Organisasi: OECD

  • Dari BRICS hingga OECD: Langkah RI Meniti Jalan Menuju Negara Maju

    Dari BRICS hingga OECD: Langkah RI Meniti Jalan Menuju Negara Maju

    Penerimaan pajak Indonesia, walaupun menunjukkan tren meningkat secara nominal, masih jauh dari potensi yang dimiliki dan yang dapat digali. Data selama 10 tahun terakhir menunjukkan rasio pajak Indonesia berada dalam level 10 persen.

    Menggenjot penerimaan pajak adalah krusial dalam konteks aksesi Indonesia ke OECD. Bukan semata karena Indonesia perlu sumber keuangan yang lebih banyak, melainkan juga guna memenuhi persyaratan fiskal yang harus ditanggung Indonesia.

    Membuka pintu ekspor baru lewat CPTPP dan BRICS

    Pada 25 September 2024, Indonesia resmi mengajukan diri untuk menjadi anggota Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans Pasifik (Comprehensive and Progresive Trans-Pasific Partnership Agreement/CPTPP).

    CPTPP merupakan skema perjanjian perdagangan standar tinggi yang bertujuan memfasilitasi kerja sama ekonomi antar negara anggotanya. Perjanjian ini mencakup hampir seluruh aspek ekonomi, termasuk investasi sampai perdagangan barang dan jasa.

    Saat ini CPTPP beranggotakan 11 negara, yakni Australia, Brunei, Kanada, Cili, Jepang, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura, dan Vietnam.

    Dalam CPTPP, Indonesia mampu membuka pasar baru di berbagai negara, dalam hal ini Pemerintah membidik pasar Amerika Latin seperti Meksiko dan Peru. Selain itu, keanggotaan CPTPP juga diproyeksikan dapat meningkatkan nilai ekspor Indonesia hingga 10 persen.

    Selang sebulan kemudian, Indonesia juga melayangkan surat expression of interest yang menandai langkah resmi Indonesia untuk mendaftar keanggotaan BRICS.

  • UNCTAD Ramal Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Capai 5,2% pada 2025

    UNCTAD Ramal Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Capai 5,2% pada 2025

    Bisnis.com, JAKARTA — United Nations Conference on Trade and Development alias UNCTAD memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 5,2% pada 2025.

    Dalam laporan terbarunya bertajuk Trade and Development Report 2024, UNCTAD mengestimasikan ekonomi Indonesia akan tetap tumbuh tinggi di tengah ketidakpastian global. Sepanjang 2024, UNCTAD meyakini pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,1%.

    UNCTAD mencatat tingginya suku bunga acuan di Indonesia buat pelaku usaha memperlambat ekspansi bisnisnya pada tahun ini. Untungnya, konsumsi rumah tangga yang cenderung masih tinggi bisa menopang pertumbuhan ekonomi.

    Untuk tahun depan, organisasi bawahan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) itu melihat adanya prospek penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia. Oleh sebab itu, UNCTAD meyakini ekonomi Indonesia tumbuh lebih tinggi pada tahun depan.

    Selain prospek penurunan suku bunga acuan, UNCTAD mencatat ada tiga faktor utama yang membuat ekonomi Indonesia tumbuh mencapai 5,2% pada tahun depan yaitu peningkatan belanja pemerintah, pariwisata, dan ekspor logam dasar.

    “Peningkatan belanja fiskal untuk pembangunan infrastruktur dan bantuan sosial membantu mendukung pertumbuhan. Meningkatnya kedatangan wisatawan—terutama dari Asia—memperkuat ekspor jasa. Sementara peningkatan volume ekspor logam dasar—terutama nikel—meningkatkan keseimbangan sektor eksternal,” tulis UNCTAD dalam laporannya, dikutip Kamis (26/12/2024).

    Sebagai perbandingan, perekonomian Indonesia diproyeksikan akan tumbuh lebih tinggi dibandingkan rata-rata kawasan Asia Tenggara. UNCTAD memproyeksikan perekonomian kawasan Asia Tenggara akan tumbuh 4,4% pada 2025.

    Proyeksi itu tumbuh melambat dibandingkan tahun ini. Sepanjang 2024, UNCTAD memperkirakan pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara mencapai 4,5%.

    “Kebijakan moneter yang ketat akan berkelanjutan di tengah kekhawatiran terjadinya arus keluar modal asing dan tekanan depresiasi mata uang lokal akibat perkembangan moneter di tempat lain—khususnya di Amerika Serikat—sehingga semakin menahan permintaan domestik di kawasan Asia Tenggara,” jelas laporan tersebut.

    Lebih spesifik, perekonomian Indonesia (5,2%) juga diproyeksikan tumbuh lebih tinggi dibandingkan Malaysia (4%) dan Thailand (2,9%) namun lebih rendah daripada Vietnam (5,4%) pada 2025.

    Lembaga Lain

    Sebelumnya, sejumlah lembaga internasional lain juga sudah merilis proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun depan.

    Dalam laporan World Economic Outlook edisi Oktober 2024, International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,1% pada 2025. Bahkan, angka tersebut diperkirakan stagnan hingga 2029.

    Sejalan, dalam laporan East Asia and Pacific Economic Update edisi Oktober 2024, Bank Dunia atau World Bank memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,1% pada 2025.

    Sementara itu, dalam laporan Economic Surveys Indonesia edisi November 2024, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memproyeksikan ekonomi Tanah Air akan tumbuh mencapai 5,2% pada 2025.

    Sedangkan dalam UU APBN 2025, pemerintah sendiri memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,2% pada tahun depan.

  • LPEM UI: Banyak Alternatif Tambah Penerimaan Negara, Bukan PPN 12%

    LPEM UI: Banyak Alternatif Tambah Penerimaan Negara, Bukan PPN 12%

    Bisnis.com, JAKARTA — Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat/LPEM UI menilai pemerintah memiliki alternatif untuk menambah penerimaan negara, bukan dengan memberlakukan PPN 12%.

    Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky melihat meski PPN dianggap sebagai instrumen yang relatif lebih mudah untuk meningkatkan penerimaan, tetapi efisiensi PPN sering terhambat dengan jumlah pekerja informal.

    “Ketika proporsi tenaga kerja informal dalam perekonomian meningkat, rasio PPN terhadap PDB cenderung menurun,” ujarnya, dikutip pada Rabu (25/12/2024).

    Di mana prevalensi pekerjaan informal semakin menghambat kinerja PPN, yang menyoroti korelasi negatif antara proporsi pekerja informal dan rasio penerimaan dari PPN terhadap PDB.

    Untuk itu, LPEM UI melihat pemerintah perlu menurunkan tingkat infromalitas. Pasalnya, banyaknya aktivitas informal mempersempit basis pajak dan menambah beban pajak bagi kelompok usaha formal.

    Riefky memandang salah satu caranya yakni dengan memberi insentif atau kemudahan agar pelaku usaha informal mau beralih ke sektor formal. Mulai dari menyederhanakan aturan pajak dan mempermudah proses pendaftaran usaha. Selain itu, juga mensosialisasikan manfaat mendaftarkan usaha secara resmi.

    Alternatif kedua, pemerintah dapat mengeksplorasi potensi penerimaan pajak dari ekonomi digital. Seperti pajak kripto pada perdagangan mata uang kripto, pajak fintech pada bunga pinjaman, dan pajak pada transaksi pengadaan barang dan jasa melalui Sistem Informasi Pengadan Pemerintah (SIPP).

    Ketiga, mendorong keterbukaan perdagangan internasional dengan menyederhanakan prosedur kepabeanan, mengurangi hambatan perdagangan, serta mempermudah transaksi perdagangan internasional.

    Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Qibthiyyah & Arrachman (2018), menunjukkan bahwa semakin tinggi volume perdagangan internasional, baik impor maupun ekspor, semakin besar dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi domestik dan penerimaan PPN.

    Melalui kebijakan tersebut juga dapat mendukung e-commerce untuk mempermudah perdagangan lintas batas serta membantu UMKM dalam ekspor.

    Terakhir, perbaikan administrasi perpajakan menjadi salah satu cara dalam meningkatkan penerimaan pajak.

    Hal tersebut nyatanya sejalan dengan kajian Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang menyebutkan bahwa melalui perbaikan administrasi pajak atau tax administration, dapat mengerek pendapatan hingga 1% dari produk domestik bruto (PDB).

    Melihat data Badan Pusat Statistik (BPS), dengan PDB atas dasar harga berlaku (ADHB) 2023 senilai Rp20.892,4 triliun, artinya tambahan pendapatan negara dapat mencapai Rp208,924 triliun.

    Meski demikian, pemerintah terpantau keukeuh terhadap implementasi PPN 12% yang menjadi amanat Undang-Undang (UU) Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP)—yang sejatinya dapat direvisi atau dibatalkan dengan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu).

  • Menteri Maman Tegaskan Tak Ada Penurunan Ambang Batas Pajak UMKM

    Menteri Maman Tegaskan Tak Ada Penurunan Ambang Batas Pajak UMKM

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Maman Abdurrahman menegaskan tidak akan ada ambang batas pengenaan pajak UMKM dalam waktu dekat.

    Padahal, sebelumnya muncul wacana penurunan ambang batas pajak pengenaan pajak penghasilan (PPh) final 0,5% UMKM dari yang maksimal omzet Rp4,8 miliar per tahun menjadi Rp3,6 miliar per tahun.

    Begitu juga penurunan ambang batas pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) UMKM. Saat ini, hanya UMKM dengan omzet di atas Rp4,8 miliar per tahun yang wajib memungut PPN atas penjualannya.

    “Tidak ada penurunan ambang batas, tetap Rp4,8 miliar,” ujar Maman kepada Bisnis, Selasa (24/12/2024).

    Sebelumnya, Sekretaris Kemenko Bidang Perekonomian Susiwijono Morgiarso tidak menampik pemerintah sedang membahas wacana penurunan ambang batas pengenaan pajak UMKM.

    Menurutnya, beberapa kali Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sudah menyampaikan secara terbuka wacana tersebut ke publik. Apalagi, sambungnya, penurunan ambang pajak usaha kecil juga menjadi saran Organization for Economic Co-operation and Development (OECD).

    Susi menjelaskan setidaknya ada dua alasan pemerintah berencana menurunkan ambang batas PPh final UMKM tersebut. Intinya, untuk memaksimalkan penerimaan negara.

    “Supaya threshold-nya [ambang batasnya] disesuaikan dengan beberapa praktis di beberapa negara. Demikian juga untuk masalah keadilan dan perluasan tax space-nya [cakupan basis pajaknya],” ujar Susi di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Selasa (17/12/2024).

    Sementara itu, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menuturkan, pemerintah selalu mengevaluasi ambang batas kena UMKM. Hanya saja, dia menegaskan ambang batas pajak UMKM tetap Rp4,8 miliar dan tidak ada penurunan pada tahun depan. 

    “Threshold tetap Rp4,8 miliar,” ujarnya kepada media massa di kantornya, Kamis (19/12/2024) malam.

  • Ekonomi 8% Sulit Tercapai Gegara Kabinet Gemuk, RI Perlu Tiru Argentina-Vietnam

    Ekonomi 8% Sulit Tercapai Gegara Kabinet Gemuk, RI Perlu Tiru Argentina-Vietnam

    Jakarta

    Gemuknya pemerintahan Presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dinilai akan menghambat target pertumbuhan ekonomi 8%. Pasalnya banyak peraturan yang perlu disesuaikan sehingga program yang ada tidak bisa dikebut sejak awal.

    Prabowo sudah melantik 109 menteri dan wakil menteri. Jumlah kementerian Prabowo tercatat 48 atau bertambah dari era Presiden ke-7 Joko Widodo yang sebanyak 34.

    “Sebelum pelantikan kabinet itu saya sempat optimis dalam 5 tahun, 8% itu tercapai. Cuman setelah ada pelantikan kabinet dan jumlah anggotanya melebihi 100 orang, saya sampaikan bahwa itu jadi imajinatif pertumbuhan 8%,” ujar ekonom Indef, Ariyo DP Irhamna dalam diskusi virtual, Senin (23/12/2024).

    “Karena dengan banyaknya kabinet ini, pemecahan, pemerintah tidak bisa gas di awal. Jadi akan banyak penyesuaian peraturan yang dulu disusun oleh pemerintah sebelumnya itu perlu penyesuaian,” tambah dia.

    Jokowi dulu membentuk Dewan Sumber Daya Air Nasional yang diketuai Menko Marves. Namun Kemenko Marves kini sudah tidak ada sehingga Perpres yang mengatur itu harus disesuaikan terlebih dahulu. Akibatnya terjadi saling tunggu antar kementerian/lembaga.

    Pada kesempatan itu ia membandingkan Argentina dan Vietnam justru merampingkan kabinetnya. Hal itu dipandang positif oleh dunia dan memberi efek positif juga bagi perekonomian.

    Argentina yang sempat terpuruk pada 2023 tapi kini mulai bangkit berkat adanya reformasi birokrasi. Presiden Argentina yang baru, Javier Milei memangkas jumlah kementeriannya dari 19 jadi 8.

    “Argentina ini memiliki presiden baru di 2023 yang sangat nyentrik. Jadi ketika dia terpilih dia langsung memangkas jumlah kementeriannya dari 19 jadi 18. Ini banyak dibahas di World Bank, OECD, jadi pemicu peningkatan aktivitas pertumbuhan ekonomi, di Argentina ini salah satunya adalah reformasi birokrasi,” terang Ariyo.

    Sejalan dengan adanya reformasi birokrasi maka hal itu juga memberi kepercayaan bagi investor. Menurutnya langkah yang diambil Argentina kini dicontek berbagai negara, termasuk Amerika Serikat (AS).

    Presiden AS terpilih, Donald Trump menunjuk bos Tesla Elon Musk menjadi pemimpin Dewan Efisiensi Pemerintahan. Hal itu disebut bertujuan memangkas pengeluaran dan birokrasi yang tidak efektif di AS.

    “Tidak hanya berhenti di AS, negara tetangga juga, kita tahu semua, Vietnam baru-baru saja dia menurunkan PPN dan memangkas birokrasi dan kementeriannya dan jumlah ASN. Jadi ini tren baru, tapi kita tahu Pemerintahan Prabowo sekarang bukan memangkas justru menambah jumlah kementerian,” bebernya.

    Di sisi lain, tantangan mengejar target pertumbuhan ekonomi juga datang dari kemampuan pemerintah mendatangkan investasi. Menurut Head for Center of Sharia Economic INDEF, Dr. Handi Risza, Indonesia butuh tambahan investasi Rp 13-14 ribu triliun dalam 5 tahun mendatang.

    Artinya pertumbuhan investasi harus menyentuh 11-19% dan tidak boleh hanya 5-6%. Investasi nantinya akan berperan terhadap 30% pertumbuhan ekonomi.

    “Jadi kalau mencapai angka Rp 13-14 ribu triliun itu harus ditargetkan pertumbuhannya 11-19%. Nggak boleh hanya 5-6% pertumbuhan investasinya,” tutupnya.

    (ara/ara)

  • Serangan Balik Koalisi Pendukung Prabowo usai PDIP Kritik PPN 12%

    Serangan Balik Koalisi Pendukung Prabowo usai PDIP Kritik PPN 12%

    Bisnis.com, JAKARTA — Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyesalkan sikap PDI Perjuangan atau PDIP yang menolak kebijakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%.

    PSI menjadi partai keempat yang menyerang balik PDIP. Sebelumnya ada Gerindra, PKB, dan Golkar yang telah melontarkan pernyataan dengan nada yang sama kepada partai berlambang banteng tersebut.  

    Juru Bicara PSI, I Putu Yoga Saputra menilai bahwa partai yang dinahkodai Megawati Soekarnoputri itu bak pahlawan kesiangan, padahal sempat terlibat dalam panitia kerja (panja) UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).  Bahkan, Ketua Panja UU HPP berasal dari PDIP.

    “Kami sangat menyesalkan sikap PDIP. Lihat jejak digital, PDIP menjadi pengusul dan terlibat dalam panja UU HPP. Bahkan Ketua Panja dari PDIP. Kalau sekarang mereka menolak, apa namanya? Ya, pahlawan kesiangan,”  katanya lewat rilisnya, Senin (23/12/2024).

    Menurutnya, PPN 12% itu sudah menjadi amanat UU yang apabila tidak dijalankan, justru melanggar hukum dan mengundang risiko sosial.

    “Kenaikan itu bermanfaat dalam jangka panjang terkait peningkatan penerimaan negara untuk membiayai sejumlah hal, termasuk program kesejahteraan sosial. Ujung-ujungnya akan kembali ke rakyat,” ujar Yoga.

    Satu hal lain, Fraksi PDIP adalah fraksi terbesar di DPR RI. Mereka sangat bisa mengarahkan pembahasan sebuah UU. “Kalau mereka tidak ada di parlemen atau fraksi kecil, okelah. PDIP itu fraksi terbesar di DPR. Tidak ada catatan sama sekali mereka menolak saat pembahasan,” pungkas Yoga.

    Gerindra Minta PDIP Oposisi 

    Sementara itu, Anggota DPR RI Fraksi Partai Gerindra Heri Gunawan bahkan menyarankan agar Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) segera menyatakan diri sebagai oposisi. 

    Sebelum Hergun, politikus Gerindra lainnya yakni Wihadi Wiyanto dan Bahtra Banong juga mengungkapkan hal yang sama. Mereka mempertanyakan sikap PDIP yang berubah menetang tarif PPN 12%..

    Adapun Heru Gunawan menuding bahwa banyak politisi PDIP mengunakan isu PPN untuk menyampaikan kritik kepada pemerintahan Prabowo Subianto atas rencana kenaikan PPN 12% atas barang tertentu.

    Dia menyebut Ketua DPP PDIP Puan Maharani yang juga menjabat sebagai Ketua DPR RI menyatakan, kenaikan PPN 12% dapat memperburuk kondisi kelas menengah dan pelaku usaha kecil.

    Termasuk, mantan calon presiden yang diusung PDIP yang juga Ketua DPP PDIP Ganjar Pranowo menyatakan, kebijakan tersebut bisa membuat ngilu kehidupan rakyat.  

    “Menurutnya, PDIP tidak perlu bermain drama dengan berpura-pura membela rakyat kecil. Semua tahu, bahwa kenaikan PPN 12% merupakan tanggung jawab PDIP yang kala itu menjadi pimpinan pengesahan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP),” tuturnya lewat rilisnya, Minggu (22/12/2024).

    Politisi yang biasa disapa Hergun itu menyatakan, dasar kenaikan PPN adalah Pasal 7 Ayat (1) UU HPP yang menyatakan tarif PPN sebesar 11% berlaku 1 April 2022 dan tarif 12% berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.

    Dia menilai bahwa berdasarkan ketentuan UU HPP, kenaikan tarif PPN dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama sudah dilakukan pada 2022.

    “Waktu itu PDIP paling bersemangat menyampaikan kenaikan PPN dan bahkan mau pasang badan. Sehingga aneh menjelang pemberlakukan tahap kedua, PDIP berpaling muka dan mengkritik dengan keras,” katanya.

    Lebih lanjut, mantan anggota Panja UU HPP itu, menjelaskan bahwa pembahasan tingkat I UU HPP dilakukan di Komisi XI DPR. Waktu itu yang menjabat sebagai Ketua Panja adalah kader PDIP Dolfi OFP.

    Selain itu, sebagai partai terbesar di DPR, PDIP juga mengirim anggotanya paling banyak di Panja. “Pembahasan di tingkat I terbilang lancar. Hampir semua fraksi menyatakan persetujuannya terhadap UU HPP. Lalu, pembahasan dilanjutkan pada tingkat II yaitu di Rapat Paripurna DPR RI. Konfigurasinya tidak berbeda. Perlu diketahui, waktu itu Ketua DPR juga dijabat oleh kader PDIP Puan Maharani,” jelasnya.

    Hergun menyatakan, pembentukan UU HPP sejatinya bertujuan memperkuat fondasi fiskal dan meningkatkan tax ratio Indonesia. Sebagaimana diketahui, tax ratio Indonesia tercatat masih lebih rendah dibanding negara-negara lain.

    “Pada 2021 tax ratio Indonesia tercatat sebesar 10,9%. Angka tersebut jauh di bawah rata-rata 36 negara Asia Pasifik yang sebesar 19,3%. Tax ratio Indonesia juga tercatat lebih rendah 22 poin persen dibanding negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) dengan rata-rata 34%,” jelasnya.

    Jawaban PDIP

    Wakil Ketua Komisi XI DPR RI sekaligus anggota Banggar DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP), Dolfie Othniel Frederic Palit, menjawab tudingan politikus Gerindra tentang protes kenaikan tarif PPN menjadi 12%. 

    Dolfie bahkan menegaskan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) disetujui oe 8 fraksi di parlemen dalam paripurna 7 Oktober 2021 lalu.

    Adapun, kedelapan fraksi tersebut adalah Fraksi PDIP, Fraksi Golkar, Fraksi Gerindra, Fraksi NasDem, Fraksi PKB, Fraksi Demokrat, Fraksi PAN, dan Fraksi PPP menyetujui UU HPP. Dia menyebut hanya Fraksi PKS tidak menyetujui itu.

    “Seluruh fraksi setuju untuk melakukan pembahasan atas usul inisiatif pemerintah atas RUU HPP. Selanjutnya RUU HPP dibahas bersama antara Pemerintah dan DPR RI [Komisi XI]. Disahkan dalam Paripurna tanggal 7 Oktober 2021,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, pada Minggu (22/12/2024).

    Adapun dalam amanat UU HPP, lanjut Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU HPP pada kala itu, bahwa tarif PPN mulai 2025 adalah 12%, yang sebelumnya adalah 11%.

    Dia menjelaskan, dalam UU itu, pemerintah dapat mengusulkan perubahan tarif dalam rentang 5% hingga 15% dan bisa menurunkan ataupun menaikkan. Sesuai dengan Pasal 7 Ayat (3) UU HPP, tambahnya, pemerintah dapat mengubah tarif PPN sesuai dengan persetujuan DPR.

    “Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa kenaikan atau penurunan tarif PPN sangat bergantung pada kondisi perekonomian nasional. Oleh karena itu, pemerintah diberi ruang untuk melakukan penyesuaian tarif PPN [naik atau turun],” jelasnya.

    Kendati demikian, Politikus PDIP ini menyebut jika Pemerintahan Prabowo Subianto tetap menggunakan tarif PPN 12%, ada enam hal yang perlu menjadi perhatian saat membahas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.

    “Kinerja ekonomi nasional yang semakin membaik, pertumbuhan ekonomi berkualitas, penciptaan lapangan kerja, penghasilan masyarakat meningkat, pelayanan publik yang semakin baik, efisiensi dan efektivitas belanja negara,” pungkasnya.

  • Indonesia Anti-Scam Center Catat Dana Hilang Masyarakat Tembus Rp 130 M

    Indonesia Anti-Scam Center Catat Dana Hilang Masyarakat Tembus Rp 130 M

    Jakarta

    Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah membuka layanan Indonesia Anti-Scam Center (IASC) sejak 22 November 2024 untuk melindungi masyarakat dari kejahatan jasa keuangan. Baru satu bulan dibuka, sudah ada 11.000 laporan tercatat dengan kerugian mencapai Rp 130 miliar.

    Demikian kata Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi. Kehadiran Indonesia Anti-Scam Center disebut dapat menekan kerugian masyarakat dari kejahatan jasa keuangan.

    “Sudah ada 11.000 laporan dan kerugian masyarakat Rp 130 miliar. Alhamdulillah adanya Indonesia Anti-Scam Center ini kita bisa kejar supaya kerugian masyarakat tidak semakin besar,” kata wanita yang akrab disapa Kiki itu dalam edukasi keuangan bersama ibu-ibu di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Senin (23/12/2024).

    Dalam kesempatan itu, Kiki mengajak ibu-ibu untuk aktif melapor jika menjadi korban penipuan jasa keuangan.

    “Kalau ibu-ibu terima atau mengalami penipuan keuangan, tiba-tiba nggak sadar memberikan OTP, password, terlanjur transfer ke luar silakan hubungi Indonesia Anti-Scam Center ini,” ucapnya.

    Menurut Kiki, edukasi keuangan sangat penting terutama untuk ibu-ibu yang berperan sebagai center keluarga. Kesejahteraan keluarga dinilai sangat ditentukan oleh kemampuan ibu-ibu untuk mengelola keuangannya.

    Hal itu mengacu kepada survei Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Cooperation and Development/OECD), di mana dikatakan bahwa adanya hubungan positif antara literasi keuangan dengan tingkat kesejahteraan keuangan di suatu negara.

    “Itu lah kenapa OJK sangat fokus terhadap edukasi keuangan terutama untuk ibu-ibu karena ibu-ibu adalah center keluarga, ibu adalah menteri keuangan di keluarga, bagaimana kesejahteraan keluarga sangat ditentukan oleh kemampuan ibu-ibu untuk mengelola keuangannya,” imbuhnya.

    (aid/rrd)

  • Daftar Ekonom Paling Berpengaruh di Dunia, Ada dari Indonesia

    Daftar Ekonom Paling Berpengaruh di Dunia, Ada dari Indonesia

    Jakarta, CNBC Indonesia – International Economic Association (IEA) menganugerahkan penghargaan tertinggi kepada 10 tokoh terkemuka dalam bidang ekonomi pada tahun ini. Penghargaan itu adalah IEA Fellow Award 2024.

    Dari daftar 10 penerima penghargaan terselip satu ekonom senior Indonesia, M. Chatib Basri. Mantan menteri keuangan periode 2013-2014 ini mendapat menerima penghargaan ini atas kontribusinya yang signifikan di dalam bidang ekonomi dan telah menjalankan misi IEA dalam keterlibatan global untuk pembangunan.

    “Kami senang sekali mengabarkan kepada Anda bahwa Anda telah terpilih dalam IEA Fellow award untuk 2024. Ini adalah pengakuan atas kerja luar biasa dan ini dianugerahkan kepada 10 individu utama di dunia,” ungkap surat yang diteken oleh IEA President Elhanan Helpman dan Past President Chair of the Nominating Commitee Dani Rodrik, dikutip Senin (23/12/2024).

    Dalam surat itu, IEA juga meminta Chatib sebagai IEA Fellow agar tetap berkontribusi dalam mempromosikan kerja, tujuan, dan aktivitas IEA. Assosiasi ini juga mendorong adanya komunikasi regular antara IEA dan IEA Fellow dalam hal kebijakan, tujuan, aktivitas serta pencapaian dari IEA.

    Berikut ini, daftar 10 IEA Fellow:

    Oriana Bandiera, LSE
    Chatib Basri, University of Indonesia
    Ishac Diwan, American University of Beirut
    Samuel Kortum, Yale University
    Hanan Morsy, UN Econ Commiss for Africa
    Yaw Nyarko, NYU
    Silvana Tenreyro, LSE
    Lucrezia Reichlin, London Business School
    Beatrice Weder di Mauro, Geneva Graduate Institute
    Yao Yang, Peking University

    Chatib Basri saat ini tercatat aktif menjadi pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia. Di sela-sela kesibukannya sebagai Komisaris Utama Bank Mandiri, Chatib masih menjalankan tugasnya sebagai Co-Chair Pandemic Fund Board.

    Chatib tercatat pernah menjadi Senior Fellow di Harvard Kennedy School, Harvard University dan Profesor tamu di Australian National University dan Nanyang Technological University Singapore.

    Dia pun pernah menjadi konsultan di World Bank, USAID, AUSAID, OECD, dan UNCTAD, Asian Development Bank serta menjadi anggota Asia and Pacific Regional Advisory Group dari International Monetary Fund.

    Karier Chatib juga tercatat sukses ketika menjabat sebagai Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada 2012-2013. Selain itu, ia pernah memimpin Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) pada tahun 2004-2009. LPEM mencatat keahlian utama Chatib ada di bidang makroekonomi, perdagangan internasional, dan ekonomi politik.

    Saat ini,Chatib menduduki jabatan sebagai anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang dikepalai olehLuhut B.Panjaitan. DEN adalah lembaga yang memberikan nasihat kepada Presiden Republik Indonesia dalam bidang ekonomi.

    (haa/haa)

  • Ramai Politikus Gerindra Serang Balik PDIP Usai Kritik Prabowo Soal Tarif PPN 12%

    Ramai Politikus Gerindra Serang Balik PDIP Usai Kritik Prabowo Soal Tarif PPN 12%

    Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah politkus Gerindra mengkritik balik PDI Perjuangan (PDIP) yang belakangan ini cukup sering melontarkan keberatan dengan keputusan pemerintah untuk tetap menaikan tarif PPN menjadi 12%. 

    Anggota DPR RI Fraksi Partai Gerindra Heri Gunawan bahkan menyarankan agar Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) segera menyatakan diri sebagai oposisi. 

    Sebelum Hergun, politikus Gerindra lainnya yakni Wihadi Wiyanto dan Bahtra Banong juga mengungkapkan hal yang sama. Mereka mempertanyakan sikap PDIP yang berubah menetang tarif PPN 12%..

    Adapun Heru Gunawan menuding bahwa banyak politisi PDIP mengunakan isu PPN untuk menyampaikan kritik kepada pemerintahan Prabowo Subianto atas rencana kenaikan PPN 12% atas barang tertentu.

    Dia menyebut Ketua DPP PDIP Puan Maharani yang juga menjabat sebagai Ketua DPR RI menyatakan, kenaikan PPN 12% dapat memperburuk kondisi kelas menengah dan pelaku usaha kecil.

    Termasuk, mantan calon presiden yang diusung PDIP yang juga Ketua DPP PDIP Ganjar Pranowo menyatakan, kebijakan tersebut bisa membuat ngilu kehidupan rakyat.  

    “Menurutnya, PDIP tidak perlu bermain drama dengan berpura-pura membela rakyat kecil. Semua tahu, bahwa kenaikan PPN 12% merupakan tanggung jawab PDIP yang kala itu menjadi pimpinan pengesahan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP),” tuturnya lewat rilisnya, Minggu (22/12/2024).

    Politisi yang biasa disapa Hergun itu menyatakan, dasar kenaikan PPN adalah Pasal 7 Ayat (1) UU HPP yang menyatakan tarif PPN sebesar 11% berlaku 1 April 2022 dan tarif 12% berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.

    Dia menilai bahwa berdasarkan ketentuan UU HPP, kenaikan tarif PPN dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama sudah dilakukan pada 2022.

    “Waktu itu PDIP paling bersemangat menyampaikan kenaikan PPN dan bahkan mau pasang badan. Sehingga aneh menjelang pemberlakukan tahap kedua, PDIP berpaling muka dan mengkritik dengan keras,” katanya.

    Lebih lanjut, mantan anggota Panja UU HPP itu, menjelaskan bahwa pembahasan tingkat I UU HPP dilakukan di Komisi XI DPR. Waktu itu yang menjabat sebagai Ketua Panja adalah kader PDIP Dolfi OFP.

    Selain itu, sebagai partai terbesar di DPR, PDIP juga mengirim anggotanya paling banyak di Panja. “Pembahasan di tingkat I terbilang lancar. Hampir semua fraksi menyatakan persetujuannya terhadap UU HPP. Lalu, pembahasan dilanjutkan pada tingkat II yaitu di Rapat Paripurna DPR RI. Konfigurasinya tidak berbeda. Perlu diketahui, waktu itu Ketua DPR juga dijabat oleh kader PDIP Puan Maharani,” jelasnya.

    Hergun menyatakan, pembentukan UU HPP sejatinya bertujuan memperkuat fondasi fiskal dan meningkatkan tax ratio Indonesia. Sebagaimana diketahui, tax ratio Indonesia tercatat masih lebih rendah dibanding negara-negara lain.

    “Pada 2021 tax ratio Indonesia tercatat sebesar 10,9%. Angka tersebut jauh di bawah rata-rata 36 negara Asia Pasifik yang sebesar 19,3%. Tax ratio Indonesia juga tercatat lebih rendah 22 poin persen dibanding negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) dengan rata-rata 34%,” jelasnya.

    Hergun berdalih bahwa berdasarkan catatan OECD, penerimaan pajak Indonesia masih didominasi pajak penghasilan (PPh) yaitu sebesar 5,1% dari PDB, disusul pajak pertambahan nilai (PPN) yaitu sebesar 3,4% dari PDB, dan terakhir dari cukai sebesar 1,6% dari PDB.

    Hergun menilai bahwa pemerintah juga sudah menyiapkan sejumlah insentif untuk rumah tangga berpenghasilan rendah dan untuk menjaga daya beli. Paket insentif tersebut antara lain berupa bantuan beras/pangan, diskon biaya listrik 50% selama 2 bulan, serta insentif perpajakan seperti.

    “Ada berbagai insentif PPN dengan total alokasi mencapai Rp265,6 triliun untuk 2025,” tandasnya.

    Oleh sebab itu, Hergun berpandangan, para politisi seharusnya menunjukkan keteladanan dan konsistensi perjuangan. Sikap PDIP yang berubah 180 derajat bisa dipandang sebagai sikap oportunis yang memanfaatkan panggung demi menaikkan pencitraan.

    “Sebaiknya PDIP mengambil sikap tegas sebagai opisisi terhadap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Dengan demikian, konfigurasi politik di parlemen akan menjadi jelas. Tidak seperti sekarang, PDIP terkesan menjadi partai yang tidak bertanggung jawab atas kebijakan yang dibuatnya,” pungkas Hergun.

    Jawaban PDIP

    Wakil Ketua Komisi XI DPR RI sekaligus anggota Banggar DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP), Dolfie Othniel Frederic Palit, menjawab tudingan politikus Gerindra tentang protes kenaikan tarif PPN menjadi 12%. 

    Dolfie bahkan menegaskan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) disetujui oe 8 fraksi di parlemen dalam paripurna 7 Oktober 2021 lalu.

    Adapun, kedelapan fraksi tersebut adalah Fraksi PDIP, Fraksi Golkar, Fraksi Gerindra, Fraksi NasDem, Fraksi PKB, Fraksi Demokrat, Fraksi PAN, dan Fraksi PPP menyetujui UU HPP. Dia menyebut hanya Fraksi PKS tidak menyetujui itu.

    “Seluruh fraksi setuju untuk melakukan pembahasan atas usul inisiatif pemerintah atas RUU HPP. Selanjutnya RUU HPP dibahas bersama antara Pemerintah dan DPR RI [Komisi XI]. Disahkan dalam Paripurna tanggal 7 Oktober 2021,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, pada Minggu (22/12/2024).

    Adapun dalam amanat UU HPP, lanjut Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU HPP pada kala itu, bahwa tarif PPN mulai 2025 adalah 12%, yang sebelumnya adalah 11%.

    Dia menjelaskan, dalam UU itu, pemerintah dapat mengusulkan perubahan tarif dalam rentang 5% hingga 15% dan bisa menurunkan ataupun menaikkan. Sesuai dengan Pasal 7 Ayat (3) UU HPP, tambahnya, pemerintah dapat mengubah tarif PPN sesuai dengan persetujuan DPR.

    “Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa kenaikan atau penurunan tarif PPN sangat bergantung pada kondisi perekonomian nasional. Oleh karena itu, pemerintah diberi ruang untuk melakukan penyesuaian tarif PPN [naik atau turun],” jelasnya.

    Kendati demikian, Politikus PDIP ini menyebut jika Pemerintahan Prabowo Subianto tetap menggunakan tarif PPN 12%, ada enam hal yang perlu menjadi perhatian saat membahas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.

    “Kinerja ekonomi nasional yang semakin membaik, pertumbuhan ekonomi berkualitas, penciptaan lapangan kerja, penghasilan masyarakat meningkat, pelayanan publik yang semakin baik, efisiensi dan efektivitas belanja negara,” pungkasnya.

  • UMKM Beromzet Kurang dari Rp4,8 M Tetap Pakai PPh 0,5%

    UMKM Beromzet Kurang dari Rp4,8 M Tetap Pakai PPh 0,5%

    Jakarta, CNBC Indonesia – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan membantah adanya rencana pemerintah untuk menurunkan batasan omzet bagi UMKM untuk bisa menikmati tarif PPh 0,5% maupun kategori pengusaha kena pajak (PKP).

    Sebagaimana diketahui, batasan atau threshold bagi pengusaha untuk menggunakan tarif PPh 0,5% maupun sebagai batasan untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) saat ini adalah senilai Rp 4,8 miliar per tahun.

    Namun, saat tarif PPN akan naik menjadi 12% per 1 Januari 2025, santer tersiar kabar thresholdnya tengah dibahas pemerintah untuk diturunkan menjadi menjadi Rp 3,6 miliar per tahun. Sebagaimana tertera dalam dokumen Bahan Rapat Koordinasi Paket Kebijakan Ekonomi.

    Meski begitu, melalui lembaran Keterangan Tertulis Nomor KT-03/2024, Ditjen Pajak menegaskan, “Sampai saat ini Pemerintah tidak berencana untuk menurunkan batasan omzet bagi pengusaha untuk menggunakan tarif PPh 0,5% maupun sebagai batasan untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP), dari Rp 4,8 miliar per tahun menjadi Rp 3,6 miliar per tahun.”

    Penegasan ini sebelumnya telah disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Ia membantah bahwa pemerintah akan menurunkan ambang batas atau threshold omzet UMKM yang bisa memanfaatkan tarif pajak penghasilan (PPh) final dan status pengusaha kena pajak dari yang saat ini maksimal Rp 4,8 miliar menjadi Rp 3,6 miliar per tahun.

    “Ya kalau itu belum ada rencana. Threshold tetap Rp 4,8 miliar,” kata Airlangga di kantornya Kamis malam (19/12/2024).

    Ia pun mengaku belum ada bahasan di antara pemerintah untuk menurunkan ambang batas UMKM yang bisa bebas pajak tersebut. Meski begitu, Airlangga mengakui bila pemerintah memang ada rencana untuk mengevaluasi ambang batas omzet UMKM yang mulai terkena pajak ataupun bisa menikmati PPh Final 0,5%.

    “Tapi tetap Rp 4,8 miliar, ya. Kalau evaluasi pasti ada, sekarang engak ada,” tutur Airlangga.

    Sebelumnya, Sekertaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan, rencana kebijakan penurunan threshold omzet PPh Final UMKM didasari dari rekomendasi Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan atau OECD.

    OECD menganggap, batasan omzet usaha di Indonesia yang terbebas dari pajak pertambahan nilai (PPN) ketinggian. Penilaian ini tertuang dalam Survei Ekonomi OECD Indonesia edisi November 2024. Batasan omzet usaha yang dimaksud OECD ini ialah senilai Rp 4,8 miliar atau setara US$ 300.000.

    “Sebenarnya rencana penurunan sudah disampaikan Bu Menkeu (Sri Mulyani) dan Pak Menko (Airlangga) di beberapa kesempatan karena ada catatan rekomendasi OECD juga, untuk lebih disesuaikan thresholdnya dengan best practices negara lain, terkait keadilan dan perluasan tax base,” ucap Susiwijono di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (17/12/2024).

    Meski begitu, Susiwijono menegaskan bahwa rencana kebijakan ini baru sebatas kajian di internal pemerintahan, belum ada keputusan resmi terkait itu. Ia juga menekankan kebijakan ini tidak akan termasuk ke dalam paket kebijakan ekonomi yang dirilis pemerintah tentang kelanjutan PPh Final UMKM orang pribadi yang dapat memanfaatkan PPh Final 0,5% sampai dengan 2025.

    “Kemarin ini tidak disinggung karena konteksnya kan adalah insentif-insentif untuk meringankan UMKM dalam rangka adanya pemberlakuan PPN 12% per 1 Januari 2025. Tapi, setelah itu nanti pasti disampaikan,” ucap Susiwijono.

    Bila nantinya hasil proses pembahasan threshold omzet PPh final UMKM diputuskan diturunkan menjadi Rp 3,6 miliar per tahun, Susiwijono memastikan, pemberlakuannya akan ditetapkan dengan mengubah PP, seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022.

    Perubahan PP itu ia akui pada akhirnya juga akan menjadi acuan batasan omzet untuk memberikan insentif PPh Final 0,5% bagi UMKM. Namun, ia kembali menegaskan bahwa rencana ini juga belum tentu menghasilkan keputusan threshold omzet pengusaha kena pajak yang senilai Rp 4,8 miliar akan ikut turun.

    “Kita lihat perubahan PP nya nanti ya, threshold yang mana ini kan harus ubah PP, nanti pasti pemerintah akan sampaikan hitung-hitungannya, kita perlu juga arah kajiannya bagaimana meski sudah ada ke sana terkait rekomendasi OECD, cuma konteks sekarang kan ke insentif PPh Final UMKM,” ungkap Susiwijono.

    (mkh/mkh)