Organisasi: OECD

  • RI Bakal Gabung BRICS & OECD, Apa Dampaknya untuk Pengusaha?

    RI Bakal Gabung BRICS & OECD, Apa Dampaknya untuk Pengusaha?

    Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengungkap manfaat Indonesia bergabung dalam keanggotan organisasi BRICS dan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) terhadap iklim usaha nasional. 

    Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani menilai pemerintah Indonesia memiliki tendensi dan pertimbangan dari segi geopolitik dalam berpartisipasi lewat dua organisasi dunia tersebut. Keputusan Presiden Prabowo Subianto, katanya, menjadi langkah yang baik bagi Indonesia. 

    “Mungkin perlu dilihat benefit-nya apa persisinya, tapi yang pasti supaya kita berimbang mungkin dari OECD tendensi nya kita sudah lihat seperti apa, kemudian BRICS itu seperti apa. Ini yang saya rasa perlu dianalisa lebih jauh,” kata Shinta, Rabu (30/10/2024). 

    Shinta menerangkan keanggotan Indonesia di OECD dan BRICS cenderung kepada keterlibatan dalam standar-standar yang ditetapkan organisasi tersebut. Sementara itu, dia mengatakan kedua nya tidak langsung berdampak pada akses pasar, perdagangan maupun investasi. 

    “Ini maksudnya tidak ada kaitan langsung terhadap akses pasar dan lain-lain. Ini hanya kelompok yang kemudian mencoba untuk bersama, saya lihat salah satu aspek yang lagi didorong emngenai keuangan, dari segi swap [currency] dan segala macam,” ujarnya 

    Terkait manfaat keekonomian dari keanggotan pada BRICS dan OECD, Shinta menilai hal tersebut tidak dapat dibandingkan karena memiliki aspek berbeda dengan kerja sama komprehensif.

    “Ini bukan seperti comprehensive economy partnership agreement seperti dengan EU, kalau EU itu dampaknya langsung karena dia kan ke market access kepada perdagangan ke investasi itu kan ada dampaknya itu lain,” terangnya. 

    Diberitakan sebelumnya, Ekonom Senior Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai opsi terbaik untuk Indonesia adalah untuk bergabung dengan kedua organisasi tersebut. Hal tersebut seiring dengan potensi manfaat yang akan didapatkan Indonesia dengan langkah tersebut. 

    Wijayanto juga mengatakan, tidak ada larangan formal yang mengatakan bahhwa sebuah negara tidak boleh bergabung dengan BRICS dan OECD. Menurutnya, praktik serupa juga telah dilakukan oleh negara-negara lain seperti Brasil, Thailand, dan lainnya.

    “Ini [RI bergabung ke BRICS dan OECD] mungkin dilakukan, karena tidak ada larangan formal. Thailand approach-nya begitu, Turki sudah menjadi anggota OECD tapi sedang apply [ke BRICS], Brasil sebagai pemrakarsa BRICS juga sedang apply ke OECD,” jelas WIjayanto dalam diskusi daring ‘BRICS vs OECD: Indonesia Pilih Mana?’ pada Rabu (30/10/2014). 

    Wijayanto memaparkan salah satu keuntungan Indonesia bergabung dengan BRICS adalah meningkatkan kerja sama antara negara berkembang atau global south. 

    Menurutnya, kerja sama global south belum secara maksimal dikembangkan oleh OECD. Padahal, Wijayanto mengatakan secara ekonomi potensi kerja sama ini sangat besar.

  • Risiko dan Peluang bagi Indonesia Jika Resmi Gabung BRICS

    Risiko dan Peluang bagi Indonesia Jika Resmi Gabung BRICS

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah Indonesia perlu mewaspadai beberapa dampak yang akan muncul jika resmi bergabung dengan kelompok negara BRICS, termasuk meningkatnya ketegangan dengan negara-negara Barat seperti AS.

    Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Ahmad Khoirul Umam menuturkan, minat Indonesia untuk bergabung ke BRICS merupakan salah satu bentuk diplomasi jalan tengah dan sikap yang lebih inklusif di dunia internasional setelah sebelumnya telah mengurus aksesi ke Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).

    Di sisi lain, dia mengatakan Indonesia juga harus bersiap menghadapi dampak yang akan muncul jika resmi bergabung dengan BRICS. Masuknya Indonesia ke BRICS dapat memicu ketegangan hubungan dengan negara barat, seperti AS dan sekutunya.

    “Keberpihakan pada aliansi internasional yang non-barat akan menghasilkan karakter pola relasi yang agak penuh dengan kecurigaan. Indonesia bisa menghadapi ketegangan dengan negara-negara seperti AS atau Australia yang bisa disebut sebagai security sheriff AS di wilayah Pasifik,” katanya dalam diskusi daring daring ‘BRICS vs OECD: Indonesia Pilih Mana?’ pada Rabu (30/10/2014).

    Serupa, Ekonom Senior Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menuturkan masuknya Indonesia sebagai anggota BRICS dapat mengganggu hubungan dengan AS.

    Namun, dia mengingatkan Indonesia untuk tidak takut dan tetap berani melangkah untuk bergabung ke BRICS jika hal tersebut akan menguntungkan negara.

    “Memang akan membuat hubungan kita dengan AS bermasalah. Dampak pasti ada, tetapi seberapa besar harus ditakar oleh Indonesia. Jangan sampai ketakutan terhadap dampak itu membuat Indonesia tidak berani melangkah,” jelas Wijayanto.

    Wijayanto mengatakan potensi risiko tersebut akan bergantung pada diplomasi yang dilakukan Indonesia ke depannya. Dia mengatakan, Indonesia harus mampu memberikan anggapan bahwa keputusan bergabung ke BRICS bukan merupakan langkah memihak blok tertentu.

    Dia menuturkan, beberapa negara lain yang telah atau berminat menjadi anggota BRICS masih memiliki hubungan baik dengan AS, seperti dua negara pemrakarsanya, Brasil dan India.

    “India dan Brasil sebagai salah satu inisiator BRICS adalah sahabat terdekat AS di Asia Selatan dan Amerika Selatan. Kemudian, Vietnam yang mendekat ke BRICS sudah memiliki perjanjian dagang bilateral dengan AS sejak 2000,” tambahnya.

    Sementara itu, Umam juga mengingatkan Indonesia harus mampu memanfaatkan kesempatan bergabung dengan BRICS dan OECD untuk meningkatkan pembangunan negara. Dia mengatakan, kerja sama dengan kedua organisasi tersebut akan memiliki manfaat besar terutama dari sisi ekonomi.

    “Kalau kita lambat untuk memilih, itu akan memberikan dampak secara ekonomi terutama dari sisi timeline kalau kita telat merespons kesempatan-kesempatan ini,” kata Umam.

    Peluang dan Risiko Gabung BRICS

    Adapun, Umam mengatakan, bergabung dengan BRICS akan menambah akses Indonesia dalam pendanaan untuk infrastruktur. Pasalnya, BRICS memiliki lembaga pendanaan sendiri bernama New Development Bank (NDB) yang menyediakan alternatif pembiayaan infrastruktur.

    “BRICS bisa menjadi salah satu alternatif pendanaan infrastruktur untuk Indonesia yang persyaratannya tak seketat OECD. Ini bisa menggenjot agenda pembangunan infrastruktur Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto,” ujarnya.

    Selain itu, dengan masuk menjadi anggota BRICS, Indonesia akan memiliki posisi tawar di dunia internasional, terutama dari sisi ekonomi. Ahmad menuturkan, hal ini akan menjadi penting dalam diplomasi ekonomi mengingat negara-negara anggota BRICS memiliki pengaruh yang lebih besar terkait arus investasi dan perdagangan dunia.

    Namun, Umam mengingatkan Indonesia harus selalu menjalankan diplomasi jalan tengah dengan tidak terlalu condong ke barat maupun timur.

    Di sisi lain, dia juga mengingatkan Indonesia harus mengantisipasi potensi risiko ketergantungan ekonomi terhadap China. Hal ini mengingat posisi China sebagai negara anggota BRICS dengan kekuatan ekonomi terbesar.

    Sementara itu, Dosen Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Fajar Anandi, menambahkan Indonesia juga harus mampu menyeimbangkan hubungan antara negara-negara anggota BRICS, terutama Rusia dan China dan negara-negara Barat.

    Fajar juga menyoroti hubungan dagang antara Indonesia dan China yang signifikan seiring dengan tingginya ekspor dan impor yang dilakukan kedua negara.

    “Mau tidak mau kita akan lebih terikat dengan mereka (BRICS), terutama dengan China, karena ada kepentingan dalam konteks ekonomi dan lainnya. Tantangannya adalah bagaimana Indonesia melakukan balancing dengan negara-negara Barat,” katanya.

  • Antara Lawatan Prabowo ke G20, BRICS, hingga Gibran Jadi Plt Presiden

    Antara Lawatan Prabowo ke G20, BRICS, hingga Gibran Jadi Plt Presiden

    Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk sementara akan menggantikan tugas sebagai presiden saat Prabowo Subianto melawat ke luar negeri.

    Seperti diketahui, informasi yang berkembang, Presiden Prabowo Subianto akan melawat ke sejumlah Negara di luar negeri. Mulai dari kunjungan kenegaraan ke China untuk bertemu dengan Presiden Xi Jinping. Lalu, menemui Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden di Gedung Putih, Washington DC.

    Dari AS, Prabowo akan terbang ke Peru untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) pada 14—15 November 2024. Terakhir, Prabowo akan bertolak ke Rio de Janeiro, Brasil untuk menghadiri KTT Group of Twenty (G20) pada 18—19 November 2024 mendatang.

    Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi telah memastikan bahwa Presiden Prabowo Subianto akan menghadiri dua konferensi tingkat tinggi (KTT) tersebut.

    “Kan ada undangan, ada G20, ada APEC, sebagai Kepala Negara ya pasti beliau kan harus hadir,” ujarnya kepada wartawan di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (29/10/2024).

    Nantinya, Prasetyo membenarkan bahwa selama kekosongan pemerintahan saat Prabowo melakukan lawatan ke Luar Negeri, maka Negara akan dipegang oleh Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka.

    Dia mengatakan bahwa saat ini Kementeriannya sedang menyiapkan surat untuk penunjukkan Gibran sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Presiden selama kepergian Prabowo ke luar Negeri. 

    “Ya pasti dong [pemerintahan dipegang Gibran], kan aturannya pasti begitu. Iyalah pasti [kami keluarkan surat],” pungkas Prasetyo.

    BRICS atau OECD?

    Kunjungan Prabowo ke G20 dan APEC akan berlangsung di tengah proses keanggotaan Indonesia sebagai negara BRICS yang diajukan pada KTT di Kazan, Rusia pekan lalu.

    BRICS sendiri merupakan akronim dari Brasil, Rusia, India, China, dan South Afrika (Afrika Selatan). Kelimanya merupakan negara-negara awal yang tergabung dalam blok ini.

    Adapun, BRICS awalnya terdiri dari Brasil, Rusia, India, dan China. Afrika Selatan bergabung pada tahun 2010, sementara Mesir, Ethiopia, Iran dan Uni Emirat Arab (UEA) menjadi anggota BRICS tahun ini. 

    Prabowo mengungkapkan alasan Indonesia ingin bergabung dalam blok ini. Menurutnya, negara-negara anggota BRICS merupakan negara-negara besar. Terlebih lagi, dia juga melihat bahwa banyak beberapa negara tetangga juga sudah menyatakan minat pada blok tersebut. 

    “Dan BRICS kita lihat ekonomi-ekonomi besar, India, Brazil, Tiongkok, Afrika Selatan sudah di situ dan negara-negara tetangga kita banyak yang sudah ke situ. Thailand, Malaysia nyatakan minat, Emirat Arab, Mesir,” terang Prabowo.

    Sementara itu, keinginan Prabowo membawa Indonesia ke BRICS bertolak belakang dengan kebijakan luar negeri pendahulunya yang ingin Indonesia menjadi negara OECD.

    Sebelumnya, pada akhir pemerintahan Jokowi, pemerintah mengungkapkan sedang mengerjakan sederet tugas sebagai syarat untuk aksesi menjadi anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). 

    Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto selaku Ketua Tim Nasional OECD menyampaikan tugas berupa perbaikan-perbaikan public service tersebut sebagai upaya agar standar pelayanan dapat setara dengan negara maju, sesuai dengan standar OECD. 

    “Kami berharap bahwa proses ini yang akan kita kerja sama antar-Kementerian/Lembaga, kita kerja sama juga dengan masyarakat, dengan institusi termasuk di sini dari KPK,” tuturnya dalam usai Rapat Koordinasi Tim Nasional OECD dan Peluncuran Portal Aksesi OECD, Kamis (3/10/2024). 

    Pemerintah pun terus melakukan benchmarking atau tolok ukur dengan negara-negara yang telah menjadi anggota OECD. 

    Menteri Keuangan yang menjadi Wakil Ketua Tim Nasional OECD, dalam hal ini Sri Mulyani Indrawati, menyampaikan instansinya terus melakukan reformasi seperti pengelolaan APBN, fiskal, perpajakan, belanja, pembiayaan maupun reformasi yang tercantum dalam UU No.4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). 

    “Jadi, banyak yang masuk di dalam OECD itu sebetulnya sudah masuk di dalam reform yang sudah kita kerjakan,” ujar Sri Mulyani. 

    Dikritik CSIS

    Sementara itu, Centre for Strategic and International Studies atau CSIS mengkritisi keputusan pemerintah untuk bergabung ke blok ekonomi BRICS, padahal Indonesia sudah menjadi anggota G20.

    Direktur Eksekutif CSIS Yose Rizal Damuri mengaku kaget dengan keputusan pemerintah yang mengikuti jejak tiga negara Asean lain yaitu Malaysia, Vietnam, dan Thailand yang bergabung ke BRICS. Dia menekankan, level Indonesia sudah di atas Malaysia, Vietnam, dan Thailand.

    “Indonesia itu sudah berada di atas dari tiga negara anggota Asean ini, Indonesia itu anggota G20 kok, kita enggak terlalu memerlukan satu platform baru untuk tampil ataupun mempunyai corong di tingkatan global,” ujar Yose dalam media briefing yang disiarkan di kanal YouTube CSIS Indonesia, Jumat (25/10/2024).

    Oleh sebab itu, dia menilai seharusnya pemerintah cukup fokus ke G20. Bahkan, sambungnya, Indonesia bisa pimpin negara-negara kawasan dengan membawa Asean sebagai organisasi bergabung ke G20.

    “Seperti African Union misalnya, dan itu yang kita bisa coba kembangkan ke depannya, bukan bagian dari satu kelompok yang mungkin sampai sekarang belum ketahuan juga tujuannya untuk apa,” kata Yose.

  • Perjanjian Dagang RI-Uni Eropa Belum Rampung, Bisa Lanjut di Era Prabowo

    Perjanjian Dagang RI-Uni Eropa Belum Rampung, Bisa Lanjut di Era Prabowo

    Jakarta

    Perjanjian dagang antara Indonesia dengan Eropa atau Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (I-EU CEPA) belum menemukan titik terang.

    Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Perjanjian Perdagangan Internasional, Bara Krishna Hasibuan mengatakan ada beberapa isu yang belum dapat disepakati dengan Uni Eropa sehingga kemungkinan besar pembahasannya akan terlambat.

    “Masih ada beberapa isu yang belum kita sepakati dengan Uni Eropa. Memang September ini waktu sudah tidak banyak,” kata Bara dalam Konferensi Pers mengenai Kinerja Ekspor dan Impor Indonesia Agustus 2024 di Kementerian Perdagangan, Jakarta Pusat, Senin (23/9/2024).

    Bara belum dapat memastikan target penyelesaian pembahasan I-EU CEPA. Mengingat Waktu yang semakin sempit ini, ia berharap I-EU CEPA bisa rampung sebelum Presiden Joko Widodo (Jokowi) purnatugas.

    “Memang kita harapkan sebelum Pak Jokowi ini selesai Oktober, ini sudah bisa kita sepakati,” ujarnya.

    I-EU CEPA merupakan perjanjian yang memungkinkan untuk keran ekspor Indonesia ke Uni Eropa dibuka lebih besar. Perundingannya telah berjalan selama 9 tahun.

    Setidaknya, ia berharap kesepakatan tersebut bisa terjalin secara principal terlebih dulu. Apabila tidak bisa dilakukan, tidak menutup kemungkinan pembahasan kerja sama ini dialihkan ke masa pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto.

    “Kalau memang tidak bisa, dilanjutkan oleh pemerintahan berikutnya,” kata dia.

    Di sisi lain, Bara belum dapat membeberkan isu-isu yang saat ini menjadi pembahasan utama dari proses negosiasi tersebut. Kepala negosiator dari Kemendag tengah bekerja keras untuk mencari kesepakatan antara isu yang diminta oleh Uni Eropa dengan keinginan RI sendiri.

    “Kita sedang bekerja keras untuk cari titik temu atas hanya ada 2 atau 3 isu saja yang masih belum bisa kita sepakati antara kedua belah pihak, antara UE. Tapi chief negotiator kita setiap hari berkomunikasi dengan UE melalui Zoom untuk mencari titik temu sehingga bisa selesai,” jelasnya.

    Berlanjut ke halaman berikutnya.

    Salah satu hal yang menjadi bahan pertimbangan terkait kesepakatan impor dari Uni Eropa. Hal ini menjadi bagian dari konsekuensi dari kesepakatan perdagangan antara keduanya.

    “Tapi posisi kita bahwa tetap perjanjian dagang menguntungkan, karena membuka akses produk-produk Indonesia untuk masuk ke pasar-pasar tersebut. Itu benefit dari perjanjian dagang itu. Pinter-pinter kita memanfaatkan perjanjian dagang untuk bisa membuka akses terhadap produk-produk ekspor kita,” jelasnya.

    Bara mengakui bahwa salah satu permintaan berat Uni Eropa yang membuat pembahasan perjanjian ini tak kunjung rampung ialah permintaan untuk mempermudah impor.

    “Saya nggak bisa bicara detail karena negosiasi. Kalau saya bicara gitu takutnya bisa mempengaruhi negosiasi, tapi memang itu salah satu poin yang istilahnya itu contentious, yang sampai saat ini soal itu yang belum bisa kita sepakati,” kata Bara, ditemui usai acara.

    Sebagai tambahan informasi, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, I-EU CEPA telah memasuki tahap finalisasi. Namun menurutnya, penyelesaian perjanjian ini memang tidak mudah lantaran adanya pergantian kepengurusan.

    Akibat bergantian kepengurusan ini, menurut Airlangga, ada sejumlah permintaan baru dari Uni Eropa sehingga harus kembali dilakukan penyesuaian. Airlangga bilang, ada tiga isu utama yang masing menggantung dalam perundingan tersebut.

    Pertama, Uni Eropa ingin agar masalah impor segera dipermudah di Indonesia. Kedua, Uni Eropa masih bersikeras mengenai bea keluar, dan yang ketiga Uni Eropa juga masih bersikeras mengenai perpajakan digital.

    “Kita minta menunggu WTO (World Trade Organization), mereka tidak mau. Jadi tiga isu itu menjadi isu yang masih menggantung dalam perundingan I-EU CEPA,” kata Airlangga dalam acara Rakornas Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (P2DD), di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta Pusat, Senin (23/9/2024).

    Airlangga menyebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar Indonesia segera memulai aksesi keanggotaan OECD dengan bergabung dalam Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik atau Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP).

    “Jadi CPTPP kemarin saya sudah sampaikan juga kepada Presiden Terpilih, Pak Prabowo, dan minta untuk tidak perlu menunggu,” kata dia.

  • Pemerintah Gandeng Pihak Ini Biar RI Tembus Jadi Anggota OECD

    Pemerintah Gandeng Pihak Ini Biar RI Tembus Jadi Anggota OECD

    Jakarta

    Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian melakukan penandatanganan nota kesepahaman dengan lembaga Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA). Upaya ini dalam rangka untuk memperkuat kerja sama ekonomi Indonesia dengan dunia internasional.

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pihaknya akan berkolaborasi dengan ERIA dalam bentuk studi, publikasi, proyek bersama dan kegiatan peningkatan kapasitas di bidang kerja sama ekonomi internasional. Area yang menjadi lingkup kerja sama di antaranya yakni aksesi Indonesia dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP).

    “Melalui kerja sama ini, saya harap kerja sama antara kedua pihak dapat semakin erat, khususnya terhadap upaya aksesi Indonesia dalam OECD. Saya yakin dengan sumber daya yang ERIA miliki, akan memperkuat Tim Nasional OECD dalam memenuhi target 3 tahun keanggotaan Indonesia di OECD,” kata Airlangga dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (31/7/2024).

    Selain itu, kerja sama terkait keterlibatan dalam Asia Zero Emission Community (AZEC), pengembangan dan/atau perluasan ekspor Indonesia, penilaian potensi ekonomi industri kendaraan generasi mendatang, pengembangan strategi pembaruan armada jalan yang efisien dan efektif, serta area lain yang disepakati para pihak.

    Dalam pelaksanaan kerja sama ini, ERIA akan turut menyusun kajian dengan tema besar Future-Ready ASEAN, yaitu bagaimana Asia Tenggara sebagai sebuah kawasan mampu menyiapkan diri untuk isu ekonomi ke depan, seperti semikonduktor dan ekonomi digital. ERIA akan melakukan Kajian Rantai Pasok Semikonduktor di ASEAN dan India.

    Asia Tenggara sendiri diproyeksikan akan memiliki 10% pangsa perakitan dan pengujian semikonduktor global pada tahun 2027. Sementara itu, revenue di pasar semikonduktor di Indonesia diproyeksikan mencapai US$ 2,9 miliar pada tahun 2029. Oleh karena itu, Indonesia dinilai perlu mempersiapkan ekosistemnya secara matang.

    “Skema insentif yang dilakukan India, dapat menjadi referensi bagi Indonesia,” tutur Airlangga.

    Sebagai informasi, ERIA merupakan organisasi internasional yang didirikan di Jakarta pada 2008 untuk melakukan kegiatan penelitian dan menyusun rekomendasi kebijakan bagi integrasi ekonomi lebih lanjut di Asia Tenggara dan Asia Timur. ERIA turut menjadi knowledge partner bagi pengembangan kebijakan negara-negara di kawasan ASEAN.

    “Melalui kerja sama ini, kami akan dukung pemerintah Indonesia melalui Kemenko Perekonomian pada isu-isu kerja sama internasional seperti upaya peningkatan ekspor, pengembangan industri otomotif, pengembangan ekosistem ekonomi digital dan semikonduktor dan aksesi Indonesia dalam OECD dan CPTPP,” ujar Presiden ERIA Tetsuya Watanabe dalam kesempatan yang sama.

    Terkait ekonomi digital, ERIA disebut akan memberikan dukungan dalam bentuk riset, dukungan kebijakan untuk transformasi digital dan dukungan ekosistem start-up di kawasan melalui platform E-DISC (ERIA Digital Innovation and Sustainable Economy Centre).

    Pemerintah Indonesia sendiri telah meluncurkan Buku Putih Strategi Nasional Pengembangan Ekonomi Digital Indonesia 2030 sebagai panduan bagi pemangku kepentingan ekonomi digital. Di tingkat kawasan, kepemimpinan Indonesia ditunjukkan dengan inisiasi perundingan Digital Economy Framework Agreement (DEFA) pada Keketuaan ASEAN Indonesia 2023 lalu.

    Lihat juga Video ‘Jokowi Terima Kunjungan Sekjen OECD di Istana Bogor, Ini yang Dibahas’:

    (aid/das)

  • Mengapa Sejumlah Negara Asia Tenggara Ingin Bergabung dengan BRICS?

    Mengapa Sejumlah Negara Asia Tenggara Ingin Bergabung dengan BRICS?

    Jakarta

    BRICS menarik perhatian negara-negara Asia Tenggara. Thailand dan Malaysia baru-baru ini menyatakan ketertarikan mereka untuk bergabung dengan blok ini.

    Thailand bulan lalu mengajukan permohonan keanggotaan, sementara Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim dalam sebuah wawancara dengan portal berita RRT Guancha mengatakan, negaranya akan segera memulai prosedur formal dalam BRICS.

    “Menjadi anggota BRICS akan membuka peluang perdagangan dan investasi, jadi mengapa tidak?” Piti Srisangam, Direktur Eksekutif ASEAN Foundation, mengatakan kepada DW.

    “Blok ini memiliki anggota dari seluruh dunia, namun belum ada yang berasal dari Asia Tenggara,” tambahnya.

    James Chin, seorang profesor Studi Asia di University of Tasmania mengatakan, “Baik Thailand maupun Malaysia dipandang sebagai kekuatan menengah.”

    “Lebih baik mereka bergabung dengan kelompok-kelompok seperti BRICS agar mereka memiliki suara yang lebih besar di kancah internasional. Namun, manfaat utamanya adalah perdagangan,” tambahnya.

    Peluang ekonomi yang lebih besar

    Tahun lalu, BRICS–sebuah akronim yang awalnya digunakan untuk merujuk pada Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan, memutuskan untuk memperluas keanggotaannya, dengan mengundang Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab agar bergabung dengan blok tersebut.

    “Blok ini dapat membantu ekonomi digital Malaysia tumbuh lebih cepat, dengan memungkinkannya untuk berintegrasi dengan negara-negara yang memiliki pasar digital yang kuat, dan juga memanfaatkan praktik-praktik terbaik dari anggota lainnya,” kata Rahul Mishra, profesor di Pusat Studi Indo-Pasifik Universitas Jawaharlal Nehru di New Delhi, kepada DW.

    “Thailand juga akan dapat menarik investasi di industri-industri penting termasuk jasa, manufaktur, dan pertanian,” tambahnya.

    Profesor Studi Asia di University of Tasmania, James Chin, meyakini hubungan perdagangan yang telah dimiliki Cina dengan Malaysia dan Thailand telah memengaruhi keputusan mereka untuk bergabung dengan BRICS.

    Cina telah menjadi mitra dagang terbesar Malaysia selama 15 tahun terakhir dan mitra dagang Thailand selama 11 tahun. Menurut Chin, bergabungnya kedua negara Asia Tenggara ini dengan BRICS akan meningkatkan hubungan mereka dengan Cina.

    Bergabung dengan BRICS bukan untuk memihak

    Bulan lalu, Menteri Luar Negeri Thailand Maris Sangiampongsa menegaskan, langkah Bangkok bergabung dengan BRICS bukan tindakan “memilih-milih,” atau sebagai cara untuk mengimbangi blok lainnya.

    “Thailand unik karena kami berteman dengan semua negara dan tidak memiliki musuh. Kami dapat bertindak sebagai jembatan antara negara-negara berkembang dan anggota BRICS,” kata Maris.

    Selain BRICS, Thailand juga telah mengajukan permohonan untuk bergabung dengan organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang berbasis di Paris, yang beranggotakan 38 negara–yang sebagian besar berasal dari Barat.

    “Negara-negara kecil dan menengah tidak memiliki banyak pilihan,” kata Piti Srisangam, Direktur Eksekutif ASEAN Foundation.

    “Apa yang dilakukan Thailand adalah sebuah tindakan penyeimbang, satu kaki dengan demokrasi liberal Barat dan kaki lainnya dengan negara-negara berkembang,” lanjutnya.

    Di Malaysia, sentimen publik saat ini lebih berpihak pada Cina, yang jadi ekonomi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat, menurut survei terbaru oleh ISEAS-Yusof Ishak Institute, sebuah lembaga pemikir Singapura.

    Hampir tiga perempat dari responden survei tersebut menyebutkan, ASEAN harus lebih mendukung Cina daripada AS jika blok ini dipaksa untuk bersekutu dengan salah satu dari dua negara adidaya tersebut.

    Pada bulan Juni, selama kunjungan tiga hari Perdana Menteri Cina Li Qiang ke Malaysia, Anwar mengkritik “propaganda yang tak henti-hentinya bahwa kita harus melontarkan kebencian dan ketakutan terhadap dominasi Cina secara ekonomi, militer, dan teknologi.”

    “Kami tidak melakukannya. Kami di Malaysia, dengan sikap netral, memiliki tekad untuk bekerja sama dengan semua negara dan dengan Cina,” tambahnya.

    Apakah negara-negara ASEAN lainnya akan mengikuti?

    Negara di Asia Tenggara yang tertarik untuk bergabung dengan BRICS bukan cuma Malaysia dan Thailand.

    Pada bulan Mei silam, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Vietnam, Pham Thu Hang mengatakan pada sebuah konferensi pers di Hanoi; “Seperti banyak negara di seluruh dunia, kami memantau dengan saksama proses perluasan keanggotaan BRICS.”

    Rahul Mishra, profesor di Pusat Studi Indo-Pasifik Universitas Jawaharlal Nehru di New Delhi, juga meyakini bahwa Vietnam, Laos dan Kamboja dapat menjadi calon anggota yang potensial” karena mereka telah memiliki hubungan yang baik dengan Cina, India, dan Rusia–yang merupakan para pemain kunci di BRICS.

    “Bagi Vietnam, yang telah mencatatkan investasi yang signifikan, ini adalah kesempatan yang baik untuk meningkatkan perdagangannya di luar pasar tradisional mereka ke Timur Tengah, Amerika Latin, dan Afrika,” tambahnya.

    Menjelang KTT BRICS di Afrika Selatan tahun lalu, ada spekulasi bahwa Indonesia–satu-satunya negara G20 di Asia Tenggara yang berharap untuk menyelesaikan proses aksesi dengan OECD dalam waktu tiga tahun, dapat menjadi anggota BRICS.

    Namun pada akhirnya, Presiden Joko Widodo mengatakan kepada publik, pemerintahannya telah memutuskan untuk tidak mengajukan surat minat untuk bergabung dengan BRICS. Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi pada sebuah konferensi pers di bulan Januari lalu mengatakan, Jakarta masih menimbang-nimbang pro dan kontra dari keanggotaan BRICS.

    mel/as

    (ita/ita)

  • Forum OECD di Paris Ambil Jawaban Risma sebagai Kesimpulan Ketahanan Infrastruktur Bencana

    Forum OECD di Paris Ambil Jawaban Risma sebagai Kesimpulan Ketahanan Infrastruktur Bencana

    Paris (beritajatim.com) – Forum Infrastruktur Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) baru-baru ini mengadakan diskusi penting di Paris, Rabu (10/04/2024). Diskusi ini berfokus pada mekanisme efektif untuk melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan dalam membangun ketahanan infrastruktur.

    Diskusi ini menjadi semakin relevan dengan tren peningkatan bencana alam seperti banjir, badai, tanah longsor, gempa, dan kekeringan/kebakaran. Pelibatan masyarakat menjadi isu penting dalam diskusi ini, mengingat tantangan yang dihadapi dalam melibatkannya.

    Menteri Sosial RI, Tri Rismaharini, menjadi salah satu pembicara dalam diskusi tersebut. Risma memaparkan bagaimana Indonesia mengantisipasi, menangani, dan memulihkan dampak bencana dengan pendekatan berbasis masyarakat.

    Kementerian Sosial telah melatih dan membina lebih dari 25.000 relawan Taruna Siaga Bencana (Tagana) dari masyarakat di seluruh Indonesia. Program seperti Tagana Masuk Sekolah dan Kampung Siaga Bencana telah diluncurkan untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana.

    Selain itu, ada lebih dari 49.000 pendamping sosial yang siap membantu saat terjadi bencana dan dalam masa pemulihan pasca bencana. Ada juga 613 Lumbung Sosial di 328 kabupaten/kota yang dikelola oleh komunitas untuk menyediakan logistik yang dibutuhkan masyarakat saat terjadi bencana.

    Mensos Risma juga menjelaskan bagaimana partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah telah membantu Surabaya, kota yang sebelumnya rentan banjir, menjadi kota yang bebas banjir. Pengalaman ini kemudian diterapkan Risma dalam strategi penanganan bencana di tingkat nasional.

    Diskusi ini menghasilkan kesimpulan bahwa pemulihan infrastruktur seharusnya tidak hanya direncanakan secara top-down, tetapi juga memperhatikan pemikiran masyarakat (bottom-up). Ini menunjukkan betapa pentingnya melibatkan masyarakat dalam upaya membangun ketahanan infrastruktur. [ian]

  • Angka Putus Sekolah di Jerman Tinggi

    Angka Putus Sekolah di Jerman Tinggi

    Jakarta

    Dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya, sekian lamanya jumlah generasi muda yang tidak memiliki ijazah sekolah menengah atas atau pelatihan kejuruan di Jerman sangat tinggi. Sekarang masalah ini jadi perkara.

    Siapa pun yang mencari lowongan pekerjaan di Jerman, seharusnya dapat menemukan pekerjaan dengan cepat! Ada lebih dari 1,7 juta lowongan pekerjaan pada akhir tahun 2023. Permintaan akan pekerja terampil di 200 profesi melebihi jumlah pelamar. Tenaga kerja yang paling diincar: Tenaga medis dan keperawatan, pekerja konstruksi dan teknologi informasi, pengemudi profesional, guru dan masih banyak lagi.

    Secara matematis, seharusnya Jerman tidak kekurangan tenaga kerja. Pada awal tahun 2024, sekitar 4,8 juta orang yang mampu bekerja, menerima tunjangan pengangguran dari negara. Namun, lebih dari separuhnya belum menyelesaikan pelatihan kejuruan. Menurut Badan Ketenagakerjaan Jerman, tanpa pendidikan keterampilan peluang mereka untuk mendapatkan pekerjaan sangat kecil. Angka mencolok lainnya adalah: 25% pengangguran jangka panjang tidak memiliki ijazah sekolah apa pun!

    Selama bertahun-tahun, organisasi internasional seperti Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan OECD mengkritik betapa sedikitnya upaya yang dilakukan di Jerman untuk mengurangi jumlah orang yang tidak memiliki kualifikasi apa pun.

    Sistem pendidikan Jerman berhasil menyekolahkan lebih banyak generasi muda hingga sekolah menengah atas dan universitas dibandingkan masa lalu. Namun, masih banyak orang yang tidak dapat memenuhi persyaratan minimum yang ditetapkan oleh calon pemberi kerja.

    Peringkatnya sangat rendah

    Setiap tahun, Kantor Statistik Eropa, Eurostat, mengumpulkan data tentang berapa banyak anak muda berusia antara 18 dan 24 tahun di negara-negara Eropa yang tidak menyelesaikan sekolah atau pelatihan kejuruan. Pada tahun 2022, angkanya adalah 12,2%. Di antara 27 negara Uni Eropa (UE), Jerman berada di peringkat keempat — dari bawah.

    Statistik angka putus sekolah juga tinggi. Di Jerman, anak-anak belajar bersama selama empat hingga enam tahun sebelum ditempatkan di sekolah menengah yang berbeda-beda, berdasarkan prestasi akademik mereka.

    Banyaknya warga keturunan asing yang putus sekolah

    Hal yang memprihatinkan adalah fakta bahwa banyak anak putus sekolah dengan latar belakang migrasi, demikian menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Institut Penelitian Populasi, BiB.

    Pada tahun 2013, tidak ada perbedaan antara mereka yang berlatar belakang migrasi dan yang tidak. Namun pada tahun 2022, tercatat ada 3% laki-laki Jerman berusia 25 tahun dan 2% perempuan tanpa latar belakang migrasi, yang tidak memiliki ijazah sekolah sama sekali. Sedangkan generasi muda di usia yang sama dan memiliki latar belakang migrasi, angkanya mencapai 12% untuk laki-laki dan 10% untuk perempuan.

    Pakar pendidikan telah lama mengkritik sistem sekolah di Jerman karena mengabaikan terlalu banyak generasi muda. Dalam tes Pisa terbaru, yang membandingkan kemampuan membaca, matematika, dan sains anak-anak berusia 15 tahun secara internasional, siswa-siswa Jerman meraih nilai terendah.

    Di satu sisi, penurunan kinerja disebabkan oleh penutupan sekolah selama pandemi COVID-19. Namun di sisi lain, yang lebih signifikan adalah faktor ketimpangan hasil pendidikan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. “Di Jerman, keberhasilan akademis masih bergantung pada latar belakang sosial,” kata Anja Bensinger-Stolze, yang merupakan anggota dewan Serikat Pekerja Pendidikan dan Sains, kepada DW.

    Mereka yang “tidak memiliki lingkungan belajar yang baik di rumah” sangat rentan terkena dampaknya. “Kurangnya pembelajaran, kurangnya staf yang berkualitas dan kurangnya sistem pendukung membuat kesempatan pendidikan mereka menjadi semakin terbatas,” kata Bensinger-Stolze.

    Kurangnya kemampuan bahasa Jerman

    Permasalahan dimulai pada usia taman kanak-kanak. Satu dari lima anak berusia antara tiga dan enam tahun tidak berbahasa Jerman di rumah. Di negara bagian Hessen, Berlin dan Bremen, angka tersebut mencapai sepertiganya.

    Hal ini membuat semakin penting bagi anak-anak ini khususnya untuk bersekolah di taman kanak-kanak. Namun, menurut laporan pendidikan pemerintah Jerman, hanya 81% anak-anak dengan latar belakang migrasi yang terdaftar di sekolah TK.

    Hal ini sebagian besar disebabkan oleh kurangnya tempat penitipan anak, yang saat ini berjumlah sekitar 350.000 di seluruh Jerman. Jika anak-anak tidak bisa berbahasa Jerman dengan baik ketika mereka mulai bersekolah, mereka bisa tertinggal sejak awal. Hal ini dapat menurunkan motivasi mereka.

    Yang dibutuhkan adalah dukungan individual dan pengerahan pekerja sosial dan spesialis pendidikan. Tapi semuanya terbatas, sama halnya seperti jumlah guru.

    Kekurangan spesialis di sekolah

    Saat ini terdapat kekurangan 14.000 guru tambahan di seluruh negeri, dan jumlah tersebut tampaknya akan terus meningkat. “Kesenjangan antara permintaan akan guru dan pasokan guru akan meningkat menjadi 56.000 tenaga guru penuh waktu pada tahun 2035,” kata Bensinger-Stolze.

    “Sayangnya, para politisi terlalu lama menganggap enteng situasi ini. Oleh karena itu, sangat sulit untuk meringankan atau memperbaiki situasi dalam jangka pendek.”

    Ini adalah kabar buruk bagi siswa yang membutuhkan banyak dukungan. Selain itu, program-program yang bertujuan mengurangi jumlah anak yang putus sekolah pada usia dini juga terancam. Di beberapa negara bagian memang ada proyek “Pembelajaran Produktif”, yang bertujuan untuk memfasilitasi generasi muda yang berisiko gagal setelah kelas delapan.

    Ada banyak anak muda juga yang kesulitan dalam menafsirkan puisi dan poin-poin penting trigonometri misalnya, tetapi memiliki bakat dan keterampilan praktis lainnya. Tawaran untuk bekerja magang di perusahaan tiga hari seminggu ditujukan kepada mereka, guna menemukan jalan menuju karir yang sesuai.

    Kepala agen tenaga kerja, Andrea Nahles, kini menyarankan untuk memulai bimbingan karir di sekolah sejak kelas lima SD. Penempatan pengalaman kerja reguler dengan sistem magang dan pelatihan wajib dilakukan di semua jenis sekolah, dengan harapan masyarakat dapat menemukan dan membina lebih banyak bakat kejuruan. Mulai 1 April 2024 akan ada jaminan pelatihan wajib, juga bagi anak putus sekolah. (ap/hp)

    Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Kenapa Orang Eropa Lebih Suka Bekerja Paruh Waktu?

    Kenapa Orang Eropa Lebih Suka Bekerja Paruh Waktu?

    Jakarta

    Buat Martin Stolze, 47, seorang guru sekolah menengah atas di barat daya Jerman, waktu pribadi lebih berharga dari uang. “Ada pepatah yang mengatakan, bekerjalah untuk hidup, jangan hidup untuk bekerja,” kata dia. “Saya kira, hal itu adalah moto zaman kita sekarang ini.”

    “Anda hanya bekerja untuk mencukupi kebutuhan pokok, sehingga Anda bisa mengabdikan diri kepada hal-hal yang lebih berharga,” imbuhnya. “Saya sebelumnya tidak begini.”

    Stolze mengurangi jam kerjanya sebanyak 50 persen. Status paruh waktu memungkinkan dia mengurus orang tuanya yang telah lanjut usia dan lebih memudahkan mengatasi stres pada jam sekolah. “Saya sadar masih ada potensi untuk mengurangi lebih banyak jam kerja, tapi saya yakin kolega saya di sekolah punya alasan yang sangat kuat untuk tidak beradaptasi dengan kerangka kerja seperti ini.”

    Tren kerja paruh waktu

    Kisah Stolze mencerminkan tren yang sedang populer di kalangan kelas pekerja Eropa. Di Jerman misalnya, meski mencatatkan tambahan tujuh juta tenaga kerja baru antara 2005 hingga 2022, jumlah jam kerja secara keseluruhan tidak banyak bertambah.

    Rata-rata, tenaga kerja di Jerman bekerja kurang dari 1.350 jam per tahun di 2022, yang terendah dibandingkan negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan, OECD.

    Saat ini, lebih dari sepertiga tenaga kerja di Jerman, Austria dan Swiss bekerja paruh waktu. Di Belanda, hampir separuh angkatan kerja mencatatkan maksimal 35 jam kerja per pekan. Sementara di Amerika Serikat, sebagai perbandingan, kurang dari seperlima bekerja paruh waktu atau kurang dari 35 jam per minggu.

    “Ini adalah contoh masyarakat yang makmur,” kata Clemens Fuest, Direktur Ifo Institute for Economic Research di Jerman, ketika “semakin sedikit orang bekerja dan semakin banyak waktu luang.”

    Disrupsi ekonomi?

    Pasalnya, tren kerja paruh waktu bisa melumpuhkan sektor yang saat ini pun sudah mengalami kelangkaan pekerja, seperti layanan kesehatan atau pendidikan. Jika pegawai mengurangi jam kerja, perusahaan acap kesulitan menemukan pengganti yang memadai karena sengitnya persaingan di pasar tenaga kerja.

    Fenomena ini dihadapi Maartje Lak-Korsten, kepala sekolah menengah atas di Amsterdam, Belanda. Dia mengaku menerima banyak permohonan kerja dengan syarat empat hari kerja per minggu.

    “Saya selalu mulai wawancara dengan bertanya, kenapa mereka ingin bekerja hanya empat hari sepekan, apa yang mereka butuhkan untuk bisa bekerja penuh?” kata dia.

    Di Belanda, tren paruh waktu muncul dalam bentuk “gaji satu setengah,” di mana salah seorang pasangan dalam sebuah rumah tangga hanya bekerja paruh waktu. “Fenomena ini belakangan kian populer,” kata Bastiaan Starink, seorang ekonom di Universitas Tilburg.

    “Mungkin adalah sebuah kemewahan bahwa kami di Belanda tidak perlu bekerja penuh,” kata dia.

    Tambahan jam kerja

    Demi memastikan kelangsungan ekonomi, pemerintah dan swasta kini berusaha mencari cara merangsang tenaga kerja agar menambah jam kerja. Di negara bagian Baden-Württemberg, Jerman, misalnya, mewajibkan guru memberikan alasan valid untuk bisa memangkas jam kerja kurang dari 75 persen.

    Pemerintah lain mencoba cara yang lebih lunak. Pemerintah Belanda berniat memperluas subsidi anak, meski tanggal mainnya ditunda hingga tahun 2027.

    Kendala juga ditemui pemerintah Austria, ketika harus membatalkan ide mengurangi pajak penghasilan setelah diprotes oposisi karena akan memotong anggaran sosial.

    Pemerintah Jerman sebaliknya menunda reformasi sistem perpajakan yang tadinya digagas untuk mengakomodasi kepentingan pekerja paruh waktu. Berlin kini dikabarkan sedang mempertimbangkan kewajiban bagi korporasi untuk mengizinkan pegawainya bekerja dari rumah.

    rzn/as

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Israel Ganjal Indonesia Gabung Geng Negara Maju OECD

    Israel Ganjal Indonesia Gabung Geng Negara Maju OECD

    Jakarta, CNN Indonesia

    Permintaan Indonesia bergabung dengan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) terganjal restu Israel yang tengah menerima kritikan keras atas serangan militernya di Gaza.

    Dilansir Nikkei Asia, Minggu (4/2), Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Namun, keberadaan Israel di klub negara-negara maju memberikan dampak bagi dalam negeri.

    OECD mempunyai 38 anggota termasuk negara-negara di Amerika Utara dan Eropa serta Jepang, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru dan Chili.

    Sejak didirikan pada 1961, jumlah negara anggotanya secara bertahap bertambah.

    Disebut sebagai lembaga pemikir terbesar di dunia, OECD merekomendasikan kebijakan ekonomi bagi anggotanya dan memiliki pengaruh besar terhadap pembuatan peraturan internasional, seperti perpajakan.

    Sumber diplomatik mengatakan Israel keberatan memulai proses aksesi Indonesia pada pertemuan duta besar OECD pada Senin dan Selasa (5 dan 6 Februari 2024).

    Israel memang tidak serta merta menentang keanggotaan Indonesia, tetapi dikatakan bahwa situasi di Timur Tengah dan kurangnya hubungan diplomatik sebagai alasannya. Karena memerlukan kebulatan suara di antara negara-negara anggotanya untuk mengambil keputusan, maka OECD tidak dapat memulai proses aksesi tanpa persetujuan Israel.

    Israel dan anggota OECD lainnya siap untuk melanjutkan diskusi. Tahun ini menandai peringatan 60 tahun keanggotaan Jepang dalam kelompok tersebut, dan Negeri Sakura tersebut akan memimpin pertemuan dewan menteri yang dijadwalkan pada Mei 2024.

    Tujuannya adalah untuk menyelesaikan proses aksesi Indonesia pada saat pertemuan dewan tersebut, yang diperkirakan akan dihadiri oleh Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida.

    Bergabungnya Indonesia sebagai anggota telah lama dinantikan oleh Jepang dan sekretariat OECD.

    Sebab, Jepang telah meluncurkan Program Regional Asia Tenggara OECD pada 2014, yang diusulkan oleh Perdana Menteri Shinzo Abe saat itu, dan sangat mendukung upaya Indonesia dan negara-negara lain untuk bergabung.

    Indonesia telah melakukan persiapan matang untuk bergabung dengan OECD. Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan sudah bertemu dengan para pemimpin Belanda, Perancis dan Italia di sela-sela KTT G20 pada September 2023 untuk mencari dukungan bagi keanggotaan OECD.

    Pada November, Jokowi juga mengunjungi AS dan mendapatkan dukungan dari Presiden Joe Biden untuk memulai proses tersebut.

    (ldy/sfr)