Organisasi: MTI

  • Awas Liburan Maut, Lakukan Ini Sebelum Beli Tiket Bus Pariwisata

    Awas Liburan Maut, Lakukan Ini Sebelum Beli Tiket Bus Pariwisata

    Jakarta, CNBC Indonesia – Hasil survey Kementerian Perhubungan (Kemenhub) terkait potensi peregerakan nasional libur Natal 2024 dan Tahun Baru 2025 (Nataru) menunjukkan, sebanyak 110,67 juta orang akan melakukan perjalanan. Sebanyak 45,68% atau 50,55 juta orang diantaranya melakukan perjalanan dengan alasan berlibur ke lokasi wisata.

    Survey itu menemukan, sebanyak 36,07% atau 39,92 juta akan melakukan perjalanan menggunakan mobil pribadi dan 17,71% atau 19,60 juta orang dengan sepeda motor pribadi.

    Selain itu, sebanyak 15,04% atau 16,65 juta orang diprediksi akan melakukan perjalanan menggunakan bus. Meski, jika menurut prediksi terkoreksi, potensi warga berlibur menggunakan bus selama libur Nataru 2024/2025 adalah 6,54 jut orang. Angka prediksi terkoreksi diperoleh setelah memperhitungkan realisasi di periode sama tahun sebelumnya.

    “Mobilitas masyarakat pada periode Nataru menunjukkan tingginya animo masyarakat yang bepergian di akhir tahun untuk mengunjungi tempat-tempat wisata karena periode tersebut bersamaan dengan liburan sekolah. Maka, keselamatan transportasi wisata harus benar-benar mendapat perhatian khusus,” kata Wakil Ketua Pemberdayaan dan Penguatan Wilayah MTI Pusat Djoko Setijowarno dalam keterangan diterima CNBC Indonesia, dikutip Rabu (18/12/2024). 

    “Warga yang akan menyewa bus wisata tidak hanya memperhatikan tarif sewa yang murah. Namun aspek fasilitas keselamatan perlu mendapat perhatian, seperti ketersediaan alat P3K, palu pemecah kaca, pemadam kebakaran, dan pintu darurat,” tambahnya.

    Menurut Djoko, sampai saat ini masih ada sejumlah bus yang tidak memiliki izin dan tidak melakukan uji kelayakan kendaraan bermotor atau kir.

    “Warga jangan terjebak dengan harga sewa yang murah, namun tidak memberikan layanan dan jaminan keselamatan. Pengemudi diminta yang mengetahui rute mencapai lokasi wisata yang dituju,” tegasnya.

    Pemerintah, lanjutnya, sebenarnya telah mengeluarkan kebijakan untuk menjamin keselamatan menggunakan transportasi wisata. Hal itu, diantaranya tercantum dalam Surat Edaran Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif No. SE/8/DI.01.01/MK/2022 tentang Keselamatan Transportasi Wisata.

    “Surat Edaran itu menyebutkan, pertama, pengguna jasa transportasi wisata (Biro Perjalanan Wisata dan Wisatawan) menggunakan transportasi wisata yang sesuai dengan persyaratan wisata yang sesuai dengan persyaratan teknis dan laik jalan serta memiliki perizinan resmi,” paparnya. 

    Kedua, agar tempat wisata dan taman rekreasi ikut serta mendukung dengan menyediakan tempat istirahat bagi pengemudi transportasi wisata.

    Ketiga, perusahaan jasa transportasi wisata melakukan pengecekan secara rutin pelaksanaan dan pengawasan terhadap penerapan sistem manajemen keselamatan. Keempat, perusahaan jasa transportasi wisata yang telah memiliki izin resmi memastikan telah melakukan pengutipan iuran wajib sebagai bentuk tanggung jawab dalam memberikan jaminan perlindungan dasar pada wisatawan yang menjadi korban kecelakaan penumpang umum. Kelima, perusahaan jasa transportasi wisata harus memperhatikan jumlah penumpang agar tidak melebihi kapasitas.

    Keenam, pemerintah daerah, asosiasi dan khususnya pengguna transportasi wisata serta seluruh pihak diharapkan turut membantu pengawasan terhadap penerapan standar manajemen keselamatan transportasi pada angkutan transportasi wisata dan melaporkan kepada pihak yang berwenang apabila terdapat pelanggaran,” bebernya.

    “Keberhasilan pemerintah menyelenggarakan Nataru 2024/2025 akan menjadi modal awal persiapan membenahi penyelenggaraan musim mudik Lebaran 2025 yang berlangsung tidak lama lagi,” tukas Djoko.

    Foto: cara cek kelayakan bus. (Dok: https://mitradarat.dephub.go.id/ )
    cara cek kelayakan bus. (Dok: https://mitradarat.dephub.go.id/ )

    Cek Kelayakan Bus Pakai Cara Ini

    Mengutip situs resmi Kementerian Perhubungan, calon penumpang dapat melakukan pengecekan sendiri untuk memastikan bus pariwisata yang ditumpanginya layak jalan atau tidak.

    Salah satunya dengan meminta pengemudi menunjukkan surat Uji KIR dan kelengkapan kendaraan lainnya.

    Atau, pengecekan izin dan kelaikan armada bus juga bisa dilakukan melalui https://mitradarat.dephub.go.id/.

    Sebelumnya, melansir detikoto, Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Soerjanto Tjahjono mengatakan, kebanyakan sopir truk atau bus tidak dibekali pelatihan dalam menjalankan tugas profesinya.

    Jika melihat catatan peristiwa beberapa waktu lalu, kecelakaan maut melibatkan bus terjadi pada Sabtu (11/5/2024)pukul 18.45 WIB di Jalan Raya Kp. Palasari Ds. Palasari, Ciater, Subang, Jawa Barat.

    Kronologinya, bus Trans Putera Fajar yang bernomor polisi AD 7524 OG itu membawa rombongan siswa SMK Lingga Kencana, Depok. Bus yang mengarah dari Bandung menuju Subang itu tiba-tiba oleng ke arah kanan dan menabrak sepeda motor yang berada di jalur berlawanan dan bahu jalan sehingga bus terguling. 11 orang dilaporkan meninggal akibat kecelakaan itu.

    (dce/dce)

  • Bea Cukai menambah alat pemindai peti kemas di 3 pelabuhan tahun depan

    Bea Cukai menambah alat pemindai peti kemas di 3 pelabuhan tahun depan

    Kami akan melanjutkan implementasi ini bukan hanya di Tanjung Priok, tetapi juga di Pelabuhan Tanjung Emas dan Tanjung Perak pada triwulan I-2025.

    Jakarta (ANTARA) – Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan menambah pemasangan alat pemindai peti kemas barang impor dan ekspor di tiga pelabuhan pada tahun depan.

    Ketiga pelabuhan itu adalah Tanjung Emas, Semarang, Jawa Tengah; Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur; dan Belawan, Medan, Sumatera Utara.

    Adapun saat ini, Bea Cukai telah memasang alat tersebut di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

    “Kami akan melanjutkan implementasi ini bukan hanya di Tanjung Priok, tetapi juga di Pelabuhan Tanjung Emas dan Tanjung Perak pada triwulan I-2025,” kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani kepada wartawan, usai konferensi pers Peresmian dan Pemberlakuan Alat Pemindai Peti Kemas, di Jakarta, Rabu.

    Sementara untuk Pelabuhan Belawan, pemasangan alat pemindai peti kemas akan dilakukan pada kuartal II-2025.

    Pemilihan tiga pelabuhan tersebut mempertimbangkan tingginya volume arus barang, sehingga pengawasan yang lebih kuat perlu dilakukan.

    Pemberlakuan alat pemindai peti kemas barang impor dan ekspor ini terlaksana dalam rangka mendukung Astacita ke-7 Presiden RI Prabowo Subianto, yaitu untuk memerangi segala bentuk penyelundupan barang ekspor dan impor.

    Tujuan lain adalah sebagai wujud upaya pemerintah dalam meningkatkan efisiensi, transparansi, dan keamanan arus barang, serta menjamin perbaikan tata kelola pelabuhan.

    Penyediaan alat pemindai peti kemas ini mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 109/PMK.04/2020 tentang Kawasan Pabean dan Tempat Penimbunan Sementara.

    Pemberlakuan alat pemindai peti kemas ini pun dapat menjadi daya dorong dalam rangka membangun tata kelola pelabuhan yang semakin baik (good governance). Diketahui, di tahun 2024 (data hingga November 2024) dwelling time Indonesia tercatat sebesar 2,71, dengan customs clearance 0,3-0,4.

    Mulai Desember 2024, 10 alat pemindai peti kemas telah siap digunakan di lima lokasi berbeda di Pelabuhan Tanjung Priok, yaitu JICT (Jakarta International Container Terminal), TPS KOJA, NPCT-MTI (New Priok Container Terminal-Multi Terminal Indonesia), TER3-MAL (Mustika Alam Lestari), dan Graha Segara.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2024

  • 2025, Bea Cukai Akan Resmikan Pemindai Peti Kemas di 3 Pelabuhan

    2025, Bea Cukai Akan Resmikan Pemindai Peti Kemas di 3 Pelabuhan

    Jakarta, Beritasatu.com – Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan PT Pelabuhan Indonesia (Persero) akan meresmikan alat pemindai peti kemas barang impor dan ekspor di tiga pelabuhan pada 2025.

    Sebelumnya, Bea Cukai dan Pelindo meresmikan 10 alat pemindai peti kemas di terminal peti kemas (TPK) Koja, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (18/12/2024).

    “Kita akan melanjutkan implementasi ini, bukan hanya di Tanjung Priok, tetapi juga di pelabuhan Tanjung Emas dan Tanjung Perak pada kuartal  I 2025,” kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Askolani di tempat penimbunan sementara TPK Koja, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (18/12/2024).

    Kemudian pada kuartal II 2025, DJBC dan Pelindo akan meresmikan alat pemindai peti kemas lagi di Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara. Nantinya, pelabuhan tersebut akan menjadi wilayah besar untuk kegiatan ekspor dan impor.

    “Tiga pelabuhan besar dengan volume signifikan, pemasukan dan pengeluaran barang ekspor di wilayah Jawa di awal kuartal I 2025, bisa kita standarisasi dari sisi pelayanan pengawasan,” ujar Askolani.

    Askolani menambahkan, kecanggihan alat ini mampu memindai isi peti kemas Bea Cukai ini tanpa perlu membuka fisik kontainer, termasuk limbah dan narkotika.

    Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia (Persero) Arif Suhartono menyampaikan dukungannya atas upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengawasi keluar dan masuk barang serta memastikan pendapatan negara. “Pelindo mendukung inisiatif dari kementerian dan lembaga serta mendukung pemerintahan Presiden Prabowo,” tambahnya.

    Adapun 10 alat pemindai peti kemas milik Bea Cukai di Pelabuhan Tanjung Priok tersebar di lima lokasi, antara lain JICT, TPS Koja, NPCT-MTI, TER3-MAL, dan Graha Segara. Penyediaan alat peti kemas ini mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 109/PMK.04/2020 tentang Kawasan Pabean dan Tempat Penimbunan Sementara. 

  • Bea Cukai Resmikan 10 Alat Pemindai Peti Kemas di Pelabuhan Tanjung Priok

    Bea Cukai Resmikan 10 Alat Pemindai Peti Kemas di Pelabuhan Tanjung Priok

    Jakarta, Beritasatu.com – Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meresmikan pemberlakuan 10 alat pemindai peti kemas barang impor dan ekspor di terminal peti kemas (TPK) Koja, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (18/12/2024).

    Dirjen Bea dan Cukai Askolani mengatakan, pemberlakuan alat pemindai peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok ini merupakan wujud dukungan terhadap program Asta Cita Presiden Prabowo Subianto menuju Indonesia Emas 2045.

    “Ini sebagai langkah nyata kabinet baru dari program Asta Cita. Alhamdulillah dalam waktu dekat kita bisa memperkuat proses pelayanan dan pengawasan kita di pelabuhan-pelabuhan TNI,” ujar Aslolani dalam sambutannya.

    Askolani melanjutkan, alat pemindai peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok mempermudah transparansi kegiatan impor dan ekspor dengan proses yang cepat, terjangkau, dan pengawasan yang ketat.

    Dengan alat yang mampu memindai isi peti kemas tanpa membuka kontainer, pemeriksaan lebih efisien, mengurangi waktu tunggu, serta mencegah penyelundupan barang ilegal.

    Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia (Persero) Arif Suhartono menyampaikan dukungannya atas upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengawasi keluar dan masuk barang serta memastikan pendapatan negara. “Pelindo mendukung inisiatif dari kementerian dan lembaga serta mendukung pemerintahan Presiden Prabowo,” tambahnya.

    Adapun 10 alat pemindai peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok tersebar di lima lokasi, antara lain JICT, TPS Koja, NPCT-MTI, TER3-MAL, dan Graha Segara. Penyediaan alat peti kemas ini mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 109/PMK.04/2020 tentang Kawasan Pabean dan Tempat Penimbunan Sementara. 
     

  • Damri Berdarah-Darah, Subsidi Perintis Kalah Jauh Dibanding KRL – Page 3

    Damri Berdarah-Darah, Subsidi Perintis Kalah Jauh Dibanding KRL – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Perum Damri disebut harus berjuang dalam melayani angkutan perintis di berbagai wilayah terpencil dan perbatasan. Minimnya anggaran hingga armada yang tak layak menjadi tantangannya.

    Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno menyoroti minimnya anggaran untuk angkutan perintis. Dia turut membandingkan subsidi yang didapat KRL Jabodetabek dan angkutan perintis Damri.

    “Masalah anggaran Angkutan Jalan Perintis juga masih minim,” kata Djoko dalam keterangannya, Sabtu (14/12/2024).

    Jika dibandingkan, subsidi atau public service obligation (PSO) yang diberikan KRL Jabodetabek, yang melayani warga di Kawasan Jabodetabek mendapat kucuran Rp 1,6 triliun per tahun. Namun, angkutan darat perintis dengan 318 trayek jauh hampir 10 kali lipat lebih kecil.

    “Sementara, subsidi yang diberikan 318 trayek angkutan jalan perintis se Indonesia hanya dianggarkan Rp 188 miliar per tahun,” ujar dia.

    Djoko juga menyoroti skema penunjukan pada Perum Damri yang perlu disesuaikan dari lelang menjadi penugasan penunjukan langsung dari Kementerian Perhubungan atau melalui mekanisme tender.

    “Perum Damri sampai sekarang belum pernah mendapatkan PMN. Akhirnya bagaimana pelayanannya ke daerah-daerah tadi bisa maksimal dengan armada yang tidak laik jalan,” ucap dia.

     

  • Fakta Mudik Gratis Nataru 2024/2025: Rawan Kepadatan dan Tanah Longsor – Page 3

    Fakta Mudik Gratis Nataru 2024/2025: Rawan Kepadatan dan Tanah Longsor – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno memaparkan, sejumlah catatan data terkait potensi pergerakan di musim Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2024/2025. Khususnya terkait program mudik gratis Nataru 2024/2025 yang digagas sejumlah instansi dan perusahaan.  

    “Menyelenggarakan mudik gratis tidak hanya berdasarkan angka statistik hasil survei, namun harus melihat fakta di lapangan, supaya tepat sasaran. Keselamatan transportasi wisata harus benar-benar mendapat perhatian khusus,” ujar Djoko dalam catatan tertulis, Sabtu (7/12/2024).

    Mengutip survei Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan (2024), potensi pergerakan masyarakat saat Natal dan Tahun Baru (Nataru) secara nasional sebesar 110,67 juta (39,30 persen), dengan daerah tujuan masih terpusat di Pulau Jawa.

    Didapat 10 provinsi daerah tujuan libur Natal dan Tahun Baru, antara lain Jawa Tengah 17,10 persen, DI Yogyakarta 15,77 persen, Jawa Barat 11,78 persen, Jabodetabek 10,34 persen, Jawa Timur 8,85 persen, Sumatera Utara 5,70 persen, Bali 5,55 persen, Sumatera Barat 3,26 persen, Lampung 3,08 persen, dan Sulawesi Selatan 2,66 persen. 

    Moda transportasi yang digunakan mobil 36,07 persen (39,92 juta), sepeda motor 17,71 persen (19,6 juta), kereta api 15,05 persen (16,64 juta), transportasi udara 12,85 persen (14,22 juta), dan kapal penyeberangan/kapal 4,90 persen (5,43 juta).

    Mengacu data tersebut, Djoko menyebut aktivitas di Pelabuhan Penyeberangan Merak-Bakauheni dan Ketapang-Gilimanuk akan padat dilewati masyarakat yang mau berwisata dan berlibur akhir tahun. 

    Sehingga, pemisahan pengelompokan sepeda motor, bus dan mobil penumpang, dan truk barang diperlukan untuk memperlancar penyeberangan Merak-Bakauheni. 

    “Penerapan sistem penundaan (delaying system) harus benar-benar ditaati. Tidak ada lagi toleransi bagi yang belum memiliki tiket kapal atau tidak seusai jadwal menyeberang diberikan kemudahan. Hal itu dilakukan, supaya tidak terjadi kesemrawutan seperti Musim Mudik Lebaran 2024 lalu,” pintanya. 

     

     

  • Sopir Truk Ngantuk Berujung Kecelakaan Maut

    Sopir Truk Ngantuk Berujung Kecelakaan Maut

    Jakarta

    Kecelakaan maut yang melibatkan kendaraan angkutan barang truk terus terjadi. Yang terbaru, Selasa pagi lalu sebuah truk menabrak sejumlah kendaraan di lampu merah Slipi, Jakarta Barat. Akibat kecelakaan itu, dua orang meninggal dunia.

    Polisi menyebut kecelakaan maut yang melibatkan truk dan sejumlah kendaraan di Slipi, Jakarta Barat, disebabkan oleh sopir truk yang mengantuk. Sebelumnya disebutkan diduga truk mengalami rem blong sehingga menyebabkan kecelakaan maut di Slipi. Namun, Polisi menyebutkan rem pada truk tronton yang menabrak enam kendaraan di lampu merah Slipi, Jakarta Barat, berfungsi normal. Dari hasil pemeriksaan, sopir truk bernama Ade Zakarsih (45) mengaku mengantuk hingga berujung tabrakan.

    Pengamat transportasi sekaligus Wakil Ketua Pemberdayaan dan Penguatan Wilayah MTI Pusat Djoko Setijowarno mengatakan, sudah saatnya kesehatan pengemudi truk menjadi perhatian. Sebab, kata Djoko, tanpa pengemudi truk yang sehat, jangan harap angkutan logistik juga sehat.

    “Pengemudi truk adalah ujung tombak penyelenggaraan angkutan logistik yang sehat,” kata Djoko.

    Sebagian besar kecelakaan moda jalan raya disebabkan oleh faktor manusia, kemudian diikuti oleh faktor sarana dan faktor prasarana. Kelelahan kerja atau fatigue adalah faktor manusia yang paling berkontribusi dalam menyebabkan kecelakaan moda jalan raya. Kemudian diikuti oleh faktor manusia lainnya, seperti kurangnya pengetahuan tentang teknik mengemudi yang benar maupun kurangnya pengetahuan tentang karakteristik medan yang dilalui.

    “Fatigue merupakan proses menurunnya efisiensi dan ketahanan tubuh untuk melanjutkan kegiatan yang harus dilakukan. Mengemudi adalah pekerjaan yang berisiko tinggi mengalami fatigue, karena memerlukan konsentrasi tinggi dan membutuhkan perpaduan yang tepat dan cepat antara otak, tangan, kaki, dan mata. Faktor-faktor yang dapat memicu timbulnya fatigue pada pengemudi antara lain umur, status gizi, kuantitas tidur, kualitas tidur, beban kerja, durasi mengemudi, waktu istirahat; serta gangguan kesehatan fisik dan mental,” beber Djoko.

    Makanya, waktu kerja dan waktu istirahat sopir truk harus diatur. Jangan sampai karena dikejar tenggat waktu pengiriman barang, sopir truk sampai mengabaikan keselamatan.

    “Lama/durasi tidur bagi orang dewasa yang normal adalah 6-8 jam per hari di malam hari. Tidur yang dianggap berkualitas adalah tidur yang memenuhi 4-5 kali siklus tidur, di mana setiap siklusnya membutuhkan waktu kurang lebih 1,5 jam. Satu siklus tidur terdiri dari fase tidur NREM (Non Rapid Eye Movement) dan fase tidur REM (Rapid Eye Movement) karena pada fase-fase inilah tubuh berusaha untuk mengembalikan kemampuan organ-organ yang mengalami kelelahan agar menjadi bugar seperti semula,” kata Djoko.

    Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan hanya mengatur mengenai waktu kerja untuk pengemudi Kendaraan Bermotor Umum. Pasal 90 menyebutkan setiap perusahaan angkutan umum wajib mematuhi dan memberlakukan ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian pengemudi kendaraan bermotor umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Waktu kerja bagi pengemudi kendaraan bermotor umum paling lama 8 jam sehari. Setelah mengemudikan kendaraan selama 4 jam berturut-turut, wajib beristirahat paling singkat setengah jam. Dalam hal tertentu pengemudi dapat dipekerjakan paling lama 12 jam sehari termasuk waktu istirahat selama 1 jam.

    “Sebaik apa pun kebijakan yang diterapkan tentang keselamatan dalam mengemudi tidak akan berarti apa pun apabila pengemudi mengabaikan pola hidup sehat dan tidak ada dukungan terhadap pemeliharaan kesehatan fisik dan mental pengemudi. Dengan pemeriksaan kesehatan fisik dan mental secara berkala, maka akan membantu meningkatkan keselamatan transportasi di Indonesia dan meminimalisir risiko kecelakaan yang disebabkan oleh faktor kesehatan fisik dan mental pengemudi,” pungkas Djoko.

    (rgr/din)

  • Sopir Dikejar Waktu, Tempat Istiwahat Tak Nyaman

    Sopir Dikejar Waktu, Tempat Istiwahat Tak Nyaman

    Jakarta

    Beberapa waktu belakangan, truk kerap menjadi penyebab kecelakaan maut. Pemicunya mulai dari truk rem blong sampai sopir yang mengantuk.

    Belum lama ini, terjadi kecelakaan maut di Tol Cipularang KM 92B akibat truk rem blong yang menabrak belasan kendaraan. Sebelum itu, ada kasus sopir truk ugal-ugalan di Tangerang yang ternyata positif narkoba. Lalu ada lagi truk proyek di Tangerang yang menewaskan bocah hingga memantik amukan warga.

    Pekan kemarin, kecelakaan yang diduga akibat truk rem blong terjadi di turunan Silayur, Kelurahan Ngaliyan, Semarang. Truk tronton yang mengarah ke barat itu menabrak billboard dan beberapa kios milik warga. Mulai dari toko martabak, tempat cucian motor, tempat laundry, hingga berujung di kios jus. Akibat rem yang blong, truk bermuatan aki itu menabrak sejumlah kendaraan dan menyebabkan dua orang tewas.

    Kemarin pagi, sebuah truk menabrak beberapa kendaraan di lampu merah Slipi, Jakarta Barat. Kecelakaan yang disebut dipicu oleh sopir truk mengantuk itu mengakibatkan dua orang meninggal dunia.

    Pengamat transportasi sekaligus Wakil Ketua Pemberdayaan dan Penguatan Wilayah MTI Pusat mengatakan, kondisi angkutan umum di Indonesia akhir-akhir ini sedang tidak baik-baik saja. Banyak penyebab tidak langsung yang belum dibenahi sehingga kecelakaan maut akibat angkutan barang terus terjadi.

    “Sebenarnya setelah kasus di Semarang itu, kesimpulan saya itu adalah kesalahan kita itu liberalisasi masalah tarif.Kata kuncinya di situ,” kata Djoko dalam sambungan telepon dengan detikOto, Rabu (27/11/2024).

    Liberalisasi tarif, kata Djoko, membuat standar keselamatan dan norma-norma lainnya diabaikan demi efisiensi biaya. Akibat dari efisiensi biaya itu, masalah jadi merembet ke mana-mana. Perawatan kendaraan mungkin diabaikan, sopir pun mencoba mengirit konsumsi bahan bakar dengan cara yang membahayakan.

    “Akhirnya kan menekan pengusaha angkutan itu, ya dia dalam posisi lemah, yang paling lemah lagi posisinya adalah sopir. Sopir tidak punya upah standar,” ujar Djoko.

    Tak cuma itu, sopir tak punya banyak waktu untuk mengantar barang bawaannya. Sudah kendaraannya berat melebihi kapasitas alias ODOL (over dimension over loading), jalannya lambat, jarak pengantaran jauh, hingga waktu istirahat yang terbatas.

    “Seperti angkutan jarak jauh, beberapa kali kecelakaan itu, sudah jaraknya jauh, Jakarta-Surabaya, bawa barang hantaran, paket-paket itu kan, harus sekian jam sampai lah. Ya kita sebagai konsumen, barang-barang kita kan murah kan?Senang kan?Tapi kita lupa yang ngangkut itu sopir-sopirnya berapa gaji mereka.Jadi semuanya menekan harga, tapi tidak memperhatikan keselamatan. Pasti kecelakaan ujungnya,” ucap Djoko.

    “Ya karena masalahnya tadi, liberalisasi itu harus dihilangkan.Artinya, liberal tapi terlalu bebas. Kalau itu sudah dikendalikan, yang lain-lainnya (bisa diperbaiki) lah.Ada sekolah mengemudi, kenyamanan tempat-tempat istirahat, termasuk gajinya si sopir juga bisa lebih standar,” tambahnya.

    Menurut Djoko, saat ini sopir truk tidak difasilitasi tempat istirahat yang nyaman. Bahkan, untuk istirahat pun ada ancaman tindakan kriminal.

    “Kita tahu sering hilang barangnya kan, jadi ya nggak nyaman. Negara tidak punya tempat, negara nggak punya terminal angkutan barang. Punya, bangun mewah di tempat yang tidak begitu diperlukan. Yang ada kan pangkalan truk. Pangkalan kan tidak menyediakan standar (kenyamanan), hanya tempat kosong, (untuk) orang istirahat, dan kotor lagi,” sebut Djoko.

    “Belum lagi pikiran dia. Memang upahnya rendah itu berpengaruh psikologis terhadap sopir ya. Nggak bisa disalahkan sopir, tanggung jawabnya di negara harus hadir sekarang. Kasusnya bukan 1 kali, 2 kali kan,” katanya.

    (rgr/din)

  • Mau Sampai Kapan Truk Jadi ‘Pembunuh Massal’ di Jalanan?

    Mau Sampai Kapan Truk Jadi ‘Pembunuh Massal’ di Jalanan?

    Jakarta

    Beberapa waktu terakhir, kendaraan angkutan barang bernama truk tengah menjadi sorotan. Sebabnya, truk yang bermasalah baik pada kendaraan maupun sopirnya seakan menjadi ‘pembunuh’ massal di jalanan.

    Dalam satu bulan ini saja, sudah terjadi beberapa kali kecelakaan maut yang diakibatkan oleh truk. Masalahnya karena truk rem blong, sampai sopir truk yang mengantuk. Kecelakaan-kecelakaan tersebut membuat nyawa melayang.

    Belum hilang ingatan akan tabrakan beruntun di KM 92 Tol Cipularang beberapa waktu lalu. Saat itu, truk yang mengalami rem blong menabrak belasan kendaraan. Kecelakaan itu menimbulkan korban meninggal dunia. Sebelum itu, ada sopir truk ugal-ugalan di Tangerang yang ternyata positif narkoba. Juga ada truk proyek di Tangerang yang menyebabkan bocah meninggal dunia hingga memicu amukan warga.

    Lalu, ada lagi kecelakaan di Semarang, pekan lalu. Kecelakaan yang diduga akibat truk rem blong itu terjadi di turunan Silayur, Kelurahan Ngaliyan, Semarang. Truk tronton itu menabrak billboard dan beberapa kios milik warga. Mulai dari toko martabak, tempat cucian motor, tempat laundry, hingga berujung di kios jus. Akibat rem yang blong, truk bermuatan aki itu menabrak sejumlah kendaraan dan menyebabkan dua orang tewas.

    Kemarin pagi, sebuah truk menabrak beberapa kendaraan di lampu merah Slipi, Jakarta Barat. Kecelakaan yang disebut dipicu oleh sopir truk mengantuk itu mengakibatkan dua orang meninggal dunia.

    Lalu sampai kapan truk terus menjadi pembunuh massal di jalanan? Pengamat transportasi sekaligus Wakil Ketua Pemberdayaan dan Penguatan Wilayah MTI Pusat, mengatakan kecelakaan maut akibat kendaraan angkutan barang ini mungkin akan terus terjadi kalau akar masalahnya tidak dibenahi.

    “Sebenarnya setelah kasus di Semarang itu, kesimpulan saya itu adalah kesalahan kita itu liberalisasi masalah tarif. Kata kuncinya di situ,” kata Djoko dalam sambungan telepon dengan detikOto, Rabu (27/11/2024).

    Liberalisasi tarif, kata Djoko, membuat standar keselamatan dan norma-norma lainnya diabaikan demi efisiensi biaya. Akibat dari efisiensi biaya itu, masalah jadi merembet ke mana-mana. Perawatan kendaraan mungkin diabaikan, sopir pun mencoba mengirit konsumsi bahan bakar dengan cara yang membahayakan.

    “Akhirnya kan menekan pengusaha angkutan itu, ya dia dalam posisi lemah, yang paling lemah lagi posisinya adalah sopir. Sopir tidak punya upah standar,” ujar Djoko.

    Sopir Truk Diburu Waktu, tak Ada Tempat Istirahat Nyaman

    Lebih lagi, sopir tak punya banyak waktu untuk mengantar barang bawaannya. Bahkan, untuk sekadar istirahat nyaman pun tak bisa. Karena diburu waktu agar barang sampai tujuan tidak terlambat, keselamatan diabaikan. Alhasil, kelelahan sopir truk membuat kecelakaan maut tak terhindarkan.

    “Belum lagi di lapangan juga kalau sopir mau istirahat, tempat istirahatnya nggak ada yang nyaman. Apalagi Jakarta-Merak itu, kita tahu sering hilang barangnya kan, jadi ya nggak nyaman. Negara tidak punya tempat (nyaman untuk istirahat sopir), negara tidak punya terminal angkutan barang. Punya bangun mewah di tempat yang tidak begitu diperlukan. Yang ada kan pangkalan truk. Pangkalan kan tidak menyediakan standar (kenyamanan), hanya tempat kosong, (untuk) orang istirahat, dan kotor lagi,” sebut Djoko.

    “Belum lagi pikiran dia. Memang upahnya rendah itu berpengaruh psikologis terhadap sopir ya. Nggak bisa disalahkan sopir, tanggung jawabnya di negara harus hadir sekarang. Kasusnya bukan 1 kali, 2 kali kan,” katanya.

    Menurut Djoko, kalau masalah tersebut teratasi, maka standar kualitas dan keamanan angkutan barang bisa lebih baik lagi.

    “Ya karena masalahnya tadi, liberalisasi itu harus dihilangkan. Artinya, (sekarang) liberal tapi terlalu bebas. Ini liberalisasi tarif ini yang bahaya. Kalau itu sudah dikendalikan, yang lain-lainnya (bisa diperbaiki) lah. Ada sekolah mengemudi, kenyamanan tempat-tempat istirahat, termasuk gajinya si sopir juga bisa lebih standar,” jelas Djoko.

    (rgr/din)

  • Tantangan Besar dalam Penyelesaian Penerapan Zero ODOL di Indonesia

    Tantangan Besar dalam Penyelesaian Penerapan Zero ODOL di Indonesia

    Jakarta, Beritasatu.com – Penyelesaian masalah Over Dimension Overload (ODOL) di Indonesia masih jauh dari kata selesai. Salah satu solusi yang diharapkan dapat mengatasi masalah ini adalah penerapan kebijakan Zero ODOL.

    Namun, untuk mewujudkannya, ada sejumlah persoalan mendasar yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Jika hal ini tidak diperbaiki, masalah Zero ODOL diperkirakan akan terus berlanjut dan memberikan dampak negatif bagi infrastruktur jalan.

    Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Agus Taufik Mulyono menyebutkan, salah satu hambatan utama dalam penerapan Zero ODOL adalah status dan fungsi jalan yang masih tidak jelas.

    Truk-truk yang mengangkut barang melewati berbagai jenis jalan dengan status berbeda, mulai dari jalan desa hingga jalan arteri nasional.

    “Masalah klasik (Zero ODOL) ini belum terselesaikan hingga kini,” ungkap Agus kepada awak media di Jakarta, Sabtu (23/11/2024).

    Menurutnya, truk-truk tersebut tidak bisa sembarangan menurunkan barang ketika beralih jalan, apalagi jika kelebihan muatan. Agus menyebutkan, keberadaan terminal handling seharusnya menjadi tempat untuk menangani barang-barang dengan muatan berlebih, juga tidak diwajibkan dalam peraturan undang-undang. Hal ini menyebabkan jalan kabupaten rusak karena sering dilalui truk besar.

    Agus menambahkan, ketidaksesuaian antara Undang-Undang Jalan dan Undang-Undang Lalu Lintas menjadi penyebab utama tidak tercapainya keselarasan dalam penerapan kelas, fungsi, dan status jalan.

    “Masalah Zero ODOL ini tidak akan pernah bisa diselesaikan tanpa adanya keselarasan hukum yang jelas,” ujarnya.

    Tanpa perbaikan pada aspek ini, kebijakan Zero ODOL akan sulit untuk diterapkan dengan efektif. Penerapan Zero ODOL juga menghadapi tantangan besar dari sisi sumber daya manusia (SDM) dan peralatan yang ada di jembatan timbang.

    Praktisi transportasi dan logistik Bambang Haryo Soekartono, menyoroti bahwa jumlah SDM di jembatan timbang sangat terbatas.

    “Dari 141 jembatan timbang di Indonesia, hanya 25 yang beroperasi dan itu pun tidak 24 jam,” jelas Haryo Soekartono, pria yang juga menjabat sebagai anggota Dewan Praktisi Gerindra.

    Kekurangan personel dan peralatan yang rusak akan membuat kebijakan Zero ODOL sulit terwujud. Selain jembatan timbang, masalah lainnya adalah daya dukung jalan yang masih sangat minim.

    Di Indonesia, daya dukung jalan kelas 1 hanya mencapai 10 ton, sementara negara lain seperti China sudah mencapai 100 ton. “Konstruksi jalan kita harus diperkuat agar bisa mendukung muatan yang lebih berat,” ujarnya.

    Sementara itu, dosen Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB) Sony S Wibowo mengungkapkan, kerusakan jalan tidak selalu disebabkan oleh beban berlebih.

    Menurutnya, dampak beban berlebih pada jalan baru akan terasa setelah satu tahun. “Jika, jalan rusak dalam waktu 2-3 bulan, maka itu lebih disebabkan oleh kualitas pekerjaan dan material yang buruk, bukan beban berlebih,” tegasnya.