Organisasi: OECD

  • Ada Fenomena Baru, Pekerja Makin ‘Hobi’ Izin Cuti Sakit

    Ada Fenomena Baru, Pekerja Makin ‘Hobi’ Izin Cuti Sakit

    Jakarta

    Angka pengajuan cuti sakit karyawan di Jerman terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Masalahnya tidak semua izin cuti itu benar diambil karena pekerja yang bersangkutan sedang sakit, sehingga menurunkan kinerja perekonomian negara itu.

    Melansir dari situs resmi Badan Statistik Federal Jerman Destatis, Kamis (1/1/2025), di negara terkaya se-Eropa itu karyawan yang mengajukan cuti sakit berhak menerima gaji penuh yang berkelanjutan dari pemberi kerja mereka. Hak tersebut umumnya dibatasi hingga enam minggu per tahun.

    Berdasarkan hasil survei yang dilakukan badan statistic tersebut, pekerja di Jerman rata-rata mengambil cuti sakit selama 15,1 hari sepanjang 2023 lalu. Jumlah ini meningkat sekitar 4 hari kerja jika dibandingkan dengan rata-rata izin cuti sakit pada 2021 yakni 11,1 hari.

    Saat perhitungan survei ini dilakukan, pengumpulan data hanya memperhitungkan pengajuan cuti sakit yang yang melebihi durasi ketidakhadiran. Oleh karena itu, rata-rata jumlah hari cuti sakit yang diajukan para pekerja Jerman ini kemungkinan lebih tinggi.

    Tidak hanya secara durasi, proporsi karyawan yang mengajukan izin cuti sakit juga mengalami peningkatan. Di mana pada 2023 rata-rata pekerja Jerman yang ambil cuti sakit mencapai 6,1%. Jumlah ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan 2006 lalu ketika jumlah pengajuan cuti sakit mencapai titik terendah yakni 3,3%.

    Sementara itu dalam laporan France24, menurut data OECD pekerja Jerman kehilangan rata-rata 6,8% jam kerja mereka pada tahun 2023 karena sakit. Angka ini jauh lebih buruk daripada negara-negara Uni Eropa lainnya seperti Prancis, Italia, dan Spanyol.

    “Dampaknya signifikan dan tentu saja memengaruhi aktivitas ekonomi,” kata kepala ekonom di asosiasi perusahaan farmasi berbasis riset Jerman, Claus Michelsen.

    Menurutnya tren tersebut membebani perekonomian Jerman mulai dari perlambatan manufaktur hingga lemahnya permintaan ekspor. Alhasil asosiasi perusahaan farmasi yang dipimpin Michelsen itu menghitung bahwa tingkat ketidakhadiran kerja yang lebih tinggi karena sakit memangkas 0,8% dari output Jerman pada tahun 2023.

    Bisnis Detektif Cuti Sakit di Jerman Kian Subur

    Meningkatnya angka cuti sakit mungkin menjadi berita buruk bagi perusahaan-perusahaan Jerman, terlebih saat ini kondisi ekonomi negara terkaya di Eropa itu sedang terpuruk. Namun hal ini malah menjadi pertanda baik bagi detektif swasta Marcus Lentz, yang banyak menyelidiki kasus pengajuan cuti sakit fiktif.

    Detektif Lentz mengatakan dalam banyak kasus ketika seorang pekerja berpura-pura sakit dalam waktu lama, mereka sebenarnya bekerja sambilan. Ia memberi contoh seorang pekerja yang membantu bisnis istrinya saat sedang cuti sakit. Kemudian ada juga pekerja yang mengambil cuti sakit jangka panjang untuk merenovasi properti mereka.

    Meskipun menyewa detektif swasta seperti dirinya membutuhkan ongkos yang cukup mahal, Lentz mengatakan banyak perusahaan tetap menyewa jasanya. Sebab dari sudut pandang perusahaan, pekerja yang kerap mengajukan izin sakit sangatlah tidak produktif dan malah dapat memberikan kerugian finansial yang lebih besar.

    “Mereka (perusahaan) mengatakan, siapa pun yang sering cuti sakit tidak menghasilkan uang bagi kami, mereka (pekerja yang kerap ajukan cuti sakit fiktif) harus keluar,” katanya.

    Bahkan agensi detektif swasta Lentz Group miliknya menerima hingga 1.200 permintaan terkait penyelidikan pengajuan izin cuti sakit fiktif setiap tahunnya. Jumlah ini meningkat sekitar dua kali lipat dari jumlah beberapa tahun sebelumnya.

    “Jika seseorang memiliki 30, 40 atau terkadang hingga 100 hari cuti sakit dalam setahun, maka pada titik tertentu mereka menjadi tidak menarik secara ekonomi bagi pemberi kerja,” pungkasnya.

    Lihat juga Video ‘Tingkatkan Penggunaan AI, TikTok PHK Ratusan Karyawan’:

    (fdl/fdl)

  • Pentingnya digitalisasi dan membangun database perpajakan berbasis AI

    Pentingnya digitalisasi dan membangun database perpajakan berbasis AI

    Jakarta (ANTARA) – Reformasi perpajakan di Indonesia menghadapi tantangan besar seiring dengan dinamika ekonomi global dan transformasi teknologi yang cepat.

    Salah satu upaya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem perpajakan adalah melalui digitalisasi dan pembangunan database perpajakan berbasis kecerdasan buatan (Artificial Intellegence/AI).

    Di tengah perkembangan ekonomi digital yang pesat, kebutuhan untuk mengintegrasikan teknologi dalam sistem perpajakan menjadi sangat mendesak. Digitalisasi dapat meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan pajak, sementara penerapan AI memungkinkan pengelolaan data yang lebih baik dan pengambilan keputusan yang lebih akurat.

    Indonesia memiliki potensi besar dalam sektor perpajakan, namun masih menghadapi sejumlah tantangan yang menghambat optimalisasi penerimaan pajak.

    Rasio pajak Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih rendah dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Menurut data Bank Dunia, rasio pajak Indonesia pada 2022 hanya sekitar 10,8 persen, sementara negara-negara OECD memiliki rasio pajak sekitar 34 persen.

    Rendahnya rasio pajak ini mencerminkan bahwa banyak potensi pajak yang belum dimanfaatkan secara maksimal, terutama dalam sektor informal.

    Tantangan lain adalah sektor informal Indonesia yang mencakup sekitar 60 persen dari tenaga kerja, sebagian besar tidak terdaftar dalam sistem perpajakan formal. Hal ini membuat banyak potensi penerimaan pajak tidak tercatat, sehingga menghambat perluasan basis pajak negara.

    Di sisi lain, transparansi dan kepatuhan pajak juga dinilai masih rendah. Meskipun pemerintah telah mengadopsi berbagai kebijakan perpajakan, tingkat kepatuhan pajak di Indonesia masih relatif rendah.

    Menurut hasil survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI), sekitar 40 persen masyarakat Indonesia menganggap pajak sebagai beban yang tidak memberikan manfaat langsung. Selain itu, masalah penghindaran pajak dan kebocoran juga masih menjadi tantangan besar.

    Efisiensi pengelolaan data perpajakan

    Pengelolaan data perpajakan di Indonesia masih bergantung pada sistem manual yang memerlukan banyak waktu dan sumber daya. Proses verifikasi dan analisis data yang dilakukan secara konvensional sering kali menimbulkan ketidaktepatan dan ketidakakuratan informasi.

    Oleh karena itulah digitalisasi sangat penting sebagai langkah menuju efisiensi. Digitalisasi sistem perpajakan menawarkan banyak manfaat, antara lain peningkatan kepatuhan pajak.

    Penggunaan teknologi dalam sistem perpajakan memungkinkan adanya e-filing (pelaporan pajak secara elektronik) dan e-payment (pembayaran pajak secara online). Hal ini mempermudah wajib pajak untuk melaporkan dan membayar kewajiban pajaknya secara tepat waktu.

    Menurut data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Indonesia, penggunaan e-filing di Indonesia terus meningkat. Pada 2021, sekitar 75 persen wajib pajak telah menggunakan e-filing, sebuah kemajuan signifikan dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya.

    Digitalisasi juga mengurangi biaya administrasi yang terkait dengan pemrosesan data pajak. Penggunaan sistem otomatis memungkinkan pemrosesan lebih cepat dan meminimalisir kesalahan manusia.

    Sebagai contoh, penggunaan e-faktur untuk faktur pajak membantu mengurangi potensi pemalsuan faktur dan memudahkan verifikasi transaksi.

    Dari segi transparansi dan akuntabilitas, teknologi dapat meningkatkan transparansi dalam pengelolaan penerimaan dan pengeluaran pajak. Setiap transaksi pajak yang tercatat dalam sistem digital dapat dengan mudah dipantau dan diawasi oleh pihak berwenang.

    Hal ini juga memungkinkan publik untuk memantau bagaimana pajak digunakan, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan.

    Sistem digital memungkinkan pemerintah untuk memberikan layanan yang lebih baik dan lebih cepat kepada wajib pajak, seperti memberikan informasi terkait kewajiban pajak, status pembayaran, dan bantuan terkait prosedur pajak secara online. Hal ini dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan memperbaiki hubungan antara pemerintah dan masyarakat.

    Database berbasis AI

    Penerapan kecerdasan buatan (AI) dalam pengelolaan data perpajakan memberikan potensi yang sangat besar untuk meningkatkan kualitas analisis dan pengambilan keputusan. Beberapa manfaat utama AI dalam pengelolaan pajak antara lain analisis data yang lebih cepat dan akurat.

    AI dapat memproses sejumlah besar data perpajakan dalam waktu singkat. Dengan kemampuan untuk menganalisis pola-pola transaksi, AI dapat membantu otoritas pajak mengidentifikasi potensi penghindaran pajak dan mencocokkan data antara wajib pajak dengan data pihak ketiga (seperti data perbankan, transaksi bisnis, dll). Misalnya, sistem AI dapat digunakan untuk mendeteksi ketidaksesuaian antara laporan pajak yang diajukan oleh wajib pajak dan data transaksi yang tercatat di lembaga keuangan.

    AI dapat digunakan untuk memantau kepatuhan pajak secara otomatis, mengidentifikasi pelanggaran, dan mengirimkan peringatan kepada wajib pajak atau petugas pajak. Dengan kemampuan untuk memproses data secara real-time, AI dapat membantu mendeteksi aktivitas yang mencurigakan atau adanya upaya penghindaran pajak yang dilakukan oleh individu atau perusahaan besar.

    Pemanfaatan kecerdasan buatan juga memungkinkan kita untuk membuat personalisasi layanan untuk wajib pajak.

    Dengan analisis berbasis AI, sistem perpajakan dapat memberikan rekomendasi atau layanan yang lebih personal kepada wajib pajak. Misalnya, AI dapat membantu wajib pajak memahami kewajiban perpajakan mereka dengan memberikan panduan dan pengingat berbasis data historis mereka.

    Disamping itu, AI juga meningkatkan prediksi dan perencanaan fiskal. Dengan menganalisis data yang ada, AI dapat membantu pemerintah meramalkan penerimaan pajak di masa depan dengan lebih akurat. Hal ini dapat membantu perencanaan fiskal yang lebih efektif, memungkinkan pemerintah untuk mengalokasikan anggaran negara dengan lebih efisien dan tepat sasaran.

    Data statistik

    Menurut data OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development), digitalisasi administrasi perpajakan telah terbukti efektif dalam meningkatkan kepatuhan pajak dan efisiensi pengumpulan pajak di berbagai negara. Negara-negara seperti Estonia dan Korea Selatan telah berhasil mengimplementasikan sistem perpajakan berbasis digital yang sangat efisien, dengan tingkat kepatuhan yang tinggi dan pengurangan biaya administrasi yang signifikan.

    Di Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah meluncurkan berbagai inisiatif digitalisasi, seperti e-Filing, e-Bupot, dan e-Faktur. Berdasarkan data DJP, pada tahun 2022, e-Filing telah digunakan oleh lebih dari 75 persen wajib pajak, dengan sekitar 13 juta laporan pajak dilaporkan secara elektronik. Ini menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam adopsi teknologi oleh wajib pajak Indonesia.

    Selain itu, OECD juga melaporkan bahwa penerapan Artificial Intelligence (AI) dalam administrasi pajak di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dapat meningkatkan efisiensi pengumpulan pajak hingga 20 persen. Sistem AI dapat mengidentifikasi pola-pola penghindaran pajak dan membantu dalam penegakan hukum dengan lebih cepat dan akurat.

    Beberapa pakar internasional memberikan pandangan tentang pentingnya digitalisasi dan AI dalam sistem perpajakan.

    Jeffrey Sachs, Ekonom Universitas Columbia, berpendapat bahwa digitalisasi adalah langkah penting dalam reformasi perpajakan. “Digitalisasi dapat membantu meningkatkan transparansi dan memperbaiki efisiensi pengelolaan penerimaan pajak. Sistem digital yang baik tidak hanya mempermudah wajib pajak tetapi juga mengurangi peluang terjadinya kebocoran pajak.”

    Paul Collier, Profesor Ekonomi Universitas Oxford, menyarankan agar Indonesia fokus pada penggunaan teknologi untuk memperluas basis pajak. “Dengan adopsi teknologi canggih, Indonesia dapat meminimalkan ketergantungan pada sektor formal dan memperluas pengumpulan pajak dari sektor informal yang besar.”

    Ngozi Okonjo-Iweala, Direktur Jenderal WTO, menyatakan bahwa penggunaan AI dalam perpajakan akan mengurangi penghindaran pajak. “AI memungkinkan pengawasan perpajakan yang lebih efektif dan deteksi dini terhadap potensi penghindaran pajak. Ini sangat penting bagi negara berkembang yang sering kali menghadapi masalah kepatuhan pajak.”

    Digitalisasi dan penerapan database perpajakan berbasis kecerdasan buatan atau AI adalah langkah penting dalam memperbaiki sistem perpajakan di Indonesia. Dengan digitalisasi, sistem administrasi pajak menjadi lebih efisien, transparan, dan mudah diakses oleh wajib pajak.

    Penerapan AI lebih lanjut dapat meningkatkan analisis data, mempermudah pengawasan, dan membantu pemerintah merencanakan kebijakan fiskal yang lebih efektif.

    Untuk mewujudkan ini, pemerintah Indonesia perlu terus mendorong inovasi dalam sistem perpajakan dan memanfaatkan teknologi untuk menciptakan sistem yang lebih modern dan inklusif. Dengan mengintegrasikan digitalisasi dan AI, Indonesia dapat mengatasi tantangan perpajakan yang ada dan memperkuat sistem perpajakan yang berkelanjutan dan adil.

    *) Dr. M. Lucky Akbar, S.Sos, M.Si, Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi

    Copyright © ANTARA 2025

  • Refleksi kebijakan fiskal di tahun transisi

    Refleksi kebijakan fiskal di tahun transisi

    Jakarta (ANTARA) – Tahun 2024 menjadi tahun yang cukup menantang untuk kebijakan fiskal. Tak hanya ‘ketidakpastian global’–yang kerap menjadi jargon pembuka di banyak pemaparan isu ekonomi – tetapi juga transisi pemerintahan.

    Peralihan struktur dalam tubuh pemerintahan tak dimungkiri menimbulkan banyak penyesuaian dalam manajemen fiskal.

    Triwulan tahun pertama, pengelolaan anggaran disibukkan dengan pesta demokrasi yang digelar serentak. Tentu dengan dana yang besar, namun juga dengan dampak yang besar.

    Dua triwulan berikutnya, pengelolaan fiskal setidaknya bisa lebih berfokus pada program-program tahun berjalan, sembari menunggu hasil pemilu.

    Triwulan akhir, banyak ‘gebrakan’ dalam domain pengelolaan fiskal, mulai dari beralihnya posisi Kementerian Keuangan menjadi di bawah komando langsung presiden, utak-atik anggaran untuk mengakomodasi kementerian/lembaga baru, hingga polemik kebijakan pajak yang masih belum surut per hari terakhir tahun ini.

    Kaleidoskop APBN 2024

    Sebagai catatan, kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun anggaran 2024 secara umum menunjukkan tren penerimaan yang melambat namun dengan defisit yang terkendali.

    Pada Januari, APBN mencatatkan surplus Rp31,3 triliun, ditopang oleh pendapatan negara Rp215,5 triliun dan belanja Rp184,2 triliun. Surplus mulai tergerus sejak Februari karena lonjakan belanja yang tumbuh 18 persen (year-on-year/yoy) akibat persiapan Pemilu, sementara penerimaan negara mengalami kontraksi.

    Pada Maret, surplus menyusut menjadi Rp8,07 triliun dengan pendapatan Rp620,01 triliun (-4,1 persen yoy) dan belanja Rp611,9 triliun (+18 persen yoy). Tren surplus kembali naik pada April mencapai Rp75,7 triliun, tetapi tidak bertahan lama karena pada Mei terjadi defisit pertama senilai Rp21,76 triliun, seiring pendapatan yang turun 7,1 persen (yoy).

    Defisit APBN terus melebar pada semester kedua 2024 akibat tekanan dari belanja negara yang terus melonjak. Hingga Agustus, defisit mencapai Rp153,7 triliun, dengan realisasi belanja Rp1.930,7 triliun (+12,2 persen yoy) dan pendapatan Rp1.777 triliun (-4,3 persen yoy).

    Sementara catatan terakhir, yakni per akhir November, defisit menyentuh Rp401,8 triliun atau setara 1,81 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Pendapatan mulai rebound mencapai Rp2.492,7 triliun (+1,3 persen), sementara belanja Rp2.894,5 triliun (+15,3 persen).

    Defisit November masih jauh di bawah target yang ditetapkan Pemerintah pada APBN 2024, yakni sebesar Rp522,8 triliun atau 2,29 persen.

    Retrospeksi kampanye penerimaan negara

    Per Agustus 2024, APBN telah menyalurkan Rp30,5 triliun untuk belanja pemilu. Investasi negara pada pemilihan presiden dan legislatif penting mengingat dampak jangka pendek terhadap perputaran ekonomi maupun dampak menengah-panjang terhadap arah kebijakan perekonomian negara ke depan.

    Dalam konteks fiskal, salah satu aspek penting yang perlu menjadi perhatian adalah penerimaan negara. Rasio pajak di Indonesia terbilang rendah di kisaran 10 persen, dibandingkan dengan rata-rata negara lain sebesar 15 persen.

    Sedikit kilas balik, ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden menawarkan target peningkatan rasio pajak dan rencana kebijakan fiskal yang beragam.

    Paslon Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, misalnya, menargetkan rasio pajak 13-16 persen yang diperoleh dari penyerapan dari pajak karbon, pajak 100 orang terkaya, hingga evaluasi insentif pajak.

    Paslon Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang kini menduduki tahta istana, membidik angka yang cukup ambisius, yakni rasio pajak sebesar 23 persen. Strategi yang diusung termasuk di antaranya pajak usaha kecil menengah (UKM), cukai minuman, hingga menghapus pajak pertambahan nilai (PPN) pada industri buku.

    Sementara Ganjar Pranowo dan Mahfud Md membidik angka 14-16 persen melalui pungutan pajak karbon, platform digital, warisan, hingga perluasan dan peningkatan pajak barang mewah.

    Fiskal di awal pemerintahan baru

    Pergantian pemerintahan mendorong fiskal negara untuk beradaptasi dengan sistem baru. Salah satu perubahan yang paling signifikan adalah bertambahnya jumlah kementerian/lembaga.

    Total, ada 109 pejabat dalam kabinet Presiden Prabowo (48 menteri, 55 wakil menteri, dan lima pejabat setingkat menteri), jauh lebih tinggi dari rata-rata kabinet sebelumnya yang berkisar 33-39 orang. Artinya, akan ada lonjakan belanja pemerintah.

    Untuk anggaran 2024, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Isa Rachmatarwata menyatakan tidak ada beban tambahan baru akibat penambahan K/L. Sementara untuk anggaran 2025 masih dalam tahap kajian.

    Selain itu, pemerintahan baru juga memiliki sejumlah program prioritas yang membutuhkan anggaran besar, Makan Bergizi Gratis (MBG) contohnya.

    Pemerintah juga perlu membayar utang jatuh tempo senilai Rp1.353,2 triliun pada tahun depan, yang terdiri dari Rp800,3 triliun pokok utang dan Rp552,9 triliun bunga utang.

    Mengingat berbagai kebutuhan itu, maka meningkatkan pendapatan negara dan mengelola fiskal dengan lebih efisien menjadi krusial.

    Soal strategi mendongkrak penerimaan, pajak menjadi isu yang cukup sensitif. Problem yang paling utama adalah kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen.

    Hingga hari ini, penolakan terhadap kebijakan itu masih terus disuarakan, karena dianggap menambah beban masyarakat di tengah daya beli yang melemah dan risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) tinggi.

    Pemerintah merespons dengan paket stimulus, contohnya bantuan beras, diskon listrik, PPN DTP untuk merespons daya beli dan penguatan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk memitigasi PHK.

    Pengusaha dan industri yang juga bakal terdampak turut diberikan insentif, termasuk perpanjangan insentif PPh final 0,5 persen untuk UMKM dan dukungan subsidi PPh hingga bunga untuk industri padat karya.

    Akan tetapi, manfaat stimulus itu dinilai bersifat temporer. Sedangkan pemerintah sebetulnya memiliki alternatif lain untuk meningkatkan penerimaan. Misalnya, sebagaimana yang diusulkan oleh Direktur Celios Bhima Yudhistira, ada opsi perluasan basis pajak, penerapan pajak kekayaan, dan memberantas celah penghindaran pajak yang dinilai lebih efektif untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa perlu membebani masyarakat.

    Di sisi lain, Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) merekomendasikan Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan efisiensi belanja melalui pengurangan subsidi dengan terfokus pada masyarakat rentan, fokus belanja untuk prioritas nasional, hingga evaluasi berkala terhadap efektivitas belanja publik. Rekomendasi ini bertujuan menjaga keberlanjutan fiskal sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

    Menyambut 2025, seiring dengan lebih stabilnya perpolitikan dalam negeri, diharapkan kebijakan fiskal dapat dikelola dengan lebih optimal.

    Harapannya, APBN bisa mendukung program pemerintah, sembari menjaga kesejahteraan rakyat, dan tetap sehat untuk menopang perekonomian nasional.

    Editor: Slamet Hadi Purnomo
    Copyright © ANTARA 2024

  • Pernikahan di Korsel Rendah, Biro Jodoh hingga Pemerintah Jadi ‘Mak Comblang’

    Pernikahan di Korsel Rendah, Biro Jodoh hingga Pemerintah Jadi ‘Mak Comblang’

    Jakarta

    Min Jung sudah menjalani tiga tahun pacaran dengan kekasihnya ketika pacarnya memberi tahu perempuan tersebut bahwa dia tak ingin menikah. Min Jung sangat terpukul kala itu.

    “Saya selalu berpikir kami akan menikah suatu saat nanti,” katanya.

    “Saya sedang berbaring di tempat tidur dan main ponsel ketika saya melihat iklan biro jodoh, dan saya berpikir, ‘Mengapa tidak?’”

    Keputusan impulsif itu membawa perempuan berusia 30 tahun tersebut berjumpa dengan Tae Hyung, yang kini menjadi suaminya.

    Pengantin baru ini sudah memasuki bulan keempat pernikahan mereka.

    Mereka mengaku bahwa hubungan mereka bukanlah cinta pada pandangan pertama, namun keduanya mengaku merasa klop satu sama lain.

    “Saat itu ada pesta yang digelar kantor sebelumnya, saya datang ke kencan kami dalam kondisi pengar, jadi saya tidak dalam kondisi terbaik saat pertama kali bertemu istri saya,” kenang Tae Hyungs.

    “Saya ingin kesempatan kedua. Saya harus bekerja keras memberinya kesan yang lebih baik tentang saya setelah kencan pertama itu.”

    BBCPekerjaan klien, aset keuangan dan latar belakang keluarga diperiksa sebelum biro jodoh menentukan tanggal pertemuan klien.

    Biro jodoh Korea Selatan mengatur tiap detail kencan pertama klien mereka.

    Namun sebelum itu, mereka mengumpulkan informasi pribadi dari masing-masing klien mereka.

    Rincian informasi pribadi seperti usia, pekerjaan, aset keuangan, dan latar belakang keluarga perlu diisi.

    Klien kemudian dinilai berdasarkan profil mereka.

    Misalnya, klien yang berstatus sebagai dokter atau pengacara cenderung mendapat peringkat tertinggi dalam daftar bidang pekerjaan klien.

    Sementara pekerja kantoran di perusahaan besar mendapat peringkat di bawahnya.

    BBC

    BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

    Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

    BBC

    Akan tetapi, beberapa orang menganggap sistem penilaian ini bermasalah karena dianggap materialistis dan terlalu mementingkan status sosial.

    Namun bagi Min Jung, menemukan seseorang yang “mirip” dengannya adalah hal yang penting.

    Demikian halnya bagi Tae Hyung, yang berharap informasi yang dia berikan kepada mak comblang akan memungkinkan mereka menemukan seseorang yang cocok dengannya.

    Baca juga:

    Dan, biro melakukan tugasnya dengan baik.

    Min Jung dan Tae Hyung, keduanya adalah pekerja kantoran di Seoul, kini membuka babak baru dalam hidup mereka tidak hanya dalam pernikahan, tetapi juga sebagai salah satu pemilik toko wine.

    “Hidup saya akan jadi membosankan sebagai pekerja kantoran dengan rutinitas sehari-hari,” kata Tae Hyung sambil memegang tangan istrinya.

    “Tetapi sekarang, saya melakukan sesuatu yang baru dan membangun kehidupan bersama istri saya itu sangat menyenangkan.”

    Mengapa perjodohan naik daun di Korsel?

    Biro jodoh pernikahan sedang booming di Korea Selatan, dengan hampir 1.000 agen yang beroperasi di seluruh negeri pada 2024.

    Dari ribuan biro jodoh, banyak yang mencapai rekor penjualan.

    Kami berbicara dengan beberapa biro jodoh, yang memberi tahu kami bahwa aktivitas mereka telah meningkat sebesar 30% selama beberapa tahun terakhir, dan jumlah remaja lajang yang menggunakan layanan mereka terus meningkat.

    “Lebih sedikit peluang untuk pertemuan alami selama Covid berarti lebih banyak orang beralih ke perjodohan,” kata Han Ki Yeol, wakil presiden biro jodoh kelas atas N.Noble.

    Baca juga:

    Dia menambahkan bahwa keberhasilan “klien Covid” ini menunjukkan adanya “pergeseran persepsi” yang membantu mendorong pertumbuhan biro jodoh.

    “Dulu, anak muda mengira biro jodoh ini diperuntukkan bagi mereka yang gagal menikah,” katanya.

    “Sekarang, mereka melihatnya sebagai cara untuk menemukan seseorang yang sesuai dengan kebutuhan mereka.”

    Seorang dokter berusia 32 tahun yang merupakan klien dari salah satu biro jodoh, dan meminta untuk tidak disebutkan namanya, mengatakan banyak temannya telah mendaftar untuk layanan tersebut.

    “Dulu saya berpikir negatif tentang biro jodoh ini, tapi sekarang semuanya terasa normal,” katanya.

    Getty Images Kesempatan bertemu yang lebih sedikit selama pandemi Covid-19 dan perubahan persepsi telah mendorong maraknya perjodohan pernikahan di Korsel

    “Kencan buta yang dirancang oleh teman-teman terlalu membebani saya. Sulit untuk menolak seseorang ketika Anda memiliki hubungan pertemanan. Biro jodoh menghapus beban itu.”

    Namun bahkan mereka yang sudah sukses pun bisa menganggap prosesnya tidak bersifat pribadi, dengan terlalu menekankan pada status sosial.

    Min Jung mengenang hari pertama dia memberi tahu orang tuanya bahwa dia mendaftar ke biro jodoh.

    “Rasanya agak memalukan, persepsi umum mengenai penggunaan biro jodoh tidak terlalu positif,” katanya.

    “Misalnya, rasanya seperti orang-orang dinilai berdasarkan profilnya dan menikah tanpa cinta.”

    Dan perjodohan tidak berhasil untuk semua orang.

    Baca juga:

    Biaya penggunaan agen adalah alasan lain mengapa klien merasa tertekan.

    Biaya yang berkisar dari US$1.400 (setara Rp22 juta) hingga US$5.600 (setara Rp90 juta) bisa membuat orang ragu untuk mendaftar ke layanan ini atau lambat mendaftar ulang untuk mengatur tanggal kencan tambahan setelah mereka bergabung.

    Seorang guru berusia 36 tahun, yang juga meminta untuk tidak disebutkan namanya, pernah menggunakan salah satu biro jodoh sepuluh tahun yang lalu, namun tidak menemukan orang yang cocok.

    “Orang-orang yang saya temui melalui biro jodoh adalah orang-orang dengan kekurangan yang signifikan, atau memiliki profil yang sempurna namun memiliki standar yang sangat tinggi,” kenangnya.

    “Itu terlalu membuat frustrasi.”

    Kencan kilat yang digelar pemerintah

    Menurunnya angka pernikahan dan kelahiran telah lama menjadi masalah di Korea Selatan.

    Meskipun layanan perjodohan meningkat baru-baru ini, angka pernikahan masih berada pada rekor terendah.

    Pada 2023 silam, jumlah pernikahan turun 40% dibandingkan satu dekade lalu.

    Tingkat kesuburan total di negara ini jumlah rata-rata anak yang dimiliki seorang perempuan pada masa reproduksinya mencapai titik terendah sepanjang masa yaitu 0,72.

    Itu adalah angka terendah di dunia.

    Para pakar mengaitkan angka-angka ini dengan jam kerja yang panjang di Korea Selatan, yang pada 2017 merupakan yang tertinggi kedua secara global setelah Meksiko.

    Getty ImagesMeskipun layanan perjodohan meningkat baru-baru ini, angka pernikahan masih berada pada rekor terendah di Korsel

    Keseimbangan membagi waktu dan energi antara pekerjaan dan kehidupan pribadi yang buruk, harga rumah yang tinggi, dan biaya perawatan anak yang mahal juga mempersulit perempuan untuk kembali bekerja setelah melahirkan.

    Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mengatakan bahwa tingkat kesuburan total suatu negara harus berada di sekitar 2,1 untuk mempertahankan populasi yang stabil.

    Dalam upaya untuk meningkatkan tingkat kesuburan, pemerintah Korea Selatan terpaksa turun tangan.

    Kini mereka berperan sebagai mak comblang, mengatur acara kencan kilat untuk membantu warga Korsel menemukan cinta.

    Seongnam, sebuah kota di tenggara Seoul, baru-baru ini menjadi tuan rumah acara tersebut untuk ketujuh kalinya tahun ini.

    BBCSebuah acara kencan kilat yang digelar pemerintah diisi dengan musik, permainan, dan minuman dengan 100 warga muda mencari jodoh masing-masing

    Baca juga:

    Sebanyak 100 remaja lajang, berusia sekitar 27 hingga 39 tahun, dan tinggal di Seongnam, berkumpul di sebuah pub yang dipenuhi musik, permainan, makanan, dan minuman.

    Peserta ini dipilih melalui sistem undian dari kumpulan pelamar.

    “Saya datang ke sini tanpa berpikir panjang, tapi sekarang saya merasa gugup,” kata Mu Jin, 32 tahun, seorang peserta.

    “Saya bisa merasakan jantung saya berdebar kencang,” tambahnya.

    Seperti kebanyakan orang, dia mengaku sulit menemukan pasangan begitu setelah mulai bekerja.

    “Pekerjaan saya terlalu sibuk, dan sekarang saya sudah melewati usia 30 tahun, tidak ada waktu atau tempat untuk bertemu orang baru,” katanya.

    “Tetapi kota ini telah memberikan peluang bagus untuk itu.”

    BBCWalikota Seongnam mengatakan acara kencan kilat semakin populer setiap kali diselenggarakan

    Meski digelar oleh pemerintah, acara tersebut berlangsung meriah dan santai.

    Peserta didorong untuk bergerak di sekitar ruangan, melakukan tos ketika mereka bertemu orang baru dan berpegangan tangan saat mereka berbicara.

    Tuan rumah memberikan petunjuk dan pertanyaan untuk membuat orang terus berbicara.

    Yoo Sun, perempuan berusia sekitar 30 tahun, datang ke acara tersebut dengan harapan bisa menemukan pasangan.

    “Bila Anda memiliki kelompok besar seperti ini 100 orang agak sulit untuk membentuk koneksi yang mendalam, namun ini merupakan peluang besar untuk bertemu orang-orang,” katanya.

    Baca juga:

    Pemerintah Korsel mengeklaim acara ini sangat sukses.

    Laporan tersebut memberi tahu kami bahwa 43% orang yang hadir menemukan pasangannya dan dua pasangan telah menikah.

    Sung Jin, yang ambil bagian dalam acara yang diselenggarakan pemerintah, mengatakan: “Tidak mudah untuk menyelenggarakan acara seperti ini, tapi ini juga menunjukkan bahwa ada masalah sosial di baliknya.”

    Pemerintah Korsel juga telah mengatasi tantangan demografi dengan menawarkan dukungan penitipan anak dan pinjaman perumahan berbunga rendah untuk pengantin baru.

    “Selama 20 tahun terakhir, setiap kebijakan untuk menaikkan angka kelahiran telah gagal,” kata senior Shin Sang Jin.

    “Itulah mengapa kami mencoba membantu generasi muda untuk bertemu.”

    Getty ImagesSome argue the government should focus on helping with maternity leave and high living costs

    Akan tetapi, ada pula yang berpendapat bahwa pemerintah kini telah melampaui batas dengan mencampuri kehidupan pribadi masyarakat.

    Mereka mengatakan isu-isu seperti mendukung perempuan kembali bekerja dan mengatasi biaya hidup yang tinggi harus menjadi prioritas utama.

    “Di akhir usia 20-an dan awal 30-an, kita sedang membangun karier, namun masyarakat menekan kita untuk memulai keluarga pada usia 35,” kata Min Jung, yang kini berusia sekitar 30 tahun.

    “Dengan adanya tantangan di tempat kerja, seperti kehilangan pekerjaan setelah cuti melahirkan, seruan untuk menikah dan memiliki bayi terasa tidak meyakinkan.”

    Perempuan ini menambahkan: “Bagi banyak orang, menurunnya angka pernikahan dan kelahiran dipandang sebagai masalah sosial, bukan tanggung jawab pribadi.”

    “Tanpa menyelesaikan masalah ini, hanya mengatakan bahwa orang harus menikah atau punya bayi terasa kurang pas.”

    Suaminya, Tae Hyung, juga mengatakan bahwa pernikahan sepenuhnya merupakan pilihannya sendiri: “Saya menjalani kehidupan yang bahagia, menghabiskan waktu yang menyenangkan bersama istri saya.

    “Tetapi saya menikah karena saya ingin, bukan karena tekanan masyarakat.”

    (haf/haf)

  • Pemerintah Diminta Kejar Pajak Orang Kaya Dibanding PPN 12 Persen, Potensinya Capai Rp 81,6 T

    Pemerintah Diminta Kejar Pajak Orang Kaya Dibanding PPN 12 Persen, Potensinya Capai Rp 81,6 T

    Pemerintah Diminta Kejar Pajak Orang Kaya Dibanding PPN 12 Persen, Potensinya Capai Rp 81,6 T
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ekonom dan Direktur Eksekutif CELIOS
    Bhima Yudhistira
    menilai rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen dari sebelumnya 11 persen adalah langkah yang tidak kreatif.
    Menurutnya, pemerintah seharusnya fokus pada pengumpulan pajak dari orang kaya yang selama ini belum maksimal.
    Bhima menyebut, pemerintah berpotensi mengumpulkan Rp 81,6 triliun dalam sekali penarikan
    pajak kekayaan
    .
    “Cara paling tidak kreatif untuk naikkan pajak adalah mengubah tarif PPN. Padahal pajak kekayaan sekali penerapan bisa mendapat Rp 81,6 triliun. Potensinya jauh melebihi pendapatan dari PPN 12 persen,” kata Bhima kepada
    Kompas.com,
    Senin (30/12/2024).
    Ia menjelaskan, pemerintah tidak mau repot dalam menarik pajak kekayaan dari wajib pajak berpendapatan tinggi.
    Hal ini karena prosesnya membutuhkan usaha maksimal, seperti pencocokan data dan penelusuran aset yang disembunyikan hingga ke luar negeri agar terbebas dari pajak.
    Bhima beranggapan,
    kenaikan PPN
    justru merugikan pemerintah.
    Ia khawatir jumlah masyarakat kelas menengah akan menurun akibat kebijakan ini.
    “Hasil (kenaikan) PPN dari 10 persen jadi 11 persen sebelumnya, kan rasio pajak juga tidak naik signifikan. Pemerintah tidak mau susah dan tidak mau repot mengeluarkan
    kebijakan pajak
    kekayaan,” ucap Bhima.
    Lebih lanjut, Bhima menilai pemerintah tidak perlu memberlakukan pengampunan pajak (
    tax amnesty
    ) lagi.
    Pengampunan pajak diberikan dalam dua jilid agar wajib pajak mau mendeklarasikan hartanya tanpa dikenai denda.
    Ia menekankan bahwa pemerintah perlu memperbaiki kebijakan pajak daripada memberikan pengampunan.
    “Di negara yang jadi anggota OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) saja, kepatuhan pajak terus dikejar, sampai menutup kebocoran transaksi lintas negara (BEPS).
    Tax amnesty
    tidak perlu diberlakukan lagi. Cukup telusuri kepatuhan dan kesesuaian data aset dari tax amnesty kemarin untuk basis data pajak kekayaan,” ujarnya.
    Sebelumnya, rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen per 1 Januari 2025, mendapat penolakan luas dari masyarakat.
    Penolakan ini muncul melalui petisi di media sosial dan aksi demonstrasi.
    Kebijakan ini diprediksi akan memicu lonjakan harga barang dan jasa, yang berpotensi mengubah pola konsumsi masyarakat.
    Banyak yang khawatir bahwa PPN yang lebih tinggi akan memberikan efek domino yang merugikan.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • PPN 12 Persen Berlaku 1 Januari 2025, Siapa yang Mengesahkan?

    PPN 12 Persen Berlaku 1 Januari 2025, Siapa yang Mengesahkan?

    Jakarta, Beritasatu.com – Pemerintah Indonesia telah menetapkan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen, yang akan berlaku paling lambat 1 Januari 2025. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

    Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara hingga 6,4 persen pada 2025, dengan target total pendapatan sebesar Rp 2.996 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp 2.490 triliun direncanakan berasal dari penerimaan pajak. Sebagai salah satu sumber utama pendapatan negara, PPN memiliki peran penting dalam mendukung berbagai program pemerintah.

    Apa Itu PPN?

    PPN adalah jenis pajak konsumsi yang wajib dibayarkan dalam transaksi barang dan jasa yang termasuk dalam Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP). Sebagai pajak tidak langsung, PPN disetor oleh pihak lain (misalnya, pedagang) atas nama konsumen yang menjadi penanggung pajak.

    Sejak 1 April 2022, tarif PPN di Indonesia ditetapkan sebesar 11 persen. Namun, kenaikan menjadi 12 persen pada 2025 diperkirakan akan berdampak pada daya beli masyarakat dan kondisi ekonomi secara umum.

    Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Agus Herta Sumarto, mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati agar kebijakan ini tidak menggerus daya beli masyarakat.

    “Untuk menaikkan tax ratio kita salah satunya adalah dengan menaikkan tarif pajak, walaupun masih ada cara lain. Namun, pemerintah juga harus hati-hati jangan sampai kenaikan pajak ini malah menggerus daya beli,” kata Agus, dikutip dari Antara pada Senin (30/12/2024).

    Siapa yang Mengusulkan Kenaikan PPN 12 Persen?

    Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, keputusan untuk menaikkan tarif PPN sebesar 12 persen pada 2025 diambil melalui banyak pertimbangan berat dan bukan tanpa alasan oleh pemerintah. Kenaikan PPN menjadi 12 persen didasarkan pada sejumlah pertimbangan berikut:

    Meningkatkan pendapatan negara: Dengan peran strategis PPN, peningkatan tarif ini diharapkan membantu memperbaiki kondisi fiskal yang terdampak pandemi Covid-19.Mengurangi ketergantungan pada utang: Pendapatan pajak yang lebih tinggi akan membantu menekan defisit anggaran dan mengurangi ketergantungan Indonesia pada utang luar negeri.Penyesuaian standar internasional: Dengan tarif baru ini, Indonesia mendekati rata-rata PPN global yang mencapai 15 persen, termasuk di negara-negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

    Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyebutkan bahwa kenaikan ini juga bertujuan untuk memastikan Indonesia tetap kompetitif di tingkat internasional.

    Siapa yang Mengesahkan PPN 12 Persen 2025?

    Rencana kenaikan tarif PPN telah disepakati pemerintah bersama DPR RI melalui pengesahan RUU HPP menjadi UU pada 7 Oktober 2021. Keputusan tersebut diambil dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022. Wakil Ketua DPR RI, Muhaimin Iskandar, memimpin sidang pengesahan tersebut.

    Sebanyak delapan fraksi DPR RI menyetujui pengesahan UU HPP, yaitu PDIP, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, Demokrat, PAN, dan PPP. Sementara itu, Fraksi PKS menolak dengan alasan rencana kenaikan PPN berpotensi kontraproduktif terhadap pemulihan ekonomi nasional. PKS juga menyoroti kemungkinan penerapan pajak pada kebutuhan pokok, jasa kesehatan, pendidikan, pelayanan sosial, dan keagamaan, meskipun saat ini tarifnya masih 0 persen.

    Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025 merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk memperkuat ekonomi nasional melalui peningkatan penerimaan negara, mengurangi ketergantungan pada utang, dan menyesuaikan dengan standar internasional. Meski demikian, pemerintah diingatkan untuk memastikan kebijakan ini tidak membebani masyarakat, terutama kelompok rentan, demi menjaga stabilitas ekonomi secara menyeluruh.

  • Perbandingan Pungutan Pajak RI vs Vietnam: PPN, Pendapatan, hingga Properti

    Perbandingan Pungutan Pajak RI vs Vietnam: PPN, Pendapatan, hingga Properti

    Bisnis.com, JAKARTA — Belakangan perhatian masyarakat Indonesia banyak terarah ke Vietnam. Bukan tanpa sebab, pemerintah Vietnam kerap mengeluarkan kebijakan yang bertolak belakang dengan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia—termasuk soal perpajakan.

    Saat pemerintah Indonesia akan menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025, pemerintah Vietnam malah memperpanjang kebijakan pengurangan PPN dari 10% menjadi 8% hingga akhir Juni 2025.

    Kedua negara Asia Tenggara ini memang memiliki pendekatan pungutan perpajakan yang berbeda. Meski tarif PPN-nya lebih rendah, nyatanya secara keseluruhannya Vietnam berhasil memungut ‘lebih banyak’ pajak dari warganya daripada Indonesia.

    Dalam catatan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam laporan Revenue Statistics in Asia and The Pacific 2024, Vietnam memiliki rasio pajak sebesar 19% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2022.

    Sementara itu, masih berdasarkan catatan OECD, rasio pajak Indonesia hanya sebesar 12,1% terhadap PDB pada 2022.

    Pernyataan pun muncul: dengan tarif PPN yang lebih rendah, mengapa rasio pajak di Vietnam bisa lebih tinggi dari Indonesia? Dari mana sumber utama pungutan pajak Vietnam?

    Untuk menjawab pertanyaan tersebut, laporan OECD bisa menjadi rujukan. OECD sendiri secara garis besar membagi sumber pungutan pajak ke dalam enam kategori: pendapatan dan keuntungan (income & profits), jaminan sosial (social security), gaji (payroll), properti (property), barang dan jasa (goods & services), serta lain-lain (other).

    Jika dibandingkan berdasarkan keenam kategori tersebut maka perbedaan terbesar dari sumber pajak antara Indonesia dengan Vietnam ada di pendapatan dan keuntungan serta jaminan sosial.

    Dengan demikian, dapat ditarik simpulan bahwa Indonesia lebih banyak memungut dari penghasilan/keuntungan warganya. Sementara itu, Vietnam lebih banyak memungut dari warganya untuk jaminan sosial.

    Sementara itu, sumber pajak Indonesia dan Vietnam tidak jauh beda di kategori properti, barang dan jasa, serta lain-lain. Untuk kategori gaji, kedua negara tersebut sama-sama ‘tidak memungutnya’ (nol).

    Perbandingan Pungutan Pajak RI vs Vietnam

    1. Barang dan Jasa

    Secara umum, sumber utama pajak Indonesia dan Vietnam ada di kategori barang dan jasa, termasuk pajak pertambahan nilai (PPN). 

    Berdasarkan penjelasan OECD, pajak atas barang dan jasa merupakan semua pungutan yang dikenakan atas produksi, ekstraksi, penjualan, transfer, penyewaan/pengiriman barang, dan penyediaan jasa atau sehubungan dengan penggunaan barang/izin melakukan kegiatan.

    Pada 2022, pungutan atas barang dan jasa mencapai 42,5% dari total pungutan perpajakan di Indonesia. Pada periode yang sama, pungutan atas barang dan jasa mencapai 43,4% dari total pungutan perpajakan di Vietnam.

    Artinya, untuk pungutan pajak atas barang dan jasa, Indonesia hanya unggul sedikit dari Vietnam yaitu sebesar 1,1%.

    2. Pendapatan dan Keuntungan

    Untuk pajak atas pendapatan dan keuntungan, Indonesia memungut jauh lebih banyak dari Vietnam.

    OECD mengategorikan pajak atas pendapatan dan keuntungan sebagai pungutan yang dikenakan dari penghasilan atau laba bersih dari individu dan perusahaan/badan.

    Pada 2022, pungutan atas pendapatan dan keuntungan mencapai 42,2% dari total pungutan perpajakan di Indonesia. Pada periode yang sama, pungutan atas pendapatan dan keuntungan mencapai 27,7% dari total pungutan perpajakan di Vietnam.

    Singkatnya, untuk pungutan pajak atas pendapatan dan keuntungan, Indonesia jauh lebih cuan dari Vietnam—perbedaannya hingga 14,5%.

    3. Jaminan Sosial

    Untuk pajak atas jaminan sosial, Vietnam lebih banyak memungut dari warganya daripada Indonesia.

    OECD menjelaskan pajak atas jaminan sosial sebagai semua iuran wajib yang dibayar kepada lembaga negara untuk biaya program-program manfaat sosial. Dalam konteks Indonesia, program manfaat sosial yang dimaksud termasuk BPJS Kesehatan hingga BPJS Ketenagakerjaan.

    Pada 2022, pungutan atas jaminan sosial mencapai 4,3% dari total pungutan perpajakan di Indonesia. Pada periode yang sama, pungutan atas jaminan sosial mencapai 28,7% dari total pungutan perpajakan di Vietnam.

    Artinya, untuk pungutan pajak atas jaminan, Vietnam jauh unggul hingga 24,4% dari Indonesia.

    Perbesar

    4. Properti

    Baik Indonesia dan Vietnam tidak banyak memungut dari pajak atas properti.

    Berdasarkan penjelasan OECD, pajak atas properti mencakup pungutan berulang dan tidak berulang atas penggunaan, kepemilikan, atau pengalihan properti—termasuk pajak atas perubahan kepemilikan properti melalui warisan atau hibah.

    Pada 2022, pungutan atas properti mencapai 1,3% dari total pungutan perpajakan di Indonesia. Pada periode yang sama, pungutan atas properti mencapai 0,2% dari total pungutan perpajakan di Vietnam.

    Dengan demikian, untuk pungutan pajak atas properti, Indonesia dan Vietnam tidak jauh berbeda. Dalam hal ini, Indonesia hanya unggul 1,1% dari Vietnam.

    5. Lain-lain

    Berbeda dengan Indonesia, Vietnam tidak memungut pajak ‘lain-lain’. Sederhananya, OECD menjelaskan pajak lain-lain sebagai pungutan yang dipungut di luar kategori-kategori sebelumnya.

    Pada 2022, pajak lain-lain mencapai 9,7% dari total pungutan perpajakan di Indonesia. Pada periode yang sama, Vietnam tidak mendapatkan pemasukan pajak lain-lain alias 0%.

  • Tarif PPN Indonesia Naik, Menjadi Tertinggi Kedua di ASEAN

    Tarif PPN Indonesia Naik, Menjadi Tertinggi Kedua di ASEAN

    Jakarta: Indonesia akan menerapkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen mulai 1 Januari 2025, naik satu persen dari sebelumnya 11 persen.
     
    Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara guna mendukung berbagai program pembangunan.
     
    Melansir dari Antara, dengan kenaikan ini, Indonesia akan sejajar dengan Filipina sebagai negara dengan tarif PPN tertinggi di kawasan Asia Tenggara (ASEAN).
     
    Sementara itu, negara-negara ASEAN lainnya masih menerapkan tarif PPN yang lebih rendah.
     
    Di Indonesia, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) menjadi sumber penerimaan negara yang signifikan. PPN dikenakan pada transaksi barang dan jasa, sementara PPnBM diberlakukan pada barang mewah seperti kendaraan, perhiasan, dan hunian yang dikonsumsi kalangan berpenghasilan tinggi.
     

     
    Kedua pajak ini menjadi penyumbang terbesar kedua setelah Pajak Penghasilan (PPh) dan memiliki peran penting dalam mengatur konsumsi serta mendukung pemerataan ekonomi. PPN dan PPnBM memberikan kontribusi besar terhadap keuangan negara dan mencerminkan kebijakan fiskal yang progresif.
    Berikut adalah daftar tarif PPN di negara ASEAN:

    Filipina: 12 persen.
    Indonesia: 11 persen, akan naik menjadi 12 persen pada 2025.
    Kamboja: 10 persen.
    Laos: 10 persen.
    Malaysia: 10 persen untuk pajak penjualan, delapan persen untuk pajak layanan.
    Vietnam: 10 persen, turun menjadi delapan persen hingga Juni 2025.
    Singapura: 9 persen.
    Thailand: 7 persen.
    Myanmar: 5 persen.
    Brunei: 0 persen.
    Timor Leste: 0 persen untuk PPN dalam negeri, 2,5 persen untuk PPN barang/jasa impor.

    Akibatnya, pada 2025, tarif PPN di Indonesia akan naik menjadi 12 persen, menempatkannya di posisi teratas di ASEAN, sejajar dengan Filipina.
     
    Kenaikan ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tarif PPN tertinggi di antara negara-negara ASEAN lainnya.
     
    Meskipun demikian, tarif PPN Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata negara-negara anggota OECD.
     
    Oleh karena itu, penting untuk melihat posisi Indonesia dalam konteks ekonomi regional dengan membandingkannya dengan negara-negara ASEAN lainnya. (Laura Oktaviani Sibarani)
     
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (ANN)

  • Ramalan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2025 dari IMF, Bank Dunia, OECD, hingga PBB

    Ramalan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2025 dari IMF, Bank Dunia, OECD, hingga PBB

    Bisnis.com, JAKARTA — IMF, Bank Dunia, OECD, hingga PBB telah mengeluarkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun depan atau 2025. Lembaga-lembaga internasional tersebut memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh di kisaran 5%.

    Pemerintah sendiri sudah memasang target memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,2% pada 2025, seperti yang ditetapkan dalam UU APBN 2025.

    Target tersebut tidak berbeda dari target 2024 yang sama-sama sebesar 5,2%. Hanya saja, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang tahun ini pertumbuhan ekonomi secara kumulatif dari Januari—September 2024 masih mencapai 5,03%.

    Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono mengungkapkan realisasi target pertumbuhan tahun depan akan sangat bergantung pada kebijakan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming.

    “Apakah kita akan mencapai target dari 5,2% APBN 2025? Biarlah kabinet Pak Prabowo bekerja. Yang penting kita sudah punya landasan yang sangat baik,” tuturnya dalam Media Gathering APBN 2025, Rabu (25/9/2024).

    Adapun, saat ini pemerintah juga tengah mendalami sumber pertumbuhan ekonomi baru yang tidak terbatas pada hilirisasi. Namun, pada pendalaman dari hilirisasi tersebut untuk berbagai sumber daya alam lainnya. 

    Selain itu, Tommy mendorong adanya investasi-investasi baru di sektor-sektor selain pertambangan untuk mendorong konsumsi. Di mana konsumsi rumah tangga menjadi kontributor utama pertumbuhan ekonomi. 

    Lalu, bagaimana dengan perkiraan terbaru dari lembaga-lembaga internasional? Berikut rangkumannya:

    IMF

    Dalam laporan World Economic Outlook edisi Oktober 2024, International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,1% pada 2025. Bahkan, angka tersebut diperkirakan stagnan hingga 2029.

    Secara umum, laporan World Economic Outlook Oktober 2024 menggambarkan bahwa perjuangan global melawan Inflasi sebagian besar berhasil dimenangkan. Tingkat inflasi secara global diperkirakan mencapai 3,5% pada akhir 2025, di bawah tingkat rata-rata 2000—2019 sebesar 3,6%.

    Lalu, meskipun terjadi pengetatan kebijakan moneter yang tajam di banyak belahan dunia, kondisi ekonomi global tetap tangguh sehingga terhindar dari resesi.

    “Pertumbuhan ekonomi [global] diproyeksikan tetap stabil di 3,2% pada 2024 dan 2025, meskipun beberapa negara, terutama negara berkembang berpendapatan rendah, telah mengalami revisi pertumbuhan yang cukup besar, yang sering kali disebabkan oleh eskalasi konflik,” dikutip dari laporan IMF.

    Bank Dunia

    Dalam laporan Indonesia Economic Prospects edisi Desember 2024, Bank Dunia atau World Bank memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,1% pada 2025.

    Bank Dunia menyoroti bahwa prospek ekonomi ini menghadapi risiko yang seimbang. Di mana risiko negatif mencakup ketegangan geopolitik yang meningkat sekaligus potensi penundaan dalam reformasi fiskal dan struktural.

    “Potensi risiko positif mencakup pemulihan yang lebih tinggi dari yang diperkirakan di mitra dagang utama dan kenaikan harga komoditas utama,” tulis Bank Dunia dalam laporannya.

    OECD

    Sementara itu, dalam laporan Economic Surveys Indonesia edisi November 2024, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memproyeksikan ekonomi Tanah Air akan tumbuh mencapai 5,2% pada 2025.

    Secara keseluruhan, OECD memandang perekonomian Indonesia telah pulih dari efek pandemi Covid-19. Kendati demikian, kini Indonesia terdampak ketidakpastian perekonomian global.

    Oleh sebab itu, lembaga yang beranggotakan banyak negara-negara maju tersebut menekankan perlunya kebijakan moneter dan fiskal yang tetap prudent untuk mempertahankan stabilitas ekonomi makro Indonesia.

    “Dalam jangka panjang, penerimaan negara harus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus meningkat dan menghadapi tantangan perubahan iklim serta penuaan populasi,” tulis laporan OECD.

    UNCTAD

    Dalam laporan terbarunya bertajuk Trade and Development Report 2024, United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) mengestimasikan ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,2% pada 2025.

    Organisasi bawahan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) itu melihat adanya prospek penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia. Oleh sebab itu, UNCTAD meyakini ekonomi Indonesia tumbuh lebih tinggi pada tahun depan.

    Selain prospek penurunan suku bunga acuan, UNCTAD mencatat ada tiga faktor utama yang membuat ekonomi Indonesia tumbuh mencapai 5,2% pada tahun depan yaitu peningkatan belanja pemerintah, pariwisata, dan ekspor logam dasar.

    “Peningkatan belanja fiskal untuk pembangunan infrastruktur dan bantuan sosial membantu mendukung pertumbuhan. Meningkatnya kedatangan wisatawan—terutama dari Asia—memperkuat ekspor jasa. Sementara peningkatan volume ekspor logam dasar—terutama nikel—meningkatkan keseimbangan sektor eksternal,” tulis UNCTAD dalam laporannya.

  • KALEIDOSKOP 2024: Semarak Diskon Pajak saat Ekonomi Lesu

    KALEIDOSKOP 2024: Semarak Diskon Pajak saat Ekonomi Lesu

    Bisnis.com, JAKARTA — Selama 2024, pemerintah mengumumkan sejumlah insentif perpajakan demi menstimulus perekonomian yang cenderung lesu atau sekadar merespons isu berkembang.

    Sepanjang tahun ini, kinerja perekonomian memang tidak bisa disebut memuaskan. Terdapat indikasi pelemahan daya beli masyarakat, penurunan jumlah kelas menengah, hingga terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di industri padat karya.

    Di tengah berbagai kondisi tak mengenakan tersebut, pemerintah berencana menaikkan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12% pada 1 Januari 2025. Gelombang penolakan pun bermunculan.

    Akibatnya, pemerintah memutar otak agar masyarakat hingga pelaku pasar tidak semakin terpuruk. Sejumlah kebijakan diskon perpajakan pun dikeluarkan: mulai dari PPN ditanggung pemerintah (DTP) hingga tax holiday.

    1. PPN DTP Properti 

    Indikasi pelemahanan daya beli masyarakat hingga penurunan jumlah kelas menengah membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan PPN DTP sektor properti.

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menunjukkan bahwa pengeluaran terbesar kedua dari kelas menengah berasal dari sektor properti. Tidak hanya itu, sambungnya, aktivitas ekonomi di sektor properti akan berdampak luas ke sektor lain.

    “Diharapkan ini [PPN DTP sektor properti] juga mendorong kemampuan daripada kelas menengah, mendorong sektor konstruksi. Kita tahu sektor konstruksi itu dan perumahan itu multiplier-nya [efek bergandanya] tinggi,” titip Airlangga di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Selasa (27/8/2024).

    Setidaknya ada tiga periode pemberian insentif PPN DTP sektor properti selama 2024. Pertama, periode 1 Januari—30 Juni 2024: PPN DTP sebesar 100% hingga Rp2 miliar untuk penyerahan rumah tapak dan satuan rumah susun dengan harga jual maksimal Rp5 miliar. 

    Kedua, periode 1 Juli—31 Agustus 2024: PPN DTP diturunkan menjadi sebesar 50%. Ketiga, periode 1 September—31 Desember 2024: PPN DTP kembali dinaikkan sebesar 100%.

    Terbaru, bahkan pemerintah kembali mengumumkan kebijakan PPN DTP sebesar 100% sampai dengan Rp2 miliar untuk pembelian rumah dengan harga maksimal Rp5 miliar akan diperpanjang untuk 2025.

    2. PPN & PPnBM DTP KBLBB 

    Untuk menjaga daya beli masyarakat akibat kenaikan PPN menjadi 12% pada tahun depan serta mempercepat transisi energi, pemerintah memberikan insentif PPN DTP dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) DTP untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB).

    Insentif tersebut akan berlaku untuk tahun depan. Setidaknya ada empat jenis insentif yang akan diberikan untuk KBLBB.

    Pertama, PPnBM DTP sebesar 15% untuk KBLBB CKD (dalam keadaan utuh) dan CBU (dalam keadaan terurai lengkap). Kedua, PPN DTP sebesar 10% untuk KBLBB CKD

    Ketiga, bea masuk nol untuk KBLBB CBU. Keempat, PPnBM DTP sebesar 3% kendaraan listrik hybrid.

    3. PPh 21 DTP

    Besarnya jumlah PHK di sektor padat karya sepanjang tahun ini juga direspons pemerintah dengan memberikan diskon pajak. Pemerintah mengumumkan akan memberi insentif PPh 21 DTP untuk karyawan industri padat karya yang bergaji sampai dengan Rp10 juta pada 2025.

    Artinya, gaji karyawan industri padat karya yang termasuk penerimaan manfaat tidak akan terpotong pajak penghasilan.

    4. Tax Holiday

    Pemerintah juga memperpanjang ketentuan pengurangan hingga pembebasan pajak korporasi atau tax holiday. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 130/2020, insentif pajak itu semestinya berakhir pada 9 Oktober 2024 tetapi kini telah diperpanjang hingga 31 Desember 2025.

    Menteri Investasi dan Hilirisasi Rosan Roeslani menjelaskan bahwa perpanjangan tax holiday tersebut baru saja disetujui oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69/2024 tentang Perubahan atas PMK 130/2020 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan.

    Tax holiday ditujukan untuk perusahaan di industri pionir yaitu yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.

    Namun, dalam perpanjangan kali ini, terdapat sedikit peraturan, di antaranya tax holiday tidak berlaku untuk perusahaan asing atau korporasi multinasional. Pasalnya, pemerintah menerapkan pajak minimum global 15% atau pilar kedua OECD.

    5. Tax Amnesty Jilid III 

    Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengampunan Pajak resmi masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Wacana pemberlakuan kembali program pengampunan pajak alias tax amnesty jilid III pun terkuak.

    Sebelumnya, kebijakan serupa sudah sempat diberikan pada 2016—2017 (jilid I) dan 2022 (jilid II).

    Ketua Komisi XI DPR Misbakhun merasa program pengampunan pajak perlu kembali diperlakukan untuk membiayai berbagai visi misi pemerintah baru Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

    Dia menyatakan bahwa DPR, terkhusus Komisi XI, akan turut membantu mengawal berbagai visi misi pemerintah Presiden Prabowo Subianto. Jika salah satu cara mencapai visi misi dengan tax amnesty maka Komisi XI akan mendukungnya.

    Misbakhun menjelaskan bahwa pemerintah dan DPR akan tetap terus berupaya melakukan pembinaan agar wajib pajak tetap patuh. Di saat yang bersamaan, sambungnya, mereka juga ingin memberi peluang kepada orang yang menghindari pajak agar ke depan bisa memperbaiki diri.

    “Jangan sampai orang menghindar terus dari pajak, tapi tidak ada jalan keluar untuk mengampuni, maka amnesty ini salah satu jalan keluar,” jelasnya di Kantor Bappenas, Jakarta Pusat, Selasa (19/11/2024).

    Dengan program tax amnesty, para pengemplang pajak bisa dibebaskan dari kewajiban setoran yang tidak dibayarnya namun dengan membayar sejumlah tarif.