Organisasi: GMNI

  • Pertamina untuk Rakyat, Bukan Mafia

    Pertamina untuk Rakyat, Bukan Mafia

    Pertamina untuk Rakyat, Bukan Mafia
    Mahasiswa Pascasarjana Hukum Sumber Daya Alam Universitas Indonesia, Ketua Umum Akar Desa Indonesia, Wasekjend Dewan Energi Mahasiswa, Wakil Bendahara Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia
    ISU
    dugaan penyalahgunaan penjualan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite yang terjadi beberapa minggu terakhir telah mengguncang kepercayaan publik terhadap tata kelola energi nasional.
    Munculnya konten masyarakat di berbagai media sosial mengenai dugaan penurunan kualitas bahan bakar yang berakibat pada kerusakan mesin di sejumlah daerah bukan hanya  kerugian ekonomi bagi pengguna, tetapi juga mengancam kredibilitas Pertamina sebagai badan usaha milik negara yang memikul tanggung jawab strategis dalam menjamin ketersediaan energi bagi seluruh rakyat Indonesia.
    Dugaan praktik manipulasi kualitas bahan bakar, yang diduga melibatkan jaringan mafia migas di tingkat distribusi, menjadi refleksi nyata lemahnya pengawasan internal dan potensi penyimpangan yang telah berulang kali menghantam sektor energi nasional.
    Ketika masyarakat sebagai konsumen menghadapi kenyataan bahwa bahan bakar yang mereka beli tidak sesuai dengan standar mutu yang dijanjikan, maka kepercayaan publik terhadap institusi pengelola energi negara pun terancam runtuh.
    Dalam konteks hukum, persoalan ini dapat dibaca melalui kacamata Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) yang menegaskan prinsip dasar tentang itikad baik antara pelaku usaha dan konsumen. Pasal 7 huruf a mengatur kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dalam menjalankan usahanya, sementara Pasal 5 huruf b mengatur kewajiban konsumen untuk beritikad baik dalam melakukan transaksi.
    Penerapan asas itikad baik ini merupakan jaminan hukum agar tidak terjadi pelanggaran yang merugikan salah satu pihak. Dalam konteks Pertamina, asas ini bermakna bahwa perusahaan negara wajib menjaga keaslian, keamanan, dan mutu produk bahan bakar yang didistribusikan kepada publik.
    Ketika terjadi penurunan kualitas bahan bakar akibat penyalahgunaan wewenang atau manipulasi di tingkat tertentu, maka sesungguhnya telah terjadi pelanggaran terhadap prinsip perlindungan konsumen yang diatur undang-undang.
    Pengguna Pertamina, sebagai konsumen, berhak memperoleh perlindungan hukum atas kerugian yang mereka alami akibat turunnya kualitas bahan bakar yang seharusnya dijamin oleh negara. Masalah ini tidak dapat dilepaskan dari persoalan klasik dalam tata kelola energi di Indonesia, yakni lemahnya pengawasan dan penetrasi kelompok kepentingan dalam rantai distribusi BBM.
    Mafia migas bukanlah istilah baru, mereka adalah jaringan kepentingan ekonomi dan politik yang beroperasi di ruang abu-abu antara kebijakan, birokrasi, dan bisnis energi. Praktik manipulasi stok, penurunan kadar oktan, hingga dugaan praktik-praktik pengoplosan bahan bakar merupakan manifestasi dari kegagalan sistem pengawasan internal dan lemahnya integritas tata kelola di lapangan.
    Ketika praktik seperti ini dibiarkan berulang tanpa tindakan tegas, maka negara sejatinya telah gagal menjalankan fungsi pengawasan terhadap kekayaan publik yang seharusnya digunakan untuk kemakmuran rakyat.
    Penerapan prinsip
    good corporate governance
    (tata kelola perusahaan yang baik) menjadi batu ujian utama dalam menilai kredibilitas Pertamina sebagai perusahaan milik rakyat. Prinsip ini meliputi transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi, dan keadilan, yang keseluruhannya harus menjadi panduan dalam setiap lini operasional perusahaan.
    Ketika salah satu prinsip itu diabaikan, seperti dalam kasus lemahnya pengawasan kualitas BBM, maka integritas perusahaan menjadi dipertanyakan. Pertamina harus menegakkan transparansi bukan hanya dalam pelaporan kinerja keuangan, tetapi juga dalam mekanisme produksi, distribusi, dan pengawasan mutu produk.
    Dalam konteks akuntabilitas, setiap penyimpangan dalam rantai distribusi harus dapat ditelusuri dan diusut hingga ke akar permasalahan, termasuk apabila ditemukan indikasi keterlibatan oknum internal. Teori tata kelola perusahaan menegaskan bahwa pengawasan internal yang lemah akan membuka ruang bagi terjadinya
    fraud
    (kecurangan) yang sistemik.
    Oleh karena itu, reformasi tata kelola Pertamina harus diarahkan pada penguatan sistem audit internal, digitalisasi rantai pasok, dan pengawasan mutu berbasis teknologi agar tidak ada lagi celah manipulasi. Sistem digitalisasi distribusi bahan bakar seperti
    fuel tracing
    dan
    real-time monitoring
    harus menjadi instrumen wajib dalam memastikan keaslian produk dan integritas rantai distribusi.
    Selain itu, penguatan peran masyarakat dan lembaga pengawas independen perlu ditingkatkan agar pengawasan terhadap Pertamina tidak hanya bersifat internal, melainkan partisipatif dan terbuka. Dalam konteks perlindungan konsumen, peran pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menjadi sangat penting. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap bentuk pelanggaran terhadap mutu bahan bakar mendapatkan sanksi tegas dan proses hukum yang transparan.
    Pertamina sebagai badan usaha milik negara harus diberikan dukungan politik dan kelembagaan untuk melakukan reformasi struktural tanpa intervensi kelompok kepentingan, karena pelemahan Pertamina berarti pelemahan kedaulatan energi nasional itu sendiri. Dalam situasi ini, penguatan Pertamina harus berjalan seiring dengan penegakan hukum terhadap mafia migas yang selama ini menjadi parasit dalam tubuh industri energi nasional.
    Usut tuntas mafia migas bukan hanya jargon moral, melainkan kewajiban konstitusional dalam menjaga kekayaan negara agar tidak dikuasai oleh segelintir orang. Asas itikad baik dalam UU Perlindungan Konsumen juga perlu dipahami sebagai prinsip moral dan hukum yang membangun relasi etis antara negara, pelaku usaha, dan masyarakat.
    Itikad baik pelaku usaha bukan hanya soal kepatuhan formal terhadap aturan, tetapi juga kesadaran moral bahwa setiap produk yang dijual adalah bagian dari tanggung jawab sosial untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan publik.
    Dalam konteks ini, Pertamina harus memperkuat nilai-nilai etik korporasi yang berpijak pada semangat kejujuran, transparansi, dan tanggung jawab sosial. Hanya dengan cara itulah Pertamina dapat menjaga posisinya sebagai perusahaan energi yang tidak hanya efisien secara ekonomi, tetapi juga berkeadilan secara sosial.
    Dalam perspektif ideologis, penguatan tata kelola Pertamina dan pemberantasan mafia migas harus dikembalikan pada nilai fundamental Pancasila sebagai pedoman etika dan politik ekonomi nasional. Sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” memberikan fondasi moral dan filosofis bahwa setiap kebijakan pengelolaan sumber daya alam, termasuk energi, harus berorientasi pada kesejahteraan seluruh rakyat, bukan keuntungan segelintir pihak.
    Pancasila menegaskan bahwa sumber daya alam yang dikuasai negara bukanlah komoditas politik, melainkan amanah konstitusional untuk kemakmuran bersama. Karena itu, ketika terjadi penyalahgunaan dalam pengelolaan energi, maka yang dirugikan bukan hanya masyarakat sebagai konsumen, melainkan juga martabat ideologi bangsa.
    Keadilan sosial dalam pengelolaan energi menuntut adanya sistem tata kelola yang bersih, transparan, dan akuntabel. Negara, melalui Pertamina, memiliki mandat moral dan hukum untuk memastikan bahwa setiap tetes bahan bakar yang dikonsumsi masyarakat mencerminkan keadilan ekonomi dan kejujuran dalam pengelolaan.
    Ketika mafia migas memanipulasi sistem untuk memperoleh keuntungan pribadi, maka mereka sejatinya sedang mencederai keadilan sosial dan mengkhianati amanah rakyat. Oleh karena itu, pemberantasan mafia migas harus ditempatkan sebagai agenda nasional dalam membangun kemandirian energi yang berkeadilan dan berkelanjutan.
    Tanpa penegakan hukum yang tegas terhadap mafia migas, semua upaya reformasi tata kelola hanya akan menjadi kosmetik tanpa makna substantif.
    Belajar dari negara lain seperti Norwegia, yang sukses mengelola sumber daya minyak melalui Norwegian Government Pension Fund Global, dapat menjadi cermin bagi Indonesia. Norwegia menunjukkan bahwa integritas sistem, transparansi kebijakan, dan pengawasan publik yang kuat dapat menghindarkan industri energi dari praktik korupsi dan penyalahgunaan.
    Semua penerimaan negara dari minyak dikelola secara terbuka, dengan mekanisme pelaporan publik yang dapat diakses setiap warga negara. Prinsip ini sejalan dengan konsep
    good governance
    yang menempatkan rakyat sebagai pemilik sah sumber daya negara, bukan sekadar penerima manfaat pasif.
    Dalam konteks Indonesia, penguatan Pertamina harus diarahkan pada model tata kelola yang sejalan dengan semangat tersebut yakni terbuka, profesional, dan berpihak kepada rakyat. Lebih jauh, pemerintah sebagai pemegang kendali kebijakan energi harus menegaskan kembali posisi Pertamina bukan sebagai entitas bisnis semata, melainkan sebagai perusahaan rakyat yang mengemban fungsi sosial dan ekonomi strategis.
    Pertamina tidak boleh dibiarkan berkompetisi dalam logika pasar bebas yang brutal tanpa perlindungan politik negara, karena energi adalah urat nadi kehidupan bangsa. Negara wajib hadir untuk melindungi Pertamina dari penetrasi kepentingan mafia dan oligarki bisnis yang selama ini menunggangi kebijakan energi demi keuntungan pribadi.
    Keberpihakan kepada Pertamina bukan berarti menutup kritik, melainkan menguatkan fondasi moral dan kelembagaan agar perusahaan ini dapat benar-benar menjadi instrumen kedaulatan energi nasional.
    Dalam kerangka yang lebih luas, teori
    good governance
    yang dikemukakan Sachs (2021) juga menegaskan bahwa keberhasilan negara-negara Skandinavia dalam mengelola sumber daya publik terletak pada kombinasi antara transparansi, pengawasan ketat, dan partisipasi masyarakat. Prinsip ini sejalan dengan kebutuhan Indonesia untuk menegakkan tata kelola energi yang inklusif dan berbasis keadilan sosial.
    Negara tidak boleh hanya menjadi regulator yang pasif, melainkan harus aktif memastikan bahwa pengelolaan energi dilakukan secara etis, transparan, dan berpihak pada rakyat kecil. Dalam konteks ini, pemberantasan mafia migas harus menjadi prioritas bersama antara pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat sipil. Mafia migas tidak boleh lagi dibiarkan hidup di ruang abu-abu antara kebijakan dan keuntungan pribadi, karena mereka adalah simbol pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945.
    Penguatan Pertamina dan pemberantasan mafia migas sejatinya adalah dua sisi dari satu mata uang: kedaulatan energi nasional. Tanpa tata kelola yang bersih, Pertamina akan terus menjadi korban infiltrasi kepentingan ekonomi-politik yang menggerogoti kemampuan negara untuk berdiri di atas kaki sendiri dalam sektor energi.
    Reformasi tata kelola Pertamina harus diarahkan pada pembenahan struktural yang mencakup integritas manajemen, efisiensi operasional, serta pengawasan publik yang kuat. Pemerintah harus memberikan dukungan penuh kepada Pertamina untuk membenahi diri, sekaligus memastikan bahwa praktik mafia migas dibongkar hingga ke akar-akarnya melalui penegakan hukum yang tegas, transparan, dan tanpa kompromi.
    Pertamina perlu memperluas inovasi dengan memanfaatkan teknologi digital dalam seluruh aspek bisnisnya, mulai dari produksi, distribusi, hingga pelayanan publik. Transparansi berbasis data akan menjadi benteng utama melawan praktik manipulatif di sektor distribusi. Sistem pelaporan digital yang terintegrasi antara kilang, terminal, dan SPBU akan menutup ruang bagi pelaku kejahatan energi yang selama ini memanfaatkan celah informasi.
    Selain itu, peningkatan kapasitas sumber daya manusia di lingkungan Pertamina harus menjadi prioritas agar tercipta budaya korporasi yang berintegritas dan profesional. Pada akhirnya, penguatan Pertamina dan pemberantasan mafia migas bukan hanya soal manajemen perusahaan, melainkan juga soal keberpihakan negara terhadap rakyatnya.
    Energi adalah hak dasar setiap warga negara, bukan komoditas yang dapat dimonopoli oleh kelompok tertentu. Maka, memperjuangkan tata kelola energi yang bersih berarti memperjuangkan kedaulatan bangsa itu sendiri.
    Pertamina harus berdiri kokoh sebagai simbol kemandirian dan keadilan sosial dalam sektor energi. Hanya dengan cara itulah cita-cita Pancasila, khususnya sila kelima tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dapat benar-benar terwujud dalam praktik pengelolaan sumber daya alam nasional. 
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Merebut Kembali Hak Atas Air

    Merebut Kembali Hak Atas Air

    Merebut Kembali Hak Atas Air
    Mahasiswa Pascasarjana Hukum Sumber Daya Alam Universitas Indonesia, Ketua Umum Akar Desa Indonesia, Wasekjend Dewan Energi Mahasiswa, Wakil Bendahara Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia
    RAMAI
    di pemberitaan nasional perihal air di Jawa Barat, sesungguhnya bukan sekadar soal perusahaan air kemasan yang menggali sumur dan mengalirkan miliaran liter air dari perut bumi ke dalam botol plastik dengan label industri global.
    Fakta ini adalah cermin retak dari relasi antara negara, pasar, dan rakyat dalam memahami makna air sebagai sumber kehidupan yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana amanat Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945.
    Kasus ini bermula dari pengambilan air tanah oleh perusahaan besar, yang di mata masyarakat sekitar menjadi biang dari berkurangnya debit mata air, menurunnya ketersediaan air bersih untuk pertanian, serta meluasnya ketidakadilan akses bagi warga desa di sekitar kawasan industri.
    Dalam banyak kesaksian, masyarakat merasakan bahwa air yang seharusnya menjadi milik bersama telah menjadi milik segelintir pihak yang memiliki izin administratif dan kekuatan modal.
    Di sinilah persoalan mendasar tentang demokrasi air di Indonesia menemukan relevansinya: apakah negara sungguh hadir sebagai pengatur dan pelindung, atau justru menjadi penyedia izin bagi privatisasi sumber kehidupan?
    Persoalan ini mendapat konteks konstitusional penting melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 yang membatalkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) dan menghidupkan kembali Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan.
    Putusan monumental itu menegaskan bahwa air tidak boleh dikelola dengan semangat liberalisasi dan privatisasi, melainkan harus ditempatkan sebagai barang publik yang dikuasai oleh negara untuk menjamin hak hidup rakyat.
    Mahkamah menilai bahwa UU 7/2004 SDA telah menggeser makna “penguasaan negara” menjadi “pengelolaan oleh pasar” dengan membuka ruang luas bagi investasi swasta tanpa kendali negara yang memadai.
    Dengan demikian, pembatalan undang-undang tersebut bukan hanya tindakan hukum, melainkan juga koreksi moral terhadap arah pembangunan yang terlalu berpihak pada logika ekonomi.
    Air dalam pandangan Mahkamah, adalah hajat hidup orang banyak yang tidak boleh menjadi komoditas yang diperdagangkan secara bebas.
    Mahkamah dalam putusannya menegaskan lima prinsip utama yang menjadi fondasi pengelolaan air secara konstitusional.
    Pertama, setiap bentuk pengusahaan air tidak boleh mengganggu atau meniadakan hak rakyat atas air.
    Kedua, negara berkewajiban memenuhi hak rakyat atas air sebagai hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945.
    Ketiga, pengelolaan air harus menjamin kelestarian lingkungan dan keberlanjutan sumber daya.
    Keempat, keterlibatan swasta hanya dimungkinkan jika negara tidak mampu melaksanakan sendiri pengelolaan air.
    Kelima, pengawasan negara atas seluruh aktivitas pengelolaan air harus kuat, transparan, dan tidak dapat dilepaskan.
    Melalui kelima prinsip ini, MK sesungguhnya sedang menegakkan kembali filosofi kedaulatan rakyat dalam konteks sumber daya alam: negara bukanlah entitas yang menyerahkan, melainkan yang menguasai untuk melindungi.
    Kasus pengambilan air di Jabar memperlihatkan bagaimana prinsip-prinsip konstitusional itu seringkali berhenti di atas kertas.
    Penguasaan air oleh korporasi besar yang memperoleh izin eksploitasi dari pemerintah daerah tanpa mekanisme partisipasi publik yang memadai, memperlihatkan bahwa negara kerap hadir sebagai fasilitator bisnis, bukan pelindung hak dasar warga.
    Ketika air yang menghidupi masyarakat desa berubah menjadi sumber keuntungan korporasi, maka yang terjadi bukan sekadar persoalan administratif, melainkan krisis keadilan ekologis.
    Krisis ini menunjukkan bahwa privatisasi air, baik secara terang-terangan maupun terselubung, telah mengancam makna kedaulatan rakyat atas sumber daya alamnya sendiri.
    Secara konseptual, privatisasi air dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya menyebutkan tiga pola utama yang sering dipakai negara untuk menyerahkan sebagian fungsi pengelolaan air kepada pihak ketiga.
    Pertama,
    outsourcing
    di mana lembaga pemerintah melimpahkan kewajiban pelayanan publik kepada swasta.
    Kedua,
    design-build-operate
    (DBO), yaitu model di mana pihak swasta membangun dan mengelola infrastruktur air dalam jangka waktu tertentu.
    Ketiga, kemitraan publik-privat (
    public-private partnership
    ) yang menempatkan swasta sejajar dengan pemerintah dalam pembagian tugas dan tanggung jawab.
    Ketiganya, meskipun sering disebut sebagai “inovasi tata kelola”, pada hakikatnya merupakan bentuk privatisasi yang dapat menggerus penguasaan negara jika tidak diatur dengan prinsip keadilan sosial.
    Dalam konteks perusahaan global di Jabar, pola privatisasi ini tampak dalam bentuk izin eksploitasi air tanah yang diberikan kepada korporasi besar dengan alasan efisiensi dan investasi daerah.
    Namun dalam praktiknya, izin tersebut justru mengabaikan fakta sosial bahwa sumber air tersebut juga menopang kehidupan pertanian rakyat kecil dan kebutuhan air bersih rumah tangga warga sekitar.
    Fenomena ini menggambarkan pergeseran paradigma negara dari penguasa sumber daya menjadi “broker izin sumber daya”.
    Padahal, Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    Penguasaan di sini mengandung makna pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan, bukan kepemilikan mutlak, melainkan fungsi publik yang melekat pada kewenangan negara.
    Dalam berbagai literatur hukum sumber daya alam, fungsi negara terhadap air sering dijelaskan melalui konsep
    public trust,
    bahwa negara bertindak sebagai wali amanat (
    trustee
    ) bagi rakyat, bukan pemilik atau pedagang.
    Oleh karena itu, segala bentuk kebijakan dan izin yang berpotensi mengganggu akses rakyat terhadap air harus dipandang sebagai pelanggaran terhadap amanat konstitusi.
    Air adalah hak dasar, bukan komoditas ekonomi. Mengubahnya menjadi objek transaksi berarti menempatkan hak hidup rakyat pada mekanisme pasar yang penuh ketimpangan.
    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 menjadi peringatan keras bagi pemerintah agar tidak menggunakan alasan pembangunan untuk mengabaikan prinsip keberlanjutan.
    Dalam konteks inilah, persoalan perusahaan air global di Jabar seharusnya dibaca bukan sebagai konflik antara masyarakat dan perusahaan, melainkan sebagai cermin kegagalan negara dalam menegakkan prinsip tata kelola air yang adil dan berkelanjutan.
    Negara semestinya hadir untuk memastikan bahwa setiap tetes air yang diambil dari bumi Indonesia kembali memberi kehidupan bagi rakyat Indonesia, bukan hanya keuntungan bagi segelintir korporasi apalagi asing.
    Pertemuan Konferensi Air Sedunia di Bali beberapa tahun lalu, menegaskan bahwa persoalan air bukan lagi isu lokal, melainkan tantangan global yang menyangkut masa depan kemanusiaan.
    Dalam konferensi tersebut, para pemimpin dunia menyepakati bahwa air adalah sumber kehidupan yang krusial bagi perdamaian, keamanan, dan kesejahteraan global.
    Pesan kunci yang dihasilkan antara lain menempatkan air sebagai alat perdamaian, bukan sumber konflik, mendorong aksi kolektif lintas negara.
    Selain itu, menegaskan pentingnya hak atas air sebagai hak asasi manusia, serta menekankan hubungan erat antara kemandirian air, ketahanan pangan, dan transisi energi berkelanjutan.
    Gagasan ini sejatinya sejalan dengan semangat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013, air bukan sekadar sumber daya alam, melainkan fondasi keberlanjutan kehidupan manusia dan ekosistem.
    Namun, realitas global menunjukkan bahwa dunia sedang menghadapi krisis air yang semakin akut. Laporan berbagai lembaga internasional memperingatkan bahwa aktivitas manusia telah melampaui batas aman planet dalam hal penggunaan air tawar.
    Degradasi lingkungan, polusi industri, dan perubahan iklim menyebabkan ketersediaan air bersih menurun drastis.
    Di sisi lain, korporasi multinasional justru memperluas kontrol atas sumber-sumber air di berbagai negara berkembang dengan dalih investasi dan efisiensi.
    Pola inilah yang perlahan merasuki tata kelola air di Indonesia, termasuk melalui model bisnis perusahaan air minum dalam kemasan yang memanfaatkan sumber daya air lokal untuk pasar global.
    Tanpa regulasi yang kuat dan kesadaran publik yang tinggi, air yang seharusnya menjadi alat persatuan dapat berubah menjadi sumber ketegangan sosial baru.
    Pesan moral dari konferensi air sedunia tersebut menegaskan bahwa hak atas air adalah hak hidup, dan bahwa setiap kebijakan harus diarahkan untuk menjamin akses universal terhadap air bersih.
    Prinsip ini menuntut tata kelola air yang terbuka, partisipatif, dan berkeadilan. Pemerintah Indonesia harus memastikan bahwa seluruh kebijakan perizinan air, baik di tingkat nasional maupun daerah, tunduk pada prinsip-prinsip keadilan ekologis dan sosial sebagaimana ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi.
    Dalam konteks krisis iklim dan ketahanan pangan, air menjadi simpul antara hak hidup, keberlanjutan ekosistem, dan kedaulatan pangan bangsa. Tanpa pengelolaan yang adil, air dapat menjadi pemicu konflik dan ketimpangan baru di tengah masyarakat.
    Dalam kerangka lebih luas, demokrasi air menjadi bagian penting dari agenda pembangunan berkelanjutan. Indonesia perlu meneguhkan kembali komitmennya bahwa air tidak boleh dikomersialisasi secara berlebihan.
    Masyarakat berhak atas informasi, partisipasi, dan perlindungan dalam setiap proses pengambilan keputusan mengenai sumber air di wilayahnya.
    Hal ini tidak hanya sejalan dengan Pasal 28F UUD 1945 tentang hak memperoleh informasi, tetapi juga dengan prinsip good governance dalam pengelolaan sumber daya alam.
    Penguatan tata kelola air berarti memperkuat demokrasi itu sendiri, sebab air adalah simbol kedaulatan rakyat yang paling nyata.
    Ke depan, tantangan terbesar Indonesia bukan hanya membuat undang-undang baru tentang sumber daya air yang sesuai dengan semangat konstitusi, tetapi juga menegakkan pengawasan yang nyata di lapangan.
    Pemerintah pusat dan daerah harus meninjau ulang seluruh izin pengusahaan air dengan mempertimbangkan tiga prinsip utama, yaitu prioritas pemenuhan kebutuhan dasar rakyat dan pertanian lokal, perlindungan kelestarian lingkungan dan sumber daya air untuk generasi mendatang, serta keterbukaan informasi publik agar masyarakat dapat terlibat aktif dalam pengawasan.
    Tanpa langkah konkret itu, air akan terus menjadi simbol ketimpangan dan ketidakadilan.
    Akhirnya, menjaga kedaulatan air berarti menjaga kehidupan kita. Air adalah darah bumi yang mengalirkan peradaban. Ketika air dimonopoli oleh pasar, maka kemanusiaan kehilangan jantungnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • PA GMNI berkomitmen kawal pembangunan Jakarta menuju Kota Global

    PA GMNI berkomitmen kawal pembangunan Jakarta menuju Kota Global

    Jakarta (ANTARA) – DPD Persatuan Alumni (PA) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jakarta Raya menyatakan komitmennya untuk terus mengawal pembangunan Jakarta agar tetap berpijak pada nilai-nilai keadilan sosial dan nasionalisme sehingga Jakarta Kota Global dapat terwujud.

    Ketua DPD PA GMNI Jakarta Raya Ario Sanjaya di Jakarta, Sabtu, menegaskan pentingnya sinergi antara pemerintah dan kalangan alumni GMNI dalam membangun arah kebijakan Jakarta ke depan.

    “Kami sampaikan bahwa kami akan merumuskan hal-hal kebijakan terkait Jakarta. Ini bukan tugas ringan. Pak Gubernur tidak boleh sendirian. DPD PA GMNI Jakarta Raya akan memberikan sumbangsih,” kata Ario.

    Berkaitan dengan komitmen tersebut, dia mengatakan Diskusi Publik Sesi II bertema “Tata Kelola Pemerintahan yang Akuntabel dan Transparan Menuju Jakarta Kota Global-Berkeadilan Sosial” merupakan bagian dari rangkaian menuju Konferensi Daerah (Konferda) V DPD PA GMNI Jakarta Raya.

    Hasil dari rangkaian diskusi tersebut, kata dia, akan dibukukan dan diserahkan sebagai rekomendasi kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

    “Kita akan bukukan hasil diskusi ini dan berikan rekomendasi kepada gubernur. Jakarta harus menjadi kota global yang berkeadaban, memiliki karakter nasionalisme, dan berpihak pada rakyat,” ujar Ario.

    Pada kesempatan yang sama, Ketua DPP PA GMNI Retnowati memberikan apresiasi kepada DPD PA GMNI Jakarta Raya yang telah menggagas rangkaian diskusi publik menuju konferensi daerah (konferda) tersebut.

    Dia berharap hasil diskusi itu dapat menjadi referensi konkret bagi para pengambil kebijakan.

    “Harapannya, rangkaian diskusi menuju konferda ini bisa melahirkan butir-butir pemikiran yang dapat digunakan gubernur, dan menjadi bahan bagi para pemangku kebijakan dalam membangun Jakarta yang berkeadilan sosial,” tutur Retnowati.

    Sementara itu, Penjabat Gubernur DKI Jakarta periode 2016-2017 Soni Sumarsono menjelaskan Jakarta telah masuk kategori kota global dengan peringkat ke-71 dari 158 kota di dunia. Namun, dia menegaskan status kota global harus disertai dengan keadilan sosial bagi seluruh warganya.

    “Kota global yang berkeadilan sosial bukan hanya berperan dalam ekonomi dan politik dunia, tapi juga memastikan keadilan sosial bagi seluruh warganya. Kalau bikin kota global saja mudah, tapi yang berkeadilan sosial itu perlu muatan ideologis,” ungkap Soni.

    Dia pun mengapresiasi langkah Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung dalam mempercepat pembangunan transportasi yang terintegrasi dan digitalisasi pelayanan publik.

    Dia juga menegaskan PA GMNI memiliki peran penting sebagai mitra kritis pemerintah.

    “PA GMNI harus menjadi pejuang pemikir dan pemikir pejuang yang mengawal Jakarta sebagai kota global yang berkeadilan sosial,” tegas Soni.

    Pewarta: Khaerul Izan
    Editor: Rr. Cornea Khairany
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Deni Wicaksono Apresiasi GMNI Surabaya Bersatu, Ingatkan Fokus ke Rakyat Bukan Jabatan

    Deni Wicaksono Apresiasi GMNI Surabaya Bersatu, Ingatkan Fokus ke Rakyat Bukan Jabatan

    Surabaya (beritajatim.com) – Wakil Ketua DPRD Jawa Timur sekaligus Ketua Persatuan Alumni (PA) GMNI Jatim, Deni Wicaksono, mengapresiasi langkah dua DPC GMNI Surabaya yang akhirnya duduk bersama setelah sempat terbelah. Dia menilai momen ini sebagai langkah dewasa dan penting untuk mengembalikan marwah gerakan mahasiswa ke perjuangan rakyat.

    “Saya mengapresiasi kawan-kawan GMNI Surabaya yang mau duduk bersama dan mendiskusikan permasalahan rakyat. Sudah tidak waktunya GMNI terkotak-kotak dalam beberapa kelompok, larut dalam konflik yang tidak ideologis, tapi mengabaikan hal prinsip yakni kepentingan rakyat,” ujar Deni saat menerima audiensi dua DPC GMNI Surabaya di Gedung DPRD Jatim, Kamis (23/10/2025).

    Menurut dia, GMNI harus kembali menjadi kekuatan moral dan intelektual yang berdiri di garda depan isu kerakyatan. Deni mengingatkan agar energi kader tidak habis untuk urusan internal yang tidak produktif.

    “Jangan tercerai-berai apalagi merebutkan jabatan. Fokus saja dengan kegiatan yang turun kepada masyarakat dan mengawal isu-isu rakyat. GMNI harus jadi besar. Percuma jabatan ketua DPC, DPD atau DPP kalau kalian menyerang teman sendiri,” tegas Deni.

    Dalam pertemuan tersebut, Deni juga menyinggung kondisi fiskal Jawa Timur setelah dana transfer dari pemerintah pusat dipotong Rp2,8 triliun. Menurut dia, kebijakan tersebut membuat daerah seperti kembali pada pola sentralistik kekuasaan.

    “Pemotongan seperti itu seakan-akan seperti pemerintahan Orde Baru yang sentralistik. Ini berdampak langsung pada program pelayanan publik di daerah, dan kalian sebagai kader GMNI harus ikut mengawal,” kata Deni.

    Ketua DPC GMNI Surabaya, Alfito Rafif Amanda, menyebut audiensi bersama Deni serta anggota DPRD Jatim, Syaifuddin Zuhri, menjadi momentum penyatuan GMNI dan mendorong agenda perjuangan yang lebih substantif.

    “Kami menyampaikan kajian akademik soal pemangkasan PAD Jatim Rp2,8 triliun, serta program pengawalan petani, posko bantuan hukum, dan sambang kampung. Ini saatnya GMNI Surabaya kembali solid dan mengawal isu kerakyatan,” ujar Alfito.

    Sementara itu, Ketua DPC GMNI Surabaya lainnya, Virgiawan Budi Prasetyo, menilai rencana pinjaman daerah Kota Surabaya sebesar Rp1,5 triliun untuk pembangunan infrastruktur harus terbuka dan dikawal agar tidak menjadi beban masyarakat.

    “Kami mendorong transparansi dan partisipasi publik agar kebijakan utang daerah ini benar-benar memberi manfaat bagi warga Surabaya,” kata Virgiawan.

    Deni berharap pertemuan dua kepengurusan GMNI Surabaya ini menjadi titik awal soliditas dan konsolidasi gerakan. Dia mendorong kader GMNI memperkuat tradisi kajian, turun langsung ke akar persoalan rakyat, dan tidak kehilangan marwah organisasi nasionalis-marhaenis.

    “GMNI itu lahir dari gagasan besar Bung Karno. Jaga marwahnya. Kalian harus menjadi kekuatan moral, intelektual, dan sosial untuk rakyat,” pungkas Deni.[asg/aje]

  • PA GMNI minta Pemprov DKI lakukan reforma agraria perkotaan

    PA GMNI minta Pemprov DKI lakukan reforma agraria perkotaan

    Jakarta (ANTARA) – Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI) Jakarta Raya meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengembalikan hak rakyat atas tanah dan ruang kota dengan melakukan reforma agraria perkotaan.

    “Rakyat Jakarta semakin kehilangan haknya atas ruang hidup. Banyak kawasan padat dan pemukiman rakyat tergeser oleh proyek-proyek komersial,” kata Ketua DPD PA GMNI Jakarta Raya, Ario Sanjaya dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.

    Menurut dia, saat ini ruang hidup rakyat semakin menyempit akibat ketimpangan penguasaan tanah di perkotaan.

    Melalui diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion/FGD) I bertema “Reforma Agraria Perkotaan sebagai Ruang Hidup yang Berkeadaban” para alumni GMNI mengingatkan perlunya langkah konkret dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.

    “Reforma agraria perkotaan harus menjadi prioritas agar pembangunan tidak hanya menguntungkan segelintir pihak,” ujarnya.

    Ario menegaskan bahwa reforma agraria bukan sekadar agenda pedesaan, melainkan juga mendesak di wilayah perkotaan.

    Ario menambahkan, reforma agraria perkotaan tidak hanya soal redistribusi tanah, tetapi juga soal penataan ruang yang manusiawi dan berkeadaban.

    “Ruang kota harus dikembalikan kepada rakyat. Prinsip keadilan sosial sebagaimana digariskan dalam Pancasila harus menjadi dasar dari kebijakan tata ruang dan pembangunan Jakarta ke depan,” kata dia.

    Sekretaris DPD PA GMNI Jakarta Raya, Miartiko Gea menekankan bahwa tanah dan ruang kota adalah bagian dari hak konstitusional rakyat yang harus dijamin oleh negara.

    Hak rakyat atas tanah adalah hak asasi. Pemprov DKI dan pemerintah pusat harus berani mengambil langkah berkeadilan untuk mengoreksi ketimpangan yang sudah lama terjadi.

    “Jangan biarkan kota ini menjadi ruang yang hanya ramah bagi pemodal, tetapi keras bagi rakyat kecil,” katanya.

    FGD tersebut merupakan rangkaian kegiatan menuju Konferensi Daerah (Konferda) V DPD PA GMNI Jakarta Raya.

    Dengan tema besar “Menyongsong 500 Tahun Jakarta dan Tantangan Membangun Peradaban Kota” forum ini menjadi wadah konsolidasi gagasan para pemikir, aktivis dan pejabat publik lintas generasi dalam semangat marhaenisme dan keadilan sosial.

    Anggota DPRD DKI Jakarta, Dwi Rio Sambodo menegaskan bahwa Jakarta merupakan kota dengan tingkat ketimpangan tertinggi kedua di Indonesia setelah Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta.

    “Kita tidak bisa memungkiri bahwa Jakarta adalah kota yang timpang. Kelihatannya megah dan gemerlap, tetapi sejujurnya ketimpangan itu nyata,” kata Anggota Komisi B DRPD DKI Jakarta tersebut.

    Menurut dia, akar persoalan di Jakarta bukan semata soal kemiskinan atau keterbatasan akses pendidikan dan kesehatan, tetapi lebih mendasar, yaitu penguasaan lahan.

    “Ketika kita keliling ke kampung kota, persoalan utama bukan hanya soal fasilitas dasar, tapi penguasaan lahan yang tidak adil,” ujarnya.

    Pewarta: Khaerul Izan
    Editor: Sri Muryono
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • GMNI: Hormati tradisi pesantren sebagai bagian dari identitas bangsa

    GMNI: Hormati tradisi pesantren sebagai bagian dari identitas bangsa

    Jakarta (ANTARA) – Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) mengajak seluruh elemen bangsa untuk bersama-sama menjaga keharmonisan sosial dan menghormati tradisi pesantren yang telah lama menjadi bagian dari identitas bangsa Indonesia.

    “Sebagaimana kata Bung Karno (Presiden pertama RI Soekarno), jas merah, perjuangan santri berdarah-darah dalam membangun bangsa. Bukan hal yang berlebihan jika kita bersama-sama menjaga, menghormati tradisi yang ada di pesantren,” kata Sekretaris Jenderal DPP GMNI Patra Dewa dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.

    GMNI menanggapi perihal polemik tayangan Pondok Pesantren Lirboyo dalam program Xpose Uncencored di stasiun televisi nasional Trans7.

    GMNI pada Jumat hari ini menggelar aksi damai di depan Gedung Trans7, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, sebagai wujud solidaritas kepada santri usai viralnya tayangan program tersebut.

    “Santri merupakan elemen penting, menjadi benteng tangguh untuk bangsa dari segala ancaman. Aksi ini merupakan bentuk solidaritas kami, dengan menggelar aksi sebagaimana yang dilakukan para santri,” ujar Patra.

    Ia menyesalkan adanya framing tendensius yang dilakukan Trans7 sehingga dinilai bisa membunuh karakter pesantren.

    “Kami harap dari kejadian ini, semua pihak dapat mengambil pelajaran, termasuk Trans7,” ucapnya.

    Patra mengingatkan bahwa media massa dan masyarakat memang harus menjunjung kemerdekaan pers. Namun, kemerdekaan pers tak berarti mengabaikan sensitivitas kultural dan spiritual.

    Menurut dia, kemerdekaan pers juga harus disertai dengan pewarta yang bijaksana.

    “Memang tugas pers ibarat lentera untuk masyarakat saat di tengah kegelapan. Dari yang tak tahu menjadi tahu informasi, dari yang lambat menjadi cepat menerima informasi, tetapi mestinya juga diiringi dengan pemahaman mendalam mengenai tradisi pesantren,” ucapnya.

    Dalam pertemuan antara Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Trans7, dan Himpunan Alumni Santri Lirboyo di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/10), Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurizal mengatakan lembaganya meminta Kemkomdigi serta KPI untuk mengevaluasi izin hak siar Trans7, menyusul polemik tayangan tersebut.

    “DPR RI meminta kepada Kementerian Komdigi dan Komisi Penyiaran Indonesia untuk bersama-sama melakukan audit mengevaluasi izin hak siar dari Trans7 seperti sebagaimana yang disampaikan Komisi Penyiaran Indonesia,” kata Cucun.

    Ia mengatakan Kemkomdigi, KPI, dan pemerintah akan memberikan sanksi tegas sesuai hasil audit tersebut.

    Dalam pertemuan itu, Dirut Trans7 Atiek Nur Wahyuni menyampaikan permohonan maaf atas kelalaian jajarannya atas penayangan program tersebut.

    “Trans7 dengan segala kerendahan hati memohon maaf sebesar-besarnya atas kelalaian dalam penayangan Xpose Uncencored tanggal 13 Oktober 2025. Kami juga memohon maaf kepada segenap kiai dan keluarga, para pengasuh, santri, dan alumni santri Lirboyo, dan seluruh keluarga besar pondok pesantren di Indonesia,” kata Atiek.

    Atiek mengatakan Trans7 telah melayangkan permohonan maaf resmi secara terbuka dan telah menjatuhkan sanksi pemutusan kerja sama kepada rumah produksi yang memproduksi program Xpose Uncencored pada 14 Oktober 2025.

    Pewarta: Benardy Ferdiansyah
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Aktivis GMNI Sampang Juga Kecam Tayangan TV yang Dinilai Cemarkan Nama Baik Kiai dan Pesantren

    Aktivis GMNI Sampang Juga Kecam Tayangan TV yang Dinilai Cemarkan Nama Baik Kiai dan Pesantren

    Sampang (beritajatim.com) – Viralnya video dari salah satu stasiun televisi nasional yang diduga mencemarkan nama baik pesantren dan kiai di Jawa Timur memicu reaksi keras dari berbagai kalangan. Salah satu aktivis di Madura turut angkat bicara dan menilai tayangan tersebut tidak layak disiarkan oleh media nasional.

    Ketua DPC GMNI Sampang, Bung Saifi, menyebut bahwa tayangan itu telah menodai kehormatan lembaga pesantren serta nilai moral yang diajarkan oleh para kiai.

    “Kalau berita yang viral sekarang itu sudah mencemarkan nama baik kiai dan pesantrennya. Mengapa tidak, dia sudah mengolok-ngolok akhlak yang sudah diajarkan di pondok mereka menimba ilmu,” kata Bung Saifi, Selasa (14/10/2025).

    Menurutnya, perilaku yang ditampilkan dalam video tersebut seharusnya tidak ditafsirkan secara negatif karena merupakan bagian dari tradisi dan tata krama yang diajarkan di pondok pesantren.

    “Padahal, menurut dia hal yang sudah dilakukan itu adalah sebuah bentuk tata krama atau akhlak yang sudah diajarkan di pondok oleh guru mereka, jadi bukan semata-mata dia diintimidasi oleh pihak kiai,” ujarnya.

    Ia juga mengaku kecewa terhadap stasiun televisi yang menayangkan video tersebut dan menilai hal itu sebagai bentuk ketidakhatihatian dalam pemberitaan.

    “Saya kecewa terkait penayangan TV Trans7 ini. Soalnya saya sendiri juga pernah mondok. Mereka hanya mempraktikkan apa yang sudah diajarkan oleh gurunya,” tuturnya dengan nada kecewa.

    Bung Saifi kemudian mendesak pimpinan redaksi media terkait agar segera menayangkan klarifikasi atas pemberitaan yang telah viral dan menimbulkan keresahan di masyarakat.

    “Jadi saya sendiri menyarankan atas pimpinan redaksi yang menaungi media tersebut, untuk menyiarkan berita klarifikasi atas apa yang sudah viral hari ini,” katanya.

    Ia menegaskan agar media massa lebih berhati-hati dalam menayangkan konten yang sensitif dan tidak menyudutkan lembaga pendidikan Islam.

    “Jadi jangan pernah lagi membuat video yang tidak bermoral seperti itu. Buatlah pemberitaan yang sekiranya dapat mencerdaskan anak bangsa dan dapat bermanfaat bagi masyarakat banyak,” tutupnya. [sar/ian]

  • Dua Kubu GMNI Surabaya Rekonsiliasi, Tekad Satukan Kembali Semangat Marhaenisme

    Dua Kubu GMNI Surabaya Rekonsiliasi, Tekad Satukan Kembali Semangat Marhaenisme

  • Rumah Kebangsaan Banyuwangi simbol sinergi mahasiswa-aparat keamanan

    Rumah Kebangsaan Banyuwangi simbol sinergi mahasiswa-aparat keamanan

    “Kami mengajak para mahasiswa untuk bersama-sama menjaga kondusifitas dan berkontribusi untuk pembangunan daerah. Mahasiswa adalah agen perubahan, apa pun aspirasi yang sifatnya membangun, akan kami dukung,”

    Banyuwangi (ANTARA) – Kapolresta Banyuwangi, Jawa Timur, Kombes Pol Rama Samtama Putra apresiasi atas terbentuknya Rumah Kebangsaan yang menjadi wadah aliansi organisasi mahasiswa Cipayung Plus dan tempat tersebut menjadi simbol sinergi mahasiswa dan pemerintah serta aparat keamanan di wilayah itu.

    Rumah Kebangsaan Cipayung Plus Banyuwangi merupakan wadah lintas organisasi mahasiswa, ada Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).

    “Kami mengajak para mahasiswa untuk bersama-sama menjaga kondusifitas dan berkontribusi untuk pembangunan daerah. Mahasiswa adalah agen perubahan, apa pun aspirasi yang sifatnya membangun, akan kami dukung,” kata Kapolresta Kombes Pol Rama saat menghadiri peresmian Rumah Kebangsaan Cipayung Plus Banyuwangi, Senin.

    Sementara itu, Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani mengajak mahasiswa Cipayung Plus menjadikan Rumah Kebangsaan sebagai wadah melahirkan gagasan solutif bagi kemajuan daerah.

    “Gunakan tempat ini untuk melahirkan ide dan solusi atas berbagai persoalan Banyuwangi,” kata Ipuk pada peresmian Rumah Kebangsaan itu.

    Ia menyampaikan generasi muda berperan besar dalam menciptakan perubahan, oleh karena itu, setiap gagasan harus diarahkan untuk menjawab berbagai tantangan, mulai sosial, teknologi, dan ekonomi di Banyuwangi.

    Bupati Ipuk juga berharap agar sinergi mahasiswa dan pemerintah terus terjaga demi masa depan Banyuwangi yang lebih baik.

    “Insya-Allah kalau semua berjalan bersama, ide dari anak muda bisa jadi kekuatan besar untuk kemajuan Banyuwangi,” ujarnya.

    Koordinator Rumah Kebangsaan Cipayung Plus Banyuwangi, Muhammad Haddad Alwi Nasyafiallah menyampaikan rasa syukur atas terwujudnya rumah kebangsaan satu-satunya di Jawa Timur di tingkat kabupaten tersebut.

    “Gabungan mahasiswa Cipayung Plus berkomitmen siap berpartisipasi aktif bersama pemerintah dan Forkopimda menjaga keharmonisan serta keutuhan Banyuwangi,” katanya.

    Dalam peresmian Rumah Kebangsaan Cipayung Plus itu, juga dihadiri jajaran Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) mulai Kapolresta Banyuwangi Kombes Pol Rama Samtama Putra, Dandim 0825/ Banyuwangi Letkol Arm Triyadi Indrawijaya, dan Danlanal Banyuwangi Letkol Laut (P) Muhamad Puji Santoso.

    Pewarta: Novi Husdinariyanto
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Transfer Pusat ke Jatim Dipangkas Rp2,8 T, DPRD Dorong Optimalisasi Aset dan Efisiensi Anggaran

    Transfer Pusat ke Jatim Dipangkas Rp2,8 T, DPRD Dorong Optimalisasi Aset dan Efisiensi Anggaran

    Surabaya (beritajatim.com) – DPRD Jawa Timur mendorong agar Pemerintah Provinsi melakukan optimalisasi aset dan efisiensi anggaran. Langkah ini dinilai perlu dijalankan untuk mengatasi dampak yang timbul dari pemangkasan dana Transfer Ke Daerah (TKD) dari pusat ke Provinsi Jatim sebesar Rp2,8 triliun.

    Wakil Ketua DPRD Jatim, Deni Wicaksono, menilai pemangkasan TKD tersebut membuat Pemprov Jatim harus mencari cara kreatif untuk menjaga keseimbangan fiskal. Dia pun mendorong agar penguatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dilakukan dengan langkah konkret.

    Deni berpandangan momentum ini harus dijadikan ajang perbaikan tata kelola keuangan daerah. Menurut dia, optimalisasi aset Pemprov Jatim bisa menjadi sumber tambahan PAD yang besar jika dikelola profesional.

    “Masih banyak aset daerah yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Pemprov harus berani melakukan pendataan ulang dan membuka ruang kerja sama pengelolaan agar aset tidak hanya diam tapi bisa menghasilkan,” kata Deni di Surabaya, Sabtu (11/10/2025).

    Selain itu, Deni menegaskan perlunya efisiensi pada pos anggaran yang tidak produktif. Dia mencontohkan kegiatan seremonial atau proyek yang dampaknya kecil bagi masyarakat sebaiknya ditinjau ulang.

    “Belanja daerah harus diarahkan ke hal yang benar-benar menyentuh kebutuhan rakyat. Di tengah kondisi fiskal yang ketat, setiap rupiah anggaran harus punya nilai manfaat,” ujar politisi PDI Perjuangan ini.

    Deni juga memperingatkan agar kebijakan penghapusan pajak alat berat tidak dilakukan tergesa-gesa. Menurut Deni, kebijakan itu berpotensi menurunkan PAD, apalagi di tengah tekanan fiskal akibat berkurangnya transfer pusat.

    “Penghapusan pajak alat berat harus ditunda dan dikaji ulang agar tidak melemahkan sumber PAD kita,” tegasnya.

    Deni menambahkan, terdapat 244 unit alat berat terdata di Jawa Timur, namun hanya 16 unit atau sekitar 6,5 persen yang memiliki nilai jual dan potensi pajak jelas. Jika penghapusan dilakukan tanpa kajian mendalam, kata dia, daerah akan kehilangan salah satu sumber penerimaan tanpa ada alternatif pengganti yang siap.

    “Dalam kondisi fiskal yang sempit, kita tidak bisa menghapus potensi pendapatan tanpa ada rencana kompensasi yang realistis,” kata Deni.

    Deni juga mendorong evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Deni menyebut sebagian BUMD belum memberikan kontribusi signifikan terhadap PAD meski mendapatkan penyertaan modal besar.

    “Kita akan dorong pembentukan pansus untuk menilai kinerja BUMD satu per satu. Kalau ada yang tidak produktif, perlu direstrukturisasi agar bisa memberikan dividen, bukan malah membebani APBD,” tuturnya.

    Dia menambahkan, peningkatan PAD tidak boleh dilakukan dengan menambah beban pajak masyarakat. Menurutnya, pemerintah perlu kreatif menggali sumber-sumber baru seperti sektor industri, pertambangan, dan pariwisata.

    “Prinsipnya, jangan menambah beban rakyat. Tapi potensi ekonomi daerah harus benar-benar digarap optimal agar kita tidak tergantung pada dana pusat,” kata Deni.

    Politisi muda asal Gresik itu memastikan DPRD Jatim siap bekerja sama dengan Pemprov untuk mencari solusi bersama. Dia menilai sinergi legislatif dan eksekutif menjadi kunci agar Jawa Timur tetap tangguh secara fiskal meski alokasi pusat berkurang.

    “Kami di DPRD siap membantu lewat fungsi pengawasan dan legislasi. Tujuannya jelas, agar APBD Jatim tetap sehat dan pembangunan di semua sektor bisa berlanjut,” pungkas Ketua Persatuan Alumni (PA) GMNI Jatim ini. [asg/beq]