Organisasi: OECD

  • RI & Selandia Baru Target Kerja Sama Dagang Rp 58 T di 2029

    RI & Selandia Baru Target Kerja Sama Dagang Rp 58 T di 2029

    Jakarta

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menerima kunjungan Menteri Perdagangan dan Investasi Selandia Baru Todd McClay pada Kamis (7/8). Pertemuan itu dalam rangka membahas berbagai isu strategis terkait perdagangan internasional.

    Indonesia dan Selandia Baru sepakat memperbaharui komitmen bersama untuk meningkatkan nilai perdagangan bilateral dengan menetapkan target baru sebesar NZ$ 6 miliar pada 2029 atau setara Rp 58,29 triliun (asumsi kurs Rp 9.716), naik dari target sebelumnya sebesar NZ$ 4 miliar hingga 2024. Kesepakatan itu dituangkan dalam Plan of Action Kemitraan Komprehensif Indonesia-Selandia Baru Tahun 2025-2029.

    “Penyelesaian tersebut dapat mendorong kedua negara untuk lebih fokus ke bidang-bidang strategis lain guna memperkuat kerja sama ekonomi,” kata Airlangga dalam keterangan tertulis, dikutip Jumat (8/8/2025).

    Kedua menteri juga menegaskan pentingnya penyelesaian sengketa mengenai importasi produk hortikultura, hewan dan produk hewan yang sedang dibahas di World Trade Organization (WTO). Indonesia mengundang Selandia Baru untuk memperluas investasi di sektor pengolahan susu guna meningkatkan ketahanan pangan dan gizi masyarakat secara berkelanjutan.

    “Perusahaan-perusahaan di Selandia Baru memiliki kapasitas dan kesiapan untuk memenuhi kebutuhan tersebut secara berkelanjutan,” ucap Menteri McClay menanggapi.

    Selain itu, Selandia Baru menyatakan dukungannya terhadap Indonesia untuk proses aksesi ke Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) serta Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP). Proses aksesi tersebut diharapkan akan memperkuat upaya reformasi ekonomi nasional dan posisi strategis Indonesia di panggung internasional.

    Kedua menteri juga membahas upaya deregulasi pada berbagai sektor di Indonesia. Melalui reformasi kebijakan ini, Pemerintah Indonesia berupaya untuk menciptakan kepastian hukum, memberikan kemudahan dalam proses berusaha, serta meningkatkan daya saing industri nasional di masa depan.

    “Langkah ini merupakan bagian dari upaya konkret pemerintah untuk mendorong kemudahan berusaha di seluruh wilayah Indonesia,” pungkas Airlangga.

    (aid/rrd)

  • Ngeri! Populasi Warga Jepang Terus Menyusut, Jumlah Bayi yang Lahir Makin Dikit

    Ngeri! Populasi Warga Jepang Terus Menyusut, Jumlah Bayi yang Lahir Makin Dikit

    Jakarta

    Penurunan populasi di Jepang semakin ngeri. Belum ada tanda perbaikan dari tren tersebut, dengan laporan terakhir di tahun lalu menunjukkan populasi Jepang menyusut hingga 900 ribu jiwa. Catatan ini menjadi rekor tertinggi penyusutan populasi Jepang.

    Data yang dirilis oleh Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi pada hari Rabu menunjukkan jumlah warga negara Jepang turun sebanyak 908.574 jiwa pada 2024, sehingga total populasi menjadi 120 juta jiwa.

    Sejak mencapai puncaknya di angka 126,6 juta jiwa pada 2009, populasi Jepang telah menurun selama 16 tahun berturut-turut, yang disebabkan berbagai faktor termasuk masalah ekonomi dan norma gender yang mengakar.

    Dengan populasi warga negara Jepang yang diperkirakan terus menurun selama beberapa dekade, negara ini akan merasakan dampaknya terhadap sistem pensiun dan perawatan kesehatan, serta infrastruktur sosial lain yang sulit dipertahankan dengan jumlah tenaga kerja menyusut.

    Pemerintah telah berupaya melawan penurunan ini selama lebih dari satu dekade, melakukan segala cara, mulai dari memberikan subsidi persalinan dan perumahan hingga mendorong para ayah untuk mengambil cuti, menemani pasangan mereka.

    Namun setiap tahun, semakin sedikit bayi yang lahir, dan semakin banyak kematian yang tercatat.

    Dinilai menjadi sebuah lingkaran setan di tengah populasi yang semakin menua. Proporsi lansia bahkan hampir mencapai 30 persen menurut data terbaru, sementara proporsi dewasa muda, usia subur dan usia kerja, terus menyusut.

    Tahun lalu pun sama. Jumlah kelahiran yang tercatat, hanya 687.689, merupakan yang terendah di antara catatan lain bahkan sejak 1968, sementara jumlah kematian hampir mencapai 1,6 juta.

    Populasi usia kerja, yang didefinisikan antara 15 hingga 64 tahun, hanya mencapai 59 persen dari populasi Jepang tahun lalu, jauh lebih rendah daripada rata-rata global sebesar 65 persen, menurut Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan atau Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

    Penurunan ini telah berlangsung selama beberapa dekade, akibat tingkat kelahiran Jepang secara konsisten rendah sejak 1970-an. Oleh karena itu, menurut sosiolog dan demografer, tidak ada solusi cepat dan hal ini cenderung tidak dapat dibalikkan.

    Sekalipun Jepang berhasil meningkatkan tingkat kelahirannya secara dramatis dan besar, populasinya pasti akan terus menurun setidaknya selama beberapa dekade lagi hingga rasio usia muda-tua yang tidak seimbang mencapai keseimbangan, dan bayi-bayi yang lahir kini mencapai usia subur.

    Dikutip dari CNN, para ahli telah melihat tingginya biaya hidup di Jepang, ekonomi dan upah yang stagnan, ruang yang terbatas, dan budaya kerja tinggi tekanan di balik alasan mengapa semakin sedikit orang yang memilih berkencan, menikah, atau memiliki anak.

    Inikah Pemicunya?

    Bagi perempuan, biaya ekonomi bukanlah satu-satunya hal yang tidak disukai. Jepang merupakan masyarakat yang sangat patriarki, saat perempuan yang sudah menikah seringkali diharapkan untuk mengambil peran pengasuh, meskipun pemerintah berupaya untuk lebih melibatkan suami. Orang tua tunggal jauh lebih jarang di Jepang dibandingkan banyak negara Barat.

    Banyak dari masalah ini juga mengganggu negara-negara Asia Timur lainnya dengan masalah populasi mereka sendiri, termasuk China dan Korea Selatan.

    Menurut model pemerintah, yang terakhir direvisi pada 2023, populasi Jepang akan turun sebesar 30 persen pada 2070.

    Halaman 2 dari 3

    Simak Video “Warganya Ogah Nikah, Populasi Jepang Alami Penurunan 15 Tahun Berturut-Turut”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/kna)

  • Meluruskan Kembali Implementasi Anggaran Pendidikan 20 Persen

    Meluruskan Kembali Implementasi Anggaran Pendidikan 20 Persen

    Jakarta

    Mungkin yang terbayang dalam pikiran para inisiator anggaran pendidikan 20 persen dari APBN adalah dalam beberapa waktu ke depan kualitas pendidikan nasional akan sejajar bahkan mendahului negara-negara ASEAN lainnya. Ketika pemerintah mulai menerapkan kebijakan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN menjadi anggaran wajib (mandatory spending) setiap tahunnya, terbayang menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan alokasi belanja publik untuk pendidikan terbesar di Asia.

    Anggaran pendidikan di Indonesia mulai mencapai 20 persen dari APBN dimulai pada tahun 2009, semenjak Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan UU No 16 Tahun 2008 tentang APBN 2008 bertentangan dengan UUD 1945. Anggaran pendidikan 15,6 persen dalam APBN 2008 dinilai tidak memenuhi amanat konstitusi sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN. Pasca-keputusan MK, anggaran pendidikan 2009 menjadi Rp 208,3 triliun atau sekitar 20,8 persen. Maka semenjak tahun 2009 hingga saat ini, perencanaan anggaran pendidikan selalu mencapai 20 persen.

    Pada saat awal implementasi penerapan anggaran pendidikan menjadi mandatory spending tahun 2009, kualitas pendidikan nasional yang tercermin dari skor keterampilan global (membaca, matematika dan sain) yang diukur dalam survey Programme for International Student Assessment (PISA), Indonesia memiliki skor rata-rata 385 berada pada peringkat ke-57 dari 65 negara. Untuk kategori membaca, Indonesia memperoleh skor 402 (rata-rata OECD 493). Dalam kategori matematika, yakni 371 (rata-rata OECD 496). Sedangkan untuk kategori sains, Indonesia memperoleh skor 383, jauh di bawah rata-rata OECD sebesar 501. Skor ini menjadi baseline untuk mengukur dampak yang ditimbulkan oleh anggaran mandatory tersebut.

    Setelah 16 tahun (2009-2025) implementasi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN, apa dampak dan perubahan yang ditimbulkannya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Tidak bisa dipungkiri, adanya mandatory spending tersebut berdampak terhadap membaiknya akses pendidikan. Hal ini ditunjukkan dari angka partisipasi sekolah yang semakin meningkat setiap tahunnya. Namun dari sisi peningkatan mutu pendidikan, belum memberikan hasil yang menggembirakan. Skor PISA, HCI (Human Capital Index), kompetensi guru, dan ketimpangan kualitas pendidikan antardaerah masih memerlukan perhatian serius dari pemerintah.

    Pencapaian skor PISA anak-anak Indonesia bisa menjadi ukuran yang valid. Penilaian terakhir PISA dilakukan pada tahun 2022 yang publikasinya dirilis tahun 2023. Dilihat dari tiga unsur pengetahuan yang dinilai, untuk pengetahuan membaca Indonesia mendapatkan skor 359 poin (rata-rata OECD 476). Selanjutnya, pengetahuan matematika, Indonesia mendapatkan skor 366 poin (rata-rata OECD 472). Terakhir, pengetahuan sains dengan skor 383 poin (rata-rata OECD 485). Dari ketiga penilaian pengetahuan tersebut, jelas bahwa penilaian PISA Indonesia berada di bawah negara-negara OECD bahkan ASEAN.

    Hasil skor PISA 2022 yang didapatkan Indonesia memberikan sejumlah catatan terkait kualitas dan kondisi dunia pendidikan nasional. Secara rata-rata, Indonesia mendapatkan skor PISA 369 poin. Ironisnya, skor PISA 2022 ini merupakan skor terendah Indonesia yang nilainya berada di bawah skor tahun 2009. Artinya selama 16 tahun alokasi anggaran pendidikan 20 persen belum memberikan pengaruh yang signifikan bagi dunia pendidikan. Hal ini tentunya, harus menjadi bahan evaluasi karena adanya penurunan tingkat kualitas pendidikan nasional.

    Meluruskan Anggaran Pendidikan 20 Persen

    Perjalanan panjang anggaran pendidikan dalam 16 tahun terakhir, mengalami banyak distorsi dalam pengalokasinnya, sehingga berdampak terhadap ketercapaian akses, kualitas, dan relevansi pendidikan terhadap kemajuan bangsa dalam fase bonus demografi yang sedang berlangsung. Salah satu bukti nyata adalah semakin menurunnya skor PISA Indonesia dalam dua dekade terakhir. Saat ini, tidak cukup hanya mengevaluasi nilai anggaran pendidikan 20 persen semata, tetapi juga harus melihat pengalokasiannya secara detail dan mendalam.

    Alokasi anggaran pendidikan tahun 2025 mencapai angka Rp 724 triliun. Dari total anggaran tersebut, sebesar Rp 297,2 triliun (41,05%) disalurkan melalui anggaran Belanja Pemerintah Pusat (BPP). Sedangkan alokasi anggaran melalui transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp 347,09 triliun (47,94%). Dari alokasi anggaran BPP, disalurkan melalui Kementerian/Lembaga (K/L) senilai Rp 261,61 triliun (88,03%), sisanya untuk non-K/L sebesar Rp 35,55 triliun (11,96%).

    Alokasi anggaran pendidikan di kementerian yang terkait pendidikan secara langsung, terdapat di Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah sebesar Rp 33,54 triliun (12,82%) dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi Rp 57,68 triliun (22,05%), Kementerian Pendidikan Kebudayaan Rp 2,37 triliun (0,91%), serta Kementerian Agama Rp 65,92 triliun (25,19%). Artinya anggaran pendidikan yang dikelola oleh kementerian terkait pendidikan berkisar Rp 159,51 triliun atau 60,97 persen dari anggaran K/L, sisanya sebesar Rp 102,10 triliun atau 39,02% tersebar di 17 K/L.

    Ketimpangannya terlihat dari besarnya anggaran pendidikan di luar kementerian bidang pendidikan dan agama, jelas dialokasikan untuk pendidikan kedinasan di 17 K/L. Padahal, yang menikmati sekolah kedinasan per tahunnya hanya 13.000 orang. Bandingkan dengan pendidikan formal dari tingkat dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi serta agama, jumlah siswanya mencapai 62 juta di bawah Kementerian Pendidikan dan 12,5 juta di bawah naungan Kementerian Agama. Ketimpangan pengalokasian ini perlu diluruskan kembali.

    Begitu pula dengan anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah sebesar Rp 347,09 triliun (47,94%), efektivitas anggarannya banyak tidak tepat sasaran. Temuan World Bank layak untuk dicermati, terdapat empat aspek masalah alokasi biaya pendidikan melalui transfer ke daerah, yaitu: pembagian kewenangan pemerintah pusat dan daerah, kualitas guru yang belum memadai, akuntabilitas yang rendah serta kualitas monitoring evaluasi yang belum optimal.

    Pemerintah harus segera meluruskan kembali implementasi anggaran pendidikan 20 persen. Terutama untuk memperkuat pendidikan dasar dan menengah yang menjadi fondasi utama kualitas pendidikan di Indonesia. Selain itu, komitmen anggaran tersebut penting untuk meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana setiap sekolah. Membaca kembali hasil PISA 2022 bukan sekadar melihat capaian angka belaka, tetapi perlu untuk menjadi pijakan reflektif untuk memastikan arah transformasi pendidikan nasional benar-benar berada di jalur yang tepat untuk mengoptimalkan bonus demografi dan menyambut Indonesia maju tahun 2045.

    Sejatinya Presiden Prabowo Subianto memiliki momentum dan kesempatan untuk melakukan koreksi dan review terhadap kebijakan pengalokasian anggaran pendidikan 20 persen. Saat ini pemerintah sedang menyusun nota keuangan dan RAPBN 2026 yang akan disampaikan oleh presiden di hadapan sidang paripurna DPR tanggal 16 Agustus 2025. Hal ini mendesak, selain sebagai amanat konstitusi, anggaran pendidikan 20 persen ini menjadi kunci untuk memperbaiki kualitas dan akses pendidikan nasional sesuai dengan harapan dan rencana pemerintah untuk membangun peta jalan menuju Indonesia maju tahun 2045.

    Handi Risza. Wakil Rektor Universitas Paramadina.

    (fas/fas)

  • Merawat nasionalisme melalui pendidikan dan kebudayaan

    Merawat nasionalisme melalui pendidikan dan kebudayaan

    Jakarta (ANTARA) – Usia kemerdekaan Indonesia sudah memasuki tahun ke-80. Sebagai warga negara, momen ini merupakan saat yang tepat merefleksikan apa yang dapat kita berikan kepada Indonesia dalam membangun rasa nasionalisme di tengah kemajuan era digital dan AI?

    Salah satu bentuk refleksi tersebut adalah merawat nasionalisme melalui pemajuan bidang pendidikan dan kebudayaan.

    Di tengah pesatnya kemajuan teknologi kecerdasan buatan (AI), dunia pendidikan dan kebudayaan kita menghadapi tantangan serius. Kemudahan akses informasi memang mempercepat penyebaran pengetahuan, tetapi juga membawa dampak negatif: menurunnya kualitas literasi kritis, memudarnya arah pendidikan karakter, serta melemahnya semangat nasionalisme di kalangan generasi muda.

    Data-data yang ada mengisyaratkan bahaya yang tidak bisa diabaikan. Laporan Programme for International Student Assessment (PISA) –program penilaian internasional yang diselenggarakan oleh OECD– pada 2022 menunjukkan skor literasi membaca dan matematika siswa Indonesia turun drastis.

    Untuk pengetahuan matematika, Indonesia mendapat skor 366 poin. Skor membaca mendapat skor 359 dan sains dengan skor 383 poin. Penilaian terendah adalah pada domain membaca. Hal ini menggambarkan ketertinggalan daya saing bibit generasi nasional saat ini.

    Sejumlah negara tetangga berhasil mendapatkan skor PISA rata-rata lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Misalnya saja, Singapura dengan rata-rata skor PISA 560, Korea Selatan dengan poin 523. Skor negara Vietnam, Malaysia dan Thailand mendapat skor lebih baik dari Indonesia.

    Senada dengan itu, hasil survei Indikator Politik Indonesia pada 2023 menunjukkan bahwa sekitar 24 persen anak muda merasa nasionalisme sudah tidak lagi relevan di era globalisasi.

    Bagi sebagian generasi muda yang lebih terhubung dengan komunitas global melalui media sosial, pendidikan internasional, dan tren budaya popular, nilai-nilai nasional seperti cinta tanah air, simbol-simbol kebangsaan, dan semangat kolektif sudah ketinggalan zaman.

    Ini adalah sinyal peringatan serius yang perlu segera direspons.

    Di era digital yang dibanjiri algoritma personalisasi, anak-anak dan remaja kita lebih banyak “dididik” oleh konten media sosial ketimbang oleh guru dan orang tua. AI menawarkan jawaban cepat, tetapi tidak mengajarkan makna, konteks, dan tanggung jawab.

    Dampaknya, pendidikan tidak lagi membentuk manusia seutuhnya, melainkan mencetak generasi yang cepat tahu namun dangkal (superficial) dalam pemahaman dan empati.

    Hakekat Pendidikan

    Para filsuf pendidikan telah lama mengingatkan kita akan hal ini. Paulo Freire mendefinisikan pendidikan sejati bukan sebagai proses menjejali pikiran siswa, melainkan “praktik kebebasan” yang menumbuhkan kesadaran kritis.

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Data BPS Bikin Kaget! Ekonomi RI Tumbuh 5,12%, Melenceng dari Ramalan Ekonom

    Data BPS Bikin Kaget! Ekonomi RI Tumbuh 5,12%, Melenceng dari Ramalan Ekonom

    Jakarta

    Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,12% pada kuartal II-2025. Angka ini cukup mengejutkan karena bertolak belakang dengan proyeksi banyak ekonom. Para ekonom memperkirakan pertumbuhan tak akan sampai angka 5% di periode ini.

    Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada kuartal II tercatat mencapai Rp 5.947 triliun. BPS menyebut pertumbuhan ekonomi secara tahunan (year-on-year/yoy) berada di angka 5,12%. Lalu dibandingkan dengan kuartal sebelumnya tercatat tumbuh 4,04%.

    Ekonom Senior INDEF, Tauhid Ahmad, memproyeksikan angka pertumbuhan di kuartal II tak akan menyentuh 5%. Tauhid cukup kaget ekonomi Indonesia bisa tumbuh 5,12%.

    “Angka pertumbuhan ekonomi ini ya ditetapkan pemerintah 5,12% agak kaget. Di luar perkiraan banyak orang termasuk saya yang memperkirakan di bawah 5%. Bahkan jauh, sekitar 4,8%, 4,9%. Saya sempat perkirakan antara 4,7% sampai 5,0%” ujarnya kepada detikcom, Selasa (5/8/2025).

    Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira yang memperkirakan pertumbuhan kuartal II-2025 hanya berada di kisaran 4,5-4,7% yoy, bahkan lebih rendah dari realisasi kuartal I-2025 yang sebesar 4,87%. Menurutnya, lesunya daya beli masyarakat jadi penyebab utama.

    “Pertumbuhan kuartal II-2025 di kisaran 4,5-4,7% yoy, karena tidak ada lagi pendorong musiman setelah Lebaran, daya beli sedang lesu,” ujar Bhima.

    Lemahnya daya beli ini juga berdampak pada sektor manufaktur. Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia tercatat berada di angka 49,2 pada Juli 2025. Meski membaik dibandingkan bulan sebelumnya yang sempat anjlok ke 46,9, posisi ini masih di bawah ambang batas 50-yang berarti aktivitas manufaktur masih mengalami kontraksi.

    Selain itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal. Ia memprediksi pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 akan berada di bawah 5%, tepatnya pada kisaran 4,7-4,8% yoy. Alasannya serupa: konsumsi rumah tangga yang melemah.

    “CORE memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2025 melambat ke kisaran 4,7-4,8%, turun dari 4,87% pada kuartal I,” ujarnya.

    Faisal juga menilai stimulus pemerintah belum cukup kuat untuk mendorong pertumbuhan. Di sisi lain, kontribusi dari net ekspor pun makin mengecil, karena surplus neraca perdagangan terus menyusut selama kuartal II.

    “Kontribusinya terhadap pertumbuhan jadi lebih rendah. Kami juga prediksi belanja pemerintah masih minus. Di kuartal I minus, dan di kuartal II kami prediksi minus 1%, jadi kontraksi. Itu yang juga memperlambat laju ekonomi,” jelasnya.

    Proyeksi Dipangkas: Lembaga-lembaga Turut Ragu

    Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

    LPEM UI

    Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) dalam riset Trade and Industry Brief Vol VIII No. 2 edisi Juni 2025 juga menyoroti adanya perlambatan ekonomi nasional.

    “Pada awal 2025, Indonesia menunjukkan gejala perlambatan ekonomi yang diakibatkan oleh tergerusnya daya beli, menyusutnya kelas menengah, dan menurunnya produktivitas sektoral yang tercermin dalam dinamika industri dan ketenagakerjaan,” tulis tim peneliti LPEM FEB UI.

    Mereka mencatat, sektor manufaktur-yang selama ini menjadi tulang punggung penyerapan tenaga kerja-mengalami tantangan deindustrialisasi prematur: kontribusinya terhadap PDB menurun, serapan tenaga kerja melemah, dan produktivitas stagnan.

    Sementara sektor pertanian pun belum lepas dari persoalan klasik, mulai dari ketersediaan input, teknologi, logistik, pembiayaan, hingga persaingan dengan produk impor dan praktik perdagangan internasional yang tidak sehat.

    “Indonesia perlu menciptakan lebih banyak lapangan kerja untuk menampung angkatan kerja berpendidikan rendah-menengah agar bisa menekan angka kemiskinan dan menjaga daya beli,” saran LPEM UI.

    OECD

    Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 menjadi 4,7%, dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 4,9%.

    World Bank

    Bank Dunia pun menyampaikan peringatan bahwa perekonomian Indonesia rawan terdampak gejolak global. Ketegangan geopolitik yang meningkat saat ini berisiko mendorong pelemahan ekonomi lebih lanjut.

    Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste, Carolyn Turk, menyampaikan hal ini dalam peluncuran laporan Indonesia Economic Prospects (IEP) edisi Juni 2025.

    Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini hanya 4,7%, dan 4,8% untuk tahun depan. Perkiraan ini mempertegas tren penurunan, setelah di kuartal I-2025 ekonomi RI hanya tumbuh 4,87%-turun dari angka 5% yang sempat tercapai sebelumnya.

    Menurut Carolyn, gejolak global menahan laju penciptaan lapangan kerja dan menghambat upaya penanggulangan kemiskinan ekstrem. Pelemahan kinerja perdagangan dan investasi asing, ditambah arus modal yang labil, menciptakan tekanan luas terhadap stabilitas makroekonomi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

    “Dalam situasi yang sangat rentan ini, ekonomi Indonesia memang menunjukkan ketahanan. Tapi kami melihat pertumbuhan PDB yang lebih rendah dari 5%. Konsumsi pemerintah dan investasi juga menurun tahun ini,” sebut Carolyn.

    Halaman 2 dari 2

    (fdl/fdl)

  • Amnesti, abolisi, dan tantangan demokrasi digital

    Amnesti, abolisi, dan tantangan demokrasi digital

    Terdakwa kasus dugaan suap Pergantian Antarwaktu (PAW) untuk anggota DPR Harun Masiku dan perintangan penyidikan, Hasto Kristiyanto meninggalkan Rutan Kelas Jakarta Timur Cabang Rutan KPK, Jakarta, Jumat (1/8/2025). Hasto dibebaskan usai mendapatkan amnesti dari Presiden Prabowo Subianto yang disetujui oleh DPR pada Kamis (31/7). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

    Amnesti, abolisi, dan tantangan demokrasi digital
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Sabtu, 02 Agustus 2025 – 12:43 WIB

    Elshinta.com – Langkah Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Tom Lembong, mantan co-pilot tim sukses Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, bukanlah sikap politik pragmatis.

    Keputusan yang diambil menjelang HUT ke-80 Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 2025, ini memancarkan refleksi kenegarawanan seorang Prabowo, termasuk kemampuannya menavigasi persimpangan hukum, politik, dan aspirasi publik sehingga jauh dari carut marut.

    Namun, di era digital yang riuh, langkah ini juga mengundang pertanyaan kritis: apakah ini murni rekonsiliasi nasional, atau justru berisiko melemahkan kepercayaan pada supremasi hukum?

    Keputusan Prabowo tersebut membawa pesan simbolis bahwa kemerdekaan bukanlah seremoni kosong, melainkan panggilan untuk memperkuat persatuan, demokrasi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM). Namun, dalam sorotan opini publik yang diamplifier oleh kekuatan media sosial, amnesti dan abolisi menjadi ujian bagi demokrasi Indonesia: sejauh mana keadilan hukum dengan kepekaan politik berdiri di ruang netral?

    Independensi yudikatif diuji

    Prabowo menunjukkan sikap terpuji dengan menahan diri dari intervensi terhadap proses hukum Hasto dan Lembong selama peradilan berlangsung. Padahal rayuan dalam tekanan politik dan sorotan media sosial terus bergulir, terutama di platform X. Arus opini publik terus mengalir mempengaruhi Istana agar masuk ke ruang yudikatif.

    Namun sekali lagi, Presiden Prabowo tidak tertarik untuk mencampuri urusan tersebut. Sikap ini selaras dengan pandangan Dr. Larry Diamond dari Stanford University yang menegaskan bahwa “demokrasi tergantung pada kepercayaan terhadap proses hukum yang adil.”

    Dengan menjaga independensi yudikatif, Prabowo telah mempertahankan kredibilitas institusi hukum, baik di mata rakyat maupun dunia internasional.

    Sebagai hak konstitusional presiden, pemberian amnesti dan abolisi adalah sah. Jika melihat kondisi ekonomi dan politik global saat ini, langkah tersebut akan menjaga ekuilibrium antara kekuatan politik Islam dan nasionalis, serta menjadi modal Prabowo untuk tampil sebagai pemimpin kuat di mata dunia. Yang tidak kalah penting, ini juga akan menjadi modal bagi kita untuk bisa melawan kekuatan ekonomi dunia.

    Namun di sisi lain, pemberian amnesti dan abolisi pasca-proses hukum selesai memunculkan dilema baru. Apakah ini benar-benar mencerminkan keseimbangan antara hukum dan rekonsiliasi, atau justru membuka celah bagi persepsi bahwa hukum dapat “diakali” demi kepentingan politik?

    Kritik dari pegiat antikorupsi, yang khawatir keputusan ini melemahkan penegakan hukum, tidak bisa diabaikan. Dalam konteks global, hal ini berpotensi menurunkan kepercayaan investor atau peringkat Indonesia dalam Corruption Perceptions Index dari Transparency International.

    Media sosial dalam demokrasi

    Dinamika opini publik di media sosial menjadi katalis penting dalam keputusan ini. Narasi tentang “rekayasa hukum” dan “kriminalisasi politik” membanjiri X, menciptakan tekanan publik yang sulit diabaikan.

    Media sosial kini bukan sekadar alat komunikasi, melainkan arena kekuasaan yang mampu mengguncang dan mempengaruhi stabilitas politik, sebagaimana terlihat pada gerakan #BlackLivesMatter atau Arab Spring.

    Media sosial adalah “pedang bermata dua.” Di satu sisi, ia memperkuat demokrasi partisipatif dengan memberi ruang bagi suara rakyat. Di sisi lain, ia rentan terhadap disinformasi dan manipulasi emosional yang dapat membelokkan prinsip hukum.

    Dalam kasus ini, gelombang narasi di X mendorong perhatian pada Hasto dan Lembong, tetapi juga menggarisbawahi urgensi literasi digital. Tanpa kemampuan kritis dalam menilai informasi, publik berisiko terjebak dalam polarisasi yang dapat merusak demokrasi.

    Legitimasi dan panggung global

    Dukungan penuh DPR terhadap keputusan Prabowo menunjukkan bahwa amnesti dan abolisi bukan keputusan sepihak, melainkan bagian dari konsolidasi politik yang sah. Prof. Anne-Marie Slaughter menyebut sinergi eksekutif-legislatif sebagai tanda “demokrasi yang matang.”

    Dukungan ini memperkuat legitimasi politik Prabowo dan menegaskan kepercayaan publik pada institusi negara.

    Di kancah internasional, keputusan ini memiliki bobot strategis. Menjelang pidato perdana Prabowo di Sidang Umum PBB tahun ini, amnesti dan abolisi ini menjadi sinyal bahwa Indonesia terbuka terhadap perbedaan politik dan menghormati HAM.

    Pembebasan tokoh-tokoh yang dituduh “makar tanpa kekerasan” atau “menghina presiden” menjawab kritik global soal kriminalisasi politik, meningkatkan citra Indonesia sebagai negara demokrasi yang inklusif di mata PBB, Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), dan negara-negara Barat.

    Khususnya, abolisi untuk Tom Lembong, figur yang dikenal di kalangan investor global, mengirim pesan bahwa Indonesia tetap ramah terhadap investasi asing. Ini dapat memperlancar negosiasi perdagangan seperti Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) dengan Uni Eropa atau Indo-Pacific Economic Framework for Prosperity (IPEF).

    Demokrasi digital

    Keputusan pemberian amnesti dan abolisi menawarkan tiga pelajaran penting bagi demokrasi Indonesia. Pertama, media sosial adalah alat demokrasi yang ampuh, tetapi tanpa literasi digital, ia dapat menjadi ancaman bagi keadilan hukum.

    Kedua, independensi yudikatif adalah fondasi negara hukum yang harus dijaga, meski di tengah tekanan politik.

    Ketiga, kepemimpinan sejati adalah kemampuan menyeimbangkan hukum, politik, dan kemanusiaan tanpa mengorbankan prinsip. Prabowo menunjukkan bahwa menjadi pemimpin bukan hanya soal ketegasan, tetapi juga kepekaan sosial dan kebijaksanaan.

    Amnesti dan abolisi ini bukan sekadar pengampunan, melainkan pengakuan bahwa persatuan nasional adalah aset terbesar bangsa. Dalam konteks global, stabilitas politik yang dihasilkan memungkinkan Indonesia fokus pada agenda diplomatik, seperti kepemimpinan ASEAN atau negosiasi perdagangan.

    Namun, tantangan ke depan tidak ringan. Prabowo harus memastikan bahwa langkah ini tidak dipandang sebagai “politik transaksional” yang mengorbankan hukum demi stabilitas. Komunikasi publik yang transparan dan komitmen nyata terhadap penegakan hukum di masa depan akan menentukan apakah keputusan ini benar-benar menjadi tonggak pendidikan politik, atau sekadar episode sementara dalam dinamika kekuasaan.

    Jika demokrasi adalah ruang belajar bersama, maka keputusan Prabowo adalah teks terbuka yang mengundang refleksi kritis. Ini adalah momen untuk merenungkan bagaimana kita, sebagai bangsa, menyeimbangkan hukum, politik, dan kemanusiaan di era digital yang penuh gejolak.

    Dengan literasi digital yang lebih baik, independensi yudikatif yang terjaga, dan kepemimpinan yang bijak, Indonesia memiliki peluang untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga bersinar sebagai demokrasi yang matang di panggung dunia.

    Sumber : Antara

  • Sri Mulyani sambut pejabat AS, bahas kemudahan iklim investasi RI

    Sri Mulyani sambut pejabat AS, bahas kemudahan iklim investasi RI

    Kami membahas mengenai kemitraan AS dan Indonesia di bidang ekonomi. Saya menjelaskan mengenai upaya Indonesia saat ini untuk menciptakan kemudahan berbisnis di Indonesia.

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Keuangan (Menkeu) RI Sri Mulyani Indrawati menunjukkan kemudahan iklim investasi di Indonesia saat menerima kunjungan Kuasa Usaha Ad Interim Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) atau US Charge d’Affaires ad interim Peter M Haymond.

    “Kami membahas mengenai kemitraan AS dan Indonesia di bidang ekonomi. Saya menjelaskan mengenai upaya Indonesia saat ini untuk menciptakan kemudahan berbisnis di Indonesia. Salah satunya, melalui deregulasi,” kata Sri Mulyani dalam Instagram @smindrawati, dikutip di Jakarta, Sabtu.

    Dia menjelaskan Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan untuk berfokus pada upaya menyederhanakan aturan dan memperbaiki iklim investasi di Indonesia melalui peningkatan efisiensi birokrasi.

    Langkah itu diharapkan dapat menarik lebih banyak investasi global dan meningkatkan daya saing usaha Indonesia di pasar internasional.

    Menurut Sri Mulyani, Peter sepakat untuk memperkuat sinergi dan terbuka untuk menjalin kerja sama baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan kedua negara, terutama dalam sektor ekonomi dan pembangunan.

    “Saya dan Ambassador Peter berharap kolaborasi ini akan terus berkembang demi kemajuan bersama dan berkomitmen untuk terus merawat hubungan baik antara AS dan Indonesia yang sudah terjalin lama,” katanya lagi.

    Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga menerima kunjungan Kuasa Usaha Ad Interim Kedutaan Besar AS Ambassador Peter M Haymond, di Kantor Kemenko Perekonomian.

    Airlangga meminta dukungan AS dalam proses aksesi Indonesia menjadi anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).

    “Proses aksesi OECD ditargetkan akan selesai dalam tiga tahun. Dukungan negara-negara anggota OECD seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa sangat diperlukan untuk percepatan penyelesaian proses aksesi,” ujar Airlangga.

    Pertemuan tersebut juga menjadi ajang perkenalan diplomat AS yang baru sekaligus membahas penguatan kerja sama ekonomi bilateral antarkedua negara.

    Merespons hal tersebut, Ambassador Peter menyatakan komitmen AS untuk mendukung penuh upaya Indonesia dalam bergabung dengan OECD. Menurutnya, proses aksesi tersebut merupakan peluang strategis bagi Indonesia untuk mempercepat reformasi struktural dalam negeri.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Menyongsong Era Pengawasan Sektor Keuangan Berbasis AI

    Menyongsong Era Pengawasan Sektor Keuangan Berbasis AI

    Bisnis.com, JAKARTA – Digitalisasi sangat marak pada saat ini. Digitalisasi sudah menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia dan mengubah lanskap kehidupan secara fundamental, termasuk dalam bidang tata kelola (governance).

    Perubahan konsep atau cara kerja patut dilakukan, karena harus menyesuaikan dengan karakteristik model bisnis yang dihadapi. Model bisnis yang kental dengan digitalisasi menuntut cara kerja dan tata kelola yang berbeda.

    Hal ini terkait dengan perbedaan fitur dan profil risiko antara organisasi tradisional dengan organisasi berbasis teknologi informasi.

    Industri jasa keuangan menjadi satu sektor yang adaptif dengan kehadiran teknologi informasi. Riset Fortune Business Insights pada 2023 yang dikutip oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menggambarkan pemanfaatan teknologi di industri jasa keuangan, khususnya perbankan di luar prediksi berbagai pihak.

    Adaptasi teknologi di industri jasa keuangan, khususnya perbankan tumbuh unggul bersama sektor teknologi informasi, telekomunikasi, dan otomotif. Padahal, kita ketahui bersama bahwa secara historis, industri perbankan dikenal sebagai industri konservatif yang lebih mengutamakan keamanan, regulasi ketat, dan stabilitas.

    OJK pun menyadari adaptasi teknologi dan pemanfaatan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) di industri jasa keuangan tak bisa dihindari. Berkembangnya aktivitas keuangan berbasis digital dan pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan di lingkup industri jasa keuangan seperti perbankan, keberadaannya perlu diatur untuk tetap memberi perlindungan dan kenyamanan bagi nasabah.

    Pada April 2025, misalnya, OJK menerbitkan pedoman Tata Kelola Kecerdasan Artifisial Perbankan Indonesia.

    Hadirnya pedoman itu sebagai panduan bagi perbankan di Indonesia untuk memastikan teknologi kecerdasan buatan dikembangkan dan diterapkan secara bertanggung jawab karena pengembangan dan penerapannya di sektor perbankan berpotensi mentransformasi industri perbankan dengan mendorong inovasi, memberdayakan pengambilan keputusan yang lebih cerdas serta menciptakan pengalaman yang lebih personal dan menarik bagi nasabah.

    OJK mengimbau agar penerapan kecerdasan artifisial mampu memberikan manfaat dengan pengelolaan risiko yang terkendali, sehingga mampu melindungi nasabah termasuk menjaga stabilitas sistem perbankan serta stabilitas sistem keuangan secara luas.

    Hal ini tentu sejalan dengan Upaya regulator dalam menerapkan Regulatory Technology (Regtech) dan Supervisory Technology (Suptech) adalah konsep baru yang diperkenalkan ketika ada suntikan teknologi baru ke dalam system tata kelola lama.

    Alat analisis yang mampu menangani big data, sematan kecerdasan artifisial (Artificial Intelligence), penggunaan self-audit melalui penetapan konsesus pada blockchain, adalah beberapa contoh dari tata Kelola digital gaya baru yang harus dikenali oleh pelaku bisnis saat ini.

    Tentu banyak manfaat dan risiko baru yang timbul akibat penerapan RegTech dan SupTech. Dengan mengenali manfaat dan risiko secara tepat, maka dimungkinkan kita sebagai pengguna akan memperoleh benefit optimal yang akan mengubah cara kerja kita dan cara pandang kita terhadap tata Kelola digital sebuah perusahaan atau organisasi.

    Teori Manajemen sebagai Landasan Tata Kelola

    Revolusi industri menandakan awalnya perkembangan ilmu manajemen dalam kehidupan manusia. Dalam Masyarakat Pra-industrialis sebelum abad ke-18, manusia hanya hidup dari hasil pertanian/agraris dengan tidak mengembangkan produk lanjutan.

    Hasil pertanian diolah secara sederhana kemudian langsung dikonsumsi oleh manusia. Proses produksi sederhana yang dilakukan misalnya dalam bentuk kerajinan tangan, industri skala kecil dan sebagainya.

    Ketika timbul kesadaran bahwa di dalam proses produksi sederhana ini masih banyak inefisiensi, maka manusia berfikir untuk memadukan antara mekanisasi dengan produksi. Penggunaan mesin pada produksi masal, mengurangi biaya produksi secara signifikan.

    Perencanaan produk, desain lini produksi, tata letak pabrik menandakan timbulnya konsep manajemen modern. Beberapa tokoh mulai dari Adam Smith (teori spesialisasi produksi), FW Taylor (teori manajemen ilmiah – time and motion study), Henry Gantt (penemu Gantt Chart) dan masih banyak lagi, memberikan kontribusi sangat besar pada implementasi konsep manajemen modern yang lebih ilmiah.

    Penerapan konsep manajemen tradisional ini memang memberikan dampak yang sangat positif pada kehidupan dan kesejahteraan manusia saat itu. Perlunya penyempurnaan konsep dirasa penting, karena konsep manajemen yang ada sangat fokus pada teknis proses produksi dan cenderung mengedepankan mekanisasi.

    Aspek manusia mulai dipandang penting dengan diperkenalkannya beberapa teori misalnya Manajemen Partisipatif (oleh Mary Parker Follett), teori X dan Y (oleh Douglas Mc. Gregor), efek Hawthorne (oleh Elton Mayo) dan lain sebagainya.

    Tahapan inilah yang memulai era manajemen modern menuju organisasi yang inklusif dan agile, dimana aspek psikologis dan sosial pekerja menjadi pertimbangan penting dalam organisasi.

    Migrasi Menuju Konsep Governance

    Penyempurnaan selalu dirasakan perlu ketika ada permasalahan besar atau bahkan setelah krisis timbul. Ilmu manajemen juga perlu diperdalam lingkupnya ketika masuk unsur yang lebih holistik yaitu akuntabilitas dewan direksi, transparansi keuangan, perlindungan pemegang saham, struktur kepemilikan yang berimbang dan sebagainya.

    Salah satu kasus yang menjadi pemicu perlunya pendalaman terhadap kualitas tata kelola adalah adanya krisis perbankan yang terbesar sepanjang sejarah dimana terjadi kerugian sebesar US$20 miliar pada sebuah bank bernama Bank of Credit and Commerce International (BCCI).

    Penyebab utama terjadinya krisis ini adalah adanya skandal pencucian uang, terjadinya window dressing di pembukuan bank, pemberian suap kepada para pejabat pemerintahan dan politisi, adanya pemberian kredit secara ilegal serta terjadinya manipulasi pasar.

    Sejak saat itu, timbul kesadaran pentingnya kualitas tata kelola di organisasi. Banyak lembaga yang mengeluarkan standar kualitas tata kelola misalnya OECD merilis Principles of Corporate Governance pada tahun 1999, beberapa negara juga mengeluarkan aturan mengenai penerapan Good Corporate Governance (GCG) seperti The Sarbanes-Oxley Act yang dikeluarkan oleh Parlemen Amerika pada tahun 2002, hal ini juga kemudian diikuti oleh pemerintah/regulator di seluruh dunia.

    Prinsip utama dalam GCG adalah TARIF yaitu Transparency, Accountability, Responsibility, Integrity dan Fairness.

    Keterbukaan diharapkan terjadi pada tahap pengambilan keputusan dan pemberian akses terhadap informasi yang relevan. Para pemangku kebijakan perlu mempertanggungjawabkan keputusan yang diambil serta memiliki akuntabilitas yang jelas.

    Selain itu, faktor integritas juga sangat penting dan perlu perlakuan yang adil bagi semua pemangku kepentingan.

    Sejak adanya revolusi industri 4.0 dan 5.0, maka terjadi pergeseran arah dan standar tata kelola.

    Digitalisasi mengubah dua hal yaitu diperkenalkannya alat bantu pengambilan keputusan berbasis digital dan perlu penyesuaian akibat adanya model bisnis berbasis digital. Sebagai alat bantu, maka akan relevan pada semua prinsip GCG yang ada. Telah banyak aplikasi di pasaran sebagai alat bantu GCG agar dapat diterapkan secara efektif.

    Sedangkan bisnis model berbasis digital memiliki corak bisnis yang berbeda. Bisnis digital ini terkait dengan pemilikan data yang sangat banyak (big data), penggunaan piranti komputer secara ekstensif, serta jangkauan ke wilayah yang luas.

    Perusahaan startup juga kebanyakan memiliki skala kecil dengan investasi yang terbatas. Namun, hal yang menonjol adalah bahwa bisnis start-up ini menggunakan sarana digital, sehingga memungkinkan untuk dilakukan otomasi.

    Model bisnis yang ada di pasar juga berbentuk berbagi layanan (as a service) yang memungkinkan pemberian layanan dengan harga murah dan sesuai untuk produksi/ layanan yang bersifat masal (contohnya aplikasi HaloDoc yang melayani konsultasi kesehatan bagi masyarakat umum).

    Terobosan teknologi ini sangat membantu pelaksanaan GCG di sebuah organisasi. Manfaat yang sangat dirasakan adalah peningkatan kualitas pengambilan keputusan yang lebih akurat dan sangat bisa diterapkan pada semua skala dan tingkatan organisasi.

    Tentu saja untuk mendapatkan manfaat ini diperlukan adanya investasi yang cukup besar. Investasi yang diperlukan selain pembuatan pangkalan data (data lake) sekaligus alat analisis data tersebut. Namun dengan adanya layanan as a service, maka bisa menekan capital expenditure melalui sistem langganan (subscription), contohnya penggunaan cloud database untuk menekan biaya pembelian server.

  • Bos Danantara soal Rombak Aturan Tantiem Buat Direksi dan Komisaris: Pembenahan Menyeluruh

    Bos Danantara soal Rombak Aturan Tantiem Buat Direksi dan Komisaris: Pembenahan Menyeluruh

    JAKARTA – Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) merombak aturan pemberian tantiem dan insentif bagi dewan direksi dan komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

    Chief Executive Officer (CEO) Danantara, Rosan Perkasa Roeslani mengatakan, langkah ini diambil sebagai bagian dari agenda besar BPI Danantara untuk membangun sistem pengelolaan BUMN yang lebih akuntabel, efisien, dan berorientasi pada kepentingan publik.

    “Penataan ini merupakan pembenahan menyeluruh terhadap cara negara memberi insentif. Dengan kebijakan ini, kami ingin memastikan bahwa setiap penghargaan, terutama di jajaran dewan komisaris sejalan dengan kontribusi dan dampak nyatanya terhadap tata kelola BUMN terkait,” kata Rosan dalam keterangan resmi, Jumat, 1 Agustus.

    Lebih lanjut, Rosan menegaskan kebijakan ini bukan bentuk pemangkasan honorarium, melainkan penyelarasan struktur remunerasi agar sesuai dengan praktik tata kelola perusahan terbaik global (good corporate governance).

    “Komisaris akan masih menerima pendapatan bulanan tetap yang layak sesuai dengan tanggung jawab dan kontribusinya,” katanya.

    Rosan juga bilang pihaknya ingin menunjukkan bahwa efisiensi bukan berarti mengurangi kualitas, dan reformasi bukan berarti instan.

    “Tapi jika negara ingin dipercaya mengelola investasi, maka kita harus mulai dari dalam, dari cara kita menghargai kontribusi,“ ujarnya.

    Rosan menjelaskan struktur baru ini mengadopsi praktik terbaik global yang menetapkan sistem pendapatan tetap dan tidak mengenal kompensasi variabel berbasis laba untuk posisi komisaris.

    Menurut Rosan, prinsip serupa juga tercantum dalam OECD Guidelines on Corporate Governance of State-Owned Enterprises, yang menekankan pentingnya pendapatan tetap untuk menjaga independensi pengawasan.

    Kebijakan ini, sambung dia, bagian dari agenda reformasi struktural BPI Danantara yang lebih besar dalam membangun tata kelola investasi dan BUMN berbasis transparansi, efisiensi, dan akuntabilitas publik.

    “Penyesuaian tantiem juga dirancang sebagai fondasi untuk meninjau ulang keseluruhan sistem remunerasi di BUMN,” katanya.

    Sebelumnya, Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) melarang dewan komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan anak usahanya mendapat tantiem dari kinerja perusahaan.

    Selain itu, juga tidak diperkenankan untuk mendapat insentif.

    Instruksi itu tertuang di dalam surat resmi bernomor S-063/DI-BP/VII/2025 tentang Pemberian Tantiem, Insentif, dan/atau Penghasilan dalam Bentuk Lainnya kepada Direksi dan Dewan Komisaris BUMN dan Anak Usaha BUMN.

    Surat tersebut ditandatangani oleh Chief Executive Officer (CEO) Danantara Indonesia Rosan Roeslani tertanggal 30 Juli 2025.

    “Anggota dewan komisaris BUMN dan anak usaha BUMN tidak diperkenankan mendapatkan tantiem, insentif baik dalam bentuk insentif kinerja, insentif khusus, dan/atau insentif jangka panjang dan/atau penghasilan dalam bentuk lainnya yang dikaitkan dengan kinerja Perusahaan,” bunyi surat yang VOI terima, Jumat, 1 Agustus.

    Selain mengatur pemberian tantiem dan insentif dewan komisaris, Danantara juga memberikan aturan terbaru untuk dewan direksi BUMN.

    Berdasarkan surat tersebut, anggota direksi BUMN dan anak usahanya masih bisa menerima tantiem dan insentif dari kinerja perusahaan.

    Namun, pemberian tantiem, dan insentif baik dalam bentuk insentif kinerja, insentif khusus, dan atau insentif jangka panjang harus didasarkan pada laporan keuangan yang sebenar-benarnya dari hasil operasi perusahaan dan merefleksikan kegiatan usaha yang berkelanjutan.

    Insentif ini tidak boleh dihitung dari aktivitas non-operasional. Seperti keuntungan revaluasi aset, penjualan aset, atau transaksi satu kali lain yang tidak berulang.

  • Pemanfaatan AI di perpustakaan tak semata percepat layanan

    Pemanfaatan AI di perpustakaan tak semata percepat layanan

    Jakarta (ANTARA) – Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengemukakan pemanfaatan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) di perpustakaan tak semata untuk mempercepat layanan, tetapi juga memperkuat fungsi perpustakaan sebagai pusat inovasi dan informasi.

    “Kami percaya AI ini tidak hanya mempercepat layanan ataupun akses buku, tetapi juga memperkuat fungsi perpustakaan sebagai pusat inovasi, pusat informasi dan pusat pembelajaran sepanjang hayat,” kata Kepala Bidang Pembinaan Perpustakaan dan Pembudayaan Kegemaran Membaca Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) DKI Jakarta, Suryanto di Jakarta, Kamis.

    Pemanfaatan AI, kata dia, dalam seminar bertema “Perguruan Tinggi dan Kecerdasan Artifisial” menjadi bagian dari upaya transformasi digital dalam pembangunan Jakarta yang menuju kota global.

    Hal itu lantaran pemanfaatan AI tidak sekadar tentang teknologi dan alat tetapi juga relevansi berkelanjutan serta berkeadilan untuk mendapatkan akses terhadap pengetahuan.

    Dia mengatakan, saat ini perpustakaan menghadapi era perubahan yang besar. Perkembangan teknologi informasi, kecerdasan artifisial (AI) telah menjadi satu kekuatan utama yang mendorong berbagai sektor untuk bertransformasi, termasuk pengelolaan perpustakaan.

    “Kita harus mampu mengadopsi kebutuhan perpustakaan yang kita kelola. Ini menjadi niscaya bahwa kita harus mengetahui dan harus melakukan teknis-teknis yang strategis di mana perpustakaan kita mengadopsi AI,” kata Suryanto.

    Adapun pemanfaatan AI di perpustakaan antara lain melalui sistem pencarian informasi berbasis natural language processing (NLP) yang memungkinkan komputer memahami dan berkomunikasi dengan bahasa manusia, serta rekomendasi koleksi otomatis berdasarkan perilaku pengguna.

    Di Perpustakaan Jakarta, pemanfaatan AI diwujudkan dalam layanan imersif, yakni menghadirkan perpaduan antara teknologi, arsip digital, dan ruang eksplorasi kreatif yang memungkinkan pengunjung menikmati literasi dengan kemasan yang lebih modern dan menarik.

    Selain itu, juga dalam aplikasi maupun webiste Jaklitera, yang kini lebih ramah pengguna.

    “Tujuan kami memudahkan akses terhadap buku di perpustakaan yang kami kelola,” kata Suryanto.

    Dia merujuk data dari Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) tahun 2021 yang menyebutkan sekitar 65 persen pekerjaan baru di bidang akademik dan riset akan berkaitan dengan teknologi digital dan AI.

    Oleh karena itu, dia menekankan peran perpustakaan tidak lagi sekadar sebagai penyedia buku, penyedia koleksi, tetapi juga harus menjadi mitra aktif dalam literasi digital, manajemen data penelitian serta pengembangan keterampilan AI.

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.