Organisasi: OECD

  • Negara Maju Kian Batasi Pekerja Asing Meski Fatal Bagi Ekonomi

    Negara Maju Kian Batasi Pekerja Asing Meski Fatal Bagi Ekonomi

    Washington DC

    Negara-negara dengan mesin ekonomi terbesar di dunia membutuhkan pekerja asing, terlepas dari sentimen anti-migrasi semakin meningkat, terutama di Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Namun, sebuah laporan yang dirilis bulan lalu menunjukkan bahwa migrasi tenaga kerja secara global menurun, bahkan saat perekonomian dengan masyarakat yang menua menghadapi kekurangan tenaga kerja yang semakin pelik.

    Penurunan ini dimulai jauh sebelum terpilihnya kembali Donald Trump, yang berkampanye tahun lalu dengan janji untuk memangkas imigrasi secara drastis.

    Menurut Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), yang melacak kebijakan ekonomi dan sosial global, migrasi terkait pekerjaan ke 38 negara anggotanya turun lebih dari seperlima tahun lalu (21%).

    Laporan International Migration Outlook 2025 dari OECD menemukan bahwa penurunan ini lebih disebabkan oleh meningkatnya oposisi politik terhadap imigrasi dan pembatasan visa yang lebih ketat di negara maju lain, daripada berkurangnya permintaan. Migrasi kerja sementara justru terus meningkat.

    Penurunan dipicu oleh dua negara

    “Kebanyakan penurunan … dalam migrasi tenaga kerja permanen disebabkan oleh perubahan kebijakan di Inggris dan Selandia Baru,” kata Ana Damas de Matos, analis kebijakan senior di OECD, kepada DW. “Di kedua kasus tersebut, migrasi tenaga kerja permanen tetap di atas tingkat 2019.”

    Di Selandia Baru, penurunan terkait dengan berakhirnya jalur residensi pasca-pandemi yang bersifat satu kali, yang memungkinkan lebih dari 200.000 migran sementara dan tanggungan mereka menetap secara permanen. Skema residensi terbesar negara itu ditutup pada Juli 2022.

    Setelah Brexit, Inggris mereformasi jalur visa Pekerja Kesehatan dan Perawatan, memperketat kelayakan pemberi kerja dan melarang tanggungan, yang mengakibatkan penurunan tajam dalam permohonan visa. OECD menyoroti sektor kesehatan sebagai area di mana pembatasan ini berisiko memperdalam kekurangan tenaga kerja.

    “Jalur dari mahasiswa ke pekerjaan kini dibatasi,” kata Sharma kepada DW. “Ketika itu terjadi, permohonan akan melambat, karena orang India, misalnya, tidak akan mengeluarkan banyak uang untuk pendidikan di luar negeri jika tidak ada kepastian hasil investasi.”

    Laporan OECD menunjukkan bahwa India merupakan negara asal terbesar bagi pekerja migran yang menetap di negara anggota OECD dengan 600.000 orang tahun lalu, diikuti oleh China dan Rumania.

    Pembatasan visa AS bagi pekerja terampil mengancam sektor teknologi

    Di AS, batas ketat pada visa H-1B, program utama yang memungkinkan profesional asing di bidang teknologi, teknik, dan kedokteran bekerja di negara itu, diperkenalkan di bawah pemerintahan Biden. Trump sejak itu telah meningkatkan biaya visa bagi pemberi kerja menjadi $100.000 (sekitar Rp 1,67 miliar), naik dari $2.000–$5.000. Agenda besarnya lebih menekankan pada pembatasan jalur permanen.

    Sementara itu, Australia menaikkan ambang gaji untuk visa terampil, sedangkan Kanada menyesuaikan jalur untuk pekerja sementara, yang juga berkontribusi pada penurunan migrasi terkait pekerjaan secara luas. Negara-negara Nordik juga mencatat penurunan besar, dengan Finlandia mencatat penurunan 36% dibandingkan tahun sebelumnya.

    Di Jerman, kebijakan imigrasi yang lebih ketat dari mantan Kanselir Olaf Scholz menyebabkan penurunan 12% dalam masuknya migran permanen tahun lalu, ketika 586.000 pekerja asing masuk ke negara itu. Jumlah orang yang datang dengan visa kerja turun 32% dibandingkan tahun sebelumnya. Reformasi ini diperluas oleh pemerintah penerusnya, Friedrich Merz.

    Herbert Brücker, profesor ekonomi di Universitas Humboldt Berlin, berpikir bahwa penurunan ini akan menimbulkan masalah bagi ekonomi Jerman.

    “Selama bertahun-tahun, Jerman mendapat rata-rata migrasi 550.000 orang per tahun,” kata Brücker kepada DW. “Kita membutuhkan migrasi untuk menggantikan pekerja yang pensiun. Tanpa itu, kita tidak dapat menjaga pasokan tenaga kerja tetap stabil.”

    Permintaan migran yang tinggi di Eropa

    Di seluruh Uni Eropa, sekitar dua pertiga pekerjaan yang tercipta antara 2019 dan 2023 diisi oleh warga non-UE, menurut Dana Moneter Internasional (IMF), menekankan betapa Eropa sudah bergantung pada tenaga kerja migran.

    Secara global, ada 167,7 juta pekerja migran pada 2022, menurut perkiraan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). Ini merupakan 4,7% dari total tenaga kerja global. Lebih dari dua pertiga dari mereka (114,7 juta) tinggal di negara berpenghasilan tinggi.

    Meskipun terjadi penurunan tahun lalu, migrasi terkait pekerjaan global tetap di atas tingkat pra-pandemi. Namun laporan OECD mengungkapkan bahwa aliran migrasi tersebut dapat secara tiba-tiba dibatasi oleh resistensi politik, dipicu oleh ketakutan terhadap migrasi ilegal, bukan oleh permintaan ekonomi yang tetap tinggi.

    Agenda masa jabatan kedua Trump memperkuat dinamika ini, dengan perintah eksekutif yang dikeluarkan sejak ia kembali menjabat pada Januari untuk membatasi baik imigrasi legal maupun ilegal. Pemerintahan Trump berargumen bahwa langkah ini diperlukan untuk melindungi pekerja AS dan memastikan sistem berbasis keterampilan.

    Visa sementara dibanding jalur permanen

    Migrasi tenaga kerja sementara atau musiman tetap stabil tahun lalu meski masuknya pekerja permanen menurun, menurut laporan OECD, mencerminkan preferensi pemerintah terhadap skema jangka pendek yang dapat diperluas atau dikurangi sesuka hati.

    “Keinginannya adalah: ‘Mari kita datangkan orang saat kita mau dan tutup pintu saat kita tidak mau. Tapi jangan biarkan ‘orang berbeda’ tinggal permanen di negeri kita’,” keluh Sharma.

    Program pekerja musiman dan sementara tetap diminati di Australia, Eropa, dan Amerika Utara, di mana pemberi kerja di sektor pertanian, perawatan, dan konstruksi telah mengisi kekosongan tenaga kerja. OECD mencatat bahwa program migrasi sementara juga semakin digunakan untuk pekerja teknologi dan terampil tinggi lainnya.

    Birokrasi membuat migran tetap bekerja di pekerjaan rendah

    Selain menarik lebih banyak migran kerja, OECD mendorong negara maju untuk fokus pada integrasi mereka ke dalam pasar tenaga kerja. Organisasi ini menyebut pelatihan bahasa dan akses ke layanan sosial sebagai syarat penting, bersama dengan pengakuan keterampilan dan kualifikasi, agar pekerja asing dapat berkontribusi sepenuhnya di negara tuan rumah mereka. Seringkali, mereka bekerja di pekerjaan yang jauh lebih rendah dari kualifikasi mereka.

    Brücker, yang juga kepala penelitian migrasi di Institute for Employment Research (IAB) Jerman, mencatat bahwa reformasi yang dimaksudkan untuk membuat ekonomi terbesar Eropa lebih menarik tidak berhasil karena proses persetujuan yang lambat dan birokratis.

    “Pengakuan gelar dan pelatihan vokasi memakan waktu bertahun-tahun dan itu menyulitkan pekerja terampil datang,” katanya kepada DW. Akibatnya, saat ini kita kekurangan sekitar tiga juta pekerja.

    Para pembuat kebijakan juga didorong untuk menciptakan jalur yang lebih jelas yang memungkinkan pekerja migran sementara beralih ke status permanen, sehingga keterampilan mereka dapat dimanfaatkan sepenuhnya dan mengurangi kekurangan tenaga kerja.

    Meskipun Trump sering berbicara positif tentang perlunya migrasi berbasis keterampilan, tahun pertamanya kembali di Gedung Putih ditandai oleh upaya untuk membongkar jalur tersebut, memperkuat kesenjangan antara kebutuhan ekonomi dan kehendak politik.

    Sharma mencatat bahwa retorika sering marah dari Trump dan politisi sayap kanan lainnya mengenai imigrasi mengirimkan “gelombang kejut” secara internasional, membentuk persepsi di India dan negara lain.

    “Pesan yang sampai adalah bahwa ini negara yang tidak ramah, di mana sulit mendapatkan pekerjaan … narasi itu sangat berperan dalam pergerakan migrasi,” kata Sharma kepada DW, menambahkan bahwa jika AS terus membatasi imigrasi terkait pekerjaan, hal itu bisa menyebabkan lebih banyak aliran migran ilegal.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
    Diadaptasi oleh Rahka Susanto
    Editor: Rizki Nugraha

    (nvc/nvc)

  • Pendidikan & Riset Jadi Fondasi Ekonomi

    Pendidikan & Riset Jadi Fondasi Ekonomi

    Bisnis.com, JAKARTA — Pendidikan tinggi dan riset merupakan fondasi utama pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.

    Peningkatan signifikan kualitas sumber daya manusia, riset, dan inovasi menjadi kunci mewujudkan Indonesia Emas 2045. Isu ini mengemuka di tengah tantangan brain drain, yakni keluarnya talenta terbaik Indonesia ke luar negeri yang berisiko mengurangi daya saing inovasi nasional.

    Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Stella Christie, menyatakan bahwa pendidikan tinggi dan riset merupakan fondasi utama pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

    “Tanpa investasi pada ide dan inovasi, pertumbuhan ekonomi akan berhenti pada kondisi steady state,” ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (19/12/2025).

    Stella menyampaikan hal itu dalam acara Human Development Synergy Forum: Kemitraan Multi-Pihak untuk Memperkuat Kebijakan Ekosistem Pendidikan dan Riset Nasional.

    Acara tersebut digelar Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan bersama dengan Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) Indonesia dan Yayasan Bicara Data Indonesia di Jakarta, Kamis (18/12/2025).

    Secara keseluruhan, isu utama dalam forum ini adalah mendorong pergeseran paradigma menuju brain gain dengan menarik talenta untuk kembali dan berkontribusi, serta brain circulation melalui pembangunan jejaring kolaborasi riset dan transfer pengetahuan dengan diaspora. Perubahan ini selaras dengan visi Presiden Prabowo tentang penguatan SDM, sains, dan pendidikan.

    Lebih lanjut, Stella mengatakan, mengacu pada teori pertumbuhan ekonomi Paul Romer, investasi pada sumber daya manusia, pengetahuan, dan inovasi memberikan efek yang signifikan terhadap perekonomian.

    Menurutnya, kenaikan investasi riset sebesar 10% dapat meningkatkan PDB sekitar 0,2% dalam jangka pendek dan hingga 0,9% dalam jangka panjang.

    Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, anggaran untuk riset pada 2025 mencapai Rp3,2 triliun atau meningkat 218% ketimbang Rp1,47 triliun tahun sebelumnya. Peningkatan terbesar ini karena Mendiktisaintek mendapatkan dana riset dari LPDP yang bisa disalurkan langsung kepada universitas.

    Stella menyampaikan bahwa pemerintah memiliki gagasan untuk membangun research university yang kuat dengan kualitas riset yang mumpuni, dan tidak hanya jumlah publikasi.

    Dia mencontohkan dampak ekonomi universitas riset global, seperti Stanford University, yang menghasilkan manfaat ekonomi tahunan sekitar US$2,7 triliun dan menciptakan jutaan lapangan kerja.

    “Ini bukan opini, melainkan fakta ekonomi,” katanya.

    Dia menggarisbawahi pula pentingnya strategi spesialisasi riset untuk mengejar ketertinggalan. “Jangan investasi kecil-kecil di semua bidang. Kita harus pintar mengatur investasi riset untuk spesialisasi di mana Indonesia punya niche,” katanya.

    Misalnya rumput laut. Indonesia adalah penghasil rumput laut tropis terbesar di dunia dengan nilai pasar sebesar US$12 miliar. Namun, pemanfaatannya belum optimal karena saat ini Indonesia masih menjual bahan mentah.

    Bagi Stella, isu penting lainnya soal riset dan inovasi adalah dukungan industri. Berdasarkan paparannya, di Eropa, swasta berkontribusi 59% terhadap dana riset, Amerika Serikat 63%, sementara China, Korea Selatan, dan Jepang lebih dari 75%.

    “Kita harus meyakinkan swasta bahwa investasi terhadap riset di universitas akan menghasilkan profit tinggi karena industri berbasis teknologi dan ide saintifik memiliki profit margin tertinggi,” ujarnya.

    Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan Kemenko PMK, Ojat Darojat, menyebut akar persoalan daya saing inovasi Indonesia. Dia mengutip pandangan OECD yang menilai sistem pembelajaran Indonesia masih didominasi rote learning, yakni menghafal pengetahuan tanpa kemampuan menerapkan.

    Pola tersebut pada gilirannya menghasilkan inert knowledge yang merujuk kepada pengetahuan yang tidak terkonversi menjadi inovasi dan solusi nyata.

    “Kita masih memproduksi pengetahuan, belum mengaplikasikannya,” ujar Ojat seraya memberikan penekanan soal perlunya pergeseran menuju pembelajaran berbasis critical thinking serta sesuai dengan kebutuhan industri.

    Menurut data Global Innovation Index 2024 yang dirilis World Intellectual Property Organization (WIPO). Indonesia berada di peringkat 55 dari 139 negara, turun satu peringkat dari tahun sebelumnya.

    Posisi ini menempatkan Indonesia di urutan keenam di ASEAN, jauh tertinggal dari Singapura (peringkat 5), Malaysia (34), Vietnam (44), Thailand (45), dan Filipina (50).

    Peringkat input inovasi Indonesia berada di posisi 60, sementara output inovasi di peringkat 59. Hal tersebut menunjukkan kesenjangan antara kapasitas riset dan hasil yang berdampak ekonomi.

    Executive Director Yayasan Bicara Data Indonesia (YBDI), Yenny Bachtiar, menekankan bahwa tantangan brain drain tidak seharusnya dimaknai sebagai kehilangan semata, melainkan peluang untuk membangun brain gain melalui kemitraan yang terarah dan berkelanjutan.

    “Kebijakan pendidikan dan riset harus dibangun dari data yang akurat, terbuka, dan dapat dipertanggungjawabkan,” ujarnya.

    Yenny menegaskan peran data sebagai “alat navigasi” kebijakan agar riset tidak berhenti di publikasi, melainkan berujung pada solusi pembangunan.

    Dari perspektif global, Program Manager Friedrich-Ebert Stiftung (FES), Rina Julvianty, menilai investasi berkelanjutan pada pendidikan, riset, dan inovasi—yang ditopang kemitraan multipihak—merupakan fondasi daya saing bangsa.

    Adapun FES memposisikan diri sebagai jembatan antara riset dan kebijakan publik, menghubungkan praktik baik internasional dengan kebutuhan nasional.

    Forum ini secara khusus menghadirkan dua dialog kebijakan, yakni Sesi bertajuk Brain Drain: Membangun Kemitraan Global dalam Pendidikan dan Riset untuk Masa Depan Indonesia, serta Benchmarking Kemitraan Global Dalam Pendidikan dan Riset.

  • Kurs Dolar AS Hari Ini, Rupiah Loyo Selasa 16 Desember 2025

    Kurs Dolar AS Hari Ini, Rupiah Loyo Selasa 16 Desember 2025

    Sebelumnya, Pengamat Ekonomi, Mata Uang & Komoditas Ibrahim Assuaibi, memproyeksikan mata uang rupiah berada direntang Rp 16.660 hingga Rp 16.690, melemah pada penutupan perdagangan hari ini, Selasa 16 Desember 2025.

    “Untuk perdagangan (hari ini), mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah direntang Rp 16.660 – Rp16.690,” kata Ibrahim dalam keterangannya, Selasa (16/12/2025). Adapun pada Senin (15/12/2025) mata uang rupiah mengalami pelemahan di level Rp 16.667.

    Ibrahim memaparkan faktor pendorong pelemahan rupiah dari dalam negeri, yakni di tahun 2026 berpotensi menjadi salah satu tahun paling tidak terduga dalam beberapa dekade terakhir.

    Kompetisi antara negara besar berpotensi semakin tajam, aliansi global berpotensi bergeser, dan konflik yang sebelumnya bersifat regional berpotensi meluas.

    “Bahkan, berbagai lembaga dunia seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, Bank Sentral Eropa (ECB), dan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memprakirakan pertumbuhan ekonomi global bakal melambat, terfragmentasi, dan sedang mengalami transformasi besar,” ujarnya.

    Perlambatan ini disebabkan oleh perdagangan dunia yang melemah, rantai pasok yang direstrukturisasi demi keamanan bukan sekadar efisiensi, utang publik di banyak negara yang berada pada titik tertinggi, dan perkembangan teknologi yang lebih pesat ketimbang penerbitan regulasi baru.

    Selain itu, Valuasi aset di sejumlah negara berada di posisi rentan setelah naik terlalu cepat dalam beberapa tahun terakhir. Sistem perbankan juga belum benar-benar pulih akibat tekanan kredit bermasalah dan kerugian portofolio di tengah suku bunga tinggi.

     

  • Strategi KPPU Atur Algoritma & Pasar Digital

    Strategi KPPU Atur Algoritma & Pasar Digital

    Bisnis.com, JAKARTA – Transformasi ekonomi digital di Indonesia kini bukan lagi sekadar wacana, melainkan realitas yang mengubah fundamental pasar. Ketika algoritma menentukan harga dan otomatisasi menggeser peran manusia, tantangan bagi regulator persaingan usaha kian kompleks. Struktur pasar tradisional tergerus, menuntut aturan main baru yang lebih adil dan responsif.

    Merespons dinamika ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menegaskan urgensi perombakan kerangka kebijakan nasional. Ketua KPPU, M. Fanshurullah Asa, menyebutkan bahwa pendekatan konvensional sudah usang menghadapi laju teknologi.

    “Praktik dan tata kelola yang ada saat ini tidak lagi cukup untuk memenangkan persaingan global,” tegas Fanshurullah dalam pembukaan The Third Jakarta International Competition Forum (3JICF) 2025 di Menara Danareksa, Jakarta, Kamis (11/12/2025).

    Menurut Fanshurullah, terutama dengan keanggotaan di BRICS dan di tengah persiapan aksesi Indonesia ke OECD serta berbagai perjanjian ekonomi komprehensif, KPPU mendorong tiga pilar strategis agar pengawasan persaingan tetap relevan: reformasi hukum yang progresif, penyelarasan standar internasional, dan evolusi dalam penegakan hukum.

    Urgensi pembenahan regulasi ini diamini oleh Guru Besar Universitas Indonesia, Rhenald Kasali. Dalam pidato kuncinya, Rhenald menyoroti bagaimana teknologi telah menjadi “tangan tak terlihat” yang baru dalam persaingan usaha. Teknologi kini mendikte apa yang dilihat konsumen di layar gawai, bagaimana harga berfluktuasi secara real-time, hingga siapa pelaku usaha yang berhasil ditemukan di pasar digital.

    Untuk menghadapi disrupsi ini, Rhenald merekomendasikan enam langkah kebijakan krusial, mulai dari penggabungan penegakan hukum pencegahan (ex-ante) dan penindakan (ex-post), peningkatan kemampuan forensik digital, hingga audit algoritmik berstandar internasional (BRICS). Ia juga menekankan pentingnya interoperabilitas data dan pengawasan merger yang lebih ketat agar tidak mematikan inovasi.

    Forum 3JICF 2025 menjadi wadah krusial untuk membedah bagaimana negara lain merespons tantangan serupa. Mariam El Ghandour dari Egyptian Competition Authority (Mesir) memaparkan kerangka hukum hibrida di negaranya untuk menangani persekongkolan tender (bid rigging), yang mengombinasikan larangan perjanjian horizontal dalam UU Persaingan Usaha dengan kewajiban pelaporan kolusi dalam UU Pengadaan Publik.

    Sementara itu, perspektif perlindungan konsumen di era digital disuarakan oleh Rachel Burgess dari Australian Competition and Consumer Commission (ACCC). Australia baru saja memperkuat regulasinya dengan sanksi penalti yang lebih berat dan perluasan perlindungan bagi usaha kecil, sebuah langkah yang relevan untuk diadaptasi di Indonesia mengingat besarnya populasi UMKM.

    Forum internasional yang dihadiri lebih dari 200 peserta dari kalangan regulator, akademisi, dan organisasi internasional (termasuk OECD dan ASEAN) ini menyimpulkan satu hal, bahwa persaingan usaha yang sehat tidak bisa dicapai oleh regulator sendirian.

    Wakil Ketua KPPU menutup forum dengan pesan kuat bahwa peningkatan kualitas persaingan usaha nasional membutuhkan “napas” baru. Hal ini mencakup perubahan regulasi yang fokus memberantas hambatan masuk pasar (bottleneck), kemudahan investasi, serta kolaborasi lintas lembaga dengan optimalisasi teknologi informasi. Tanpa langkah strategis ini, ekonomi digital Indonesia berisiko hanya menjadi pasar bagi pemain global, tanpa memberikan manfaat maksimal bagi pelaku usaha dalam negeri.

  • Siap-siap Rupiah Loyo Lagi Hari Ini, Bisa Sentuh Level Ini

    Siap-siap Rupiah Loyo Lagi Hari Ini, Bisa Sentuh Level Ini

    Liputan6.com, Jakarta – Pengamat Ekonomi, Mata Uang & Komoditas Ibrahim Assuaibi, memproyeksikan mata uang rupiah berada direntang Rp 16.660 hingga Rp 16.690, melemah pada penutupan perdagangan hari ini, Selasa 16 Desember 2025.

    “Untuk perdagangan (hari ini), mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah direntang Rp 16.660 – Rp16.690,” kata Ibrahim dalam keterangannya, Selasa (16/12/2025). Adapun pada Senin (15/12/2025) mata uang rupiah mengalami pelemahan di level Rp 16.667.

    Ibrahim memaparkan faktor pendorong pelemahan rupiah dari dalam negeri, yakni di tahun 2026 berpotensi menjadi salah satu tahun paling tidak terduga dalam beberapa dekade terakhir.

    Kompetisi antara negara besar berpotensi semakin tajam, aliansi global berpotensi bergeser, dan konflik yang sebelumnya bersifat regional berpotensi meluas.

    “Bahkan, berbagai lembaga dunia seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, Bank Sentral Eropa (ECB), dan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memprakirakan pertumbuhan ekonomi global bakal melambat, terfragmentasi, dan sedang mengalami transformasi besar,” ujarnya.

    Perlambatan ini disebabkan oleh perdagangan dunia yang melemah, rantai pasok yang direstrukturisasi demi keamanan bukan sekadar efisiensi, utang publik di banyak negara yang berada pada titik tertinggi, dan perkembangan teknologi yang lebih pesat ketimbang penerbitan regulasi baru.

    Selain itu, Valuasi aset di sejumlah negara berada di posisi rentan setelah naik terlalu cepat dalam beberapa tahun terakhir. Sistem perbankan juga belum benar-benar pulih akibat tekanan kredit bermasalah dan kerugian portofolio di tengah suku bunga tinggi.

    Era suku bunga yang lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama juga berpotensi menjadi tekanan nyata bagi dunia usaha menjelang 2026. Ketidakpastian sosial dan politik juga meningkat.

     

  • Aksesi OECD Jadi Jalan Indonesia Keluar dari Negara Berpendapatan Rendah

    Aksesi OECD Jadi Jalan Indonesia Keluar dari Negara Berpendapatan Rendah

    Liputan6.com, Jakarta – Dekan ADB Institute, Prof. Bambang Brodjonegoro, menilai aksesi OECD dapat mengarahkan jalan yang tepat bagi Indonesia untuk keluar dari Middle-Income Trap (MIT) dan menuju negara High-Income Country. 

    Ia menjelaskan menjelaskan bahwa hanya sedikit negara Asia yang berhasil keluar dari MIT, yaitu Jepang sebagai negara pertama dan diikuti “The Four Asian Tigers” (Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, Singapura).

    “Beberapa negara ASEAN yang juga diproyeksikan keluar dari MIT yaitu Malaysia pada 2028, Thailand pada 2037, dan Indonesia baru pada tahun 2045,” kata Bambang Guest Lecture bertema Progress and Benefits of Indonesia’s Accession to the OECD bertempat di Auditorium MM FEB UI, dikutip dari laman Kemenko Perekonomian, Minggu (14/12/2025).

    Prof. Bambang memaparkan bahwa aksesi OECD dapat menjadi anchor reformasi bagi Indonesia. Kerangka standar dan praktik terbaik OECD memberikan arah yang jelas untuk memperkuat tata Kelola regulasi, meningkatkan produktivitas, serta memastikan konsistensi kebijakan dalam jangka panjang.

    Dalam kesemptan yang sama, Sesmenko Susiwijono menekankan kembali pentingnya dukungan akademisi dan seluruh Stakeholders dalam keseluruhan proses aksesi OECD.

    “Kegiatan seperti ini menjadi sarana yang penting untuk memastikan bahwa reformasi yang kita jalankan dapat dipahami secara luas dan mendapat dukungan dari masyarakat. Ini akan semakin menguatkan komitmen semua pihak, dalam mewujudkan transformasi ekonomi melalui penerapan standar OECD,” ujar Sesmenko Susiwijono.

     

     

  • Gini Tinggi, Jakarta untuk Siapa?
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        14 Desember 2025

    Gini Tinggi, Jakarta untuk Siapa? Megapolitan 14 Desember 2025

    Gini Tinggi, Jakarta untuk Siapa?
    Guru Besar Ilmu Manajemen, Dosen Program Studi Doktor Manajemen Berkelanjutan Institut Perbanas
    Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
    JAKARTA
    bukan kota miskin. Jakarta adalah kota kaya. Namun justru di kota paling kaya di Indonesia inilah ketimpangan paling telanjang terlihat. Ketika Gubernur DKI Jakarta menyatakan bahwa gini ratio sulit turun karena “orang kaya di Jakarta banyak banget” (Kompas.com, 13/12/2025).
    Pernyataan itu seharusnya dibaca sebagai alarm keras, bukan sekadar penjelasan teknokratis. Ia menandai bahwa pertumbuhan
    Jakarta
    berlari kencang, tetapi tidak berjalan bersama. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada Maret 2025
    gini ratio
    DKI Jakarta mencapai 0,441, meningkat dari 0,431 pada September 2024, sekaligus menempatkan Jakarta sebagai provinsi dengan tingkat ketimpangan tertinggi di Indonesia, jauh di atas rata-rata nasional sekitar 0,375 (BPS, 2025).
    Gini ratio sendiri bukan istilah baru dan bukan pula sekadar angka statistik. Indeks ini diperkenalkan oleh Corrado Gini, seorang ahli statistik dan sosiolog asal Italia, pada tahun 1912, sebagai alat untuk mengukur ketimpangan distribusi pendapatan atau kekayaan dalam suatu masyarakat.
    Nilainya berada pada rentang 0 hingga 1, di mana nilai 0 menunjukkan pemerataan sempurna dan nilai 1 menunjukkan ketimpangan sempurna (Gini, 1912; Cowell, 2011).
    Hingga kini,
    gini coefficient
    digunakan secara luas oleh lembaga statistik nasional dan internasional—termasuk BPS, World Bank, dan IMF—sebagai indikator utama untuk menilai kualitas
    pertumbuhan ekonomi
    dan keadilan distribusinya (World Bank, 2023; IMF, 2024). Dengan demikian, gini ratio bukan sekadar alat ukur kemiskinan, melainkan cermin distribusi manfaat pembangunan.
    Sebuah wilayah dapat mencatat pertumbuhan ekonomi tinggi dan tingkat kemiskinan rendah, tetapi tetap memiliki gini ratio tinggi jika hasil pertumbuhan terkonsentrasi pada kelompok tertentu. Inilah yang terjadi di Jakarta.
    Tren gini ratio Jakarta menunjukkan bahwa ketimpangan bukanlah kejadian sesaat. Pada 2019, sebelum pandemi, gini ratio Jakarta sudah berada di kisaran 0,39. Selama pandemi, ketimpangan justru meningkat; pada September 2021 tercatat sekitar 0,411. Alih-alih membaik saat ekonomi pulih, ketimpangan kembali melebar hingga 0,431 pada 2024 dan 0,441 pada 2025.
    Data historis ini menunjukkan bahwa selama hampir satu dekade Jakarta secara konsisten menjadi wilayah dengan jurang kaya–miskin paling tajam di Indonesia (BPS DKI Jakarta; Katadata, 2024).
    Konsistensi ini mengindikasikan masalah struktural. Ketimpangan Jakarta bukan akibat guncangan sementara, melainkan hasil dari arah pembangunan yang tidak cukup kuat mendorong pemerataan. Bukan karena miskin bertambah, tetapi kaya berlari terlalu cepat
    Rendahnya angka kemiskinan sering dijadikan pembenaran bahwa kondisi sosial Jakarta masih terkendali. BPS mencatat persentase penduduk miskin DKI Jakarta pada Maret 2025 sekitar 4,28 persen, salah satu yang terendah secara nasional.
    Namun teori distribusi pendapatan menegaskan bahwa gini ratio meningkat bukan karena orang miskin bertambah, melainkan karena pendapatan kelompok atas tumbuh jauh lebih cepat dibanding kelompok bawah, sebuah kondisi yang dikenal sebagai
    unequal growth
    (IMF, 2024; World Bank, 2023).
    Jakarta mencerminkan pola ini secara ekstrem. Sektor keuangan, properti, dan ekonomi berbasis aset tumbuh agresif, sementara pendapatan berbasis upah—yang menopang mayoritas warga—bergerak lambat dan tergerus biaya hidup kota. Pertumbuhan ada, tetapi tidak dibagi secara proporsional.
    Sebagai kota global, Jakarta memberi keuntungan besar bagi mereka yang memiliki modal, pendidikan tinggi, dan akses jaringan. Namun bagi kelompok berpendapatan rendah dan menengah, jalan untuk naik kelas semakin sempit.
    Model Galor–Zeira dalam ekonomi pembangunan menjelaskan bahwa ketimpangan awal menghambat investasi human capital karena kelompok miskin kesulitan mengakses pendidikan dan pembiayaan, sehingga produktivitas mereka tertahan secara sistemik (Galor & Zeira, 1993).
    Di Jakarta, mahalnya pendidikan, perumahan, dan transportasi memperkuat jebakan ini. Mobilitas sosial tidak lagi sekadar soal kerja keras, tetapi soal titik awal yang timpang. Kota tumbuh ke atas, tetapi fondasi sosialnya rapuh.
    Ketimpangan yang tinggi bukan hanya isu keadilan, tetapi juga ancaman stabilitas. IMF mencatat bahwa wilayah dengan gini ratio tinggi cenderung mengalami penurunan kepercayaan publik terhadap institusi, meningkatnya polarisasi sosial, dan risiko ketegangan politik.
    Dari sisi ekonomi, World Bank menunjukkan bahwa konsentrasi pendapatan pada kelompok atas melemahkan daya beli mayoritas penduduk, sehingga pertumbuhan jangka panjang menjadi tidak berkelanjutan.
    Dalam jangka panjang, ketimpangan juga menurunkan mobilitas sosial antar generasi. Konsep Great Gatsby Curve menunjukkan bahwa semakin tinggi ketimpangan, semakin kecil peluang anak dari keluarga miskin untuk naik kelas sosial dibanding anak dari keluarga kaya (OECD, 2018).
    Menurunkan gini ratio bukan berarti menahan orang kaya, melainkan memperluas peluang ekonomi bagi yang tertinggal. IMF dan World Bank menegaskan bahwa kombinasi kebijakan fiskal progresif, investasi pendidikan dan keterampilan, serta perluasan kesempatan kerja produktif merupakan instrumen paling efektif untuk menekan ketimpangan (IMF, 2024; World Bank, 2023).
    Di Jakarta, kebijakan ini berarti keberanian menekan biaya hidup, memastikan pendidikan berkualitas dapat diakses luas, serta mentransformasi UMKM agar tidak terjebak di sektor informal berupah rendah. Tanpa itu, pertumbuhan hanya akan terus menguntungkan mereka yang sudah unggul sejak awal.
    Pernyataan Gubernur DKI Jakarta seharusnya menjadi titik balik kebijakan, bukan sekadar penjelasan keadaan. Data historis gini ratio menunjukkan bahwa tanpa koreksi arah, ketimpangan Jakarta akan terus tinggi meskipun ekonomi tumbuh.
    Pada akhirnya, pertanyaan paling jujur tetap menggantung: jika gini ratio Jakarta terus menjadi yang tertinggi di Indonesia, Jakarta sesungguhnya dibangun untuk siapa? Untuk segelintir yang telah berada di puncak piramida ekonomi, atau untuk jutaan warga yang berharap bahwa kerja keras mereka benar-benar membuka jalan naik kelas?
    Jakarta tidak kekurangan pertumbuhan. Yang masih langka adalah keberanian untuk membagi kemajuan secara adil.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Banjir Sentimen Positif Akhir 2025, Airlangga: Spillover hingga 2026

    Banjir Sentimen Positif Akhir 2025, Airlangga: Spillover hingga 2026

    Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai sentimen positif perekonomian nasional pada akhir 2025 berpotensi berlanjut hingga tahun depan.

    Optimisme tersebut didorong oleh solidnya pasar modal, stabilitas indikator ekonomi, serta berbagai agenda kebijakan dan kesepakatan dagang yang mulai memasuki tahap final.

    Airlangga mencatat, sepanjang 2025 ada sebanyak 24 emiten yang melakukan IPO di bursa dengan dana yang terkumpul mencapai Rp 15,2 triliun. Selain itu, pada Desember sendiri terdapat 13 perusahaan yang masuk dalam pipeline IPO, termasuk tujuh perusahaan berskala besar.

    “Sepertinya ada spillover ke Januari. Kalau Januari positif, Januari efek akan membawa kita untuk ekonomi yang lebih baik pada 2026. Dengan demikian yang di-manage adalah upside risk lebih tinggi daripada downside risk,” kata Airlangga di perayaan HUT AEI ke-37 di gedung BEI, Jakarta, Jumat (12/12/2025).

    Menurut Airlangga, kondisi ekonomi Indonesia relatif stabil di tengah dinamika global maupun tekanan domestik yang terjadi sepanjang 2025. Hal itu tecermin dari sejumlah indikator ekonomi utama yang masih berada di zona positif.

    “Indeks konsumen masih di atas 100, bahkan pada November naik di 124. Penjualan retail year on year (yoy) masih lebih tinggi 5,9%. PMI manufaktur juga naik di 53,3%, inflasi terjaga di 2,72%, kredit tumbuh 7,36% dan kredit investasi secara yoy naik 15,72%, kredit konsumsi 7%, kredit modal kerja yang relatif rendah di 2,39%. Nah, belanja masyarakat tadi sudah tinggi dan IHSG hijau. The number talks by itself,” jelasnya.

    Data tersebut menunjukkan konsumsi rumah tangga yang masih positif, stabilitas harga yang tetap terjaga, hingga investasi yang terus meningkat.

    Sejumlah Kesepakatan Dagang Mulai Efektif

    Masih dalam pembahasan target pertumbuhan ekonomi, sejumlah kesepakatan juga sudah mengantre pada tahap finalisasi dan ratifikasi. Pemerintah menargetkan penyelesaian perjanjian tarif perdagangan dengan AS pada akhir 2025, sementara perjanjian Indonesia-Uni Eropa (EU-CEPA) diharapkan berlaku efektif pada 2027.

    Selain itu, Indonesia juga tengah melanjutkan proses aksesi ke Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). Menurutnya, proses perjanjian dengan OECD juga akan berlangsung dengan cepat.

    “Kemarin juga datang tim OECD dipimpin oleh deputy secretary general dan evaluasinya Indonesia progress-nya visible, artinya kelihatan dan antusiasmenya tinggi. Berbagai negara berharap Indonesia bisa bergabung dengan OECD pada 2027,” kata Airlangga.

    Kemudian, Kesepakatan Perdagangan Bebas Indonesia-Uni Ekonomi Eurasia (I-EAEU) bersama negara-negara former Soviet juga sudah pada tahap penandatanganan. Seluruhnya diharapkan dapat memperluas pasar dan mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional sesuai dengan target yang ditetapkan.

    Pemerintah Siapkan Paket Stimulus Ekonomi Jelang Nataru

    Pemerintah turut menyiapkan berbagai paket stimulus ekonomi untuk menjaga momentum konsumsi masyarakat menjelang hari-hari besar. Dimulai dari 22 Desember 2025-10 Januari 2026, telah disiapkan diskon transportasi, program Every Purchase Is Cheap (EPIC) berupa diskon di pasar modern dengan target Rp 56 triliun, Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) setiap tanggal 12 Desember dengan target Rp 34 triliun, serta program Belanja di Indonesia Aja (Bina) dengan target Rp 30 triliun.

    “Jadi total perencanaan Rp 120 triliun, tetapi kalau kita bisa capai di atas Rp 100 triliun atau Rp 110 triliun, itu sudah luar biasa,” pungkas Airlangga.

  • KPPU Sebut Pentingnya Modernisasi Hukum Persaingan Usaha di Era Digital

    KPPU Sebut Pentingnya Modernisasi Hukum Persaingan Usaha di Era Digital

    Jakarta

    Seperempat abad telah berlalu sejak Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat disahkan. Selama kurun waktu tersebut, lanskap ekonomi Indonesia telah bermetamorfosis drastis, dari perdagangan konvensional berbasis aset fisik menuju ekosistem digital yang cair, cepat, dan terintegrasi.

    Sayangnya, fondasi hukum yang menjaga persaingan usaha di negeri ini belum mengalami pembaruan substantif. Kesenjangan antara regulasi lawas dan realitas pasar baru inilah yang menjadi alarm bagi daya saing nasional.

    Urgensi tersebut menjadi sorotan utama dalam Diskusi Publik bertajuk ‘Modernisasi Kebijakan Persaingan Usaha untuk Daya Saing’ yang digelar Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bersama PROSPERA di Jakarta, Jumat (12/12/2025) lalu. Forum ini sebagai langkah KPPU dalam merumuskan peta jalan baru bagi ekonomi Indonesia.

    Ketua KPPU M. Fanshurullah Asa menegaskan bahwa persaingan usaha yang sehat adalah prasyarat mutlak bagi fondasi ekonomi nasional. Namun, tantangan hari ini jauh lebih kompleks dibandingkan dua dekade lalu.

    “Indonesia tengah bertransformasi besar. Kita melihat platform digital kini memegang peran ganda (dual role), sebagai penyedia pasar (marketplace) sekaligus sebagai pelaku usaha yang berdagang di dalamnya,” kata Fanshurullah dalam keterangan tertulis, Sabtu (13/12/2025).

    Dia mengatakan kondisi ini memicu risiko persaingan yang belum terakomodasi dalam UU No. 5/1999, seperti perilaku anti persaingan berbasis data, diskriminasi algoritmik, hingga dominasi pada pasar dua sisi (two-sided market). Tanpa regulasi yang adaptif, inovasi akan terhambat dan pelaku usaha baru akan kesulitan menembus pasar yang dikuasai raksasa teknologi.

    “Kinerja persaingan usaha nasional dinilai masih perlu pembenahan serius. Kelemahan regulasi ini berdampak sistemik yakni menahan laju inovasi, menciptakan inefisiensi pasar, dan pada akhirnya merugikan konsumen,” tuturnya.

    Untuk menjawab tantangan tersebut, anggota KPPU Eugenia Mardanugraha memaparkan bahwa PROSPERA telah menyusun empat buku penting bagi KPPU yang menjadi bahan diskusi di kegiatan. Keempat buku tersebut meliputi (i) Capaian dan Tantangan Dua Puluh Lima Tahun Undang-Undang Persaingan Usaha; (ii) Analisis Kesenjangan Regulasi Persaingan Usaha antara UU No. 5/1999 dan Standar Internasional; (iii) Memodernisasi Hukum Persaingan Usaha Indonesia untuk Ekonomi Digital; dan (iv) Persaingan Usaha, Konsumen Sejahtera, Ekonomi Efisien & Inovatif.

    “Keempat dokumen ini yang mencakup analisis kesenjangan regulasi hingga strategi ekonomi digital, diharapkan menjadi cetak biru modernisasi hukum persaingan usaha,” pungkas Eugenia.

    Sebagai informasi tambahan, diskusi publik ini menghadirkan perspektif komprehensif dari para begawan ekonomi dan hukum, antara lain Prof. Ningrum Natasya Sirait (Guru Besar Hukum USU), Prof. Mohamad Ikhsan (Guru Besar FEB UI), Carlo Agdamag (Access Partnership), dan Titik Anas (PROSPERA). Para pakar sepakat bahwa implementasi hukum persaingan usaha telah memberikan dampak ekonomi yang signifikan, dan pentingnya competitive neutrality (netralitas persaingan) sebagai prinsip utama untuk mencapai efisiensi nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, adopsi standar internasional dari OECD dan UNCTAD serta transformasi regulasi persaingan usaha di era digital menjadi krusial agar iklim usaha Indonesia kompetitif di mata investor global.

    (akn/ega)

  • James Riady Bicara Keunggulan Ekonomi Indonesia 2026

    James Riady Bicara Keunggulan Ekonomi Indonesia 2026

    Bisnis.com, JAKARTA — Kondisi ekonomi dan geopolitik global masih tidak menentu masih menjadi tantangan pada 2026. Namun demikian, Indonesia dianggap memiliki posisi yang unik.

    Wakil Ketua Umum Koordinator (WKUK) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Luar Negeri James Riady menyampaikan kondisi global pada akhir tahun ini menampilkan wajah yang sulit dan tidak menentu. Secara geopolitik, dunia memasuki era yang paling tidak terduga dalam beberapa dekade.

    “Ada tiga indikasinya, yakni kompetisi negara besar semakin tajam, aliansi global yang bergeser, dan konflik yang sebelumnya regional kini berpotensi meluas,” paparnya dalam keterangan resmi, Jumat (12/12/2025).

    Hal itu disampaikannya dalam acara Kadin Friday Breakfast, Pertemuan Penutup Tahun di Hotel Aryadutta, Jakarta, Jumat (12/12/2025). Hadir pada kesempatan itu, para pimpinan dan anggota Kadin pusat dan daerah.

    James juga menjelaskan betapa unik dan kuatnya posisi Indonesia dibanding banyak negara lain. Kondisi inilah yang sering dilupakan banyak orang. Pertama, transisi politik Indonesia berjalan stabil. Dunia luar melihat politik di Indonesia menunjukkan kesinambungan, kejelasan, dan prediktabilitas, sesuatu yang semakin langka hari ini.

    Kedua, fundamental makro ekonomi tetap solid. Inflasi terkendali, disiplin fiskal terjaga, konsumsi domestik kuat, komposisi demografi yang didominasi usia produktif, dan nilai tukar relatif tangguh dibanding banyak emerging market lainnya.

    Ketiga, Indonesia sedang menjalani dekade infrastruktur terbesar dalam sejarah Indonesia. Indonesia membangun pelabuhan, jalan, kawasan industri, energi, logistik, ibu kota baru. Semuanya meningkatkan daya saing negara secara nyata.

    Keempat, fokus Presiden pada ketahanan pangan, hilirisasi, kesehatan, pertahanan, dan pembangunan jembatan-seribu-jembatan memberikan arah nasional yang jelas.

    Kelima, Indonesia memiliki kombinasi langka, yakni stabilitas politik, kekuatan demografi, sumber daya alam, percepatan digital, dan basis manufaktur yang terus tumbuh. Dalam dunia yang terfragmentasi, Indonesia justru semakin menarik.

    “Kita harus realistis, namun tetap optimistis memasuki tahun 2026. Kita harus jujur, 2026 tidak akan menjadi tahun yang mudah bagi ekonomi global. Akan ada badai dan sebagian sudah terlihat, sebagian masih muncul di balik horizon. Namun, Indonesia tidak memasuki tahun itu dengan tangan kosong. Indonesia memasuki tahun 2026 dengan modal yang cukup,” jelas James.

    Program pemerintah di bawah komando Presiden Prabowo Subianto sudah mulai menunjukkan dampak positif. Kadin sebagai mitra pemerintah mendukung penuh program pemerintah. Ini semua memberi alasan kuat untuk optimis.

    Meskipun dunia penuh ketidakpastian, Indonesia memiliki pengusaha yang tetap membangun, perusahaan yang terus berinvestasi, inovator yang terus mencipta, dan para pemimpin yang tidak mudah patah oleh berita-berita buruk.

    “Jika 2025 adalah tahun penyesuaian dan transisi, maka 2026 bisa menjadi tahun antisipasi dan tahun keberanian,” pungkas James.

    Dia mengimbau para pelaku bisnis untuk menyambut ketidakpastian dengan persiapan. Semua pihak perlu menggemakan narasi ketangguhan Indonesia, bukan narasi kemunduran.

    Berikut pidato lengkap James Riady:

    KADIN Friday Breakfast. Pertemuan Penutup Tahun.
    Catatan WKUK Kadin Luar Negeri. Jumat 12 Desember 2025.

    Selamat pagi, Bapak-Ibu, para sahabat, rekan-rekan Kadin semua, dan khususnya para Ketua Umum Kadin Daerah dan Kepala Komite Tetap dan Komite Bilateral.
    Terima kasih atas kehadiran Anda.
    Pagi ini Breakfast KADIN WKUK Luar Negeri terakhir di tahun. Saya memulai dengan menyampaikan apresiasi yang tulus.
    Forum ini telah menjadi ruang diskusi yang jujur, penuh wawasan, dan penuh kehangatan — tempat para pemimpin bisnis dapat memikirkan bersama tantangan- tantangan kita, dan peluang yang harus kita bentuk bersama.
    Terima kasih atas kehadiran, pikiran, persahabatan, dan komitmen Anda bagi Indonesia.

    1. Dunia Menjelang Akhir 2025: Masa yang Sulit dan Tidak Menentu.

    Saat kita menutup tahun ini, dunia berada dalam kondisi yang sangat rapuh.

    Secara geopolitik, kita memasuki era yang paling tidak terduga dalam beberapa dekade.
    • Kompetisi negara besar semakin tajam.
    • Aliansi global bergeser.

    • Konflik yang dulu regional kini berpotensi meluas.

    Secara ekonomi, lembaga-lembaga dunia — IMF, World Bank, ECB, OECD — menggambarkan ekonomi global sebagai melambat, terfragmentasi, dan sedang mengalami transformasi besar.
    • Perdagangan dunia melemah.
    • Rantai pasok direstrukturisasi demi keamanan, bukan lagi sekadar efisiensi.
    • Utang publik di banyak negara berada pada titik tertinggi.
    • Perlombaan teknologi bergerak lebih cepat daripada kemampuan regulasi mengikutinya.
    Secara finansial, kerentanan baru muncul.
    • Banyak aset berada di posisi rentan karena valuasinya telah naik terlalu cepat dalam beberapa tahun terakhir, sehingga sensitif terhadap kenaikan suku bunga, perlambatan ekonomi, atau koreksi pasar global.
    • Sistem perbankan di beberapa negara belum pulih sepenuhnya karena masih membawa tekanan dari kredit bermasalah, kerugian portofolio akibat suku bunga tinggi, dan lemahnya kepercayaan pasar — sehingga guncangan kecil pun dapat memperbesar risiko instabilitas keuangan.
    • Era suku bunga “lebih tinggi untuk lebih lama” menjadi tekanan nyata bagi dunia usaha menjelang 2026.
    Secara sosial, polarisasi meningkat.
    • Tahun 2026 akan menjadi tahun pemilu di negara-negara kunci — mulai dari pemilu sela di Amerika Serikat, pemilu umum di Brasil, pemilu nasional di

    Bangladesh, hingga pemilu penting di beberapa negara Eropa — yang semuanya dapat membawa dampak besar bagi pasar dan stabilitas global.
    Jika kita satukan semuanya, 2026 berpotensi menjadi tahun di mana banyak hal dapat berjalan salah:
    • Perlambatan ekonomi global yang lebih tajam.
    • Proteksionisme dan pembatasan ekspor yang meningkat.
    • Ketidakstabilan energi.
    • Konflik berkepanjangan dengan dampak ekonomi besar.
    • Disrupsi teknologi yang melampaui kemampuan adaptasi.

    Inilah realitas dunia yang sedang kita hadapi.

    2. Namun Indonesia Tahun 2026: Berdiri di Posisi yang Unik.

    Di tengah dunia yang tidak menentu, Indonesia justru tampil berbeda.

    Sering kali kita lupa betapa unik dan kuatnya posisi Indonesia dibanding banyak negara lain.
    Pertama, transisi politik kita berjalan stabil.
    Dari luar, dunia melihat kesinambungan, kejelasan, dan prediktabilitas — sesuatu yang semakin langka hari ini.
    Kedua, fundamental makro kita tetap solid:
    • Inflasi terkendali.
    • Disiplin fiskal terjaga.
    • Konsumsi domestik kuat.
    • Demografi muda dan produktif.
    • Nilai tukar relatif tangguh dibanding banyak emerging market lain.

    Ketiga, kita sedang menjalani dekade infrastruktur terbesar dalam sejarah Indonesia: pelabuhan, jalan, kawasan industri, energi, logistik, ibu kota baru — semuanya meningkatkan daya saing negara secara nyata.
    Keempat, fokus Presiden pada ketahanan pangan, hilirisasi, kesehatan, pertahanan, dan pembangunan jembatan-seribu-jembatan memberikan arah nasional yang jelas.
    Kelima, Indonesia punya kombinasi langka: stabilitas politik, kekuatan demografi, sumber daya alam, percepatan digital, dan basis manufaktur yang terus tumbuh.
    Dalam dunia yang terfragmentasi, Indonesia justru semakin menarik.

    3. Lalu Apa Artinya? Realistis, Namun Tetap Optimis.

    Kita harus jujur:
    2026 tidak akan menjadi tahun yang mudah bagi ekonomi global.
    Akan ada badai — sebagian sudah terlihat, sebagian masih muncul di balik horizon.
    Namun Indonesia tidak memasuki tahun itu dengan tangan kosong.

    Dan yang lebih penting: komunitas KADIN ini memberi kita alasan kuat untuk optimis.
    Karena meskipun dunia penuh ketidakpastian, kita memiliki:
    • Pengusaha yang tetap membangun.
    • Perusahaan yang terus berinvestasi.
    • Inovator yang terus mencipta.
    • Para pemimpin yang tidak mudah patah oleh berita-berita buruk.

    Jika 2025 adalah tahun penyesuaian dan transisi, maka 2026 bisa menjadi tahun antisipasi — dan keberanian.
    Jangan sampai kita menjadi kelompok yang terdiam oleh risiko. Kita harus menjadi komunitas yang bergerak karena peluang.
    Karena kenyataannya adalah:
    Dalam setiap masa disrupsi global, Indonesia secara historis selalu muncul lebih kuat
    — asalkan para pemimpinnya tetap tenang, bekerja sama, dan melihat jauh ke depan.

    4. Ucapan Terima Kasih dan Harapan Menyambut Tahun Baru.

    Kepada semua yang hadir pagi ini:
    Terima kasih atas ide, diskusi, kritik, dorongan, dan kemitraan Anda sepanjang tahun ini.
    Terima kasih karena terus percaya pada Indonesia.
    Terima kasih karena Anda menanamkan waktu, bakat, modal, dan hati Anda ke dalam masa depan bangsa ini.

    Dan ketika kita menatap 2026, harapan saya sederhana:
    • Kita tetap realistis,
    • Namun tetap penuh harapan.
    • Bijaksana dalam kehati-hatian,
    • Namun berani dalam visi.

    Mari kita sambut ketidakpastian dunia bukan dengan ketakutan, tetapi dengan kesiapan.
    Karena cerita Indonesia bukan cerita kemunduran.
    Ini adalah cerita ketangguhan, kreativitas, dan kekuatan yang tenang. Dan kita semua di ruangan ini adalah bagian dari bab berikutnya.
    Terima kasih sekali lagi.
    Selamat Natal bagi yang Kristen.
    Selamat menyambut tahun yang baru bagi semua.
    Semoga 2026 membawa berkat, peluang, dan harapan bagi kita semua.