Organisasi: FAO

  • Bapanas Ingatkan Gen Z Soal Dampak Bahaya Pemborosan Pangan

    Bapanas Ingatkan Gen Z Soal Dampak Bahaya Pemborosan Pangan

    Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pangan Nasional (Bapanas) menyebut perilaku pemborosan pangan bisa mengancam ketahanan pangan nasional.

    Direktur Kewaspadaan Pangan Bapanas Nita Yulianis menuturkan bahwa upaya menurunkan pemborosan pangan menjadi tantangan bagi Indonesia. Pasalnya, kata dia, dampak dari pemborosan pangan bersifat multiaspek.

    Nita menjelaskan bahwa pemborosan pangan tidak hanya berdampak pada lingkungan, melainkan juga berimbas pada ekonomi dan ketahanan pangan nasional. Untuk itu, menurutnya, upaya untuk menurunkan perilaku pemborosan pangan menjadi perhatian semua pihak.

    “Berbagai riset baik skala global maupun nasional menunjukkan bahwa perilaku pemborosan pangan berdampak buruk pada ketahanan pangan kita, bahkan juga pada lingkungan dan ekonomi,” kata Nita dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (16/3/2025).

    Nita menilai generasi muda, khususnya milenial dan gen Z, memiliki peran penting dalam menciptakan kebiasaan konsumsi yang lebih bertanggung jawab untuk menurunkan angka pemborosan pangan.

    Menurut data Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) pada 2011, secara global sepertiga dari pangan yang diproduksi atau 1,3 miliar ton pangan terbuang.

    Bahkan, di Indonesia sendiri, data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas pada 2021 mencatat timbulan susut dan sisa pangan (SSP) mencapai 23–48 juta ton per tahun. Angkanya setara dengan 115–184 kilogram per kapita per tahun.

    Mengacu data tersebut, jika pangan tersebut diselamatkan dapat memberi makan 61–125 juta orang, atau 29–47% dari total populasi Indonesia. Serta, dampak terhadap lingkungan berkontribusi terhadap 7,29% emisi gas rumah kaca. Selain itu, secara ekonomi, kehilangan pangan ini diperkirakan mencapai Rp213–551 triliun per tahun.

    Teranyar, selama 2024, sekitar 1.298,7 ton pangan terselamatkan dan disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan melalui kolaborasi dengan berbagai penggiat pangan.

    Lebih lanjut, Nita menyampaikan bahwa Bapanas berkomitmen untuk menyelamatkan pangan melalui dua pendekatan utama. Rinciannya, mencegah pemborosan pangan melalui penetapan kebijakan dan sosialisasi/promosi/advokasi. ”Dan fasilitasi aksi penyelamatan pangan berkolaborasi dengan mitra donatur dan bank pangan/penggiat penyelamatan pangan,” pungkasnya.

  • Gawat, Jeruk Asal China Banjiri Pasar Indonesia – Page 3

    Gawat, Jeruk Asal China Banjiri Pasar Indonesia – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Pakar Buah Tropis IPB University, Prof Sobir, menyampaikan bahwa jeruk asal China yang membanjiri pasar Indonesia telah berdampak pada penurunan pembelian dan harga jeruk petani lokal.

    Menurut Prof Sobir, jeruk China lebih menarik karena warna yang merata dan kulit yang tebal, sehingga mengurangi persepsi konsumen terhadap kesukaan atas jeruk lokal.

    Selain itu, jeruk asal China juga lebih murah dan lebih banyak di pasar Indonesia dibandingkan dengan jeruk lokal karena produktivitasnya yang tinggi. Data Food and Agriculture Organization tahun 2023, produktivitas buah jeruk China mencapai 19,5 ton/ha, jauh mengungguli Indonesia yang hanya 3,8 ton/ha.

    Sementara jeruk asal Indonesia, tipe jeruk didominasi oleh tipe jeruk siam dengan warna utamanya kehijauan dengan kulit tipis yang agak susah dikupas. Dari segi rasa, jeruk lokal juga agak asam,” jelasnya.

    Prof Sobir juga menyampaikan bahwa petani jeruk lokal selama ini menghadapi sejumlah tantangan, seperti serangan penyakit citrus vein phloem degeneration (CVPD), tidak efisiennya skala usaha, kurangnya best practises, dan kualitas benih yang kurang baik.

    Untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas jeruk lokal, Prof Sobir menyarankan agar pemerintah melakukan penerapan karantina yang lebih ketat untuk jeruk impor yang kurang baik mutunya, serta melakukan pendampingan terhadap petani jeruk yang sudah melakukan budi daya.

    Selain itu, Prof Sobir juga menekankan pentingnya kerja sama antara petani, pemerintah, dan industri untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas jeruk lokal.

    “Pemerintah mesti melakukan pembinaan terhadap petani, mengawal penyediaan bibit bermutu, menyediakan teknologi budi daya berbasis agroklimat spesifik (lingkungan tumbuh), dan mengembangkan kelembagaan yang kuat,” ucapnya.

     

     

  • Melihat Pengolahan Sagu di Kampung Yoboi Jayapura, dari Manual ke Modern
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        1 Maret 2025

    Melihat Pengolahan Sagu di Kampung Yoboi Jayapura, dari Manual ke Modern Regional 1 Maret 2025

    Melihat Pengolahan Sagu di Kampung Yoboi Jayapura, dari Manual ke Modern
    Tim Redaksi
    JAYAPURA, KOMPAS.com
    – Masyarakat Adat Kampung Yoboi, Distrik Sentani, Kabupaten
    Jayapura
    , Papua, mengadopsi cara-cara baru untuk mengubah pohon sagu menjadi produk bernilai tinggi.
    Pengolahan sagu
    yang biasanya memakan waktu beberapa hari, menjadi 5 jam. Pangsa pasar produksi sagu itu juga semakin luas.
    Papua memiliki perkebunan sagu terbesar kedua di Indonesia, namun mayoritas
    pengolahan sagu
    masih dilakukan secara tradisional atau manual dengan memakan waktu lama.
    Akibatnya, produk yang dihasilkan berkualitas rendah dan memiliki manfaat yang terbatas bagi penghidupan lokal dan
    ketahanan pangan
    .
    Namun kini, anggota masyarakat adat di Kampung Yoboi dapat mengolah sagu menjadi produk bernilai tambah, memenuhi standar keamanan pangan dengan menggunakan unit pengolahan sagu skala kecil, yang dibangun dengan dukungan proyek kerja sama Kementerian Pertanian Republik Indonesia dan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO of the UN) dan kini telah dimiliki oleh masyarakat.
    FAO dan Analisis Papua Strategis telah melatih 30 anggota masyarakat untuk mengoperasikan unit secara berkelanjutan dan mendiversifikasi produk turunan sagu.
    “Dengan unit mesin pengolahan sagu, ekonomi masyarakat Yoboi jadi mandiri. Ini solusi tepat bagi warga Yoboi yang memiliki dusun sagu yang luas di Jayapura,” kata Kepala Kampung Yoboi, Sefanya Walli, Sabtu (1/3/2025).
    Sagu, makanan pokok yang sakral bagi masyarakat adat, telah dipertimbangkan sebagai sumber karbohidrat alternatif untuk turut memastikan ketahanan dan keanekaragaman pangan.
    “Masih diperlukan upaya untuk memastikan produk sagu bisa diterima dan dikonsumsi oleh masyarakat secara lebih luas,” ujar Elvyrisma Nainggolan, Ketua Kelompok Pemasaran Hasil Perkebunan pada Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian.
    Menurutnya, peran kelompok kampung penghasil sagu menjadi penting dan perlu diberdayakan, sehingga bisa mengolah sagu menjadi tepung yang selanjutnya bisa menjadi kue, hingga mi berbahan sagu, seperti di Yoboi.
    “Dengan begitu, harapannya sagu yang dihasilkan
    masyarakat adat Yoboi
    dapat meluas di pasar nusantara, bahkan ke depan akan mendunia,” ujar Elvyrisma.
    Untuk mempromosikan produk berbasis sagu, hari ini digelar
    Festival Sagu
    pertama di Yoboi, Jayapura. Festival ini menghubungkan produsen dan konsumen.
    Selama festival, perempuan dan anggota
    Masyarakat Adat Yoboi
    lainnya mendemonstrasikan hidangan berbasis sagu, seperti mi dan beras analog, yang menunjukkan potensi pasar mereka.
    Lebih dari 100 orang berpartisipasi dalam festival ini, termasuk anggota masyarakat adat, perwakilan bisnis, dan masyarakat Jayapura.
    Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Papua Matheus Philep Koibur mengapresiasi
    festival sagu
    yang telah menunjukkan potensi besar komoditas sagu dalam memenuhi kebutuhan pangan, pelestarian lingkungan, dan peningkatan ekonomi masyarakat.

    Festival sagu
    telah membuka ruang besar untuk mempromosikan sagu kami ke pelaku industri yang kemudian bisa mengolahnya menjadi produk bernilai tinggi,” katanya.
    “Lebih dari itu, masyarakat di kabupaten penghasil sagu lainnya bisa diharapkan bisa termotivasi untuk mulai mencontoh langkah masyarakat adat Yoboi,” lanjutnya.
    Dengan penerapan teknologi yang diadaptasi dan hubungan pasar yang tepat, masyarakat adat dapat berpartisipasi dan memperoleh manfaat ekonomi dari rantai nilai sagu utama.
    “Mereka juga dapat meningkatkan kesadaran tentang pengolahan sagu berkelanjutan yang dapat berkontribusi pada ketahanan dan diversifikasi pangan serta ketahanan ekonomi bagi komunitas lainnya,” kata Rajendra Aryal, Perwakilan FAO di Indonesia dan Timor Leste.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Di Era Presiden Prabowo, Fadli Zon Yakin Indonesia Capai Swasembada Pangan seperti Orba – Halaman all

    Di Era Presiden Prabowo, Fadli Zon Yakin Indonesia Capai Swasembada Pangan seperti Orba – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Fadli Zon, menyatakan keyakinannya bahwa target swasembada pangan yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto akan tercapai, seperti yang pernah diraih pada era Orde Baru.

    Dia menilai, kesempatan untuk mencapainya semakin terbuka di bawah kepemimpinan Prabowo yang memiliki komitmen kuat terhadap sektor pertanian.

    Hal itu disampaikannya dalam acara Pembukaan Sekolah Tani Muda II di Hotel Sultan, Jakarta, Jumat (21/2/2025).

    “Saya yakin ini adalah kesempatan yang sangat berharga. Di bawah pemerintahan Pak Prabowo Subianto, kita bisa mewujudkan swasembada pangan, seperti yang pernah kita capai di masa lalu,” kata Fadli.

    Fadli mengingatkan bahwa Indonesia pernah mencatatkan swasembada pangan pada tahun 1984, di mana Presiden Soeharto menerima penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) atas pencapaian tersebut.

    Penghargaan FAO merupakan prestasi tertinggi dalam bidang pangan dan pertanian.

    “Pada tahun 1984, Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto berhasil meraih swasembada pangan dan mendapatkan penghargaan dari FAO. Namun, pencapaian tersebut belum dapat diulang secara berkelanjutan,” ujar Fadli.

    Fadli optimis bahwa pemerintahan Prabowo dapat mengulang kesuksesan tersebut, mengingat komitmen kuat Presiden Prabowo terhadap sektor pertanian dan ketahanan pangan.

    Namun, ia juga menyadari bahwa tantangan untuk mencapai swasembada pangan tidaklah mudah, terutama dengan adanya perubahan iklim global yang semakin tidak menentu.

    “Pencapaian swasembada pangan sangat penting, apalagi di tengah tantangan global yang luar biasa. Salah satunya adalah perubahan iklim yang semakin sering terjadi dan membawa ketidakpastian,” ucap Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu.

    Selain perubahan iklim, Fadli juga mengingatkan tentang tantangan global lainnya, seperti konflik antara Rusia dan Ukraina yang turut memengaruhi ketersediaan pangan dan ketahanan pangan global.

    Kendati demikian, Fadli tetap optimis bahwa Indonesia dapat mengatasi tantangan tersebut dan mewujudkan swasembada pangan di masa depan.

  • Krisis Beras Imbas Cuaca Ekstrem: Jepang Lepas 210.000 Ton Cadangan, RI Bagaimana?

    Krisis Beras Imbas Cuaca Ekstrem: Jepang Lepas 210.000 Ton Cadangan, RI Bagaimana?

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Pertanian (Kementan) menyoroti krisis pangan beras yang terjadi di Jepang, Malaysia, hingga Filipina akibat cuaca ekstrem.

    Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menilai kejadian darurat pangan di Jepang, Malaysia, hingga Filipina menjadi peringatan bagi Indonesia untuk bertindak cepat dalam menjaga ketahanan pangan.

    Menurutnya, Indonesia perlu mempercepat swasembada beras sekaligus memperkuat cadangan pangan nasional guna mengantisipasi ancaman krisis pangan global.

    Pasalnya di Jepang, untuk pertama kalinya dalam sejarah, Negeri Sakura itu melepaskan 210.000 ton beras dari cadangan darurat satu juta ton akibat lonjakan harga ekstrem.

    Amran mengatakan kenaikan harga beras di Jepang mencapai 82% dalam setahun, yakni dari 2.023 yen per kilogram atau sekitar Rp215.423 menjadi 3.688 yen per kilogram atau sekitar Rp393.000.

    “Ini dampak langsung dari gelombang panas ekstrem yang merusak produksi dan mengganggu distribusi. Kondisi ini bisa terjadi di mana saja jika negara tidak memiliki cadangan pangan yang memadai,” kata Amran dalam keterangan tertulis, Jumat (21/2/2025).

    Kondisi serupa juga terjadi di Malaysia, Amran mengatakan kelangkaan beras lokal memicu kepanikan di masyarakat. Pasokan yang menipis menyebabkan lonjakan harga, sementara harga beras impor yang lebih tinggi semakin membebani rakyat.

    “Kondisi di Malaysia menunjukkan bahwa terganggunya stok pangan bisa berakibat pada keresahan sosial. Pangan bukan sekadar kebutuhan, tetapi juga faktor stabilitas negara,” ujarnya.

    Sebelumnya, Filipina juga telah menetapkan status darurat ketahanan pangan sejak awal Februari 2025 setelah inflasi beras mencapai 24,4% yang merupakan angka tertinggi dalam 15 tahun terakhir. 

    Menurut Amran, negara yang bergantung pada impor beras seperti Filipina dan Malaysia sangat rentan ketika pasokan global terganggu. “Ini menjadi pelajaran berharga bahwa ketergantungan pada impor bukanlah solusi jangka panjang. Indonesia harus memperkuat produksi dalam negeri,” ujarnya.

    Sementara itu, Badan Pangan Dunia (FAO) melaporkan lebih dari 864 juta orang di dunia mengalami kerawanan pangan parah pada 2024, di mana Asia dan Afrika sebagai wilayah terdampak utama yang dipicu oleh perubahan iklim, konflik, dan ketidakstabilan.

    “Ini bukan sekadar peringatan, tapi bukti nyata bahwa pangan adalah isu strategis. Indonesia harus memastikan ketahanan pangan sejak sekarang,” imbuhnya.

    Untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga beras, Amran menyampaikan Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan Perum Bulog untuk menyerap 3 juta ton beras dari petani dengan acuan HPP gabah Rp6.500 per kilogram dan membeli beras Rp12.000 per kilogram.

    “Ini langkah strategis. Dengan penyerapan massal, kita tidak hanya memastikan petani mendapatkan harga yang layak, tapi juga memperkuat stok nasional guna menghadapi ketidakpastian global. Indonesia saat ini dalam kondisi pangan yang kuat,” ungkapnya.

    Lebih lanjut, Amran juga menegaskan bahwa swasembada beras bukan hanya target, melainkan sebuah keharusan bagi kemandirian bangsa.

    “Kita tidak ingin rakyat antre beras seperti di Filipina atau panik seperti di Malaysia dan Jepang. Dengan cadangan yang cukup dan sistem distribusi yang tangguh, Indonesia bisa menjadi contoh dalam ketahanan pangan global,” tandasnya. ‎

    Potensi Beras

    Dalam catatan Bisnis, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya potensi produksi beras sebanyak 8,67 juta ton pada Januari—Maret 2025.

    Produksi beras di Indonesia berpotensi mengalami lonjakan hingga 52,32% dibandingkan Januari—Maret 2024. Pada periode itu, produksi beras hanya mencapai 5,69 juta ton. Ini artinya, potensi produksi beras mencapai 2,98 juta ton.

    “Potensi produksi beras sepanjang Januari—Maret tahun ini diperkirakan akan mencapai 8,67 juta ton, atau mengalami peningkatan sebesar 2,98 juta ton atau 52,32% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu,” kata Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dalam Rilis BPS, Senin (3/2/2025).

    Namun, produksi beras sepanjang Januari—Maret 2025 ini merupakan angka potensi dengan menggunakan angka potensi luas panen Januari—Maret 2025 dan rata-rata produktivitas subround I 2022–2024.

    Adapun, potensi luas panen padi sepanjang Januari—Maret 2025 diperkirakan akan mencapai 2,83 juta hektare. Luas panen padi sepanjang periode itu diperkirakan mengalami peningkatan 0,97 juta hektare atau 52,08% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

  • Krisis Pangan Melanda Jepang hingga Malaysia, Bagaimana dengan Indonesia? Ini Kata Mentan Amran  – Halaman all

    Krisis Pangan Melanda Jepang hingga Malaysia, Bagaimana dengan Indonesia? Ini Kata Mentan Amran  – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dalam rangka mengantisipasi ancaman krisis pangan global yang dipicu oleh perubahan iklim dan ketidakstabilan distribusi, Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menegaskan pentingnya Indonesia mempercepat swasembada beras sekaligus memperkuat cadangan pangan nasional. 

    Menurutnya, kejadian darurat pangan di Jepang, Malaysia, hingga Filipina menjadi alarm bagi Indonesia untuk bertindak cepat dalam menjaga ketahanan pangan.

    Mentan Andi Amran menyoroti kebijakan terbaru Pemerintah Jepang yang untuk pertama kalinya dalam sejarah, melepaskan 210.000 ton beras dari cadangan darurat satu juta ton akibat lonjakan harga ekstrem. 

    “Kenaikan harga beras di Jepang mencapai 82 persen dalam setahun, dari ¥2.023/kg (Rp215.423) menjadi ¥3.688/kg (Rp393.000). Ini dampak langsung dari gelombang panas ekstrem yang merusak produksi dan mengganggu distribusi. Kondisi ini bisa terjadi di mana saja jika negara tidak memiliki cadangan pangan yang memadai,” ujarnya.

    Sementara di Malaysia, kelangkaan beras lokal memicu kepanikan di masyarakat. Pasokan yang menipis menyebabkan lonjakan harga, sementara harga beras impor yang lebih tinggi semakin membebani rakyat.

    “Kondisi di Malaysia menunjukkan bahwa terganggunya stok pangan bisa berakibat pada keresahan sosial. Pangan bukan sekadar kebutuhan, tetapi juga faktor stabilitas negara,” jelas Mentan Amran. 

    Di media sosial, gelombang protes dari warga Malaysia memang terus meningkat. Warga menuntut tindakan nyata dari pemerintah untuk mengatasi krisis ini, dan mengurangi ketergantungan pada beras impor.

    Sebelumnya, Filipina telah menetapkan status darurat ketahanan pangan sejak awal Februari 2025 setelah inflasi beras mencapai 24,4%—angka tertinggi dalam 15 tahun terakhir. 

    “Negara yang bergantung pada impor beras seperti Filipina dan Malaysia sangat rentan ketika pasokan global terganggu. Ini menjadi pelajaran berharga bahwa ketergantungan pada impor bukanlah solusi jangka panjang. Indonesia harus memperkuat produksi dalam negeri,” tegas Amran.

    Badan Pangan Dunia (FAO) melaporkan bahwa lebih dari 864 juta orang di dunia mengalami kerawanan pangan parah pada 2024, dengan Asia dan Afrika sebagai wilayah terdampak utama. Perubahan iklim, konflik, dan ketidakstabilan ekonomi disebut sebagai pemicu utama. 

    “Ini bukan sekadar peringatan, tapi bukti nyata bahwa pangan adalah isu strategis. Indonesia harus memastikan ketahanan pangan sejak sekarang,” kata Amran.

    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, harga beras medium di Indonesia stabil di kisaran Rp13.000-Rp14.000/kg, lebih rendah dibanding puncak harga 2024 yang sempat mencapai Rp16.000/kg. 

    “Stabilitas ini patut disyukuri, tapi kita tidak boleh berpuas diri. Ke depan, kita harus memperkuat cadangan beras nasional agar siap menghadapi segala kemungkinan, termasuk dampak perubahan iklim yang semakin nyata,” ungkapnya.

    Menurut BPS, pada Februari 2024, harga beras di Indonesia mengalami kenaikan dan mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah. Harga beras di tingkat penggilingan pada Februari 2024 tercatat di level Rp14.274/kg. 

    “Kondisi ini menjadi pengingat bahwa tanpa cadangan yang cukup dan mekanisme stabilisasi yang kuat, kita bisa menghadapi lonjakan harga yang lebih besar di masa depan,” tambah Amran.

    Untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga beras, Presiden 
    Prabowo Subianto telah menginstruksikan Perum Bulog agar segera menyerap 3 juta ton beras dari petani dengan acuan HPP gabah Rp.6.500/kg dan membeli beras Rp.12.000/kg agar menjaga semangat petani untuk bertani.

    “Ini langkah strategis. Dengan penyerapan massal, kita tidak hanya memastikan petani mendapatkan harga yang layak, tapi juga memperkuat stok nasional guna menghadapi ketidakpastian global. Indonesia saat ini dalam kondisi pangan yang kuat,” papar Amran.

    Selain itu, Kementan terus mendorong sinergi dengan kementerian lain dan pemerintah daerah untuk memastikan distribusi beras berjalan lancar dan minim kebocoran. 

    “Kami juga mengajak masyarakat mendukung program cetak sawah baru serta peningkatan produktivitas melalui teknologi pertanian modern,” tambahnya.

    Amran menutup dengan menegaskan bahwa swasembada beras bukan sekadar target, melainkan sebuah keharusan bagi kemandirian bangsa.

    “Kita tidak ingin rakyat antre beras seperti di Filipina atau panik seperti di Malaysia dan Jepang. Dengan cadangan yang cukup dan sistem distribusi yang tangguh, Indonesia bisa menjadi contoh dalam ketahanan pangan global,” pungkasnya. ‎

  • Sebut Jepang-Malaysia Krisis Pangan, Mentan Beberkan Kondisi RI

    Sebut Jepang-Malaysia Krisis Pangan, Mentan Beberkan Kondisi RI

    Jakarta

    Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengungkap telah terjadi krisis pangan di sejumlah negara tetangga seperti Malaysia, Filipina dan Jepang. Ia menyebut harga beras di tiga negara tersebut mengalami lonjakan yang sangat signifikan.

    Amran mengatakan kebijakan terbaru Pemerintah Jepang yang untuk pertama kalinya dalam sejarah, melepaskan 210.000 ton beras dari cadangan darurat satu juta ton akibat lonjakan harga ekstrem. Menurutnya kenaikan harga beras di negara itu hingga 82%.

    “Kenaikan harga beras di Jepang mencapai 82% dalam setahun, dari ¥2.023/kg (Rp 215.423) menjadi ¥3.688/kg (Rp 393.000). Ini dampak langsung dari gelombang panas ekstrem yang merusak produksi dan mengganggu distribusi. Kondisi ini bisa terjadi di mana saja jika negara tidak memiliki cadangan pangan yang memadai,” kata dia dalam keterangannya, Jumat (21/2/2025).

    Sementara di Malaysia, kelangkaan beras lokal memicu kepanikan di masyarakat. Pasokan yang menipis menyebabkan lonjakan harga. Di sisi lain harga beras impor kini lebih tinggi.

    Menurutnya, di media sosial menunjukkan gelombang protes dari warga Malaysia memang terus meningkat. Warga menuntut tindakan nyata dari pemerintah untuk mengatasi krisis ini, dan mengurangi ketergantungan pada beras impor.

    “Kondisi di Malaysia menunjukkan bahwa terganggunya stok pangan bisa berakibat pada keresahan sosial. Pangan bukan sekadar kebutuhan, tetapi juga faktor stabilitas negara,” jelas Amran.

    Kemudian, Filipina juga telah menetapkan status darurat ketahanan pangan sejak awal Februari 2025 setelah inflasi beras mencapai 24,4%. Angka inflasi tertinggi dalam 15 tahun terakhir.

    “Negara yang bergantung pada impor beras seperti Filipina dan Malaysia sangat rentan ketika pasokan global terganggu. Ini menjadi pelajaran berharga bahwa ketergantungan pada impor bukanlah solusi jangka panjang. Indonesia harus memperkuat produksi dalam negeri,” ucap Amran.

    Sementara, Badan Pangan Dunia (FAO) melaporkan bahwa lebih dari 864 juta orang di dunia mengalami kerawanan pangan parah pada 2024, dengan Asia dan Afrika sebagai wilayah terdampak utama. Perubahan iklim, konflik, dan ketidakstabilan ekonomi disebut sebagai pemicu utama.

    “Ini bukan sekadar peringatan, tapi bukti nyata bahwa pangan adalah isu strategis. Indonesia harus memastikan ketahanan pangan sejak sekarang,” tutur Amran.

    Kondisi di Indonesia

    Untuk itu, dalam rangka mengantisipasi ancaman krisis pangan global yang dipicu oleh perubahan iklim dan ketidakstabilan distribusi, Amran menegaskan pentingnya Indonesia mempercepat swasembada beras dan memperkuat cadangan pangan nasional. Menurutnya, kejadian darurat pangan di Jepang, Malaysia, hingga Filipina menjadi alarm bagi Indonesia untuk bertindak cepat dalam menjaga ketahanan pangan

    Amran mengungkap, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, harga beras medium di Indonesia stabil di kisaran Rp 13.000-Rp 14.000/kg, lebih rendah dibanding puncak harga 2024 yang sempat mencapai Rp 16.000/kg.

    “Stabilitas ini patut disyukuri, tapi kita tidak boleh berpuas diri. Ke depan, kita harus memperkuat cadangan beras nasional agar siap menghadapi segala kemungkinan, termasuk dampak perubahan iklim yang semakin nyata,” ungkapnya.

    Lebih lanjut, mengutip data BPS, pada Februari 2024, harga beras di Indonesia mengalami kenaikan dan mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah. Harga beras di tingkat penggilingan pada Februari 2024 sempat di level Rp 14.274/kg.

    “Kondisi ini menjadi pengingat bahwa tanpa cadangan yang cukup dan mekanisme stabilisasi yang kuat, kita bisa menghadapi lonjakan harga yang lebih besar di masa depan,” tambah Amran.

    Untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga beras, Amran menegaskan, Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan Perum Bulog agar segera menyerap 3 juta ton beras dari petani dengan acuan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah Rp 6.500/kg dan membeli beras Rp 12.000/kg agar menjaga semangat petani untuk bertani.

    “Ini langkah strategis. Dengan penyerapan massal, kita tidak hanya memastikan petani mendapatkan harga yang layak, tapi juga memperkuat stok nasional guna menghadapi ketidakpastian global. Indonesia saat ini dalam kondisi pangan yang kuat,” papar Mentan Amran.

    Selain itu, pihaknya juga terus mendorong sinergi dengan kementerian lain dan pemerintah daerah untuk memastikan distribusi beras berjalan lancar dan minim kebocoran. Amran pun menegaskan bahwa swasembada beras bukan sekadar target, melainkan sebuah keharusan bagi kemandirian bangsa.

    “Kita tidak ingin rakyat antre beras seperti di Filipina atau panik seperti di Malaysia dan Jepang. Dengan cadangan yang cukup dan sistem distribusi yang tangguh, Indonesia bisa menjadi contoh dalam ketahanan pangan global,” pungkasnya.

    (acd/acd)

  • Indonesia dan Malaysia Gandeng FAO Susun Standar Keberlanjutan Minyak Sawit – Halaman all

    Indonesia dan Malaysia Gandeng FAO Susun Standar Keberlanjutan Minyak Sawit – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, MEDAN – Pemerintah Indonesia dan Malaysia bekerjasama dengan FAO (Organisasi PBB untuk Pangan dan Pertanian) akan menyusun suatu standar keberlanjutan (sustainability) global untuk minyak sawit.

    Ini sebagai upaya Indonesia dan Malaysia sebagai dua negara produsen minyak sawit terbesar dunia untuk membuat standar keberlanjutan global di luar Uni Eropa.

    “Kita telah berdiskusi dengan FAO untuk melakukan studi dalam rangka menyusun suatu standar sustainability untuk palm oil dan coconut oil,” kata Wakil Menteri Luar Negeri RI Arief Havas Oegroseno dalam sambutannya pada Konferensi Internasional RSI (Rumah Sawit Indonesia) di Medan, Rabu (19/2/2025).

    Havas mengatakan, standar keberlanjutan global yang akan disusun Indonesia dan Malaysia bersama FAO ini sebagai jawaban atas berbagai tuntutan dan tekanan khususnya dari Uni Eropa kepada industri minyak sawit.

    “Nanti kita bisa menyampaikan kepada EU bahwa kita sudah memiliki standar sustainability global di tingkat FAO. Jadi bukan hanya EU yang punya standar, tetapi juga ada standar global,” kata Havas.

    Havas yang pernah menjabat sebagai Duta Besar RI di Jerman ini mengatakan, dia sudah meminta kepada CPOPC (Organisasi Negara-Negara Eksportir Minyak Sawit) untuk juga bisa merumuskan standar keberlanjutan global yang bisa dibawa ke tingkat FAO.

    “Sehingga kita memiliki standar keberlanjutan global dengan tingkat keberterimaan yang lebih luas,” kata Havas.

    Dalam paparannya di depan ratusan peserta Konferensi Internasional RSI, Havas juga menjelaskan alasan ditundanya pemberlakuan EUDR (Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa).

    “Uni Eropa tidak pernah menjelaskan secara terbuka alasan penundaan tersebut. Namun dari diskusi saya dengan sejumlah di Uni Eropa, ada lima alasan penundaan tersebut,” katanya.

    Kelima alasan penundaan EUDR, menurut Havas, yaitu pertama, EUDR terlalu kompleks, rigid dan detail sehingga jika diterapkan bisa menimbulkan implikasi-implikasi yang berat. Bahkan industri kayu Eropa juga keberatan dengan pemberlakuan EUDR. Kedua, karena tekanan politik di mana sekarang banyak partai kanan berkuasa di Eropa dan cenderung untuk menentang kebijakan-kebijakan yang complicated. Ketiga, karena tantangan operasional dan teknologi di mana teknologi satelit yang digunakan Uni Eropa bukanlah teknologi yang terlalu canggih.

    “Nyatanya satelit EU menggambarkan tarmac di Bandara Soekarno Hatta sebagai korban deforestasi. Bahkan ada kebun pisang yang dibaca satelit EU sebagai tropical forest. Ini jelas memberatkan dari sisi enforcement dan compliance,” kata Havas mencontohkan.

    Dua alasan lain penundaan EUDR, kata Havas, adalah alasan ekonomi dan kewajiban bagi petani (smallholders) yang menjadi eksportir untuk memenuhi standar yang diberlakukan bagi industri besar. Dan alasan kelima, karena adanya ketidaksesuaian antara EUDR dengan peraturan Uni Eropa lainnya.

  • 10 Komoditas Ekspor Indonesia yang Dicari di Dunia

    10 Komoditas Ekspor Indonesia yang Dicari di Dunia

    Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor Indonesia pada Oktober 2024 mencapai angka US$24,41 miliar atau sekitar Rp378,2 triliun. Nilai tersebut mengalami kenaikan sebesar 10,69 persen dibandingkan bulan sebelumnya.

    Berikut adalah 10 komoditas utama ekspor Indonesia yang memiliki permintaan tinggi di pasar global:

    Minyak kelapa sawit merupakan salah satu produk ekspor unggulan Indonesia di sektor non-migas. Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), minyak nabati ini menyumbang sekitar 10,8 persen dari total ekspor non-migas nasional. 

    Pada Juli 2024, ekspor minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil) mencapai nilai US$1,39 miliar. Permintaan tinggi terhadap minyak sawit berasal dari berbagai negara yang menggunakannya untuk industri makanan, kosmetik, dan bahan bakar nabati.

    Indonesia juga terkenal sebagai salah satu negara penghasil kopi terbesar di dunia. Data dari BPS menunjukkan bahwa ekspor kopi nasional dari Januari hingga September 2024 mencapai US$1,49 miliar dengan volume sekitar 342,33 ribu ton. 

    Jenis kopi yang paling banyak diekspor adalah robusta. Negara tujuan utama ekspor kopi Indonesia di antaranya adalah Filipina, Malaysia, dan Amerika Serikat.

    Produk perikanan seperti udang juga termasuk dalam daftar Komoditas Ekspor unggulan Indonesia. Meskipun mengalami tren penurunan dalam beberapa tahun terakhir, baik dari segi volume maupun nilai, udang tetap memberikan kontribusi besar terhadap perolehan devisa negara.  Dari Januari hingga September 2024, nilai ekspor udang mencapai US$1,19 miliar.

    Indonesia merupakan salah satu produsen karet terbesar di dunia. Berdasarkan data dari Food and Agriculture Organization (FAO), Indonesia menempati peringkat kedua setelah Thailand dalam produksi karet global. 

    Pada tahun 2021, produksi karet Indonesia mencapai 3.121.474 ton. Sementara pada Mei 2024, ekspor karet Indonesia telah menjangkau 25 negara, termasuk Amerika Serikat, Jepang, Kanada, dan Polandia.

    5. Tekstil dan Produk Tekstil (TPT)

    Produk tekstil dan pakaian jadi juga menjadi andalan ekspor Indonesia. Selama periode Januari hingga Oktober 2024, ekspor produk tekstil mencapai US$9,85 miliar dengan total produksi sekitar 1,6 juta ton. Jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2023, angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 0,89 persen.

    Ekspor barang elektronik Indonesia menunjukkan peningkatan signifikan di tahun 2024, terutama ke pasar Mesir. Contohnya, ekspor lemari pendingin ke Mesir pada periode Januari-Juni 2024 mencapai US$5,45 juta, meningkat hingga 87,87 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

    Industri furnitur Indonesia memiliki daya saing tinggi di pasar global karena bahan baku yang berkualitas serta harga yang stabil. Pada periode Januari hingga Juli 2024, ekspor produk mebel menyumbang devisa sebesar US$1,2 miliar. Produk furnitur Indonesia banyak diminati oleh negara-negara seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Timur Tengah.

    Sebagai salah satu produsen alas kaki terbesar di dunia, Indonesia memiliki nilai ekspor yang cukup tinggi dalam sektor ini. Untuk pasar Uni Eropa, ekspor alas kaki mencapai US$698,91 juta, sementara untuk Amerika Serikat mencapai US$914,76 juta. 

    Proyeksi pertumbuhan pendapatan tahunan global dari sektor alas kaki diperkirakan mencapai 3,43 persen pada periode 2024-2028. Hal ini menjadi peluang besar bagi produsen Indonesia.

    Kakao dan produk olahannya juga merupakan komoditas ekspor utama Indonesia. Data dari BPS menunjukkan bahwa ekspor kakao dari Januari hingga Oktober 2024 mencapai US$2,01 miliar, meningkat 104,58 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Negara tujuan utama ekspor kakao Indonesia meliputi India, Amerika Serikat, Cina, Malaysia, dan Australia.

    10. Komponen Kendaraan Bermotor

    Industri otomotif Indonesia juga memberikan kontribusi besar dalam sektor ekspor. Indonesia mengekspor berbagai suku cadang dan komponen kendaraan ke negara-negara besar seperti Cina, India, dan Malaysia. 

    Selain komponen kendaraan, Indonesia juga mengekspor kendaraan dalam bentuk utuh. Berdasarkan data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Indonesia berhasil mengekspor 166.176 unit kendaraan utuh pada tahun 2024.

  • RI Siaga Bencana! BMKG Warning Cuaca Ekstrem Makin Tak Terkendali

    RI Siaga Bencana! BMKG Warning Cuaca Ekstrem Makin Tak Terkendali

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, laju pemanasan global semakin cepat terjadi.

    Berbeda dari beberapa abad lalu, laju pemanasan global masih lambat dan butuh waktu ratusan bahkan jutaan tahun. Karena itu, dia mengingatkan, perlu segera melakukan perubahan perilaku.

    “Pemanasan global semakin cepat. Sebelumnya butuh waktu ratusan ribu bahkan jutaan tahun,” katanya, dikutip Rabu (29/1/2025).

    “Sekarang, dari tahun 1900 sampai tahun ini sudah capai kenaikan 1,5 derajat Celcius. Padahal kesepakatan dunia di Paris mengizinkan kenaikan 1,5 derajat Celcius tapi nanti di tahun 2100,” tambah Dwikorita.

    Akibatnya, kata dia, bencana hidrometeorologi akan semakin sering terjadi.

    “Karena siklus hidrologisnya semakin kencang, sehingga cuaca ekstrem semakin sering terjadi. Durasinya makin panjang, intensitasnya makin kuat, dan bencananya terjadi tidak hanya skala lokal tapi juga global,” tutur Dwikorita.

    Saat menyampaikan paparan kunci dalam webinar “Resolusi 2025: Mitigasi Bencana Geologi” yang ditayangkan kanal Youtube Teknik Geofisika ITS, 17 Januari 2025, Dwikorita membeberkan data Badan Meteorologi PBB (WMO), di mana tahun 2024 tercatat menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah pengamatan, melampaui tahun 2023.

    Disebutkan, secara rata-rata, sepanjang Januari-September 2024, suhu sudah memiliki anomali sebesar 1,54 plus minus 0,13 derajat Celcius, di atas rata-rata praindustri tahun 1850-1900.

    Selain itu, dalam 10 tahun terakhir (2015-2024), tercatat sebagai periode 10 tahunan terpanas yang pernah tercatat dalam 175 tahun pengamatan.

    “Diprediksi di tahun 2030, (data 2019), kenaikan suhu akan meningkat 0,5 derajat Celcius. Ternyata preediksi ini sudah terlampaui,” sebut Dwikorita.

    Dalam Proyeksi Perubahan Iklim Indonesia tahun 2020-2030 yang dibeberkannya, di masa mendatang, curah hujan pada musim kemarau akan semakin berkurang sampai 20%. Musim kemarau akan terasa lebih panas dan kering.

    “Kejadiannya hampir merata di seluruh wilayah Indonesia. Terjadi kenaikan curah hujan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hujan ekstrem semakin sering terjadi,” paparnya.

    “Terjadi juga kenaikan penurunan curah hujan di saat musim kemarau. Jadi musim kemarau makin kering, musim hujan makin basah, pokoknya makin ekstrem. Ini prediksi yang dilakukan BMKG,” jelas Dwikorita.

    Foto: enaikan Suhu Global, Paparan Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam webinar “Resolusi 2025: Mitigasi Bencana Geologi, Jumat (17/1/2025). (Dok.BMKG)
    enaikan Suhu Global, Paparan Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam webinar “Resolusi 2025: Mitigasi Bencana Geologi, Jumat (17/1/2025). (Dok.BMKG)

    Ancaman Krisis Pangan

    Di saat bersamaan, Dwikorita menambahkan, Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) juga memprediksi, dunia akan mengalami krisis pangan di kisaran tahun 2050, atau berdekatan dengan target Indonesia Emas di tahun 2045.

    Hal ini, terangnya, akan terjadi jika laju kenaikan suhu makin tidak terkendali.

    “Di masa Indonesia Emas atau di pertengahan abad, kalau perilaku kita tidak berubah, tetap memepertahankan energi fosil, tidak berubah ke energi yang lebih ramah lingkungan, maka akan terjadi krisis pangan dunia,” ujarnya.

    “Hampir seluruh dunia mengalami krisis pangan. Kita nggak bisa impor beras dan bahan lainnya karena negara lainnya juga kesulitan,” ucapnya.

    Karena itu, lanjut Dwikorita, dengan Asta Cita yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto, upaha ketahanan pangan di Indonesia diharapkan bia segera terwujud.

    “Asta Cita ini untuk menghadapi krisis pangan agar kita terhindar dari krisis pangan,” kata Dwikorita.

    (dce/dce)