Organisasi: ISIS

  • Horor 50 Orang Dibantai di Acara Pemakaman di Kongo

    Horor 50 Orang Dibantai di Acara Pemakaman di Kongo

    KInshasa

    Kelompok pemberontak Kongo, yang berafiliasi dengan kelompok radikal Islamic State (ISIS), menewaskan lebih dari 50 warga sipil yang menghadiri acara pemakaman di wilayah timur negara tersebut. Serangan ini menjadi serangan berskala besar terbaru yang didalangi oleh pemberontak di negara itu.

    Pejabat pemerintah lokal, Macaire Sivikunula, dilansir Reuters, Selasa (9/9/2025), mengatakan bahwa Pasukan Demokratik Sekutu (ADF), yang didukung ISIS, menggunakan parang dalam serangan brutal yang menewaskan puluhan orang pada Senin (8/9) malam waktu setempat.

    Serangan mematikan itu terjadi di kota Ntoyo yang ada di wilayah Lubero, Provinsi Kivu Utara.

    “Saya bisa mengonfirmasi jumlah korban tewas sementara sebanyak 50 orang. Para korban terkejut saat seremoni berkabung di desa Ntoyo sekitar pukul 21.00 waktu setempat, dan kebanyakan dari mereka dibunuh dengan parang,” sebut Sivikunula dalam pernyataannya.

    “Pencarian masih berlanjut,” ucapnya.

    Kelompok ADF merupakan salah satu dari beberapa milisi yang berebut wilayah dan sumber daya di wilayah timur Kongo yang kaya mineral. ADF sendiri sebenarnya berawal dari pemberontakan di Uganda, namun bermarkas di Kongo sejak akhir tahun 1990-an. ADF diakui oleh ISIS sebagai afiliasi mereka.

    Rentetan serangan ADF baru-baru ini semakin memperparah situasi ketidakamanan di wilayah Kongo bagian timur, wilayah kaya mineral yang menjadi tempat para pemberontak M23 — yang didukung Rwanda — melancarkan serangan besar awal tahun ini.

    Bulan lalu, ADF menewaskan lebih dari 50 warga sipil dalam beberapa serangan. Sedangkan serangan ADF pada Juli lalu terhadap sebuah gereja setempat, telah menewaskan sedikitnya 38 orang.

    Kolonel Alain Kimewa, pejabat administrasi militer untuk wilayah Lubero, mengatakan kepada Reuters bahwa jumlah korban serangan terbaru ADF mencapai sekitar 60 tahun, dan masih bisa bertambah karena masih ada korban hilang.

    Selain menggunakan parang, sebut Samuel Kagheni selaku tokoh masyarakat sipil setempat, para pelaku penyerangan juga menembak mati beberapa korban dan membakar kendaraan-kendaraan.

    Penuturan salah satu warga setempat, Alain Kahindo Kinama, menyebutkan bahwa tentara-tentara Kongo telah tiba di lokasi kejadian pada Selasa (9/9) pagi dan banyak orang berusaha meninggalkan daerah tersebut.

    Sementara juru bicara militer Kongo, Letnan Marc Elongo, mengatakan bahwa militan ADF telah “melakukan pembantaian” saat tentara-tentaranya tiba di lokasi.

    Serangan brutal itu terjadi setelah militer Kongo dan Uganda, yang merupakan sekutunya, semakin mengintensifkan operasi militer melawan ADF dalam beberapa pekan terakhir.

    Lihat juga Video: Pemberontak Terafiliasi ISIS Bunuh 52 Warga di Kongo

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Warga Australia Diduga Serang Kamp Aborigin Ditangkap

    Warga Australia Diduga Serang Kamp Aborigin Ditangkap

    Anda sedang menyimak laporan Dunia Hari Ini edisi Kamis, 4 September 2025.

    Laporan dari berbagai belahan dunia selama 24 jam terakhir kami awali dari Australia.

    Dakwaan penyerang kamp Aborigin

    Orang keempat telah dijatuhi tuduhan menyerang ‘Camp Sovereignity’ atau kamp milik penduduk asli Australia, yakni suku Aborigin, di Melbourne akhir pekan lalu.

    Sekelompok pria berpakaian hitam terlibat perkelahian dengan penghuni kamp setelah mengikuti demonstrasi anti-imigrasi pada hari Minggu.

    Pemimpin Neo-Nazi, Thomas Sewell, ditahan setelah ditangkap awal pekan ini atas insiden tersebut.

    Kepolisian Negara Bagian Victoria mengatakan seorang pria berusia 29 tahun asal Rye ditangkap kemarin di Sunnyside Road, Mount Eliza.

    Ia diinterogasi oleh detektif dan didakwa dengan kerusuhan, penyerangan ilegal, dan melepaskan tembakan rudal.

    Polisi yang melindas ojol diberhentikan

    Kepolisian RI menetapkan pemberhentian tidak terhormat terhadap anggot polisi yang melindas pengemudi ojek online Affan Kurniawan.

    Kompol Kosmas Kaju Gae menyampaikan permintaan maaf dan mengatakan tidak mengetahui Affan meninggal saat kejadian.

    “Kami ketahui beberapa jam berikutnya setelah viral melalui medsos,” ujarnya.

    Ada enam anggota Brimob lain yang menjalani proses etik.

    Proses pemidanaan polisi sudah dilimpahkan ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim), menurut Markas Besar Polri seperti dilaporkan Tempo.

    Belasan korban kereta gantung Lisbon tewas

    Gerbong kereta gantung Gloria di Lisbon tergelincir dan jatuh, menewaskan sedikitnya 15 orang dan melukai sekitar 18 orang.

    Jalur kereta api ini populer di kalangan wisatawan.

    Meskipun pihak berwenang tidak mengidentifikasi korban, menurutnya beberapa warga negara asing termasuk di antara korban tewas.

    Lima dari 18 korban luka mengalami luka parah, tambah juru bicara tersebut.

    “Ini hari yang tragis bagi kota kami … Lisbon sedang berduka. Ini adalah insiden yang sangat tragis,” ujar Carlos Moedas, wali kota Lisbon, kemarin.

    ISIS di balik bom bunuh diri Pakistan

    Kelompok yang menamakan diri Negara Islam (ISIS) mengklaim bertanggung jawab atas bom bunuh diri yang menurut pihak berwenang menewaskan 15 orang dan melukai puluhan lainnya dalam demonstrasi politik di Pakistan.

    Klaim atas serangan hari Selasa di Quetta, ibu kota provinsi Balochistan, disampaikan melalui sayap propaganda kelompok tersebut.

    Menteri Dalam Negeri Balochistan, Hamza Shafqat, mengatakan jumlah korban tewas mencapai 15 orang.

    Puluhan orang juga terluka dalam serangan yang dilakukan oleh seorang pelaku bom bunuh diri dengan 8 kilogram bahan peledak di area parkir stadion di Quetta.

    Tonton juga Video: PM Australia Tunjuk Perempuan, Muslim dan Aborigin Jadi Menteri

  • Trump Copot Bos Intelijen Usai Beda Laporan soal Dampak Serangan ke Iran

    Trump Copot Bos Intelijen Usai Beda Laporan soal Dampak Serangan ke Iran

    Jakarta

    Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mencopot Kepala Badan Intelijen Pertahanan AS (DIA) dan dua perwira senior lainnya. Ini merupakan pemecatan terbaru dari serangkaian pemecatan militer tahun ini.

    Pemecatan Letnan Jenderal Jeffrey Kruse, yang memimpin DIA sejak awal 2024, terjadi setelah badan tersebut mengeluarkan penilaian awal yang menyatakan, bahwa serangan AS terhadap Iran belum lama ini, hanya berdampak memperlambat program nuklir Teheran beberapa bulan saja.

    Penilaian tersebut yang banyak diberitakan oleh media AS, bertentangan dengan klaim Presiden Donald Trump. Penilaian itu memicu kemarahan Trump dan para pejabat di pemerintahannya. Pasalnya, Trump mengklaim serangan AS tersebut telah menghancurkan total situs-situs nuklir Iran.

    “Kruse tidak akan lagi menjabat sebagai direktur DIA,” ujar seorang pejabat senior pertahanan yang tidak ingin disebutkan namanya, tanpa memberikan penjelasan lebih detail tentang pencopotannya, dilansir AFP dan Al Arabiya, Sabtu (23/8/2025).

    Sebelum menjadi direktur DIA, Kruse menjabat sebagai penasihat urusan militer untuk direktur intelijen nasional. Dia juga pernah memegang berbagai posisi, termasuk direktur intelijen untuk koalisi melawan kelompok ekstremis ISIS.

    Secara terpisah, seorang pejabat AS dengan syarat anonim, mengatakan bahwa dua perwira senior lainnya, yakni Wakil Laksamana Nancy Lacore, Kepala Cadangan Angkatan Laut, dan Laksamana Muda Milton Sands, Komandan Komando Perang Khusus Angkatan Laut, juga meninggalkan posisi mereka.

    Sebelumnya pada bulan Juni lalu, Amerika Serikat melancarkan operasi besar-besaran terhadap tiga lokasi nuklir Iran, sebuah upaya yang melibatkan lebih dari 125 pesawat militer AS serta sebuah kapal selam berpeluru kendali.

    Trump menyebut serangan itu sebagai “keberhasilan militer yang spektakuler”, dan berulang kali mengatakan bahwa serangan itu “melenyapkan” situs-situs nuklir tersebut. Namun, penilaian awal DIA menimbulkan keraguan terhadap klaim presiden AS tersebut.

    Pemerintahan Trump menanggapinya dengan menyerang media-media AS, bersikeras bahwa operasi itu sukses total dan mengecam para jurnalis karena melaporkan penilaian tersebut.

    Sejak memulai masa jabatan keduanya pada bulan Januari, Trump telah memimpin pembersihan para perwira tinggi militer. Mereka termasuk Ketua Kepala Staf Gabungan Jenderal Charles “CQ” Brown, yang dipecatnya tanpa penjelasan pada bulan Februari lalu.

    Para perwira senior lainnya yang dipecat tahun ini termasuk kepala Angkatan Laut dan Penjaga Pantai, jenderal yang memimpin Badan Keamanan Nasional, wakil kepala staf Angkatan Udara, seorang laksamana Angkatan Laut yang ditugaskan untuk NATO, dan tiga pengacara militer terkemuka.

    Kepala Staf Angkatan Udara juga baru-baru ini mengumumkan pengunduran dirinya tanpa penjelasan, hanya dua tahun dari masa jabatan empat tahunnya.

    Awal tahun ini, kepala Pentagon juga memerintahkan pengurangan setidaknya 20 persen jumlah jenderal dan laksamana bintang empat yang bertugas aktif di militer AS, serta pengurangan 10 persen jumlah keseluruhan jenderal dan perwira tinggi.

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Suriah Membara, Tekanan Memuncak pada Presiden Ahmed al-Sharaa

    Suriah Membara, Tekanan Memuncak pada Presiden Ahmed al-Sharaa

    Damaskus

    Gencatan senjata di Suweida bertahan, tetapi konflik antara para aktor jauh dari terselesaikan. Kantor Berita Suriah SANA melaporkan, sebagai tindakan pencegahan, otoritas Suriah sejak hari Minggu (20/07) mulai mengevakuasi banyak keluarga kelompok sosial-budaya Badawi (Badui atau Badouine).

    Dengan demikian, ada 1.500 orang yang dievakuasi dengan bus dan kendaraan lain dari kota-kota di selatan Suriah.

    Sejak konflik berdarah antara kelompok etnoreligius Druze (Drusian) dan Badui di Suweida pecah hampir sepuluh hari yang lalu, sudah sekitar 1250 orang tewas terbunuh.

    Demikian informasi menurut Pusat Pengamatan Suriah untuk Hak Asasi Manusia (Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia, SOHR). Informasi tersebut tidak dapat diverifikasi, tetapi angka dari SOHR -lembaga yang didirikan pada awal Perang Sipil Suriah di London itu, umumnya dapat diandalkan.

    SOHR merinci, ada lebih dari 600 penduduk Provinsi al-Suwaida di terenggut nyawanya. 194 orang dieksekusi oleh pasukan dari Kementerian Pertahanan dan Interior dalam Prosedur Cepat Suriah.

    Selain itu, lebih dari 400 anggota pasukan pemerintah dan 23 orang Badui terbunuh. Tiga warga sipil Badui dikatakan telah dieksekusi oleh pejuang Drusian, lanjut SOHR.

    Kekerasan fatal menghimpit pemimpin politik sementara negara itu, Ahmed al-Sharaa. Tugasnya yang paling mendesak: Mengakhiri kekerasan secara permanen di Suweida – dan juga negara secara keseluruhan.

    Alawi dan Assad

    Keluarga bekas pemimpin Suriah Bashar al-Assadjuga berasal dari jajaran komunitas Alawi. Banyak warga Alawi yang dianggap sebagai pendukung rezim yang tumbang tersebut. Laporan investigasi yang diumumkan oleh pemerintah tentang insiden Maret lalu, masih dapat ditemukan hari ini.

    Al-Sharaa menghadapi tantangan besar, kata pakar Timur Tengah dan penasihat politik Carsten Wieland dalam wawancara dengan DW. Peristiwa-peristiwa beberapa minggu dan bulan terakhir telah melemahkan klaimnya sebagai presiden untuk semua warga Suriah tanpa terkecuali, serta usahanya untuk menciptakan Suriah yang bersatu dan mencakup semua kelompok masyarakat.

    Tidak di bawah kendali pasukan keamanan?

    “Pada banyaknya warga Suriah tumbuh skeptisisme terhadap negara yang tampaknya tidak bisa mengendalikan pasukan keamanannya sendiri. Semakin penting bahwa laporan investigasi kekerasan terhadap komunitas Alawi segera diumumkan,” ujarnya lebih lanjut.

    Ditambahkannya: “Sangat penting bahwa secara publik dijelaskan siapa yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi dan juga dimintai pertanggungjawaban.”

    Semua ini harus dilakukan dengan cepat, ujar Ronja Herrschner, seorang ilmuwan politik di Universitas Tbingen. Suriah masih memiliki jalan panjang, papar Herrschner ke DW.

    “Namun, saya dengar bahwa meskipun banyak kekurangan, Al-Sharaa masih tetap dihormati di kalangan Sunni. Karena dia masih dipandang sebagai pembebas Suriah dari rezim Assad. Oleh sebab itu, dia masih memiliki kepercayaan lebih di antara kaum Sunni. Namun, hal ini tidak selalu berlaku bagi kelompok minoritas,” imbuhnya.

    Tekanan dari dua arah

    Pada saat yang bersamaan, kedua belah pihak juga memberi tekanan terhadap pemerintah. Demikian menurut komentar dari surat kabar berbahasa Arab Sharq al-Awsat. Kelompok pertama terdiri dari mantan pendukung rezim Assad yang jatuh, kekuatan yang terhubung dengan Iran serta kelompok kriminal, terutama dari bidang perdagangan narkoba.

    Kelompok kedua berasal dari lingkaran dalam rezim dan secara aktif memanaskan krisis. Kelompok ini terutama merupakan kekuatan yang termotivasi secara jihadis bahwa pemerintah dapat berkonfrontasi dengan kelompok-kelompok lokal, tambah laporan surat kabar itu. Sehingga pada gilirannya dapat mengundang aktor asing untuk memicu perang saudara baru di Suriah.

    Carsten Wieland mengatakan bahwa basis kekuasaan al-Sharaa sebenarnya tipis. Hanya ada sedikit tenaga profesional yang berada di bawah kendalinya. Sebaliknya, ada proporsi besar milisi muda yang sudah terradikalisasi, yang berpikiran sektarian atau salafi, dan menjadi ekstremis akibat perang saudara.

    “Kelompok ini merupakan bagian berbahaya dari generasi muda tersebut. Mereka membentuk realitas politik saat ini. Pertanyaannya adalah bagaimana al-Sharaa bisa menyingkirkan kelompok ini tanpa dirinya sendiri menjadi korban,” tegasnya.

    Belum lagi ada pula jihadis asing dalam konflik itu, lanjut Wieland. Mereka juga tidak berada di bawah kontrol al-Sharaa. “Terakhir, ada pula sebagian dari Badui Sunni, yaitu pejuang yang ingin membalas dendam terhadap kelompok minoritas. Al-Sharaa juga harus segera mengendalikan mereka.”

    Dukungan dari mancanegara

    Meski begitu, Amerika Serikat dan beberapa negara Teluk — terutama Arab Saudi dan Uni Emirat Arab — masih terus mendukung al-Sharaa, jelas Ronja Herrschner.

    “AS ingin menarik pasukannya dari Suriah dalam jangka menengah. Syarat utamanya tentu agar negara itu tetap stabil secara politik.”

    Saat ini, Amerika Serikat yang paling percaya bahwa al-Sharaa mampu menjamin hal itu. Oleh karena itu, mereka tetap mendukungnya.

    “Hal yang sama juga berlaku pula bagi negara-negara Teluk,” lanjut Herrschner. “Mereka tentu juga menginginkan stabilitas di Suriah, dan karena itu mereka juga mendukung al-Sharaa.”

    Pandangan serupa diungkapkan Carsten Wieland. Bagi negara-negara Teluk, sama seperti AS, tujuan mereka adalah menjaga Suriah sebagai negara yang stabil dan bersatu, serta mencegah perang proksi sebisa mungkin.

    “Namun, Israel tampaknya memiliki tujuan sebaliknya, yaitu memecah-belah sebagian penduduk untuk melemahkan negara,” ujar Carsten Wieland.

    “Hal ini harus menjadi alarm bagi kawasan yang sering mengalami keruntuhan negara dan perang saudara,” tambahnya.

    Karena itu, AS juga menentang tindakan Israel di Suriah.

    Baru-baru ini, Israel ikut campur dengan berposisi di pihak komunitas Druze dalam kekerasan di sekitar Suwaida. Namun kemudian mencapai kesepakatan gencatan senjata dengan pemerintah Suriah.

    Keruntuhan negara bukanlah kepentingan AS — begitu pula Eropa, pungkas Wieland. “Karena saat ini tidak ada negara yang melihat alternatif lain selain al-Sharaa.”

    Latar belakang konflik

    Perang di Suriah bermula pada tahun 2011 dengan protes damai menuntut agar Presiden Bashar al-Assad turun dari kekuasaan. Namun, pemerintahannya menolak dan membalas dengan keras, sehingga protes berubah menjadi perang saudara yang berkepanjangan.

    Setelah bertahun-tahun konflik, rezim Bashar akhirnya tumbang, tetapi Suriah tidak langsung damai. Berbagai kelompok bersenjata seperti pemberontak Sunni, milisi Kurdi, kelompok Alawi, dan ekstremis seperti Islamic State- ISIS mulai berperang satu sama lain untuk menguasai wilayah dan memperebutkan kekuasaan.

    Konflik ini semakin rumit karena dukungan berbagai negara asing yang mendukung pihak berbeda-beda, membuat perang di Suriah sulit diselesaikan dan menyebabkan penderitaan besar bagi rakyatnya.

    Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih

    Editor: Rizki Nugraha

    (nvc/nvc)

  • Pemerintah Suriah Belum ‘Merangkul’ Suku-Suku Minoritas

    Pemerintah Suriah Belum ‘Merangkul’ Suku-Suku Minoritas

    Jakarta

    Gencatan senjata di Suweida telah diberlakukan. Hal ini diumumkan oleh Menteri Pertahanan Suriah Marhaf Abu Kasra pada hari Selasa (15/07). Pasukan kementerian Suriah telah memasuki kota yang terletak sekitar 100 kilometer di sebelah selatan Damaskus tersebut untuk mengakhiri bentrokan yang terjadi sejak hari Minggu antara suku Drusen dan suku Badui Sunni.

    Menurut Syrian Observatory for Human Rights (SOHR) yang berbasis di London, bentrokan yang terjadi sejak Minggu (13/07) telah menewaskan lebih dari 200 orang dan menyebabkan banyak lainnya terluka.

    Menurut SOHR, seorang pemuda Drusen dipukuli dan dirampok oleh anggota komunitas Badui Sunni di jalan raya antara Damaskus dan Suweida beberapa hari yang lalu. Sebagai balasannya, anggota milisi komunitas Drusen kemudian menculik orang suku Badui. Kekerasan pun terus meningkat.

    Aymenn Jawad al-Tamimi, seorang jurnalis yang mendalami kasus Suriah dan Irak, melaporkan bahwa suku Drusen awalnya melawan pasukan pemerintah Suriah, namun kemudian menyerahkan senjata mereka.

    Pada Selasa sore, SOHR kemudian melaporkan bahwa pasukan dari kementerian pertahanan dan kementerian dalam negeri serta pejuang yang bersekutu dengan mereka telah mengeksekusi 19 warga sipil dari kelompok minoritas Drusen di Suweida.

    Dalam beberapa hari terakhir, tentara Israel telah beberapa kali menyerang pasukan pemerintah Suriah. Dalam pernyataan bersama Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel Katz menyebut bahwa Israel ingin mencegah pemerintah Suriah menyakiti kaum minoritas Drusen.

    Antara konflik kepentingan dan kriminalitas

    Bentrokan Suweida tampaknya disebabkan oleh konflik kepentingan kelompok-kelompok penduduk yang berbeda, menurut Bente Scheller, pakar Suriah di Heinrich Bll Foundation. “Di Suriah, banyak kelompok yang merasa kepentingan atau hak-hak mereka tidak cukup diperhatikan. Mereka sering merasa dibandingkan dengan kelompok lain dan dimanfaatkan, hal berujung pada kekerasan.” Di Suweida, masalah utama adalah soal kedudukan mereka di wilayah serta akses terhadap sumber daya, serta kejahatan dengan kekerasan yang terkait dengan penyelundupan obat-obatan terlarang yang berkembang di sana.

    Apakah pasukan keamanan Suriah disusupi kaum ekstrimis?

    Bentrokan yang diwarnai kekerasan antara kelompok Alawit dan pejuang jihadis terjadi pada bulan Maret 2025, tampaknya juga didukung oleh pasukan keamanan pemerintah. Lebih dari 1.300 orang terbunuh dalam konflik tersebut. Keluarga Assad berasal dari suku Alawit. Banyak orang Suriah melihat suku Alawit sebagai kelompok pendukung rezim yang digulingkan.

    Konflik ini dipicu militan pendukung Assad yang menyerang pasukan pemerintah. Bentrokan meningkat dan kekejaman dilakukan terhadap warga sipil Alawit yang tidak terlibat.

    Dalam sebuah investigasi yang diterbitkan pada akhir Juni, kantor berita Reuters menelusuri rantai komando yang tampaknya sampai ke Kementerian Pertahanan di Damaskus. “Para penyerang pro-pemerintah sering menjarah dan merusak rumah-rumah para korban atau membakarnya,” demikian hasil penelitian tersebut.

    Namun tidak semua anggota kabinet pemerintahan baru di Damaskus bersimpati kepada para jihadis. “Pemerintahan terdiri dari beragam faksi, kelompok,dan kepentingan yang berbeda-beda,” kata Andre Bank, pakar Suriah dari Institut GIGA untuk Studi Timur Tengah yang berbasis di Hamburg, dalam wawancara dengan DW.

    “Tapi yang perlu dipertanyakan adalah bagaimana kelanjutannya jika pemerintah tidak bisa mengendalikan pelaku kekerasan di ranah lokal, bahkan termasuk sebagian tentaranya sendiri?” Apa artinya bagi Suriah jika sebagian pejabat pemerintah justru membenarkan kekerasan, atau bahkan mendorongnya. “Jika itu yang terjadi, kemungkinan besar akan terus terjadi bentrokan besar antar kelompok agama di Suriah,” jelas Bank.

    Al-Sharaa di bawah tekanan

    Menjadi perhatian adalah bagaimana pemimpin negara tersebut, Ahmed al-Sharaa mencegah kekerasan besar-besaran di antara rekan-rekan senegaranya di masa depan. Setelah Presiden AS Donald Trump mencabut sanksi negaranya terhadap Suriah pada awal Juli, al-Sharaa kemungkinan akan memiliki minat yang lebih besar untuk mengembangkan hubungan yang baik dengan negara-negara barat. Negara-negara barat memiliki harapan yang tinggi terkait perlindungan minoritas di negara tersebut.

    Sebuah serangan bunuh diri pada kebaktian di sebuah gereja Kristen di Damaskus pada akhir Juni lalu menunjukkan bahwa al-Sharaa hampir tidak dapat memenuhi tuntutan untuk mencegah kekerasan ini. Serangan tersebut menewaskan 25 orang. Sejak saat itu, umat Kristen Suriah menyerukan kepada pemerintah untuk melakukan upaya yang lebih besar untuk melindungi mereka. Jika tidak, beberapa dari mereka mengatakan kepada DW dalam sebuah wawancara, akan mempertimbangkan untuk meninggalkan Suriah.

    Saling tuduh, tidak serius menyelidiki

    Kementerian Dalam Negeri Suriah menyalahkan kelompok teroris Negara Islam (IS) atas serangan tersebut. Namun, tidak ada yang terbukti, kata Bente Scheller. “Nama-nama lain juga telah muncul dalam perdebatan publik,” salah satunya kelompok bersenjata yang juga melibatkan mantan anggota Hajat Tahrir al-Sham (HTS). Namun karena Al-Sharaa adalah pemimpin HTS sebelum kejatuhan Assad, “Tentu saja akan lebih mudah untuk mengalihkan tanggung jawab atas serangan tersebut kepada ISIS,” kata Scheller.

    Perilaku pemerintah Suriah setelah kekejaman yang dilakukan terhadap suku Alawit juga membuat banyak warga Suriah curiga. Meskipun pemerintah telah berjanji untuk membentuk komisi penyelidikan, namun hingga kini belum membuahkan hasil. “Banyak yang memiliki kesan bahwa pemerintah tidak memiliki keseriusan untuk menyelidiki kasus tersebut,” kata Bente Scheller.

    Pemerintah kekurangan dana

    Pada saat yang sama, kata Scheller dan Bank, Suriah kekurangan dana. Kabinet memiliki banyak tugas yang harus diselesaikan, mulai dari menyusun undang-undang pemilihan umum yang baru hingga membangun kembali aparatur negara dan membangun birokrasi federal.

    Selain ini ada masalah dari kaum minoritas lain: suku Kurdi di utara Suriah yang ingin tetap menjadi bagian dari negara Suriah tetapi menuntut otonomi yang luas.

    Pada saat yang sama Kurdi berperang melawan pasukan Turki, yang telah menduduki wilayah utara Suriah selama bertahun-tahun.

    Pemerintah Al-Sharaa nampaknya harus terlibat dalam pusaran konflik ini dalam waktu yang lama.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Jerman

    Diadaptasi oleh Sorta Caroline

    Editor: Rizky Nugraha

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Suriah ‘Terjepit’ Konflik Internal dan Serangan Israel

    Suriah ‘Terjepit’ Konflik Internal dan Serangan Israel

    Jakarta

    Pemerintah Suriah mengumumkan gencatan senjata, untuk meredakan bentrokan antara milisi Druze dan Sunni di sekitar Suweida. Bente Scheller, pakar Suriah di Heinrich Bll Foundation mengatakan, bentrokan Suweida tampaknya disebabkan oleh konflik kepentingan kelompok-kelompok penduduk yang berbeda.

    Menurut organisasi Pengamat Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR), lebih dari 300 orang tewas hingga Rabu (16/07). Konflik dipicu oleh pemukulan terhadap seorang pemuda Druze oleh warga Badui Sunni, yang memicu aksi balasan dan kekerasan lanjutan.

    Pemerintah Suriah mengerahkan pasukan ke Suweida, sekitar 100 km dari selatan Damaskus, untuk meredakan kekerasan.

    Menurut jurnalis Aymenn Jawad al-Tamimi, kelompok miisi Druze awalnya melawan, tetapi kemudian menyerahkan senjata mereka. SOHR melaporkan pada Selasa (15/07), pasukan pemerintah dan milisi sekutu mereka mengeksekusi 19 warga sipil Druze.

    Sebagai respons, Israel melancarkan serangan terhadap markas militer di Damaskus dan Suweida Rabu (16/7), dengan alasan melindungi komunitas Druze.

    Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant menegaskan, serangan itu bertujuan mencegah kekerasan terhadap warga Druze, yang di Israel dianggap sebagai kelompok minoritas loyal dan banyak bertugas di militer.

    Konflik berkepanjangan

    “Bentrokan di Suweida mencerminkan konflik jangka panjang antar berbagai kelompok masyarakat di Suriah,” kata Bente Scheller, kepala divisi Timur Tengah dan Afrika Utara di Yayasan Heinrich Bll, kepada DW.

    Pada bulan Maret hingga Mei, kekerasan sektarian meningkat di Suriah. Bentrokan terjadi antara kelompok Druze dan milisi pro-pemerintah di Jaramana, serta antara kelompok Alawi dan pasukan pemerintah di wilayah lain. Serangan balasan berlangsung selama berhari-hari, menewaskan lebih dari 1.300 orang. Banyak warga menilai kelompok Alawi sebagai pendukung rezim Assad yang telah tumbang.

    Meski tidak secara terbuka memihak, pemerintah Suriah saat ini dinilai terlalu pluralistik untuk mengendalikan semua aktor lokal. Menurut Andre Bank dari GIGA Institute, jika kekerasan dibiarkan, konflik antaragama kemungkinan besar akan terus berlanjut.

    Posisi Al-Sharaa terancam?

    Belum jelas apakah Presiden Ahmed al-Sharaa mampu mencegah meluasnya kekerasan di Suriah. Pada Mei dan Juni, AS dan Uni Eropa mencabut sanksi terhadap Suriah, tetapi tetap menuntut perlindungan bagi kelompok minoritas.

    Namun, serangan bunuh diri di gereja Kristen Damaskus pada akhir Juni, yang menewaskan 25 orang, menunjukkan tantangan besar dalam memenuhi harapan tersebut. Komunitas Kristen mendesak perlindungan lebih, dan sebagian mempertimbangkan untuk meninggalkan negara itu.

    Kementerian Dalam Negeri menyalahkan ISIS, tetapi menurut Bente Scheller, kelompok lain seperti mantan anggota Hayat Tahrir al-Sham (HTS) juga disebut-sebut. Al-Sharaa, mantan pemimpin HTS, dinilai mudah mengalihkan tanggung jawab ke ISIS.

    Sementara itu, warga juga meragukan keseriusan pemerintah dalam menyelidiki serangan terhadap komunitas Alawi, meski telah dijanjikan pembentukan komisi penyelidikan.

    Pemerintah baru di Damaskus menghadapi kekurangan dana untuk berbagai tugas penting, mulai dari merancang undang-undang pemilu hingga membangun kembali birokrasi federal.

    Penyelidikan atas bentrokan dan serangan baru-baru ini menambah beban kerja, sementara pemerintah di bawah al-Sharaa juga harus merespons tuntutan otonomi dari komunitas Kurdi di utara, yang tetap ingin menjadi bagian dari Suriah namun dengan hak yang lebih luas.

    Selama bertahun-tahun, kelompok Kurdi telah terlibat konflik dengan pasukan pro-Turki di wilayah tersebut. Penyelesaian konflik-konflik ini diperkirakan akan memakan waktu lama.

    Artikel ini awalnya diterbitkan dalam bahasa Jerman

    Diadaptasi oleh Levie Wardana

    Editor: Prita Kusumaputri dan Agus Setiawan

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Penembakan di Gereja AS Tewaskan 2 Orang, Pelaku Ditembak Mati

    Penembakan di Gereja AS Tewaskan 2 Orang, Pelaku Ditembak Mati

    Kentucky

    Insiden penembakan mematikan terjadi di sebuah gereja di Kentucky, Amerika Serikat (AS), pada Minggu (13/7) waktu setempat. Sedikitnya dua wanita tewas dan tiga orang lainnya, termasuk seorang polisi negara bagian, mengalami luka-luka, dengan sang pelaku penembakan tewas ditembak.

    Kepala Kepolisian Lexington, Lawrence Weathers, seperti dilansir Associated Press, Senin (14/7/2025), menyebut pelaku awalnya membajak sebuah kendaraan saat pencegatan lalu lintas di dekat bandara Lexington, dan melarikan diri ke Gereja Baptis Richmond Road, di mana pelaku kemudian melepaskan tembakan.

    Dua wanita yang berusia 72 tahun dan 32 tahun, menurut petugas koroner setempat, tewas dalam penembakan di gereja tersebut. Dua orang lainnya mengalami luka-luka akibat penembakan di gereja yang sama dan telah dilarikan ke rumah saki setempat.

    Salah satu korban mengalami luka kritis, dan satu korban lainnya dalam kondisi stabil.

    Weathers mengatakan pelaku ditembak oleh polisi dan tewas seketika di lokasi kejadian. Identitas pelaku penembakan juga belum diungkap ke publik.

    Motif di balik insiden pembajakan kendaraan dan penembakan itu belum diketahui secara jelas. Menurut Weathers, informasi awal menunjukkan bahwa pelaku mungkin memiliki hubungan dengan orang-orang di gereja tersebut.

    Seorang polisi negara bagian, yang tidak disebut identitasnya, mengalami luka-luka saat melakukan pencegatan lalu lintas yang melibatkan pelaku. Disebutkan oleh Weathers bahwa polisi negara bagian itu mencegat kendaraan yang digunakan pelaku setelah menerima peringatan soal nomor plat kendaraan itu.

    Lihat juga Video ‘Bom Bunuh Diri ISIS Meledak di Gereja Suriah, 20 Orang Tewas’:

    Polisi negara bagian itu, sebut Weathers, ditembak pada pukul 11.30 waktu setempat. Sang polisi kini dalam kondisi stabil di rumah sakit setempat.

    Dalam penjelasannya, Weathers mengatakan bahwa pihak kepolisian melacak kendaraan yang dibajak itu hingga ke gereja tersebut, yang berjarak sekitar 26 kilometer dari lokasi sang polisi negara bagian ditembak.

    Insiden penembakan ini masih dalam penyelidikan otoritas setempat.

    Lihat juga Video ‘Bom Bunuh Diri ISIS Meledak di Gereja Suriah, 20 Orang Tewas’:

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Menyusuri Jejak Raibnya Wanita Alawit Suriah: Penculikan atau Kebencian Agama?

    Menyusuri Jejak Raibnya Wanita Alawit Suriah: Penculikan atau Kebencian Agama?

    Damaskus

    Raga kurus kering, wajah penuh bekas luka, rambut dicukur, alis pun hilang, Nora* menatap lelah ke arah kamera. Di pangkuannya, ia menggendong seorang bayi yang sempat dipisahkan secara paksa darinya.

    Foto pertama setelah pembebasannya cepat menyebar di media sosial—lambang trauma yang mengguncang banyak warga Suriah saat ini: Perempuan dari komunitas Alawit–atau yang disebut juga Alawi- menjadi incaran penculik brutal. Nora kini berusaha menghapus jejaknya sebaik mungkin dan meninggalkan negeri.

    (Ed.; Alawi — bentuk kata sifat atau dipakai untuk menyebut keyakinan, ajaran atau mazhabnya. Sementara Alawit — bentuk kata benda jamak yang lebih sering dipakai untuk menyebut orang-orang dari komunitas tersebut, misalnya “perempuan Alawit” atau “orang Alawit”)

    Tiada hari tanpa dihina dan digebuki

    Selama hampir sebulan Nora terkurung di sebuah ruang bawah tanah, di mana menurut pengakuannya, ia mengalami penyiksaan psikologis dan fisik.

    Sang ibu muda bersama bayi berusia sebelas bulan itu sedang dalam perjalanan menuju pusat bantuan dekat kota pesisir Jablah ketika dihentikan oleh para pria bertopeng dengan kendaraan berplat Idlib.

    Mereka bertanya dari mana asalnya. Saat Nora menyebut dirinya beretnis Alawit, perempuan itu langsung diseret dengan kasar ke dalam mobil. Bahkan mata Nora diikat agar tak bisa melihat saat penculikan terjadi, tuturnya.

    “Aku dihina setiap hari dan dipukuli begitu keras hingga beberapa kali kehilangan kesadaran,” katanya dalam wawancara dengan DW. Selama masa tahanan, bayinya direnggut paksa, dan ia dipaksa menandatangani dokumen—sebuah surat nikah. “Aku menolak. Aku sudah menikah. Setelah itu, penyiksaan menjadi semakin brutal,” ujar Nora.

    Kini Nora hidup di luar negeri, dalam perlindungan, dan sedang menjalani pengobatan karena masalah kesehatan organ kandungan yang serius.

    Penghinaan yang sistematis

    Kisah Nora bukanlah kasus tunggal. Kantor berita Reuters dan sejumlah media Arab maupun internasional melaporkan penculikan dan pemerasan perempuan Alawit.

    Sejak awal tahun, lebih dari 40 perempuan dilaporkan hilang di Suriah, ujar aktivis HAM Bassel Younus kepada DW. Dari Swedia, ia mendokumentasikan pelanggaran HAM secara sistematis melalui jaringan di Suriah.

    “Kebanyakan besar korban penculikan—seperti Nora—adalah dari komunitas Alawit,” ujar Younus.

    Maka target utama adalah perempuan dari minoritas agama yang sama dengan diktator terguling Bashar al Assad, yang dianggap “murtad” oleh kaum Islam radikal.

    Laporan serangan brutal terhadap Alawit yang diduga mendukung Assad oleh kelompok radikal Sunni meningkat drastis pasca kejatuhan Assad. Terutama dalam beberapa bulan terakhir, kaum Alawit di Suriah berada di bawah tekanan berat, bahkan ancaman nyawa.

    Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

    Pada Maret terjadi serangan berdarah terhadap komunitas Alawit dengan korban ratusan jiwa. Berbagai media melaporkan, sebagian pasukan perampok itu memiliki hubungan dengan kementerian dalam negeri Suriah.

    Presiden interim Suriah Ahmed al-Sharaa membentuk komisi penyelidikan, tetapi hasilnya belum dirilis. Namun ketakutan akan kekerasan merambah ke minoritas lain, termasuk umat Kristiani, yang sudah merasakan derita serupa.

    Perempuan Alawit bukan korban penculikan acak, tegas aktivis Younus. “Mereka dijadikan simbol penaklukan satu komunitas utuh.” Dalam penjara, Nora menceritakan kerap dihina dengan panggilan “babi” dan “kafir”.

    PBB pun sudah menangani laporan penculikan ini. Komisi investigasi independen PBB untuk Suriah mengatakan kepada DW bahwa laporan kasus yang didokumentasikan akan segera dirilis.

    Pada akhir Juni, komisi itu mengonfirmasi minimal enam penculikan perempuan Alawit di Suriah. Ketua komisi tersebut Paulo Sergio Pinheiro juga menyebut adanya “indikasi kredibel” kasus lainnya. Pemerintah transisi Suriah telah memulai penyelidikan beberapa kasus tersebut. Namun kementerian dalam negeri Suriah enggan memberikan jawaban kepada DW.

    Tuntutan uang dari luar negeri

    DW selama beberapa minggu melakukan investigasi dan berbicara dengan lebih dari selusin keluarga dan perempuan yang terdampak. Aktivis HAM dan lembaga pengawas memberikan data tambahan. Namun banyak keluarga enggan muncul ke publik karena takut, malu, atau tidak pasti.

    Sami*, pemuda desa dekat Kota Tartus di barat Suriah, adalah salah satu yang berani bicara ke media. Ia bercerita bahwa saudara perempuannya yang berusia 28 tahun, Iman*, menghilang tanpa jejak setelah pergi ke kota. Tidak lama kemudian, keluarga menerima telepon dari nomor asing. Suara anonim mengancam: “Lupakan Iman. Dia tidak akan pernah kembali.”

    Sami melaporkan ke polisi, tapi awalnya mereka menyepelekan dan mengatakan sebagian besar perempuan yang hilang sebenarnya kabur dengan kekasih rahasia. Namun beberapa hari kemudian penculik menghubungi kembali, kali ini menuntut tebusan dengan jumlah lima digit. Keluarga meminjam uang dan mengirimnya lewat sistem Hawala, yang menyulitkan pelacakan, ke Turki.

    Dokumen yang dimiliki DW menunjukkan penerima adalah pengungsi Suriah di Turki. Kasus lain juga terverifikasi dengan pola pembayaran serupa. Namun bagi Sami, tebusan itu sia-sia. Setelah uang ditransfer, kontak terputus dan hingga kini jejak Iman tak berbekas.

    Setali tiga uang dengan nasib Yazidi?

    Maya*, 21 tahun, juga dari dekat Tartus, diculik bersama adik di bawah umur. Saat mereka hendak berbelanja pada Maret, mereka dihentikan pria bersenjata bertopeng. “Mereka tanya kami Alawit atau Sunni. Saat jawab ‘Alawit’, kami diseret ke bus tanpa plat nomor,” ceritanya ke DW.

    Dengan mata tertutup, mereka diangkut berjam-jam melewati wilayah tak dikenal, dihina sebagai “orang kafir” dan “sisa-sisa rezim Assad.”

    Penculik menuduh mereka ikut bertanggung jawab atas kematian ratusan milisi kelompok pemerintahan transisi Islam. Maya dan adiknya akhirnya ditahan di sebuah ruang bawah tanah. “Kami takut dijual,” katanya.

    Di media sosial dan beberapa laporan sudah muncul spekulasi bahwa nasib perempuan Alawit mungkin serupa dengan Yazidi yang pada 2014 diperbudak kelompok teroris “Negara Islam” (ISIS).

    Pemerintah transisi Suriah memang mengintegrasikan kelompok radikal Islam yang komandan-komandannya pernah dituduh terlibat perdagangan manusia, seperti Jenderal Ahmad Ihsan Fayyad al-Hayes yang dituding AS terlibat perdagangan perempuan Yazidi.

    Ketua organisasi HAM “Syrians for Truth & Justice”, Bassam Alahmad, mengatakan dalam wawancara dengan DW: “Hingga kini belum ada bukti perempuan Alawit secara sistematis diperbudak seperti Yazidi dulu.”

    Namun mengkhawatirkan bahwa agama jadi alasan utama dalam penculikan dan pembunuhan. “Perempuan Alawit diserang karena agama mereka—itu alasan serupa yang menimpa perempuan Yazidi,” ungkapnya lebih lanjut.

    Selain itu, menurut Alahmad, komunitas Alawit dianggap bertanggung jawab atas kejahatan rezim Assad. “Itulah inti masalahnya.”

    Maya dan adiknya akhirnya dibebaskan. Kenapa, tak jelas. Setelah dua bulan, mereka diserahkan kembali ke keluarga dalam keadaan tertutup, ketakutan, dan trauma. Mereka selamat. Namun perempuan lain tetap hilang.

    *Nama diganti demi melindungi narasumber.

    Artikel ini pertama kali dirilis dalam bahasa iJerman
    Diadaptasi oleh: Ayu Purwaningsih
    Editor: Yuniman Farid

    Lihat juga Video ‘Bom Bunuh Diri ISIS Meledak di Gereja Suriah, 20 Orang Tewas’:

    (nvc/nvc)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Situs Mesir Ungkap Fakta Ikan Paus Pernah Punya Kaki dan Hidup di Darat

    Situs Mesir Ungkap Fakta Ikan Paus Pernah Punya Kaki dan Hidup di Darat

    Bisnis.com, JAKARTA — Mesir memiliki tempat bersejarah, yang menjadi bukti bahwa ikan paus merupakan evolusi dari makhluk darat berkaki, bernama Wadi Al-Hitan atau Whale Valley.

    Situs bersejarah yang terletak di wilayah Gurun Barat Mesir ini terkenal karena koleksi fosil purbanya, bahkan telah menjadi situs Warisan Dunia UNESCO sejak 2005.

    Kerangka dan dan fosil laut yang ada di tempat itu berasal dari zaman Eosen akhir (55,8 juta hingga 33,9 juta tahun lalu), ketika wilayah yang kini dikenal sebagai Mesir tenggelam di bawah Samudra Tethys. Pada masa itu pula paus baru saja berevolusi menjadi makhluk laut, menurut UNESCO.

    Dalam videonya di kanal YouTube, Ahli paleontologi telah menemukan lebih dari 400 kerangka paus purba di Whale Valley sejak awal abad ke-20.

    Dimulai pada 1902, para ilmuwan menemukan spesies bernama Basilosaurus Isis, yang tumbuh hingga sepanjang 18 meter. Fosil itu terlihat seperti sedang memakan paus lainnya yang lebih kecil, dengan menghancurkan tengkorak sebelum melahapnya.

    “Basilosaurus isis sendiri memiliki moncong yang panjang dan dipersenjatai dengan gigi seri yang runcing serta gigi pipi yang tajam,” Ungkap Peneliti, Manja Voss di Museum of Naturkunde Berlin, mengenai ciri fisik paus purba tersebut, dikutip dari Livescience.

    Kemudian pada tahun 1989, sebuah tim paleontologis dari Universitas Michigan dan Museum Geologi Mesir menemukan kerangka Basilosaurus Isis dengan tungkai belakang, kaki, dan jari kaki yang terawetkan.

    Penemuan itu jadi berkontribusi penting dengan menjadi membuktikan bahwa paus modern adalah evolusi dari mamalia darat. Tulang panggul yang masih ada pada paus modern menunjukkan sisa-sisa ciri fisik dari nenek moyang mereka.

    Dari temuan-temuan yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa fosil-fosil di Whale Valley merupakan archaeocetes, atau sekelompok mamalia dari Eosen yang kemudian berevolusi menjadi paus dan lumba-lumba di masa kini.

    Sejak 2005, ketika ditemukan kembali kerangka Basilosaurus Isis yang terawetkan di Whale Valley, UNESCO pun menjadikannya sebagai situs Warisan Dunia. Sejak saat itu pula fosil-fosil lainnya ditemukan, termasuk kura-kura Eosen kuno, ikan bertulang, hiu, pari, buaya, sapi laut, dan kerang.

    Kini, Whale Valley beroperasi sebagai museum terbuka, yang dilindungi secara ketat, lengkap dengan pusat pengunjung serta akses mudah bagi wisatawan. Para peneliti juga akan terus mempelajari lebih lanjut geologi area tersebut, dan menemukan fosil-fosil baru lainnya. (Muhamad Rafi Firmansyah Harun)

  • Malaysia Bongkar Jaringan ISIS yang Libatkan Pekerja Asing

    Malaysia Bongkar Jaringan ISIS yang Libatkan Pekerja Asing

    Kuala Lumpur

    Otoritas Malaysia membongkar jaringan kelompok radikal Islamic State (ISIS) yang melibatkan para pekerja asing dari Bangladesh. Kuala Lumpur menyebut puluhan warga negara Bangladesh telah ditangkap dalam berbagai operasi yang digelar sejak April lalu.

    Kepala Kepolisian Diraja Malaysia, Inspektur Jenderal Polisi Mohd Khalid Ismail, dalam konferensi pers, seperti dilansir Reuters, Jumat (4/7/2025), mengatakan bahwa jaringan tersebut menggunakan media sosial untuk menyebarkan ideologi dan menggalang dana bagi ISIS di kalangan warga Bangladesh yang bekerja di Malaysia.

    Malaysia telah menahan ratusan orang yang diduga melakukan aktivitas militan setelah serangan terkait ISIS tahun 2016 lalu yang melanda ibu kota Kuala Lumpur, meskipun penangkapan itu sebagian besar telah berkurang dalam beberapa tahun terakhir setelah penindakan keras regional.

    Malaysia sangat bergantung pada tenaga kerja asing untuk mengisi pekerjaan pabrik, perkebunan, dan konstruksi, dengan ribuan warga negara Bangladesh pindah ke negara itu untuk bekerja setiap tahunnya.

    Dalam konferensi pers yang disiarkan televisi setempat, Mohd Khalid mengatakan pihak kepolisian telah menahan sebanyak 36 warga negara Bangladesh dalam beberapa operasi sejak April lalu.

    Warga Bangladesh yang ditahan itu, sebut Mohd Khalid, semuanya datang ke Malaysia untuk bekerja di pabrik atau di sektor-sektor seperti konstruksi dan jasa.

    Diungkapkan oleh Mohd Khalid, dengan mengutip intelijen kepolisian, jaringan ISIS itu merekrut para anggota dengan menargetkan pekerja-pekerja Bangladesh lainnya. Dia juga menyebut bahwa jaringan tersebut menggunakan media sosial serta platform pesan online untuk menyebarkan ideologi radikal dan ekstremis.

    Lihat juga Video: Bom Bunuh Diri ISIS Meledak di Gereja Suriah, 20 Orang Tewas

    Simak berita selengkapnya di halaman selanjutnya.

    Tidak hanya itu, menurut Mohd Khalid, jaringan ISIS tersebut juga menggalang dana menggunakan layanan transfer dana internasional dan dompet elektronik untuk dikirimkan kepada kelompok ISIS yang ada di wilayah Suriah dan Bangladesh. Dia menolak untuk menyebutkan secara detail jumlah dana yang terkumpul.

    Di antara mereka yang ditahan di Malaysia, sekitar lima warga Bangladesh di antaranya telah didakwa sebagai bagian dari organisasi teroris. Sedangkan 15 orang lainnya akan dideportasi.

    Kemudian sebanyak 16 warga Bangladesh lainnya masih dalam penahanan kepolisian sembari menunggu penyelidikan lebih lanjut. Mohd Khalid menambahkan bahwa penangkapan lebih lanjut diperkirakan akan dilakukan oleh pihak kepolisian

    Total sebanyak 100 orang hingga 150 orang, sebut Mohd Khalid, diduga terlibat dalam jaringan ISIS di Malaysia tersebut.

    “Kami akan mendeportasi mereka, yang keterlibatannya minimal, kembali ke negara asal mereka, sedangkan mereka yang keterlibatannya lebih besar akan didakwa berdasarkan hukum Malaysia,” tegasnya.

    Lihat juga Video: Bom Bunuh Diri ISIS Meledak di Gereja Suriah, 20 Orang Tewas

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini