Organisasi: NU

  • Musda VII LDII Kota Kediri Dijadwalkan 17 Desember 2025, Bahas Program Kerja hingga Pemilihan Ketua

    Musda VII LDII Kota Kediri Dijadwalkan 17 Desember 2025, Bahas Program Kerja hingga Pemilihan Ketua

    Kediri (beritajatim.com) – Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Kota Kediri memastikan Musyawarah Daerah (Musda) VII akan digelar pada Rabu, 17 Desember 2025, sebagai agenda lima tahunan organisasi untuk mengevaluasi kinerja, menyusun program kerja, dan memilih kepengurusan baru periode 2025 – 2030.

    Ketua DPD LDII Kota Kediri Agung Riyanto menyampaikan Musda VII direncanakan berlangsung selama satu hari dan diikuti ratusan peserta dari unsur internal maupun eksternal organisasi.

    “Nanti rencananya. Musdanya insyaallah hari Rabu tanggal 17 Desember. Satu hari cukup insyaallah,” ujar Agung Riyanto usai Media Gathering Road To Musda VII LDII Kota Kediri di Pondok Wali Barokah Kediri, pada Minggu 14 Desember 2025.

    Agung menjelaskan, peserta Musda berasal dari jajaran pengurus LDII di berbagai tingkatan, serta undangan dari luar organisasi.

    “Peserta yang hadir di Musdah itu nanti dari eksternal. Beberapa teman-teman dari pengurus pleno DPD, PC, PAC, kemudian dari pengurus Pondok Wali Barokah, kemudian juga ada teman-teman ya dari kabupaten juga kita undang,” katanya.

    Jumlah peserta Musda VII LDII Kota Kediri diperkirakan mencapai ratusan orang. “Kurang lebih sekitar 400 sampai 500 orang,” lanjutnya.

    Agenda Pokok Musda VII LDII Kota Kediri

    Menurut Agung, Musda merupakan amanah organisasi yang dilaksanakan setiap lima tahun dengan sejumlah agenda strategis.

    “Musda itu kan helatan 5 tahun sebagai amanah organisasi kan. Ada tiga pokok bahasan di Musda, pola sistem kerja, kemudian membuat program kerja dan pemilihan pengurus periode 2025-2030 itu. Intinya kan seperti itu,” jelasnya.

    Ia menekankan Musda tidak semata-mata dimaknai sebagai agenda pemilihan kepemimpinan, tetapi juga ruang musyawarah yang memberi manfaat luas.

    “Bagaimana musyawarah ini kesannya tidak hanya melulu apa itu memilih kekuasaan, tetapi bagaimana lebih musyawarah ini bisa lebih bermanfaat,” ungkapnya.

    Dukung Program Pemerintah dan Visi Kota Kediri

    Agung menegaskan hasil Musda diharapkan sejalan dan mendukung program pemerintah, baik pusat, provinsi, hingga Pemerintah Kota Kediri.

    “Terutama dalam mendukung program visi-misi baik itu dari pemerintah pusat kemudian provinsi dan lebih-lebih kalau saya yang ada di Kota Kediri bagaimana mendukung program Mbak Wali kan gitu kan yang mapan itu kan,” ujarnya.

    Ia mengaitkan peran LDII dengan delapan bidang pengabdian yang menjadi fokus organisasi.

    “Kalau kita koneksikan dengan delapan bidang pengabdian LDII untuk bangsa itu kan sudah nyambung terkait wawasan kebangsaan, dakwah, pendidikan, ekonomi, syariah, ketahanan pangan, lingkungan hidup, kemudian kesehatan vital, teknologi informasi dan energi baru terbarukan kan itu,” katanya.

    Kolaborasi dengan Ormas dan Stakeholder Kota Kediri

    Dalam implementasinya di tingkat kota, LDII Kota Kediri berencana memperkuat kolaborasi lintas organisasi dan pemangku kepentingan.

    “Nah itu nanti pelaksanaannya kita bekerja sama dengan steak holder yang ada di Kota Kediri ya bersama-sama kan dengan organisasi masyarakat dengan NU, Muhammadiyah, KNPI dan lain-lain itu ya kita sama-samalah nanti bagaimana mewujudkan Kota Kediri ini lebih lebih MAPAN (Maju, Agamis, Produktif, Aman dan Ngangenu),” ucap Agung.

    Ia menyebut komunikasi awal terkait agenda dan arah Musda telah disampaikan kepada Pemerintah Kota Kediri. “Kemarin sudah kita sampaikan ke Mbak Wulandari ke edensi kemarin,” katanya.

    Hadir dalam Media Gathering ini, Ketua Pondok Pesantren Wali Barokah H Sunarto, segenap panitia dan pengurus DPD LDII Kota Kediri. [nm/aje]

  • Tenda Pengungsi Baru Dipasang BNPB Jelang Kedatangan Presiden, Umar Hasibuan Beri Sorotan

    Tenda Pengungsi Baru Dipasang BNPB Jelang Kedatangan Presiden, Umar Hasibuan Beri Sorotan

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Salah satu tokoh Nadhatul Ulama (NU), Umar Hasibuan memberikan sorotan ke Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jenderal TNI Suharyanto.

    Umar menyampaikan sorotan ke Kepala BNPB ini karena penanganan bencana yang disebutnya kurang baik.

    Lewat cuitan di akun media sosial X pribadinya, ia menyorot soal tenda pengungsian.

    Yang menurut warga terdampak bencana alam di Sumatera, tenda-tenda ini baru dipasang jelang kedatangan Presiden.

    Hal ini yang kemudian disorot oleh Umar Hasibuan dengan menyebut BNPB jahat dan mempermainkan korban. 

    “Kenapa ya BNPB sejahat ini mempermainkan korban bencana pak @prabowo ?,” tulisnya dikutip Minggu (14/12/2025).

    Ada desakan dari salah satu Kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini ke Presiden Prabowo Subianto.

    Ia berharap agar Kepala BNPB ini segea diganti dengan yang lebih baik.

    Karena menurutnya apa yang terjadi ini jadi contoh tidak profesional dalam menjalankan tugas.

    “Anda sangat keterlaluan msh mempertahankan kepala BNPB yang sangat tidak profesional ini?,” terangnya.

    (Erfyansyah/Fajar) 

  • Isu Politik-Hukum Terkini: Perpol 10/2025 Disorot DPR

    Isu Politik-Hukum Terkini: Perpol 10/2025 Disorot DPR

    Jakarta, Beritasatu.com – Sejumlah isu politik dan hukum terkini selama 24 jam pemberitaan di Beritasatu.com sejak Sabtu (13/12/2025) hingga Minggu (14/12/2025) pagi menjadi perhatian pembaca.

    Beberapa di antaranya, yakni DPR yang menilai polemik Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tentang anggota Polri yang melaksanakan tugas di luar struktur organisasi dinilai tak bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, hingga Prof M Nuh resmi menjadi katib Aam PBNU.

    5 Isu Politik Hukum-Terkini

    Berikut ini adalah lima isu politik dan hukum terkini di Beritasatu.com yang dapat Anda ketahui:

    1. Polemik Perpol 10/2025, DPR Nilai Tak Bertentangan Putusan MK

    Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Golkar, Jamaludin Malik menegaskan Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tentang anggota Polri yang melaksanakan tugas di luar struktur organisasi tidak bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

    Menurut Jamaludin, Perpol 10/2025 justru menjadi instrumen teknis untuk memastikan anggota Polri tetap menjalankan kewenangannya sesuai koridor hukum.

    “Perpol adalah instrumen teknis internal untuk menjalankan kewenangan yang sudah diberikan undang-undang kepada Polri. Jadi, keliru jika langsung dinilai menabrak putusan MK,” ujar Jamaludin, Sabtu (13/12/2025).

    Ia menjelaskan, putusan MK berada pada tataran prinsip konstitusional, seperti due process of law dan perlindungan hak warga negara. Sementara itu, Perpol 10/2025 berfungsi sebagai petunjuk teknis pelaksanaan kewenangan di lapangan.

    Jamaludin juga menegaskan setiap produk hukum memiliki asas presumptio iustae causa, yakni dianggap sah dan mengikat sejak diundangkan hingga ada putusan pengadilan yang membatalkannya. Oleh karena itu, keabsahan perpol tidak dapat digugurkan hanya melalui opini publik.

    2. Pakar Nilai Pilkada Lewat DPRD Berpotensi Perparah Demokrasi

    Pakar Politik Kontemporer Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof Caroline Paskarina menilai wacana pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD berpotensi memperparah persoalan demokrasi di Indonesia.

    Menurut Caroline, di tengah menurunnya kualitas demokrasi, melemahnya kepercayaan publik, serta menguatnya elitisme politik, pengalihan mekanisme pilkada dari rakyat ke DPRD justru berisiko mempersempit ruang partisipasi politik warga.

    “Dalam kondisi seperti ini, wacana pilkada oleh DPRD berpotensi memperdalam problem demokrasi, bukan menyelesaikannya,” ujarnya.

    Ia menilai mekanisme pilkada tertutup dapat menggerus legitimasi kepala daerah karena semakin menjauh dari basis dukungan publik secara langsung.

    3. Prabowo Pastikan Pantau Pemulihan Banjir dan Longsor di Sumut

    Presiden Prabowo Subianto memastikan pemerintah terus memantau dan mempercepat pemulihan wilayah terdampak banjir, banjir bandang, dan tanah longsor di Sumatera Utara.

    “Alhamdulillah, Sumatera Utara sudah lebih baik sejak terakhir saya datang. Saya akan terus memantau perkembangan dari hari ke hari,” ujar Prabowo saat meninjau pengungsian di Kabupaten Langkat, Sabtu (13/12/2025).

    Prabowo menegaskan seluruh kekuatan negara, termasuk TNI, Polri, dan Kementerian PUPR, akan dikerahkan untuk mempercepat pemulihan infrastruktur dan pemenuhan kebutuhan dasar warga terdampak.

    4. Insiden Maut Kalibata, Polda Metro Kaji Ulang SOP Penarikan Kendaraan

    Polda Metro Jaya melakukan evaluasi menyeluruh terhadap standard operating procedure (SOP) penarikan kendaraan oleh penagih utang menyusul insiden pengeroyokan di Kalibata, Jakarta Selatan, yang menewaskan dua orang.

    Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Budi Hermanto menegaskan penarikan kendaraan seharusnya dilakukan melalui mekanisme administratif, bukan secara paksa di jalan.

    “Bukan mengambil atau memberhentikan secara paksa customer yang ada di jalanan,” tegasnya.

    5. Prof Mohammad Nuh Resmi Menjadi Katib Aam PBNU

    Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) resmi menunjuk Prof Dr Mohammad Nuh sebagai katib Aam PBNU menggantikan KH Akhmad Said Asrori. Keputusan tersebut diambil dalam rapat harian gabungan Syuriah dan Tanfiziah PBNU di Jakarta, Sabtu (13/12/2025).

    Menurut Wakil Ketua Umum PBNU Prof Mohammad Mukri, penunjukan tersebut merupakan bagian dari penyegaran organisasi serta konsolidasi internal PBNU menjelang pelaksanaan Musyawarah Nasional dan Muktamar NU mendatang.

  • Gus Yahya Keluarkan Pernyataan Sikap dan Serukan Islah

    Gus Yahya Keluarkan Pernyataan Sikap dan Serukan Islah

    Liputan6.com, Jakarta – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menegaskan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU mengatur pemberhentian pimpinan PBNU di tengah jalan dari masa jabatan, hanya bisa dilakukan melalui forum Muktamar Luar Biasa (MLB) dengan didasarkan pada pelanggaran berat yang terbukti.

    Selain menegaskan posisi hukumnya, Gus Yahya menyatakan tetap memilih jalan islah atau rekonsiliasi demi menjaga martabat dan keutuhan jamiyah NU, sejalan dengan nasihat para kiai sepuh NU yang disampaikan dalam pertemuan di Pondok Pesantren Ploso Kediri, dan Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.

    Penegasan tersebut disampaikan melalui pernyataan sikap resmi yang ditandatangani langsung oleh KH Yahya Cholil Staquf selaku Ketua Umum PBNU, tertanggal 13 Desember 2025.

    “Dengan demikian, seluruh keputusan turunan yang dihasilkan dari proses tersebut, termasuk penunjukan Pejabat Ketua Umum PBNU, tidak sah dan ilegal,” kata Gus Yahya. Dikutip dari Antara, Minggu (14/12/2025).

    Pernyataan sikap itu diterbitkan sebagai respons terhadap keputusan Rapat Pleno yang digelar pada 9 Desember 2025, yang menyatakan pemberhentian dirinya telah final dan menunjuk pejabat Ketua Umum PBNU.

    Dalam dokumen resmi bernomor 4811/PB.23/A.II.07.08/99/12/2025 tersebut, Gus Yahya menegaskan dia bersama Rais ‘Aam PBNU Miftachul Akhyar merupakan pemegang mandat sah hasil Muktamar ke-34 NU di Lampung tahun 2021, dengan masa jabatan 5 tahun hingga Muktamar berikutnya.

    “Karena itu, keputusan yang lahir dari Rapat Harian Syuriyah pada 20 November 2025 tidak memiliki landasan hukum yang sah sesuai KemenkumHAM,” ucapnya.

    Gus Yahya mengimbau seluruh jajaran pengurus NU di semua tingkatan, dari pengurus wilayah hingga anak ranting, serta seluruh warga Nahdliyin agar tetap tenang, menjaga persatuan, dan mempererat silaturahmi.

    Dia juga meminta agar untuk sementara waktu tidak mengindahkan instruksi yang mengatasnamakan Pejabat Ketua Umum PBNU, demi menghindari kebingungan organisasi.

    Selain itu, Gus Yahya mengimbau pemerintah serta seluruh pemangku kepentingan agar tidak menindaklanjuti kebijakan yang berasal dari pihak yang tidak memiliki kewenangan sah, karena berpotensi menimbulkan persoalan hukum.

  • Ketika Kepemimpinan PBNU Diuji Waktu

    Ketika Kepemimpinan PBNU Diuji Waktu

    Ketika Kepemimpinan PBNU Diuji Waktu
    Yana Karyana merupakan penulis dan pengamat isu pendidikan, dengan fokus pada penguatan sumber daya manusia, kebijakan publik, dan peran guru sebagai fondasi peradaban bangsa. Berdomisili di Tangerang, Banten, ia menulis sebagai bagian dari komitmennya mendorong kehadiran negara yang berpihak pada dunia pendidikan.
    PRAHARA
    di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memasuki babak baru setelah Pleno PBNU pada 9-10 Desember 2025, di Hotel Sultan Jakarta, menetapkan KH. Zulfa Mustofa, sebelumnya Wakil Ketua Umum PBNU, sebagai Pejabat Sementara (PJS) Ketua Umum PBNU hingga Muktamar 2026.
    Penetapan ini dinyatakan sebagai tindak lanjut Risalah Rais Aam PBNU tertanggal 20 November 2025, yang digelar di Hotel Aston Jakarta.
    Keputusan tersebut segera memantik perdebatan luas. Bukan semata soal figur, melainkan tentang cara PBNU membaca konstitusi organisasi, menafsirkan keadaan darurat, dan memaknai adab sebagai fondasi etik kepemimpinan.
    Pada titik ini, PBNU tidak hanya menghadapi persoalan struktural, tetapi juga ujian kebijaksanaan.
    Pihak yang mendukung penetapan PJS berargumen bahwa langkah itu diperlukan demi kesinambungan organisasi.
    Rujukan yang kerap dikemukakan adalah pandangan KH. Afifuddin Muhajir, Wakil Ketua Rais Aam PBNU, yang menilai bahwa dalam kondisi darurat, penyimpangan prosedural dapat dibenarkan.
    Pandangan ini berakar pada kaidah ushul fiqh
    Adh-dharurat tubihul mahzarat
    , darurat membolehkan hal-hal yang semula terlarang.
    Namun dalam tradisi ushul fiqh, kaidah darurat tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu dibatasi oleh kaidah
    Adh-dharuratu tuqaddaru bi qadarih
    a, darurat harus diukur sebatas kebutuhannya.
    Artinya, darurat bukan cek kosong untuk menanggalkan aturan, melainkan pengecualian yang bersifat sementara, proporsional, dan berorientasi mencegah kerusakan yang lebih besar.
    Pertanyaan kuncinya kemudian: apakah penetapan PJS benar-benar membatasi mudarat, atau justru memperluasnya?
    Di sisi lain, penolakan terhadap keputusan pleno berpijak pada argumen konstitusional yang tak kalah kuat.
    Rais Aam dan Ketua Umum PBNU sama-sama dipilih melalui Muktamar, sehingga memiliki legitimasi setara.
    Dalam kerangka ini, perubahan kepemimpinan tidak dapat dilakukan secara sepihak oleh salah satu unsur. Karena itu, risalah dan seluruh produk turunannya, termasuk penetapan PJS dipandang melampaui kewenangan konstitusional.
    Perdebatan menjadi semakin kompleks ketika hadir pandangan Nadirsyah Hosen, akademisi hukum Islam dan mantan Ketua PCINU Australia, yang mengingatkan bahwa NU bukan sekadar organisasi hukum, melainkan peradaban adab.
    Ketaatan tekstual pada AD/ART tanpa kebijaksanaan berisiko mengeringkan ruh keulamaan. Catatan ini penting sebagai pengingat bahwa hukum organisasi memerlukan etika agar tetap manusiawi.
    Masalahnya, diskursus PBNU belakangan seolah terjebak pada dikotomi keliru, memilih antara konstitusi atau adab.
    Dalam tradisi NU, keduanya tidak pernah dipertentangkan. Konstitusi lahir dari adab; adab menemukan bentuk operasionalnya melalui konstitusi.
    Ushul fiqh menyediakan jembatan melalui kaidah
    Al-umuru bi maqasidiha
    , setiap perkara dinilai dari tujuan akhirnya.
    Tujuan kepemimpinan PBNU bukan sekadar menjaga struktur, melainkan menjaga keteduhan umat dan kewibawaan ulama.
    Fakta menunjukkan, penetapan PJS belum sepenuhnya meredakan ketegangan. Polarisasi menguat, sementara seruan pengendalian diri dari para sesepuh di Ploso dan Tebuireng agar semua pihak menahan diri belum sepenuhnya direspons.
    Wacana Muktamar Luar Biasa, sebagaimana disampaikan KH. Ma’ruf Amin, mengemuka sebagai opsi penjernihan. Ini menandakan bahwa kerusakan yang dikhawatirkan belum sepenuhnya terhindarkan.
    Di titik inilah, upaya segera rekonsiliasi (islah) menjadi keniscayaan. NU memiliki preseden sejarah yang relevan.
    Pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an, NU pernah berada dalam ketegangan serius antara poros Cipete, yang merujuk pada kepemimpinan KH. Idham Chalid sebagai Ketua Umum PBNU dan Situbondo, yang merepresentasikan kegelisahan ulama pesantren untuk mengembalikan NU ke Khittah 1926.
    Dalam situasi genting tersebut, peran tiga ulama kunci menjadi penentu: KH. Achmad Siddiq, KH. Ali Maksum, dan KH. As’ad Syamsul Arifin.
    KH. Achmad Siddiq tampil sebagai perumus jalan tengah secara konseptual dan teologis, menggunakan bahasa fikih yang menenangkan untuk menyatukan pandangan.
    KH. Ali Maksum, sebagai Rais Aam PBNU, menjaga keseimbangan moral organisasi agar dinamika tidak keluar dari adab ulama.
    Sementara KH. As’ad Syamsul Arifin, kiai kharismatik Situbondo, berperan sebagai peneduh lapangan: meredam ketegangan, menguatkan komunikasi antar-kubu, dan mengajak semua pihak kembali pada kelapangan jiwa.
    Melalui kewibawaan dan kebesaran jiwa para ulama ini, konflik tidak diselesaikan dengan saling menyingkirkan, tetapi dikembalikan ke mekanisme tertinggi organisasi, berpuncak pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984, rekonsiliasi besar yang menyelamatkan NU dari perpecahan.
    Preseden Cipete-Situbondo memberi pelajaran penting bagi PBNU hari ini. Bahwa konflik bukan hal asing di NU, tetapi cara menyikapinya menentukan apakah NU keluar sebagai organisasi yang lebih matang atau justru terluka.
    Dalam bahasa ushul fiqh, kaidah
    Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil masalih
    , menghindari kerusakan didahulukan daripada meraih kemaslahatan, menjadi kompas moral untuk menahan langkah yang memperbesar kegaduhan, sekalipun tampak sah secara formal.
    Pada akhirnya, prahara PBNU hari ini mengingatkan kita pada satu kenyataan mendasar: konstitusi memang perlu, tetapi tidak pernah cukup sendirian.
    AD/ART adalah pagar agar organisasi tidak liar, tapi adab dan kebijaksanaan (
    wisdom
    ) adalah jiwa yang membuat NU tetap hidup dan bermartabat.
    Tanpa adab, konstitusi mudah berubah menjadi alat pembenar; tanpa kebijaksanaan, prosedur berisiko melahirkan kemenangan yang kering dari keteduhan.
    Warisan para muassis dan kiai sepuh NU mengajarkan bahwa mengelola konflik bukan soal memenangkan tafsir hukum, melainkan menjaga perasaan jamaah dan kewibawaan ulama.
    Sejarah Cipete-Situbondo menunjukkan bahwa NU selamat bukan karena aturan ditegakkan secara kaku, tetapi karena para ulama memilih menurunkan ego, memperluas musyawarah, dan menempatkan maslahat di atas ambisi. Di sanalah adab memandu konstitusi, dan kebijaksanaan mengarahkan keputusan.
    Karena itu, ujian kepemimpinan PBNU hari ini bukan sekadar soal sah atau tidak sah, melainkan soal kebesaran jiwa.
    Apakah para pemangku mandat bersedia mengalah demi islah? Apakah mereka sanggup menahan langkah yang sah secara formal, tetapi berisiko melukai ketenangan umat?
    Pertanyaan-pertanyaan ini lebih menentukan masa depan NU daripada hasil keputusan apa pun.
    NU akan tetap besar bukan karena mampu mengunci keputusan, melainkan karena mampu menjaga warisan adab dan kebijaksanaan ulama dalam setiap badai konflik.
    Sebab pada akhirnya, NU bukan hanya milik struktur, tetapi milik jamaah dan sejarah yang menuntut para pemimpinnya setia pada konstitusi, tapi lebih setia lagi pada hikmah dan keluhuran adab.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Prof M Nuh Resmi Jadi Katib Aam PBNU, Gantikan KH Asrori

    Prof M Nuh Resmi Jadi Katib Aam PBNU, Gantikan KH Asrori

    Jakarta, Beritasatu.com – Rapat harian gabungan Syuriah dan Tanfidziah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) resmi menunjuk Prof Dr Mohammad Nuh sebagai katib aam PBNU. Prof Nuh menggantikan KH Akhmad Said Asrori dan sebelumnya menjabat sebagai rais syuriah PBNU.

    Keputusan tersebut diambil dalam rapat yang digelar di Gedung PBNU lantai 4, Jakarta Pusat, Sabtu (13/12/2025). Rapat dihadiri Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar, Wakil Rais Aam KH Afifuddin Muhajir, serta Pejabat Ketua Umum PBNU KH Zulfa Mustofa.

    Turut hadir dalam rapat tersebut Prof Mohammad Nuh, Ketua PBNU Chaerul Saleh Rasyid, Bendahara Umum PBNU Gudfan Arif, Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Imron Rosyadi Hamid, serta sejumlah pengurus lainnya.

    “Di antara hasil yang disepakati adalah reposisi katib aam. Sejak hari ini, katib aam PBNU yang ditetapkan melalui rapat gabungan adalah Prof Dr H Mohammad Nuh,” ujar Wakil Ketua Umum PBNU Prof Mohammad Mukri.

    Menurut Prof Mukri, rotasi kepengurusan ini merupakan bagian dari penyegaran organisasi, menyusul penunjukan KH Zulfa Mustofa sebagai pejabat ketua umum PBNU dalam rapat pleno sebelumnya.

    Selain reposisi katib aam, rapat juga menyepakati adanya penataan ulang sejumlah posisi pengurus lainnya. Namun, rincian reposisi tersebut akan dibahas lebih lanjut oleh tim khusus yang diketuai langsung rais aam PBNU bersama pejabat ketua umum.

    “Detail reposisi akan diserahkan kepada tim yang diketuai rais aam dan pj ketua umum PBNU,” jelas Prof Mukri.

    Rapat juga memutuskan pembentukan panitia musyawarah nasional (Munas) PBNU serta peringatan hari lahir (Harlah) 1 Abad Nahdlatul Ulama versi Masehi. Salah satu agenda utama munas nantinya adalah persiapan pelaksanaan Muktamar NU.

    “Terkait waktu dan tempat memang belum ditentukan, tetapi fokus kita menyiapkan muktamar NU yang akan datang,” katanya.

    Sementara itu, sejak hari pertama menjabat sebagai Pejabat Ketua Umum PBNU, KH Zulfa Mustofa langsung melakukan konsolidasi organisasi. Konsolidasi dilakukan dengan pengurus pusat, wilayah, cabang, hingga Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU, baik secara daring maupun melalui pertemuan langsung di berbagai daerah.

    Langkah konsolidasi tersebut menjadi bagian dari tindak lanjut rekomendasi rapat pleno PBNU, termasuk persiapan menuju muktamar NU mendatang.

  • Sikapi Polemik PBNU, Pengasuh Pesantren Tebuireng Ingatkan soal Pentingnya Musyawarah dan Qanun Asasi
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        13 Desember 2025

    Sikapi Polemik PBNU, Pengasuh Pesantren Tebuireng Ingatkan soal Pentingnya Musyawarah dan Qanun Asasi Surabaya 13 Desember 2025

    Sikapi Polemik PBNU, Pengasuh Pesantren Tebuireng Ingatkan soal Pentingnya Musyawarah dan Qanun Asasi
    Tim Redaksi
    JOMBANG, KOMPAS.com
    – Menyikapi polemik yang terjadi di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, KH Abdul Hakim Mahfudz atau Gus Kikin, mengingatkan pentingnya menjaga tradisi musyawarah.
    Tradisi musyawarah
    , jelasnya, merupakan tradisi yang dijalankan para pendiri
    Nahdlatul Ulama
    .
    Tradisi itu juga menjadi bagian penting yang tercantum AD dan ART Nahdlatul Ulama, maupun Kitab Qanun Asasi karya KH Hasyim Asy’ari.
    Terkait polemik di PBNU,
    Gus Kikin
    memilih membiarkan setiap proses terus berjalan. Sebagai Ketua PWNU Jawa Timur, ia juga memilih menahan diri untuk mengambil sikap.
    Menurut cicit KH Hasyim Asy’ari tersebut, langkah yang paling penting dilakukan saat ini adalah terus membersamai dan menyatukan umat.
    “Bagi saya, NU itu lebih banyak dengan bagaimana kita menyatukan umat. Kalau soal di PBNU, di mana sekarang dinamikanya mengangkat Pj ketua umum, itu sih monggo saja,” kata Gus Kikin.
    “Memang kalau perlu dievaluasi ya dievaluasi. Baik itu prosedurnya dan lain sebagainya,” lanjut dia saat dikonfirmasi wartawan di Pesantren Tebuireng, Sabtu (13/12/2025).
    Menurut Gus Kikin, polemik yang terjadi di PBNU saat ini, dipicu banyaknya perbedaan dalam menafsirkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama, maupun Kitab Qanun Asasi. 
    Kitab Qanun Asasi yang disinggung Gus Kikin, merupakan kitab yang ditulis Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari pada satu abad yang lalu, saat mendirikan Organisasi Jam’iyah Nahdlatul Ulama. 
    Qanun Asasi mengandung tuntunan warga NU dalam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan secara substantif merupakan pedoman pola pikir dan pola sikap dan perilaku warga NU. 
    “Karena memang banyak sekali penafsiran yang berbeda tentang AD/ART dan Qanun Asasi. Banyak penafsiran yang berbeda-beda,” kata cicit pendiri NU KH Hasyim Asy’ari tersebut.
    Menurut Gus Kikin, banyaknya perbedaan penafsiran terhadap AD/ART dan Qanun Asasi diperuncing dengan mulai terkikisnya tradisi musyawarah.
    “Tradisi NU itu dari dulu musyawarah. Itu yang sekarang banyak ditinggalkan sehingga banyak sekali dan macam-macam atau usulan yang berbeda-beda,” kata Ketua PWNU Jawa Timur tersebut.
    Dalam beberapa waktu terakhir, Gus Kikin mengaku sering melakukan turba ke cabang cabang NU di Jawa Timur. 
    Dalam kesempatan itu, dirinya selalu mengingatkan kepada pengurus cabang NU agar menjaga nilai-nilai perjuangan NU dan berpegang teguh pada AD ART organisasi NU.
    “Saat turba, selalu kita sampaikan bahwa NU itu punya Anggaran Dasar yang sangat kuat. Kalau itu kita ikuti, Insya Allah gak akan banyak masalahnya,” ujar Gus Kikin.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hadiri Muskercab PCNU, Mbak Wali Ajak Kuatkan Sinergi Mewujudkan NU Yang Adaptif, Kolaboratif dan Inklusif

    Hadiri Muskercab PCNU, Mbak Wali Ajak Kuatkan Sinergi Mewujudkan NU Yang Adaptif, Kolaboratif dan Inklusif

    Kediri (beritajatim.com) – Wali Kota Kediri Vinanda Prameswati mengikuti Musyawarah Kerja Ke-III Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Kediri yang diselenggarakan di Aula Gedung E Universitas Islam Kadiri, Sabtu (13/12/2025). Musyawarah Kerja Cabang (Muskercab) Ke-III ini mengusung tema “Khidmah Jam’iyyah Menuju Nahdlatul Ulama Kota Kediri yang Adaptif, Kolaboratif, dan Inklusif di Era Keberlanjutan.”

    Dalam sambutannya, Wali Kota Kediri menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada PCNU Kota Kediri yang selama ini menjadi mitra strategis pemerintah dalam menjaga kerukunan sosial-keagamaan serta memperkuat ketahanan masyarakat di Kota Kediri.

    Mbak Wali juga menuturkan bahwa Kota Kediri saat ini tengah menghadapi berbagai dinamika penting. Pertama, di bidang pendidikan dan pembentukan karakter generasi muda. Pemerintah Kota Kediri menyambut baik kolaborasi dengan pesantren, Lembaga Ma’arif, serta seluruh lembaga pendidikan di bawah naungan Nahdlatul Ulama.

    “Di tengah derasnya arus digital dan tantangan degradasi moral, peran dan bimbingan para kiai dinilai sangat dibutuhkan untuk membentuk generasi muda yang berakhlakul karimah,” imbuhnya.

    Kedua, di sektor ekonomi kerakyatan. Pemerintah Kota Kediri memberikan perhatian besar terhadap penguatan UMKM, koperasi, serta kemandirian ekonomi keluarga. Untuk itu, Wali Kota termuda ini mengajak PCNU beserta badan otonom dan lembaga-lembaga NU untuk bersama-sama memperkuat dan menumbuhkan usaha berbasis jamaah, mendorong digitalisasi UMKM, serta meningkatkan pemberdayaan ekonomi di lingkungan masjid, musala, dan pesantren.

    Lebih lanjut, Wali Kota Kediri menegaskan bahwa dengan adanya Muskercab ini menjadi ruang bermusyawarah untuk menentukan arah besar khidmah PCNU bagi umat dan Kota Kediri. Rangkaian agenda yang tersusun, mulai dari iftitah, pleno tata tertib, sidang komisi, hingga bahtsul masail, merupakan ikhtiar Nahdlatul Ulama dalam menjawab tantangan zaman.

    Menutup sambutannya, Wali Kota Kediri mengucapkan selamat dan sukses atas terselenggaranya Musyawarah Kerja Ke-III PCNU Kota Kediri Tahun 2025. “Saya berharap seluruh rangkaian musyawarah dapat berjalan lancar dan menghasilkan keputusan-keputusan yang membawa kemaslahatan bagi umat dan kemajuan Kota Kediri,” pungkasnya.

    Turut hadir dalam kegiatan tersebut Ketua DPRD Kota Kediri Firdaus, Wakil Wali Kota Kediri Qowimuddin, Rais Syuriah PCNU Kota Kediri KH Abdul Hamid Abdul Qodir, Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Kediri KH Abu Bakar Abdul Jalil, Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Kediri A. Zamroni, Camat Kota Agus Suharyanto, Lurah Manisrenggo David Hendra, serta tamu undangan lainnya. [nm/kun]

  • Timnas Indonesia Gagal di SEA Games 2025, Ustaz Hilmi: Dibangun STY, Dihancurkan Federasi Sendiri

    Timnas Indonesia Gagal di SEA Games 2025, Ustaz Hilmi: Dibangun STY, Dihancurkan Federasi Sendiri

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Kegagalan Tim Nasional Indonesia melaju ke babak semifinal SEA Games 2025 menuai beragam reaksi dari publik.

    Salah satunya datang dari penceramah kondang, Ustaz Hilmi Firdausi, yang mengaku kecewa dengan performa timnas sepanjang fase grup.

    UHF, akronim namanya menilai, bukan hanya hasil akhir yang mengecewakan, tetapi juga cara bermain yang ditampilkan skuad Garuda di ajang tersebut.

    Dikatakan UHF, kondisi ini mengingatkan kembali pada masa-masa kelam sepak bola nasional.

    “Melihat kegagalan lolos semifinal dan juga cara main Timnas Sea Games kali ini,” ujar UHF di X @hilmi28 (13/12/2025).

    Ia pun menyampaikan kekhawatirannya bahwa Timnas Indonesia berpotensi kembali memasuki periode keterpurukan yang pernah dialami sebelumnya.

    “Sepertinya saya akan mengucapkan Selamat Datang kembali era kegelapan timnas Indonesia,” lanjutnya.

    Lebih jauh, UHF menyinggung peran federasi sepak bola nasional dalam situasi tersebut.

    Kata Cendekiawan Nahdlatul Ulama (NU) ini, fondasi yang sebelumnya telah dibangun dengan baik justru tidak dijaga dengan konsisten.

    “Dibangun oleh STY (Shin Tae-yong), dihancurkan oleh federasi sendiri,” sesalnya.

    Sebelumnya, Timnas Indonesia harus mengubur mimpinya melangkah jauh ke babak semifinal ajang SEA Games 2025.

    Kegagalan Timnas Indonesia U-22 ke babak semifinal dipastikan usai raihan meraih kemenangan menghadapi Myanmar.

    Timnas U-22 Indonesia menang 3-1 melawan Myanmar pada babak pertama pertandingan Grup C sepak bola putra SEA Games 2025 di Stadion 700th Anniversary, Chiang Mai, Thailand, Jumat (12/12/2025).

  • 3
                    
                        Kritis Integritas: Pembangkangan Polri atas Putusan MK
                        Nasional

    3 Kritis Integritas: Pembangkangan Polri atas Putusan MK Nasional

    Kritis Integritas: Pembangkangan Polri atas Putusan MK
    Penyuluh Antikorupsi Sertifikasi | edukasi dan advokasi antikorupsi. Berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya integritas dan transparansi di berbagai sektor
    Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
    DI TENGAH
    upaya memperkuat supremasi hukum di Indonesia, keputusan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menerbitkan Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 menjadi sorotan tajam.
    Langkah ini muncul setelah Mahkamah Konstitusi (MK) secara tegas melarang anggota Polri aktif menjabat di kementerian dan lembaga sipil.
    Tindakan yang seolah tak mengindahkan keputusan MK ini menggugah pertanyaan mendalam tentang komitmen institusi penegak hukum dalam menjaga integritas dan netralitasnya.
    Pembangkangan terhadap putusan MK bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi juga ancaman terhadap prinsip dasar negara hukum.
    Dengan tetap mengizinkan anggota Polri menjabat di instansi sipil, Kapolri tidak hanya merendahkan kewibawaan hukum, tetapi juga berpotensi memicu konflik kepentingan.
    Situasi ini mengaburkan batas antara kekuasaan sipil dan aparat, di mana polisi seharusnya menjadi penegak hukum yang independen, justru terjerat dalam kebijakan politik sipil.
    Tindakan pemerintah dalam menanggapi situasi ini sangat krusial. Di saat masyarakat mendesak agar integritas hukum ditegakkan, langkah berani untuk menarik anggota Polri dari jabatan sipil dan menghentikan implementasi Perpol 10/2025 menjadi penting dan mendesak.
    Hanya dengan mematuhi putusan MK dan menjalankan prinsip-prinsip profesionalitas, kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian dapat dipulihkan, serta memastikan bahwa Indonesia tetap berkomitmen pada supremasi hukum, bukan pada kekuasaan semata.
    Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 yang mengizinkan anggota Polri aktif menjabat di 17 kementerian dan lembaga sipil terasa seperti tamparan bagi integritas institusi negara.
    Aturan ini muncul hanya sebulan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) secara tegas melarang praktik semacam itu melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menyatakan bahwa anggota Polri hanya boleh menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun.
    Putusan MK tersebut bukanlah hal sepele. MK membatalkan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
    Alasan utamanya adalah untuk menjaga netralitas Polri sebagai penegak hukum, mencegah konflik kepentingan, dan menghindari politisasi institusi kepolisian.
    Sebelum putusan ini, polisi aktif sering ditempatkan di posisi strategis sipil, seperti di kementerian atau lembaga negara, yang menurut para pemohon uji materi termasuk aktivis hak asasi manusia, merusak prinsip pemisahan kekuasaan.
    Pakar hukum tata negara pun menilai putusan ini berlaku serta merta, mengharuskan polisi aktif yang sedang menjabat segera mundur.
    Namun, respons Kapolri justru sebaliknya. Perpol baru tersebut secara eksplisit mengatur bahwa anggota Polri dapat bertugas di 17 instansi sipil, termasuk Kementerian Kehutanan, Kementerian Hukum dan HAM, hingga lembaga seperti Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Intelijen Negara (BIN), KPK.
    Ini bukan hanya kontradiktif dengan putusan MK, tapi juga mengabaikan seruan dari DPR RI yang mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk menarik polisi dari jabatan sipil demi menghormati keputusan konstitusi.
    Tidak salah jika banyak masyarakat beranggapan bahwa tindakan ini merupakan bentuk pembangkangan hukum yang jelas, yang dapat merusak kepercayaan publik terhadap Polri dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penjaga konstitusi.
    Jika keputusan MK, yang seharusnya final dan mengikat, tidak dianggap serius, maka persepsi publik terhadap institusi tersebut bisa runtuh.
    Pertanyaan yang muncul adalah, untuk apa adanya Mahkamah Konstitusi jika putusannya tidak dihormati?
    Di sisi lain, pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM berargumen bahwa putusan MK tidak berlaku surut. Artinya, larangan hanya untuk pengangkatan baru, sementara yang sudah menjabat boleh tetap.
    Pendapat ini didukung oleh sebagian kalangan, termasuk dari Nahdlatul Ulama (NU), yang melihatnya sebagai cara untuk menghindari kekacauan administratif mendadak.
    Namun, argumen ini lemah secara hukum. Putusan MK bersifat final dan mengikat, dan prinsip non-retroaktif biasanya tidak berlaku untuk isu konstitusional yang menyangkut prinsip dasar negara.
    Jika dibiarkan, ini bisa menjadi preseden berbahaya: lembaga eksekutif bisa mengabaikan MK dengan dalih interpretasi sendiri.
    Menurut saya, tindakan Kapolri mencerminkan masalah lebih rumit dan ruwet dalam
    reformasi Polri
    . Reformasi polri juga tampaknya tak berdaya. Benarlah adanya bahwa reformasi Polri itu sekadar
    omon-omon
    di warung kopi.
    Indonesia bukan negara polisi, tapi negara hukum di mana supremasi konstitusi harus diutamakan.
    Dengan membiarkan anggota Polri tetap menjabat di instansi sipil, Kapolri tidak hanya melemahkan netralitas Polri, tapi juga menggerus kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum.
    Tentu saja hal Ini bisa memicu konflik kepentingan, di mana polisi yang seharusnya independen justru terlibat dalam kebijakan sipil, potensial menimbulkan korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Inilah yang menjadi kekhawatiran saya.
    Sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi, Presiden Prabowo memiliki peran sentral dalam memastikan kepatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
    Tanggung jawab ini tidak hanya bersifat otoritatif, tetapi juga mencerminkan kewajiban moral untuk menjaga agar seluruh lembaga negara, termasuk Polri, tunduk pada konstitusi.
    Dalam konteks ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mendesak pemerintah untuk menarik personel Polri dari jabatan sipil. Tindakan ini diharapkan dapat menghormati dan menegakkan keputusan MK yang telah ada.
    Langkah yang seharusnya diambil oleh pemerintah bukanlah mempertahankan Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 (Perpol 10/2025), melainkan melakukan penataan transisi yang sesuai dengan hukum. Beberapa langkah penting yang dapat dilakukan antara lain:
    Pertama, menghentikan sementara implementasi Perpol 10/2025 sampai proses harmonisasi dengan putusan MK selesai. Langkah ini akan memberikan waktu yang cukup bagi pemerintah untuk mengevaluasi dan menyesuaikan regulasi yang ada guna mematuhi keputusan MK.
    Kedua, segera menarik anggota Polri aktif dari jabatan sipil yang jelas bertentangan dengan putusan MK. Hal ini esensial untuk menghindari konflik kepentingan dan memastikan bahwa penegakan hukum tetap profesional dan bebas dari intervensi.
    Ketiga, melakukan audit transparan terhadap seluruh bentuk penugasan personel aktif di luar struktur kepolisian. Dengan adanya audit ini, publik akan mendapatkan gambaran jelas tentang penggunaan sumber daya Polri dan menjamin keadilan dalam penugasan.
    Keempat, membangun mekanisme transisi yang memungkinkan jabatan-jabatan yang ditinggalkan diisi oleh unsur Aparatur Sipil Negara (ASN) atau pejabat sipil lain. Ketersediaan layanan publik tidak boleh terganggu selama masa transisi ini.
    Mekanisme yang baik akan memastikan kelangsungan pelayanan masyarakat tanpa menyalahi ketentuan hukum.
    Langkah-langkah ini tidak hanya menunjukkan komitmen pemerintah dalam menjaga integritas konstitusi, tetapi juga merupakan bentuk upaya untuk mencegah erosi terhadap prinsip profesionalitas dan netralitas Polri.
    Dengan mengedepankan kepatuhan terhadap hukum, pemerintah dapat memperkuat legitimasi institusinya di hadapan publik, serta menciptakan kepercayaan yang lebih besar terhadap lembaga-lembaga negara
    Pelanggaran terhadap konstitusi tidak selalu terjadi secara frontal. Sering kali ia berlangsung lewat regulasi teknis, keputusan administratif, atau penafsiran yang memelintir makna putusan peradilan.
    Dalam kasus ini, Perpol 10/2025 menjadi contoh bagaimana aturan internal dapat menggeser batas-batas konstitusional secara perlahan, tapi signifikan.
    Ketika MK telah mengeluarkan putusan final, yang dibutuhkan bukanlah perdebatan panjang, melainkan kepatuhan. Mengabaikannya berarti membiarkan marwah negara hukum terkikis sedikit demi sedikit.
    Polri membutuhkan kepercayaan publik untuk menjalankan tugasnya. Kepercayaan itu hanya dapat bertahan jika institusi kepolisian menunjukkan komitmen terhadap prinsip dasar negara hukum.
    Indonesia bukan negara polisi. Indonesia adalah negara hukum. Karena itu, langkah apa pun yang berpotensi mengaburkan batas antara kekuasaan sipil dan aparat harus dihentikan.
    Tugas negara hari ini bukan hanya memperkuat supremasi hukum, tetapi juga memastikan bahwa tidak ada lembaga yang berdiri di atas konstitusi.
    Dalam setiap langkah kita menuju keadilan, sangat jelas bahwa hukum harus menjadi penuntun, bukan sekadar aturan yang bisa diabaikan.
    Ketika lembaga-lembaga negara mulai mengabaikan putusan hukum, kita bukan hanya menghadapi ancaman terhadap integritas institusi, tetapi juga mengorbankan kepercayaan masyarakat yang telah dibangun dengan susah payah.
    Masyarakat berhak mendapatkan penegakan hukum yang adil dan bijaksana, serta aparat yang mampu menjaga netralitasnya dalam setiap keputusan.
    Pada akhirnya, saatnya bagi kita semua untuk bersuara, menantang setiap bentuk pembangkangan hukum yang merusak fondasi konstitusi.
    Marilah kita bergerak bersama, mendorong pemerintah dan lembaga terkait untuk kembali pada prinsip-prinsip yang mendasar, demi masa depan yang lebih baik dan berkeadilan. Polisi kembalilah mengayomi bukan menguasai.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.