Organisasi: NU

  • Pembangunan RS Surabaya Timur Disorot, Pengamat: Rawan Terjerat Masalah Hukum

    Pembangunan RS Surabaya Timur Disorot, Pengamat: Rawan Terjerat Masalah Hukum

    Surabaya (beritajatim.com) – Pembangunan rumah sakit baru di kawasan Surabaya Timur disorot sejumlah pihak.

    Pasalnya, pemenang tender proyek PT PP dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara (PKPUS) berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makasar No.9/Pdt.Sus.PKPU/2023/PN.Niaga.Mks.

    Pengamat hukum Abdul Malik SH MH mengimbau agar Pemkot Surabaya berhati-hati. Sebab, PT PP selaku pemenang tender apabila tetap dipaksakan untuk teken kontrak, maka dinilai akan menabrak aturan. Bahkan dia khawatir hal ini akan menimbulkan banyak korban terjerat masalah hukum nantinya.

    “Lebih baik dievaluasi lagi pemenang lelang. Pemkot harus punya data konkrit. Melalui pemberitahuan saya ini, pemkot bisa menanyakan langsung ke pemenang lelang, apakah benar kena PKPU pengajuan pailit? Lalu tanyakan ada dana berapa? Karena harus ada uang yang disetor (untuk mengerjakan proyek RS Surabaya Timur),” jelas Malik, Kamis (28/9/2023).

    Baca Juga: Tradisi Kersen, Ritual Turun Temurun Warga Mangelo Sooko Mojokerto Saat Maulid Nabi Muhammad SAW

    Malik sangat mendukung adanya pembangunan RS Surabaya Timur ini. Akan tetapi dirinya tak ingin program tersebut menimbulkan masalah. Sehingga masyarakat yang akan dirugikan.

    “Jangan sampai dia (pemenang lelang) tak ada uang disetor tapi tetap membuat SPK. Saya minta peristiwa ini merupakan ikon untuk Surabaya. Rumah sakit di wilayah timur harus dibenahi masalah administrasi hukumnya dan jangan ada orang yang berpendapat ini diperbolehkan karena sudah konsultasi ke kejaksaan tinggi,” cetus pria yang juga Ketua Kongres Advokat Indonesia (KAI) Jatim ini.

    Menurut Malik, salah satu pidana yang rawan terjadi adalah masuk pada ranah korupsi. “Kuncinya menghabiskan uang pemkot ini tidak benar. Jangan sampai nanti membuat pidana korupsi,” imbuhnya.

    Baca Juga: Soal Perbedaan Hukum Karmin antara MUI dan NU Jatim, Asrorun Niam: Tashawwur Masalah

    Sementara itu, dalam hearing di Komisi D DPRD Surabaya terungkap bahwa penetapan pemenang tender PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk (PTPP) tetap dilanjut meski tengah dipermasalahkan statusnya.

    Kabid Bangunan Gedung Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman serta Pertanahan (DPRKPP) Surabaya Iman Krestian yang juga menjabat sebagai PPK mengklaim pihaknya telah berkonsultasi dengan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya terkait status hukum PTPP.

    Menurut Iman, aparat penegak hukum (APH) yang dimaksud tidak mempermasalahkan hal tersebut. Sehingga penetapan pemenang tender bisa dilanjutkan tanpa perlu dibatalkan.

    “Kami sudah konsultasi ke Kejati dan Kejari Surabaya. Dalam kasus PKPU PTPP tidak ada masalah, proyek bisa jalan terus, dan rencana teken kontrak tanggal 29 September,” ujar Iman.

    Baca Juga: Jembatan Pelor Kota Malang Retak, Malam Ini Ditutup Sementara untuk Perbaikan

    Iman beralasan bahwa sesuai pendapat kejaksaan, tiga unsur yakni, pailit, dalam pengawasan pengadilan, dan perusahaan tidak sedang dihentikan tidak bisa dibaca terpisah melainkan harus dilihat secara keseluruhan.

    Seperti diketahui, proyek RS Surabaya Timur ini awalnya dilepas dengan nilai tender Rp 503.574.000.000. Dan yang diputuskan memenangkan tender adalah PT PP dengan pengajuan penawaran Rp 494.603.098.000.

    Sedangkan PT WK mengajukan penawaran yang lebih rendah yakni, Rp 476.884.578.000 malah ditolak. Padahal ada selisih Rp 17.718.520.000 yang bisa dihemat dari APBD. [asg/ian]

  • Dihukum Berat dan Dimiskinkan Hakim, Kini Sahat Bungkam

    Dihukum Berat dan Dimiskinkan Hakim, Kini Sahat Bungkam

    Surabaya (beritajatim.com) – Sahat Tua P Simandjutak hanya bisa diam usai menjalani sidang putusan atas kasus suap dana hibah Pokir. Wajahnya tampak sekali menahan kecewa dan amarah saat berjalan keluar persidangan menuju ruang tahanan sementara PN Tipikor Surabaya.

    Tak sedikitpun kata dia ucapkan saat awak media meminta tanggapan atas vonis berat yang dijatuhkan majelis hakim Dewa Suardita.

    Dalam persidangan, Sahat tak beruntung. Alasan yang dia kemukakan dalam pembelaan tak satupun digubris majelis hakim. Meski Sahat dalam pembelaan memelas dan menyisipkan berbagai ayat dalam Alkitab, namun hal itu tak juga membuat hakim luluh.

    Baca Juga: Tegas, Bahtsul Masail NU Jatim Nyatakan Yogurt Berbahan Karmin Haram dan Najis

    Majelis hakim tetap menghukum Sahat berat yakni sembilan tahun, bahkan Sahat terancam miskin lantaran dia harus membayar denda Rp 1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp39,5 miliar. Apabila Sahat tam mampu membayar hukuman tersebut, maka dia harus merelakan harta kekayaannya disita dan dilelang.

    Apabila harta kekayaan yang disita dan dilelang tidak mencukupi dengan jumlah uang pengganti yakni Rp 39,5 miliar, maka Sahat harus merelakan badannya untuk tinggal lebih lama di bui yakni empat tahun. Sehingga dia harus menjalani total hukuman 13 tahun dengan rincian hukuman pokok sembilan tahun dan hukuman pengganti empat tahun.

    Sahat sendiri dalam persidangan sempat menyangkal menerima suap Rp 39,5 miliar sebagaimana dakwaan Jaksa KPK, hal itu disampaikan Sahat dalam pembelaan (pledoi) yang dia bacakan dalam persidangan akhir Agustus 2023 lalu. Namun, alasan Sahat tersebut tidak bisa diterima oleh majelis hakim yang diketuai Dewa Suardita.

    Baca Juga: Chris John Foundation Sumbang 1000 Kasur Bagi Atlet PBSI Jatim

    Sebab, dalam amar putusan majelis hakim disebutkan bahwa bahwa Terdakwa Sahat tidak bisa membuktikan pernyataannya. ” Sedangkan dakwaan JPU bisa dibuktikan dari keterangan Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi,” ujar ketua majelis hakim Dewa Suardita dalam amar putusannya.

    Pun demikian dengan alasan Sahat bahwa dia tidak mengenal Moch Qosim (meninggal dunia) yang disebut memiliki peran perantara penyerahan uang suap dari Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi. Sahat hanya mengakui mengenal Rusdi (terdakwa berkas terpisah) yang dia akui memang dia perintahkan untuk menerima sejumlah uang dari Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi.

    “Saya tidak pernah mengenal Moch Qosim. Saya hanya menerima yang pertama saya terima Rp 1,7 miliar. Kemudian ditambah Rp 1 miliar. Jadi totalnya Rp 2,7 miliar yang mulia,” ujar Sahat.

    Baca Juga: Alibi Sahat Hanya Terima Rp 2,7 Miliar Tak Digubris Hakim

    Namun alasan Sahat tersebut kembali dimentahkan majelis hakim. Hakim mengatakan berdasarkan bukti chat WA dan kesaksian dari Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi, JPU bisa membuktikan bahwa Sahat Tua Simanjuntak mengenal Moch Qosim.

    Atas dasar itulah, majelis hakim mengesampingkan seluruh pembelaan Sahat Tua P Simandjutak. Dan menghukum Sahat dengan pidana penjara selama sembilan tahun, denda Rp 1 miliar, yang pengganti Rp 39,5 miliar serta pencabutan hak berpolitik selama empat tahun. [Uci/ian]

  • Peringatan 1 Tahun Tragedi Kanjuruhan Malang: Moratorium Penggunaan Gas Air Mata di Indonesia

    Peringatan 1 Tahun Tragedi Kanjuruhan Malang: Moratorium Penggunaan Gas Air Mata di Indonesia

    Malang (beritajatim.com) – Diskusi memperingati Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022, digelar Jaringan Saksi dan Korban Kanjuruhan (JSKK), Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan (TATAK), LBH Pos Malang dan LPBH NU Kota Malang, Senin (25/9/2023).

    Dalam diskusi tersebut, tragedi Kanjuruhan merupakan peristiwa Kejahatan terhadap kemanusiaan
    yang menelan ratusan korban jiwa dan luka-luka akibat Kekerasan aparat secara berlebihan
    dan penggunaan gas air mata.

    Tragedi Kanjuruhan, dengan korban 135 nyawa manusia, memperpanjang deretan kekerasan aparat
    terhadap masyarakat sipil yang semakin menunjukan Impunitas bagi para pelaku level atas
    (Actor High Level) yang seharusnya bertanggungjawab.

    “Putusan Kasasi terhadap dua terdakwa Kepolisian dan Putusan Banding terhadap satu orang terdakwa kepolisian menunjukan ringannya pemidanaan yang tidak sebanding dengan jumlah korban yang berjatuhan,” tegas Koordinator LBH Pos Malang, Daniel Siagian, Selasa (26/9/2023).

    Menurut Daniel, upaya melokalisir penegakan hukum dengan menggunakan Pasal 359 dan 360 KUHP tidak menyentuh pokok krusial dalam kasus tersebut.

    Sejatinya, Jaringan Saksi dan Korban Kanjuruhan (JSKK), Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan (TATAK), LBH Pos Malang dan LPBH NU Kota Malang dan Aliansi Reformasi Polisi menilai bahwa Tragedi Kanjuruhan merupakan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang perlu dilakukan penyelidikan sebagaimana Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.

    Berbagai kejanggalan selama proses penegakan hukum terhadap tragedi kanjuruhan semakin menunjukan bahwa proses hukum yang telah berjalan sengaja dirancang untuk gagal dalam mengungkap kebenaran (Intended to Fail) yang mengarah pada sistem peradilan sesat (Malicious Trial Process) dan memperburuk situasi Hak Asasi Manusia di Indonesia.

    “Penghentian penyelidikan oleh Polres Kabupaten Malang terhadap Laporan Model B yang diajukan oleh Keluarga Korban menunjukan bahwa terdapat pembatasan akses terhadap keadilan dan hak hukum bagi Penyintas semakin menunjukan kebobrokan institusi Kepolisian sebagai Lembaga penegakan hukum,” tambah Kuasa Hukum Tim TATAK, Imam Hidayat.

    Menurutnya, kekerasan aparat melalui penggunaan gas air mata nyatanya terus dilakukan disejumlah
    wilayah seperti Rempang-Galang, Barabaraya, Stadion Jatidiri Semarang, Warga Dago Elos Bandung, Penembakan gas air mata di Universitas Halu Uleo Kendari, dan wilayah lainnya.

    Berdasarkan data yang dianalisis oleh ICJR-Persada Univesitas Brawijaya-PBHI-LBH Pos Malang, penganggaran penggunaan gas air mata di Polri mencapai 1,297 Triliyun yang ditujukan kepada masyarakat dan anak-anak.

    “Kami menilai bahwa Negara dipandang perlu untuk segera mengevaluasi serius terhadap Institusi Kepolisian dan mengevaluasi total anggaran penggunaan gas air mata yang pada fakta justru digunakan secara eksesif terhadap masyarakat sipil dalam pengendalian huru-hara,” sambung Daniel. (yog/ted)

     

    Berdasarkan hal tersebut, Jaringan Saksi dan Korban Kanjuruhan (JSKK), Tim
    Advokasi Tragedi Kanjuruhan (TATAK), LBH Pos Malang dan LPBH NU Kota Malang
    menyatakan sikap:

    1. Mendesak Presiden dan DPR-RI untuk segera melakukan Evaluasi serius terhadap
    penggunaan gas air mata dalam pengendalian massa di POLRI.

    2. Mendesak Kapolri untuk segera melakukan pengembangan kasus dan keterlibatan
    aktor lain dalam tragedi Kanjuruhan.

    3. Mendesak Kapolri untuk segera menindak tegas kejanggalan terhadap penghentian
    penyelidikan Laporan Model B pada Polres Kabupaten Malang.

    4. Mendesak Kapolri untuk segera menerbitkan Peraturan Kapolri terkait Moratorium
    Gas Air Mata yang ditujukan ke Warga Sipil.