Organisasi: FAO

  • Bappenas Tegaskan Swasembada Beras jadi Prioritas Utama Pembangunan

    Bappenas Tegaskan Swasembada Beras jadi Prioritas Utama Pembangunan

    JAKARTA – Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) menegaskan swasembada pangan utamanya komoditas beras menjadi prioritas utama pembangunan nasional.

    Tenaga Ahli Kementerian PPN/Bappenas RI Frans B.M Dabukke menegaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto menargetkan percepatan swasembada pangan khususnya beras, di samping swasembada energi dan ketahanan air demi memperkuat kedaulatan bangsa serta kesejahteraan rakyat Indonesia.

    “Jadi di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas sebagai perencana sudah disiapkan bahwa swasembada pangan itu menjadi prioritas utama. Dan kegiatan pokoknya itu adalah juga swasembada beras,” kata Frans mengutip Antara.

    Dia menyampaikan, pihaknya membangun sinergi dengan berbagai kementerian/lembaga terkait, pelaku usaha untuk mewujudkan swasembada beras sehingga adanya peningkatan produktivitas serta mewujudkan kesejahteraan petani Indonesia.

    “Swasembada pangan (yang dicanangkan) Presiden mengarahkan supaya itu dapat menciptakan kesejahteraan bagi petani. Jadi pangan tercukupi, petani juga sejahtera,” bebernya.

    Program swasembada pangan diarahkan tidak hanya menjamin kecukupan pangan masyarakat, tetapi juga menciptakan kesejahteraan petani melalui peningkatan produktivitas dan stabilitas harga gabah di tingkat petani.

    Dikatakan pemerintah telah menetapkan kebijakan harga gabah Rp6.500 per kilogram, sehingga petani memperoleh kepastian pendapatan, meningkatkan motivasi budidaya padi, dan memperkuat keberlanjutan produksi nasional.

    “Melalui arahan Bapak Presiden, Menko Pangan dan juga Badan Pangan Nasional bersama dengan Kementerian Pertanian menetapkan kebijakan yang menurut kita tentunya menjamin kesejahteraan petani, yaitu membeli gabah Rp6.500 di tingkat petani,” jelasnya.

    Bappenas menegaskan pentingnya peran kolaborasi seluruh pihak termasuk kementerian, lembaga, penyuluh, serta swasta dalam mengawal keberhasilan swasembada beras melalui inovasi dan praktik pertanian berkelanjutan.

    Bappenas berharap gerakan swasembada pangan mampu menjadi momentum kebangkitan petani, memastikan pangan cukup, petani sejahtera, dan bangsa semakin berdaulat di sektor pertanian.

    Sebelumnya, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman optimistis Indonesia mampu segera mewujudkan swasembada beras usai adanya peningkatan produksi demi kedaulatan pangan nasional yang berkelanjutan.

    “Insya Allah dalam tiga bulan ke depan, bila tidak ada aral melintang, kami bisa umumkan bahwa Indonesia sudah swasembada beras,” kata Mentan sebagaimana keterangan di Jakarta, Jumat (3/10).

    Produksi beras nasional tahun 2025 menunjukkan lonjakan signifikan dan mendekati proyeksi lembaga internasional seperti Food and Agriculture Organization (FAO) dan United States Department of Agriculture (USDA).

    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan produksi beras Januari-November 2025 mencapai 33,19 juta ton, naik 12,62 persen dibanding periode yang sama 2024 (29,47 juta ton).

    Deputi Bidang Statistik Produksi BPS M. Habibullah menyebutkan peningkatan produksi menjadi jaminan ketersediaan pangan pokok nasional.

    “Dengan produksi Januari-November yang diperkirakan menembus 33 juta ton, ketersediaan pangan pokok kita semakin terjamin. Beras bukan lagi faktor pendorong inflasi, melainkan penopang stabilitas harga dan daya beli masyarakat,” ujarnya saat konferensi pers di Jakarta, Rabu (1/10).

    Data terbaru dari BPS itu semakin mendekatkan capaian produksi Indonesia dengan prediksi yang dikeluarkan baik oleh FAO maupun USDA.

    USDA menyebutkan bahwa produksi beras Indonesia diperkirakan mencapai 34,6 juta ton pada tahun ini. Sementara FAO memprediksi beras Indonesia akan mencapai 35,6 juta ton pada masa tanam 2025/2026.

  • Bappenas sebut swasembada beras jadi prioritas utama pembangunan

    Bappenas sebut swasembada beras jadi prioritas utama pembangunan

    Swasembada pangan yang dicanangkan Presiden mengarahkan supaya menciptakan kesejahteraan petani. Jadi pangan tercukupi, petani juga sejahtera

    Subang, Jawa Barat (ANTARA) – Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) menegaskan swasembada pangan utamanya komoditas beras menjadi prioritas utama pembangunan nasional.

    Tenaga Ahli Kementerian PPN/Bappenas RI Frans B.M Dabukke menegaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto menargetkan percepatan swasembada pangan khususnya beras, di samping swasembada energi dan ketahanan air demi memperkuat kedaulatan bangsa serta kesejahteraan rakyat Indonesia.

    “Jadi di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas sebagai perencana sudah disiapkan bahwa swasembada pangan itu menjadi prioritas utama. Dan kegiatan pokoknya itu adalah juga swasembada beras,” kata Frans saat menghadiri Festival Panen Raya Komunitas 10 Ton yang digelar Syngenta Indonesia di Subang, Jawa Barat, Sabtu.

    Dia menyampaikan, pihaknya membangun sinergi dengan berbagai kementerian/lembaga terkait, pelaku usaha untuk mewujudkan swasembada beras sehingga adanya peningkatan produktivitas serta mewujudkan kesejahteraan petani Indonesia.

    “Swasembada pangan (yang dicanangkan) Presiden mengarahkan supaya itu dapat menciptakan kesejahteraan bagi petani. Jadi pangan tercukupi, petani juga sejahtera,” bebernya.

    Program swasembada pangan diarahkan tidak hanya menjamin kecukupan pangan masyarakat, tetapi juga menciptakan kesejahteraan petani melalui peningkatan produktivitas dan stabilitas harga gabah di tingkat petani.

    Dikatakan pemerintah telah menetapkan kebijakan harga gabah Rp6.500 per kilogram, sehingga petani memperoleh kepastian pendapatan, meningkatkan motivasi budidaya padi, dan memperkuat keberlanjutan produksi nasional.

    “Melalui arahan Bapak Presiden, Menko Pangan dan juga Badan Pangan Nasional bersama dengan Kementerian Pertanian menetapkan kebijakan yang menurut kita tentunya menjamin kesejahteraan petani, yaitu membeli gabah Rp6.500 di tingkat petani,” jelasnya.

    Bappenas menegaskan pentingnya peran kolaborasi seluruh pihak termasuk kementerian, lembaga, penyuluh, serta swasta dalam mengawal keberhasilan swasembada beras melalui inovasi dan praktik pertanian berkelanjutan.

    Bappenas berharap gerakan swasembada pangan mampu menjadi momentum kebangkitan petani, memastikan pangan cukup, petani sejahtera, dan bangsa semakin berdaulat di sektor pertanian.

    Sebelumnya, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman optimistis Indonesia mampu segera mewujudkan swasembada beras usai adanya peningkatan produksi demi kedaulatan pangan nasional yang berkelanjutan.

    “Insya Allah dalam tiga bulan ke depan, bila tidak ada aral melintang, kami bisa umumkan bahwa Indonesia sudah swasembada beras,” kata Mentan sebagaimana keterangan di Jakarta, Jumat (3/10).

    Produksi beras nasional tahun 2025 menunjukkan lonjakan signifikan dan mendekati proyeksi lembaga internasional seperti Food and Agriculture Organization (FAO) dan United States Department of Agriculture (USDA).

    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan produksi beras Januari-November 2025 mencapai 33,19 juta ton, naik 12,62 persen dibanding periode yang sama 2024 (29,47 juta ton).

    Deputi Bidang Statistik Produksi BPS M. Habibullah menyebutkan peningkatan produksi menjadi jaminan ketersediaan pangan pokok nasional.

    “Dengan produksi Januari-November yang diperkirakan menembus 33 juta ton, ketersediaan pangan pokok kita semakin terjamin. Beras bukan lagi faktor pendorong inflasi, melainkan penopang stabilitas harga dan daya beli masyarakat,” ujarnya saat konferensi pers di Jakarta, Rabu (1/10).

    Data terbaru dari BPS itu semakin mendekatkan capaian produksi Indonesia dengan prediksi yang dikeluarkan baik oleh FAO maupun USDA.

    USDA menyebutkan bahwa produksi beras Indonesia diperkirakan mencapai 34,6 juta ton pada tahun ini. Sementara FAO memprediksi beras Indonesia akan mencapai 35,6 juta ton pada masa tanam 2025/2026.

    Pewarta: Muhammad Harianto
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Produksi Beras Nasional 2025 Diprediksi Tembus 33,19 Juta Ton

    Produksi Beras Nasional 2025 Diprediksi Tembus 33,19 Juta Ton

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Produksi beras nasional tahun 2025 menunjukkan lonjakan signifikan dan mendekati proyeksi lembaga internasional seperti Food and Agriculture Organization (FAO) dan United States Department of Agriculture (USDA).

    Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan produksi beras Januari–November 2025 mencapai 33,19 juta ton, naik 12,62% dibanding periode yang sama 2024 (29,47 juta ton).

    Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, M. Habibullah, menyebut peningkatan produksi menjadi jaminan ketersediaan pangan pokok nasional.

    “Dengan produksi Januari–November yang diperkirakan menembus 33 juta ton, ketersediaan pangan pokok kita semakin terjamin. Beras bukan lagi faktor pendorong inflasi, melainkan penopang stabilitas harga dan daya beli masyarakat,” ujarnya saat konferensi pers di Jakarta, Rabu (1/10).

    Data terbaru dari BPS ini semakin mendekatkan capaian produksi Indonesia dengan prediksi yang dikeluarkan baik oleh FAO maupun USDA.

    USDA menyebutkan bahwa produksi beras Indonesia diperkirakan akan mencapai 34,6 juta ton pada tahun ini. Sementara FAO memprediksi beras Indonesia akan mencapai 35,6 juta ton pada masa tanam 2025/2026.

    Angka produksi Januari – November 2025 ini tidak hanya melampaui capaian tahun 2024, tapi sudah melampaui capaian selama kurun waktu tujuh tahun terakhir. Sebelumnya, capaian produksi tertinggi terjadi pada tahun 2022, yaitu 31,54 juta ton.

    Pada kesempatan sebelumnya, Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengungkap optimisme bahwa Indonesia akan segera mengukuhkan diri sebagai negara swasembada beras.

  • Mentan optimistis Indonesia segera wujudkan swasembada beras

    Mentan optimistis Indonesia segera wujudkan swasembada beras

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman optimistis Indonesia mampu segera mewujudkan swasembada beras usai adanya peningkatan produksi demi kedaulatan pangan nasional yang berkelanjutan.

    “Insya Allah dalam tiga bulan ke depan, bila tidak ada aral melintang, kami bisa umumkan bahwa Indonesia sudah swasembada beras,” kata Mentan sebagaimana keterangan di Jakarta, Jumat.

    Menurutnya pemerintah terus mendorong program strategis mulai dari pencetakan sawah baru, rehabilitasi jaringan irigasi, hingga peningkatan kesejahteraan petani.

    Dengan berbagai terobosan dan capaian produksi saat ini, pemerintah tidak akan melakukan impor.

    “Insya Allah dengan ketercukupan stok, tidak akan ada impor tahun ini,” ujarnya.

    Produksi beras nasional tahun 2025 menunjukkan lonjakan signifikan dan mendekati proyeksi lembaga internasional seperti Food and Agriculture Organization (FAO) dan United States Department of Agriculture (USDA).

    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan produksi beras Januari-November 2025 mencapai 33,19 juta ton, naik 12,62 persen dibanding periode yang sama 2024 (29,47 juta ton).

    Deputi Bidang Statistik Produksi BPS M. Habibullah menyebutkan peningkatan produksi menjadi jaminan ketersediaan pangan pokok nasional.

    “Dengan produksi Januari-November yang diperkirakan menembus 33 juta ton, ketersediaan pangan pokok kita semakin terjamin. Beras bukan lagi faktor pendorong inflasi, melainkan penopang stabilitas harga dan daya beli masyarakat,” ujarnya saat konferensi pers di Jakarta, Rabu (1/10).

    Data terbaru dari BPS itu semakin mendekatkan capaian produksi Indonesia dengan prediksi yang dikeluarkan baik oleh FAO maupun USDA. USDA menyebutkan bahwa produksi beras Indonesia diperkirakan akan mencapai 34,6 juta ton pada tahun ini.

    Sementara FAO memprediksi beras Indonesia akan mencapai 35,6 juta ton pada masa tanam 2025/2026.

    Angka produksi Januari – November 2025 itu tidak hanya melampaui capaian tahun 2024, tapi sudah melampaui capaian selama kurun waktu tujuh tahun terakhir. Sebelumnya, capaian produksi tertinggi terjadi pada tahun 2022, yaitu 31,54 juta ton.

    Pewarta: Muhammad Harianto
    Editor: Azis Kurmala
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Pasokan Ketat, Harga Daging Global Reli ke Rekor Tertinggi

    Pasokan Ketat, Harga Daging Global Reli ke Rekor Tertinggi

    Bisnis.com, JAKARTA — Harga daging global mencapai rekor tertinggi baru pada September karena menyusutnya jumlah ternak sapi AS tidak mampu memenuhi permintaan daging sapi yang kuat. Harga daging telah mengalami reli bulanan terpanjang sejak 2021.

    Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), indeks yang melacak biaya komoditas daging naik 0,7%, menandai kenaikan bulanan kedelapan berturut-turut.

    Reli ini sebagian besar didorong oleh daging sapi, dengan jumlah ternak sapi AS mencapai titik terendah dalam beberapa dekade, harga yang lebih tinggi di Brasil, dan kekhawatiran akan hama ulat ulir yang mematikan di Meksiko.

    Hal ini mendorong harga komoditas pangan global mencapai titik tertinggi dalam lebih dari dua tahun pada Juli, memicu tekanan inflasi bagi konsumen dan pembuat kebijakan.
    Bulan lalu, Bank Sentral Eropa mencatat bahwa harga pangan naik lebih cepat daripada inflasi secara umum, sementara Konsorsium Ritel Inggris mengatakan biaya tenaga kerja dan energi yang lebih tinggi terus menaikkan harga input bagi banyak petani.

    “Di AS, persediaan domestik yang terbatas dan perbedaan harga yang menguntungkan terus mendorong impor, terutama dari Australia, di mana harga naik,” kata FAO dalam sebuah laporan, melansir Bloomberg, Jumat (3/10/2025).

    Harga daging Brasil juga meningkat, didorong oleh permintaan global yang kuat, mengimbangi berkurangnya akses ke AS setelah pengenaan tarif yang lebih tinggi.

    Daging merupakan satu-satunya kelompok komoditas pangan utama yang dipantau FAO yang mengalami peningkatan pada September, juga didorong oleh harga daging domba yang lebih tinggi.

    Indeks pangan secara keseluruhan sedikit menurun, dengan harga biji-bijian, minyak sayur, susu, dan gula yang semuanya turun.

  • Seni Tani Berperang Melawan Food Waste dari Kebun Kota

    Seni Tani Berperang Melawan Food Waste dari Kebun Kota

    Bisnis.com, JAKARTA – Di sebuah pagi cerah di kawasan Cigadung, Kota Bandung, bau tanah basah bercampur aroma ampas kopi menyergap hidung. Di tengah deretan rumah dan jalan sempit yang sibuk, sebuah lahan seluas 1.700 meter persegi menjelma menjadi kebun sayur.

    Bedengan-bedengan rapi berisi sawi, kale, selada, hingga wortel tumbuh subur. Bukan perkebunan luas seperti di pedesaan, melainkan petak-petak kecil yang hidup di tengah kepadatan kota.

    Di sinilah Seni Tani menanam harapan. Mereka bukan hanya menanam sayuran, tetapi juga menumbuhkan kesadaran baru: pangan kota bisa diproduksi, bukan sekadar dikonsumsi. Bahwa setiap helai daun dan setiap umbi yang dipetik, bisa menjadi senjata melawan krisis pangan sekaligus ancaman besar lain—food waste.

    Indonesia, menurut laporan Bappenas (2021), membuang 23–48 juta ton makanan per tahun. Angka itu setara memberi makan 61–125 juta orang, hampir setengah populasi negeri ini. FAO bahkan menempatkan Indonesia sebagai salah satu penyumbang food waste terbesar di dunia.

    Data dan Estimasi Timbulan Sampah Makanan Tahun 2019-2023

    No.

    Tahun

    SIPSN (ribu ton)

    SIPSN dan Estimasi (ribu ton)

    1

    2019

    9.065

    22.354

    2

    2020

    8.701

    22.642

    3

    2021

    8.540

    22.666

    4

    2022

    11.688

    23.001

    5

    2023

    7.053

    23.318

    Catatan : Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN)

    Sumber : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional RI (Bappenas) 2024, diolah

    Penyebabnya berlapis. Distribusi pangan yang panjang dan tidak merata, budaya konsumsi yang serba instan, serta standar pasar yang menolak sayuran “jelek”. Wortel bercabang, tomat terlalu kecil, atau kol dengan bentuk tak sempurna kerap langsung disisihkan dari rak supermarket. Padahal, semua itu tetap layak makan.

    Di sisi lain, kota tumbuh menjadi ruang konsumsi raksasa. Lahan hijau menyusut, sementara sampah organik rumah tangga—yang lebih dari 50 persen isinya berupa sisa makanan—menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Alih-alih kembali ke tanah, sisa pangan membusuk menghasilkan gas metana, salah satu penyumbang utama emisi gas rumah kaca. Lalu, siapa yang berani menantang pola ini?

    Jawaban itu datang pada 2020. Pandemi Covid-19 menjadi titik balik. Ketika distribusi pangan sempat terganggu dan fenomena panic buying terjadi di kota-kota besar, Vania Febriyantie—warga Bandung yang resah dengan keterputusan orang kota dari sumber makanannya—memutuskan bertindak.

    “Meski saya tidak kekurangan makanan saat itu, melihat berita tentang distribusi pangan yang terhenti membuat saya berpikir: bagaimana jika kita bisa menanam sendiri di kota? Bukankah ada banyak lahan tidur yang terbengkalai?” ujarnya kepada Bisnis.

    Dari keresahan itu, lahirlah Seni Tani. Mereka menghidupkan lahan tidur seluas 912 meter persegi di Arcamanik menjadi kebun pangan produktif. Lahan itu tersebar di tiga titik berbeda, sebagian milik pribadi, sebagian lagi di bawah jaringan listrik SUTT milik Pemkot Bandung. Dari sinilah gerakan dimulai: membangunkan tanah kota yang “mati” menjadi tanah yang kembali hidup.

    Empat tahun berlalu, perjalanan penuh suka duka itu terus berlanjut. Kini, di Cigadung, kebun baru berdiri. Bagi Vania dan komunitasnya, setiap jengkal tanah yang berhasil ditanami adalah perlawanan kecil melawan krisis pangan dan food waste.

    Tani Sauyunan: Bertani dengan Kebersamaan

    Seni Tani tidak berjalan sendiri. Mereka mengadopsi model Community-Supported Agriculture (CSA), atau pertanian dengan dukungan komunitas, yang diadaptasi menjadi Tani Sauyunan.

    Dalam sistem ini, anggota CSA—keluarga atau individu yang berkomitmen—membayar di muka untuk hasil panen satu musim. Skema ini memberi kepastian finansial bagi petani, tanpa harus tunduk pada fluktuasi pasar. Sebaliknya, anggota mendapatkan paket sayur segar setiap minggu, dikirim menggunakan karung daur ulang yang ditukar kembali.

    “Konsep sauyunan berarti kebersamaan. Produksi dan konsumsi pangan jadi tanggung jawab bersama. Petani tidak sendirian, konsumen juga ikut menanggung risiko dan hasil,” ujar Vania.

    Menurutnya, di balik sistem ini ada manfaat berlapis mulai dari lingkungan dengan emisi transportasi ditekan karena distribusi lokal, plastik berkurang lewat sistem tas daur ulang, dan sampah organik diolah menjadi kompos.

    Lalu, manfaat sosial dengan ada ruang gotong royong, regenerasi petani muda, dan pendidikan berkelanjutan dan ekonomi di mana pendapatan petani lebih stabil, rantai pasok dipotong, dan biaya produksi ditekan lewat ekonomi sirkular berbasis limbah.

    CSA bukan sekadar transaksi, tapi ikatan emosional. Anggota CSA terhubung lewat grup WhatsApp, berbagi resep, cerita kebun, hingga mengunjungi langsung lahan. Konsumen tahu siapa yang menanam sayur mereka, dan petani tahu siapa yang akan mengonsumsinya.

  • Gayung untuk Sepiring Nasi, Kisah Garda Pangan Melawan Sampah Makanan

    Gayung untuk Sepiring Nasi, Kisah Garda Pangan Melawan Sampah Makanan

    Bisnis.com, JAKARTA – Banyak cerita dari piring di kota besar dengan makanannya berlimpah. Restoran berlomba menampilkan menu cantik, pesta hajatan penuh meja prasmanan, dan pasar modern dengan rak yang selalu penuh. 

    Namun di balik gemerlap itu, ada jutaan ton makanan terbuang setiap tahun. Ironisnya, di lorong-lorong kota dan desa terpencil, masih banyak keluarga yang sulit sekadar makan dua kali sehari.

    Kehadiran Garda Pangan menunjukkan bahwa jurang ini bisa dijembatani. Apa yang dianggap sisa di satu tempat, bisa jadi penyelamat di tempat lain. Apa yang dianggap cacat di mata pasar, bisa jadi nutrisi penting bagi tubuh yang lapar.

    Kevin Gani dan para relawan tidak sekadar mengangkut makanan. Mereka mengubah paradigma. Bahwa setiap butir nasi, setiap potong roti, setiap sayuran yang “tidak cantik” punya nilai. Nilai gizi, nilai ekonomi, nilai moral, bahkan nilai spiritual.

    Cerita ini dimulai Kevin dari sebuah sudut di Joyoboyo, Surabaya, seorang perempuan renta menyambut kedatangan relawan Garda Pangan dengan senyum tipis. Rambutnya memutih, tubuhnya ringkih, dan hidupnya sebatang kara di sebuah gubuk reyot. Ketika relawan hendak memindahkan makanan sumbangan ke piringnya, nenek itu kebingungan. 

    Dia tidak punya piring, bahkan mangkuk sederhana pun tak ada. Akhirnya, dia meraih sebuah gayung plastik yang sudah kusam, biasanya dipakai untuk menimba air. Dari situlah makanan itu disajikan—di sebuah gayung kotor yang seharusnya bukan wadah makan.

    Bagi Kevin Gani, pengalaman itu menjadi titik balik. Dia saat itu masih seorang mahasiswa yang menjadi sukarelawan baru di Garda Pangan, sebuah komunitas yang bergerak menyelamatkan pangan berlebih. 

    “Saya kaget, ternyata di kota sebesar Surabaya masih ada orang yang makanannya sangat terbatas, bahkan piring pun tak punya,” kenangnya saat dihubungi Bisnis.

    Tak lama setelah pertemuan itu, si nenek meninggal dunia. Kisah ini membekas dan meneguhkan langkah Kevin untuk terjun lebih dalam, hingga kini dia dipercaya sebagai Ketua Yayasan Garda Pangan.

    Kisah nenek Joyoboyo hanya secuil potret dari ketidakadilan pangan di Indonesia. Di satu sisi, berjuta ton makanan terbuang setiap tahun. Di sisi lain, jutaan orang berjuang keras untuk sekadar bisa makan dua kali sehari. Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 2021 memperkirakan Indonesia membuang 23–48 juta ton makanan setiap tahun dalam kurun 2000–2019. Jumlah itu setara memberi makan 61–125 juta orang, atau hampir separuh populasi negeri ini.

    Data dan Estimasi Timbulan Sampah Makanan Tahun 2019-2023

    No.

    Tahun

    SIPSN (ribu ton)

    SIPSN dan Estimasi (ribu ton)

    1

    2019

    9.065

    22.354

    2

    2020

    8.701

    22.642

    3

    2021

    8.540

    22.666

    4

    2022

    11.688

    23.001

    5

    2023

    7.053

    23.318

    Catatan : Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN)

    Sumber : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional RI (Bappenas) 2024 (diolah)

    Lebih ironis lagi, laporan FAO (Food and Agriculture Organization) menyebutkan, 45 persen sampah rumah tangga Indonesia adalah sisa makanan. Buangan ini bukan sekadar mubazir, tetapi juga berbahaya. Ketika menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA), makanan membusuk dan menghasilkan gas metana. Gas ini 21 kali lebih berbahaya daripada karbon dioksida dalam memicu perubahan iklim. Pada 2005, ledakan TPA Leuwigajah, Jawa Barat, yang disebabkan akumulasi gas metana dari timbunan sampah, menewaskan lebih dari 140 jiwa.

    “Kalau dilihat, TPA-TPA di Indonesia itu sebenarnya bom waktu. Komposisi terbesar sampahnya makanan, dan itu yang paling gampang menghasilkan metana,” ujar Kevin.

    Di tengah kondisi tersebut, lahirlah Garda Pangan—sebuah inisiatif untuk menjembatani jurang besar antara surplus pangan dan kelaparan. Sejak berdiri pada 2017, mereka berkomitmen menyelamatkan makanan berlebih agar tidak masuk ke TPA, lalu menyalurkannya kepada masyarakat yang membutuhkan.

    Namanya diambil dari kata “garda”—barisan terdepan yang menjaga—dan “pangan”, yang artinya makanan. Harapannya sederhana tetapi visioner: menjadi garda terdepan dalam menyelamatkan pangan sekaligus melawan kelaparan.

    Deretan Negara Penghasil Sampah Makanan Terbesar di Dunia

    Peringkat

    Negara

    Sampah Makanan Rumah Tangga

    (juta ton/tahun)

    1

    China

    108,67

    2

    India

    78,19

    3

    Pakistan

    30,75

    4

    Nigeria

    24,79

    5

    Amerika Serikat

    24,72

    6

    Brasil

    20,29

    7

    Mesir

    18,09

    8

    Indonesia

    14,73

    Sumber: UNEP Food Waste Index Report 2024

    Dari Gerakan Akar Rumput ke Jaringan Nasional

    Seiring waktu, Garda Pangan semakin dikenal sebagai pionir food bank di Indonesia. Mereka tak hanya beroperasi di Surabaya, tetapi juga menjalin kerja sama dengan komunitas di kota lain. Konsep “rescue food” yang mereka gaungkan mulai diadopsi di berbagai tempat.

    Kevin dan timnya bahkan sering diundang berbicara dalam forum internasional tentang ketahanan pangan dan keberlanjutan. Meski begitu, ia tetap rendah hati.

    “Kami ini hanya memindahkan makanan dari tempat berlebih ke tempat yang kurang. Sederhana, tapi kalau dilakukan terus, dampaknya besar,” ujarnya.

    Bagi Garda Pangan, setiap butir nasi punya makna. Karena itu, strategi utama mereka adalah food rescue—menyelamatkan makanan berlebih dari tempat-tempat yang biasanya membuangnya. Hotel, restoran, toko roti, hingga katering menjadi mitra penting. Setiap hari, relawan menjemput makanan surplus, memilahnya di food bank, lalu mendistribusikan ke komunitas yang membutuhkan.

    Makanan yang diselamatkan biasanya masih layak konsumsi: roti yang mendekati tanggal kadaluarsa, nasi kotak sisa rapat, lauk-pauk pesta, hingga buah dan sayuran segar. 

    “Kami punya standar ketat. Kalau tidak layak makan untuk kami sendiri, ya tidak kami salurkan. Keselamatan penerima tetap nomor satu,” jelas Kevin.

    Tabel Food Waste: Ini 5 makanan yang paling banyak terbuang

    Peringkat

    Jenis Makanan

    Jumlah Terbuang per Tahun

    Penyebab Utama

    1

    Roti

    ± 900.000 ton

    Kelebihan produksi & konsumsi

    2

    Kentang

    ± 750.000 ton

    Pembelian berlebihan, pembusukan, ketidaksempurnaan estetika

    3

    Susu

    ± 490.000 ton

    Kedaluwarsa, penyimpanan tidak tepat, kelebihan produksi

    4

    Pisang

    ± 190.000 ton

    Terlalu matang, cacat kosmetik

    5

    Salad & Sayuran (selada, tomat, mentimun, sayuran berdaun)

    ± 170.000 ton

    Pembusukan, pembelian berlebihan, standar kualitas pengecer

    Sumber: Waste Managed

    Prosesnya sederhana tapi rapi. Begitu makanan tiba, tim melakukan pemeriksaan kualitas: suhu, aroma, tekstur. Setelah lolos, makanan dikemas ulang dengan higienis, kemudian segera dibagikan ke panti asuhan, rumah singgah, warga marjinal, bahkan pemulung di sekitar TPA.

    Selain makanan matang, Garda Pangan juga fokus pada hasil panen yang ditolak pasar. Inilah yang mereka sebut gleaning. Relawan terjun langsung ke lahan petani, memetik sayuran atau buah yang cacat bentuk—wortel terlalu pendek, timun bengkok, atau jeruk bernoda.

    “Padahal gizinya sama, cuma penampilannya saja yang tidak sesuai standar pasar modern. Kalau dibiarkan, petani bisa rugi besar,” kata Kevin.

    Hasil gleaning ini kemudian didistribusikan ke penerima manfaat. Ada pula yang diolah menjadi produk turunan, misalnya jus atau selai, sehingga nilai jualnya kembali. Dengan cara ini, Garda Pangan bukan hanya memberi makan orang lapar, tetapi juga menyelamatkan penghasilan petani.

    Meski demikian, tidak semua makanan bisa diselamatkan. Ada yang sudah terlalu basi atau rusak. Untuk sisa-sisa ini, Garda Pangan punya pendekatan inovatif: biokonversi menggunakan larva black soldier fly (BSF), atau yang lebih dikenal sebagai maggot.

    Sisa makanan yang tidak layak konsumsi manusia diberikan ke koloni maggot. Dalam waktu singkat, larva-larva itu mengurai sisa organik menjadi biomassa. Hasilnya, dua manfaat sekaligus: maggot bisa dijadikan pakan ternak, sementara residunya menjadi pupuk organik.

    “Dengan maggot, benar-benar zero waste. Bahkan yang tadinya sampah bisa jadi sumber ekonomi baru,” ujar Kevin.

    Bagi Kevin, perjuangan pangan bukan sekadar soal logistik atau nutrisi. Ia melihatnya sebagai wujud nyata dari nilai-nilai Pancasila. “Keadilan sosial itu ya termasuk soal akses makanan. Jangan ada yang kenyang berlebihan sementara tetangganya lapar,” tegasnya.

    Karena itu, Garda Pangan selalu mengedepankan prinsip inklusif dan kolektif. Mereka percaya bahwa pangan adalah hak, bukan privilese. Dalam setiap distribusi, mereka tidak membedakan latar belakang agama, etnis, atau status sosial. Siapa yang butuh, dialah yang berhak menerima.

    Visi ini tentu ambisius, tetapi Kevin yakin langkah kecil bisa membawa perubahan besar. Ia sering mengutip pepatah: “Mengurangi kelaparan bukan dimulai dari satu juta porsi, tapi dari satu porsi yang diselamatkan.”

    Garda Pangan ingin menjadi katalis, mendorong lebih banyak pihak untuk bergerak. Dari rumah tangga yang mulai menghabiskan makanan, restoran yang menyumbangkan surplus, hingga pemerintah yang membuat regulasi pro-pangan berkelanjutan.

    “Kalau semua pihak bergerak, saya percaya kita bisa menuju Indonesia tanpa lapar,” pungkas Kevin.

    Aktivitas yayasan membawanya menerima 15th SATU (Semangat Astra Terpadu Untuk) Indonesia Awards di Menara Astra, Jakarta, 29 Oktober 2024. Anugerah ini dari konglomerasi Astra International. Kevin menerima penghargaan bertaraf nasional untuk kategori lingkungan sebagai Pejuang Pangan Berkelanjutan.

  • Mentan Amran dan DPD RI Tanam Jagung Serentak, Dorong Percepatan Swasembada Pangan – Page 3

    Mentan Amran dan DPD RI Tanam Jagung Serentak, Dorong Percepatan Swasembada Pangan – Page 3

    Menurut Tamsil, kebijakan pemerintah menaikkan harga gabah menjadi Rp6.500 per kilogram adalah tonggak bersejarah.

    “Harga ini tertinggi sepanjang sejarah Indonesia. Petani kini benar-benar merasakan penghargaan atas kerja kerasnya. Di saat yang sama, konsumen tetap terlindungi karena Bulog hadir dengan program pasar murah. Jadi, tidak ada pertentangan antara kesejahteraan petani dan keterjangkauan harga bagi masyarakat. Semuanya diatur secara seimbang,” tegasnya.

    Tamsil menambahkan, dirinya melihat apresiasi juga datang dari dunia internasional atas capaian pangan Indonesia.

    “Bahkan Malaysia, Amerika Serikat, hingga FAO memberikan pengakuan. Artinya, kita tidak hanya berhasil di dalam negeri, tapi juga diperhitungkan di tingkat global. Ini adalah momentum besar yang harus dijaga bersama,” jelasnya.

    Karena itu, DPD RI berkomitmen penuh untuk mendukung Kementan dan pemerintah daerah. “Kami akan terus mengawal kebijakan pangan ini dari pusat hingga daerah. Petani harus ditempatkan sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar objek. Dengan sinergi semua pihak, swasembada pangan bukan hanya mimpi, tetapi kenyataan yang akan membawa bangsa ini lebih berdaulat dan sejahtera,” pungkas Tamsil.

    Dalam kunjungan kerja tersebut, Mentan juga menyerahkan bantuan berupa benih, alsintan, serta fasilitas pascapanen kepada petani. Bantuan ini diharapkan semakin meningkatkan produksi pangan daerah dan memperkuat kemandirian bangsa dalam menghadapi tantangan global.

  • Ikan Hiu Goreng Jadi Menu MBG di Ketapang, Dokter: Merkurinya Tinggi

    Ikan Hiu Goreng Jadi Menu MBG di Ketapang, Dokter: Merkurinya Tinggi

    Jakarta

    Sebanyak 25 orang yang terdiri dari 24 siswa dan satu orang guru di SDN 12 Benua Kayong, Ketapang, Kalimantan Barat, keracunan makanan program makan bergizi gratis. Pemicunya disebut-sebut karena menu ikan hiu goreng yang disajikan sebagai menu MBG.

    Menanggapi kejadian tersebut, dokter spesialis anak dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Yogi Prawira, SpA mengatakan ikan hiu berpotensi menyebabkan keracunan karena kandungan logam merkurinya tinggi.

    “Tentang keracunan setelah makan ikan hiu, kita tahu laut kita ini memang sangat kaya, tapi juga polutan yang ada itu berisiko menyebabkan jenis-jenis ikan tertentu mengalami akumulasi zat-zat yang sifatnya toksin, salah satunya adalah logam seperti merkuri,” ucap dr Yogi dalam konferensi pers, Kamis (25/9/2025).

    Ada beberapa jenis ikan yang memang tinggi kandungan merkuri, salah satunya hiu. Sehingga tidak disarankan untuk diberikan kepada anak sebagai menu makan.

    Efek konsumsi hiu

    Meskipun belum jelas bagaimana tingkat merkuri yang tinggi memengaruhi hiu, dampaknya terhadap manusia sudah diketahui secara luas. Lembaga-lembaga seperti European Commission (EC), the World Health Organization (WHO), the United States Environmental Protection Agency (EPA) and the Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA) menyarankan ibu hamil dan anak-anak untuk menghindari konsumsi daging hiu karena paparan merkuri yang berkepanjangan dapat menyebabkan kerusakan otak dan sistem saraf pusat, serta mengganggu perkembangan kognitif janin.

    Selain itu dalam penelitian berjudul Increase of blood mercury level with shark meat consumption: A repeated-measures study before and after Chuseok, Korean holiday, penulis studi menemukan konsumsi daging hiu secara signifikan meningkatkan kadar merkuri dalam darah partisipan.

    Risiko kesehatan yang terkait dengan peningkatan kadar merkuri bervariasi bergantung pada beberapa faktor, termasuk kelompok populasi, tingkat paparan, serta bentuk dan jenis merkuri. Selain itu, laporan literatur telah mengaitkan paparan metilmerkuri dengan berbagai dampak kesehatan seperti imunotoksisitas, karsinogenisitas, dan efek kardiovaskular.

    Halaman 2 dari 2

    (kna/up)

  • Kepala BMKG Minta Petani Siap Siaga Petaka Iklim, Cara Lama “Tak Laku”

    Kepala BMKG Minta Petani Siap Siaga Petaka Iklim, Cara Lama “Tak Laku”

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas, dengan suhu rata-rata global mencapai 1,55 °C. Angka ini di atas suhu era pra-industri (1850-1900).

    Anomali suhu tersebut, ujarnya, melampaui ambang (1,5°C) yang telah ditetapkan tahun 2015 silam dalam perjanjian Paris. Fakta ini, imbuh dia, merupakan alarm keras bagi seluruh umat manusia. Termasuk Indonesia, salah satunya dalam hal ini menyangkut produksi pangan.

    Di Indonesia, lanjutnya, tahun 2024 juga tercatat sebagai tahun terpanas sejak pengamatan tahun 1981. Dengan suhu rata-rata 27,5 °C dan anomali 0,8 °C terhadap normal 1991-2020.

    “Tantangan perubahan iklim sudah di depan mata dan semakin terasa dampaknya pada sektor pertanian. Sepuluh tahun terakhir adalah periode terpanas dalam sejarah pencatatan iklim. Tahun 2024 bahkan menjadi tahun terpanas dengan anomali suhu global 1,55 °C di atas era pra-industri. Kondisi ini memaksa kita mengambil langkah adaptasi nyata, apalagi sektor pertanian sangat rentan,” katanya dalam keterangan di situs resmi, dikutip Kamis (25/9/2025).

    Karena itu, Dwikorita menambahkan, perlu langkah mitigasi untuk menghadapi ancaman perubahan iklim yang kian nyata. Salah satunya, sebutnya, BMKG menggencarkan Sekolah Lapang Iklim (SLI), program yang membekali petani dengan pengetahuan dan pendampingan agar siap beradaptasi.

    Melalui SLI, jelasnya, BMKG tidak hanya memberikan edukasi, tetapi juga langkah aksi adaptasi strategis.

    “Petani diajarkan membaca dan memahami prediksi iklim, menyesuaikan pola tanam, memilih varietas sesuai kondisi musim, hingga mengoptimalkan teknik pemanenan air hujan. Dengan begitu, risiko gagal panen dapat ditekan,” terangnya.

    “Karena perubahan iklim, saat ini titi mongso (titimangsa/ pranata mangsa/ tradisi sistem penanggalan pertanian di Jawa) menjadi tidak relevan. Padahal petani di Indonesia terbiasa dengan titi mongso,” ujar Dwikorita.

    BMKG pun telah menggelar SLI Tematik di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (22/9/2025) lalu. Disebutkan, SLI tematik ini diikuti 60 peserta yang terdiri dari petani hortikultura, penyuluh pertanian lapangan (PPL), pengendali organisme pengganggu tanaman (POPT), kelompok wanita tani, hingga petani milenial mengikuti kegiatan SLI di pendopo kalurahan Kedungpoh ini dengan antusias.

    Turut hadir dalam kesempatan tersebut Wakil Bupati Gunungkidul, Joko Parwoto, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Darmadi Sudibyo Direktur Layanan Iklim BMKG, Marjuki dan Kepala Stasiun Klimatologi BMKG Sleman Reni Karningtyas.

    “Petani harus mampu membaca cuaca, memahami iklim, dan menyesuaikan pola tanam agar bisa mengurangi risiko gagal panen. Inilah kontribusi BMKG untuk mendukung swasembada pangan sebagaimana tercantum dalam Asta Cita Presiden,” kata Dwikorita.

    “Sekolah Lapang Iklim adalah jembatan antara data iklim dan strategi pertanian. Ini adalah aksi nyata BMKG untuk mendukung ketahanan pangan nasional di tengah tantangan perubahan iklim,” ucapnya.

    Dwikorita mengungkapkan, kini kondisi bumi cukup mengkhawatirkan akibat perubahan iklim. Apabila manusia, semua pihak, tidak berhasil mengendalikan kecepatan kenaikan suhu permukaan bumi atau memitigasi perubahan iklim tersebut.

    “Kondisi ini dipicu kombinasi pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca serta anomali iklim regional. Situasi ini menjadi tantangan serius bagi sektor pertanian yang sangat rentan terhadap iklim,” ujarnya.

    “Tidak hanya bencana yang secara intensitas dan durasi semakin bertambah, namun juga krisis air yang juga berimbas pada berbagai sektor kehidupan. Salah satunya yang terdampak adalah sektor pertanian. Food and Agriculture Organization (FAO) memprediksi dunia akan mengalami ancaman krisis pangan pada tahun 2050 mendatang” sambung Dwikorita.

    Prediksi Musim Hujan di DI Yogyakarta

    Dalam kesempatan tersebut, Dwikorita menjabarkan prakiraan awal musim hujan di DIY yang diperkirakan masuk pada dasarian ketiga Oktober 2025.

    “Dengan sifat hujan yang normal, petani bisa menyesuaikan pola tanam lebih tepat waktu sekaligus memaksimalkan pemanfaatan air hujan,” terang Dwikorta.

    Sebelumnya, Dwikorita juga telah meminta petani melakukan penyesuaian musim tanam. Menyusul adanya proyeksi terbaru mengenai musim hujan tahun 2025/2026.

    BMKG memprediksi, musim hujan tahun 2025/2026 akan tiba lebih cepat, dengan estimasi masa puncak bervariasi.

    Menurut Dwikorita, sebagian wilayah di Indonesia telah memasuki musim hujan sejak Agustus 2025. Dan bertahap akan meluas ke sebagian besar wilayah RI pada periode September-November 2025.

    Dia pun mengingatkan agar mengantisipasi dampak-dampak yang timbul saat musim hujan.

    “Secara umum, sifat hujan pada musim hujan 2025/2026 diprediksikan berada pada kategori normal (69,5%), artinya curah hujan musiman tidak jauh berbeda dengan biasanya. Namun, terdapat 193 ZOM (27,6%) yang berpotensi mengalami musim hujan dengan sifat atas normal, di antaranya sebagian besar Jawa Barat, sebagian Jawa Tengah, beberapa wilayah Sulawesi, serta Maluku dan Papua. Selain itu, terdapat pula 20 ZOM (2,9%) yang diprediksi mengalami musim hujan bawah normal,” kata Dwikorita dalam keterangannya, dikutip Senin (15/9/2025).

    Foto: BMKG gelar Sekolah Lapang Iklim (SLI) Tematik di Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta, 22 September 2025. (Dok. BMKG)
    BMKG gelar Sekolah Lapang Iklim (SLI) Tematik di Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta, 22 September 2025. (Dok. BMKG)

    (dce/dce)

    [Gambas:Video CNBC]