Organisasi: OECD

  • Menjawab tantangan kredibilitas perpajakan melalui pembentukan BPN

    Menjawab tantangan kredibilitas perpajakan melalui pembentukan BPN

    Dalam konteks yang lebih luas, pembentukan BPN tidak boleh dilihat semata sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai instrumen transformatif untuk menutup jurang antara potensi dan realisasi penerimaan negara.

    Jakarta (ANTARA) – Keputusan pemerintah membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2025 menandai langkah besar dalam reformasi pengelolaan fiskal Indonesia.

    Program ini dikategorikan sebagai salah satu Program Hasil Terbaik Cepat yang ditujukan untuk meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga mencapai target ambisius sebesar 23 persen.

    Kehadiran BPN tidak hanya dipandang sebagai kebijakan teknokratis, melainkan juga sebagai jawaban atas tantangan kredibilitas perpajakan yang selama ini menjadi sorotan, baik di ranah akademis, praktisi, maupun dalam ruang publik.

    Kritik yang belakangan ini ramai, termasuk dari Dewan Energi Nasional (DEN), menyebut bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sering dianggap “hanya berburu di kebun binatang”. Istilah ini menggambarkan kecenderungan aparat pajak mengejar wajib pajak yang sudah patuh dan berada dalam lingkaran formal, alih-alih memperluas basis pajak dengan menjangkau sektor informal dan potensi baru.

    Kritik ini menohok legitimasi DJP sebagai lembaga yang seharusnya menjadi tulang punggung penerimaan negara. Maka, pembentukan BPN hadir sebagai bentuk koreksi struktural dan institusional untuk mengubah paradigma lama tersebut.

    Dalam konteks inilah, gagasan pembentukan BPN menemukan relevansinya. Pemerintah berupaya keluar dari jebakan “perburuan di kebun binatang” dengan membangun satu institusi baru yang tidak hanya mengintegrasikan penerimaan pajak, bea-cukai, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), tetapi juga memperkuat basis data, sistem informasi, serta strategi intelijen fiskal.

    Esensi dari langkah ini adalah memperluas jangkauan penerimaan negara dengan instrumen kelembagaan yang lebih modern, terintegrasi, dan kredibel.

    Langkah besar reformasi fiskal

    Narasi pemerintah tentang BPN tidak bisa dilepaskan dari realitas penerimaan negara tahun berjalan. Data fiskal menunjukkan adanya shortfall penerimaan di beberapa kuartal 2025, sementara realisasi pajak hingga pertengahan tahun belum mampu menembus separuh target. Situasi ini membuat pemerintah terdesak untuk mencari solusi struktural.

    Sejak lama tax ratio Indonesia bergerak di kisaran 9 – 11 persen dari PDB, jauh di bawah rata-rata negara-negara OECD yang berada di atas 20 persen. Meski sempat membaik setelah pandemi, angka itu kembali bergejolak pada 2025, sehingga target ambisius 23 persen membutuhkan instrumen kelembagaan baru yang diyakini lebih mampu mendongkrak kinerja.

    Secara historis, tax ratio Indonesia sempat berada di kisaran 9,11 persen pada tahun 2020, kemudian naik perlahan menjadi 10,33 persen pada tahun 2023 dan diproyeksikan mencapai 11,1 persen pada akhir 2025. Namun, proyeksi ini masih jauh dari rata-rata negara berkembang di Asia yang sudah menembus 15–18 persen.

    Di sinilah BPN diharapkan memberikan dorongan signifikan melalui optimalisasi penerimaan, harmonisasi pajak dan bea cukai, serta integrasi dengan sektor penerimaan non-pajak.

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Fenomena di Eropa, Pemerintah Cari Cara Lebih Pajaki Orang Super Kaya

    Fenomena di Eropa, Pemerintah Cari Cara Lebih Pajaki Orang Super Kaya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah di Eropa tengah mencari cara untuk meningkatkan penerimaan negara dengan mengenakan pajak lebih besar kepada kalangan super kaya. Namun, pakar menilai pajak kekayaan langsung jarang efektif dan kerap meleset dari target.

    Sejarah menunjukkan bahwa pajak kekayaan hanya menghasilkan pendapatan kecil. Sementara orang kaya bisa dengan mudah mengalihkan aset mereka ke perusahaan, perwalian, atau surga pajak.

    Karena itu, sejumlah ekonom menyarankan alternatif lain seperti pajak keuntungan modal dan pajak warisan. Bahkan, cara lain juga ditempuh seperti biaya keluar bagi mereka yang pindah ke yurisdiksi pajak lebih rendah.

    “Kekhawatiran tentang ketimpangan kekayaan tidak menyiratkan bahwa pemerintah harus menggunakan pajak kekayaan bersih. Meningkatkan pajak penghasilan modal cenderung lebih adil dan lebih efisien,” tulis IMF dalam panduan terbarunya, seperti dikutip Reuters, Senin (22/9/2025).

    Di Eropa, Swiss, Spanyol, dan Norwegia masih memiliki skema pajak kekayaan sementara Pancis dan Inggris mempertimbangkan opsi serupa untuk menutup defisit anggaran.  Namun, penelitian Paris School of Economics menunjukkan kalangan ultra kaya hampir tidak membayar pajak sama sekali.

    “Kita perlu memastikan bahwa para miliarder membayar setidaknya sama besarnya dengan kelompok sosial lainnya. Ini adalah pertanyaan mendasar tentang keadilan,” kata ekonom Gabriel Zucman, penggagas usulan pajak 2% bagi 0,01% orang terkaya di Prancis.

    Selain itu, OECD menilai keuntungan modal dan dividen kerap dikenakan pajak lebih rendah daripada pendapatan tenaga kerja. Sehingga membuka celah bagi ketidakadilan.

    “Perlakuan pajak yang menguntungkan atas keuntungan merupakan pendorong signifikan rendahnya tarif pajak efektif di kalangan individu berpenghasilan tinggi,” tulis OECD.

    Pajak warisan juga muncul sebagai opsi. OECD menyebut pungutan ini lebih adil dan efisien dibanding pajak kekayaan. Karena tidak menghalangi orang menabung untuk masa tua.

    Namun, banyak negara Eropa masih memberikan pengecualian besar, terutama pada aset bisnis. Kelompok advokasi pajak menilai reformasi ini mendesak.

    “Salah satu hal yang merusak hasil sosial bagi semua orang, termasuk yang terkaya, adalah ketimpangan. Ketimpangan yang tinggi merusak pertumbuhan ekonomi dan bahkan harapan hidup,” ujar CEO Tax Justice Network, Alex Cobham.

    (sef/sef)

    [Gambas:Video CNBC]

  • 10
                    
                        Pemimpin yang Terisolasi dari Kabar Rakyatnya
                        Nasional

    10 Pemimpin yang Terisolasi dari Kabar Rakyatnya Nasional

    Pemimpin yang Terisolasi dari Kabar Rakyatnya
    Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

    The great enemy of the truth is very often not the lie, but the myth, persistent, persuasive, and unrealistic.
    ” (John F. Kennedy)
    SEORANG
    presiden, siapa pun dia, bergantung pada informasi yang diterimanya setiap hari. Artinya, realitas masyarakat tidak terlihat secara langsung, tapi melalui laporan, ringkasan, atau bisikan lingkaran dalam seorang presiden.
    Jika informasi yang diterima utuh, analisisnya tepat, maka keputusan bisa presisi. Namun, jika terdistorsi, negara bisa tergiring ke arah yang salah, bahkan berbahaya.
    Akhir-akhir ini, terdapat kesan bahwa sebagian besar publik nampaknya merasa pemerintah agak terlambat merespons aspirasi warganya, sehingga dibutuhkan demonstrasi besar atau menunggu isu-isu tertentu viral terlebih dahulu.
    Boleh jadi kesan ini tidak sepenuhnya tepat, tetapi beberapa bulan terakhir, muncul persepsi bahwa langkah Presiden Prabowo Subianto kerap tertinggal dari tuntutan masyarakat.
    Ketika rakyat berharap kebijakan A, yang hadir justru kebijakan B, itu pun datang terlambat. Situasi ini menimbulkan kesan bahwa data dan fakta yang seharusnya menjadi fondasi keputusan tidak sepenuhnya tersaji di meja presiden. Akibatnya, kebijakan yang mestinya dapat diputuskan cepat dan tepat justru tersendat.
    Pertanyaan yang tak terhindarkan muncul di benak publik, benarkah orang-orang di sekitar Presiden Prabowo menyampaikan informasi apa adanya?
    Ataukah sebagian fakta ditutup-tutupi, dipoles, bahkan disisihkan demi menjaga kenyamanan politik?
    Jika yang sampai ke meja Presiden hanyalah laporan yang sudah disaring, bagaimana mungkin keputusan pemerintah bisa selaras dengan aspirasi rakyat?
    Tak peduli bagaimana teknis penyampaian informasi, atau dalam kondisi apa pun Presiden berada, ia seharusnya tetap memperoleh asupan informasi yang bergizi mengenai keadaan rakyatnya.
    Pemerintahan bukanlah mesin yang boleh berhenti sejenak, melainkan institusi yang bekerja dua puluh empat jam tanpa jeda.
    Karena itu, keterlambatan atau distorsi informasi tidak bisa ditoleransi. Terlambat atau tedistorsi sama saja dengan membiarkan keputusan diambil dalam ruang gelap, sementara rakyat menunggu keadilan yang seharusnya hadir tepat waktu.
    Dalam tradisi administrasi publik, gagasan bahwa negara harus bekerja tanpa henti sudah lama ditekankan.
    Woodrow Wilson (1887) dalam
    The Study of Administration
    menyebut pemerintahan sebagai “the most continuous of human concerns,” yang menegaskan bahwa urusan publik tidak pernah berhenti dan karenanya administrasi harus beroperasi secara konstan serta berkelanjutan.
    James Madison dalam
    Federalist Papers No. 37
    (1788) menulis bahwa pemerintahan “must be adequate to the exigencies of the nation,” sebuah pengingat bahwa kebutuhan rakyat tidak mengenal batas waktu.
    Kajian kontemporer juga menguatkan hal ini. Farazmand (2001) dalam H
    andbook of Crisis and Emergency Management
    memperkenalkan konsep pemerintahan sebagai institusi “24-hour emergency system”, di mana eksekutif harus siap mengambil keputusan kapan pun krisis datang.
    OECD (2018) bahkan menyebut negara modern sebagai
    always-on state,
    pemerintahan yang tidak mengenal jeda karena kompleksitas global menuntut respons setiap saat.
    Dari perspektif ini, tidak ada alasan teknis yang dapat membenarkan keterlambatan informasi di meja Presiden.
    Pemerintahan adalah kerja dua puluh empat jam, tujuh hari sepekan. Setiap penyumbatan informasi sama saja dengan memutus denyut nadi negara.
    Prinsip
    the right man in the right place
    harus berlaku mutlak. Untuk informasi yang urgen dan darurat, Presiden harus dapat mengandalkan lembaga yang memang berwenang, seperti Badan Intelijen Negara maupun lembaga strategis terkait intelijen lainnya.
    Lembaga itupun dituntut menyajikan laporan yang utuh dan berdaging, bukan potongan kabar yang terdistorsi.
    Dalam konteks ini, tidak boleh ada pihak yang tidak berkepentingan ikut mencampuri, apalagi mengambil alih peran di luar tugas pokok dan fungsinya.
    Hirarki eksekutif harus dihormati agar informasi yang sampai ke Presiden benar-benar murni, tepat waktu, dan relevan dengan kebutuhan negara.
    Jangan sampai kedekatan personal dijadikan alasan untuk melangkahi kewenangan institusi yang sah.
    Literatur ilmu politik modern menekankan pentingnya
    institutionalization of power
    (Huntington, 1968), yaitu kekuasaan yang dijalankan harus melalui prosedur kelembagaan, bukan hubungan pribadi. Ketika jalur formal diabaikan, prinsip spesialisasi runtuh, dan muncullah nepotisme.
    Robert Klitgaard (1988) dalam kajiannya tentang korupsi juga menegaskan bahwa ketika kewenangan bercampur dengan kedekatan personal, peluang penyalahgunaan menjadi lebih besar.
    Itulah yang sering menyalakan kemarahan rakyat di banyak negara, dari Amerika Latin hingga Asia, karena publik menyaksikan negara dijalankan oleh jaringan kekerabatan dan loyalitas pribadi, bukan oleh kompetensi dan otoritas institusional.
    Dalam literatur ekonomi politik, penyumbatan informasi sering dijelaskan lewat kerangka
    bureaucratic politics model
    (Allison & Zelikow, 1999).
    Di sini, kebijakan tidak lahir dari satu komando tunggal, melainkan dari tarik menarik antar aktor birokrasi yang masing-masing membawa agenda.
    Informasi yang akhirnya sampai ke Presiden bukanlah cermin murni kondisi lapangan, melainkan hasil tawar-menawar kepentingan.
    Douglas North (1990) menyebut fenomena ini sebagai bukti rapuhnya institusi, aturan main negara dikalahkan oleh kalkulasi sempit aktor yang berkuasa atas aliran informasi.
    Dalam kondisi seperti ini, keputusan publik rawan bias, bahkan salah arah, bukan karena Presiden tidak mau bertindak, melainkan karena bahan baku keputusan sudah terdistorsi sejak awal.
    Risikonya tidak berhenti pada kemungkinan lahirnya keputusan yang keliru. Lebih dari itu, pemimpin dapat terjebak dalam ruang gema, merasa keadaan terkendali sementara masyarakat justru menanggung beban yang berat.
    Situasi semacam ini membuat negara lamban merespons krisis, sekaligus menggerus kepercayaan publik yang melihat ketidaksetaraan antara pernyataan pemimpin dan pengalaman sehari-hari mereka.
    Fenomena seperti ini sebenarnya sudah menjadi bagian integral politik pemerintahan. Sejarah pemerintahan modern memberi banyak bukti bagaimana pemimpin bisa terjebak dalam gelembung data.
    Di Cina, penelitian King, Pan, & Roberts (2013) menunjukkan bagaimana sistem sensor dan kontrol arus informasi membuat pimpinan hanya menerima gambaran tertentu dari realitas sosial.
    Kritik publik kerap disaring, sementara informasi yang menekankan stabilitas diperbesar. Akibatnya, pemimpin bisa merasa masyarakat terkendali, padahal di bawah permukaan ketidakpuasan terus menumpuk.
    Hal itu terlihat di Nepal baru-baru ini. Perdana Menteri Khadga Prasad Sharma Oli menerima pasokan informasi yang terbatas mengenai keresahan rakyat atas kondisi ekonomi dan praktik korupsi. Lingkaran dalam yang sarat nepotisme justru menutupi gejolak publik.
    Akibatnya, Sharma tidak sepenuhnya mengetahui kemarahan masyarakat, terutama generasi muda yang resah menatap masa depan, sementara para pejabat dan keluarganya justru memamerkan kemewahan di berbagai media sosial.
    Alih-alih memperbaiki ekonomi dan menertibkan perilaku pejabatnya, pemerintah justru memilih menutup 26 platform media sosial. Alasannya untuk mengatasi hoaks, ujaran kebencian, dan penipuan daring.
    Namun, langkah itu diambil karena Sharma diyakinkan bahwa sumber kegaduhan publik adalah maraknya berita palsu, bukan krisis nyata yang dirasakan rakyat.
    Kebijakan itu berbalik arah. Generasi muda, yang kehidupannya lekat dengan dunia digital, turun ke jalan dan mengepung rumah para pejabat, termasuk kediaman perdana menteri.
    Salah informasi berujung pada salah langkah, dan salah langkah berakhir pada perlawanan rakyat.
    Di Myanmar, sejak kudeta militer 2021, Human Rights Watch (2022) mencatat bagaimana junta berusaha mengendalikan aliran informasi baik ke publik maupun ke pucuk pimpinan.
    Laporan tentang krisis ekonomi dan protes sosial disaring ketat. Hasilnya, kebijakan rezim kerap terputus dari realitas dan memperparah krisis politik.
    Contoh lain datang dari Sri Lanka. Menurut International Crisis Group (2022), lingkaran keluarga Rajapaksa menutup-nutupi data fiskal dari Presiden Gotabaya Rajapaksa. Krisis devisa yang sebenarnya genting dipoles seolah terkendali.
    Begitu cadangan menipis dan rakyat turun ke jalan menuntut pangan dan energi, Presiden pun kehilangan legitimasi.
    Tak ada kesangsian, keterlambatan informasi berdampak langsung pada kebijakan.
    Mari ambil contoh sederhana dari kasus jaminan sosial. Jika Presiden terlambat tahu ada pekerja informal meninggal karena kecelakaan kerja, misalnya, maka sinyal untuk memperbaiki sistem jaminan ketenagakerjaan juga ikut tertunda.
    Padahal satu nyawa yang hilang bisa menjadi peringatan dini untuk menyelamatkan ribuan nyawa lain.
    Dalam konteks politik, pemimpin yang terus-menerus disuguhi laporan manis akan berisiko kehilangan legitimasi.
    Rakyat mudah menangkap ketidaksinkronan antara apa yang diucapkan pemimpin dengan apa yang mereka alami sehari-hari. Situasi semacam ini merupakan resep klasik bagi lahirnya krisis kepercayaan.
    Pertanyaan pentingnya adalah mengapa lingkaran dalam cenderung menyaring informasi. Ada yang berangkat dari motif protektif, yaitu keinginan menjaga agar pemimpin tidak terlalu terbebani dengan kabar buruk.
    Ada pula yang bermula dari motif politik, demi mengamankan posisi dengan menampilkan keadaan seolah terkendali.
    Tidak jarang juga muncul motif ekonomi, ketika informasi berubah menjadi sumber rente yang hanya dapat diakses dan diolah oleh pihak tertentu.
    Seluruh motif tersebut beroperasi dalam ruang yang sama, yakni ketiadaan mekanisme kontrol yang efektif.
    Selama Presiden tidak memiliki kanal alternatif untuk mendengar suara rakyat secara langsung, lingkaran dalam akan tetap menjadi penyaring tunggal yang menentukan versi realitas apa yang sampai ke pucuk kekuasaan.
    Menghadapi masalah sekompleks ini, langkah perbaikan sebaiknya ditempuh secara bertahap dan realistis.
    Satu, meningkatkan transparansi atas data publik yang sudah tersedia, tanpa perlu membangun sistem baru yang rumit dan tanpa menambah personel yang tidak relevan.
    Banyak kementerian dan lembaga sebenarnya telah mengumpulkan data penting, tetapi informasi itu masih tersebar dan tidak terintegrasi.
    Tugas utama pemerintah adalah menyatukan data tersebut dalam sistem yang dapat diakses lintas lembaga, lalu memastikan ringkasannya sampai ke Presiden tanpa jeda.
    Dua, memperkuat fungsi penasihat Presiden yang bersifat independen, bukan dengan membentuk lembaga baru, melainkan dengan mengoptimalkan mekanisme yang sudah ada seperti Kantor Staf Presiden atau Dewan Pertimbangan Presiden.
    Yang diperlukan adalah memastikan kursi di dalamnya ditempati oleh sosok dengan keahlian teruji, bukan sekadar representasi politik.
    Pada kenyataannya, pemerintah sudah memiliki segambreng unit dan lembaga pengumpul informasi, mulai dari kementerian teknis, lembaga survei, hingga badan intelijen.
    Namun, pertanyaan yang lebih mendasar adalah apakah semua informasi itu benar-benar sampai ke
    end user
    , yaitu pejabat yang berwenang mengambil keputusan, atau justru berhenti di lapisan birokrasi menengah yang menyaring sesuai kepentingannya?
    Tiga, membangun saluran aspirasi publik yang sederhana dan fungsional. Alih-alih membuat portal baru yang berisiko mandek, pemerintah dapat memaksimalkan kanal pengaduan yang sudah ada seperti SP4N-LAPOR! dengan kewajiban agar ringkasan keluhan utama disampaikan langsung dalam rapat kabinet mingguan.
    Cara ini lebih mudah diterapkan daripada menciptakan sistem baru yang justru kompleks.
    Selama ini, saluran semacam itu justru sering terabaikan. Tidak jelas apakah situs-situs pengaduan benar-benar dimanfaatkan sebagai jembatan antara rakyat dan pemerintah, atau sekadar dijadikan formalitas belaka.
    Tanpa mekanisme yang memastikan keluhan sampai ke pengambil kebijakan, kanal tersebut hanya menjadi etalase digital yang menghabiskan anggaran tanpa daya guna.
    Empat, menumbuhkan budaya birokrasi yang berani menyampaikan kabar buruk. Perubahan budaya tentu tidak bisa instan, tetapi dapat dimulai dengan memberi perlindungan bagi pejabat menengah yang berani melaporkan informasi tidak populer.
    Dengan perlindungan itu, informasi yang sampai ke pucuk pimpinan tidak hanya berupa kabar baik, tetapi juga peringatan dini yang penting bahkan genting.
    Masalahnya, birokrasi kita tidak terbiasa menghadapi risiko, tidak terbiasa membicarakan skenario terburuk, dan tidak terbiasa menyusun langkah antisipasi sejak dini.
    Kalaupun dibahas, percakapan itu biasanya berlangsung terbatas di ruang internal, tidak melibatkan masyarakat sebagai pihak yang paling terdampak.
    Padahal, mengenali risiko justru penting agar dampak yang lebih buruk dapat dicegah. Ketiadaan tradisi ini membuat perangkat antisipatif kita minim dan rapuh ketika berhadapan dengan guncangan besar.
    Maka jangan berharap Indonesia bisa seketika meniru Jepang atau negara lain yang telah membangun
    early warning system
    yang mumpuni.
    Untuk sampai ke sana, keberanian menyampaikan kabar buruk, baik di dalam birokrasi maupun secara terbuka kepada rakyat, harus lebih dulu menjadi budaya.
    Jika kita bicara apa adanya, perangkat apa yang tidak dimiliki pemerintah untuk menghimpun informasi? Semuanya sesungguhnya sudah dimiliki.
    Pemerintah memiliki berlapis instrumen yang mampu menangkap data dari masyarakat, lembaga riset, hingga teknologi digital yang semakin canggih. Tidak ada alasan bagi negara modern untuk merasa terisolasi dari arus informasi.
    Tantangannya justru terletak pada bagaimana informasi itu dikelola dan disampaikan. Lingkaran terdekat pemimpin bisa menjadi jembatan yang memperlancar, tetapi juga berpotensi menjadi tembok yang menahan.
    Di titik inilah ujian kepemimpinan sesungguhnya, apakah Presiden mendapatkan gambaran utuh dari realitas rakyat, atau hanya versi yang telah dipilah-pilah oleh lingkaran dalamnya.
    Terakhir, wacana pembatasan satu orang satu akun media sosial, misalnya, mudah dianggap publik sebagai upaya membatasi kebebasan berekspresi.
    Alih-alih menyelesaikan masalah, kebijakan semacam itu justru berisiko menurunkan kepercayaan dan memicu resistensi.
    Dalam hal ini, pemerintah perlu juga berhati-hati atas rencana penerapan kebijakan tersebut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ada Upaya Revisi UU, Tax Amnesty Gagal Tingkatkan Kepatuhan Wajib Pajak?

    Ada Upaya Revisi UU, Tax Amnesty Gagal Tingkatkan Kepatuhan Wajib Pajak?

    Bisnis.com, JAKARTA — DPR menginisiasi perubahan Undang-undang Pengampunan Pajak atau RUU Tax Amnesty. Usulan perubahan beleid itu kemudian masuk dalam Program Legislasi Nasional alias Prolegnas prioritas tahun 2025.

    Pembahasan RUU Tax Amnesty dilakukan Komisi XI DPR dan dalam proses penyusunan. “Keterangan: proses penyusunan,” demikian tertulis dalam dokumen Prolegnas yang dikutip Bisnis, Jumat (19/5/2025).

    Dalam catatan Bisnis, RUU Tax Amnesty itu adalah inisiatif DPR. Ketua Komisi XI DPR Misbakhun adalah satu pihak yang pernah mengemukakan pentingnya program tersebut.

    Dia merasa program pengampunan pajak alias tax amnesty perlu berlaku kembali untuk mengawal berbagai visi misi pemerintah baru Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

    Misbakhun menjelaskan bahwa Komisi XI secara resmi telah mengusulkan agar RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11/2016 tentang Pengampunan Pajak masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 DPR.

    Dia menjelaskan bahwa pembahasan RUU Tax Amnesty itu masih akan sangat panjang. Setelah disahkan masuk Prolegnas Prioritas 2025, sambungnya, pimpinan DPR masih akan menentukan RUU Tax Amnesty nantinya akan menjadi inisiatif pemerintah atau parlemen.

    Jika menjadi inisiatif DPR maka naskah akademik dan draf RUU Tax Amnesty akan disusun oleh Komisi XI. Sebaliknya, jika menjadi inisiatif pemerintah maka naskah akademik dan draf RUU Tax Amnesty akan disusun oleh Kementerian Keuangan.

    Oleh sebab itu, Misbakhun mengaku belum bisa menjelaskan substansi yang akan dibahas dalam RUU Tax Amnesty tersebut. Kendati demikian, tidak menampik bahwa akan ada Tax Amnesty Jilid III apabila beleid tersebut selesai dibahas.

    “Sektor apa saja yang akan dicakup di dalam tax amnesty itu, tax amnesty itu meliputi perlindungan apa saja, sektor apa saja, ya nanti kita bicarakan sama pemerintah,” ujarnya di Kantor Bappenas, Jakarta Pusat, Selasa (19/11/2024).

    TA Jilid 1 Tidak Efektif?

    Pemerintah pernah berulangkali menerapkan pengampunan pajak. Namun hasilnya tidak terlalu signifikan. Pelaksanaan TA Jilid 1, misalnya, selama sembilan bulan pelaksanaan kebijakan, pemerintah telah mengantongi data deklarasi harta senilai Rp4.884,2 triliun yang Rp1.036,7 triliun di antaranya berasal luar negeri. Selain itu, otoritas pajak juga mencatat adanya repatriasi aset senilai Rp146,7 triliun dan uang tebusan dari wajib pajak senilai Rp114,5 triliun.

    Kendati demikian, pengampunan pajak tak hanya menyisakan cerita manis. Bisnis mencatat, dibalik limpahan data ribuan triliun tersebut ada beberapa hal yang patut menjadi catatan. 

    Dari sisi tingkat partisipasi misalnya, jumlah wajib pajak yang ikut pengampunan pajak kurang dai 1 juta atau tepatnya hanya 973.426. Jumlah tersebut hanya 2,4% dari wajib pajak yang terdaftar pada tahun 2017 yakni pada angka 39,1 juta.

    Sementara itu untuk uang tebusan, dengan realisasi Rp114,5 triliun jumlah tersebut masih di luar ekspektasi pemerintah yang sebelumnya berada pada angka Rp165 triliun. Realisasi repatriasi juga sama, dari janji yang dalam pembahasan di DPR sebesar Rp1.000 triliun, otoritas pajak ternyata hanya bisa merealisasikan sebesar Rp146,7 triliun.

    Ilustrasi Kantor Ditjen Pajak./Ist

    Tak heran sebenarnya jika hampir 6 tahun pascapelaksanaan tax amnesty, tingkat kepatuhan WP juga masih jauh panggang dari api. Tak banyak berubah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Apalagi data kepatuhan pajak menunjukkan rasio kepatuhan WP masih pada angka 83%. Angka itu masih di bawah standar yang ditetapkan OECD yakni pada angka 85%.

    Selain itu, tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi non karyawan juga tidak melonjak signifikan. Kontribusi mereka ke penerimaan negara juga tidak lebih dari 1% dari total penerimaan pajak negara.

    Satu hal lagi, menurut data OECD, rasio pajak Indonesia juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya di Asia Pasifik. Apalagi rata-rata OECD yang bisa di atas 30% dari produk domestik bruto. Rasio pajak RI paling hanya di kisaran 10% sampai 11-an persen.

    Kepatuhan Formal Belum Beranjak

    Di sisi lain, kendati telah melakukan berbagai macam relaksasi, Tten rasio kepatuhan formal wajib pajak yang hanya di angka 71% menunjukkan bahwa tudingan bahwa Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak masih berburu di kebun binatang bukan isapan jempol semata.

    Sekadar catatan, Direktorat Jenderal Pajak melaporkan terjadi penurunan kepatuhan formal penyampaian surat pemberitahuan tahunan (SPT Tahunan) 2024 wajib pajak orang pribadi (WP OP).

    Setiap tahunnya, SPT Tahunan dilaporkan paling lambat pada 31 Maret untuk WP OP dan 30 April untuk WP Badan. Pada tahun lalu, realisasinya penyampaian SPT Tahunan 2023 mencapai 1.048.242 atau 1,04 juta untuk WP Badan (korporasi) dan 13.159.400 atau 13,15 juta untuk WP OP.

    Sementara pada tahun ini, realisasi penyampaian SPT Tahunan 2024 sebesar 1.053.360 atau 1,05 juta untuk WP Badan dan 12.999.861 atau 12,99 juta untuk WP OP.

    Artinya, ada penurunan penyampaian SPT Tahunan WP OP pada tahun ini sebesar 159.539 (-1,21%) dibandingkan tahun lalu. Padahal, penyampaian SPT Tahunan WP Badan pada tahun ini meningkat sebanyak 5.118 (+0,49%) dibandingkan tahun lalu.

    Pemerintah Belum Perlu

    Sementara itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menganggap bahwa penyelenggaraan program pengampunan pajak (tax amnesty) tidak perlu dilakukan secara rutin. Pemerintah akan fokus untuk mengoptimalkan regulasi-regulasi yang ada untuk meningkatkan penerimaan pajak.

    Menurut Purbaya, penyelenggaraan tax amnesty secara berulang dapat berdampak negatif pada upaya pemerintah meningkatkan penerimaan pajak. Kebijakan pengampunan pajak yang dilakukan berulang kali juga berpotensi merusak kredibilitas pemerintah dalam penegakan pajak.

    “Pandangan saya, kalau (tax amnesty) berkali-kali, gimana kredibilitas amnesty? Itu memberikan sinyal ke pembayar pajak bahwa boleh melanggar. Nanti ke depan-depannya ada amnesti lagi,” katanya dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Keuangan, Jumat (19/9/2025).

    Dia menambahkan, sepanjang tahun ini pemerintah juga telah menggelar tax amnesty sebanyak dua kali. 

    Purbaya menuturkan, pengadaan tax amnesty yang dilakukan berulang kali dapat membuat wajib pajak dapat berpikir praktik penghindaran pajak akan terus ditoleransi.

    “Message yang kita ambil dari adalah begitu. Tahun ini kita sudah mengeluarkan ini sudah dua kali, nanti tiga (kali), empat, lima, dan seterusnya. Pesannya nanti kibulin aja pajaknya, nanti kita tunggu di tax amnesty, pemutihannya disitu. Itu yang enggak boleh,” jelasnya.

    Dia menambahkan, jika tax amnesty kembali dijalankan dalam jangka pendek, wajib pajak justru akan memanfaatkan celah tersebut.

    “Kalau tax amnesty setiap berapa tahun, yaudah semuanya menyelundupkan uang. Tiga tahun lagi dapat tax amnesty. Jadi, pesannya kurang bagus untuk saya sebagai ekonom dan Menteri,” ujar Purbaya.

  • Paradoks Perawat Indonesia

    Paradoks Perawat Indonesia

    Jakarta

    Perawat memegang peranan yang penting dalam sistem kesehatan Indonesia, bukan hanya sebagai tenaga pendamping dokter, tetapi juga sebagai garda terdepan dalam memastikan pelayanan kesehatan berlangsung dengan manusiawi dan berkesinambungan. Keberadaan perawat di Indonesia tidak sekadar tentang jumlah, tetapi juga kualitas, dedikasi, dan pengakuan akan perannya sebagai tulang punggung pelayanan kesehatan.

    Data Kementerian Kesehatan 2025 menunjukkan Indonesia membutuhkan sekitar 40.000-50.000 perawat baru setiap tahun, sedangkan lulusan perawat baru setiap tahun yang berhasil dicetak sekitar 60.000. Sepintas, angka ini menunjukkan “surplus”, tapi ada yang janggal dengan data statistik tersebut.

    Kilas Balik Profesi Perawat di Indonesia

    Sejarah profesi perawat Indonesia dimulai dari era kolonial Belanda. Perawat waktu itu difungsikan untuk melayani tuan-tuan Eropa dan rumah sakit militer. Pasca kemerdekaan, Indonesia mulai membangun sistem pendidikan keperawatan nasional melalui Sekolah Perawat Kesehatan (SPK), yang kemudian berkembang ke jenjang diploma dan sarjana seiring modernisasi pada 1970-2000-an dan saat ini bahkan sudah ada spesialis dan jenjang doktoral.

    Pendirian Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) pada 1974 dan pengesahan Undang-Undang Kesehatan serta Keperawatan membuat landasan perawat sebagai tenaga profesional semakin kuat.

    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ketimpangan proporsi tenaga kesehatan di Indonesia masih jelas terlihat, meski perawat mendominasi dengan persentase 38,80% atau sejumlah 582.023 orang.

    Namun, laporan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang dirangkum oleh William Russell pada tahun 2024 menunjukkan bahwa rasio perawat di Indonesia hanya 2,28 per 1.000 penduduk, padahal idealnya menurut WHO 4 per 1.000 penduduk, menempatkan Indonesia di peringkat keempat terendah di dunia.

    Berjuang Dalam Senyap

    Kita coba masuk lorong waktu ke tahun 2020, saat bencana biologis COVID-19 menerjang Indonesia, disinilah ketahanan infrastruktur kesehatan suatu negara diuji. Gelombang COVID-19 mengubah rumah sakit menjadi “gelanggang tempur”.

    Dokter dan perawat berguguran karena kelelahan dan terinfeksi, sementara pasien berjejal di lorong-lorong tanpa tempat tidur dan oksigen. Nakes terpaksa harus “memilih” siapa yang hidup atau mati akibat keterbatasan ventilator, sementara masyarakat panik berebut ambulans dan tabung oksigen.

    Di balik APD yang pengap, air mata perawat bercampur keringat demi memberi penghormatan terakhir bagi pasien tanpa keluarga yang boleh mendekat. Layanan kesehatan kolaps, dokter junior dipaksa handle ICU, perawat bekerja 24 jam nonstop, dan mayat-mayat dibungkus plastik menumpuk.

    Dalam momen heroik itu banyak dari kita (masyarakat) baru merasa terhubung ikatan emosionalnya dan terharu melihat betapa kerasnya perjuangan para perawat.

    Mereka seperti pahlawan tanpa tanda jasa terutama di saat negara sedang menghadapi krisis kesehatan. Namun, begitu pandemi mereda, kesadaran dan ikatan batin itu kembali mulai longgar dan goyah, profesi ini kembali mendapat stigma pahit sebagai profesi “kelas 2”.

    Surplus Perawat Yang Semu

    Pulau Jawa-Bali menyerap sekitar 70% perawat, sehingga distribusi secara nasional menjadi timpang. Banyak wilayah 3T (Terdepan, Terpencil, Tertinggal) mengalami “kekeringan” perawat. Akibatnya, fasilitas kesehatan di daerah terpencil mengalami kesulitan dalam pelaksanaan kesehatan, di sisi lain di kota besar terjadi surplus.

    Dalam penelitian dari Ferry Efendi (2022) Indonesia menghadapi ketimpangan antara surplus dan defisit tenaga perawat. Kebijakan terkait jenjang pendidikan keperawatan, penempatan, dan remunerasi belum sepenuhnya optimal. Program Nusantara Sehat dan pengiriman perawat ke luar negeri masih berdampak minimalis

    Berkaca dari Negara Tetangga

    Indonesia butuh berkontemplasi sejenak, negara-negara tetangga (Asia), seperti Jepang, Taiwan, dan Thailand, yang menghadapi tantangan serupa tetapi memiliki cara berbeda dalam menanggulanginya.

    Menurut International Council of Nurses (ICN) dalam Asia Workforce Forum: highlights widening gap in global supply and demand of nurses menjelaskan bahwa Jepang, menghadapi peningkatan populasi lansia yang signifikan, mereka merespons tantangan ini dengan mengembangkan jalur karier berjenjang bagi perawat, mulai dari Registered Nurse (RN), Certified Nurse (CN), hingga Certified Nurse Specialist (CNS).

    Taiwan mengambil pendekatan berbeda. Mereka memiliki dua jalur pendidikan, yakni Technical and Vocational Education (TVE) dan General University Education (GUE). Sejak awal 2000-an, Taiwan bahkan mengembangkan program Nurse Practitioner (NP) untuk memenuhi kebutuhan tenaga medis spesialis. Dengan pendekatan pada kurikulum internasional dan kemampuan berbahasa Inggris, perawat Taiwan kini sangat diminati di pasar internasional.

    Sementara itu, Thailand mensyaratkan pendidikan minimal Bachelor of Nursing Science (BSN) untuk perawatnya. Pemerintah Thailand secara aktif memberikan insentif khusus dan beasiswa agar perawat mau bertugas di daerah-daerah terpencil. Walaupun demikian, isu “brain drain” ke perkotaan masih menjadi tantangan tersendiri. Bagaimana dengan Indonesia?

    Pentingnya “Merawat Perawat” Indonesia

    Dunia keperawatan Indonesia memiliki catatan kelam akan tindak korban kekerasan, mulai dari cacian, ancaman, pukulan, hingga pelecehan seksual. saat mengalami segala sesuatu yang tidak memuaskan maka perawat yang akan menjadi “samsak”. Berikut sebagian cuplikan kasus kekerasan terbaru yang dialami nakes perawat:

    Fakta Baru Kasus Pengeroyokan Perawat Saat Pertahankan Tabung Oksigen, 3 Pengeroyok Perawat Puskesmas di Bandar Lampung Mengaku Keluarga Pejabat Dinkes (Kompas, 2021), Perawat di ICU Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Kendari inisial EL dianiaya keluarga pasien yang meninggal dunia (Detik, 2023), Perawat dianiaya Keluarga Pasien Gara-gara Cabut Jarum Infus di Rumah Sakit Siloam Sriwijaya Palembang (Kompas, 2021) hingga berita Perawat di Garut Dianiaya Keluarga Pasien COVID-19, Terekam CCTV hingga Kronologi (Kompas, 2021).

    Fenomena tidak mengenakkan ini seringkali dipicu oleh emosi keluarga pasien yang tidak terkendali atau mispersepsi terhadap layanan kesehatan. Dampaknya bukan hanya luka fisik, tetapi juga trauma psikologis yang mendalam bagi seorang perawat. Data tersebut membuka mata kita bahwa dibalik megahnya rumah sakit ada pejuang kesehatan yang nasibnya memprihatinkan.

    Tantangan kian pelik saat masuk ke urusan dapur (kesejahteraan), masih banyak perawat berstatus honorer atau kontrak dengan gaji yang jauh di bawah standar, padahal tanggung jawab yang mereka pikul sama besarnya dengan para pegawai tetap. Baru-baru ini publik dihebohkan demonstrasi terkait Tunjangan Hari Raya (THR) Insentif 2025 nakes RSUP Sardjito yang hanya dibayar 30% (Kompas, 2025), ini menambah daftar panjang catatan kelam kesejahteraan profesi perawat

    Melihat fenomena yang terjadi, maka sudah waktunya Indonesia serius memperhatikan konsep “Merawat Perawat.” Ini bukan hanya sekedar slogan, tetapi memang kebutuhan mendesak. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan dengan jelas, jika kesejahteraan perawat ditingkatkan, angka kesalahan medis dan burnout dapat berkurang signifikan.

    Ketika seorang perawat diperlakukan dengan adil, jam kerjanya wajar, dan pendapatannya cukup, ia dapat bekerja lebih tenang dan fokus pada perawatan kesembuhan pasien dan diharapkan tidak akan ada lagi menemukan stigma “perawat galak/perawat judes”

    Refleksi dan Harapan

    Pemerintah sebagai regulator seyogyanya membuat perubahan kebijakan yang berkeadilan. Pertama pemerintah perlu memikirkan strategi insentif yang efektif bagi perawat yang rela bertugas di daerah 3T, beasiswa pendidikan lanjut yang terus digalakkan, serta fasilitas tempat tinggal layak, Kedua, penerapan jalur advanced practice nurse, sebagaimana di Jepang dan Taiwan, bisa memotivasi perawat untuk terus belajar dan naik tingkat pendidikan.

    Ketiga, standar gaji dan tunjangan yang pantas akan berdampak langsung pada kualitas hidup dan layanan yang mereka berikan, Keempat, inovasi layanan di tengah modernisasi praktik mandiri perawat di bidang tertentu, misalnya klinik luka, perawatan geriatrik, atau homecare. Di sinilah regulasi yang jelas soal kewenangan dan perlindungan hukum menjadi krusial.

    Dalam beberapa tahun terakhir, profesi keperawatan di Indonesia telah mengalami sejumlah kemajuan yang cukup membuat optimis. diantaranya adalah berdirinya Kolegium Keperawatan Indonesia, yang menjadi tonggak penting dalam upaya untuk memajukan profesi ini. Kolegium ini berperan sebagai wadah untuk mengembangkan standar pendidikan, praktik, dan penelitian di bidang keperawatan, serta berkontribusi dalam pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan profesi perawat di Indonesia.

    Menanam pohon, tidak tumbuh dalam sehari, sehingga merawat profesi perawat butuh perjalanan maraton yang panjang dan berkelanjutan untuk mencapai hasil yang terbaik. Maju terus perawat Indonesia.

    Yayu Nidaul Fithriyyah. Ahli di bidang keperawatan onkologi. Dosen Departemen Keperawatan Medikal-Bedah, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan, UGM.

    (rdp/imk)

  • Berkat Teknologi Canggih Ini, RI Bisa Unggul di Asean

    Berkat Teknologi Canggih Ini, RI Bisa Unggul di Asean

    Jakarta, CNBC Indonesia – Menteri Koordiantor bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan Digital Economy Framework Agreement atau DEFA untuk negara-negara di ASEAN bakal berjalan tahun depan. Hal ini diungkapkan Airlangga dalam acara AI Innovation Summit 2025, Selasa (16/9/2025).

    “Indonesia menyiapkan Digital Framework Agreement saat sekarang 90% selesai, dan kita berharap tahun depan di tandatangani,” kata Airlangga.

    Menurut Airlangga, DEFA itu terkait kerja sama pembayaran digital, dan Indonesia menjadi salah satu negara yang unggul karena sudah menggunakan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). QRIS ini sudah digunakan pada 5 negara di ASEAN serta di Jepang.

    “Dengan Digital Economic Framework ini adalah framework digital pertama di dunia secara regional sebelumnya kita hanya mengenal foreign trade agreement, mengenal comprehensive economic partnership agreement, tapi ASEAN membawa ke level yang lebih tinggi, yaitu digital DEFA dan ini akan dicontoh negara lain,” katanya.

    “Bahkan negara OECD menengok ke Indonesia bagaimana mengusulkan Digital Economic Framework jadi dunia sedang melihat kita,” sambungnya.

    Lebih lanjut, menurut Airlangga DEFA ini juga akan menjadi pertahanan Indonesia dalam jika menghadapi perang tarif dengan negara lain.

    Pasalnya dalam salah satu pembahasan DEFA, ini adalah menjaga agar tarif tidak menggangu perekonomian digital kawasan, sehingga memperkuat posisi ASEAN dalam perdagangan.

    “Ini menjadi alternatif kalau terjadi perang tarif ini imun terhadap perang tarif, karena ini digital dan services, maka ini adalah peluang untuk indonesia tumbuh lebih tinggi dengan digital,” katanya.

    Menurut Airlangga, kerja sama dengan DEFA akan mengangkat ekonomi ASEAN dari US$ 1 triliun menjadi US$ 2 triliun di 2030, dengan potensi bagi Indonesia mencapai US$ 500 – 700 miliar.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Nasib Proyek Kilang Minyak RI saat Tren Global Berguguran

    Nasib Proyek Kilang Minyak RI saat Tren Global Berguguran

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah memastikan pengembangan kilang minyak di dalam negeri akan terus dilakukan meski bisnis kilang secara global tengah tertekan.

    Bisnis kilang dari perusahaan migas dunia saat ini kesulitan mendapatkan margin lantaran rendahnya harga minyak serta kondisi kelebihan pasok (oversupply) minyak mentah dan produk kilang.

    Berdasarkan data yang dicatat PT Pertamina (Persero), oversupply minyak dunia saat ini mencapai sekitar 2 juta barel per hari. Kelebihan ini disebabkan oleh tambahan suplai dari kilang baru yang beroperasi atau onstream.

    Kondisi tersebut menyebabkan profitabilitas atau spread produk kilang rendah. Rerata spread (selisih antara harga produk kilang dan harga minyak mentah), khususnya gasoline, berada di bawah biaya operasi (processing cost).

    Imbasnya sebanyak 26 kilang di berbagai dunia diperkirakan akan tutup menjelang 2030. Lebih terperinci, pada 2027, diperkirakan akan ada sembilan kilang yang tutup di AS, Eropa, Asia, Australia, dan Selandia Baru. Lalu, sebanyak 17 kilang di Afrika, Uni Eropa, dan Asia diperkirakan tutup pada 2030.

    Sementara itu, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung menuturkan bahwa Indonesia masih perlu menambah kapasitas kilang minyak seiring masih terus meningkatnya konsumsi BBM dalam negeri.

    Menurutnya, tutupnya kilang minyak di sejumlah negara maju disebabkan transisi energi dari fosil ke energi baru terbarukan.

    “Ini kan ada yang diolah di dalam kilang dalam negeri, ada yang berasal dari impor. Jadi ini kita lihat, ini bagaimana optimalisasi kilang yang ada dalam negeri,” kata Yuliot di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (12/9/2025).

    Dia mencontohkan, transisi energi di China yang masif dilakukan lewat shifting kendaraan listrik, termasuk kendaraan pribadi, angkutan umum, hingga angkutan berat yang menggunakan baterai.

    Kondisi shifting penggunaan energi di sektor transportasi China saat ini disebut telah mencapai 50% menggunakan baterai listrik. Bahkan, Yuliot menyebut SPBU BBM di China telah tutup lebih dari 60% dari kondisi awal.

    “Jadi kan kita melihat ini karena ada perubahan penggunaan energi juga, ya ini mungkin itu dampaknya adalah terhadap ini kilang-kilang secara global,” tuturnya,

    Namun, jika dibandingkan dengan Indonesia, konsumsi BBM atau bahan bakar dari fosil masih tinggi mengikuti daya beli masyarakat saat ini. Adapun, kebutuhan BBM nasional saat ini mencapai 1,5 juta barel per hari.

    Bahkan, kebutuhan tersebut belum sejalan dengan kemampuan produksi dari kilang dalam negeri. Alhasil, pemerintah masih perlu mengimpor minyak dari negara dengan tetap mempertimbangkan neraca perdagangan.

    “Kalau tidak tercukupi dari kilang dalam negeri, berarti kita harus melakukan impor dari luar negeri, tapi ini dalam neraca trade balance, ya kita juga harus mengulangi komitmen kita,” tuturnya.

    Adapun, saat ini terdapat 18 proyek kilang modular dengan nilai investasi sekitar Rp160 triliun. Proyek prioritas hilirisasi dan ketahanan energi ini diserahkan oleh Satgas Hilirisasi kepada BPI Danantara.

    Selain itu, terdapat sejumlah proyek kilang yang menjadi proyek strategis nasional (PSN), antara lain Kilang Bontang, Kilang Minyak Tuban (ekspansi), Refinery Development Master Plan (RDMP) Refinery Unit (RU) VI Balongan, dan RDMP RU IV Cilacap (rescoping).

    Terkait tantangan bisnis kilang, Pjs. Corporate Secretary PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Milla Suciyani mengatakan bahwa pihaknya masih terus fokus dalam pengembangan operasional kilang, baik dari sisi kapasitas maupun pengembangan produk melalui inovasi-inovasi.

    “KPI juga terus menjaga komitmen untuk mendukung ketahanan energi untuk Indonesia,” ujar Milla kepada Bisnis, Jumat (12/9/2025).

    Tantangan Keekonomian

    Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan, prospek bisnis kilang minyak di Indonesia bisa sangat menarik jika dikembangkan dengan tepat.

    “Ini butuh peran pemerintah juga dan tadi saya bilang, keekonomian kilang di Indonesia kan enggak terlalu bagus. Jadi harus ada yang bisa ditawarkan sebagai tambahan, seperti petrokimia atau enggak jaminan dari pemerintah, misalkan untuk investor di kilang minyak,” kata Moshe kepada Bisnis.

    Dia pun menyoroti rencana investasi Danantara Indonesia untuk membangun 17 kilang minyak modular senilai US$8 miliar bersama perusahaan asal Amerika Serikat (AS).

    Menurut Moshe, kilang modular tidak berisiko dari segi kapasitas yang terbilang kecil yakni di kisaran 100.000 barel ke bawah. Meskipun risikonya rendah, dari segi nilai keekonomian tetap dinilai rentan.

    “Jadi, risiko harus berbagi jangan semua risiko itu diserap oleh Danantara itu sendiri. Jadi kita harus cari partner sama-sama untuk mengurangi risiko, dari sisi keekonomian itu juga sangat rentan,” ujarnya.

    Dalam hal ini, dia menegaskan bahwa investasi di kilang berisiko dari segi keekonomian karena cost over run atau biaya tidak terduga yang bisa membengkak.

    “Misalkan US$100 juta, tiba-tiba membengkak jadi US$200 juta, pembengkakan biaya itu yang menjadi risiko. Pengembangan kilang itu sendiri apalagi kalau keekonomiannya tipis,” jelasnya.

    Apalagi daya beli masyarakat di Indonesia terbilang rendah sehingga kilang di dalam negeri harus menyesuaikan harga agar tidak terlalu tinggi. Untuk itu, dia mendorong untuk menambah manfaat kilang untuk produksi petrokimia.

    “Jadi saya pikir bukan karena itu yang jadi masalah di Indonesia, kilang ini kan memang dari awal memang sudah dibilang proyek yang risiko tinggi dengan keekonomian yang tidak begitu besar,” tuturnya.

    Di sisi lain, dia juga menerangkan bahwa tren kilang global yang diperkirakan akan tutup tidak akan berpengaruh ke sentimen di Indonesia. Pasalnya, kebutuhan dalam negeri masih terus tumbuh tinggi.

    Senada, Founder & Advisor Research Institute for Mining and Energy Economics (ReforMiner Institute) Pri Agung Rakhmanto menilai penambahan kapasitas kilang minyak dalam negeri menjadi keniscayaan untuk mendukung ketahanan energi nasional.

    Dia mengatakan, bagi negara-negara berkembang di wilayah Asia Pasifik, kebutuhan kapasitas kilang terus meningkat, utamanya negara yang tidak masuk dalam The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). 

    “Indonesia, sebagaimana tergolong non-OECD yang masih memerlukan fosil untuk pertumbuhan ekonomi, jelas memerlukan penambahan kapasitas kilang,” kata Pri.

    Sementara itu, dia menilai negara Uni Eropa dan AS belakangan ini tidak menambah kapasitas kilang karena telah menerapkan energi baru terbarukan yang dapat diandalkan.

    “Sementara di Middle East [Timur Tengah] juga karena memang overcapacity, dan juga karena akan pembaruan, untuk dibangun kilang-kilang baru yang juga sekaligus kilang petrokimia, untuk menghasilkan nilai tambah lebih tinggi. Beda konteks dengan keadaan dan kebutuhan Indonesia,” tuturnya. 

    Bahkan, negara-negara OECD cenderung mempertahankan bahkan mengurangi kapasitas kilang dalam beberapa dekade terakhir. Sementara itu, negara non-OECD terus mengembangkan industri kilang hingga saat ini. 

    Dalam catatannya yang dikutip dari berbagai sumber, terdapat 25 rencana penambahan kilang hingga tahun 2028. Adapun, 5 kilang di antaranya akan dibangun China, 11 kilang di India, 2 kilang Iran, Bahrain, Iraq, Jordan, Oman, Arab Saudi, Nigeria, dan Meksiko. 

    Pada 2000, hampir separuh kapasitas kilang dunia 45% tercatat berada di Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Jepang. Namun, beberapa tahun terakhir, kapasitas kilang di Timur Tengah, China dan India tumbuh hampir setiap tahun dan lebih dari 34% kapasitas kilang dunia pada 2024. 

    Kondisi inilah yang juga terjadi di Indonesia. Pri menilai RI justru harus lebih ekspansif membangun kilang, pasalnya dia justru melihat Indonesia masih stagnan dalam pengembangan ekosistem di hulu migas ini. 

    “Jadi, membangun kilang, untuk Indonesia, saya melihatnya positif dan itu memang kebutuhan ya. Dari perspektif kebijakan energi, itu memang bagian dari hilirisasi migas untuk ketahanan energi yang kita perlukan. Bukan hanya untuk ketahanan energi, tapi juga ketahanan ekonomi,” tuturnya. 

    Sebab, kemandirian energi lewat produksi minyak dalam negeri dapat mengurangi devisa impor migas dan membuat Indonesia terlepas dari kondisi pasar migas global. 

    Dia menegaskan bahwa pengembangan kilang menjadi keharusan bagi Indonesia. Sebab, selama ini pembangunan kilang dalam negeri stagnan dan tersendat aspek politik, pendanaan, serta prioritas pilihan investasi. 

    “Bagaimanapun, impor crude [minyak mentah] tetap lebih baik daripada dibandingkan impor hasil olahannya [bahan bakar]. Ada tahapan dan proses peningkatan nilai tambah ekonomi yang didapat dari keberadaan kilang yang mengolah itu,” pungkasnya. 

  • Pajak Minimum Global 15% Jadi Diterapkan? Ini Jawaban Kemenkeu

    Pajak Minimum Global 15% Jadi Diterapkan? Ini Jawaban Kemenkeu

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah Indonesia belum efektif menerapkan pajak minimum global atau Global Minimum Tax (GMT), meskipun landasan hukumnya telah berlaku melalui terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024.

    Hal ini sebagaimana diungkapkan Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto saat ditanya tentang insentif baru pengganti tax holiday. Ia mengatakan, insentif alternatif pengganti tax holiday akan diterapkan setelah GMT benar-benar terimplementasi lebih dahulu.

    “GMT nya kita terapkan dulu,” kata Bimo saat ditemui di kawasan Gedung DPR, Jakarta, sebagaimana dikutip Jumat (11/9/2025).

    Sekertaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso juga mengatakan hal serupa, implementasi GMT yang tarifnya sebesar 15% pemberlakuan masih mempertimbangkan tren global.

    “Kita sedang diskusi dengan Kemenkeu karena sudah ada PMK-nya. Cuman kan sama dengan negara lain, pemberlakuannya kan masih kita pertimbangkan lagi, negara-negara lain kan juga belum,” ujar Susiwijono.

    Sebagaimana diketahui, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2024 terkait pengenaan pajak minimum global yang mulai berlaku pada tahun pajak 2025 telah diterbitkan sejak 31 Desember 2024.

    Penerapan ketentuan pajak minimum global merupakan bagian dari kesepakatan Pilar Dua yang digagas oleh G20 dan dikoordinasikan oleh OECD, serta didukung oleh lebih dari 140 negara. Saat ini, terdapat lebih dari 40 negara yang telah mengimplementasikan ketentuan tersebut, dengan mayoritas negara menerapkan pada tahun 2025.

    Inisiatif ini bertujuan untuk meminimalkan kompetisi tarif pajak yang tidak sehat (race to the bottom) dengan memastikan bahwa perusahaan multinasional beromzet konsolidasi global minimal 750 juta Euro membayar pajak minimum sebesar 15% di negara tempat perusahaan tersebut beroperasi. Ketentuan ini tidak berdampak bagi wajib pajak orang pribadi dan UMKM.

    Sejalan dengan kesepakatan global, ketentuan ini di Indonesia juga berlaku bagi wajib pajak badan yang merupakan bagian dari grup perusahaan multinasional dengan omzet konsolidasi global sedikitnya 750 juta Euro.

    Wajib pajak itu dikenakan pajak minimum global dengan tarif 15% mulai tahun pajak 2025. Dalam hal tarif pajak efektif kurang dari 15%, Wajib Pajak harus melakukan pembayaran pajak tambahan (top up) paling lambat pada akhir tahun pajak berikutnya. Sebagai contoh, untuk tahun pajak 2025, estimasi jumlah pajak dibayarkan paling lambat tanggal 31 Desember 2026.

    Terkait kewajiban pelaporan pajak minimum global, wajib pajak diberikan waktu paling lambat 15 bulan setelah tahun pajak berakhir. Khusus pada tahun pertama wajib pajak masuk dalam cakupan ketentuan ini, pemerintah memberikan kelonggaran bagi wajib pajak untuk melakukan pelaporan, yaitu paling lambat 18 bulan setelah tahun pajak berakhir.

    Sebagai contoh, apabila wajib pajak masuk dalam cakupan pada tahun pajak 2025, maka pelaporan pertama dilakukan paling lambat tanggal 30 Juni 2027. Selanjutnya, untuk tahun pajak 2026, pelaporan dilakukan paling lambat tanggal 31 Maret 2028. Ketentuan mengenai bentuk formulir, tata cara pengisian, pembayaran, dan pelaporan surat pemberitahuan tahunan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

    Dalam menerapkan pajak minimum global, pemerintah tetap memperhatikan iklim investasi di Indonesia. Untuk itu, sektor-sektor yang menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi di masa mendatang akan dijaga daya saingnya melalui pemberian insentif yang terarah dan terukur.

    (arj/haa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Negara Barat Ramai-ramai Pangkas Hari Libur Nasional, Kenapa?

    Negara Barat Ramai-ramai Pangkas Hari Libur Nasional, Kenapa?

    Jakarta

    Pengurangan hari libur nasional sedang jadi tema hangat. Juli lalu, Perdana Menteri Prancis, Francois Bayrou mengusulkan untuk menghapus ‘Senin Paskah’ dan ‘Hari Kemenangan Eropa’ dari 11 hari libur nasional Prancis. Langkah tersebut menurutnya dapat membantu mengamankan anggaran, mengurangi pengeluaran negara. Bayrou bukan satu-satunya yang mengusulkan hal tersebut.

    Awal tahun 2025, Slovakia ‘memangkas’ satu hari libur nasional untuk memperbaiki situasi ekonomi negara – hal serupa dilakukan Denmark di tahun 2023, dengan menghapus libur setelah Paskah. Kopenhagen beralasan hal tersebut dilakukan untuk menciptakan ruang fiskal di tengah meningkatnya anggaran pertahanan negara.

    Presiden AS, Donald Trump, bahkan mengikuti jejak ini. 19 Juni lalu ia menulis di kanal sosial medianya “terlalu banyak hari libur di Amerika” ini berdampak kerugian “miliaran dolar.”

    Namun banyak yang menafsirkan komen tersebut sebagai pernyataan politis belaka atas ‘Juneteenth’ yang memperingati akhir dari masa perbudakan – hari libur nasional yang diusulkan di masa pemerintahan Joe Biden.

    Tapi apa benar, negara dengan sedikit hari libur nasional lebih produktif secara ekonomi?

    Tingkatkan pajak atau kesejahteraan pekerja?

    “Bukti yang mendukung gagasan ini masih terbatas,” jelas Charles Cornes, ekonom senior di lembaga konsultan Inggris Cebr, kepada DW. “Produktivitas lebih didorong oleh faktor-faktor seperti efisiensi tenaga kerja, investasi modal, keterampilan tenaga kerja, dan teknologi, bukan jumlah hari libur nasional.”

    Penelitian menunjukkan produk domestik bruto (PDB) suatu negara mungkin mengalami peningkatan kecil akibat pemotongan hari libur nasional.

    Namun studi yang dilakukan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Sentral Jerman menemukan bahwa peningkatan PDB secara proporsional jauh lebih kecil daripada pada peningkatan PDB di hari kerja.

    Secara teori, hari libur secara praktis mengurangi produktivitas secara drastis di hari tersebut. Pendapat lain juga menyatakan bahwa produktivitas pekerja turut ‘menyusut’ menjelang hari libur nasional atau setelahnya, banyak pekerja yang memilih memaksimalkan hari libur tersebut.

    Meskipun pemotongan hari libur nasional dapat meningkatkan pendapatan pajak bagi pemerintah, namun beberapa pihak menentang dengan alasan hari libur meningkatkan kesejahteraan pekerja yang mempengaruhi produktivitasnya.

    “Ada bukti yang menunjukkan bahwa tanpa banyak hari libur, pekerja berisiko lebih tinggi mengalami kelelahan, dan ini menyebabkan penurunan kesejahteraan pekerja secara menyeluruh,” ujar Adewale Maye, analis Institut Kebijakan Ekonomi Washington kepada DW.

    Hari libur nasional dan liburan yang digaji

    Perdebatan tentang hari libur nasional meluas pada pembahasan tentang jam kerja secara keseluruhan. Jerman, Inggris, dan Belanda termasuk di antara negara-negara yang berupaya mengatasi pertumbuhan ekonomi yang sedang stagnan dengan menaikkan jam kerja rata-rata.

    Peningkatan jam kerja rata-rata merupakan gagasan yang berbeda dengan penghapusan hari libur nasional. Misalnya, di Jerman mereka yang bekerja paruh waktu diimbau untuk bekerja lebih lama. Namun peningkatan jam kerja tidak mengundang reaksi sekeras penghapusan hari libur nasional.

    Menurut sebuah studi di tahun 2020, jika hari libur nasional dan cuti tahunan yang diwajibkan secara hukum dijumlahkan, maka sebagian besar negara negara OECD terdata memiliki 30-36 hari libur. Hari libur ini merupakan hari libur yang digaji.

    AS adalah pengecualian

    Beberapa negara dengan gabungan jumlah hari libur nasional dan cuti tahunan terbanyak, seperti Austria (38), Denmark (36) dan Finlandia (36) memiliki PDB per kapita tertinggi di dunia.

    AS adalah satu-satunya negara OECD yang tidak memiliki cuti tahunan. AS memiliki 11 hari libur nasional, tetapi menurut Adewale Maye, banyak industri seperti ritel, pariwisata, dan transportasi masih beroperasi selama hari libur nasional karena para pekerja tidak dijamin secara hukum untuk mendapatkan cuti tahunan.

    Maye mengungkap bahwa selain AS, semua negara OECD lain memberikan cuti tahunan resmi tanpa merugikan perekonomian mereka. “Ekonomi negara-negara ini telah berkembang pesat, sekaligus memberikan hak bagi para pekerjanya untuk beristirahat,” jelasnya.

    Hal ini dapat menjadi argumen utama menentang hipotesis Trump – yang mengatakan pekerja AS terlalu banyak libur.

    “Masalahnya di AS bukan soal bekerja lebih banyak,” tambah Maye. “Tetapi membangun ekonomi di mana semua pekerja dan keluarga mereka merasa didukung, aman, dan dapat berkembang adalah masalah utamanya.”

    Produktivitas bukan sekadar jam kerja

    Charles Cornes mengatakan, mengingat luasnya wilayah AS, mungkin meminta bisnis untuk tutup sepanjang hari dapat berdampak negatif terhadap perekonomian. Namun, ia mengatakan hal tersebut berbeda untuk setiap sektor.

    “Hari libur justru menguntungkan sektor perhotelan dan ritel, memberi mereka dukungan di tengah tekanan dan persaingan dengan e-commerce yang berkembang selama dekade terakhir,” jelas Cornes.

    Ia menekankan bahwa produktivitas pekerja pada akhirnya bergantung pada faktor-faktor lain dan bukan hanya sekadar masalah jam kerja.

    “Misalnya, jika orang Jerman bekerja lebih sedikit tetapi menghasilkan tingkat output yang sama, hal ini tidak akan merugikan perekonomian dan justru dapat menguntungkan secara sosial dan ekonomi jika orang-orang memiliki menggunakan lebih banyak waktu luangnya untuk mencoba hal-hal baru,” jelas ekonom senior tersebut.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Sorta Caroline

    Editor: Rizky Nugraha

    Tonton juga video “Ada 27 Hari Libur Nasional-Cuti Bersama 2025” di sini:

    (ita/ita)

  • BCA Geber Literasi Keuangan kepada 278 Ribu Orang – Page 3

    BCA Geber Literasi Keuangan kepada 278 Ribu Orang – Page 3

    Lalu, KEJAR Award 2025 pada kategori Bank Implementasi KEJAR Terbaik Subkategori Bank Umum Konvensional. Lalu, kategori OJK Penggerak Duta Literasi Keuangan terbaik segmen PUJK kepada karyawan KCU Batam

    “Kami berharap penghargaan ini dapat menjadi pendorong bagi BCA, khususnya melalui Bakti BCA, untuk terus berinovasi dan memperkuat komitmen dalam meningkatkan literasi keuangan masyarakat Indonesia,” ujar dia.

    Literasi Keuangan RI

    Diberitakan sebelumnya, Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menegaskan bahwa tingkat literasi keuangan Indonesia yang kini mencapai 66 persen termasuk dalam kuartil menengah ke atas di tingkat global.

    Bahkan, angka ini sudah bersaing dengan negara-negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang mayoritas adalah negara maju.

    “Kalau dibandingkan bukan saja dengan negara-negara berkembang bahkan dengan negara-negara OECD anggota dari organisasi dari negara-negara maju. Angka 66 persen itu adalah angka yang berada dalam kuartal ataupun perempat atau kuartil menengah ke atas,” kata Mahendra dalam konferensi pers LIKE IT! yang diselenggarakan di Bumi Perkemahan dan Graha Wisata (Buperta) Pramuka Cibubur, Jakarta Timur, Kamis (14/8/2025).