Organisasi: ISIS

  • Siapa yang akan menjadi Paus berikutnya? Inilah para kandidat utama – Halaman all

    Siapa yang akan menjadi Paus berikutnya? Inilah para kandidat utama – Halaman all

    Setelah Paus Fransiskus meninggal dunia, siapa yang akan menjadi Paus berikutnya?

    Untuk menentukan pemimpin Gereja Katolik dan 1,4 miliar umatnya, Dewan Kardinal akan bertemu dalam konklaf di Kapel Sistina. Pada sesi itu, mereka akan berembuk dan kemudian memberikan suara untuk kandidat pilihan masing-masing sampai akhirnya satu nama terpilih secara bulat.

    Para kardinal tidak hanya memilih seorang Paus, tetapi juga akan memilih sosok dengan perspektif global yang luas. Sebab untuk pertama kalinya, kurang dari setengah dari seluruh kardinal yang memiliki hak pilih berasal dari Eropa.

    Meski 80?ri para kardinal dipilih langsung oleh mendiang Paus Fransiskus, bukan berarti mereka condong ke kubu “progresif” atau “tradisionalis”.

    Karena alasan tersebut, sulit memprediksi siapa yang akan terpilih sebagai Paus berikutnya.

    Apakah para kardinal akan memilih seorang Paus dari Afrika atau Asia? Atau apakah mereka justru mendukung sosok yang berpengalaman dari administrasi Vatikan?

    Berikut sejumlah nama yang disebut-sebut sebagai calon pengganti Paus Fransiskus.

    Pietro Parolin

    Warga negara: Italia

    Usia: 70 tahun

    Kardinal Parolin adalah Menteri Luar Negeri Vatikan merangkap penasihat utama Paus Fransiskus.

    Sebagai menlu, dia juga mengepalai Kuria Roma alias administrasi pusat Gereja.

    Karena telah bertindak efektif sebagai wakil paus, Parolin disebut-sebut sebagai calon utama pengganti Paus Fransiskus.

    Dia dipandang sebagai sosok yang cenderung memprioritaskan diplomasi dan pandangan global.

    Para pengritiknya menganggap hal itu sebagai masalah, sementara para pendukungnya melihatnya sebagai kekuatan.

    Namun, dia mengkritik legalisasi pernikahan sesama jenis di sejumlah negara.

    Dia menyebut referendum di Republik Irlandia pada 2015 yang melegalkan pernikahan sejenis sebagai “kekalahan bagi kemanusiaan”.

    Walau diunggulkan, Kardinal Parolin amat menyadari pepatah kuno Italia kuno yang menekankan ketidakpastian proses pemilihan paus: “Dia yang memasuki konklaf sebagai Paus, meninggalkan konklaf sebagai kardinal.”

    Sekitar 213 dari 266 Paus sebelumnya adalah orang Italia, namun selama 40 tahun terakhir tidak ada orang Italia yang menjadi Paus.

    Kondisi itu diprediksi akan bertahan mengingat semakin sedikit pejabat-pejabat Gereja Katolik Roma yang berasal dari Italia dan Eropa.

    Luis Antonio Gokim Tagle

    Warga Negara: Filipina

    Usia: 67 tahun

    Mungkinkah Paus berikutnya berasal dari Asia?

    Kardinal Tagle memiliki pengalaman pastoral selama puluhan tahun—yang berarti dia telah menjadi pemimpin Gereja yang aktif di masyarakat, bukan diplomat Vatikan atau pakar hukum Gereja.

    Gereja Katolik sangat berpengaruh di Filipina. Sekitar 80% penduduknya menganut Katolik.

    Negara tersebut saat ini memiliki rekor lima anggota Dewan Kardinal—yang dapat menjadi faksi lobi yang penting bila mereka semua mendukung Kardinal Tagle.

    Dia dianggap moderat dalam definisi Katolik, dan telah dijuluki “Fransiskus Asia” karena dedikasinya terhadap isu-isu sosial dan simpatinya terhadap para migran—sikap yang juga disandang mendiang Paus Fransiskus.

    Dia menentang hak aborsi, dan menyebutnya sebagai “suatu bentuk pembunuhan” —suatu posisi yang sejalan dengan sikap Gereja yang lebih luas bahwa kehidupan dimulai pada saat pembuahan. Dia juga menentang eutanasia.

    Namun pada 2015 saat menjabat sebagai Uskup Agung Manila, Kardinal Tagle meminta Gereja untuk menilai kembali sikapnya yang “keras” terhadap kaum gay, janda cerai, dan ibu tunggal.

    Dia mengatakan bahwa kekerasan di masa lalu telah menimbulkan kerusakan yang berkepanjangan dan membuat orang merasa “diberi label”, dan bahwa setiap individu berhak mendapatkan belas kasihan dan rasa hormat.

    Kardinal Tagle dianggap sebagai kandidat Paus sejak konklaf 2013 saat Fransiskus terpilih.

    Ketika ditanya satu dekade lalu bagaimana pandangannya tentang kemungkinan dia menjadi paus berikutnya, dia menjawab: “Saya menganggapnya sebagai lelucon! Kocak.”

    Fridolin Ambongo Besungu

    Warga Negara: Kongo

    Usia: 65 tahun

    Sangat mungkin Paus berikutnya berasal dari Afrika, tempat Gereja Katolik terus bertumbuh dan menambah jutaan penganut.

    Kardinal Ambongo adalah kandidat utama, yang berasal dari Republik Demokratik Kongo (DRC).

    Dia telah menjadi Uskup Agung Kinshasa selama tujuh tahun, dan diangkat menjadi kardinal oleh Paus Fransiskus.

    Dia adalah seorang konservatif budaya, yang menentang pemberkatan pernikahan sesama jenis, dengan menyatakan bahwa “pernikahan sesama jenis dianggap bertentangan dengan norma budaya dan pada hakikatnya jahat”.

    Meskipun Kristen adalah agama mayoritas di Kongo, umat Kristen di sana mengalami penganiayaan kelompok yang menyebut dirinya sebagai ISIS dan kelompok pemberontak terkait.

    Dengan latar belakang itulah, Kardinal Ambongo dianggap sebagai pendukung Gereja yang gigih.

    Namun dalam sebuah wawancara pada 2020, dia mendukung pluralitas agama, dengan mengatakan: “Biarkan Protestan menjadi Protestan dan Muslim menjadi Muslim. Kami akan bekerja sama dengan mereka. Namun setiap orang harus menjaga identitas mereka sendiri.”

    Komentar semacam itu dapat membuat beberapa kardinal bertanya-tanya apakah dia sepenuhnya memeluk misi mereka—mengingat umat Katolik berharap ajaran Gereja Katolik bisa disebarkan ke seluruh dunia.

    Peter Kodwo Appiah Turkson

    Warga Negara: Ghana

    Usia: 76 tahun

    Jika dipilih oleh rekan-rekannya, Kardinal Turkson akan mendapat kehormatan sebagai Paus asal Afrika pertama selama 1.500 tahun.

    Seperti Kardinal Ambongo, dia mengaku tidak menginginkan status itu.

    “Saya tidak yakin apakah ada yang bercita-cita menjadi Paus,” katanya kepada BBC pada 2013.

    Ketika ditanya apakah Afrika memiliki alasan kuat untuk menjadi Paus berikutnya berdasarkan pertumbuhan Gereja di benua itu, dia mengatakan bahwa dia merasa Paus tidak boleh dipilih berdasarkan statistik, karena “pertimbangan semacam itu cenderung mengaburkan masalah”.

    Dia adalah orang Ghana pertama yang diangkat menjadi kardinal, pada 2003 di bawah Paus Yohanes Paulus II.

    Seperti Kardinal Tagle, Kardinal Turkson dianggap sebagai calon Paus satu dekade kemudian, ketika Fransiskus terpilih. Bahkan, para petaruh menjadikannya favorit sebelum dilakukan pemungutan suara.

    Seorang gitaris yang pernah bermain di sebuah band funk, Kardinal Turkson dikenal karena kehadirannya yang energik.

    Seperti banyak kardinal dari Afrika, dia cenderung konservatif. Namun, dia menentang kriminalisasi terhadap komunitas gay di negara-negara Afrika, termasuk negara asalnya Ghana.

    Dalam wawancara BBC pada 2023, ketika parlemen Ghana sedang membahas rancangan undang-undang yang memberikan hukuman berat kepada orang-orang LGBTQ+, Turkson mengatakan dia merasa homoseksualitas tidak boleh diperlakukan sebagai pelanggaran.

    Pada 2012, dia dituduh membuat prediksi yang menakut-nakuti tentang penyebaran Islam di Eropa,

  • Siapa yang Akan Jadi Paus Berikutnya? Ini Para Kandidat Utama

    Siapa yang Akan Jadi Paus Berikutnya? Ini Para Kandidat Utama

    Jakarta

    Setelah Paus Fransiskus meninggal dunia, siapa yang akan menjadi Paus berikutnya?

    Untuk menentukan pemimpin Gereja Katolik dan 1,4 miliar umatnya, Dewan Kardinal akan bertemu dalam konklaf di Kapel Sistina. Pada sesi itu, mereka akan berembuk dan kemudian memberikan suara untuk kandidat pilihan masing-masing sampai akhirnya satu nama terpilih secara bulat.

    Para kardinal tidak hanya memilih seorang Paus, tetapi juga akan memilih sosok dengan perspektif global yang luas. Sebab untuk pertama kalinya, kurang dari setengah dari seluruh kardinal yang memiliki hak pilih berasal dari Eropa.

    Meski 80% dari para kardinal dipilih langsung oleh mendiang Paus Fransiskus, bukan berarti mereka condong ke kubu “progresif” atau “tradisionalis”.

    Karena alasan tersebut, sulit memprediksi siapa yang akan terpilih sebagai Paus berikutnya.

    Apakah para kardinal akan memilih seorang Paus dari Afrika atau Asia? Atau apakah mereka justru mendukung sosok yang berpengalaman dari administrasi Vatikan?

    Berikut sejumlah nama yang disebut-sebut sebagai calon pengganti Paus Fransiskus.

    Warga negara: Italia

    Usia: 70 tahun

    Kardinal Pietro Parolin. (Getty Images)

    Kardinal Parolin adalah Menteri Luar Negeri Vatikan merangkap penasihat utama Paus Fransiskus.

    Sebagai menlu, dia juga mengepalai Kuria Roma alias administrasi pusat Gereja.

    Karena telah bertindak efektif sebagai wakil paus, Parolin disebut-sebut sebagai calon utama pengganti Paus Fransiskus.

    Dia dipandang sebagai sosok yang cenderung memprioritaskan diplomasi dan pandangan global.

    Para pengritiknya menganggap hal itu sebagai masalah, sementara para pendukungnya melihatnya sebagai kekuatan.

    Namun, dia mengkritik legalisasi pernikahan sesama jenis di sejumlah negara.

    Dia menyebut referendum di Republik Irlandia pada 2015 yang melegalkan pernikahan sejenis sebagai “kekalahan bagi kemanusiaan”.

    Walau diunggulkan, Kardinal Parolin amat menyadari pepatah kuno Italia kuno yang menekankan ketidakpastian proses pemilihan paus: “Dia yang memasuki konklaf sebagai Paus, meninggalkan konklaf sebagai kardinal.”

    Sekitar 213 dari 266 Paus sebelumnya adalah orang Italia, namun selama 40 tahun terakhir tidak ada orang Italia yang menjadi Paus.

    Kondisi itu diprediksi akan bertahan mengingat semakin sedikit pejabat-pejabat Gereja Katolik Roma yang berasal dari Italia dan Eropa.

    Luis Antonio Gokim Tagle

    Warga Negara: Filipina

    Usia: 67 tahun

    Kardinal Luis Antonio Tagle. (Getty Images)

    Mungkinkah Paus berikutnya berasal dari Asia?

    Kardinal Tagle memiliki pengalaman pastoral selama puluhan tahunyang berarti dia telah menjadi pemimpin Gereja yang aktif di masyarakat, bukan diplomat Vatikan atau pakar hukum Gereja.

    Gereja Katolik sangat berpengaruh di Filipina. Sekitar 80% penduduknya menganut Katolik.

    Negara tersebut saat ini memiliki rekor lima anggota Dewan Kardinalyang dapat menjadi faksi lobi yang penting bila mereka semua mendukung Kardinal Tagle.

    Dia dianggap moderat dalam definisi Katolik, dan telah dijuluki “Fransiskus Asia” karena dedikasinya terhadap isu-isu sosial dan simpatinya terhadap para migransikap yang juga disandang mendiang Paus Fransiskus.

    Dia menentang hak aborsi, dan menyebutnya sebagai “suatu bentuk pembunuhan” suatu posisi yang sejalan dengan sikap Gereja yang lebih luas bahwa kehidupan dimulai pada saat pembuahan. Dia juga menentang eutanasia.

    Namun pada 2015 saat menjabat sebagai Uskup Agung Manila, Kardinal Tagle meminta Gereja untuk menilai kembali sikapnya yang “keras” terhadap kaum gay, janda cerai, dan ibu tunggal.

    Dia mengatakan bahwa kekerasan di masa lalu telah menimbulkan kerusakan yang berkepanjangan dan membuat orang merasa “diberi label”, dan bahwa setiap individu berhak mendapatkan belas kasihan dan rasa hormat.

    Kardinal Tagle dianggap sebagai kandidat Paus sejak konklaf 2013 saat Fransiskus terpilih.

    Ketika ditanya satu dekade lalu bagaimana pandangannya tentang kemungkinan dia menjadi paus berikutnya, dia menjawab: “Saya menganggapnya sebagai lelucon! Kocak.”

    Fridolin Ambongo Besungu

    Warga Negara: Kongo

    Usia: 65 tahun

    AFPKardinal Fridolin Ambongo.

    Sangat mungkin Paus berikutnya berasal dari Afrika, tempat Gereja Katolik terus bertumbuh dan menambah jutaan penganut.

    Kardinal Ambongo adalah kandidat utama, yang berasal dari Republik Demokratik Kongo (DRC).

    Dia telah menjadi Uskup Agung Kinshasa selama tujuh tahun, dan diangkat menjadi kardinal oleh Paus Fransiskus.

    Dia adalah seorang konservatif budaya, yang menentang pemberkatan pernikahan sesama jenis, dengan menyatakan bahwa “pernikahan sesama jenis dianggap bertentangan dengan norma budaya dan pada hakikatnya jahat”.

    Meskipun Kristen adalah agama mayoritas di Kongo, umat Kristen di sana mengalami penganiayaan kelompok yang menyebut dirinya sebagai ISIS dan kelompok pemberontak terkait.

    Dengan latar belakang itulah, Kardinal Ambongo dianggap sebagai pendukung Gereja yang gigih.

    Namun dalam sebuah wawancara pada 2020, dia mendukung pluralitas agama, dengan mengatakan: “Biarkan Protestan menjadi Protestan dan Muslim menjadi Muslim. Kami akan bekerja sama dengan mereka. Namun setiap orang harus menjaga identitas mereka sendiri.”

    Komentar semacam itu dapat membuat beberapa kardinal bertanya-tanya apakah dia sepenuhnya memeluk misi mereka mengingat umat Katolik berharap ajaran Gereja Katolik bisa disebarkan ke seluruh dunia.

    Peter Kodwo Appiah Turkson

    Warga Negara: Ghana

    Usia: 76 tahun

    ReutersKardinal Peter Turkson.

    Jika dipilih oleh rekan-rekannya, Kardinal Turkson akan mendapat kehormatan sebagai Paus asal Afrika pertama selama 1.500 tahun.

    Seperti Kardinal Ambongo, dia mengaku tidak menginginkan status itu.

    “Saya tidak yakin apakah ada yang bercita-cita menjadi Paus,” katanya kepada BBC pada 2013.

    Ketika ditanya apakah Afrika memiliki alasan kuat untuk menjadi Paus berikutnya berdasarkan pertumbuhan Gereja di benua itu, dia mengatakan bahwa dia merasa Paus tidak boleh dipilih berdasarkan statistik, karena “pertimbangan semacam itu cenderung mengaburkan masalah”.

    Dia adalah orang Ghana pertama yang diangkat menjadi kardinal, pada 2003 di bawah Paus Yohanes Paulus II.

    Seperti Kardinal Tagle, Kardinal Turkson dianggap sebagai calon Paus satu dekade kemudian, ketika Fransiskus terpilih. Bahkan, para petaruh menjadikannya favorit sebelum dilakukan pemungutan suara.

    Seorang gitaris yang pernah bermain di sebuah band funk, Kardinal Turkson dikenal karena kehadirannya yang energik.

    Seperti banyak kardinal dari Afrika, dia cenderung konservatif. Namun, dia menentang kriminalisasi terhadap komunitas gay di negara-negara Afrika, termasuk negara asalnya Ghana.

    Dalam wawancara BBC pada 2023, ketika parlemen Ghana sedang membahas rancangan undang-undang yang memberikan hukuman berat kepada orang-orang LGBTQ+, Turkson mengatakan dia merasa homoseksualitas tidak boleh diperlakukan sebagai pelanggaran.

    Pada 2012, dia dituduh membuat prediksi yang menakut-nakuti tentang penyebaran Islam di Eropa,

    Dia menyampaikan hal itu dalam konferensi para uskup Vatikan, namun kemudian dia meminta maaf.

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Dari ‘Teroris’ Menjadi ‘Tamu Undangan’, Mengapa Rusia Cabut Larangan Terhadap Taliban? – Halaman all

    Dari ‘Teroris’ Menjadi ‘Tamu Undangan’, Mengapa Rusia Cabut Larangan Terhadap Taliban? – Halaman all

    Dari ‘Teroris’ Menjadi ‘Tamu Undangan’, Menapa Rusia Cabut Larangan terhadap Taliban?

    TRIBUNNEWS.COM – Rusia secara resmi menghapus Taliban dari ‘daftar organisasi teroris’, status formal dunia internasional, khususnya Barat, yang dilabelkan ke kelompok militan Afghanistan tersebut.

    Meski Taliban telah dilarang di Rusia sejak 2003, para ahli mengatakan keputusan Mahkamah Agung (MA) Rusia pada Kamis (17/4/2025) tersebut, tidak berarti pengakuan resmi terhadap pemerintahannya di Afghanistan. 

    “Walau begitu, keputusan MA Rusia tersebut mencerminkan pergeseran Moskow yang sedang berlangsung menuju aliansi regional baru setelah invasinya ke Ukraina yang membuat hubungan dengan mitra tradisionalnya menjadi tegang,” tulis ulasan di TMT, dikutip Minggu (20/4/2025).

    Moskow telah mengambil langkah-langkah untuk menormalisasi hubungan dengan Taliban sejak kelompok Islam itu menguasai Afghanistan pada tahun 2021 menyusul penarikan pasukan AS dan NATO yang kacau dari negara itu. 

    “Rusia telah lama bekerja sama dengan Taliban meskipun mereka secara resmi ditetapkan sebagai organisasi teroris,” kata Ruslan Suleymanov, pakar Asia Tengah dan gerakan Islam, kepada TMT.

    “Kerja sama dengan Taliban dan kelompok Islamis lainnya telah menjadi bagian dari kebijakan negara dan propaganda Rusia dalam konfrontasinya dengan Barat. Karena Taliban adalah contoh nyata perlawanan terhadap pengaruh Barat, penting bagi Rusia untuk menunjukkan solidaritas dengan gerakan-gerakan tersebut di panggung internasional,” kata Suleymanov.

    Pergeseran sikap Rusia itu tampak dengan mengundang delegasi Taliban mengunjungi Forum Ekonomi Internasional St Petersburg yang merupakan acara utama Rusia pada 2022 dan 2024. 

    Tahun lalu, diplomat tertinggi Taliban juga mengadakan pembicaraan dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov di Moskow.

    “Kami telah lama bergerak menuju keputusan ini (mendekati Taliban),” kata seorang pejabat pemerintah Rusia kepada TMT, yang berbicara dengan syarat anonim karena sensitivitas masalah ini.

    “Pertanyaannya adalah seberapa terkoordinasinya langkah ini dengan mitra dan sekutu kami,” katanya, mengacu pada negara-negara mitra regional Rusia di Asia Tengah. 

    “Kita lihat saja bagaimana reaksi mitra kami. Ini akan menjadi ujian lakmus bagi hubungan kami,” ujarnya menjelaskan konsekuensi langkah Rusia mendekati Taliban dan dampaknya terhadap sekutu mereka di Asia Tengah.

    Analis politik dan pakar Asia Tengah, Arkady Dubnov menyebut langkah Rusia tersebut “sudah diduga dan merupakan tindakan yang oportunistik secara politik.”

    “Menolak melabeli Taliban sebagai teroris sama sekali tidak sama dengan memberi mereka pengakuan politik,” tulisnya di aplikasi perpesanan Telegram. 

    “Taliban harus diberi insentif melalui cara-cara ekonomi dan pragmatis — sebuah proses yang akan memakan waktu bertahun-tahun. Waktu berjalan lambat di Timur. Namun Afghanistan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Asia Tengah,” katanya.

    Dubnov menggarisbawahi kalau kepentingan Rusia di kawasan itu menuntut kerja sama dengan Kabul.

    Salah satu bidang kerja sama utama adalah keamanan. 

    Personel keamanan Taliban dari Korps Al-Badr 205 militer Afghanistan mengendarai kendaraan militer lapis baja selama parade untuk merayakan ulang tahun ketiga pengambilalihan negara tersebut oleh Taliban, di Kandahar pada 14 Agustus 2024. – Otoritas Taliban memulai perayaan ulang tahun ketiga kekuasaan mereka atas Afghanistan pada 14 Agustus, di bekas pangkalan udara AS Bagram. (Photo by Sanaullah SEIAM / AFP) (AFP/SANAULLAH SEIAM)

    Saling Puji Rusia-Taliban

    Rusia, juga pada Kamis, menyampaikan rasa terima kasih kepada Taliban atas “operasi militer yang dilakukan oleh pihak berwenang,” karena baik Moskow maupun Taliban telah berupaya untuk melenyapkan ISIS-K.

    Kelompok ekstremis tersebut bertanggung jawab atas sejumlah serangan mematikan di Afghanistan dan Rusia, termasuk pembantaian gedung konser di Moskow pada bulan Maret 2024 yang menewaskan 145 orang.

    Taliban memuji pencabutan larangan aktivitasnya di Rusia, dengan mengatakan kalau Moskow dan Kabul “akan menjalin hubungan ekonomi dan diplomatik yang kuat di masa depan.”

    Namun, meskipun hubungannya semakin erat, Taliban tetap diklasifikasikan secara hukum sebagai organisasi teroris di Rusia selama hampir dua dekade — sebuah sebutan yang disertai konsekuensi. 

    Setidaknya 37 orang di Rusia menghadapi tuntutan pidana atau administratif antara tahun 2016 dan 2025 atas dugaan hubungan dengan kelompok tersebut, menurut media berita independen, Vyorstka.

    Dari jumlah tersebut, sekitar 20 orang dihukum karena memajang simbol-simbol Taliban di media sosial atau platform pengiriman pesan dengan denda atau penangkapan administratif singkat.

    Dalam putusan yang jarang diberikan, jurnalis terkemuka Nadezhda Kevorkova  dibebaskan  dengan denda setelah dinyatakan bersalah atas “pembenaran terorisme” atas dua unggahan media sosial yang menyebutkan Taliban .

    Setidaknya sembilan orang lainnya dihukum berdasarkan tuntutan pidana karena mempromosikan atau menghasut terorisme.

    Beberapa dijatuhi hukuman hingga 12,5 tahun di koloni hukuman dengan keamanan tinggi, kata Vyorstka.

    Sejak invasi Ukraina, Rusia telah menambahkan banyak tokoh oposisi terkemuka ke dalam daftar “ekstremis dan teroris”, sebutan yang berarti mereka dilarang memegang profesi tertentu, mencalonkan diri untuk jabatan publik, mendirikan perusahaan media, dan rekening bank mereka dibekukan.

    “Ada saya dan rekan-rekan dari Yayasan Anti-Korupsi, ayah Leonid Volkov dan banyak orang hebat dan baik yang ada dalam daftar teroris,” kata Ivan Zhdanov, sekutu yang diasingkan dari mendiang kritikus Kremlin Alexei Navalny.

    “Saya bertanya-tanya, jika kita semua bergabung dengan Taliban, apakah mereka akan melarangnya lagi?” kata Zhdanov, yang masuk dalam daftar ekstremis dan teroris pada tahun 2022.

    Minggu ini, empat jurnalis independen dijatuhi hukuman 5,5 tahun penjara karena diduga terkait dengan kelompok Navalny, yang dilarang Rusia karena dianggap “ekstremis.”

    PERSONEL TALIBAN – Personel keamanan Taliban memeriksa kendaraan yang melewati checkpoint di Kabul, Afghanistan. Rusia saat ini tidak lagi menganggap Taliban sebagai organisasi teroris, sebuah perubahan sikap drastis yang menandai manuver Moskow di Kawasan Asia Tengah.

    Apa Tujuan Rusia Dekati Taliban?

    Keputusan untuk mencabut larangan terhadap Taliban dapat menjadi langkah strategis bagi Moskow, karena kemampuannya untuk bekerja sama dengan pihak berwenang di Afghanistan dapat memberinya pengaruh terhadap mitra regional dan pemerintahan baru AS.

    Menurut analis politik Andrei Serenko, masih belum jelas permainan politik macam apa yang akan dilakukan Rusia dalam merehabilitasi Taliban. 

    “Akankah Moskow mencoba menghidupkan kembali upaya untuk membangun konsensus regional mengenai Afghanistan — dengan Iran, Tiongkok, dan negara-negara lain — sebagai tanggapan terhadap inisiatif AS di masa mendatang?”

    “Atau akankah Kremlin mengambil langkah berani dan, di tengah meningkatnya intrik kemungkinan pemulihan hubungan AS-Rusia, memutuskan untuk memainkan permainan Afghanistan bersama dengan pemerintahan Donald Trump?” tanya Serenko dalam komentarnya kepada media Rusia.

     

    (oln/tmt/*)

  • AS Pangkas Pasukan, 1.000 Tentara Akan Ditarik Pulang dari Suriah

    AS Pangkas Pasukan, 1.000 Tentara Akan Ditarik Pulang dari Suriah

    Damaskus

    Amerika Serikat (AS) akan memangkas sekitar separuh dari jumlah total pasukan militer yang telah dikerahkan ke wilayah Suriah beberapa tahun terakhir. Sedikitnya 1.000 tentara AS akan ditarik pulang dari Suriah dalam beberapa bulan ke depan.

    Washington menempatkan pasukannya di Suriah selama bertahun-tahun sebagai bagian upaya internasional melawan kelompok radikal Islamic State (ISIS), yang bangkit dari kekacauan perang saudara di negara tersebut untuk merebut sebagian besar wilayah di sana dan di negara tetangga Irak lebih dari satu dekade lalu.

    ISIS telah menderita kekalahan besar di Suriah dan Irak, namun masih menjadi ancaman hingga kini.

    Juru bicara Pentagon, Sean Parnell, seperti dilansir AFP, Sabtu (19/4/2025), mengumumkan rencana penarikan 1.000 tentara AS dari Suriah dalam beberapa bulan ke depan.

    “Hari ini, Menteri Pertahanan mengarahkan konsolidasi pasukan AS di Suriah… ke lokasi-lokasi tertentu,” ucap Parnell dalam pernyataannya pada Jumat (18/4) waktu setempat. Dia tidak menyebutkan lebih lanjut soal lokasi yang menjadi tempat konsolidasi tersebut.

    “Proses yang disengaja dan berdasarkan kondisi ini akan mengurangi kehadiran AS di Suriah menjadi kurang dari 1.000 tentara AS dalam beberapa bulan mendatang,” sebutnya.

    “Seiring berlangsungnya konsolidasi ini, konsisten dengan komitmen Presiden (Donald) Trump terhadap perdamaian melalui kekuatan, Komando Pusat AS akan tetap siap untuk melanjutkan serangan terhadap sisa-sisa (ISIS) di Suriah,” imbuh Parnell, merujuk pada komando militer AS yang bertanggung jawab atas wilayah itu.

    Serangan gencar ISIS pada tahun 2014 mendorong operasi serangan udara yang dipimpin AS untuk mendukung pasukan darat setempat — terutama unit pasukan pemerintah Irak yang dipelopori pasukan operasi khusus dan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang dipimpin milisi Kurdi.

    Washington juga mengerahkan ribuan tentaranya untuk memberikan nasihat dan membantu pasukan setempat, dengan pasukan AS dalam beberapa kasus secara langsung memerangi ISIS.

    Setelah bertahun-tahun menjalani perang berdarah, Perdana Menteri (PM) Irak mengumumkan kemenangan atas ISIS pada Desember 2017, sedangkan SDF mengumumkan kekalahan ISIS di Suriah pada Maret 2019 setelah mereka berhasil merebut benteng terakhir militan itu.

    Namun para militan ISIS masih memiliki beberapa pertempur yang tersisa di area pinggiran kedua negara, dan pasukan AS telah sejak lama melancarkan serangan secara berkala guna membantu mencegah kebangkitan ISIS.

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Mengapa AS Mengurangi Pasukan di Suriah? – Halaman all

    Mengapa AS Mengurangi Pasukan di Suriah? – Halaman all

    Militer Amerika Serikat (AS) sedang menjalani proses penarikan ratusan tentaranya dari Suriah.

    Langkah ini dijelaskan oleh Pentagon sebagai konsolidasi pasukan yang mencerminkan perubahan situasi keamanan di wilayah tersebut.

    Seperti apa rincian dari proses ini dan apa yang menjadi faktor pendorongnya?

    Apa yang Menjadi Dasar Penarikan Pasukan AS dari Suriah?

    Pernyataan dari Juru Bicara Pentagon, Sean Parnell, mengungkapkan bahwa konsolidasi pasukan ini dilakukan berdasarkan pengakuan keberhasilan AS dalam melawan ISIS. “Proses ini akan dilakukan secara bertahap dan berbasis kondisi,” katanya, sambil menyebut bahwa jumlah pasukan AS di Suriah akan dikurangi menjadi kurang dari 1.000 orang dalam beberapa bulan ke depan.

    Keputusan ini mengingatkan pada upaya penarikan total pasukan oleh mantan Presiden Donald Trump pada tahun 2018, yang juga diiringi dengan protes dari kalangan petinggi militer saat itu.

    Seberapa Banyak Pasukan yang Ditarik dan Dimana?

    The New York Times melaporkan bahwa AS akan menutup tiga dari delapan pos militernya di timur laut Suriah.

    Sekitar 600 personel diperkirakan akan ditarik dari beberapa lokasi, termasuk Mission Support Site Green Village dan fasilitas kecil lainnya.

    Ironisnya, meskipun proses penarikan sedang berlangsung, pemerintahan Biden sebelumnya justru menambah jumlah pasukan menjadi sekitar 2.000 orang di Suriah pada bulan Desember 2024.

    Peningkatan ini bertujuan untuk menghadapi ancaman dari ISIS dan milisi pro-Iran yang semakin aktif.

    Kenapa Jumlah Pasukan AS di Suriah Kembali ke Angka 900?

    Dengan pengurangan ini, jumlah pasukan AS akan kembali ke kisaran 900, angka yang sama yang dipertahankan setelah kekalahan ISIS pada tahun 2019.

    Pasukan ini tetap ditugaskan untuk memburu sisa-sisa ISIS, menahan kelompok pro-Iran, serta mencegah serangan dari Turki terhadap Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didominasi oleh Kurdi.

    Pentagon meyakinkan bahwa konsolidasi pasukan ini masih memungkinkan AS untuk menekan aktivitas ISIS dan merespons ancaman teroris lainnya.

    Namun, situasi lapangan menunjukkan peningkatan aktivitas militan, dengan ISIS mengeklaim 294 serangan di Suriah pada tahun 2024, meningkat signifikan dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat 121 serangan.

    Bagaimana dengan Ancaman Lain yang Dihadapi AS di Wilayah Tersebut?

    AS juga menghadapi tekanan dari milisi pro-Iran.

    Sebuah insiden tragis terjadi pada Januari 2024, ketika tiga tentara AS tewas dalam serangan drone di Yordania.

    Sejak tahun 2014, AS memimpin koalisi internasional dalam upaya melawan ISIS, mendukung pasukan lokal di Irak dan Suriah, termasuk SDF.

    Walaupun kekhalifahan ISIS sudah runtuh, kelompok ini masih aktif di wilayah pedesaan yang terpencil, dan AS terus melancarkan operasi militer untuk menggagalkan potensi kebangkitan kelompok ini.

    Selain itu, perhatian militer AS juga mulai beralih ke Yaman, di mana kelompok Houthi menyerang jalur pelayaran internasional.

    Apa yang Terjadi di Irak?

    Sementara itu, Irak juga berupaya mengakhiri kehadiran koalisi pimpinan AS di wilayahnya.

    Kesepakatan antara Washington dan Baghdad menyatakan bahwa misi militer AS di Irak akan berakhir pada akhir 2025, dan di wilayah Kurdistan pada September 2026.

    Dengan semua dinamika ini, pertanyaan yang muncul adalah:

    Akankah AS benar-benar mengangkat kaki sepenuhnya dari Suriah?

    Atau akankah kehadiran militer AS tetap ada dalam bentuk yang berbeda untuk menghadapi tantangan baru yang muncul di wilayah tersebut?

    Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).

  • Pentagon Tarik 1000 Tentara dari Suriah: Ini Alasannya – Halaman all

    Pentagon Tarik 1000 Tentara dari Suriah: Ini Alasannya – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Pentagon, yang merupakan badan pertahanan Amerika Serikat, baru-baru ini mengumumkan keputusan untuk menarik sekitar 1000 tentara dari Suriah.

    Keputusan ini tidak hanya mengubah jumlah total pasukan di lapangan tetapi juga mencerminkan perubahan strategi militer AS di wilayah yang telah menjadi fokus selama satu dekade terakhir.

    Mengapa Pentagon Mengurangi Pasukan di Suriah?

    Pada Jumat, 18 April 2025, Pentagon menginformasikan bahwa mereka akan memangkas hampir setengah dari total personel mereka yang sebelumnya berjumlah sekitar 2000.

    Juru bicara Pentagon, Sean Parnell, menjelaskan bahwa proses penarikan akan dilakukan secara bertahap dan berdasarkan kondisi di lapangan.

    Walaupun tidak disebutkan lokasi spesifik, Parnell menyatakan bahwa pasukan akan dipusatkan di beberapa titik strategis.

    Apa Dampak dari Penarikan ini?

    Langkah ini menandai pergeseran signifikan dalam strategi militer Washington, terutama dalam perang melawan kelompok teroris Negara Islam (ISIS) yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun.

    Meskipun kekuatan ISIS telah berkurang sejak 2019, sisa-sisa militannya masih aktif, terutama di daerah pedesaan, dan sering kali melancarkan serangan sporadis.

    Presiden AS sebelumnya, Donald Trump, juga mengungkapkan pandangannya tentang keterlibatan militer AS di Suriah.

    Dalam sebuah pernyataan di platform Truth Social pada Desember lalu, Trump menegaskan, “Suriah memang kacau, tetapi bukan teman kita dan Amerika Serikat tidak boleh bergabung dengannya; ini bukan perjuangan kita.” Pernyataan ini menggambarkan perubahan arah kebijakan luar negeri AS yang lebih fokus pada isu domestik dan pengurangan keterlibatan militer di luar negeri.

    Bagaimana Situasi Politik dan Keamanan di Kawasan?

    Penarikan tentara ini juga terjadi di tengah dinamika politik dan keamanan yang kompleks di kawasan tersebut.

    Setelah presiden Suriah, Bashar al-Assad, digulingkan oleh pemberontak Islamis pada akhir 2024, AS sempat meningkatkan operasi militer mereka.

    Namun, fokus Washington mulai berubah ketika kelompok Houthi di Yaman melancarkan serangan terhadap jalur pelayaran internasional pada akhir 2023.

    Di samping itu, pasukan AS di Suriah dan Irak menjadi target serangan dari milisi pro-Iran, terutama sejak dimulainya perang Gaza pada Oktober 2023.

    Sebagai respons, AS melakukan serangan udara terhadap beberapa target yang terkait dengan Iran.

    Meskipun ketegangan ini telah mereda, risiko serangan terhadap pasukan AS tetap ada.

    Apakah AS Akan Sepenuhnya Menarik Diri dari Suriah?

    Sampai akhir 2024, Pentagon masih menempatkan sekitar 900 tentara di Suriah, meskipun jumlah ini sempat meningkat menjadi 2000 sebelum penarikan diumumkan.

    Langkah ini sejalan dengan rencana Irak untuk mengakhiri kehadiran militer internasional di wilayahnya.

    Saat ini, terdapat sekitar 2500 tentara AS di Irak, dengan misi militer koalisi dijadwalkan berakhir pada akhir 2025 di wilayah Irak federal dan 2026 di wilayah Kurdistan.

    Penarikan pasukan ini tentunya memunculkan berbagai spekulasi mengenai masa depan kehadiran militer AS di Suriah dan dampaknya terhadap stabilitas kawasan.

    Apakah ini menandakan akhir dari keterlibatan militer AS di Suriah, ataukah justru akan menjadi awal dari strategi baru?

    Dengan latar belakang yang semakin kompleks, keputusan ini tentunya akan memiliki implikasi yang luas, baik bagi AS maupun untuk stabilitas regional di Timur Tengah.

    Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).

  • Akankah Amerika Serikat Benar-benar Angkat Kaki dari Suriah? – Halaman all

    Akankah Amerika Serikat Benar-benar Angkat Kaki dari Suriah? – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Militer Amerika Serikat mulai menarik ratusan tentaranya dari Suriah.

    Langkah ini disebut Pentagon sebagai bentuk “konsolidasi pasukan” yang mencerminkan perubahan situasi keamanan di wilayah tersebut.

    “Dengan mengakui keberhasilan AS dalam melawan ISIS, termasuk kekalahan teritorialnya pada 2019 di bawah Presiden Donald Trump, hari ini Menteri Pertahanan mengarahkan konsolidasi pasukan AS di Suriah ke lokasi-lokasi tertentu,” kata Juru bicara Pentagon, Sean Parnell, dalam pernyataan yang dikutip The New York Times, Jumat (12/4).

    Parnell menjelaskan, proses ini akan dilakukan secara bertahap dan berbasis kondisi.

    Dalam beberapa bulan ke depan, jumlah pasukan AS di Suriah akan dikurangi menjadi kurang dari 1.000 orang.

    Keputusan ini mengingatkan pada upaya penarikan total pasukan oleh Trump pada 2018.

    Saat itu mendapat upaya tentangan dari petinggi militer dan menyebabkan pengunduran diri Menteri Pertahanan Jim Mattis.

    Seperti diketahui, Trump kembali menegaskan sikapnya setelah jatuhnya rezim Bashar al-Assad pada Desember lalu.

    “Suriah memang kacau, tetapi bukan teman kita. AMERIKA SERIKAT TIDAK BOLEH BERGABUNG DENGANNYA. INI BUKAN PERJUANGAN KITA,” tulis Trump di platform Truth Social saat kembali menjabat sebagai presiden terpilih.

    Tiga Pangkalan AS di Suriah Ditutup

    The New York Times melaporkan bahwa AS akan menutup tiga dari delapan pos militernya di timur laut Suriah.

    Sekitar 600 personel akan ditarik dari Mission Support Site Green Village, MSS Euphrates, dan satu fasilitas kecil lainnya.

    Menariknya, pada Desember 2024, pemerintahan Biden justru menambah jumlah pasukan di Suriah menjadi sekitar 2.000 orang.

    Peningkatan itu ditujukan untuk menghadapi ancaman dari ISIS dan milisi pro-Iran yang semakin aktif.

    Kembali ke Format Lama: 900 Tentara

    Kini, pengurangan pasukan akan membawa jumlahnya kembali ke kisaran 900—angka yang dipertahankan sejak ISIS dinyatakan kalah pada 2019.

    Pasukan ini tetap ditugaskan untuk memburu sisa-sisa ISIS, menahan kelompok pro-Iran, dan mencegah Turki menyerang Pasukan Demokratik Suriah (SDF) pimpinan Kurdi.

    Meski Pentagon meyakinkan bahwa konsolidasi ini tetap memungkinkan AS menekan ISIS dan merespons ancaman teroris lainnya, situasi di lapangan menunjukkan peningkatan aktivitas militan.

    Aktivitas ISIS Naik Dua Kali Lipat

    ISIS mengklaim 294 serangan di Suriah sepanjang 2024, naik drastis dari 121 serangan pada tahun sebelumnya, menurut data yang dikutip dari NYT.

    Sejak awal 2025, setidaknya 44 serangan telah terjadi, menurut laporan Institut Timur Tengah di Washington.

    Tekanan juga datang dari milisi pro-Iran.

    Pada Januari 2024, tiga tentara AS tewas dalam serangan drone di Yordania.

    Sejak 2014, AS memimpin koalisi internasional untuk melawan ISIS, mendukung pasukan lokal di Irak dan Suriah, termasuk SDF yang mayoritas Kurdi.

    Kemenangan atas ISIS diumumkan pada akhir 2017 di Irak dan pada Maret 2019 di Suriah, saat benteng terakhir kelompok itu direbut.

    Meski kekhalifahan ISIS runtuh, para jihadis masih aktif di pedesaan terpencil.

    AS secara berkala melancarkan operasi militer untuk menggagalkan kebangkitan kelompok tersebut.

    Setelah jatuhnya Assad, perhatian militer AS juga mulai beralih ke Yaman, di mana kelompok Houthi menyerang jalur pelayaran internasional sejak akhir 2023.

    AS membalas dengan serangan udara terhadap target yang dianggap terkait Iran.

    Irak juga Bersiap Akhiri Kehadiran AS

    Di sisi lain, Irak juga berupaya mengakhiri kehadiran koalisi pimpinan AS di wilayahnya.

    Washington dan Baghdad telah menyepakati bahwa misi militer AS di Irak akan berakhir pada akhir 2025, dan di wilayah Kurdistan pada September 2026.

    (Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)

  • Profil Ahmed al-Sharaa, Presiden Suriah yang Masuk 100 Tokoh Paling Berpengaruh Versi TIME – Halaman all

    Profil Ahmed al-Sharaa, Presiden Suriah yang Masuk 100 Tokoh Paling Berpengaruh Versi TIME – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa atau yang juga dikenal sebagai Abu Muhammad Al Julani masuk dalam daftar 100 tokoh paling berpengaruh di dunia tahun 2025 versi Majalah TIME.

    Al-Sharaa banyak disorot media dunia setelah dia dan kelompoknya, Hayat Tahrir al-Sham (HTS), berhasil menumbangkan rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad.

    “Bulan Desember lalu, setelah bertahun-tahun membangun faksi bersenjata yang kuat, yakni Hayat Tahrir al-Sham yang dikategorikan secara internasional sebagai kelompok teroris, Ahmed al-Sharaa dan aliansi pemberontaknya menggulingkan pemerintahan brutal Bashar Assad di Suriah,” demikian keterangan Robert Ford, Duta Besar AS untuk Suriah tahun 2011-2024, pada laman Majalah TIME.

    Ford menyebut al-Sharaa pernah terkait dengan kelompok al-Qaeda dan ISIS, tetapi dia kemudian melawan kedua kelompok itu dengan agresif.

    “Dia membentuk aliansi dengan pemberontak Suriah lainnya, sering kali dengan todongan senjata, dan mengamankan dukungan Turki.”

    “Sekarang al-Sharaa menjadi presiden sementara di seluruh Suriah. Dia menyeimbangkan militan yang pernah dipimpinnya dengan warga Suriah liberal yang lega setelah Assad pergi.”

    Ford mengatakan para pengamat kini penasaran apakah al-Sharaa seorang ekstremis yang sikap moderatnya hanya taktik demi keuntungan politik sementara, atau dia seorang politikus yang memanfaatkan kelompok ekstremis demi meraih kekuasaan.

    Profil al-Sharaa

    Dikutip dari Encyclopedia Britannica, Al-Sharaa lahir tahun 1982 di Riyadh, Arab Saudi. Keluarganya berasal dari Dataran Tinggi Golan di Suriah yang kini diduduki Israel.

    Dia besar di Arab Saudi yang menjadi negara tempat ayahnya bekerja sebagai insinyur minyak. Pada tahun 1989 keluarganya kembali ke Suriah dan tinggal di Kota Damaskus.

    Menurut Al-Sharaa, peristiwa Intifada Kedua di Palestina pada tahun 2000 adalah momen yang memicu dia untuk memutuskan berjuang melawan para penindas.

    Dia pergi ke Irak untuk melawan pasukan Amerika Serikat (AS). Al-Sharaa bergabung dengan Al-Qaeda di Irak (AQI).

    AHMED AL-SHARAA – Tangkapan layar YouTube Al Jazeera pada Senin (10/3/2025) menunjukkan Pidato Presiden Sementara Suriah, Ahmed Al-Sharaa tentang bentrokan di Latakia dan Tartous pada Minggu (9/3/2025). al-Sharaa, telah mengumumkan pembentukan sebuah komite untuk melakukan penyelidikan terkait peristiwa berdarah yang terjadi di pesisir Suriah (Tangkapan layar YouTube Al Jazeera)

    Pada tahun 2005 dia ditangkap oleh pasukan AS dan dipenjada di Camp Bucca bersama para militan Irak.

    Ketika dibebaskan tahun 2009, dia kembali ke AQI yang namanya digant menjadi Negara Islam Irak. Dia diangkat sebagai panglima.

    Saat fase awal Perang Saudara Suriah yang dimulai tahun 2011, dia dikirim ke Suriah untuk membentuk kontingen Al-Qaeda yang bisa ikut campur dalam perang itu.

    Al-Sharaa lalu membentuk Front Nusrah setahun kemudian dan merekrut para pejuang muda Suriah yang tidak tahu hubungan al-Sharaa dengan Al-Qaeda.

    Berbeda dengan ISI, Front Nusrah lebih menargetkan pasukan pemerintah dan faksi-faksi saingannya.

    Pada tahun 2016 Al-Sharaa mengumumkan Front Nusrah telah memutuskan hubungan dengan Al-Qaeda. Front Nusrah diganti namanya menjadi Jabhat Fatah al-Sham.

    Setahun berselang dia mengimbau para faksi pemberontak yang berada di bawah komandonya untuk bergabung dengan kelompok yang disebut Hayat Tahrir al-Sham atau HTS.

    HTS membentuk Pemerintahan Penyelamatan Suriah di wilayah Idlib. Al-Sharaa menjadi pemimpinnya. Kelompok itu menjadi faksi dominan dalam kalangan oposisi suriah.

    Pada bulan November 2024 HTS melancarkan serangan cepat terhadap rezim Assad. Dalam beberapa hari HTS berhasil menguasai Kota Aleppo.

    HTS lalu menyerbu Damaskus dan menggulingkan pemerintahan Assad. Al-Sharaa mulai mengontrol Suriah.

    Koalisi para pemberontak memilih al-Sharaa sebagai presiden yang memimpin pemerintahan sementara Suriah.

    Al-Sharaa kemudian berusaha menyatukan faksi-faksi di Suriah dan berusaha agar sanksi-sanksi terhadap Suriah dicabut.

  • Tutup 3 Pangkalan Militer, AS Tarik Ratusan Tentara dari Suriah: Israel Ketar-ketir Turki Masuk – Halaman all

    Tutup 3 Pangkalan Militer, AS Tarik Ratusan Tentara dari Suriah: Israel Ketar-ketir Turki Masuk – Halaman all

    Tutup 3 Pangkalan, AS Tarik Ratusan Tentara dari Suriah: Israel Ketar-ketir Manuver Turki

    TRIBUNNEWS.COM – Militer Amerika Serikat (AS) dilaporkan mulai menarik ratusan tentara mereka dari Suriah timur laut , New York Times melaporkan, dikutip Jumat (18/4/2025).

    Mengutip dua pejabat senior AS, dikatakan kalau militer AS menutup tiga dari delapan pangkalan operasi kecilnya di timur laut dan mengurangi jumlah pasukan menjadi sekitar 1.400 dari 2.000.

    Para pejabat itu mengatakan komandan Komando Pusat Amerika Serikat (USCENTCOM) akan menilai apakah akan melakukan penarikan tambahan setelah 60 hari.

    “Para komandan militer telah merekomendasikan untuk mempertahankan setidaknya 500 tentara di Suriah, kata seorang pejabat dalam laporan tersebut.

    Laporan itu mengatakan Presiden AS, Donald Trump telah menyatakan “skeptisisme mendalam” tentang mempertahankan pasukan AS di Suriah.

    Trump mengatakan pada akhir Januari lalu kalau AS “akan membuat keputusan” mengenai pasukan di Suriah.

    Hal itu diungkapkan Trump saat dikonfirmasi soal adanya laporan yang mengatakan kalau presiden AS tersebut bermaksud menarik pasukan Amerika.

    “Saya tidak tahu siapa yang mengatakan itu, tetapi kami akan membuat keputusan mengenai hal itu,” kata Trump kepada wartawan di Gedung Putih.

    “Kami tidak terlibat di Suriah. Suriah sudah dalam kekacauannya sendiri. Mereka sudah punya cukup banyak kekacauan di sana. Mereka tidak membutuhkan keterlibatan kami.”

    Menurut New York Times, setidaknya untuk saat ini, pengurangan yang dimulai pada Kamis didasarkan pada rekomendasi komandan darat pasukan AS untuk menutup dan mengkonsolidasikan pangkalan, dan telah disetujui oleh Pentagon dan USCENTCOM.

    BERSIAP PATROLI – Anggota pasukan Amerika Serikat melakukan briefing sebelum melaksanakan patroli rutin di pos penjagaan terluar di wilayah Timur Suriah pada 25 Mei 2021. (AFP)

    Jejak Pasukan AS di Suriah

    AS secara ilegal mengerahkan pasukan di Suriah pada bulan November 2015 dengan tujuan untuk “mencegah kembalinya” ISIS. 

    Hal ini terjadi dua bulan setelah Rusia menyetujui permintaan Damaskus untuk memberikan dukungan udara kepada tentara Suriah, pasukan khusus Iran, dan Hizbullah dalam pertempuran melawan pasukan ISIS yang mengancam akan menyerbu ibu kota Suriah, saat itu.

    Dalam kekacauan yang terjadi, Washington dan milisi Kurdi sekutunya menguasai wilayah timur laut Suriah yang kaya sumber daya alam, tempat tentara AS bertahan hingga hari ini dan secara teratur menjarah sumber daya alam penting. 

    Ratusan tentara AS juga hadir di pangkalan besar Al-Tanf di dekat wilayah tiga perbatasan yang menghubungkan Suriah, Irak, dan Yordania.

    Setelah pengambilalihan Suriah oleh para milisi oposisi yang kini berkuasa, dipimpin oleh mantan komandan Al-Qaeda Abu Mohammad al-Julani pada bulan Desember, pejabat Pentagon mengonfirmasi memiliki “sekitar 2.000” tentara di dalam wilayah Suriah, lebih dari dua kali lipat jumlah yang diklaim Washington sebelumnya.

    Israel Ketar-ketik Manuver Turki yang Bersiap Isi Kekosongan

    Langkah AS menarik sebagian pasukannya ini membuat Israel ketar-ketir kalau kekosongan akan membuat Turki bermanuver dengan mengirim pasukan negara tersebut.

    Media Israel, Yedioth Ahronoth, beberapa waktu lalu melaporkan kalau pejabat keamanan AS sudah memberi tahu Tel Aviv tentang rencana untuk memulai “penarikan bertahap pasukan militer AS dari Suriah … dalam waktu dua bulan.”

    “Pemerintah Israel sejauh ini telah berupaya untuk mencegah Washington dari langkah ini, tetapi telah menerima pemberitahuan bahwa upayanya telah gagal,” 

    Laporan tersebut menambahkan, mengutip pernyataan pejabat keamanan yang mengatakan kalau “Israel berusaha untuk membatasi [penarikan pasukan AS] semaksimal mungkin, karena khawatir Turki akan mengisi kekosongan di area strategis di timur laut Suriah.”

    Pada bulan Februari, pejabat Pentagon mengatakan kepada NBC News bahwa Gedung Putih telah mulai mempersiapkan rencana untuk menarik pasukan militer AS dari Suriah.

    “Kami tidak akan terlibat, kami tidak akan terlibat di Suriah. Suriah sudah kacau balau. Mereka sudah punya cukup banyak kekacauan di sana. Mereka tidak butuh kami terlibat dalam semua hal,” kata Presiden AS Donald Trump kepada wartawan saat ditanya tentang rencana penarikan pasukan.

    Pada tahun 2019, selama masa jabatan pertamanya, Trump mengakui bahwa pasukan AS berada di Suriah untuk mengambil minyak negara itu. 

    “Kami menyimpan minyak [Suriah]. Kami memiliki minyaknya. Minyaknya aman. Kami meninggalkan pasukan hanya untuk minyaknya,” katanya. 

     

    (oln/anews/tc/*)

     

     

  • 5 Napiter Ucap Ikar Setia pada NKRI di Nusakambangan, Cium Bendera Merah Putih
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        15 April 2025

    5 Napiter Ucap Ikar Setia pada NKRI di Nusakambangan, Cium Bendera Merah Putih Nasional 15 April 2025

    5 Napiter Ucap Ikar Setia pada NKRI di Nusakambangan, Cium Bendera Merah Putih
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Dalam upacara yang dipimpin Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (
    BNPT
    ) Komjen Pol Eddy Hartono, lima narapidana kasus terorisme (napiter) dari sejumlah lembaga pemasyarakatan di Pulau
    Nusakambangan
    , Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, mengucapkan ikrar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
    Sebanyak tiga di antaranya dulu tergabung dalam kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan ISIS, sedangkan dua orang lainnya tergabung dalam Kelompok Jamaah Islamiyah, dan salah satunya diketahui terlibat dalam peristiwa Bom Panci Bintara, Bekasi, Jawa Barat.
    Kelima napiter itu berinisial IA yang tergabung dalam JAD Sulawesi Tengah dan dipidana tiga tahun penjara; AT yang tergabung dalam JAD Gorontalo dan dipidana empat tahun penjara; PS yang tergabung dalam JI Lampung dan dipidana tujuh tahun penjara.
    Kemudian, HR yang tergabung dalam JI Lampung dan dipidana 17 tahun penjara, serta NS yang tergabung dalam JAD Solo dan dipidana 11 tahun penjara.
    Selanjutnya, empat dari lima napiter tersebut merupakan warga binaan pemasyarakatan (WBP) Lapas Kelas IIA Pasir Putih, sedangkan satu orang lainnya WBP Lapas Kelas I Batu.
    Dikutip dari
    Antaranews
    , pengucapan ikrar tersebut dilakukan dalam upacara di Aula Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Pasir Putih, Pulau Nusakambangan, Selasa (15/4/2025). Lalu, dihadiri sejumlah pejabat BNPT, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas), serta Densus 88 Antiteror.
    Setelah kelima napiter itu membacakan ikrar setia kepada NKRI, prosesi dilanjutkan dengan pembacaan Pancasila dan melakukan penghormatan serta penciuman bendera Merah Putih.
    Prosesi diakhiri dengan penandatanganan dokumen Ikrar Setia NKRI oleh kelima napiter itu dan para saksi dari instansi terkait.
    Ditemui usai acara, Kepala BNPT Komjen Pol Eddy Hartono mengatakan bahwa pengucapan ikrar setia kepada NKRI itu merupakan bagian program deradikalisasi yang dilaksanakan oleh tim terpadu berupa Tim Koordinasi Deradikalisasi Dalam Lapas yang meliputi BNPT, Densus 88 Antiteror, Kejaksaan, Kementerian Imipas, Kementerian Sosial, dan Kementerian Agama.
    “Hari ini kita melihat bagaimana pelaksanaan tahapan deradikalisasi dari identifikasi penilaian, kemudian rehabilitasi, reedukasi, dan reintegrasi sosial, sehingga hari inilah merupakan tahapan di mana napiter mendapatkan pembebasan bersyarat, salah satunya adalah menyatakan ikrar kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia,” katanya, dikutip dari
    Antaranews
    , Selasa.
    Komjen Eddy pun menyebut, program terpadu tersebut akan terus dievaluasi. Sebab, penting untuk melakukan pembaruan ataupun penyesuaian terhadap kondisi di lapangan, sehingga dinamika program rehabilitasi, reedukasi, hingga reintegrasi sosial bagi para napiter makin lama semakin baik.
    “Karena program deradikalisasi harus dilakukan secara terencana, sistematis, terpadu, dan berkesinambungan,” ujarnya.
    Sementara itu, Kakanwil Ditjen Pemasyarakatan Jawa Tengah (Jateng) Kunrat Kasmiri mengatakan, pihaknya berkolaborasi dengan BNPT yang mempunyai peran penting dalam penanggulangan terorisme
    Oleh karena itu, menurut dia, Kementerian Imipas selaku pengelola lapas dan rumah tahanan negara (rutan) di seluruh Indonesia mendukung program yang dilaksanakan BNPT.
    “Memang kita harus berkolaborasi bersama, karena ini adalah tanggung jawab kita bersama, bukan hanya tanggung jawab kami di lapas, bukan hanya tanggung jawab teman-teman dari BNPT,” katanya.
    Kunrat juga mengharapkan, dengan adanya program tersebut, setelah napiter bebas dari hukuman tidak lagi kembali ke jaringannya.
    Lebih lanjut, Kunrat mengatakan bahwa jumlah teroris di Indonesia sekarang makin berkurang. Bahkan, dia menyebut, berdasarkan pantauan di lapangan tidak ada residivis yang kembali ke jaringannya, sehingga ke depan diharapkan tidak ada lagi napiter.
    Kunrat mengungkapkan, berdasarkan data saat ini terdapat 115 orang napiter di Nusakambangan. Tetapi, sekitar 50 orang di antaranya sudah menyatakan ikrar setia kepada NKRI.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.