Peran Diplomasi Pancasila Terhadap Konflik Thailand-Kamboja
Dewan Pakar Bidang Geopolitik dan Geostrategi BPIP RI.
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
KONFLIK
perbatasan Thailand-Kamboja yang kembali meletup hari-hari ini, karuan saja gema sejarah yang menolak diam.
Ia mengingatkan bahwa masa lalu yang tidak diselesaikan secara adil tidak pernah benar-benar berlalu; ia hanya bersembunyi di lipatan waktu, menunggu saat untuk kembali menagih.
Bentrokan bersenjata yang pecah hari-hari ini, dan sebelumnya pada 24 Juli 2025, tidak dapat dibaca semata sebagai insiden militer kontemporer, melainkan sebagai kelanjutan dari sengketa panjang yang berakar pada Perjanjian Perancis–Siam tahun 1907.
Perjanjian kolonial itu, yang lahir dari meja kekuasaan asing, meninggalkan garis batas yang ambigu—garis yang sejak awal lebih mencerminkan kepentingan imperium daripada keadilan geopolitik kawasan.
Dalam perjalanan sejarahnya, sengketa ini menemukan simbol paling rapuh sekaligus paling sakral pada Candi Preah Vihear.
Putusan Mahkamah Internasional tahun 1962, yang menempatkan candi tersebut di bawah kedaulatan Kamboja, seharusnya menjadi penutup sebuah bab.
Namun hukum internasional, betapapun rasional dan formal, tidak selalu mampu menuntaskan persoalan batin bangsa.
Di titik inilah sengketa hukum bertransformasi menjadi nasionalisme teritorial. Perbatasan tidak lagi sekadar koordinat geografis, melainkan simbol harga diri yang dibebani emosi sejarah.
Bentrokan berulang, termasuk pada periode 2008–2011, memperlihatkan bagaimana rasionalitas hukum perlahan kalah oleh narasi kebangsaan.
Setiap eskalasi menjadi pernyataan identitas, setiap tembakan menjadi simbol bahwa kompromi dianggap sebagai kekalahan.
Dalam situasi seperti ini, konflik menjadi mudah tersulut dan semakin sulit diredam oleh mekanisme hukum semata.
Namun, justru di tengah kebuntuan inilah Diplomasi
Pancasila
menemukan relevansinya. Berangkat dari prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab, Diplomasi Pancasila tidak memulai rekonsiliasi dari peta dan garis batas, melainkan dari manusia dan martabatnya.
Ia menolak logika zero-sum yang melihat kemenangan satu pihak sebagai kekalahan pihak lain.
Sebaliknya, Diplomasi Pancasila menawarkan jalan dialog yang berangkat dari empati, musyawarah, dan kesadaran bahwa perdamaian kawasan adalah kepentingan bersama yang melampaui simbol-simbol nasionalisme sempit.
Sebagai jembatan rekonsiliasi, Diplomasi Pancasila mengajak kedua negara keluar dari bayang-bayang sejarah kolonial menuju etika peradaban Asia Tenggara yang lebih dewasa.
Rekonsiliasi tidak dimaknai sebagai melupakan sengketa, melainkan mengelolanya secara bermartabat melalui dialog, keadilan, dan kesediaan saling memahami.
Dengan pendekatan ini, konflik Thailand– Kamboja tidak harus berakhir dengan siapa menang dan siapa kalah, melainkan dengan kesadaran bersama bahwa perdamaian adalah bentuk tertinggi dari kemenangan.
Sementara itu, eskalasi konflik pada penghujung 2025, membawa Asia Tenggara pada wajah paling telanjangnya: wajah kemanusiaan yang terluka.
Angka resmi mencatat sedikitnya dua puluh nyawa melayang hanya dalam satu pekan, menjadikannya korban tertinggi sejak pertempuran singkat Thailand– Kamboja pada Juli tahun yang sama.
Namun kematian, sebagaimana sering terjadi dalam konflik bersenjata, hanyalah penanda paling kasat mata dari tragedi yang jauh lebih dalam.
Di balik statistik korban jiwa, terhampar kisah manusia yang tercerabut dari tanahnya sendiri, meninggalkan rumah bukan karena pilihan, melainkan karena ketakutan. Gelombang pengungsian massal menjadi bab paling pilu dari eskalasi ini.
Lebih dari enam ratus ribu warga sipil terpaksa meninggalkan ruang hidup mereka—lebih dari empat ratus ribu di sisi Thailand, dan sedikitnya seratus sembilan puluh dua ribu di Kamboja.
Mereka bukan sekadar angka dalam laporan kemanusiaan, melainkan wajah-wajah yang kehilangan rutinitas, mata pencaharian, dan rasa aman.
Di tenda-tenda pengungsian, waktu berjalan tanpa kepastian, sementara masa depan seolah menjadi sesuatu yang terlalu jauh untuk dipikirkan.
Di sinilah konflik memperlihatkan watak sejatinya: ia selalu menimpa mereka yang tidak pernah duduk di meja perundingan. Perbatasan yang diperdebatkan negara berubah menjadi batas penderitaan bagi rakyatnya.
Anak-anak berhenti sekolah, petani kehilangan ladang, dan keluarga terpisah oleh garis yang bahkan tidak mereka pahami asal-usulnya. Konflik yang bermula dari sengketa historis dan politik, akhirnya menjelma menjadi krisis moral yang mempertanyakan nurani kawasan.
Bagi ASEAN, eskalasi ini menandai titik kritis yang tidak bisa direspons dengan keheningan normatif.
Konflik bersenjata di jantung Asia Tenggara bukan hanya ancaman keamanan, tetapi juga guncangan terhadap stabilitas ekonomi kawasan, rantai pasok lintas negara, dan kepercayaan global terhadap ASEAN sebagai ruang damai dan kooperatif.
Lebih dari itu, konflik ini menguji kredibilitas ASEAN sebagai komunitas yang selama ini mengklaim penyelesaian damai sebagai prinsip utama. Ketika penderitaan manusia terus berlangsung, prinsip
non-interference
menjadi pertanyaan etis yang tak terelakkan.
Dalam konteks inilah, Diplomasi Pancasila menemukan urgensi historisnya. Prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab, menolak melihat pengungsi sebagai efek samping yang tak terhindarkan.
Diplomasi Pancasila memandang krisis ini bukan semata persoalan keamanan, tetapi tragedi kemanusiaan yang menuntut empati, dialog, dan tanggung jawab kolektif kawasan.
Diplomasi Pancasila menawarkan jalan rekonsiliasi yang tidak dimulai dari kepentingan negara semata, melainkan dari kesadaran bahwa martabat manusia adalah fondasi paling dasar dari perdamaian.
Jika Asia Tenggara ingin tetap menjadi kawasan beradab, maka krisis ini harus dijawab bukan hanya dengan pernyataan politik, tetapi dengan keberanian moral untuk memilih kemanusiaan sebagai kompas utama.
Dalam lanskap regional yang rapuh dan sarat ketegangan inilah peran Indonesia menemukan momentumnya. Ketika konflik Thailand–Kamboja kembali membara, Indonesia berdiri pada posisi yang tidak sekadar strategis, tetapi juga moral.
Sejumlah pakar menilai Presiden Prabowo Subianto memiliki legitimasi politik dan etis untuk mengambil peran sebagai mediator.
Pandangan ini tidak lahir dari optimisme kosong, melainkan dari tradisi panjang Indonesia dalam memilih jalan damai ketika kawasan berada di ambang perpecahan. Dalam perspektif ini, diplomasi bukan sekadar pilihan, melainkan kewajiban moral negara-negara beradab.
Maka posisi Indonesia dalam sengketa Thailand–Kamboja ini memiliki keunggulan yang jarang dimiliki aktor lain. Indonesia bukan pihak yang memiliki kepentingan langsung atas wilayah yang disengketakan, sehingga relatif diterima sebagai mediator yang netral.
Lebih dari itu, Indonesia membawa modal historis berupa rekam jejak panjang dalam memediasi konflik, dari Asia Tenggara hingga forum internasional.
Modal kepercayaan inilah yang menjadikan suara Indonesia kerap didengar, bahkan ketika suara itu tidak disertai tekanan kekuatan.
Usulan agar Presiden Prabowo melakukan audiensi dengan Raja Thailand dan Raja Kamboja, mencerminkan pemahaman mendalam terhadap karakter politik Asia Tenggara.
Di kawasan ini, diplomasi tidak hanya bekerja melalui jalur formal negara, tetapi juga melalui simbol tradisi dan legitimasi kultural.
Monarki, dalam konteks Thailand dan Kamboja, bukan sekadar institusi simbolik, melainkan sumber otoritas moral yang mampu melunakkan ketegangan politik.
Pendekatan semacam ini jarang tercatat dalam buku teks hubungan internasional, tetapi sering kali menentukan keberhasilan diplomasi di lapangan.
Maka peran Indonesia sebagai mediator bukanlah tentang tampil dominan, melainkan tentang menghadirkan ruang dialog yang bermartabat.
Inilah esensi Diplomasi Pancasila: memadukan rasionalitas hukum internasional dengan kepekaan kultural dan empati kemanusiaan.
Jika peran ini dijalankan secara konsisten, Indonesia tidak hanya membantu meredakan konflik Thailand –Kamboja, tetapi juga menegaskan dirinya sebagai jangkar moral Asia Tenggara – peran yang semakin langka dan semakin dibutuhkan di tengah dunia yang kian gaduh oleh kekerasan.
Bagi Indonesia, mediasi konflik Thailand–Kamboja tidak pernah dimaknai sebagai tugas diplomatik yang bersifat pragmatis semata.
Ia adalah pengejawantahan dari politik luar negeri bebas aktif yang sejak awal dirumuskan bukan hanya sebagai strategi, melainkan sebagai sikap moral bangsa.
Dalam terang nilai-nilai Pancasila, konflik tidak boleh dilihat semata sebagai pertarungan kepentingan negara, melainkan sebagai tragedi kemanusiaan.
Ketika ratusan ribu warga sipil menjadi pengungsi, kemanusiaan yang adil dan beradab berhenti menjadi jargon, dan menjelma sebagai panggilan etik yang menuntut kehadiran nyata.
Dalam perspektif Pancasila, penderitaan manusia tidak pernah dapat direduksi menjadi sekadar konsekuensi tak terelakkan dari konflik geopolitik.
Setiap nyawa yang tercerabut, setiap keluarga yang kehilangan rumah, adalah pengingat bahwa negara —dan kawasan— telah gagal menjaga martabat manusia.
Oleh karena itu, Diplomasi Pancasila tidak memulai langkahnya dari kalkulasi kekuatan, tetapi dari empati. Ia menempatkan manusia sebagai pusat pertimbangan, bukan sebagai efek samping dari perebutan wilayah dan pengaruh.
Diplomasi Pancasila menjadikan dialog, musyawarah, dan keadilan sebagai fondasi penyelesaian konflik. Indonesia tidak hadir sebagai kekuatan hegemonik yang memaksakan solusi dari atas, melainkan sebagai fasilitator yang membuka ruang komunikasi yang setara.
Pendekatan ini menolak logika menang-kalah, dan sebaliknya menawarkan jalan temu yang bermartabat. Di tengah dunia yang semakin transaksional, sikap ini menjadi pembeda yang sekaligus menjadi kekuatan diplomasi Indonesia.
Perbedaan ini semakin terasa jika dibandingkan dengan pola mediasi kekuatan besar yang kerap membawa agenda geopolitik terselubung. Indonesia, melalui Diplomasi Pancasila, berusaha menjaga jarak dari kepentingan sempit tersebut.
Kehadirannya bukan untuk menggeser keseimbangan kekuasaan, melainkan untuk memulihkan keseimbangan kemanusiaan. Dalam konteks inilah, kepercayaan menjadi modal utama, dan kepercayaan hanya lahir dari konsistensi nilai, bukan dari tekanan kekuatan.
Dalam kerangka ASEAN, peran Indonesia menemukan ruang institusionalnya. Inisiatif untuk mendorong KTT Luar Biasa ASEAN bukan sekadar prosedur diplomatik, melainkan pernyataan kepemimpinan moral kawasan.
Forum tersebut dapat menjadi ruang kolektif untuk menegaskan kembali komitmen ASEAN terhadap perdamaian dan stabilitas.
Kepemimpinan Indonesia di sini tidak boleh berhenti pada administratif dan seremonial, tetapi harus visioner, berani, dan berorientasi jangka panjang.
Dengan demikian, Diplomasi Pancasila tidak hanya meredam konflik, tetapi juga membentuk kembali wajah Asia Tenggara sebagai kawasan yang beradab, manusiawi, dan bermartabat.
Manakala Presiden Prabowo menjalani mediasi melalui Diplomasi Pancasila dalam konflik kawasan, dalam hal ini konflik Thailand–Kamboja, karuan saja menandai pilihan strategis Indonesia untuk menempatkan perdamaian sebagai kepentingan utama.
Mediasi ini tidak berdiri semata sebagai respons situasional, melainkan sebagai manifestasi konsistensi politik luar negeri Indonesia yang berakar pada nilai ideologis.
Di tengah dunia yang semakin ditandai oleh rivalitas dan politik kekuatan, pendekatan berbasis nilai menjadi pembeda yang memberi legitimasi moral pada peran Indonesia.
Maka relevansi Diplomasi Pancasila dalam upaya mediasi, terletak pada kemampuannya memadukan etika dan kepentingan regional.
Pancasila tidak memandang konflik sebagai arena menang-kalah, tetapi sebagai persoalan bersama yang harus diselesaikan melalui dialog dan musyawarah.
Prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab, serta persatuan, menjadi landasan untuk meredam eskalasi –sekaligus membuka ruang kepercayaan di antara pihak-pihak yang berkonflik.
Faktor kawasan menjadi elemen kunci yang memperkuat efektivitas mediasi ini. Indonesia hadir bukan sebagai aktor luar yang membawa agenda tersembunyi, melainkan sebagai bagian dari lingkungan strategis yang sama.
Mediasi dari sesama kawasan mengurangi kecurigaan politik, karena tidak dibayangi oleh kepentingan geopolitik global yang sering kali justru memperpanjang konflik.
Dalam konteks ini, Diplomasi Pancasila berfungsi sebagai bahasa bersama yang lebih mudah diterima oleh negara-negara tetangga.
Sebaliknya, keterlibatan pihak di luar kawasan kerap sarat dengan perhitungan kekuasaan, akses ekonomi, atau pengaruh militer.
Pengalaman berbagai konflik internasional menunjukkan bahwa mediasi eksternal sering kali menjadikan perdamaian sebagai alat tawar-menawar geopolitik.
Pendekatan Indonesia berupaya memutus pola tersebut, dengan menegaskan, bahwa stabilitas kawasan Asia Tenggara tidak boleh menjadi arena proksi kepentingan kekuatan besar.
Dengan demikian, Diplomasi Pancasila yang dijalankan Presiden Prabowo tidak hanya bertujuan meredakan konflik sesaat, tetapi juga menjaga arsitektur perdamaian kawasan dalam jangka panjang.
Indonesia menempatkan diri sebagai penyangga keseimbangan regional, yang bekerja melalui kepercayaan, nilai, dan solidaritas kawasan. Inilah perwujudan kepemimpinan yang tidak menggurui, tetapi merangkul —sebuah kepemimpinan yang relevan di tengah dunia yang kian terbelah.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Organisasi: ASEAN
-
/data/photo/2025/12/13/693d6f47e1751.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Peran Diplomasi Pancasila Terhadap Konflik Thailand-Kamboja
-

Indonesia Kalah Lagi, Malaysia OTW Jadi ‘Raja Mobil ASEAN’
Jakarta –
Malaysia melalui asosiasinya telah mengumumkan penjualan mobil selama November 2025. Hasilnya, untuk kesekian kali, angkanya melampaui Indonesia. Kini, mereka makin dekat sebagai ‘raja baru’ di industri roda empat ASEAN.
Disitat dari data.gov.my dan Carz Automedia, Senin (15/12), penjualan mobil di Malaysia pada November 2025 tembus 77 ribuan unit. Nominal tersebut lebih tinggi dari penjualan wholesales di Indonesia yang hanya 74 ribuan unit pada periode serupa.
Dengan demikian, penjualan mobil di Malaysia selama Januari-November 2025 telah mencapai 720 ribuan unit. Sementara pada periode yang sama, Indonesia baru tembus 710 ribuan unit.
Foto: Septian Farhan Nurhuda/detik.com
Hingga sekarang, Malaysia belum mengubah target penjualannya pada 2025, yakni masih 800 ribu unit. Sedangkan Indonesia baru menurunkan angka dari yang semula 900 ribu unit, menjadi hanya 780 ribu unit. Jika melihat tren dan pergerakan pasar, Malaysia berpeluang menjadi ‘raja baru’ di ASEAN.
Di Malaysia, mobil ‘buatan’ lokal masih menjadi primadona konsumen setempat. Pada November 2025, Perodua Bezza menjadi kendaraan terlaris dengan penjualan 9 ribuan unit, kemudian disusul Perodua Axia dengan 7 ribuan unit dan Proton Saga dengan 6 ribuan unit.
Menariknya, dari tujuh mobil terlaris di Malaysia, enamnya disumbang produk buatan Perodua. Sementara brand Jepang hanya menempatkan dua wakil, yakni Toyota Vios dan Honda City di daftar 10 besar produk terlaris di sana.
Jika dipecah berdasarkan segmen, mobil bensin terjual 65 ribu unit di Malaysia, kemudian mobil diesel 4 ribuan unit, mobil listrik 5 ribuan unit dan hybrid 2 ribuan unit.
Sebelumnya, Sekretariat Umum (Sekum) Gaikindo, Kukuh Kumara mengatakan, pasar otomotif Malaysia belakangan memang sedang tumbuh. Sementara di saat bersamaan, Indonesia justru mengalami penurunan.
Menurut Kukuh, pertumbuhan pasar otomotif di Malaysia disebabkan insentif jangka panjang yang telah diberikan sejak era pandemi.
“Sebabnya pengurangan pajak, saya nggak tahu detailnya seperti apa. Mereka (kasih insentif mobil) lebih dulu dari kita, tapi sampai sekarang belum berhenti,” ujar Kukuh Kumara saat ditemui di Tanah Abang, Jakarta Pusat, belum lama ini.
Kukuh tak menjelaskan, insentif seperti apa yang diadopsi di Malaysia. Namun, saat pandemi Covid-19, pemerintah setempat menerbitkan aturan baru soal perpajakan. Ketika itu, mereka memberikan diskon 100 persen untuk mobil produksi lokal dan 50 persen untuk mobil impor.
(sfn/dry)
-

Konflik Thailand-Kamboja Memanas, RI Ingatkan Komitmen Gencatan Senjata
Jakarta –
Indonesia menyampaikan keprihatinan atas berlanjutnya konflik bersenjata di wilayah perbatasan Thailand dan Kamboja. Pemerintah RI pun mendorong kedua negara untuk kembali berpegang pada komitmen gencatan senjata yang telah disepakati dalam Kuala Lumpur Peace Accord.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI, Yvonne Mewengkang, mengatakan Indonesia memandang eskalasi konflik di perbatasan kedua negara tersebut dapat berdampak pada stabilitas kawasan.
“Indonesia menyampaikan kekhawatiran atas berlanjutnya konflik bersenjata di wilayah perbatasan Thailand dan Kamboja,” kata Yvonne saat dihubungi detikcom, Minggu (4/12/2025).
Yvonne menegaskan, Indonesia mendorong Thailand dan Kamboja untuk kembali kepada kerangka gencatan senjata yang telah disepakati dalam Kuala Lumpur Peace Accord. Menurutnya, kesepakatan tersebut menjadi landasan penting untuk menurunkan ketegangan dan mencegah jatuhnya korban lebih lanjut.
“Indonesia mendorong kedua negara untuk kembali kepada kerangka gencatan senjata yang telah disepakati dalam Kuala Lumpur Peace Accord,” ujarnya.
“Sebagai bagian dari ASEAN, Indonesia mendorong kedua negara untuk terus memprioritaskan penyelesaian secara diplomasi,” katanya.
Indonesia berharap Thailand dan Kamboja dapat menahan diri serta mengedepankan semangat kerja sama regional, sejalan dengan komitmen ASEAN dalam menjaga perdamaian dan keamanan kawasan.
Sementara, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto menilai Presiden Prabowo Subianto bisa menjadi mediator untuk mendamaikan konflik.
“Menurut saya Bapak Presiden bisa berperan sebagai mediator agar Thailand dan Kamboja mau menyelesaikan sengketa mereka secara damai sesuai amanat Pasal ayat (3) Piagam PBB dan Pasal 2 ayat (2) huruf c dan d,” ujar Hikmanto kepada wartawan, Minggu (14/12).
Hikmahanto berpendapat perang antara Thailand dan Kamboja turut berdampak bagi Indonesia. Menurutnya, konflik tersebut bisa mengganggu pertumbuhan ekonomi kawasan ASEAN.
(bel/dek)
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5196559/original/036587400_1745413932-20250423-Perkotaan-ANG_6.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Aksesi OECD Jadi Jalan Indonesia Keluar dari Negara Berpendapatan Rendah
Liputan6.com, Jakarta – Dekan ADB Institute, Prof. Bambang Brodjonegoro, menilai aksesi OECD dapat mengarahkan jalan yang tepat bagi Indonesia untuk keluar dari Middle-Income Trap (MIT) dan menuju negara High-Income Country.
Ia menjelaskan menjelaskan bahwa hanya sedikit negara Asia yang berhasil keluar dari MIT, yaitu Jepang sebagai negara pertama dan diikuti “The Four Asian Tigers” (Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, Singapura).
“Beberapa negara ASEAN yang juga diproyeksikan keluar dari MIT yaitu Malaysia pada 2028, Thailand pada 2037, dan Indonesia baru pada tahun 2045,” kata Bambang Guest Lecture bertema Progress and Benefits of Indonesia’s Accession to the OECD bertempat di Auditorium MM FEB UI, dikutip dari laman Kemenko Perekonomian, Minggu (14/12/2025).
Prof. Bambang memaparkan bahwa aksesi OECD dapat menjadi anchor reformasi bagi Indonesia. Kerangka standar dan praktik terbaik OECD memberikan arah yang jelas untuk memperkuat tata Kelola regulasi, meningkatkan produktivitas, serta memastikan konsistensi kebijakan dalam jangka panjang.
Dalam kesemptan yang sama, Sesmenko Susiwijono menekankan kembali pentingnya dukungan akademisi dan seluruh Stakeholders dalam keseluruhan proses aksesi OECD.
“Kegiatan seperti ini menjadi sarana yang penting untuk memastikan bahwa reformasi yang kita jalankan dapat dipahami secara luas dan mendapat dukungan dari masyarakat. Ini akan semakin menguatkan komitmen semua pihak, dalam mewujudkan transformasi ekonomi melalui penerapan standar OECD,” ujar Sesmenko Susiwijono.
-

Makin Jelas, Ini Penampakan Calon Mobil Hybrid Perodua
Jakarta –
Perodua kembali menggoda publik dengan merilis teaser terbaru untuk calon mobil hybrid-nya. Setelah gambar perdana dirilis pekan lalu, teaser lanjutan ini memperlihatkan penampakan makin jelas dari calon crossover segmen B berkode D66B, yang digadang-gadang bakal menggunakan nama Nexis atau Traz saat meluncur resmi.
Dari gambar terbaru yang diunggah Perodua, detail eksterior mobil ini mulai terbaca, kendati masih dibalut pencahayaan minim. Secara garis besar, siluetnya sangat familiar karena memiliki banyak kemiripan dengan Toyota Yaris Cross, yang lebih dulu meluncur di Indonesia dan Thailand sejak 2023. Hal ini bukan kejutan, mengingat D66B dikembangkan dari basis yang sama.
Meski begitu, Perodua tampaknya tetap memberikan sentuhan khas pada model barunya. Pada teaser sebelumnya, terlihat jelas bahwa grille depan Nexis/Traz menggunakan motif berbentuk L, berbeda dengan Yaris Cross yang mengusung pola U. Pada teaser terbaru, bagian depan kembali ditampilkan dengan pencahayaan sedikit lebih terang, sehingga detail bumper makin terlihat.
Di area bumper depan, Perodua menyematkan sisipan sudut dengan desain yang lebih kompleks dibandingkan milik Yaris Cross. Pada model Toyota tersebut, komponen kecil di atas lampu depan diketahui berfungsi sebagai sensor parkir. Perbedaan desain ini mengindikasikan bahwa Perodua ingin menghadirkan identitas visual tersendiri, meski berbagi DNA dengan saudaranya dari Toyota.
Soal spesifikasi, Perodua masih menutup rapat informasi teknis Nexis/Traz. Namun, sebagai gambaran, Toyota Yaris Cross di Indonesia dibekali mesin bensin 1.5 liter empat silinder 2NR-VE naturally aspirated dengan tenaga 106 PS dan torsi 138 Nm, yang dipadukan dengan transmisi manual lima percepatan atau CVT. Sementara di Thailand, Yaris Cross hanya ditawarkan dalam versi hybrid, mengombinasikan mesin 1.5 liter 2NR-VEX dengan motor listrik untuk menghasilkan tenaga gabungan 111 PS.
Kesamaan platform ini juga berimbas pada aspek keselamatan. Yaris Cross telah mengantongi peringkat bintang lima ASEAN NCAP pada Agustus lalu, dan besar kemungkinan Nexis/Traz akan menawarkan standar keselamatan serupa. Nama Nexis dan Traz sendiri sebenarnya bukan hal baru, karena telah didaftarkan Perodua ke MyIPO lebih dari tiga tahun lalu.
Menariknya, Perodua memberi petunjuk bahwa debut D66B tinggal lima hari lagi, atau dijadwalkan berlangsung pekan depan. Model ini akan diposisikan di atas Ativa yang saat ini dijual mulai RM62.500 hingga RM73.400. Lantas, berapa harga yang cocok buat calon mobil hybrid Perodua ini?
(lua/riar)
-

Rahasia Ringgit Malaysia Bikin Keok Dolar AS hingga Jadi Juara Mata Uang Asia
Jakarta –
Ringgit menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Mata uang Malaysia itu naik 0,5% terhadap dolar AS menjadi RM 4,0860 pada 12 Desember, tertinggi sejak Mei 2021.
Tahun ini ringgit telah melonjak lebih dari 9% terhadap dolar AS. Kenaikan itu membawa ringgit menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di Asia selama 2025.
“Fundamental ringgit yang kuat menempatkannya pada posisi terdepan untuk mengungguli mata uang regional lainnya,” tulis para ahli strategi Maybank, termasuk Saktiandi Supaat, dalam sebuah catatan dikutip dari Straits Times, Sabtu (13/12/2025).
Rahasia Ringgit Perkasa Lawan Dolar AS
Faktor pendorong penguatan ringgit Malaysia meliputi, pertama kelanjutan siklus investasi yang meningkat, kedua reformasi fiskal di Malaysia, dan ketiga Malaysia kini pusat data center utama.
Selain itu, popularitas mata uang Malaysia didorong oleh ekonomi yang berorientasi ekspor. Naiknya ekspor terjadi seiring dengan meningkatnya permintaan global, sehingga membantu pertumbuhan ekspor kuartal ketiga melampaui ekspektasi.
Para pembuat kebijakan juga optimis bahwa data center dapat membantu memanfaatkan peluang pertumbuhan baru bagi negara tersebut. Optimisme ini telah mendorong investor asing untuk memperluas eksposur mereka terhadap aset Malaysia.
Pergerakan Ringgit
Dikutip dari The Star, nilai tukar ringgit menguat terhadap sejumlah mata uang dari sejumlah negara. Ringgit tercatat menguat terhadap yen menjadi 2,626-2,6304 dari 2,6536-2,6561, dan perkasa terhadap pound sterling Inggris menjadi 5,4789-5,4869 dari 5,4859-5,4905, namun ringgit melemah terhadap euro menjadi 4,8037-4,8107 dari 4,7912-4,7953 pada penutupan pekan lalu.
Ringgit juga cenderung menguat terhadap mata uang ASEAN. Ringgit menguat terhadap rupiah Indonesia menjadi 245,9-246,4 dari 246,8-247,2 pekan lalu, meningkat terhadap dolar Singapura menjadi 3,1701-3,1750 ringgit dari 3,1741-3,1773 ringgit sebelumnya, dan lebih tinggi terhadap peso Filipina di 6,93-6,94 ringgit dari 6,97-6,98 ringgit. Namun, melemah terhadap baht Thailand menjadi 12,9589-12,9845 ringgit dari 12,9054-12,9221 ringgit minggu lalu.
(ada/ara)
-

PM Thailand Minta Trump Desak Kamboja Gencatan Senjata di Perbatasan
Jakarta –
Perdana Menteri (PM) Thailand Anutin Charnvirakul memberi tahu Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dalam panggilan telepon bahwa Kamboja bertanggung jawab atas bentrokan perbatasan yang mematikan. Namun, Anutin tidak menyatakan bahwa Bangkok bersedia menghentikan tembakan.
Dilansir AFP, Sabtu (13/12/2025), pertempuran antara kedua negara tetangga di Asia Tenggara minggu ini telah menewaskan sedikitnya 20 orang dan menyebabkan sekitar setengah juta orang mengungsi di kedua sisi perbatasan yang disengketakan.
Trump mengklaim keberhasilan atas gencatan senjata pada Juli lalu yang menghentikan kekerasan sebelumnya, mengatakan ia akan berbicara dengan para pemimpin kedua negara untuk “mengembalikan situasi ini ke jalur yang benar”.
“Trump mengatakan dia menginginkan gencatan senjata,” kata Anutin Charnvirakul kepada wartawan setelah panggilan teleponnya dengan Trump.
“Saya menjawab bahwa dia sebaiknya mengatakan itu kepada teman kita,” tambah Anutin, merujuk pada Kamboja.
Masing-masing pihak saling menyalahkan karena kembali memicu konflik, yang berakar dari perselisihan panjang mengenai penetapan batas wilayah sepanjang 800 kilometer (500 mil) pada era kolonial.
“Pihak yang melanggar perjanjian perlu memperbaiki (situasi)-bukan pihak yang dilanggar,” kata Anutin, menambahkan bahwa percakapan telepon dengan Trump berjalan dengan baik.
Amerika Serikat, Tiongkok, dan Malaysia, sebagai ketua blok regional ASEAN, menengahi gencatan senjata pada bulan Juli setelah lima hari kekerasan awal.
Pada bulan Oktober, Trump mendukung deklarasi bersama lanjutan antara Thailand dan Kamboja, menggembar-gemborkan kesepakatan perdagangan baru setelah mereka setuju untuk memperpanjang gencatan senjata.
Namun, Thailand menangguhkan perjanjian tersebut pada bulan berikutnya setelah tentara Thailand terluka akibat ranjau darat di perbatasan.
Di Gedung Putih, pada Kamis (11/12), Trump kembali membual tentang telah menyelesaikan berbagai konflik, tetapi mengatakan bahwa untuk “Thailand dan Kamboja, saya rasa saya harus melakukan beberapa panggilan telepon… tetapi kita akan mengembalikannya ke jalur yang benar”.
(rfs/rfs)
-

Rapor UHC RI dari WHO Jelek, Menkes Soroti Pasien Punya Kartu BPJS Tapi Tak Bisa Dirawat
Jakarta –
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyoroti rapor Indonesia terkait capaian universal health coverage (UHC) yang dirilis organisasi kesehatan dunia (WHO). Dalam laporan 2023, skor UHC Indonesia tercatat 57 dari 100, sementara peringkatnya berada di nomor 66 dari sekitar 100 negara yang dinilai.
“Itu artinya kita masih masuk kategori agak di bawah rata-rata,” kata Budi di konferensi pers bersama BPJS Kesehatan, Jumat (12/12/2025).
Ia menyebut temuan itu membuatnya kembali memeriksa definisi UHC yang digunakan WHO dan menemukan letak persoalannya.
“Saya quote supaya tidak salah. UHC itu all people have access to the full range of quality health services when and where they need them without financial hardship,” ujar Budi.
“Artinya ada tiga komponen: everywhere, everyone, every time. Harus ada akses, harus ada kualitas, dan harus tanpa beban finansial.”
Menurut Budi, tiga komponen itu harus berjalan bersamaan. BPJS Kesehatan bertanggung jawab pada aspek pembiayaan atau without financial hardship, sedangkan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan wajib memastikan akses serta kualitas layanan tersedia di seluruh wilayah.
“Kalau tanpa tiga itu, UHC-nya doesn’t mean anything. Itu tidak tercapai,” tegasnya.
Punya Kartu BPJS Tapi Tak Bisa Ikut Layanan
Budi mencontohkan situasi yang kerap terjadi di lapangan. Banyak warga sudah memegang kartu JKN, tetapi ketika sakit, fasilitas untuk penanganan tidak tersedia.
“Dia punya kartu, dia sakit jantung, dia wafat. Karena kartunya tidak memberikan akses, karena fasilitasnya tidak tersedia,” ujarnya.
“Atau ada cath lab, tapi cath lab-nya tidak bisa beroperasi. Mutunya tidak ada. Itu sebabnya UHC kita masih di bawah rata-rata dunia.”
Perbaikan layanan kesehatan jadi prioritas
Ia menegaskan, perbaikan akses dan mutu layanan kesehatan adalah pekerjaan rumah besar pemerintah. Namun ia menyebut ada perkembangan positif pada laporan WHO tahun 2025.
“Kayaknya naik. Skor kita dari 57 ke 66. Sudah sedikit di atas average country. Tapi negara-negara ASEAN banyak yang masih di atas kita.”
Budi menilai perlu ada kejelasan peran agar perbaikan UHC lebih cepat tercapai. Selama ini, kata dia, masih terjadi kerancuan antara penentu regulasi dan pelaksana.
“Pemerintah itu pembuat regulasi untuk kesehatan. BPJS itu pelaksana regulasi di bidang pembiayaan,” jelasnya.
“Ada pelaksana regulasi di sektor farmasi, ada di primer, ada di sekunder. Nah BPJS itu pelaksana di pembiayaan. Pencipta regulasi tetap di Kemenkes.”
Ia menyebut pihaknya kini tengah merapikan tata kelola tersebut. “Agar jelas, ini pelaksana siapa, pembuat aturan siapa. Kalau tidak jelas, hasilnya ya jelek seperti sekarang.”
Halaman 2 dari 2
(naf/naf)
-
/data/photo/2025/12/12/693c1425b46d9.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Indonesia di Ambang “Genesis Mission” AS, Kita Perlu Berbuat Sekarang
Indonesia di Ambang “Genesis Mission” AS, Kita Perlu Berbuat Sekarang
Mengabdi lebih dari empat dekade pengalaman di bidang pertahanan, keamanan, dan penanggulangan bencana, antara lain sebagai Penasihat Militer Indonesia pada Perwakilan Tetap RI di PBB New York hingga 2007, Komandan Pangkalan Utama TNI AL VIII Manado hingga 2010, Deputi I Menko Kesra yang membidangi lingkungan hidup dan kerawanan sosial hingga 2015, serta menjabat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana hingga 2019, dan aktif dalam berbagai forum kebencanaan tingkat ASEAN dan global.
ADA
rencana besar sedang berjalan di Washington. Namanya Genesis Mission, yakni strategi ambisius Amerika Serikat untuk menguasai kecerdasan buatan (AI), komputer supercanggih, dan data-data nasional sebagai senjata ekonomi dan militer di abad ke-21.
Inisiatif ini bukan sekadar program teknologi biasa melainkan tentang siapa yang akan menguasai dunia di era digital.
Bayangkan,
AI
bukan lagi fitur di ponsel Anda. Pikirkan AI sebagai mesin penggerak utama dalam industri manufaktur, sistem pertahanan negara, dan cara kita hidup sehari-hari. Itu yang AS targetkan.
Mereka mau menguasai
chip
semikonduktor, energi baru, bioteknologi, komputer kuantum, dan industri manufaktur canggih. Mereka mau menarik para ilmuwan dan engineer terbaik dari seluruh dunia ke ekosistem riset mereka. Juga mau menulis aturan main global tentang bagaimana AI boleh digunakan, diatur, dan dievaluasi dari segi etika.
Pertanyaannya untuk Indonesia sederhana, tetapi menggugah: Kita mau jadi pemain utama, atau sekadar pasar pembeli?
Jika Indonesia hanya menjadi penonton, maka kesenjangan teknologi dengan negara maju bisa melebar dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bukan dalam puluhan tahun, tapi mungkin hanya beberapa tahun saja.
Pertama
, menjadi pasar konsumen teknologi AI impor. Perusahaan teknologi global datang membawa solusi AI siap pakai, mulai platform kesehatan, sistem pabrik pintar, sistem perbankan, hingga sistem logistik berbasis AI.
Indonesia membeli dan menggunakan produk-produk itu, tapi tidak menguasai cara kerjanya. Kita tidak mengontrol data pelanggan kita sendiri dan nilai uang terbesar didapat oleh pihak asing, bukan oleh perusahaan dan negara kita.
Kedua
, menjadi sumber data dan bahan baku digital. Data tentang konsumen Indonesia, data transaksi, data pendidikan, dan data kesehatan mengalir ke server perusahaan asing. Mereka menggunakan data itu untuk membuat produk dan layanan yang lebih baik, lalu menjualnya kembali kepada kita dengan harga premium. Ini seperti “koloni digital generasi baru”.
Indonesia sebagai negara kaya dengan sumber daya besar, tapi bergantung sepenuhnya pada teknologi asing.
Akan tetapi, cerita ini tidak harus berakhir buruk. Indonesia sebenarnya punya tiga leverage strategis sangat besar yang sering diabaikan.
Pertama
, data dan pasar raksasa. Dengan jumlah penduduk lebih dari 280 juta, ekonomi yang terus berkembang, dan ekosistem digital yang dinamis, Indonesia adalah “laboratorium hidup” untuk mengembangkan teknologi AI yang unik.
Pertanian tropis, logistik kepulauan, sistem keuangan syariah butuh solusi AI khusus yang tidak bisa dibuat hanya dengan meniru negara lain.
Kedua
, generasi muda yang cerdas. Banyak anak muda Indonesia sudah bekerja sebagai
research scientist, engineer
, dan
founder startup
teknologi di berbagai belahan dunia.
Tantangannya, mencegah mereka hanya menjadi ekspor talenta. Bagaimana membuat mereka ingin pulang atau berkontribusi di Indonesia? Kalau mereka tersedot ke Amerika Serikat, Singapura, atau Eropa saja, Indonesia bakal kehilangan talenta terbaik.
Ketiga
, posisi geostrategis dan ekonomi. Indonesia berada di jalur perdagangan global, jalur energi, dan jalur data internasional. Kabel laut yang menghubungkan dunia, pusat data, jaringan satelit ini penting di era AI. Indonesia punya kartu tawar penting jika tahu cara memanfaatkannya.
Dengan aset-aset ini, Indonesia sebenarnya bisa menjadi mitra strategis yang dihormati di dunia AI global, bukan sekadar pembeli atau pemasok bahan mentah.
Dampak Genesis Mission akan terasa paling keras di dunia industri dan pabrik.
Pabrik di Eropa dan Asia Timur sudah menggunakan AI untuk desain produk, memprediksi kapan mesin akan rusak, menghemat energi, dan mengoptimalkan pengiriman barang.
Mereka bisa memproduksi dengan biaya lebih rendah, kualitas lebih bagus, dan inovasi lebih cepat.
Kalau industri Indonesia tidak ikut menggunakan AI, maka akan terjadi tiga hal buruk: (1) biaya produksi lebih tinggi, (2) inovasi tertinggal jauh, (3) akhirnya hanya menjadi kontraktor murah yang mengerjakan pekerjaan bermargin tipis sehingga tidak mampu menjadi pemimpin industri.
Akan tetapi ada cara lain. Indonesia bisa memilih tiga sampai lima sektor prioritas untuk jadi ”
pilot project
” adopsi AI:
Untuk berhasil, Indonesia butuh “Peta Jalan AI Industri Indonesia” yang jelas, bagaimana AI akan meningkatkan produktivitas, hemat energi, dan kurangi emisi karbon.
Ini tidak bisa dikerjakan pemerintah sendiri. Butuh kemitraan besar mulai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), swasta, universitas, dan bahkan militer. Perusahaan strategis di aviasi, logistik, dan energi harus jadi pusat eksperimen dan akselerasi, bukan sekadar menjalankan operasi rutin.
Ada kekhawatiran nyata tentang risiko hilangnya pekerjaan. Pekerjaan yang paling terancam saat ini adalah yang ebrkaitan dengan administrasi, input data,
customer service
, dan operasional rutin. AI bisa mengerjakan ini lebih cepat dan lebih murah.
Pekerja dengan skill rendah yang tidak belajar AI bisa menjadi pengangguran dalam jangka panjang.
Di sisi lain, para ahli Indonesia di bidang AI bisa ditarik keluar negeri dengan gaji fantastis dan fasilitas riset bagus.
Pekerja yang belajar memanfaatkan AI bisa produktif berkali-kali lipat. Seseorang yang dulunya cuma bisa proses beberapa laporan sehari, dengan bantuan AI bisa meng-handle lebih dari 20 laporan.
Solusinya, Indonesia harus punya program pelatihan nasional yang serius, bukan sekadar simbolis. Ada tiga tingkat:
Program Kartu Prakerja bisa dikembangkan fokus pada skill AI. Sekolah kejuruan dan politeknik perlu dibenahi agar langsung selaras dengan kebutuhan industri.
Sekolah-sekolah di negara maju sudah pakai AI tutor pribadi, pembelajaran yang menyesuaikan kemampuan siswa, dan simulasi lab virtual. Siswa di Eropa bisa belajar fisika lewat simulasi, dapat soal yang disesuaikan dengan kemampuan, dan dapat umpan balik instan dari AI.
Bila Indonesia tetap memakai metode mengajar puluhan tahun lalu, kesenjangan akan semakin dalam. Lebih serius lagi, kalau semua platform AI pendidikan dari luar negeri, maka nilai Pancasila, sejarah, budaya, agama lokal bisa terpinggirkan. Data puluhan juta siswa Indonesia ada di server asing.
Solusinya, Indonesia harus membuat Platform Pendidikan AI Nasional sendiri, dengan konten lokal (Bahasa Indonesia, Pancasila, sejarah, agama, sains sesuai kebutuhan lokal / local wisdom).
Dengan begitu, guru tidak digantikan, malah di-upgrade jadi “pengajar berbasis AI” yang fokus pada nilai, makna, dan pengembangan karakter, sementara tugas mengajar rutin dibantu AI.
Di dunia bisnis, AI sudah jadi mesin di balik rekomendasi produk e-commerce, penilaian risiko fintech, optimasi rute logistik.
Usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang tidak pakai AI akan kalah dalam jangka panjang karena kurang terlihat dan kurang ekspos, iklan kurang efisien, serta pelayanan pelanggan kurang cepat.
Jangan lupa, ada peluang besar juga dari
chatbot customer
service, otomasi pembukuan, tool design dan promosi yang
AI-powered
,
startup
lokal di agritech, healthtech dan, fintech syariah.
Pemerintah harus buat regulasi yang melindungi data konsumen tapi tidak menghambat inovasi. Perlu tempat uji coba regulasi untuk
startup AI
, dan dorong pembangunan data center lokal dengan keamanan tinggi.
Genesis Mission bukan hanya soal ekonomi, tapi juga keamanan militer. AI akan mengubah cara perang, drone swarm, sistem pertahanan udara otomatis, cyber attack yang dijalankan AI, termasuk intelijen berbasis big data.
Negara yang infrastruktur listrik, komunikasi, transportasinya tidak terlindungi bisa dilumpuhkan tanpa perang fisik.
Indonesia harus membangun kemampuan pertahanan AI sendiri, mulai cyber defense, pengawasan maritim dengan AI, hingga analisis ancaman.
Hal ini memerlukan kolaborasi Tentara Nasional Indonesia (TNI), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), juga pihak universitas dan industry untukmengadaptasi Genesis Mission yang fokus untuk Indonesia.
Untuk jangka panjang, Indonesia butuh visi besar: “Indonesia AI Mission” dengan lima pilar: (1) Kedaulatan data nasional, (2) Penguasaan teknologi kritikal di beberapa titik kunci, (3) Jutaan pekerja yang melek AI, (4) AI untuk kesejahteraan rakyat (pangan, kesehatan, dan pendidikan), (5) Sishankam yang canggih berbasis AI.
Perusahaan besar, terutama BUMN di aviasi, logistik, dan energi, harus punya rencana AI 5–10 tahun, pahami risiko AI, mulai dari
cyber
, data, dan model, hingga tata kelola yang jelas.
Genesis Mission menunjukkan
kecerdasan buatan
dan data bukan lagi pilihan, tapi keharusan untuk tetap relevan di dunia global dan telah menjadi dasar kekuatan Nasional.
Indonesia memiliki peluang emas. Kita punya pasar besar, talenta yang terus berkembang, letak geografis strategis. Jika kita cerdas, fokus, dan berani bertindak, kita bisa jadi pemain penting di dunia AI, bukan sekadar pembeli atau konsumen.
Pertanyaannya bukan lagi apakah AI akan mengubah Indonesia? Namun, “Apakah kita ingin menentukan sendiri bentuk perubahan itu? atau kita sekedar sebagai
follower
dari Keputusan dari negara lain?
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Wujud SUV Terbaru Wuling yang Harganya Mulai Rp 140 Jutaan
FotoOto
Septian Farhan Nurhuda – detikOto
Jumat, 12 Des 2025 13:34 WIB
Jakarta – Wuling Xingguang 560 meluncur di Guangxi Nanning ASEAN International Auto Show 2025. Kendaraan tersebut hadir dalam tiga varian berbeda: bensin, PHEV dan EV.