan baik, membangun infrastruktur digital yang mumpuni, dan menegosiasikan hak fiskalnya di level global, maka peluang untuk meningkatkan penerimaan negara terbuka lebar.

    Era digital sering disebut sebagai “new oil”, di mana saat ini data menjadi sumber daya paling berharga. Namun, data saja tidak cukup, negara juga harus memiliki kilang untuk mengolahnya. Tanpa itu, Indonesia hanya akan menjadi penyedia “ladang minyak” sementara nilai tambahnya diangkut keluar negeri. Pertanyaannya, apakah kita ingin terus menjadi pasar digital yang besar tetapi gagal memaksimalkan nilai tambah?

  • Sistem Pajak Baru, Langkah Vietnam Jadi Macan Asia?

    Sistem Pajak Baru, Langkah Vietnam Jadi Macan Asia?

    Jakarta

    Selama beberapa dekade, sebagian besar usaha kecil di negara komunis satu partai ini menggunakan sistem pajak tarif tetap (lump-sum), di mana pajak dihitung berdasarkan perkiraan pendapatan, bukan pembukuan formal.

    Dalam praktiknya, penilaian pendapatan sering bergantung pada konsultasi informal dengan pejabat pajak lokal, karena banyak usaha kecil tidak memiliki catatan penjualan yang rinci.

    Menurut Kementerian Keuangan Vietnam, hingga awal 2025 ada sekitar dua juta usaha rumah tangga dan wirausaha yang masih menggunakan metode tarif tetap, sementara hanya sekitar 6.000 yang beralih ke sistem deklarasi yang lebih rumit.

    Namun mulai 2026, sistem tarif tetap akan dihapus total, sehingga semua usaha yang terdaftar wajib menggunakan sistem deklarasi.

    Perubahan ini merupakan bagian dari Resolusi 68, rencana besar yang diumumkan pada Mei lalu untuk menjadikan perusahaan swasta lokal sebagai “motor penggerak utama” ekonomi Vietnam pada 2035. Targetnya adalah agar perusahaan lokal mampu mengungguli korporasi asing dan BUMN yang selama ini lebih diistimewakan pemerintah.

    Mengapa Vietnam mengubah sistem pajaknya?

    Resolusi 68 bertujuan melonggarkan regulasi bagi perusahaan lokal, meningkatkan perlindungan hukum, serta mempermudah akses terhadap modal. Untuk pertama kalinya, resolusi ini secara tegas menetapkan hak milik, persaingan sehat, dan penegakan kontrak sebagai prinsip hukum.

    Selain memberi insentif berupa pembebasan pajak dan biaya administrasi yang lebih rendah, kebijakan ini juga diarahkan untuk meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan dalam beberapa dekade mendatang.

    Data Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menunjukkan rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) Vietnam turun menjadi 16,8% pada 2023, di bawah rata-rata Asia-Pasifik (19,5%) dan jauh lebih rendah dari rata-rata OECD (33%).

    Menurut Direktorat Jenderal Pajak, pada 2024 Vietnam mencatat penerimaan pajak tertinggi sepanjang sejarah, yakni 1,6 kuadriliun dong (sekitar Rp988 triliun), sebagian besar dari sumber domestik.

    Dalam lima bulan pertama 2025 saja, otoritas Vietnam mengumpulkan sekitar $560 juta (sekitar Rp8,68 triliun) dari usaha kecil, meningkat 26% dibandingkan tahun sebelumnya.

    Vietnam ingin jadi “Macan Asia” baru

    Pemerintah berharap dapat menghimpun modal untuk proyek infrastruktur raksasa, seperti kereta cepat dan jalan tol, yang dianggap kunci pertumbuhan masa depan. Tahun ini saja, anggaran infrastruktur naik hampir 40% menjadi $36 miliar (sekitar Rp558 triliun).

    Vietnam juga harus bersiap menghadapi biaya jaminan sosial yang meningkat seiring populasi menua cepat. Persentase warga berusia di atas 65 tahun diperkirakan melonjak dari 8,4% pada 2020 menjadi 20% pada 2050. Saat ini, menurut Departemen Ekonomi dan Sosial PBB, hanya sedikit pensiunan yang menerima uang pensiun layak.

    Pajak jadi alat berantas korupsi

    Partai Komunis ingin memodernisasi sistem pajak untuk membatasi korupsi, terutama di kantor pajak yang dikenal rawan praktik suap.

    Sejak 2016, kampanye antikorupsi telah menumbangkan dua presiden, sejumlah menteri, dan ribuan pejabat tingkat bawah.

    Menurut pejabat dan analis bisnis, banyak perusahaan berpendapatan besar masih menggunakan sistem tarif tetap, yang biasanya membuat kontribusi pajak bulanan jauh lebih kecil dibanding sistem deklarasi.

    Mereka berpendapat sektor swasta butuh “persaingan sehat” dan perlakuan yang adil, yang berarti semua pihak harus membayar pajak sesuai aturan.

    Namun, seperti dikatakan Khac Giang Nguyen, peneliti tamu di ISEAS–Yusof Ishak Institute Singapura, “Menambah penerimaan itu sulit, karena memperketat kepatuhan bisa memicu resistensi politik.”

    “Namun, keberhasilan akan lebih bergantung pada penerapan aturan secara adil, transparan, dan tanpa kebiasaan mencari keuntungan yang telah mengikis kepercayaan publik, ketimbang sekadar membuat aturan baru,” tambahnya.

    Usaha kecil jadi korbannya

    Protes jarang terjadi di Vietnam, tetapi dalam beberapa minggu terakhir video pedagang yang mengeluhkan tuntutan pajak baru beredar luas.

    Dengan kewajiban beralih ke sistem deklarasi mulai Januari 2026, banyak usaha kecil harus menghadapi kenaikan pajak besar, membeli mesin kasir baru, belajar pembukuan, serta melatih staf mengikuti aturan baru.

    Semua ini terjadi ketika beberapa sektor masih dalam masa pemulihan pasca pandemi COVID-19, ditambah ketidakpastian soal ancaman tarif 46% dari AS atas barang Vietnam (yang akhirnya berhasil diturunkan menjadi 20%).

    “Di pasar, orang-orang juga masih diperas polisi korup,” kata Zachary Abuza, profesor di National War College, Washington. Ia menambahkan, meski pemerintah ingin sektor swasta jadi motor pertumbuhan, kebijakan pajak baru justru berisiko membuat banyak usaha gulung tikar.

    Pada Juli lalu, undang-undang baru tentang PPN, pajak korporasi, dan pajak penghasilan mulai berlaku, menuntut usaha untuk melakukan pembukuan lebih rinci.

    Selain itu, prosedur baru yang lebih rumit terkait penerbitan faktur, pembayaran PPN, hingga pelaporan informasi juga diperkenalkan bulan lalu. Pada saat yang sama, pemerintah menggandakan ambang batas penghasilan yang dikenai pajak.

    Radio Free Asia melaporkan pada Juni, 80% toko di pasar terbesar di Provinsi Nghe An tutup dalam beberapa bulan terakhir.

    Pemerintah membantah bahwa reformasi pajak menjadi penyebab penutupan. Otoritas Hanoi mengakui hampir 3.000 usaha rumah tangga berhenti beroperasi pada Mei dan Juni, tetapi hanya 263 yang pendapatannya cukup besar sehingga diwajibkan mengikuti sistem baru.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Alfi Anadri

    Editor: Rahka Susanto

    (ita/ita)

  • Independensi BPS Turun di Era Prabowo, Celios Ungkap Alasannya

    Independensi BPS Turun di Era Prabowo, Celios Ungkap Alasannya

    Bisnis.com, JAKARTA — Center of Economic and Law Studies menilai independensi Badan Pusat Statistik (BPS) menurun di era pemerintah Presiden Prabowo Subianto. Padahal, semestinya BPS harus independen dari semua pengaruh politik.

    Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan meski merupakan lembaga pemerintahan, namun BPS adalah salah satu lembaga yang harus independen dari semua pengaruh politik serta menjadi rujukan bagi regulator.

    “BPS di era Pak Prabowo itu independensinya menurun,” ujarnya dalam acara Respons Masyarakat Sipil atas Pidato Kenegaraan pada HUT RI ke-80, Sabtu (16/8/2025).

    Menurutnya, independensi BPS yang menurun dapat terlihat dari gestur Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti yang beberapa kali melaporkan hasil data-data yang belum dipublikasikan kepada Prabowo. Seperti contohnya, data pengangguran dan kemiskinan dimana Presiden Prabowo Subianto pada Juli 2025 mengklaim angka pengangguran dan kemiskinan absolut di Indonesia, BPS kala itu menunda untuk merilis data tersebut ke publik. Dalam catatan Bisnis, Prabowo menyebut bahwa laporan pengangguran dan kemiskinan tersebut langsung dari Kepala BPS.

    Pada awalnya, BPS menjadwalkan merilis data kemiskinan Indonesia pada 15 Juli 2025 namun mengalami penundaan menjadi tanggal 28 Juli 2025, atau sepekan sejak Prabowo mengumumkan angka pengangguran dan kemiskinan menurun.

    “Ini kan ada jeda antara bertemu dengan Presiden kemudian diumumkan kepada publik. Ini yang membuat adanya distorsi yang kurang begitu bagus,” kata Bhima.

    Pihaknya juga meragukan data pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025 yang dirilis BPS beberapa waktu lalu. Adapun BPS melaporkan ekonomi Indonesia tumbuh 5,12% secara tahunan (Year-on-Year/YoY) pada kuartal II/2025.

    Jika ditelisik lebih dalam, Bhima menilai banyak komponen yang tidak masuk akal dan bertolak belakang seperti konsumsi rumah tangga, industri, investasi langsung atau PMTB, hingga ekspor yang diklaim BPS mengalami pertumbuhan tinggi. Terlebih, pertumbuhan kuartal II/2025 melampaui kuartal I/2025 yang tumbuh 4,87% YoY, di mana momen Ramadan dan Idulfitri jatuh pada akhir Maret 2025 atau masih kuartal I/2025.

    “Dalam sejarah ekonomi Indonesia, pertumbuhan ekonomi itu, Lebaran itu selalu lebih tinggi daripada kuartal yang lainnya,” ucapnya. 

    Pihaknya sudah melaporkan anomali tersebut ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tepatnya ke Komisi UN Statistical Commission dan UN Statistical Division. Pasalnya, BPS merujuk pada standar statistik internasional PBB sehingga PBB sebagai pemilik standar dapat melakukan pengecekan terhadap rilis yang disampaikan PBB.

    “Yang punya standar tadi harusnya bisa cek. Karena memang hampir dari semua komponen yang kemudian kita coba laporkan kepada PBB, ini sulit sekali mencari pembenarannya,” tuturnya.

    Celios juga berencana untuk meminta Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk melakukan pengecekan terhadap data pertumbuhan ekonomi Indonesia mengingat Indonesia sedang dalam proses aksesi ke organisasi tersebut. Pihaknya akan mengirimkan surat kepada PBB untuk melakukan investigasi terkait dengan data garis kemiskinan.

    Hal itu juga pernah dilakukan Malaysia ketika ada garis kemiskinan yang terlalu rendah. Pada April 2020, PBB mengirim special report ke pemerintah Malaysia dan merevisi garis kemiskinan.

    “Jadi ujungnya adalah harus ada revisi terhadap data yang disajikan oleh BPS dan transparansi,” ujar Bhima

  • Banggar DPR; Nota Keuangan RAPBN 2026 moderat dan realistis

    Banggar DPR; Nota Keuangan RAPBN 2026 moderat dan realistis

    tingginya target pendapatan negara yang dipilih oleh pemerintah patut didukung, namun pemerintah harus ekstra hati-hati, terutama dalam kebijakan perpajakan. Masalahnya, saat ini ada sensitivitas tinggi di tengah masyarakat

    Jakarta (ANTARA) – Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) menilai target dalam Nota Keuangan Rancangan Anggaran dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto kepada DPR (15/8), cukup moderat dan realistis.

    Dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu, Ketua Banggar DPR Said Abdullah mengatakan hal itu tampak dari sejumlah angka indikator asumsi ekonomi makro tahun 2026.

    Dalam RAPBN 2026, pertumbuhan ekonomi ditargetkan sebesar 5,4 persen, dengan target inflasi di level 2,5 persen, imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) 10 tahun diproyeksikan sebesar 6,9 persen, serta kurs rupiah akan dijaga di level Rp16.500 per dolar Amerika Serikat (AS).

    Sementara harga minyak mentah Indonesia ditargetkan sebesar 70 dolar AS per barel, lifting minyak mentah 610 ribu barel per hari (RBPH), dan lifting gas bumi 984 ribu barel setara minyak bumi per hari (RBSMPH).

    Said berpendapat usulan atas berbagai angka ekonomi makro tersebut menunjukkan pemerintah memilih jalan moderat atau titik tengah dari angka batas bawah dan atas berdasarkan kesepakatan antara Banggar DPR dengan pemerintah pada kesepakatan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF).

    Pilihan angka moderat tersebut, kata dia, menunjukkan pemerintah realistis dalam menghitung tantangan tahun 2026 yang tidak mudah akibat dampak pemberlakuan tarif dari Presiden AS Donald Trump, efek rambatan konflik geopolitik, menurunnya daya beli rumah tangga, serta banyaknya pemberhentian pekerja pada sektor manufaktur.

    Di sisi lain, pada rancangan postur APBN 2026, dirinya menuturkan pemerintah lebih memilih batas atas dari pembicaraan awal pada KEM-PPKF, yaitu target pendapatan negara sebesar Rp3.147,7 triliun.

    Namun untuk target belanja negara sebesar Rp3.786,5 triliun, sambung dia, menunjukkan pilihan yang berbeda, yakni mengambil angka moderat dari batas bawah dan atas.

    “Dengan pilihan ini berkonsekuensi persentase defisit RAPBN 2026 lebih rendah dari tahun 2025, yakni sebesar 2,48 persen setara Rp638,8 triliun,” tuturnya.

    Said menyampaikan tingginya target pendapatan negara yang dipilih oleh pemerintah patut didukung, namun pemerintah harus ekstra hati-hati, terutama dalam kebijakan perpajakan.

    Masalahnya, kata dia, saat ini ada sensitivitas tinggi di tengah masyarakat, terutama sentimen negatif atas pengenaan pajak tinggi yang naik signifikan pada Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yang diberlakukan banyak pemerintah daerah (pemda).

    Oleh karena itu, diharapkan pemerintah hendaknya berhati-hati dan menimbang ulang jika menempuh kebijakan perluasan perpajakan atau menaikkan tarif perpajakan untuk mengejar target pendapatan.

    Ia pun menyarankan agar pemerintah lebih fokus mengejar wajib pajak nakal yang melakukan penghindaran pajak serta memanfaatkan peluang dari perpajakan global pasca kesepakatan di Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), terutama atas beroperasinya berbagai layanan perusahaan multinasional pada lintas negara.

    Kemudian, pemerintah juga diminta agar mengoptimalkan pajak karbon sebagai upaya yang sekaligus mendorong transformasi perekonomian nasional lebih ramah lingkungan serta meningkatkan investasi pada sektor sumber daya alam (SDA) agar penerimaan negara dari bagi hasil sektor SDA semakin membesar.

    Sementara pada sisi belanja negara, Said mengatakan pemerintah mengambil posisi angka tengah dari pembahasan KEM-PPKF, yang dinilai bisa menekan defisit APBN di bawah 2,5 persen PDB, sehingga kebutuhan pembiayaannya tidak terlalu besar.

    Kendati demikian terhadap postur belanja negara, disebutkan bahwa alokasi belanja pusat jauh lebih besar dibandingkan transfer ke daerah dan desa.

    Tercatat, rancangan belanja pusat sebesar Rp3.136,5 triliun, sementara pada APBN 2025 sebesar Rp2.701,4 atau naik 435,1 triliun.

    Sebaliknya, alokasi transfer ke daerah dan desa malah mengecil menjadi Rp650 triliun dari APBN tahun 2025 sebesar Rp919,9 triliun atau turun Rp269,9 triliun.

    Menurut dia, kecenderungan makin memusatnya anggaran negara ke pusat perlu pertimbangkan ulang oleh pemerintah karena di saat yang sama, kewenangan pemda juga semakin mengecil pasca Undang-Undang Cipta Kerja.

    “Situasi ini membuat fiskal daerah akan semakin melemah, sehingga inisiatif pembangunan di daerah hanya akan bertumpu pada anggaran pusat,” ungkap Said.

    Pewarta: Agatha Olivia Victoria
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Target Pajak APBN 2026 Naik Tinggi, DPR Wanti-Wanti Masyarakat Protes karena Terbebani

    Target Pajak APBN 2026 Naik Tinggi, DPR Wanti-Wanti Masyarakat Protes karena Terbebani

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah mewanti-wanti pemerintah agar ambisi mengejar target pendapatan negara tahun depan tidak memicu resistensi publik, terutama terkait kebijakan pajak.

    Dalam RAPBN 2026, pemerintah menetapkan target pertumbuhan ekonomi 5,4%, inflasi 2,5%, yield (imbal hasil) Surat Utang Negara (SUN) 10 tahun 6,9%, nilai tukar Rp16.500 per dolar AS, harga minyak mentah Indonesia (ICP) US$70 per barel, lifting minyak 610 ribu barel per hari, dan lifting gas 984 ribu barel setara minyak per hari.

    Sementara dalam postur APBN, belanja negara ditetapkan Rp3.786,5 triliun. Said menilai pilihan itu moderat dari rentang yang disepakati, sehingga defisit turun menjadi 2,48% PDB atau Rp638,8 triliun.

    Kemudian pemerintah menargetkan pendapatan negara Rp3.147,7 triliun. Said pun menyoroti target itu karena berada di batas atas dari pembahasan awal Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF).

    “Tingginya target pendapatan negara yang dipilih oleh pemerintah patut kita dukung, tetapi pemerintah harus ekstra hati-hati terutama dalam hal kebijakan perpajakan. Saat ini ada sensitivitas tinggi di tengah-tengah masyarakat,” ujar Said dalam keterangannya, Jumat (15/8/2025).

    Legislator dari Fraksi PDI Perjuangan itu mengingatkan lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di sejumlah daerah belakangan ini menunjukkan resistensi dari masyarakat. Dia menyarankan agar pemerintah menghindari langkah menaikkan tarif atau memperluas basis pajak secara gegabah.

    Said pun menyarankan empat langkah. Pertama, mengejar wajib pajak yang melakukan penghindaran pajak.

    Kedua, memanfaatkan peluang pajak minimum global 15% pasca kesepakatan OECD. Ketiga, mengoptimalkan pajak karbon sambil mendorong ekonomi hijau.

    Keempat, meningkatkan investasi di sektor sumber daya alam untuk memperbesar bagi hasil SDA.

    Dari sisi belanja, Said mengkritisi porsi belanja pusat yang jauh lebih besar dibanding transfer ke daerah. Alokasi belanja pusat 2026 dirancang Rp3.136,5 triliun, naik Rp435,1 triliun dari APBN 2025, sedangkan transfer ke daerah dan desa turun menjadi Rp650 triliun dari Rp919,9 triliun.

    Akibatnya, menurut Said, fiskal daerah akan semakin melemah. Dia khawatir ke depan inisiatif pembangunan di daerah hanya akan bertumpu pada anggaran pusat.

    “Kecenderungan makin memusatnya anggaran negara ke pusat perlu pertimbangkan ulang oleh pemerintah,” tutupnya.

  • Menko Perekonomian optimis ekonomi Indonesia tumbuh lebih baik

    Menko Perekonomian optimis ekonomi Indonesia tumbuh lebih baik

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Menko Perekonomian optimis ekonomi Indonesia tumbuh lebih baik
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Jumat, 15 Agustus 2025 – 22:56 WIB

    Elshinta.com – Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto optimis pertumbuhan ekonomi nasional akan membaik pada semester II-2025 hingga 2026, terutama didorong dengan peningkatan investasi dan belanja pemerintah.

    “Kita lihat beberapa data terkait dengan investasi yang terus meningkat, barang modal yang naik 32 persen (year-on-year/yoy), belanja pemerintah juga naik 17,94 persen secara year-on-year, dan tentu ini diharapkan akan terus berlanjut di semester II hingga tahun depan,” ujar Airlangga, di Jakarta, Jumat.

    Selain investasi dan belanja pemerintah, ia menyatakan stimulus ekonomi yang telah diberikan sepanjang semester I-2025 sebesar Rp61 triliun turut mendukung ketahanan ekonomi nasional.

    “Dan tentunya stimulus ini akan dilanjutkan di semester II,” ujar Airlangga pula.

    Untuk meningkatkan investasi dan kemudahan usaha, ia menyampaikan pemerintah juga akan terus melanjutkan deregulasi sejumlah aturan yang diperlukan, seperti mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

    Peraturan tersebut direvisi dan digantikan dengan PP Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

    Pemerintah juga akan merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Ekspor Atas Produk Pertambangan Yang Dikenakan Bea Keluar untuk meningkatkan kepercayaan investor.

    “Kemudian perbaikan daya saing, baik untuk kerja sama perdagangan, investasi melalui IEU-CEPA (Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement), kemudian juga dalam proses terkait dengan (Indonesia menjadi anggota) OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development),” kata Airlangga.

    Selain deregulasi sejumlah aturan yang disebutkan di atas, pemerintah juga telah melakukan deregulasi secara signifikan terkait distribusi pupuk.

    Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto mengatakan pemerintah telah memangkas 145 regulasi terkait penyaluran pupuk ke petani yang rumit.

    “Hadirnya pemerintah sudah nyata dirasakan sejak awal 2025. (Sebanyak) 145 peraturan kita pangkas,” katanya dalam Penyampaian Pengantar/Keterangan Pemerintah atas RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2026 beserta Nota Keuangannya, di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat.

    Berkait pemangkasan tersebut, Prabowo mengatakan produksi beras meningkat dengan total stok komoditas tersebut di gudang pemerintah berada di atas 4 juta ton.

    “Harga stabil, petani semakin sejahtera. Ke depan, akan kita lanjutkan cerita sukses ini,” kata Prabowo.

    Sumber : Antara

  • Prabowo tegaskan Indonesia tetap jadi negara non blok

    Prabowo tegaskan Indonesia tetap jadi negara non blok

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Prabowo tegaskan Indonesia tetap jadi negara non blok
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Jumat, 15 Agustus 2025 – 16:29 WIB

    Elshinta.com – Presiden Prabowo Subianto dalam Pidato Kenegaraan perdananya dalam Sidang Tahunan MPR RI menegaskan bahwa Indonesia tetap menjadi negara non blok, sebagaimana yang telah sering dirinya sampaikan di berbagai forum luar negeri.

    “Kami tetap dalam garis non-blok, garis non-aligned. Kami tidak akan berpihak kepada blok manapun. Ini kami sampaikan di mana-mana, bebas aktif, kita ingin damai dengan semua orang,” kata Presiden Prabowo dalam pidato kenegaraan pada Sidang Tahunan MPR RI di Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat.

    Presiden menegaskan bahwa perang bersifat disruptif dan Indonesia tidak ingin terlibat dengan perang mana pun, serta berupaya menghindari perang.

    “Kita tidak mau perang. Kita harus hindari perang karena itu politik luar negeri yang saya jalankan dan saya umumkan adalah politik seribu kawan terlalu sedikit satu lawan terlalu banyak,” ucapnya.

    Dalam pidatonya, Kepala Negara turut menyampaikan keberhasilan Indonesia menjadi anggota penuh forum kerja sama ekonomi dan geopolitik BRICS pada 6 Januari 2025 lalu. Menurutnya, keanggotaan tersebut merupakan salah satu bentuk dari upaya Indonesia untuk menegakkan kedaulatan bangsa di panggung dunia.

    “Kami tegakkan kedaulatan Indonesia di panggung dunia. Kami putuskan Indonesia bergabung dengan BRICS,” ujar Prabowo.

    Setelah bergabung dengan BRICS, Indonesia juga sedang dalam proses untuk menjadi anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Menjadikan Indonesia sebagai negara kandidat aksesi pertama dari Asia Tenggara.

    Presiden ke delapan Indonesia itu juga menyoroti komitmen Indonesia untuk menyelesaikan semua masalah, terutama dengan negara-negara tetangga.

    Ia menyoroti upaya dari sejumlah pihak untuk membenturkan Indonesia dengan Malaysia sebagai salah satu upaya menjalankan politik devide at impera atau upaya menguasai suatu kelompok dengan cara memecah belah. Namun, Prabowo kembali menggarisbawahi bahwa Indonesia tidak mau diadu domba.

    “Kita mau ditabrakkan sama Malaysia. Kita sahabat sama Malaysia, kita satu rumpun. Tapi selalu politik devide at impera itu selalu ada. Janganlah kita naif janganlah kita terus-menerus mau diadu domba,” ujar Prabowo.

    Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2025, Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI Tahun 2025 serta Pidato Kenegaraan Presiden RI dalam Rangka HUT Ke-80 Kemerdekaan RI digelar di Gedung Nusantara, Kompleks MPR, DPR, DPD RI, Jakarta, Jumat.

    Acara itu dihadiri oleh 600 lebih anggota dewan, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, jajaran menteri dan wakil menteri Kabinet Merah Putih, sejumlah tokoh publik, perwakilan negara-negara sahabat, serta pimpinan partai politik.

    Sumber : Antara