Organisasi: OECD

  • Pakar Ungkap Plus Minus Batas Usia Pensiun jadi 59 Tahun – Page 3

    Pakar Ungkap Plus Minus Batas Usia Pensiun jadi 59 Tahun – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ Achmad Nur Hidayat menilai, kebijakan peningkatan usia pensiun menjadi 59 tahun mulai 2025 perlu disikapi dengan hati-hati.

    Hal ini karena kebijakan tersebut memiliki implikasi luas, baik bagi pekerja lanjut usia yang menghadapi tantangan kesehatan dan produktivitas, maupun generasi muda yang bisa kehilangan peluang kerja akibat lambatnya regenerasi tenaga kerja.

    “Tanpa langkah mitigasi yang memadai, perubahan usia pensiun ini dapat membawa lebih banyak dampak negatif daripada manfaat,” kata Achmad, Kamis (9/1/2025).

    Dia menilai, dengan memperpanjang usia pensiun berarti pekerja lanjut usia harus tetap berada di dunia kerja dalam waktu yang lebih lama. Meski ini dapat memberikan tambahan waktu untuk menabung bagi masa pensiun, tidak semua pekerja mampu mempertahankan produktivitas pada usia yang semakin lanjut.

    “Sebuah survei dari OECD menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja mulai menurun secara signifikan setelah usia 55 tahun, terutama di sektor yang membutuhkan tenaga fisik,” ujarnya.

    Selain itu, sebuah laporan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sekitar 30% pekerja lansia melaporkan mengalami penurunan kinerja akibat masalah kesehatan. Terutama di sektor-sektor yang membutuhkan tenaga fisik, risiko kesehatan pekerja meningkat seiring bertambahnya usia.

    D isisi lain, diskriminasi usia di tempat kerja masih menjadi tantangan nyata. Misalnya, banyak perusahaan yang lebih memilih merekrut pekerja muda karena dianggap lebih adaptif terhadap teknologi baru, sementara pekerja senior sering kali diabaikan dalam promosi atau pelatihan ulang.

    “Fenomena ini terlihat dalam survei global yang menunjukkan bahwa pekerja di atas usia 50 tahun memiliki peluang promosi 30% lebih rendah dibandingkan rekan mereka yang lebih muda. Banyak pekerja senior menghadapi anggapan bahwa mereka kurang adaptif terhadap teknologi baru atau perubahan cepat di organisasi,” jelasnya.

  • RI Gabung BRICS, Gerindra Bantah Ingin Konfrontasi dengan Barat

    RI Gabung BRICS, Gerindra Bantah Ingin Konfrontasi dengan Barat

    Bisnis.com, JAKARTA – Wakil Ketua Komisi I DPR RI Budisatrio Djiwandono membantah anggapan bahwa keanggotaan Indonesia di aliansi BRICS sebagai langkah konfrontatif dengan blok ekonomi Barat.

    Budisatrio mengemukakan bahwa Indonesia menganut politik luar negeri bebas aktif. Selain BRICS, Indonesia juga cukup intens terlibat dalam berbagai forum internasional mulai dari OECD, APEC, G20, OKI, dan lain-lainnya. 

    “Kita juga terlibat aktif dalam forum lain. Artinya, keanggotaan Indonesia di BRICS ini bukan bentuk konfrontasi dengan pihak manapun. Seperti pesan Presiden Prabowo, bahwa ‘seribu teman terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak,’ hal ini yang perlu kita pahami dari keterlibatan Indonesia dimanapun nantinya,” terangnya dalam keterangan resmi, Rabu (8/1/2024). 

    Keponakan Prabowo itu juga menekankan bahwa melalui organisasi-organisasi atau kelompok kerja sama antar negara, Indonesia ingin menjaga kepentingannya di tengah kondisi global yang tidak stabil. Bagi dia, kepentingan ndonesia tetap menjadi yang paling diperjuangkan.

    “Kita perlu tetap menjadikan kepentingan dalam negeri sebagai acuan dari setiap kebijakan luar negeri. Semangat ini yang tercermin dari keanggotaan Indonesia di BRICS,” tuturnya. 

    Sebelumnya, Pemerintah Brasil mengatakan dalam sebuah pernyataan menyebut bahwa Indonesia secara resmi bergabung dengan aliansi BRICS sebagai anggota penuh. 

    “Dalam konteks kepresidenan pro tempore Brasil di BRICS, yang dimulai pada 1 Januari dan akan berlanjut hingga 31 Desember 2025, pemerintah Brasil mengumumkan masuknya secara resmi Republik Indonesia ke dalam BRICS sebagai anggota penuh pada 6 Januari 2025,” jelas Kementerian Luar Negeri Brasil dikutip dari keterangan resminya, Selasa (7/1/2025). 

    Pemerintah Brasil menyebut, Indonesia memiliki tujuan yang sama dengan anggota kelompok lainnya untuk reformasi lembaga tata kelola global, dan memberikan kontribusi positif terhadap pendalaman kerja sama di belahan bumi selatan.  

    Kementerian Luar Negeri Brasil menjelaskan, para pemimpin BRICS mendukung pencalonan Indonesia selama KTT Johannesburg pada Agustus 2023, sebagai bagian dari proses perluasan kelompok untuk anggota penuh. 

  • Rupiah Tergelincir Pagi Ini

    Rupiah Tergelincir Pagi Ini

    Jakarta: Nilai tukar (kurs) rupiah pada pembukaan perdagangan hari ini mengalami pelemahan.
     
    Mengutip data Bloomberg, Rabu, 8 Januari 2025, rupiah hingga pukul 10.50 WIB berada di level Rp16.190 per USD. Mata uang Garuda tersebut turun 48 poin atau setara 0,29 persen dari Rp16.142 per USD pada penutupan perdagangan hari sebelumnya.
     
    Sementara menukil data Yahoo Finance, rupiah pada waktu yang sama berada di level Rp16.184 per USD, melemah sebanyak 60 poin atau setara 0,37 persen dari Rp16.124 per USD pada penutupan perdagangan hari sebelumnya.

    Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi memprediksi rupiah pada hari ini akan bergerak secara fluktuatif, meski demikian rupiah diprediksi akan melemah.
     
    “Untuk perdagangan hari ini, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp16.130 per USD hingga Rp16.200 per USD,” ujar Ibrahim dalam analisis hariannya.
     

     

    Pasar respons positif RI gabung BRICS

    Ibrahim mengungkapkan, pasar merespons positif bergabungnya Indonesia ke dalam kelompok BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) merupakan langkah strategis yang dapat meningkatkan posisi tawar Indonesia di kancah global. Khususnya,  di mata OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development).
     
    “Indonesia merupakan kekuatan ekonomi potensial di Asia, potensi itu harus di unlock dengan lebih berani mengambil sikap. Keputusan bergabung BRICS justru akan meningkatkan posisi tawar Indonesia di mata OECD yang selama ini seolah diposisikan tidak setara dengan negara lain,” sebut dia.
     
    Terkait dedolarisasi yang menjadi salah satu agenda BRICS, fenomena ini akan terjadi secara alami seiring menurunnya dominasi ekonomi Amerika Serikat (AS). Peran ekonomi AS di dunia, meskipun akan tetap penting, cenderung menurun akibat munculnya kekuatan baru seperti China, India, Rusia, Brasil, Meksiko, atau bahkan Indonesia.
     
    Tren dedolarisasi akan lebih banyak terjadi dalam konteks perdagangan antar anggota BRICS, seperti yang telah diterapkan China dan Rusia dengan menggunakan mata uang lokal untuk 90 persen transaksi ekspor-impor mereka. Namun, untuk terciptanya mata uang alternatif global atau sistem transfer pengganti SWIFT kemungkinan sangat sulit.
     
    “Keanggotaan Indonesia di BRICS untuk membuka peluang kerja sama di berbagai bidang, seperti teknologi, ketahanan pangan, dan perubahan iklim. Dan ini merupakan langkah strategis untuk memperluas pengaruh dan memperkuat posisi Indonesia di kancah internasional,” papar Ibrahim.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (HUS)

  • Apa Saja Manfaat Ekonomi yang Diterima Indonesia setelah Gabung BRICS?

    Apa Saja Manfaat Ekonomi yang Diterima Indonesia setelah Gabung BRICS?

    Jakarta, Beritasatu.com – Indonesia resmi bergabung dengan BRICS, blok ekonomi yang dibentuk oleh Brasil, Rusia, India, dan China, lalu Afrika Selatan. Lalu, apa manfaat atau keuntungan secara ekonomi yang akan diterima Indonesia setelah menjadi anggota penuh forum tersebut?

    Dibentuk pada 2009, BRICS menjadi penyeimbang bagi Kelompok Tujuh (G-7) juga simbol negara-negara berkembang yang diyakini akan mendominasi ekonomi dunia pada 2050.

    Bergabungnya Indonesia jadi anggota BRICS diyakini akan membuta aliansi ini semakin berpengaruh dalam menentukan arah kebijakan ekonomi dunia.

    “Sebagai negara dengan perekonomian yang terus tumbuh dan beragam, Indonesia berkomitmen untuk berkontribusi secara aktif dalam agenda BRICS, termasuk mendorong ketahanan ekonomi, kerja sama teknologi, pembangunan berkelanjutan, dan mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim, ketahanan pangan, dan kesehatan masyarakat,” bunyi pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri RI di laman resminya. 

    Menurut Lembaga riset ekonomi Center of Economics and Law Studies (Celios), dengan menjadi anggota BRICS, Indonesia bisa terlepas dari ketergantungan kepada pasar Amerika Serikat (AS) dan Eropa, kemudian bisa membuka peluang pasar baru.

    “Bergabung dengan BRICS, akan memberikan keuntungan bagi Indonesia untuk bisa lepas dari pasar tradisional seperti AS dan Eropa. Eropa pun sebenarnya sudah mulai rese dengan kebijakan ekspor Indonesia di mana sering terlibat perselisihan dalam hal perdagangan global,” kata Direktur Ekonomi Celios Nailul Huda dikutip dari Antara.

    Eropa saat ini mulai menjegal perdagangan luar negeri Indonesia, salah satunya adalah melalui hambatan European Deforestation Regulation (EUDR) terhadap komoditas kelapa sawit.

    Presiden Prabowo Subianto kemudian menunjukkan keberpihakan terhadap petani sawit dan mempertimbangkan untuk mencari pasar lain di luar wilayah Eropa.

    Nailul mengatakan, pada dasarnya Gerakan diplomasi Indonesia merupakan non blok, atau tidak terafiliasi ke BRICS atau OECD. Namun, pilihan koalisi politik dan ekonomi bisa mendorong pertumbuhan ekonomi ke depan.

    Data menunjukkan, proporsi ekonomi negara BRICS mengalami peningkatan tajam. Pada 1990, proporsi ekonomi negara BRICS hanya 15,66%, sedangkan pada 2022, proporsinya mencapai 32%.

    BRICS kini punya banyak anggota termasuk Indonesia yang baru disahkan. BRICS juga baru saja menetapkan 13 negara baru sebagai mitra, sehingga membuka peluang pasar baru bagi Indonesia terutama untuk ekspor.

    “Negara Timur Tengah sudah mulai masuk ke koalisi BRICS, hal ini sejalan dengan keinginan pemerintah untuk masuk ke pasar Timur Tengah. Jadi, sebenarnya keuntungan masuk BRICS cukup besar,” kata Nailul.

    Namun, koalisi BRICS berisiko bentrokan kepentingan dengan Amerika Serikat, salah satunya terkait dengan fasilitas perdagangan dengan AS yang bisa dicabut atau bahkan dikurangi.

    Nailul menilai akan ada potensi perang dagang kembali antara AS dan China ketika Donald Trump sudah resmi menjadi presiden AS.

    “Ada potensi ekonomi global akan melambat dan ber-impact pada negara koalisi. Memang saya rasa pilihan masuk ke BRICS lebih rasional ke depan walaupun juga ada risikonya dengan negara-negara OECD dan negara blok barat,” katanya.

  • Ekonom nilai keanggotaan BRICS tingkatkan posisi tawar RI di mata OECD

    Ekonom nilai keanggotaan BRICS tingkatkan posisi tawar RI di mata OECD

    Foto udara yang diambil pada 10 Juli 2023 ini menunjukkan OOCL PIRAEUS, salah satu kapal kontainer terbesar di dunia, tiba di Pelabuhan Piraeus, Yunani. (ANTARA/HO-Xinhua)

    Ekonom nilai keanggotaan BRICS tingkatkan posisi tawar RI di mata OECD
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Selasa, 07 Januari 2025 – 15:59 WIB

    Elshinta.com – Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai bahwa bergabungnya Indonesia ke dalam kelompok BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) merupakan langkah strategis yang dapat meningkatkan posisi tawar Indonesia di kancah global.

    Khususnya, lanjut dia, di mata OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). Hal ini diungkapkan Wijayanto menanggapi pengumuman resmi dari Brasil, sebagai Ketua BRICS 2025, mengenai peresmian keanggotaan penuh Indonesia dalam organisasi tersebut.

    “Saya rasa keputusan menjadi anggota BRICS adalah tepat, sepanjang kita juga tetap mendorong proses membership OECD. Indonesia adalah kekuatan ekonomi potensial di dunia ini, potensi itu harus di unlock dengan lebih berani mengambil sikap. Keputusan bergabung BRICS justru akan meningkatkan posisi tawar Indonesia di mata OECD yang selama ini seolah kita diposisikan tidak setara dengan negara lain,” ujar Wijayanto kepada ANTARA di Jakarta, Selasa.

    Terkait agenda dedolarisasi yang menjadi salah satu agenda BRICS, Wijayanto menilai bahwa fenomena ini akan terjadi secara alami seiring menurunnya dominasi ekonomi Amerika Serikat (AS).

    Peran ekonomi AS di dunia, meskipun akan tetap penting, cenderung menurun akibat munculnya kekuatan baru seperti China, India, Rusia, Brasil, Meksiko, atau bahkan Indonesia.

    Menurut Wijayanto, tren dedolarisasi akan lebih banyak terjadi dalam konteks perdagangan antaranggota BRICS, seperti yang telah diterapkan China dan Rusia dengan menggunakan mata uang lokal untuk 90 persen transaksi ekspor-impor mereka. Namun, dirinya skeptis terhadap kemungkinan terciptanya mata uang alternatif global atau sistem transfer pengganti SWIFT dalam waktu dekat.

    “Indonesia perlu mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS dengan lebih banyak menggunakan mata uang lokal untuk ekspor-impor dengan negara lain. Kendatipun demikian, kita tidak perlu menjadikan dedolarisasi sebagai gerakan ekonomi-politik, ini akan kontraproduktif dan diluar kepentingan kita,” jelas Wijayanto.

    Lebih lanjut, dalam pandangan Wijayanto, menjadi bagian dari BRICS juga memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk ikut menentukan arah dan cetak biru organisasi tersebut ke depan.

    Ia menekankan pentingnya Tanah Air untuk memanfaatkan keanggotaan ini untuk membuka peluang kerja sama di berbagai bidang, seperti teknologi, ketahanan pangan, dan perubahan iklim. Meskipun demikian, ia juga menyoroti potensi dampak keterpilihan kembali Donald Trump sebagai Presiden AS pada dinamika organisasi-organisasi multilateral.

    “Keterpilihan Trump justru akan membuat organisasi-organisasi yang dibidani oleh negara Barat menjadi kurang efektif, karena Trump lebih menyukai pendekatan unilateral, maksimal bilateral. Komitmen multilateral termasuk COP, WTO, OECD, bahkan NATO cenderung ia nafikan,” terangnya.

    Dengan demikian, Wijayanto menilai bahwa keanggotaan Indonesia di BRICS, meski agak terlambat, merupakan langkah strategis untuk memperluas pengaruh dan memperkuat posisi Indonesia di kancah internasional.

    Sementara, Kementerian Luar Negeri RI dalam pernyataan resminya menyambut baik keanggotaan penuh Indonesia di BRICS.
    Indonesia menyambut baik status keanggotaan penuhnya di BRICS, sebagaimana diumumkan Brasil sebagai Ketua BRICS 2025, dan berkomitmen untuk berkontribusi secara aktif dalam agenda organisasi tersebut ke depannya.

    “Sebagai negara dengan perekonomian yang terus tumbuh dan beragam, Indonesia berkomitmen untuk berkontribusi secara aktif dalam agenda BRICS, termasuk mendorong ketahanan ekonomi, kerja sama teknologi, dan pembangunan berkelanjutan,” kata Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI dalam pernyataan persnya.

    Indonesia berkomitmen untuk terus berperan melalui BRICS dalam ikut mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim, ketahanan pangan, dan kesehatan masyarakat, serta mewujudkan tatanan global yang lebih inklusif dan berkeadilan.

    Indonesia juga berdedikasi bulat untuk “bekerja dengan seluruh anggota BRICS dan pihak lainnya demi dunia yang lebih adil, damai, dan sejahtera.”

    Menurut Kemlu RI, bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS merupakan cerminan atas semakin meningkatnya peran aktif RI di kancah global serta momentum untuk meningkatkan kerja sama multilateral.

    Sumber : Antara

  • Sederet Peluang dan Risiko setelah Indonesia Jadi Anggota Penuh BRICS

    Sederet Peluang dan Risiko setelah Indonesia Jadi Anggota Penuh BRICS

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat Hukum Internasional Hikmahanto Juwana menilai bergabungnya Indonesia sebagai anggota penuh BRICS merupakan hal yang positif.

    Menurut Hikmahanto, Indonesia akan memiliki alternatif kerja sama internasional lain ditengah dominasi negara-negara Barat seperti Amerika Serikat (AS).

    Dia memaparkan bahwa sejauh ini AS menjadi salah satu pemain dominan di perekonomian internasional. Hal ini terlihat dari penggunaan mata uang dolar AS dalam hampir seluruh transaksi perdagangan dunia.

    Dominasi tersebut membuat dunia pun harus menyesuaikan dengan perekonomian atau mengikuti peraturan yang dirancang oleh AS.

    “Kalau kita masuk BRICS, idenya adalah Indonesia akan punya alternatif lain. Bahwa perekonomian dunia tidak hanya ditentukan oleh negara Barat seperti Amerika Serikat dan Eropa,” jelas Hikmahanto pada Selasa (7/1/2025).

    Hikmahanto melanjutkan, bergabungnya status anggota penuh BRICS juga tidak bertentangan dengan kebijakan politik internasional Indonesia yang bebas aktif dan non blok.

    Pasalnya, Indonesia juga tengah mengurus aksesi untuk masuk ke Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang kebanyakan berisi negara-negara Barat seperti AS, Kanada, Belgia, dan lainnya.

    Di sisi lain, Pemerintah Indonesia juga perlu mencermati beberapa risiko yang mungkin akan muncul dari status anggota penuh BRICS ini. Dia menuturkan, Indonesia perlu memantau dampak bergabungnya Indonesia ke BRICS  saat Presiden terpilih AS Donald Trump mulai menjabat pada 20 Januari 2025 mendatang.

    Hikmahanto menuturkan, Trump telah mengeluarkan ancaman sanksi kepada negara-negara BRICS jika kelompok tersebut melanjutkan langkah dedolarisasinya. Menurutnya, potensi sanksi yang dapat diberikan umumnya seperti pengenaan tarif atau pencabutan fasilitas-fasilitas yang umumnya diberikan kepada negara berkembang, termasuk Indonesia.

    “Pemerintah harus mengkaji kalau fasilitas-fasilitas itu dicabut itu konsekuensinya bagaimana, misalnya kepada industri Indonesia yang biasanya kita mengekspor ke AS,” katanya.

    Selain itu, Indonesia juga harus mencermati perannya di BRICS di tengah persaingan AS dan China. Menurutnya, Pemerintah Indonesia harus dapat memposisikan diri dengan baik di tengah persaingan kedua negara tersebut.

    “Jangan sampai di tengah persaingan itu, seolah-olah kita ada di belakang China yang berhadapan dengan AS. Kita boleh ikut (organisasi kerja sama internasional) mana saja, tetapi yang harus dijadikan tolok ukur adalah kepentingan nasional kita,” kata Hikmahanto.

    Secara terpisah, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI dalam keterangan resminya menyebut, Indonesia berkomitmen untuk berkontribusi secara aktif dalam agenda BRICS. Hal ini termasuk mendorong ketahanan ekonomi, kerja sama teknologi, pembangunan berkelanjutan, dan mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim, ketahanan pangan, dan kesehatan masyarakat.

    Kemlu menyebut, BRICS menjadi wadah penting bagi Indonesia untuk menguatkan kerja sama Selatan-Selatan, memastikan suara dan aspirasi negara-negara Global South terdengar dan terwakili dalam proses pengambilan keputusan global.

    “Kami berdedikasi penuh untuk bekerja sama dengan seluruh anggota BRICS, ataupun dengan pihak lainnya, untuk mewujudkan terciptanya dunia yang adil, damai, dan sejahtera,” jelas Kemlu dalam keterangan tersebut.

  • Indonesia Jadi Anggota Penuh BRICS, Bagaimana Nasib Aksesi OECD?

    Indonesia Jadi Anggota Penuh BRICS, Bagaimana Nasib Aksesi OECD?

    Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia resmi menjadi anggota penuh BRICS. BRICS adalah lembaga kerja negara-negara non-Barat, yang mengangkat sejumlah isu sensitif, salah satunya menentang superioritas Amerika Serikat (AS).

    Adapun, BRICS merupakan aliansi negara yang dibentuk oleh Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Sebelumnya, BRICS juga telah berhasil menambah beberapa negara anggota baru, yakni Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab.

    Sementara itu, kelompok BRICS dinamai berdasarkan anggota pendiri awalnya pada tahun 2009: Brasil, Rusia, India, dan China, ditambah Afrika Selatan, yang bergabung setahun kemudian.

    Blok tersebut dirancang sebagai penyeimbang bagi negara-negara ekonomi maju Kelompok Tujuh (G7), yang terdiri dari Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Prancis, Jerman, Italia, dan Jepang.

    Sebelum bergabungnya Indonesia, BRICS mencakup 46% populasi dunia dan 35% produk domestik bruto global.

    Arab Saudi telah diundang untuk bergabung, tetapi belum melakukannya, sementara Turki, Azerbaijan, dan Malaysia telah secara resmi mengajukan permohonan untuk menjadi anggota.

    KTT BRICS terkini, pertemuan ke-16, berlangsung di Kazan, Rusia, pada bulan Oktober 2024 dan diselenggarakan oleh Presiden Rusia Vladimir Putin.

    Pada KTT tersebut, negara-negara anggota membahas penguatan mata uang lokal dan peningkatan transaksi non-dolar, yang menuai kritik dari Presiden terpilih AS Donald Trump yang mengancam negara-negara BRICS dengan tarif 100%.

    BRICS Vs OECD

    Keanggotaan di BRICS menarik untuk disimak, karena pada saat bersamaan, Indonesia juga sedang mengejar proses aksesi dari Organization for Economic Cooperation and Development atau OECD. Proses aksesi Indonesia ke OECD sejatinya telah dilakukan lebih awal dibandingkan BRICS.

    Namun demikian, proses Indonesia menjadi anggota OECD tergolong lamban karena harus menyesuaikan sejumlah kebijakan domestik dengan mayoritas negara-negara OECD yang cenderung berpaham liberal secara ekonomi.

    Menteri Luar Negeri (Menlu) Sugiono menegaskan bahwa tidak ada hal yang bertolak belakang antara OECD dan BRICS.

    “Tidak ada hal yang bersifat bertolak belakang antara OECD dan BRICS. Itu juga disampaikan oleh pihak OECD, dan masing-masing tetap menghormati aturan dan hukum yang berlaku di Indonesia,” ujarnya  dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR RI, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, pada Senin (2/12/2024).

    Perbesar

    Sebelumnya, Sugiono menjelaskan alasan Indonesia ingin bergabung dengan BRICS karena sebagai upaya untuk meng-engage negara-negara yang tergabung dalam BRICS dan melakukan balancing act dalam menjaga kepentingan antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang.

    “Selain itu kami juga menilai bahwa BRICS merupakan sebuah grouping multilateral yang dapat kita manfaatkan untuk meningkatkan hubungan ekonomi RI dengan negara-negara yang tergabung di dalamnya,” katanya dalam rapat tersebut.

    Lebih lanjut, eks Wakil Ketua Komisi I 2019-2024 ini menyebut bahwa sebelum bergabung dengan BRICS, Indonesia juga telah melakukan proses aksesi sebagai negara OECD. Hal ini pun diperkuat dari kunjungan Sekjen OECD Mathias Cormann yang menemui Presiden Prabowo Subianto pada Kamis lalu (28/11/2024).

    “Kunjungan sekjen OECD menemui Presiden Prabowo beberapa hari yang lalu juga merupakan sebuah kunjungan yang menguatkan komitmen kita untuk terap bergabung dengan OECD,” pungkasnya.

    Mathias menyatakan bahwa proses aksesi ke OECD tidak akan terpengaruh dengan rencana bergabungnya Indonesia ke aliansi Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS). 

    Dia mengatakan pihaknya memahami sepenuhnya postur kebijakan luar negeri Indonesia sebagai negara independen yang tidak memihak blok manapun. Oleh karena itu, keputusan untuk bergabung ke OECD dan BRICS merupakan salah satu bentuk penerapan kebijakan tersebut. 

    “Jawaban singkatnya adalah tidak [mempengaruhi proses aksesi OECD],” kata Mathias dalam US-Indonesia Investment Summit 2024 di Jakarta pada Selasa (26/11/2024). 

    Dia menambahkan praktik sebuah negara bergabung ke OECD dan BRICS tidak hanya dilakukan Indonesia. Mathias mengatakan saat ini pihaknya juga sedang mengurus aksesi Brasil yang merupakan salah satu inisiator BRICS.

    Pernyataan Kemlu

    Sementara itu, pemerintah menyebut keanggotaan Indonesia di BRICS mencerminkan peningkatan peran aktif Indonesia dalam isu – isu global, serta komitmen untuk memperkuat kerja sama multilateral.

    Perbesar

    Sebagai negara dengan perekonomian yang terus tumbuh dan beragam, lanjut keterangan resmi Kemlu, Indonesia menganggap bahwa BRICS menjadi wadah penting bagi Indonesia untuk menguatkan kerja sama Selatan-Selatan, memastikan suara dan aspirasi negara-negara Global South terdengar dan terwakili dalam proses pengambilan keputusan global.

    “Kami berdedikasi penuh untuk bekerja sama dengan seluruh anggota BRICS, ataupun dengan pihak lainnya, untuk mewujudkan terciptanya dunia yang adil, damai, dan sejahtera.”

    Di sisi lain, Kemlu juga menyampaikan apresiasi kepada Rusia sebagai Ketua BRICS 2024, atas dukungan dan kepemimpinannya dalam memfasilitasi bergabungnya Indonesia ke BRICS, serta kepada Brazil sebagai Ketua BRICS 2025 yang telah mengumumkan keikutsertaan Indonesia pada BRICS.

    Adapun partisipasi Indonesia di BRICS merupakan perwujudan dari amanat konstitusi untuk berperan aktif dalam menjaga tatanan global. Indonesia telah, dan akan terus melanjutkan komitmennya dalam menjembatani berbagai kepentingan di berbagai forum multilateral.

    “Indonesia siap berpartisipasi secara konstruktif dalam berbagai inisiatif BRICS demi kepentingan masyarakat global.”

  • Ini Keuntungan Indonesia jadi Anggota BRICS – Page 3

    Ini Keuntungan Indonesia jadi Anggota BRICS – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Indonesia resmi menjadi anggota BRICS. Hal ini usai Brasil, yang memegang posisi kepresidenan BRICS untuk tahun 2025, mengumumkan pada Senin (6/1/2025) bahwa Indonesia telah diterima sebagai anggota penuh blok tersebut. Sebelumnya, status Indonesia adalah sebagai negara mitra BRICS.

    Kementerian Luar Negeri Brasil menyatakan bahwa para pemimpin BRICS telah menyetujui pencalonan Indonesia pada Agustus 2023. Namun, negara berpenduduk terbesar keempat di dunia ini baru secara resmi bergabung setelah terbentuknya pemerintahan baru tahun lalu.

    “Pemerintah Brasil menyambut bergabungnya Indonesia dalam BRICS,” demikian pernyataan resmi dari Brasil seperti dikutip dari VOA Indonesia, Selasa (7/1).

    “Dengan populasi dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia berbagi komitmen dengan negara-negara anggota BRICS lainnya untuk mereformasi lembaga-lembaga tata kelola global, serta berkontribusi positif dalam memperdalam kerja sama Selatan-Selatan.”

    Keuntungan Bergabung dengan BRICS

    Apa saja keuntungan Indonesia menjadi anggota BRICS?

    Bergabung dengan BRICS atau OECD membawa berbagai keuntungan bagi negara anggotanya, terutama dalam bidang ekonomi, politik, dan pembangunan sosial.

    Pertama, dari sisi kerja sama ekonomi dan investasi. BRICS menyediakan platform bagi negara anggotanya untuk mengembangkan kerja sama ekonomi, termasuk perdagangan, investasi, dan proyek pembangunan. Melalui lembaga seperti New Development Bank (NDB), negara anggota dapat mengakses pendanaan untuk proyek infrastruktur dan pembangunan tanpa ketergantungan pada institusi keuangan barat seperti Bank Dunia atau IMF.

    Penguatan posisi di arena internasional. Negara-negara BRICS dapat memanfaatkan kekuatan kolektif mereka untuk menyeimbangkan pengaruh negara-negara maju dalam politik global dan keuangan internasional. Misalnya, BRICS sering mendorong reformasi dalam institusi seperti IMF agar lebih inklusif terhadap kepentingan negara berkembang.

    Keuntungan lainnya, adalah inovasi dan teknologi. Negara-negara BRICS sering bekerja sama dalam bidang riset dan inovasi. Misalnya, kerja sama dalam proyek kesehatan, teknologi, dan energi dapat memberikan akses pada pengetahuan dan teknologi baru yang mungkin tidak tersedia secara lokal.

    Kelompok ini juga memiliki pasar yang lebih luas. Bergabung dalam BRICS membuka akses ke pasar negara berkembang lainnya, memungkinkan peningkatan ekspor dan perdagangan antarnegara anggota. Dengan populasi besar dan pertumbuhan konsumsi di negara-negara BRICS, ini menjadi peluang besar untuk ekspansi bisnis.

     

  • Apa Manfaat BRICS Bagi Indonesia?

    Apa Manfaat BRICS Bagi Indonesia?

    Jakarta, CNN Indonesia

    Indonesia sangat ingin bergabung menjadi anggota blok ekonomi BRICS (Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan). Organisasi dunia yang jadi pesaing G7.

    Indonesia pun telah menyampaikan keinginan untuk bergabung dengan BRICS dalam konferensi tingkat tinggi di forum itu pada 22-24 di Kazan, Rusia.

    “Pengumuman itu menandai awal mula proses Indonesia menjadi anggota BRICS,” demikian rilis Kementerian Luar Negeri RI, Kamis (24/10) tahun lalu.

    Keinginan berbalas. Pemerintah Brasil yang memegang jabatan presiden blok tersebut pada 2025 dalam sebuah pernyataan pada Senin (6/1) mengumumkan Indonesia resmi menjadi anggota BRICS setelah negara-negara anggota lain setuju secara konsensus saat pertemuan puncak BRICS pada 2023 di Johannesburg.

    “Indonesia berbagi dengan anggota kelompok lainnya mendukung untuk reformasi lembaga tata kelola global, dan berkontribusi positif terhadap pendalaman kerja sama di Global South,” kata pemerintah Brasil seperti diberitakan Reuters.

    Lalu apa untung dan manfaat bagi Indonesia jika gabung BRICS?

    Guru Besar Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, menilai langkah RI mendaftar ke BRICS sebagai tindakan positif.

    “Untuk memperkuat hubungan dengan negara-negara yang secara ekonomi terus berkembang,” ungkap Yon saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (25/10).

    Selama ini, kata Yon, Indonesia lebih banyak berinteraksi dengan negara Barat, termasuk Amerika Serikat dan Eropa. Padahal secara geografis Indonesia lebih dengan dengan negara kawasan selatan yang biasa dikenal Global South.

    Jika resmi bergabung, Yon memandang Indonesia akan terhindar dari isolasi negara selatan.

    “Salah satu manfaat yang bisa dimanfaatkan, Indonesia tak terlalu isolasi dari kondisi geografisnya. Seperti Filipina yang cenderung Pro Amerika yang menjadi persoalan,” kata dia.

    Senada, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana juga menilai positif keinginan Indonesia bergabung dengan blok ekonomi BRICS.

    Dengan begitu, kata dia, Indonesia tak didominasi negara-negara Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Cooperation and Development/OECD).

    “Menurut saya bagus juga Indonesia bergabung dengan BRICS agar Indonesia tidak didominasi oleh negara-negara OECD,” kata Hikmahanto dilansir Antara, Sabtu (26/10).

    Ia menyebut Indonesia bisa menjaga jarak yang sama antara negara-negara yang bergabung dengan OECD ataupun dengan negara-negara yang tergabung dalam BRICS. Menurut Hikmahanto, yang paling penting Indonesia diuntungkan.

    “Terpenting adalah kepentingan nasional kita diuntungkan dan tidak sebaliknya dirugikan,” pungkasnya.

    (ldy/agt)

  • Demi Ekonomi Tumbuh Menjulang, Ini Sederet Tantangan yang Kudu Diwaspadai

    Demi Ekonomi Tumbuh Menjulang, Ini Sederet Tantangan yang Kudu Diwaspadai

    Jakarta: Indonesia bisa memaksimalkan peluang guna membuat ekonomi menjulang tinggi di 2025. Proyeksi atas pertumbuhan ekonomi RI juga bisa saja melesat ke atas, jika pemerintah siap dan waspada terhadap sejumlah tantangan, baik dari domestik maupun internasional.
     
    Adapun, Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) memprediksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di level 5,1 persen. Sementara Bank Dunia atau World Bank, memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 sebesar 5,1 persen.
     
    Sedangkan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 sebesar 5,2 persen.
    “Proyeksi ini sesungguhnya tidak terlalu berbeda jauh dengan target pertumbuhan ekonomi pada APBN 2025 sebesar 5,2 persen,” kata Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah dikutip dari keterangan tertulis, Kamis, 2 Januari 2025.
     
    Menurut Said, Indonesia berpotensi masih menghadapi pelemahan konsumsi rumah tangga sebagai penopang utama pertumbuhan perekonomian. Merosotnya daya beli berdampak pada rendahnya tingkat permintaan. “Gejala ini sesungguhnya sudah nampak sejak pasca pandemi,” tutur dia.
     
    Ia pun membeberkan sederet tantangan yang harus dihadapi agar pemerintah siap dan mawas diri. Hal ini juga agar Indonesia bisa memanfaatkan peluang ekonomi sehingga bisa melambung tinggi.
     
    1. Perang tarif

    Tiongkok dihadapkan perang ekonomi secara multifront, perang tarif dengan Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa. Uni Eropa bahkan telah memberlakukan bea masuk 43 persen mobil listrik dari Tiongkok.
     
    AS juga akan memberlakukan tarif masuk ke Meksiko dan Kanada atas barang ekspor untuk meredam imigran, dan peredaran narkotika. AS juga akan mengenakan tarif ekspor dari negara negara yang melakukan dedolarisasi, seperti Tiongkok dan negara negara BRICS.
     
    “Jika perang tarif ini semakin menajam di tahun ini, maka Indonesia akan terkena spillover effect, bisa negatif namun juga positif,” terang Said.
     
    Negatifnya, ungkap dia, ketidakpastian bisnis global semakin tinggi, biaya ekspor bisa berpotensi semakin tinggi. Namun bila Indonesia bisa menggantikan produk produk impor yang dibutuhkan kedua negara, maka peluang ekspor Indonesia akan besar.
     
    “Dengan demikian, pemerintah dan eksportir harus membaca situasi ini sebagai peluang emas kedepan,” tuturnya.
     
    2. Perekonomian Tiongkok melempem

    Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada 2025 berada di kisaran 4,5 persen, perkiraan ini lebih rendah dari prediksi pertumbuhan Tiongkok di tahun 2024 sebesar 4,8 persen.
     
    Jika perekonomian Tiongkok makin melambat karena produk ekspor globalnya terpukul, maka dampaknya juga akan terasa terhadap produk ekspor Indonesia ke Tiongkok.
     
    “Pemerintah perlu menyiapkan mitigasi resiko atas menurunnya perekonomian Tiongkok, semisal mencari negara lain sebagai pengganti ekspor ke Tiongkok yang menurun,” tutur Said.
     
    3. Dolar AS makin kuat

    Said menuturkan, perang tarif bisa berdampak pada depresiasi dolar AS (USD) terhadap rupiah. Belajar perang tarif Tiongkok dan AS pada 2018 lalu, banyak pelaku pasar lebih menyalakan tombol ‘risk on’, artinya menggenggam USD lebih low risk ketimbang mata uang lainnya.
     
    “Jika situasi ini terulang, maka kita harus bersiap sejak dini untuk memperkuat sistem moneter kita,” urai dia.
     
    Said mengungkapkan efek penguatan USD akan berlangsung lama jika perang tarif berkepanjangan. Indonesia harus memanfaatkan diplomasi perdagangan internasional untuk membuat tata perdagangan dunia lebih adil, setidaknya tidak merugikan kepentingan nasional Indonesia.
     
    “Sedangkan di dalam negeri, BI, OJK, dan pemerintah perlu mengatur lebih ketat lagi atas devisa hasil ekspor untuk kepentingan nasional,” jelas Said.
     

     

    4. Turunnya kelas menengah

    Di dalam negeri, sambung Said, Indonesia menghadapi penurunan kelas menengah dan konsumsi rumah tangga. Menurunnya kelas menengah akan menjadi ancaman bagi upaya Indonesia atas posisinya saat ini di upper middle income country. Sementara menurunnya daya beli akan menjadi sumbangan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
     
    Said bilang, pemerintah bisa mengombinasikan program makan siang bergizi gratis untuk siswa guna meningkatkan gizi anak, sekaligus menggerakan ekonomi UMKM. Libatkan para pelaku UMKM dalam rantai pasok makan bergizi gratis.
     
    “Langkah ini akan berdampak multiplier ekonomi, sebab sektor UMKM akan menyerap produk produk petani dan peternak. Apalagi sektor UMKM menopang tenaga kerja terbesar di Indonesia,” tutur dia.
     
    5. Industri nonmigas susut

    Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan kontribusi industri pengolahan nonmigas terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2014 sebesar 21,28 persen dan pada 2023 kontribusinya menyusut 18,67 persen atau Rp3.900 triliun dari total PDB atas harga berlaku mencapai Rp20.892 triliun.
     
    “Banyak pihak menilai kita mengalami deindustrialisasi. Meskipun angka statistik menunjukkan penurunan, namun peluang industri manufaktur kita bangkit sangat besar sekali. Sebab jika industri manufaktur tumbuh, saya berkeyakinan, kelas menengah juga akan tumbuh sejalan dengan program industrialisasi, sebab kelas menengah bisa menjadi tenaga kerja yang adaptif untuk menopang kebutuhan industri,” ucap Said.
     
    Menjawab tantangan tersebut, kata Said, peluang yang bisa ditempuh oleh pemerintah untuk membangkitkan industri manufaktur dan mendorong kembali tumbuhnya kelas menengah hanya dengan perluasan program hilirisasi, yang saat ini masih di sektor nikel.
     
    “Perluasan hilirisasi bisa merambah ke bahan tambang selain nikel, perkebunan, pertanian, dan kehutanan, terutama yang menjadi kebutuhan rantai pasok global,” jelasnya.
     
    6. Pecut investasi

    Said menuturkan, Indonesia memiliki peluang menurunkan Incremental Capital Output Ratio (ICOR), perbandingan antara pertumbuhan ekonomi dengan investasi yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan, jika berhasil membereskan hambatan ekonomi, seperti korupsi, dan memberikan pesan yang jelas kepada investor dan pelaku pasar tentang arah kebijakan perekonomian lima tahun kedepan.
     
    “Dengan ICOR yang rendah, maka produk ekspor Indonesia bisa berdaya saing di pasar global. Menurunnya tingkat korupsi juga menguatkan kepercayaan kepada pemerintah,” terang Said.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (HUS)