Organisasi: Hizbullah

  • Apa yang Berubah 5 Tahun Setelah Normalisasi Diplomasi Arab-Israel?

    Apa yang Berubah 5 Tahun Setelah Normalisasi Diplomasi Arab-Israel?

    Jakarta

    Pada 15 September 2020, para menteri luar negeri dan pemimpin dari Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Israel berkumpul di Gedung Putih bersama Presiden AS saat itu, Donald Trump, untuk meresmikan Abraham Accords — sebuah kesepakatan yang menandai normalisasi hubungan antara negara Arab dan Israel. Maroko menyusul pada Desember 2020, dan Sudan menandatangani pada Januari 2021, meskipun ketidakstabilan politik yang berkelanjutan di negara itu menunda implementasi penuh.

    Perjanjian ini menandai normalisasi pertama antara Israel dan negara-negara Arab sejak Mesir (1979) dan Yordania (1994), mematahkan konsensus regional lama bahwa normalisasi mensyaratkan penyelesaian konflik Israel-Palestina dan pembentukan solusi dua negara.

    “Israel dan negara-negara dalam Abraham Accords telah diuntungkan dari perjanjian perdamaian bersejarah ini,” kata Asher Fredman, direktur eksekutif lembaga pemikir Israel Misgav Institute for National Security, kepada DW. Dia menyoroti kerja sama perintis di bidang intelijen, pertanian cerdas, pengobatan presisi, kecerdasan buatan, dan konsep kota pintar, serta peningkatan pariwisata dan perdagangan.

    “Tetapi kemudian 7 Oktober terjadi, dan muncul pertanyaan nyata apakah ‘Abraham Accords’ akan bertahan,” tambahnya.

    Konsekuensi serangan 7 Oktober

    Serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, yang memicu perang di Gaza dan menimbulkan banyak korban jiwa, menggoyahkan koneksi baru di Timur Tengah. Sejak itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan koalisi sayap kanannya semakin lantang menolak solusi dua negara.

    Sementara itu, Israel menghadapi banyak medan tempur sekaligus: perang dengan Hizbullah yang didukung Iran di Lebanon, operasi militer berkelanjutan di Suriah, serta baku tembak dengan pemberontak Houthi di Yaman, yang menargetkan pelayaran internasional di Laut Merah dan wilayah Israel sebagai dukungan bagi Hamas.

    Emily Tasinato, analis Teluk dan Semenanjung Arab, mengatakan kepada DW bahwa perjanjian ini awalnya dimaksudkan bukan hanya untuk memperkuat hubungan dengan AS tetapi juga untuk menghalangi pengaruh regional Iran.

    “Lima tahun kemudian, situasinya tampak terbalik,” kata Tasinato. “Iran semakin rentan, mengalami pelemahan militer dan menghadapi tekanan terhadap pengaruh regionalnya,” tambahnya, sambil menekankan bahwa “meski ketidakpercayaan masih mewarnai hubungan Iran dan negara-negara Teluk Arab, kini Israel justru semakin tampak sebagai aktor ‘nakal’.”

    Serangan Israel di Doha

    Pada 9 September 2025, Israel melakukan serangan drone yang menargetkan pimpinan Hamas di Doha, Qatar. Hamas diklasifikasikan sebagai organisasi teroris oleh Jerman, Uni Eropa, AS, dan beberapa negara Arab. Serangan itu menewaskan lima pejabat Hamas tingkat menengah dan seorang pejabat keamanan lokal.

    Burcu Ozcelik, peneliti senior di Royal United Services Institute (RUSI) yang berbasis di London, mengatakan kepada DW, “Dengan serangan Israel di Doha … kita memasuki wilayah yang belum pernah dijelajahi.”

    “UAE dan Bahrain berada dalam tekanan untuk mempertahankan status sebagai penandatangan, dan pasti menyesali langkah pejabat Israel yang menempatkan mereka dalam posisi sulit,” tambahnya.

    Setelah serangan itu, Uni Emirat Arab melarang perusahaan pertahanan Israel berpartisipasi dalam pameran dirgantara di Dubai dengan alasan keamanan. Pejabat Emirat juga mengkritik rencana Israel mencaplok sebagian besar Tepi Barat, yang mereka peringatkan dapat membahayakan hubungan bilateral dan upaya AS memperluas perjanjian. Kendati demikian, Tasinato menilai penarikan penuh UEA dari perjanjian tidak mungkin terjadi.

    Rekonstruksi Gaza

    Meski menghadapi tantangan, Fredman dari Misgav Institute for National Security menegaskan bahwa Abraham Accords “terbukti tangguh.” Menurutnya, perdagangan antara Israel dan UEA, Maroko, Bahrain, Mesir, serta Yordania justru meningkat signifikan dibanding sebelum konflik Oktober 2023.

    “Kita bisa memastikan bahwa Abraham Accords telah bertahan dan terbukti tangguh,” kata Fredman.

    “Jika melihat angka dari 2024 dibandingkan 2023 (sebelum serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 yang memicu perang di Gaza), perdagangan dengan UEA naik 10%, dengan Maroko naik 40%, dengan Bahrain naik 843%, bahkan dengan Mesir naik 31% dan Yordania 7%,” jelasnya.

    Untuk paruh pertama 2025, perdagangan dengan Maroko, Mesir, dan Yordania terus meningkat, sementara bisnis dengan UEA kembali ke angka 2023, menurut Fredman. Dia juga memandang Abraham Accords sebagai keuntungan kunci dalam rekonstruksi Gaza. “Apakah itu rencana Riviera ala Trump atau rencana rekonstruksi Mesir, jumlah material yang sangat besar akan melewati Israel, yang memerlukan koordinasi erat,” ujarnya.

    Namun, sejak Abraham Accords ditandatangani lima tahun lalu, belum ada negara Arab lain yang bergabung, meskipun Presiden AS Donald Trump terus mendorong kesepakatan dengan Arab Saudi, Lebanon, dan Suriah.

    “Dalam masa jabatan kedua Donald Trump, meski ada keyakinan besar di Gedung Putih bahwa perjanjian ini akan meluas dengan campuran insentif dan tekanan yang tepat, kenyataannya jauh dari harapan,” kata Ozcelik dari RUSI.

    Menurutnya, ada risiko besar bahwa kebijakan pemerintahan Israel saat ini tidak hanya melemahkan tetapi juga mengikis pencapaian diplomatik Trump. “Sungguh tak terpikirkan di tengah meningkatnya militerisme Israel dan terkuburnya solusi dua negara,” ujarnya kepada DW, seraya menambahkan bahwa “biaya bergabung dengan Abraham Accords kini melonjak drastis bagi negara Arab mana pun.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
    Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
    Editor: Yuniman Farid

    (ita/ita)

  • Israel Bombardir 6 Negara Arab Sekaligus

    Israel Bombardir 6 Negara Arab Sekaligus

    Daftar Isi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Israel menyerang secara terus menerus sejumlah negara di kawasan Timur Tengah dalam pekan ini. Alasannya adalah untuk melumpuhkan Hamas yang menguasai Palestina.

    Selain Palestina, Israel menyerang lima negara lain dalam waktu singkat. Mulai dari Lebanon, Suriah, Tunisia,
    Qatar, dan Yaman.

    Berikut daftar dan rincian serangannya:

    1. Palestina

    Hampir dua tahun terakhir, Israel telah melakukan serangan terhadap Gaza. Tercatat 64.000 warga Palestina telah terbunuh, sekitar 20.000 di antaranya adalah anak-anak sejak serangan dimulai.

    Sementara serangan awal minggu ini menewaskan 150 orang dan lebih 540 orang luka-luka. Pada Senin saja, 67 orang tewas dan 320 orang terluka.

    Dari korban tewas itu di antaranya adalah
    14 orang yang sedang mencari bantuan dan enam orang lainnya, termasuk dua anak-anak, meninggal karena kelaparan.

    2. Lebanon

    Israel mengklaim menyerang depot senjata dan fasilitas militer yang digunakan Hizbullah. Namun tidak bisa diverifikasi dan pihak Hizbullah belum mengeluarkan pernyataan terkait hal itu.

    Serangan tersebut melanggar perjanjian terbaru dari gencatan senjata yang disepakati pada November lalu. Selain itu juga eskalasi lebih lanjut dalam konflik antara Israel dan Hizbullah, yang hubungannya memang tak begitu baik sejak lama.

    3. Suriah

    Pesawat-pesawat Israel diketahui menyerang beberapa lokasi di Suriah awal pekan ini. Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia yang berbasis di Inggris mengatakan serangan dilakukan termasuk pangkalan angkatan udara Suriah di Homs dan barak militer di dekat Latakia.

    Kementerian Luar Negeri dan Ekspatriat Suriah menyebut serangan itu sebagai pelanggaran pada kedaulatan Suriah dan mengancam keamanan nasional dan regionalnya. Sementara media pemerintah mengatakan serangan Israel adalah bagian dari eskalasi agresif untuk merusak kedaulatan Suriah.

    Serangan itu terjadi saat dua negara tengah mengadakan pembicaraan damai selama beberapa bulan terakhir. Tujuannya adalah menghentikan tindakan agresif Israel terhadap Suriah.

    4. Tunisia

    Israel dituding melakukan dua serangan pesawat tam berawal pada Global Sumud Flotilla yang sedang berada di Tunisia. Serangan kali ini jadi kedua kalinya yang dilakukan selama dua malam berturut-turut.

    Flotilla adalah koalisi lebih dari 50 kapal untuk menembus blokade menuju Gaza. Rencananya mereka akan menuju Gaza pada Rabu lalu setelah berlabuh di Sidi Bou Said di Tunisia pada 7 September.

    5. Qatar

    Serangan ke Qatar nampaknya menargetkan tim negosiasi kelompok Palestina Hamas. Negara itu menjadi tempat negosiasi untuk Hamas, Israel, dan Amerika Serikat.

    Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani mengutuk serangan Israel itu dan menyebutnya sebagai “terorisme negara.” Selain itu Netanyahu juga disebutnya memimpin wilayah dalam kekacauan saat para pemimpin regional berdiri dalam solidaritas dengan Qatar.

    6. Yaman

    Serangan udara Israel menyasar ibu kota Yaman, Sanaa, dan provinsi al-Jawf. Dilaporkan sebanyak 35 orang tewas karena serangan yang dilakukan sehari setelah menargetkan pimpinan Hamas di Doha, Qatar.

    Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan Yaman, 131 orang terluka pada agresi di Sanaa dan al-Jawf.

    Daerah sipil dan pemukiman juga terdampak serangan ini, seperti al-Tahrir di Sanaa yang merupakan fasilitas medis di Jalan 60 di barat daya kota, dan kompleks pemerintah di ibu kota al-Jawf, al-Hazm.

    Laporan perusahaan Minyak dan Gas Yaman mengatakan jet-jet Israel menargetkan sebuah stasiun medis di Jalan al-Sitteen di Sanaa.

    (fsd/fsd)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Israel Serang Markas Hizbullah di Lebanon, 5 Orang Tewas

    Israel Serang Markas Hizbullah di Lebanon, 5 Orang Tewas

    Jakarta

    Militer Israel melancarkan serangan ke wilayah Lebanon hari ini. Israel mengatakan serangan itu menyasar markas-markas dari kelompok Hizbullah.

    Dilansir AFP, Senin (8/9/2025), serangan Israel diarahkan di Lembah Bekaa, Lebanon. Israel menyebut lokasi itu merupakan kompleks pelatihan yang digunakan oleh pasukan elit kelompok Hizbullah.

    Militer Israel mengatakan aktivitas dan persenjataan Hizbullah di lokasi-lokasi tersebut merupakan “pelanggaran terang-terangan” terhadap perjanjian yang dicapai November lalu untuk mengakhiri permusuhan lebih dari setahun antara militan dan Israel.

    Israel terus melancarkan serangan udara rutin di Lebanon meskipun ada kesepakatan gencatan senjata yang ditengahi AS.

    Serangan hari ini terjadi setelah pemerintah Lebanon mengatakan pekan lalu bahwa militernya akan mulai melaksanakan rencana pelucutan senjata Hizbullah, tanpa mengungkapkan detail rencana tersebut.

    Pemerintah telah menganggap upaya pelucutan senjata tersebut, yang ditentang Hizbullah, sebagai bagian dari implementasi kesepakatan gencatan senjata.

    Kementerian Kesehatan Lebanon mengatakan sejumlah orang dilaporkan meninggal dunia akibat serangan Israel tersebut. Lima orang dilaporkan tewas dan beberapa korban luka.

    “Serangan musuh Israel di Bekaa dan pinggiran Hermel menyebabkan jumlah korban awal lima orang tewas dan lima lainnya luka-luka,” kata kementerian tersebut, seraya menambahkan bahwa jumlah korban tersebut masih sementara.

    (ygs/idn)

  • Israel Sesalkan Malfungsi Drone yang Tewaskan 2 Tentara Lebanon

    Israel Sesalkan Malfungsi Drone yang Tewaskan 2 Tentara Lebanon

    Tel Aviv

    Militer Israel menyatakan penyesalan atas insiden mematikan ketika drone yang diluncurkannya meledak setelah jatuh di dalam wilayah Lebanon bagian selatan. Ledakan drone itu menewaskan dua tentara Lebanon dan melukai dua tentara lainnya.

    Militer Lebanon mengatakan pada Kamis (28/8) bahwa sebuah drone Israel meledak setelah terjatuh di area Ras al-Naqoura, bagian selatan negara tersebut. Drone itu meledak saat diperiksa oleh sejumlah personel militer Lebanon.

    Presiden Lebanon Joseph Aoun mengatakan bahwa “militer sekali lagi membayar dengan darah, harga untuk menjaga stabilitas di wilayah selatan”.

    Juru bicara militer Israel dalam pernyataannya, seperti dilansir Reuters dan The Times of Israel, Jumat (29/8/2025), mengaitkan insiden itu dengan malfungsi teknis. Dijelaskan juga bahwa drone tersebut diluncurkan dengan menargetkan infrastruktur kelompok Hizbullah yang ada di Lebanon bagian selatan.

    Militer Israel, atau Angkatan Bersenjata Israel (IDF), menyatakan pihaknya telah membuka penyelidikan terhadap insiden tersebut.

    Diakui oleh militer Israel dalam pernyataannya bahwa “IDF menerima laporan soal sejumlah tentara Lebanon mengalami luka-luka”. Dalam pernyataannya, militer Israel tidak menyebut soal korban jiwa dalam insiden di Lebanon tersebut.

    “Kemungkinan bahwa insiden itu disebabkan oleh ledakan senjata IDF sedang diselidiki,” sebut militer Israel dalam pernyataannya.

    Militer Israel menambahkan bahwa pihaknya “menyesalkan kerugian yang dialami militer Lebanon”.

    Menurut militer Israel dalam pernyataannya, drone itu dimaksudkan untuk menargetkan situs Hizbullah yang sedang dibangun kembali oleh kelompok tersebut “yang melanggar kesepahaman antara Israel dan Lebanon, dan bukan terhadap tentara-tentara Lebanon”.

    Berdasarkan gencatan senjata yang berlaku sejak November lalu untuk mengakhiri pertempuran antara Israel dan Hizbullah, militer Lebanon telah dikerahkan ke wilayah selatan negara itu dan membongkar infrastruktur Hizbullah, dengan dukungan pasukan penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

    Kesepakatan gencatan senjata yang dimediasi Amerika Serikat (AS) itu juga mewajibkan Israel dan Hizbullah untuk mundur dari posisi mereka di wilayah Lebanon bagian selatan. Namun Israel tetap menempatkan pasukannya di beberapa area yang dianggap strategis.

    Lihat juga Video ‘Hizbullah Tolak Pelucutan Senjata: Kami Tak Akan Tunduk ke Israel’:

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • 2 Tentara Lebanon Tewas Kena Ledakan Drone Israel

    2 Tentara Lebanon Tewas Kena Ledakan Drone Israel

    Beirut

    Militer Lebanon mengatakan dua tentaranya tewas terkena ledakan drone Israel yang terjatuh di wilayah selatan negara tersebut pada Kamis (28/8) waktu setempat. Ini menjadi insiden mematikan terbaru bagi pasukan militer Lebanon yang ditugaskan di dekat perbatasan Israel.

    Berdasarkan gencatan senjata yang berlaku sejak November lalu untuk mengakhiri pertempuran antara Israel dan Hizbullah, militer Lebanon telah dikerahkan ke wilayah selatan negara itu dan membongkar infrastruktur Hizbullah, dengan dukungan pasukan penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

    “Saat personel militer sedang memeriksa sebuah drone musuh Israel setelah itu terjatuh di area Naqura, drone itu meledak, yang menyebabkan kematian seorang perwira dan seorang prajurit, serta melukai dua personel lainnya,” kata militer Lebanon dalam pernyataannya, seperti dilansir AFP, Jumat (29/8/2025).

    Presiden Lebanon Joseph Aoun, dalam pernyataan terpisah, mengatakan bahwa “militer sekali lagi membayar dengan darah, harga untuk menjaga stabilitas di wilayah selatan”.

    Aoun menyebut insiden itu merupakan insiden mematikan keempat bagi militer Lebanon sejak mulai dikerahkan ke wilayah selatan negara tersebut, setelah gencatan senjata diberlakukan.

    Awal bulan ini, enam tentara Lebanon tewas dalam ledakan yang mengguncang sebuah depot senjata di dekat perbatasan, yang menurut sumber militer Beirut, milik Hizullah.

    Ditekankan oleh Aoun bahwa insiden pada Kamis (28/8) tersebut bertepatan dengan perpanjangan mandat pasukan penjaga perdamaian PBB oleh Dewan Keamanan PBB, menjelang penarikan mereka pada akhir tahun 2027.

    Insiden ini, menurut Aoun dalam pernyataannya, juga bertepatan dengan “seruan komunitas internasional agar Israel menghentikan serangannya, mundur … dan memungkinkan militer Lebanon untuk menyelesaikan perluasan kewenangannya hingga ke perbatasan internasional”.

    Berdasarkan gencatan senjata yang dimediasi Amerika Serikat (AS), Israel dan Hizbullah sama-sama diwajibkan untuk mundur dari Lebanon bagian selatan, tetapi Israel tetap menempatkan pasukannya di beberapa area yang dianggap strategis.

    Perdana Menteri (PM) Lebanon Nawaf Salam, dalam tanggapannya, menyampaikan belasungkawa dan “solidaritas penuh pemerintah terhadap institusi militer”. Dia mengatakan militer merupakan “katup pengaman, benteng kedaulatan, dan pendukung persatuan nasional” Lebanon.

    Lihat juga Video ‘303 Orang Tewas Termasuk 117 Anak Akibat Bencana Kelaparan di Gaza’:

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Israel “Turun Gunung” ke Negara Arab, Mau Lucuti Senjata Kelompok Ini

    Israel “Turun Gunung” ke Negara Arab, Mau Lucuti Senjata Kelompok Ini

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah Israel siap mendukung Lebanon dalam upaya melucuti senjata Hizbullah. Hal ini diumumkan menyusul keputusan kabinet Lebanon untuk mendukung rencana pelucutan senjata AS bagi kelompok yang didukung Iran tersebut.

    Dalam sebuah pernyataan, kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada hari Senin (25/8/2025) mengatakan bahwa Israel siap memuluskan hal ini dengan mengurangi kehadiran militernya yang ada di dekat negara itu.

    “Jika Angkatan Darat Lebanon mulai menerapkan rencana tersebut, Israel akan mempertimbangkan langkah-langkah timbal balik, termasuk mengurangi kehadiran militernya, berkoordinasi dengan mekanisme keamanan yang dipimpin Amerika Serikat (AS),” ujar pengumuman itu dikutip Al Arabiya.

    Awal bulan ini, kabinet Lebanon menyetujui tujuan kerangka kerja AS yang bertujuan melucuti senjata Hizbullah dan faksi-faksi bersenjata lainny. Langkah ini memicu perpecahan tajam di negara tersebut.

    Kemudian, peta jalan pelucutan senjata diajukan oleh utusan AS Tom Barrack. Peta jalan tersebut menguraikan proposal paling rinci untuk mengekang kekuatan militer Hizbullah.

    Di sisi lain, Hizbullah, yang merupakan kelompok pro Iran, telah berulang kali menolak seruan untuk melucuti senjata. Penentangan Hizbullah utamanya dialamatkan setelah perangnya dengan Israel pada akhir tahun 2024, yang menyebabkan sebagian wilayah Lebanon hancur.

    Gencatan senjata yang ditengahi AS antara Lebanon dan Israel pada bulan November mengakhiri konflik tersebut, menyerukan Lebanon untuk menyita semua senjata “ilegal” di seluruh negeri, dan mengatakan Israel akan menghentikan operasi ofensif terhadap target-target Lebanon.

    Namun, Israel telah mempertahankan pasukan di lima posisi di sepanjang perbatasan selatan dan terus melancarkan serangan udara terhadap apa yang disebutnya sebagai pejuang Hizbullah dan fasilitas senjata.

    (tps/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Ditentang Yahudi Prancis, Festival Musik di Paris Tetap Tampilkan Grup Kneecap Pro Kemanusiaan Palestina

    Ditentang Yahudi Prancis, Festival Musik di Paris Tetap Tampilkan Grup Kneecap Pro Kemanusiaan Palestina

    JAKARTA – Grup rap Irlandia yang kerap menyuarakan kemerdekaan dan krisis kemanusiaan di Palestina, Kneecap, tetap akan menjalani konsernya di Paris, meski ditentang kelompok Yahudi Prancis.

    Mengutip AFP, Kneecap dijadwalkan akan menjalani konser di festival tahunan ‘Rock en Seine’ di pinggiran kota Paris, Saint-Cloud, pada hari ini, Minggu 24 Agustus. 

    Pemerintah daerah setempat juga ikut menentang konser Kneecap dengan mencabut subsidi untuk festival tempat trio musisi rap itu manggung. 

    Pencabutan subsidi karena panitia festival tetap mempertahankan Kneecap menggelar konsernya yang dijadwalkan naik panggung pukul 16.30 waktu setempat. 

    📺 A little repost of our Glastonbury intro video.

    It features many of the faux-outrage media and politicians who drive this witch-hunt against Pro-Palestinian solidarity, whilst they give support and cover to slaughter.

    Free Palestine 🇵🇸 pic.twitter.com/f98XXLb39L

    — KNEECAP (@KNEECAPCEOL) August 19, 2025

    Kneecap memang dikenal tegas mendukung Palestina dan mengkritik keras Israel dalam hampir tiap konsernya. Mereka menjadikan panggung musik sebagai corong penyampaian pesan kemanusiaan.

    Salah satu personelnya, Liam O’Hanna atau Mo Chara (27), didakwa Undang-Undang Terorisme Inggris belum lama ini dalam sebuah sidang di Pengadilan Westminster Magistrates London.

    Dakwaan itu berdasarkan tudingan Mo Chara mengibarkan bendera Hizbullah dalam konser Kneecap di London. Kneecap mengatakan itu karena dilempar oleh penonton dan dakwaan yang ditujukan kepada Mo Chara sebagai upaya pembungkaman.

  • Hizbullah Tolak Letakkan Senjata, Lebanon di Ambang Perang Saudara?

    Hizbullah Tolak Letakkan Senjata, Lebanon di Ambang Perang Saudara?

    Beirut

    Sejak puluhan tahun Hizbullah dituntut meletakkan senjata, termasuk dalam sejumlah resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

    Perlucutan senjata secara konkret juga tercantum dalam perjanjian yang dimediasi Amerika Serikat dan Prancis, yang disetujui Israel dan Lebanon pada November lalu, untuk mengakhiri serangan terhadap wilayah selatan Lebanon.

    Kabinet Lebanon pada awal bulan ini mulai membahas rancangan undang-undang, untuk menegakkan monopoli negara atas kepemilikan senjata hingga akhir tahun. Namun, milisi yang oleh banyak negara Barat digolongkan sebagai organisasi teroris itu menolak perlucutan senjata.

    Hizbullah menafsirkan seruan yang tertuang dalam perjanjian itu “hanya berlaku di Lebanon selatan”, demikian menurut analisis International Crisis Group pada awal Agustus.

    Pemimpin Hizbullah, Naim Kassim, pekan lalu kembali menegaskan penolakannya dengan kata-kata tajam. Menurutnya, perlucutan senjata hanya melayani kepentingan AS dan Israel dan akan menjerumuskan Lebanon ke dalam “krisis berat.”

    Jika pemerintah mencari konfrontasi dengan Hizbullah, “maka tidak akan ada kehidupan di Lebanon.”

    Kassim secara gamblang memperingatkan akan terjadi “perang saudara” – yang membuat Perdana Menteri Lebanon, Nawaf Salam, menyatakan ancaman itu setara dengan deklarasi perang. Di platform X dan dalam wawancara surat kabar berbahasa Arab, dia menegaskan “setiap ancaman atau upaya intimidasi terkait perang saudara benar-benar tidak dapat diterima.”

    Perjuangkan kelangsungan politik

    “Tidak ada yang tahu berapa banyak senjata yang masih dimiliki milisi itu. Misteri ini adalah satu-satunya kartu yang bisa mereka mainkan. Dengannya mereka bisa mencoba meningkatkan pengaruh politik. Karena pada akhirnya, segalanya adalah soal kelangsungan politik Hizbullah,” ujar Abbass.

    Namun, milisi Syiah yang disokong Iran itu telah banyak kehilangan kekuatan dan pengaruh usai digempur Israel tahun lalu. Serangan Israel bukan hanya menghancurkan gudang senjata, tapi jajaran kepemimpinan – terutama Hassan Nasrallah yang tewas dalam serangan udara Israel pada September 2024.

    Dukungan internasional bagi Hizbullah juga menurun, ketika misalnya pada Desember tahun lalu sekutu dekatnya Bashar Assad di Suriah tumbang. Bahkan Iran, sponsor utama Hizbullah selama puluhan tahun, kini tak lagi bisa leluasa menyuplai senjata karena terputusnya jalur darat melalui Suriah.

    Keterlibatan Iran?

    “Secara prinsip, perlucutan Hizbullah bukan hal mustahil, meski sulit secara politik,” kata analis politik Lebanon Ronnie Chatah kepada DW. Dia menyinggung contoh sukses di negara lain, seperti kelompok pemberontak IRA di Irlandia, FARC di Kolombia atau ETA di Spanyol.

    Menurut Chatah, syarat utama perlucutan senjata adalah perundingan internasional dengan melibatkan Iran sebagai pendukung utama Hizbullah. “Bisa dikatakan Iran kini memimpin Hizbullah. Karena itu Ali Larijani, kepala keamanan resmi Iran, baru saja mengunjungi Lebanon.”

    Kesepakatan dengan Iran adalah prasyarat perlucutan Hizbullah. Secara politik, hal itu sulit dibayangkan saat ini, namun Chatah tetap melihat peluang di masa depan, yakni “melalui keterlibatan AS, atau lewat pembukaan jalur lain,” ujarnya.

    “Mayoritas warga Lebanon sebenarnya mendukung perlucutan senjata Hizbullah,” kata Merin Abbass menambahkan. “Tapi dari sudut pandang sebagian besar warga, integritas teritorial Lebanon masih menjadi ancaman terbesar – terutama dari Israel. Tentara Israel sering melanggar kedaulatan nasional Lebanon.”

    Sejak gencatan senjata November lalu, Israel berkali-kali melanggar perjanjian, termasuk melancarkan banyak pembunuhan terarah. “Selain itu, Israel masih menduduki lima pos di dalam wilayah Lebanon, yang tentu memberi Hizbullah legitimasi besar,” kata Abbass.

    Israel bersikeras tumpas Hizbullah

    Walau begitu, pendapat warga Lebanon sendiri terbelah soal perlucutan senjata Hizbullah. Seorang perempuan, yang tak ingin disebutkan namanya, mengatakan dia menolak perlucutan, dengan alasan agresi militer Israel.

    “Karena itu saya menolak perlucutan Hizbullah. Tentara reguler Lebanon tidak punya cukup kemampuan untuk mempertahankan wilayah negara.”

    Warga lain menuntut hal yang lebih mendesak: “Negara ini bangkrut dan hancur. Perlucutan senjata harus dilakukan setelah rekonstruksi – bukan di awal.”

    Seorang warga Lebanon lainnya merujuk pada situasi di selatan, yang sejak puluhan tahun berada di bawah tekanan Israel. “Karena itu mereka merasa lebih aman jika Hizbullah masih bersenjata.”

    Namun dia pribadi mendukung perlucutan, karena “dengan begitu Israel tidak punya alasan lagi untuk memulai perang baru.”

    Israel sendiri menegaskan, operasi militer terhadap Hizbullah sejak musim gugur 2023 dipicu serangan roket Hizbullah. Tembakan salvo dari selatan Lebanon muncul sebagai reaksi atas perang yang dilancarkan Israel di Jalur Gaza. Setelah gencatan senjata pun, Hizbullah masih menyerang wilayah Israel.

    Penguatan struktur negara

    “Dalam situasi saat ini, Lebanon harus memperkuat kewenangan negara di semua lini,” kata Merin Abbass. “Strategi kedaulatan yang kredibel harus dimulai dari titik terlemah Lebanon: legitimasi dan kapasitas. Hal ini mencakup reformasi politik menuju sistem sekuler, pemulihan kedaulatan fiskal dan berkurangnya ketergantungan pada pendanaan asing, serta pemulihan peran negara sebagai penyedia utama layanan dasar.”

    Namun, Abbass mewanti-wanti terhadap sulitnya situasi, khususnya pada aspek militer. Hingga kini, tentara Lebanon dinilai masih lebih lemah dibandingkan Hizbullah.

    “Karena itu kehadiran pasukan pengamat PBB (UNIFIL) di Lebanon selatan tetap sangat penting,” katanya, merujuk pada pembahasan tentang perpanjangan mandat UNIFIL. “Tentara Lebanon tidak akan mampu menjalankan tugas itu sendirian. Mereka akan kewalahan.”

    Hal itu bisa membuat Israel sewaktu-waktu kembali masuk ke Lebanon selatan jika merasa kepentingannya terancam oleh aktivitas Hizbullah.

    Di sisi lain, Hizbullah sendiri sudah menegaskan belum siap untuk meletakkan senjata.

    “Lebanon memiliki masalah mendasar,” kata analis Ronnie Chatah, yakni perpecahan sektarian yang kuat, disertai pola pikir berbasis kelompok. “Masalah ini akan terus berlangsung. Dan akan terus melemahkan negara.”

    Meski begitu, Hizbullah harus berkembang menjadi partai politik murni, lanjutnya. Jika tidak, risiko serangan Israel maupun perpecahan baru di masyarakat akan tetap ada – “dengan kualitas yang belum pernah kita kenal sebelumnya.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Jerman
    Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
    Editor: Agus Setiawan

    Lihat juga Video ‘Hizbullah Ancam Bakal Serang Israel Jika Perang Lebanon Berlanjut’:

    (nvc/nvc)

  • Presiden Lebanon Wanti-wanti Iran Jangan Ikut Campur Urusan Negara!

    Presiden Lebanon Wanti-wanti Iran Jangan Ikut Campur Urusan Negara!

    Jakarta

    Presiden Lebanon Joseph Aoun telah menyampaikan pesan tegas kepada pemerintah Iran, bahwa negara tersebut tidak boleh ikut campur dalam urusan dalam negeri Lebanon.

    Hal itu disampaikan Aoun dalam sebuah wawancara dengan media Al Arabiya, Selasa (19/8/2025).

    Aoun mengatakan bahwa ia menyampaikan hal ini langsung kepada Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Iran, Ali Larijani, yang mengunjungi Beirut, Lebanon pekan lalu.

    Ia mengatakan hubungan Lebanon dengan Iran “didasarkan pada rasa hormat,” dan menambahkan: “Iran adalah negara sahabat, tetapi atas dasar menjaga kedaulatan kami … pesan kami jelas: Iran tidak akan ikut campur dalam urusan kami.”

    Presiden Lebanon itu juga menekankan bahwa masalah perlucutan senjata kelompok milisi Hizbullah “adalah keputusan Lebanon dan bukan urusan Iran.”

    Kunjungan Larijani tersebut dilakukan di tengah meningkatnya ketegangan menyusul pidato pemimpin Hizbullah, Naim Qassem, yang memicu reaksi keras dan memperumit situasi politik.

    Qassem menuduh pemerintah Lebanon “menyerahkan Lebanon kepada Israel” dengan keputusannya untuk melucuti senjata Hizbullah. Dia mengingatkan bahwa hal ini dapat menyebabkan “perang saudara.” Perdana Menteri Lebanon Nawaf Salam mengecam pernyataan tersebut, menolak apa yang ia sebut sebagai “ancaman terselubung.”

    Otoritas Lebanon baru-baru ini mengambil sikap yang lebih tegas terhadap Hizbullah dan Iran. Baik Presiden Aoun maupun Perdana Menteri Nawaf Salam mengatakan kepada Larijani pekan lalu, bahwa mereka menolak “campur tangan apa pun” dalam urusan internal Lebanon. Ini disampaikan menyusul kritik Iran terhadap keputusan perlucutan senjata Hizbullah.

    Untuk pertama kalinya dalam sejarah hubungan Lebanon-Iran, para pejabat senior Lebanon telah menyampaikan hal ini secara blak-blakan dan terbuka kepada utusan Iran tersebut.

    Diketahui bahwa Iran tetap menjadi pendukung utama Hizbullah, menyediakan uang dan senjata selama beberapa dekade.

    Langkah pemerintah Lebanon tersebut – yang digambarkan oleh para penentang Hizbullah sebagai “bersejarah” – merupakan bagian dari implementasi perjanjian gencatan senjata yang dimediasi AS yang mengakhiri perang Hizbullah-Israel pada 27 November lalu. Keputusan tersebut menetapkan bahwa hanya lembaga keamanan dan militer resmi Lebanon yang boleh membawa senjata.

    Lihat juga Video ‘Hizbullah Ancam Bakal Serang Israel Jika Perang Lebanon Berlanjut’:

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Hizbullah Tolak Lucuti Senjata-Ancam Kerusuhan, PM Lebanon Mengecam!

    Hizbullah Tolak Lucuti Senjata-Ancam Kerusuhan, PM Lebanon Mengecam!

    Beirut

    Perdana Menteri (PM) Lebanon Nawaf Salam mengecam dan menuduh pemimpin kelompok Hizbullah Naim Qassem telah melontarkan ancaman “yang tidak dapat diterima” untuk memicu perang sipil di negara tersebut.

    Kecaman itu disampaikan PM Lebanon setelah Qassem menegaskan penolakan terhadap rencana pemerintah Beirut untuk melucuti persenjataan Hizbullah.

    Qassem mengingatkan bahwa melucuti senjata Hizbullah akan merusak keamanan nasional Lebanon. Dia juga memperingatkan jika senjata Hizbullah disingkirkan, maka pemerintah Lebanon akan bertanggung jawab atas kerusuhan internal atau pertempuran yang mungkin terjadi akibat keputusan itu.

    Qassem bahkan mengancam “tidak akan ada kehidupan di Lebanon” jika pemerintah berusaha melucuti persenjataan Hizbullah secara paksa.

    Salam, seperti dilansir AFP, Sabtu (16/8/2025), mengecam pernyataan Qassem, yang disebutnya sebagai “ancaman tersirat untuk perang sipil”.

    “Ancaman atau intimidasi apa pun yang terkait dengan perang semacam itu sama sekali tidak dapat diterima,” tegas sang PM Lebanon dalam pernyataan via media sosial X.

    Dalam pernyataannya, Salam juga mengkritik Hizbullah yang menyebut upaya perlucutan senjata sebagai upaya Amerika Serikat (AS) dan Israel.

    “Keputusan kami murni keputusan Lebanon, dibuat oleh kabinet kami, dan tidak ada yang memberitahu kami mengenai apa yang harus dilakukan,” ucapnya.

    “Rakyat Lebanon memiliki hak atas stabilitas dan keamanan… yang tanpanya, negara ini tidak akan dapat pulih, dan tidak akan ada rekonstruksi atau investasi yang dilakukan,” kata Salam dalam pernyataannya.

    Qassem, dalam pidato yang disiarkan televisi terkait Hizbullah, sebelumnya menuduh pemerintah Lebanon “sedang melaksanakan perintah Amerika-Israel untuk mengakhiri perlawanan, bahkan jika itu mengarah pada perang sipil dan pertikaian internal”.

    “Perlawanan tidak akan menyerahkan senjatanya selama agresi berlanjut, selama pendudukan berlanjut, dan kami akan melancarkan pertempuran ala Karbala jika diperlukan, dan kami meyakini bahwa kami akan menang,” tegasnya, merujuk pada agresi dan pendudukan Israel.

    Pernyataan Qassem itu disampaikan setelah pertemuan dengan Kepala Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran, Ali Larijani, yang negaranya telah sejak lama mendukung kelompok Hizbullah.

    Hizbullah muncul dalam kondisi sangat lemah akibat perang tahun lalu dengan Israel, dan di bawah tekanan AS, pemerintah Lebanon telah memerintahkan militer negara itu untuk menyusun rencana perlucutan senjata Hizbullah pada akhir tahun.

    Pada Selasa (12/8) waktu setempat, Presiden Lebanon Joseph Aoun menegaskan kepada seorang pejabat senior Iran bahwa tidak ada kelompok di Lebanon yang diizinkan memiliki senjata atau bergantung pada dukungan asing.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)