Organisasi: GMNI

  • Lima Demonstran di Jember Segera Disidangkan

    Lima Demonstran di Jember Segera Disidangkan

    Jember (beritajatim.com) – Proses hukum lima orang demonstran yang ditangani Kepolisian Resor Jember, Jawa Timur, sudah dinyatakan P21 dan segera dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan.

    Saat ini Polres Jember menahan delapan orang pengunjuk rasa yang diduga merusak fasilitas umum dan melemparkan bom molotov dalam aksi pada 30 Agustus 2025. “Tinggal tiga orang yang masih dalam tahap pemberkasan, tahap satu,” kata Kepala Unit Pidana Umum Inspektur Satu Bagus Setiawan, Rabu (8/10.2025).

    Semua tersangka, menurut Bagus, didampingi penasihat hukum. “Jadi, tidak ada kita tidak transparan dan tidak ada kekerasan sedikitpun,” katanya.

    Kepala Urusan Pembinaan dan Operasional Satuan Intelijen Inspektur Satu Wawan Sugianto mengatakan, pihaknya tidak mengamankan aktivis yang memprakarsai aksi damai pada 30 Agustus 2025. “Yang kami amankan adalah massa di luar yang melakukan aksi unjuk rasa ke Mapolres Jember,” katanya.

    Polres Jember, menurut Wawan, justru mengapresiasi aksi mahasiswa yang berjalan tertib. “Dilihat dari situasi nasional yang berkembang sampai saat ini, alhamdulillah, sudah aman,” katanya.

    Aksi perusakan dilakukan para tersangka ini setelah aksi unjuk rasa dinyatakan berakhir pada pukul 16.00 WIB oleh koordinator dari Badan Eksekutif Mahasiswa dan kelompok Cipayung yang terdiri atas HMI, GMNI, dan PMII.

    Menurut Wawan, kurang lebih ada 50-60 orang massa cair yang bertahan di Markas Polres Jember. “Pada pukul 18.00 kurang sedikit, saat azan magrib, berkumandang, massa cair menarik diri keluar dari dari Mapolres Jember dan bergeser ke Bundaran Jalan Kartini,” katanya.

    Menurut Bagus, massa yang tersisa di Jalan Kartini merusak dan membakar tenda pos pantau milik Satuan Lalu Lintas Polres Jember. Mereka juga melemparkan bom molotov. “Imbauan sudah dilakukan lagi. Tapi tetap massa tidak bubar,” katanya.

    Akhirnya setelah aksi itu, polisi bergerak. “Beberapa alat bukti petunjuk kami mengarah kepada tujuh orang,” kata Bagus.

    Menurut Bagus, pengamanan tujuh orang itu tidak melalui upaya paksa atau penangkapan. Mereka bersedia dimintai keterangan di Markas Polres Jember. “Tujuh orang ini semuanya kooperatif dan mengakui bahwa petunjuk yang kami dapat, baik video amatir di medsos maupun dari CCTV, adalah yang bersangkutan,” katanya.

    “Dari proses interogasi, kami lakukan pemeriksaan sebagai saksi, dan kami lakukan pendalaman sesuai dengan KUHAP. Telah terpenuhi dua alat bukti untuk kita naikkan statusnya sebagai tersangka.. Jadi yang perlu kami garisbawahi bahwa untuk tujuh orang awal ini tidak ada proses penangkapan ataupun upaya paksa,” kata Bagus.

    Dari tujuh orang itu, dua orang masih anak-anak. Polisi memakai Undang-Undang Perlindungan Anak. Mereka tidak ditahan dan ditangani Balai Pemasyarakatan (Bapas). Mereka masih berstatus pelajar SMA kelas 1, dan mengaku hanya ikut-ikutan.

    “Dua orang ini sedang menjalani sanksi sosial di Dinas Sosial. Dari sekolahnya sebenarnya mereka sudah menjalani masa hukuman. Tapi karena mendengar di medsos ada aksi,-mereka ikut-ikutan hingga melakukan pengerusakan atau pembakaran,” kata Bagus.

    Sementara lima orang lainnya dinaikkan statusnya menjaid tersangka. “Ada pengembangan terhadap terduga pelaku lain yang dikenali, termasuk yang berinisial F. Jadi salah satu tersangka menyampaikan bahwa dia terhasut oleh F yang menyampaikan kalimat provokatif,” kata Bagus.

    “Dari awal pemeriksaan saksi, langsung didampingi LBH dari Surabaya. Jadi tidak ada proses hukum yang tidak transparan,” kata Bagus.

    Polisi kemudian menetapkan F sebagai tersangka. “Mengembang dua orang lagi yang dikenali oleh teman-teman yang sudah kami tetapkan tersangka,” kata Bagus.

    Bagus mengatakan, para tersangka bisa ditemui. “Semuanya boleh melihat ada tidak kita melakukan paksaan dan intimidasi dan lain sebagainya. Kita terbuka. Dari teman-teman aktivis juga sudah ada yang menjenguk tersangka. Kita izinkan. Kita enggak membatasi ketemu siapa-siapa,” jelasnya.

    Delapan orang tersangka tersebut bukan bagian dari elemen organisasi yang memprakarsai aksi damai di Mapolres Jember. “Kalau teman-teman mahasiswa ingin bertatap muka dengan para tersangka yang sudah kami amankan, monggo dipersilakan,” kata Bagus.

    Surat penanguhan penahanan terhadap F dari LBH Surabaya sudah diterima Polres Jember. “Masih dalam tahap pertimbangan pimpinan. Kebijakan itu ada di pimpinan. Tidak ada kita istilahnya mengkriminalisasi aksi, apalagi aksi yang sudah digagas oleh teman-teman aktivis,” kata Bagus. [wir]

  • HMI Tuntut Polres Jember Bebaskan Seluruh Demonstran yang Ditahan

    HMI Tuntut Polres Jember Bebaskan Seluruh Demonstran yang Ditahan

    Jember (beritajatim.com) – Pengurus Cabang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mempertanyakan penangkapan sejumlah demonstran oleh Kepolisian Resor Jember, Jawa Timur, pasca aksi 30 Agustus 2025.

    Kritik ini disuarakan saat mereka mengikuti rapat dengar pendapat di gedung DPRD Kabupaten Jember, Rabu (8/10/2025). Rapat juga diikuti perwakilan Polres Jember, yakni Kepala Unit Pidana Umum Inspektur Satu Bagus Setiawan dan Kepala Urusan Pembinaan dan Operasional Satuan Intelijen Inspektur Satu Wawan Sugianto.

    Ketua HMI Jember Ahmad Ridwan mengatakan, aksi unjuk rasa Amarah Masyarakat Jember pada 30 Agustus 2025 berjalan tertib dan kondusif. “Sepanjang saya mengikuti aksi, tidak pernah terjadi kericuhan besar seperti di luar daerah lain,” katanya.

    Menurut Ridwan, pengunjuk rasa berusaha untuk mengedepankan substansi dari aspirasi yang dibawa. “Kami menilai aksi terakhir pada 30 Agustus tersebut masih dalam batas-batas koridor substansial. kalau kita membandingkan dengan di daerah yang lain bahkan ada korban jiwa,” katanya.

    Setelah aksi 30 Agustus 2025, HMI menunda aksi lanjutan. “Ternyata dalam perjalanannya kami mendengar, adanya insiden-insiden yang kami rasa perlu koreksi kita bersama,” kata Ridwan.

    Ridwan mendapat informasi bahwa polisi mengamankan 12 orang, dan menetapkan 10 orang di antaranya sebagai tersangka. Dua orang tersangka itu berstatus pelajar. “Sepuluh tersangka tersebut dijerat dengan pasal 187, pasal 170, dan pasal 160 KUHP,” katanya.

    Padahal, lanjut Ridwan, penyampaian pendapat di muka umum merupakan hak konstitusional warga yang dilindungi undang-undang. “Namun penegakan hukum pidana di Indonesia masih berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 1981 sebagai instrumen utama dalam mengatur mekanisme penyidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, hingga pemeriksaan saksi,” katanya.

    Ridwan mengingatkan, aparat kepolisian tidak hanya dituntut tegas, tapi juga menjunjung tinggi asas keadilan, proporsionalitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. “Dalam konteks ini, setiap bentuk tindakan hukum, terutama yang melibatkan penangkapan dan penetapan tersangka harus dilakukan secara hati-hati, akuntabel, dan tidak serampangan,” katanya.

    Ridwan menegaskan, KUHAP sejatinya dimaksudkan untuk menyeimbangkan kepentingan penegakan hukum dengan perlindungan hak asasi manusia melalui prinsip diverses of law.

    “Aparat penegak hukum tidak bisa menggunakan cara-cara sewenang-wenang yang dapat merugikan hak dasar warga negara,” katanya.

    Adinda Agung Maulana, Ketua Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan, dan Pemuda HMI Jember, mengatakan, pemanggilan saksi yang dilakukan polisi tidak sesuai dengan surat resmi sebagaimana diatur KUHP. “Pemeriksaan dilakukan di luar jam kerja tanpa dasar hukum, dan adanya wajib lapor berulang kali tanpa status tersangka yang resmi,” katanya.

    “Contoh tersebut terjadi pada aktivis berinisial F yang dijerat pasal 160 KUHP, yang menunjukkan penetapan tersangka tidak prosedural, karena tidak ada pemeriksaan awal maupun bukti permulaan yang cukup,” kata Agung.

    Menurut Agung, F yang ditangkap polisi adalah petugas paramedis dalam aksi 30 Agustus. “Bukan penggerak massa,” katanya. LBH Surabaya sudah melayangkan surat penangguhan penahanan ke Polres Jember.

    Agung menegaskan, HMI Cabang Jember berkomitmen untuk terus mengawal proses hukum kasus itu. “Kami ingin menyampaikan beberapa hal untuk ke depannya dipertimbangkan dan diperhatikan. Pertama, terkait dengan peningkatan kapasitas aparat penegak hukum,” katanya.

    “Kami minta Polres Jember melakukan proses penegakan hukum dengan tetap mengacu pada hukum acara pidana yang berlaku dan mengedepankan HAM. Ketiga, meminta Polres Jember untuk menanggapi dan mengabulkan penangguhan penahanan yang diminta oleh LBH Surabaya,” kata Agung.

    HMI juga mendesak polisi berdialog konstruktif dengan masyarakat sipil untuk memperkuat kepercayaan publik dan mendorong penegakan hukum yang partisipatif.

    “Terakhir, kami menuntut kepolisian Jember untuk segera membebaskan seluruh massa aksi yang ditahan, apabila bukti permulaan yang dijadikan dasar penetapan tersangka tidak memenuhi standar minimal pembuktian, atau bukti tersebut diperoleh melalui cara-cara yang bertentangan dengan ketentuan hukum acara pidana yang sah,” kata Agung.

    Jawaban Polres Jember
    Inspektur Satu Wawan Sugianto.mengatakan, mulanya aksi pada 30 Agustus 2025 berjalan kondusif. “Pada pukul 16.00, para Korlap (Koordinator Lapangan) aksi dari elemen BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) maupun dari Cipayung (HMI, PMII, GMNI) selesai dan menyatakan menarik diri dari aksi tersebut,” katanya.

    Namun, menurut Wawan, kurang lebih ada 50-60 orang massa cair yang bertahan di Markas Polres Jember pada pukul 16.00-18.00 WIB. “Pada pukul 18.00 kurang sedikit, saat azan magrib, berkumandang, massa cair menarik diri keluar dari dari Mapolres Jember dan bergeser ke Bundaran Jalan Kartini,” katanya.

    Saat itu terjadi perusakan fasilitas dan pelemparan bom molotov ke arah Mapolres Jember. Namun bom molotov tak mengenai sasaran.

    “Jadi kami tidak mengamankan aktivis. Yang kami amankan adalah massa di luar yang melakukan aksi unjuk rasa ke Mapolres Jember,” kata Wawan.

    Polres Jember, menurut Wawan, justru mengapresiasi aksi mahasiswa yang berjalan tertib. “Dilihat dari situasi nasional yang berkembang sampai saat ini, alhamdulillah, sudah aman,” katanya.

    Sementara itu, Inspektur Satu Bagus Setiawan mengatakan, ada sebelas orang yang diamankan Polres Jember. “Tujuh orang yang awal (diamankan) itu kami tidak pernah melakukan upaya paksa ataupun penangkapan,” katanya.

    “Jadi setelah aksi yang awalnya berjalan sangat damai, indah, dan diterima di halaman Mapolres, dilakukan dengan aksi teatrikal, dan semua aspirasi, sudah dilaksanakan, tercederai beberapa oknum yang itu bukan merupakan bagian dari teman-teman aktivis,” kata Bagus.

    Petang itu, menurut Bagus, massa yang tersisa di Jalan Kartini merusak tenda pos pantau milik Satuan Lalu Lintas Polres Jember. Mereka juga membakar dan melemparkan bom molotov. “Imbauan sudah dilakukan lagi. Tapi tetap massa tidak bubar,” katanya.

    Akhirnya setelah aksi itu, polisi bergerak. “Beberapa alat bukti petunjuk kami mengarah kepada tujuh orang,” kata Bagus.

    Menurut Bagus, mereka bersedia dimintai keterangan di Markas Polres Jember. “Tujuh orang ini semuanya kooperatif dan mengakui bahwa petunjuk yang kami dapat, baik video amatir di medsos maupun dari CCTV, adalah yang bersangkutan,” katanya.

    “Dari proses interogasi, kami lakukan pemeriksaan sebagai saksi, dan kami lakukan pendalaman sesuai dengan KUHAP. Telah terpenuhi dua alat bukti untuk kita naikkan statusnya sebagai tersangka.. Jadi yang perlu kami garisbawahi bahwa untuk tujuh orang awal ini tidak ada proses penangkapan ataupun upaya paksa,” kata Bagus.

    Dari tujuh orang itu, dua orang masih anak-anak. Polisi memakai Undang-Undang Perlindungan Anak. Mereka tidak ditahan dan ditangani Balai Pemasyarakatan (Bapas). Mereka masih berstatus pelajar SMA kelas 1, dan mengaku hanya ikut-ikutan.

    “Dua orang ini sedang menjalani sanksi sosial di Dinas Sosial. Dari sekolahnya sebenarnya mereka sudah menjalani masa hukuman. Tapi karena mendengar di medsos ada aksi,-mereka ikut-ikutan hingga melakukan pengerusakan atau pembakaran,” kata Bagus.

    Sementara lima orang lainnya dinaikkan statusnya menjaid tersangka. “Ada pengembangan terhadap terduga pelaku lain yang dikenali, termasuk yang berinisial F. Jadi salah satu tersangka menyampaikan bahwa dia terhasut oleh F yang menyampaikan kalimat provokatif,” kata Bagus.

    “Dari awal pemeriksaan saksi, langsung didampingi LBH dari Surabaya. Jadi tidak ada proses hukum yang tidak transparan,” kata Bagus.

    Polisi kemudian menetapkan F sebagai tersangka. “Mengembang dua orang lagi yang dikenali oleh teman-teman yang sudah kami tetapkan tersangka,” kata Bagus.

    Polisi menangkap dua orang itu. “Jadi total yang kita lakukan penahanan sampai saat ini adalah delapan orang. Dari delapan orang ini, untuk yang lima orang tersangka sudah dinyatakan P21 oleh jaksa penuntut umum,” kata Bagus.

    “Jadi, tinggal tiga orang yang masih dalam tahap pemberkasan, tahap satu. Yang lima orang sudah P21. Para tersangka semuanya didampingi lawyer atau penasihat hukum. Jadi, tidak ada kita tidak transparan dan tidak ada kekerasan sedikitpun,” kata Bagus.

    Bagus mengatakan, para tersangka bisa ditemui. “Semuanya boleh melihat ada tidak kita melakukan paksaan dan intimidasi dan lain sebagainya. Kita terbuka. Dari teman-teman aktivis juga sudah ada yang menjenguk tersangka. Kita izinkan. Kita enggak membatasi ketemu siapa-siapa,” jelasnya.

    Delapan orang tersangka tersebut bukan bagian dari elemen organisasi yang memprakarsai aksi damai di Mapolres Jember. “Kalau teman-teman mahasiswa ingin bertatap muka dengan para tersangka yang sudah kami amankan, monggo dipersilakan,” kata Bagus.

    Surat penanguhan penahanan terhadap F sudah diterima Polres Jember. “Masih dalam tahap pertimbangan pimpinan. Kebijakan itu ada di pimpinan. Tidak ada kita istilahnya mengkriminalisasi aksi, apalagi aksi yang sudah digagas oleh teman-teman aktivis,” kata Bagus. [wir]

  • PDIP Jatim Hormati Proses Hukum Dugaan Penyalahgunaan Narkoba yang Seret Kadernya

    PDIP Jatim Hormati Proses Hukum Dugaan Penyalahgunaan Narkoba yang Seret Kadernya

    Surabaya (beritajatim.com) – Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Timur, Deni Wicaksono, pihaknya menghormati proses hukum yang sedang berjalan terkait kasus dugaan penyalahgunaan narkoba yang menyeret salah satu kadernya, Agus Black Hoe Budianto. Dia melanjutkan, hingga saat ini pihaknya masih menunggu keterangan resmi dari pihak berwenang terkait perkembangan penanganan kasus tersebut.

    “Kami menghormati proses hukum yang kini masih berjalan dan masih menunggu keterangan resmi. Sampai hari ini, baik dari DPRD, kepolisian, maupun lembaga terkait, belum ada pernyataan resmi yang bisa kami jadikan dasar untuk bersikap,” ujar Deni saat ditemui di Kantor DPD PDI Perjuangan Jatim, Sabtu (4/10/2025).

    Secara organisasi, terang Deni PDIP bersikap tegas terhadap setiap pelanggaran berat, termasuk kasus narkotika. Aturan partai telah mengatur sanksi berat bagi kader yang terbukti bersalah.

    “Secara organisasi, PDI Perjuangan tegas. Siapa pun kader yang terbukti melakukan pelanggaran berat, sanksinya adalah pemecatan. Itu sudah diatur dalam AD/ART partai,” kata politisi yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Jawa Timur 2024-2029 ini.

    Dia melanjutkan, partai akan mengambil sikap sesuai dengan proses hukum yang berjalan dan sudah ada keputusan resmi dari pihak berwenang. Baik itu rehabilitasi, pemulihanm maupun penahanan.\enang.

    “Apakah statusnya rehabilitasi, pemulihan, atau penahanan, semua menunggu kepastian resmi. Namun kalau sudah ada bukti kuat, sikap partai jelas pemecatan,” ucapnya.

    Saat ini, lanjut Deni, PDIP terus berbenah dan memperkuat integritas internal. Dia menekankan menjaga marwah partai sebagai organisasi politik yang berpihak kepada rakyat menjadi hal penting yang harus diperhatikan seluruh kader PDIP.

    “Kami melihat partai ini memang sedang berbenah. Arahan dan keputusan final tentu berada di tangan pimpinan pusat, tetapi kami di daerah akan tegak lurus mengikuti garis organisasi dan memastikan marwah partai tetap terjaga,” pungkas Ketua Persatuan Alumni (PA) GMNI Jatim ini. [asg/beq]

  • GMNI Surabaya Dorong Kesejahteraan Petani Lewat Konsolidasi Hari Tani

    GMNI Surabaya Dorong Kesejahteraan Petani Lewat Konsolidasi Hari Tani

    Surabaya (beritajatim.com) – Memperingati Hari Tani Nasional, DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Surabaya menggelar konsolidasi bertema “Petani Kuat, Bangsa Berdaulat” dengan melibatkan seluruh DPK GMNI se-Surabaya. Acara ini menjadi forum strategis untuk membahas persoalan agraria dan pertanian yang hingga kini masih membelit petani di kota maupun wilayah sekitar.

    Sekretaris Jenderal DPC GMNI Surabaya, Razak Amrullah Ramadhan, menjelaskan bahwa konsolidasi ini tidak hanya berhenti pada diskusi, tetapi ditindaklanjuti dengan program nyata. Salah satunya adalah kegiatan Live In selama dua hari satu malam di kawasan pertanian Lakarsantri untuk memahami langsung kondisi dan tantangan yang dihadapi petani.

    “Agenda ini ditujukan agar kami dapat mengetahui permasalahan faktual yang dialami oleh petani di lapangan. Hasilnya akan dirumuskan dalam kajian akademik untuk kemudian diaudiensikan ke stakeholder terkait,” ujar Razak di Wisma Marinda GMNI, Rabu (24/9/2025).

    GMNI Surabaya dalam konsolidasi ini mengungkap berbagai persoalan, mulai dari ketimpangan akses tanah, konflik agraria dengan pengembang, hingga belum adanya kepastian hukum yang kuat bagi petani. Menurut Razak, hal ini menjadi hambatan serius bagi kesejahteraan petani dan ketahanan pangan nasional.

    “Pemerintah perlu memperkuat implementasi Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) sesuai amanat UUPA 1960. Dengan begitu, hak atas tanah petani dapat terlindungi dan sengketa agraria bisa diminimalisir,” jelasnya.

    Wakabid Politik DPC GMNI Surabaya, Mochamad Dewa Surya Fijana, menambahkan bahwa pihaknya juga berencana mengumpulkan data valid dari petani sebagai dasar untuk menyusun rekomendasi kebijakan. Data tersebut akan diserahkan kepada dinas dan lembaga terkait agar kebijakan yang lahir benar-benar sesuai dengan kebutuhan petani.

    “GMNI Surabaya menginisiasi agar pemerintah memperhatikan hak akses atas tanah petani agar kesejahteraan mereka benar-benar terwujud. Selain itu, kami juga mengajak kaum muda lebih peduli terhadap nasib petani melalui gerakan nyata,” ungkap Dewa.

    Dewa menilai keterlibatan generasi muda sangat penting dalam menjaga kedaulatan pangan nasional. Menurutnya, petani bukan hanya pelaku produksi, tetapi juga bagian dari pertahanan negara dalam bidang pangan.

    “Dengan langkah ini, kami berharap perjuangan petani mendapat perhatian serius pemerintah. Kesejahteraan mereka adalah pondasi utama dalam mewujudkan kedaulatan pangan nasional,” pungkasnya. [asg/ian]

  • GMNI Apresiasi Pidato Presiden Prabowo di PBB Soal Kemerdekaan Palestina

    GMNI Apresiasi Pidato Presiden Prabowo di PBB Soal Kemerdekaan Palestina

    Jakarta (beritajatim.com) – Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Muhammad Risyad Fahlefi, mengapresiasi pidato Presiden Prabowo Subianto yang lantang menyuarakan kemerdekaan Palestina dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat. Menurutnya, sikap tegas Presiden Prabowo memperkuat posisi Indonesia sebagai negara yang konsisten membela perdamaian dunia.

    “GMNI mengapresiasi pidato Presiden Prabowo di forum tertinggi PBB yang dengan tegas dan lantang menyuarakan kemerdekaan Palestina,” ujar Risyad dalam keterangannya, Selasa (23/9/2025).

    Risyad menjelaskan, pernyataan Presiden Prabowo menunjukkan konsistensi Indonesia dalam menolak segala bentuk penjajahan, sebagaimana diamanatkan konstitusi. Ia menilai, sikap tersebut juga menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia berdiri di garis depan dalam memperjuangkan hak-hak rakyat Palestina.

    “Pidato presiden sangat tegas dan gamblang dalam menolak segala bentuk kekerasan terhadap warga sipil di Gaza sekaligus mengakhiri perang, yang mana hal itu sesuai dengan konstitusi kita,” tegasnya.

    Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia ini menambahkan, dukungan internasional terhadap kemerdekaan Palestina saat ini semakin menguat. Menurutnya, momentum ini harus dimanfaatkan Indonesia untuk memimpin gerakan negara-negara global south dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina.

    “Indonesia bisa memimpin negara global south untuk meraih dukungan internasional yang lebih masif dalam kemerdekaan Palestina. Hal ini tentu akan memperkuat posisi Indonesia dalam percaturan politik dan diplomasi internasional,” jelas Risyad.

    Ia juga mendorong pemerintah agar tidak berhenti pada diplomasi simbolik, tetapi mengambil langkah konkret untuk menggalang dukungan dari negara-negara anggota PBB. Dengan langkah ini, Indonesia dapat memainkan peran penting dalam mewujudkan perdamaian di Timur Tengah.

    “Bahkan Indonesia bisa menjadi game changer dalam upaya mewujudkan kemerdekaan Palestina,” pungkasnya. [asg/ian]

  • Achmad Hidayat Ajak Semua Elemen Lakukan Pengakuan Kesalahan, untuk Apa?

    Achmad Hidayat Ajak Semua Elemen Lakukan Pengakuan Kesalahan, untuk Apa?

    Surabaya (beritajatim.com) – Kader PDI Perjuangan (PDIP) Surabaya, Achmad Hidayat, mengajak semua elemen bangsa untuk berani melakukan pengakuan kesalahan sebagai langkah awal menyelamatkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut dia, sikap ini penting agar bangsa Indonesia bisa keluar dari lingkaran konflik dan ketidakpercayaan yang saat ini terus terjadi.

    “Pengakuan kesalahan diperlukan agar semua pihak bisa sama-sama memperbaiki diri demi keselamatan bangsa. Ini harus dimulai dari pemimpin hingga masyarakat biasa,” kata Achmad di Surabaya, Sabtu (13/9/2025).

    Politisi muda ini mengungkap kondisi Indonesia yang hampir setiap hari diwarnai aksi unjuk rasa, demonstrasi, dan gelombang ketidakpuasan publik. Menurut dia, jika situasi ini terus dibiarkan, maka akan berdampak buruk pada stabilitas negara dan kehidupan masyarakat.

    “Perkembangan situasi kehidupan berbangsa dan bernegara hampir setiap hari diwarnai berita aksi unjuk rasa, demonstrasi, dan ketidakpuasan masyarakat. Hal ini apabila terus menerus terjadi tentu tidak baik bagi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujar mantan aktivis GMNI.

    Achmad juga mengkritik paradigma kepemimpinan saat ini yang cenderung mengedepankan “Yes Man” ketimbang “Right Man”. Kondisi ini, kata dia, justru memicu konflik, pembunuhan karakter, hingga krisis kepercayaan terhadap pemimpin.

    “Kita ini dipertontonkan bahwa pemimpin di berbagai tingkatan harus menjadi ‘Yes Man’, bukan ‘Right Man’. Sehingga justifikasi, pembunuhan karakter, dan konflik itu muncul,” tegasnya.

    Ia menjelaskan, “Yes Man” adalah pemimpin yang berusaha memenuhi semua kebutuhan rakyat tanpa memperhitungkan batas kemampuan, sementara manusia tidaklah sempurna. Sedangkan “Right Man” adalah pemimpin yang sadar akan keterbatasannya, memberikan yang terbaik, dan terus memperbaiki diri.

    “Selama ini yang dipertontonkan adalah kebaikan dan prestasi. Sehingga apabila ada kekurangan walaupun kecil, terekspose di publik dan menjadi bulan-bulanan masyarakat,” tambah dia.

    Achmad menegaskan, pengakuan kesalahan bukanlah kelemahan, melainkan bentuk keberanian dan integritas. Dengan begitu, masyarakat dapat memberikan kritik yang sehat sekaligus dukungan moral kepada pemimpin.

    “Seperti terminologi Yin dan Yang, jangan sampai kebaikannya banyak hanya karena setitik kesalahan lalu dihakimi. Sebaliknya, jangan memuja-muja karena tampaknya baik dan bersih, padahal menyimpan tabir hitam yang lebih besar,” ungkapnya.

    Dia berharap gerakan ini mampu menggugah kesadaran semua pihak untuk membangun bangsa yang lebih solid. Dengan rasa saling memiliki dan saling menjaga, Achmad yakin Indonesia bisa lebih kuat menghadapi tantangan global.

    “Dengan gerakan pengakuan kesalahan ini, kita bisa saling memiliki dan saling menjaga sebagai sesama anak bangsa. Ini penting untuk membangun Indonesia yang lebih kuat dan berkeadilan,” pungkasnya. [asg/ian]

  • Mahasiswa Demo Soroti Kenaikan Tunjangan TKPP, Wali Kota Sukabumi: Saya Berhentikan Besok

    Mahasiswa Demo Soroti Kenaikan Tunjangan TKPP, Wali Kota Sukabumi: Saya Berhentikan Besok

    Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua DPRD Kota Sukabumi, Rojab Asyari, menjelaskan bahwa nilai tunjangan ditetapkan berdasarkan tim appraisal.

    Namun, ia juga menyatakan kesiapan DPRD untuk melakukan evaluasi. “Kalau memang tuntutannya adalah kembali ke Perwal 2024 atau 2022, kita siap. Ini bisa dievaluasi,” jelas Rojab.

    GMNI menanggapi pernyataan tersebut dengan keras, bahwa anggota TKPP ini dinilai memakan gaji buta yang bersumber dari APBD.

    Aris juga menyebutkan bahwa GMNI telah melaporkan dugaan gratifikasi jabatan yang melibatkan Ubaidillah kepada Kejaksaan Negeri Kota Sukabumi.

  • Politisi PDIP Surabaya Serukan Gerakan Pagar Mangkok, Apa Itu?

    Politisi PDIP Surabaya Serukan Gerakan Pagar Mangkok, Apa Itu?

    Surabaya (beritajatim.com) – Kader PDI Perjuangan Surabaya, Achmad Hidayat, mengajak warga menghidupkan semangat gotong royong melalui “Gerakan Pagar Mangkok.” Dia menilai, menjaga keharmonisan dan kenyamanan Kota Surabaya mutlak demi kesejahteraan masyarakat di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini.

    “Ada unen-unen, masih kokoh pagar mangkok ketimbang pagar tembok. Bagi yang memiliki kelebihan, berbagi dengan sesama walaupun hanya sepiring makanan sederhana, yang penting adalah rasa saling menjaga serta memiliki,” kata Achmad Hidayat di Surabaya, Rabu (10/9/2025),

    Achmad menyebut pentingnya meruntuhkan tembok ego yang membuat masyarakat hanya fokus mengamankan diri sendiri. Menurutnya, situasi seperti sekarang membutuhkan ruang berembuk dan bersrawung agar tercipta suasana yang harmonis.

    “Kala situasi tenang dan harmonis, maka rezeki akan datang ke situ. Ayo bergerak bersama membersamai masyarakat untuk menjaga Kota Surabaya tercinta ini,” tegas mantan aktivis GMNI ini.

    Pun, dia juga berharap kader-kader PDI Perjuangan menjadi pelopor gerakan ini di kampung-kampung. Gerakan tersebut, kata Achmad, bisa berjalan beriringan dengan program Kampung Pancasila yang digagas Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi.

    “Jadi semangat gotong royong dan Pancasila itu membumi dalam gerakan nyata. Kalau lihat warga di kampung bisa srawung, makan lodeh kluwih di pos ronda atau balai pertemuan, kan indah,” pungkas Achmad. [asg/but]

  • Tuntutan 17+8 dan Tantangan Legitimasi Perwakilan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        10 September 2025

    Tuntutan 17+8 dan Tantangan Legitimasi Perwakilan Nasional 10 September 2025

    Tuntutan 17+8 dan Tantangan Legitimasi Perwakilan
    Guru Besar Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta. Anggota DPR/ MPR RI 1997-2002. Sekretaris Anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI 2019-2024, Staf Khusus Menko Kesra RI 2009-2014, Staf Khusus Ketua DPR RI 2004-2009, Ketua Bidang Sosial PA Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia dan Wakil Ketua Balitbang Partai Golkar.
    GERAKAN
    yang populer disebut 17+8 Tuntutan Rakyat muncul sebagai upaya menyatukan gejolak sosial yang membara sejak gelombang demonstrasi awal tahun 2025—dari protes ekonomi berlabel Indonesia Gelap hingga penolakan atas revisi UU TNI dan reaksi keras terhadap tindakan kepolisian.
    Dokumen tuntutan ini dirumuskan oleh sejumlah figur publik dan aktivis melalui kanal media sosial pada akhir Agustus 2025, sebagai rangkuman 25 tuntutan: 17 tuntutan jangka pendek yang harus dipenuhi dalam satu minggu dan delapan tuntutan struktur jangka panjang yang harus direalisasikan dalam setahun.
    Formulasi dan penyebarannya sangat bergantung pada jaringan daring dan figur-figur populer yang menjadi juru bicara moral gerakan.
    Isi tuntutan menumpuk pada beberapa klaim pokok: pembekuan dan pembatalan kenaikan tunjangan anggota DPR, pembatalan fasilitas perumahan, penyelidikan independen atas kasus-kasus kekerasan polisi terhadap demonstran, penarikan anggota TNI dari ranah penegakan hukum sipil, jaminan perlindungan hak buruh dan langkah darurat menahan pemutusan hubungan kerja massal, serta audit besar-besaran terhadap DPR dan partai politik.
    Dokumen itu memberi tenggat waktu yang tegas—misalnya, penyelesaian 17 tuntutan dalam jangka seminggu (dengan batas waktu awal disebut 5 September 2025) dan penyelesaian delapan tuntutan jangka panjang pada 31 Agustus 2026—yang sedari semula dimaksudkan memberi tekanan politik dan naratif kepada institusi negara.
    Mengapa tuntutan ini muncul sekarang? Kombinasi beberapa faktor struktur dan pemicu: ketidakpuasan luas atas biaya hidup yang meningkat, kemarahan publik terhadap parlemen yang tampak menaikkan remunerasi dan fasilitas di saat banyak warga mengalami kesulitan ekonomi, serta rasa sakit kolektif atas praktik represif aparat terhadap aksi protes—sebuah momentum yang diperparah oleh polemik revisi UU TNI yang dipersepsikan mengembalikan peran militer ke ranah sipil.
    Tekanan ini bukan semata emosi spontan: ia berakar pada klaim legitimasi—bahwa perwakilan rakyat telah kehilangan sentuhan dengan kesejahteraan publik.
    Respons DPR cepat dan bersifat mitigatif: pada 5 September, pimpinan DPR mengumumkan paket keputusan yang menjawab beberapa tuntutan populer—termasuk penghentian tunjangan perumahan bagi anggota DPR terhitung 31 Agustus 2025.
    Selain itu, moratorium kunjungan kerja luar negeri kecuali undangan kenegaraan, serta rencana evaluasi pemangkasan tunjangan dan fasilitas lain.
    Keputusan ini menunjukkan DPR bereaksi pada tekanan publik yang mampu menggeser agenda institusional dalam tempo singkat.
    Namun, keputusan-keputusan tersebut bersifat administratif dan temporer; banyak poin substantif yang menjadi inti tuntutan—misalnya, pembentukan komisi penyelidikan independen yang benar-benar bebas dan reformasi struktural DPR—masih memerlukan proses hukum dan politik yang jauh lebih panjang.
    Secara yuridis, tuntutan rakyat ini menuntut DPR untuk menepati prinsip dasar konstitusional: kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 1 ayat 2 UUD 1945).
    Pernyataan ini bukan sekadar retorika; ia menegaskan bahwa legitimasi lembaga perwakilan bergantung pada kemampuan institusi itu merespons aspirasi rakyat, bukan menjauh atau menutup diri di balik prosedur birokratis.
     
    Namun, praktik menjalankan kedaulatan rakyat di era pasca-amandemen juga dibatasi oleh kerangka hukum yang mengatur hak keuangan dan administratif anggota DPR—seperti ketentuan dalam Undang-Undang MD3 (UU No. 17/2014 dan perubahannya) yang memberi dasar bagi hak-hak finansial anggota parlemen, sekaligus membuka ruang bagi pimpinan DPR untuk mengatur rincian tunjangan melalui keputusan internal.
    Dengan kata lain, DPR secara formal memiliki ruang hukum untuk memangkas fasilitas yang kontroversial. Namun, reformasi struktural jangka panjang (audit independen, revisi aturan pemilihan dan pengawasan internal) menuntut perubahan kebijakan yang lebih mendalam dan konsensus politik.
    Dari perspektif teori politik, tuntutan 17+8 merefleksikan dua konsep pusat kedaulatan: hak rakyat untuk menuntut pertanggungjawaban wakilnya (
    reprentative accountability
    ) dan gagasan kedaulatan populer sebagai sumber legitimasi pemerintahan.
    Dua karya klasik yang relevan sebagai bingkai analitis adalah John Locke,
    Two Treatises of Government
    (1689), yang menegaskan legitimasi pemerintahan berdasar persetujuan rakyat dan hak rakyat untuk menuntut pertanggungjawaban.
    Lalu Jean-Jacques Rousseau,
    The Social Contract
    (1762), yang menekankan konsep
    general will
    —bahwa hukum dan kebijakan yang sah adalah yang mencerminkan kepentingan umum, bukan kepentingan oligarki.
    Merujuk tradisi pemikiran ini membantu memahami tuntutan 17+8 bukan sekadar keluh kesah material, tetapi tuntutan normatif: agar kebijakan dan struktur kelembagaan kembali mewujudkan kedaulatan rakyat.
    Namun, urgensi dan kelayakan tuntutan harus ditimbang secara realistis. Di satu sisi, tuntutan yang meminta tindakan administratif cepat—pembekuan tunjangan, moratorium kunjungan kerja, pembebasan tahanan demonstran yang jelas-jelas ditahan secara sewenang—memiliki rasionalitas politik yang kuat dan dapat diwujudkan segera melalui keputusan pimpinan DPR atau eksekutif.
    Tindakan semacam itu menurunkan tekanan publik dan meningkatkan kredibilitas responsif lembaga.
     
    Di sisi lain, tuntutan struktural seperti pembersihan total DPR, audit independen yang komprehensif, pembatasan peran militer, dan reformasi partai politik butuh waktu, kepakaran, dan proses legislatif serta kemungkinan amandemen hukum yang tidak cepat.
    Perubahan politik semacam itu membutuhkan koalisi legislatif, konsistensi administratif, dan—yang paling sulit—keinginan elite politik untuk menanggung biaya politik jangka pendek.
    Ada pula risiko strategis: jika tuntutan disampaikan sebagai ultimatum tanpa saluran perundingan yang kredibel, momentum publik bisa berbalik menjadi eskalasi konflik—apabila pihak berwenang merespons dengan retorik kejahatan atau labelisasi, tindakan represi atau kriminalisasi aktivis dapat memperdalam polarisasi.
    Realisme politik menuntut taktik yang menggabungkan tekanan publik dengan tuntutan institusional yang terukur—misalnya menuntut pembentukan komisi investigasi independen yang komposisinya disepakati bersama (akademisi, lembaga HAM, organisasi sipil), atau audit yang disupervisi lembaga negara yang memiliki legitimasi teknis dan hukum.
    Berhasilnya langkah-langkah semacam ini akan menuntut transparansi proses, akses publik ke temuan, dan jaminan tindak lanjut hukum.
    Kesimpulan dari berbagai analisa ini adalah bahwa 17+8 bukan sekadar daftar tuntutan sosial-media; ia adalah pulsa legitimasi demokrasi.
    Tuntutan itu urgen—karena menyentuh dua ranah yang rawan: distribusi kesejahteraan dan integritas institusi perwakilan.
    Namun, tingkat keberhasilannya akan bergantung pada kemampuan aktor politik (eksekutif dan legislatif) untuk mengubah respons simbolik menjadi reformasi substantif, serta kemampuan gerakan rakyat menyalurkan tekanan ke dalam format-format kelembagaan yang dapat diproses oleh negara hukum.
    Pilihan praktis yang paling rasional kini adalah: DPR memenuhi tuntutan administratif segera untuk meredam eskalasi, sembari membuka pintu negosiasi teknis atas tuntutan struktural—dengan parameter hukum yang jelas, pengawasan publik, dan mekanisme akuntabilitas yang dapat diukur.
    Jika tidak, maka gelombang ketidakpuasan ini berpotensi menjadi kronis—mencederai, bukan memperkuat, kedaulatan rakyat yang diklaimnya untuk diperjuangkan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • DPRD Jember Sepakat Parpol Harus Mereformasi Diri

    DPRD Jember Sepakat Parpol Harus Mereformasi Diri

    Jember (beritajatim.com) – DPRD Kabupaten Jember, Jawa Timur, sepakat partai politik harus melakukan perbaikan internal. Kesepakatan itu ditunjukkan dengan penandatanganan sembilan butir pernyataan mahasiswa yang tergabung dalam Amarah Masyarakat Jember yang berunjuk rasa di halaman gedung Dewan, Selasa (9/9/2025).

    Dua tuntutan mahasiswa adalah perbaikan kompetensi DPR dengan merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023 tentang Pemilihan Umum dan melakukan reformasi secara menyeluruh terhadap sistem kaderisasi partai politik.

    “Kami tahu bahwa partai politik harus mereformasi diri. Kita tahu semua siapa yang membuat masalah ini. Siapa mereka DPR-RI yang kemudian menyampaikan pernyataan yang melukai hati rakyat? Silakan dicek latar belakangnya,” kata Wakil Ketua DPRD Jember Widarto di hadapan massa aksi.

    “Kami tahu bahwa partai politik harus mereformasi diri, agar ke depan para petugasnya, kader-kader yang ditugaskan menjadi anggota DPRD, DPR RI, bahkan di eksekutif, adalah kader-kader yang mumpuni. Bukan karena popularitas atau banyaknya duit,” kata Widarto.

    Namun Widarto meminta bantuan kepada mahasiswa untuk ikut mendidik masyarakat secara politik. “Kami tahu bahwa partai politik tidak mungkin mampu melakukan pendidikan politik pada seluruh masyarakat. Kami minta tolong dibantu. Teman-teman adalah kelompok yang terdidik. Aktivis-aktivis gerakan yang saya yakin omongannya, tuntunannya, didengarkan rakyat,” katanya.

    “Bantu kami melakukan pendidikan politik agar yang dipilih pada saat pemilu dan pemilihan kepala daerah adalah orang-orang yang memang punya kompetensi,” kata Widarto.

    Widarto menyebut saat ini momentum perbaikan. “Kami punya empati dan ini bukan pencitraan. Kami tahu. Sekarang ini antara apa yang di permukaan dengan yang sebenarnya sekali berbeda. Tapi hari ini kami menerima teman-teman dengan kesungguhan hati, bahwa kami terutama DPRD Kabupaten Jember tidak semewah yang dibayangkan,” katanya.

    Widarto menyadari DPRD Jember masih tidak ideal. Namun di tengah kekurangan itu, dia menegaskan, anggota parlemen bekerja dengan sungguh-sungguh. “Kami terus berbenah. Banyak program rakyat yang sedang kita perjuangkan,” katanya.

    Atas nama DPRD Jemberm Widarto berterima kasih dan meminta maaf kepada mahasiswa yang menyuarakan aspirasi rakyat Jember. “Ini bukan basa-basi, ini empati kami. Saya yakin semuanya sekarang sedang berbenah. Baik pemerintah pusat, daerah, semuanya berbenah,” katanya.

    “Tidak ada pejabat yang hari ini bergaya hidup mewah. Tidak ada yang berani memamerkan kekayaan dan celometan ngomong seenaknya. Saya jamin enggak ada. Dan itu kami berterima kasih atas gerakan yang dilakukan oleh kawan-kawan sekalian, terutama di Kabupaten Jember,” kata alumnus Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia ini. [wir]