Organisasi: APPBI

  • Fenomena Rojali-Rohana Merebak, BI Cari Cara biar Orang Mau Belanja

    Fenomena Rojali-Rohana Merebak, BI Cari Cara biar Orang Mau Belanja

    Jakarta

    Fenomena rojali atau rombongan jarang beli, dan rohana atau rombongan hanya nanya, banyak beredar di mal atau pusat perbelanjaan. Hal ini mengindikasikan adanya penurunan daya beli masyarakat. Ternyata tidak cuma kalangan menengah ke bawah, orang tajir pun turut jadi bagian dalam fenomena rojali dan rohana.

    Menurut catatan detikcom, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonsus Widjaja, menyampaikan ada perbedaan faktor yang melatarbelakangi kelas menengah ke bawah dan ke atas ini masuk dalam segmentasi rojali.

    Orang tajir cenderung ngerem belanja karena kondisi ekonomi global yang tidak menentu. Tetapi bagi kelas menengah, rojali dan rohana membuktikan bahwa tengah terjadi penurunan daya beli di kalangan ini.

    “Kalau yang di kelas menengah atas, penyebabnya misalkan mereka lebih ke hati-hati dalam berbelanja. Apalagi kalau ada pengaruh makroekonomi, mikroekonomi dari global. Sehingga mereka (memilih) belanja atau investasi? ‘Kan itu juga terjadi,” ujar Alphonsus beberapa waktu lalu, dikutip kembali pada Sabtu (26/7/2025).

    “Kemudian sekarang memang terjadi ini lebih karena faktor daya beli, khususnya yang di kelas menengah bawah. Daya belinya berkurang, uang yang dipegang semakin sedikit, tapi mereka tetap datang ke pusat perbelanjaan. Makanya data APBBI menyatakan bahwa jumlah kunjungan ke pusat perbelanjaan tetap naik, meskipun tidak signifikan,” ungkapnya lanjut.

    Berkenaan dengan ini, Bank Indonesia (BI) menyatakan bahwa fenomena rojali dan rohana mencerminkan konsumen yang makin selektif dalam belanja. BI bilang, situasi ini menjadi sinyal bahwa masyarakat yang sedang menyesuaikan pola konsumsi dengan kondisi terkini.

    “Untuk menjaga agar roda ekonomi tetap bergerak, Bank Indonesia menurunkan BI-Rate. Tujuannya? Mendorong perbankan agar bisa menyalurkan kredit dengan bunga yang lebih terjangkau, sehingga konsumsi dan investasi tetap tumbuh di tengah tantangan,” ujar BI dalam akun Instagram resminya, dikutip Sabtu (26/7/2025).

    “Didukung sinergi berbagai pihak, kebijakan ini diharapkan dapat membuka ruang lebih banyak bagi peluang usaha, akses pembiayaan, dan perputaran ekonomi berkelanjutan,” tambahnya.

    Selain itu, BI membeberkan efek jika adanya penurunan dari BI rate; yaitu Cost of Fund (COF) atau biaya dana yang juga dapat menjadi turun. Dampak lanjutannya dari COF yang turun yakni bunga kredit yang disalurkan ke masyarakat juga menjadi turun.

    Dengan bunga kredit atau pembiayaan yang turun itu, BI mengharapkan dapat terjadinya kenaikan dalam permintaan kredit atau pembiayaan. Sejalan dengan meningkatkan penyaluran dana ke masyarakat melalui kredit, diharapkan mampu mendorong sektor produksi dan meningkatkan belanja masyarakat.

    Dampak susulan yang diharapkan BI dari penurunan BI rate yakni ekonomi dapat terus bergeliat, dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini diharapkan mendorong rojali dan rohana mulai merogoh koceknya, supaya membelanjakan uangnya dan ekonomi dapat terus tumbuh.

    (fdl/fdl)

  • Analisis Fenomena Rojali yang Kini Eksis

    Analisis Fenomena Rojali yang Kini Eksis

    Belakangan ini muncul fenomena rombongan jarang beli atau biasa disingkat rojali di pusat perbelanjaan atau mal. Umumnya, rombongan ini hanya sekedar melihat-lihat saja, tanpa belanja.

    Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) mengakui bahwa fenomena rombongan jarang beli atau rojali di pusat perbelanjaan atau mal memang terjadi. Mari kita analisis penyebabnya.

    Tonton video menarik lainnya di sini.

  • Hadapi Fenomena Rojali, Pengusaha Mal Gencar Hadirkan Promo

    Hadapi Fenomena Rojali, Pengusaha Mal Gencar Hadirkan Promo

    Bisnis.com, JAKARTA – Industri pusat perbelanjaan sejak tahun lalu gencar menghadirkan beragam kegiatan yang diharapkan mampu mendongkrak daya beli masyarakat.

    Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja menyampaikan, lemahnya daya beli masyarakat sejak tahun lalu telah memicu hadirnya fenomena rojali – rombongan jarang beli. 

    Untuk itu, strategi utama yang dilakukan oleh pusat perbelanjaan dalam menghadapi fenomena rojali adalah menghadirkan berbagai kegiatan maupun program untuk membantu daya beli masyarakat.

    “Sejak pasca-Idulfitri, pusat perbelanjaan telah dan akan banyak menyelenggarakan berbagai program promo belanja sampai dengan menjelang Natal dan Tahun Baru nanti,” ungkap Alphonzus kepada Bisnis, Jumat (25/7/2025).

    Dia menuturkan, program promo belanja juga diselenggarakan sekaligus. Hal ini dilakukan mengingat tahun ini periode low season berlangsung lebih panjang lantaran Ramadan dan Idulfitri berlangsung lebih awal dari tahun-tahun sebelumnya.

    Di sisi lain, pengusaha melihat pentingnya peran pemerintah untuk segera mengatasi pelemahan daya beli. Alphonzus mengatakan, pelemahan daya beli masyarakat telah berlangsung sejak tahun lalu. Namun, hingga saat ini, daya beli masyarakat tidak kunjung menunjukkan pemulihan. 

    “Oleh karenanya, diperlukan langkah cepat pemerintah untuk segera mengatasinya,” ujarnya.

    Menurutnya, kondisi ini tidak bisa lagi diatasi dengan berbagai strategi yang memerlukan waktu untuk mendapatkan efek ataupun dampak positifnya. 

    Dia mengatakan, dibutuhkan berbagai strategi yang berdampak langsung ataupun berdampak serta merta terhadap peningkatan daya beli masyarakat.

  • Pengusaha Mal: Fenomena Rojali Mulai Naik sejak Ramadan 2024 – Page 3

    Pengusaha Mal: Fenomena Rojali Mulai Naik sejak Ramadan 2024 – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), mencatat fenomena “Rojali” alias rombongan jarang beli meningkat signifikan sejak Ramadan 2024. Fenomena ini menggambarkan banyak warga yang jalan-jalan ke pusat perbelanjaan dan mal tetapi mereka tidak membeli. 

    Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, saat itu daya beli masyarakat mulai mengalami tekanan sehingga berdampak langsung pada performa ritel selama Ramadan dan Idul Fitri.

    “Sebetulnya sejak Ramadan (kenaikan rojali) ini sudah mulai. Ramadan yang lalu ya sebetulnya sudah terjadi, karena daya beli itu mulai bermasalah di 2024,” kata Alphonzus saat ditemui di Jakarta Timur, Jumat (25/7/2025).

    Padahal, Idul Fitri selama ini dikenal sebagai musim puncak belanja ritel. Namun di tahun ini, performanya tak maksimal karena daya beli lemah serta adanya pengetatan anggaran, termasuk dari pemerintah.

    Setelah Idul Fitri, sektor ritel masuk ke masa low season yang biasanya berlangsung singkat. Namun pada tahun ini, kondisi tersebut berlangsung lebih lama dari biasanya, diperparah oleh pergeseran waktu Ramadan yang datang lebih awal.

    “Makanya kenapa ramadhan dan Idul Fitri Ini kinerjanya tidak maksimal lebih terasa lagi setelah Idul Fitri, kenapa? Karena Idul Fitri itu kan puncak penjualan ritel di Indonesia Peak season-nya. Nah, peak season-nya itu kemarin tidak tercapai,” jelasnya.

    Kondisi ini menyebabkan intensitas Rojali makin tinggi, karena masyarakat datang ke pusat perbelanjaan hanya untuk rekreasi atau sekadar mencari suasana, bukan berbelanja.

     

  • Bukan Lagi Tempat Belanja, Transformasi Konsep Mal Menuju Gaya Hidup Urban

    Bukan Lagi Tempat Belanja, Transformasi Konsep Mal Menuju Gaya Hidup Urban

    JAKARTA – Di tengah perubahan gaya hidup masyarakat perkotaan, pusat perbelanjaan di kota-kota besar seperti Jakarta menghadapi tantangan untuk tetap relevan.

    Bukan lagi sekadar tempat untuk berbelanja, pusat perbelanjaan kini dihadapkan pada tuntutan menjadi ruang interaksi sosial dan bagian dari lanskap budaya urban.

    “Kota-kota besar kan fungsi pusat perbelanjaan ini bukan hanya sekedar sebagai tempat belanja lagi,” ujar Alfonso Widjaja, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), saat ditemui di Mal Atrium Senen, Jakarta Pusat pada Kamis, 10 Juli 2025.

    “Harus ada fungsi lebih dari sekedar tempat belanja. Jadi saya kira terutama di Jakarta itu terdengar sangat identik dengan lifestyle,” lanjutnya.

    Ia menambahkan perubahan gaya hidup adalah sesuatu yang konstan, dan pusat perbelanjaan dituntut untuk merespons hal ini dengan pendekatan yang adaptif.

    “Lifestyle ituselalu berubah setiap saat. Jadi saya kira itu yang harus direpon oleh para pengelola pusat belanja. Responnya bentuknya macam-macam,” lanjutnya.

    Menurut Alfonso, langkah-langkah yang diambil pengelola pusat perbelanjaan bervariasi, mulai dari mengubah konsep acara hingga melakukan renovasi dan repositioning.

    “Ada yang dengan merubah konser, ada juga yang dengan melakukan renovasi, ada juga yang melakukan perubahan posisioning dan sebagainya,” jelasnya.

    Contoh konkret dari penyesuaian ini bisa dilihat pada perubahan nama Millennium Mall menjadi Mal Atrium Senen. Transformasi tersebut mencakup renovasi fasilitas, penyegaran identitas visual, serta penguatan koneksi dengan komunitas lokal melalui pelestarian pusat onderdil dan konsep heritage Segitiga Senen.

    Namun Alfonso menekankan perubahan nama atau logo semata tidak cukup.

    “Yang perlu diperhatikan bukan hanya sekedar ganti logo, ganti nama. Tetapi juga renovasi gedung dan perubahan tenant mix untuk menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat,” tuturnya.

    Dengan dominasi e-commerce dalam fungsi belanja praktis, pusat perbelanjaan perlu menonjolkan aspek yang tak tergantikan oleh platform digital, yakni interaksi sosial.

    “Sebetulnya pusat belanja itu offline, bukan online. Salah satu kelebihan offline itu adalah bisa memberikan fasilitas masyarakat untuk berinteraksi sosial secara langsung dengan sesama manusia,” kata Alfonso.

    Perubahan nama Millennium Mall menjadi Mal Atrium Senen menjadi cerminan dari adaptasi terhadap tuntutan zaman sekaligus pelestarian identitas lokal.

    Kawasan Segitiga Senen yang memiliki nilai sejarah tinggi dijadikan titik tumpu pembaruan konsep pusat perbelanjaan, dengan menekankan nilai-nilai heritage dan pendekatan kontemporer.

    “Transformasi ini bukan sekadar perubahan nama, tetapi juga pembaruan identitas dan semangat kami dalam mengembangkan pusat perbelanjaan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat urban masa kini.” ujar Elly Christin, Direktur PT Nusa Mandiri Properti.

    Langkah ini tak hanya menyasar perbaikan fisik, tetapi juga menghadirkan identitas yang lebih sesuai dengan masyarakat urban. Rebranding dilakukan melalui pembaruan visual, pemilihan penyewaan yang relevan, dan penyediaan ruang sosial untuk aktivitas komunitas.

    Mal Atrium Senen juga akan menjadi tuan rumah penutupan Festival Jakarta Great Sale 2025, sebagai bagian dari kolaborasi dengan APPBI dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hal ini menunjukkan bagaimana pusat perbelanjaan bisa berperan sebagai simpul interaksi sosial dan ekonomi dalam dinamika kota.

  • Peritel Legendaris RI Matahari Tutup Sejumlah Toko, Ada Apa?

    Peritel Legendaris RI Matahari Tutup Sejumlah Toko, Ada Apa?

    Jakarta, CNBC Indonesia – PT Matahari Department Store Tbk (LPPF), salah satu peritel fesyen paling ikonik di Indonesia, kembali menutup salah satu gerainya. Kali ini, giliran Matahari Plaza Kalibata yang resmi menghentikan seluruh operasionalnya per 1 Juli 2025.

    Pengumuman penutupan ini tampak di sejumlah sudut gerai dalam bentuk selebaran, dan juga telah disampaikan lewat akun media sosial resmi. “Kami ucapkan terima kasih untuk para pelanggan setia Matahari Plaza Kalibata, offline maupun online,” tulis pengelola dalam unggahan perpisahan.

    Penutupan ini menambah daftar panjang gerai department store yang gulung tikar dalam beberapa tahun terakhir. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, fenomena ini bukan hal baru dan sudah berlangsung cukup lama.

    “Penutupan usaha kategori department store bukan hanya terjadi saat ini. Bahkan beberapa sudah tutup permanen, seperti Lotus, Centro, dan Golden Truly,” ujarnya kepada CNBC Indonesia belum lama ini.

    Menurut Alphonzus, penyebab utama surutnya bisnis department store adalah perubahan pola belanja masyarakat. Kini, konsumen tidak lagi mencari tempat belanja biasa, melainkan ruang yang menawarkan pengalaman menyenangkan dan berbeda.

    “Kalau hanya menyediakan barang, department store tidak akan bisa bertahan. Konsumen sekarang datang ke pusat belanja juga untuk berkumpul, ngobrol, cari suasana,” ujarnya.

    Peritel yang tidak bisa memenuhi kebutuhan customer experience ini, menurutnya, akan kalah bersaing dengan e-commerce yang jauh lebih efisien dan fleksibel. “Kalau tidak bisa memberikan pengalaman yang unik, peritel tidak ada bedanya dengan toko online,” tegas Alphonzus.

    Daya Beli Masih Lesu

    Selain faktor perubahan perilaku konsumen, kondisi daya beli masyarakat juga mempengaruhi kinerja gerai-gerai ritel fisik. Khususnya, kelompok menengah ke bawah yang masih belum pulih secara ekonomi pascapandemi dan di tengah tekanan inflasi.

    “Daya beli masyarakat, terutama yang berpenghasilan menengah ke bawah, masih turun. Ini juga berdampak besar pada kinerja department store,” kata Alphonzus.

    Penutupan gerai seperti yang dialami Matahari Plaza Kalibata bisa jadi sinyal bagi industri ritel untuk segera beradaptasi. Di tengah gempuran belanja online dan shifting preferensi konsumen, peritel tidak bisa hanya andalkan lokasi dan stok barang.

    (chd/haa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Tak Lagi Sepi Bak Kuburan, Bos Pengusaha: Mal-Mal Kini Mulai Bangkit

    Tak Lagi Sepi Bak Kuburan, Bos Pengusaha: Mal-Mal Kini Mulai Bangkit

    Jakarta, CNBC Indonesia – Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) buka suara soal kondisi terkini pusat perbelanjaan di Indonesia. Disebutkan, kondisi mal yang sebelumnya sempat memprihatinkan saking sepinya, kini mulai menunjukkan tanda-tanda bangkit.

    Ketua Umum APPBI Alphonzus Widjaja mengatakan kondisi usaha pusat perbelanjaan makin membaik dengan ditandai mulai banyaknya masyarakat yang berkunjung. Tak hanya itu saja, banyak juga pusat perbelanjaan baru yang dibuka dan ramai dikunjungi masyarakat.

    “Kinerja pusat perbelanjaan secara garis besar sudah mulai bergeliat lagi ya. Kalau dilihat, sudah mulai ramai dikunjungi masyarakat, meski daya beli masyarakat masih belum normal,” kata Alphonzus kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (3/7/2025).

    Per Mei 2025, menurutnya, pertumbuhan tingkat kunjungan ke pusat perbelanjaan secara rata-rata mencapai sekitar 10%-15% dibandingkan dengan 2024 lalu.

    Meski begitu, Ia mengakui masih ada beberapa pusat perbelanjaan yang belum bangkit karena belum mampu menghadirkan pengalaman yang berbeda. Namun, ada beberapa sektor usaha yang mulai bergeliat kembali seperti hiburan, makanan dan minuman, serta kategori lainnya.

    “Sektor usaha seperti hiburan, makanan dan minuman, masih terus bertumbuh dengan sangat baik, karena mungkin sektor inilah yang sedang dicari masyarakat,” ungkap Alphonzus.

    Alphonzus menilai daya beli yang melemah tak serta merta membuat mal sepi, malah ada penyesuaian gaya konsumsi dari para pengunjung. Kata dia, masyarakat tetap datang ke mal, tetapi dengan pola belanja yang berbeda.

    “Di tengah kondisi masih melemahnya daya beli masyarakat khususnya kelas menengah bawah, masyarakat masih tetap berkunjung ke pusat perbelanjaan dan berbelanja namun terjadi perubahan pola ataupun tren belanjanya. Masyarakat kelas menengah bawah cenderung membeli barang ataupun produk yang harga satuannya (unit price) rendah atau kecil,” jelasnya.

    Dengan kata lain, yang berubah bukan frekuensi kunjungan, melainkan jenis dan nilai transaksi. Katanya, konsumen menjadi semakin selektif, mengincar produk dengan harga terjangkau, meski tetap mencari suasana belanja yang menyenangkan.

    Kondisi ini menunjukkan bahwa fungsi mal kini tak lagi sekadar tempat bertransaksi. Banyak pengunjung datang untuk menghabiskan waktu, bersosialisasi, atau sekadar menikmati atmosfer. Inilah yang membuat tingkat kunjungan tetap stabil, bahkan bertumbuh.

    Alphonzus menyebut transformasi pusat perbelanjaan pun menjadi kunci. Mereka yang mampu menawarkan pengalaman menyeluruh, mulai dari keberagaman penyewa lapak (tenant mix) yang sesuai, ruang interaksi sosial, hingga konsep bangunan yang nyaman, cenderung lebih sukses menarik pengunjung.

    “Pusat perbelanjaan harus dapat memiliki dan menyediakan tempat ataupun fasilitas untuk pelanggan melakukan interaksi sosial dengan sesamanya, sehingga fungsi Pusat Perbelanjaan bukan lagi hanya sekedar sebagai tempat belanja,” pungkasnya.

    (dce)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Lapangan kerja pada perayaan HUT Jakarta

    Lapangan kerja pada perayaan HUT Jakarta

    Pengunjung Jakarta Fair memadati areal pameran di Jakarta, Jumat (20/6/2025). ANTARA/Khaerul Izan

    Lapangan kerja pada perayaan HUT Jakarta
    Dalam Negeri   
    Editor: Widodo   
    Sabtu, 28 Juni 2025 – 20:45 WIB

    Elshinta.com – Puncak perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-498 Kota Jakarta usai digelar pada Minggu (22/6) dan  beragam acara disuguhkan untuk memeriahkan perjalanan kota yang sebentar lagi menginjak usia 5 abad itu.

    Kota Jakarta yang kini berusia 498 tahun itu telah lama menjadi harapan dan tumpuan bagi 13 juta lebih jiwa untuk mengais rezeki di kota global tersebut.

    Daerah dengan luas 661,52 kilometer persegi itu sejatinya hanya dihuni oleh 10,68 juta jiwa sesuai data dari Badan Pusat Statistik.

    Namun pada siang hari, lebih dari 13 juta orang berada di kota itu, hal ini dikarenakan 3 juta lebih warga dari daerah penyangga mengais rezeki di kota yang lahir pada 1527 dengan nama Jayakarta.

    Perayaan HUT Jakarta menjadi berkah tersendiri bagi seorang pedagang makanan khas Betawi, karena setiap momen tersebut bisa mendapatkan rezeki yang melimpah.

    Ade menjadi satu di antara ratusan bahkan ribuan orang yang mengais rezeki dari perayaan HUT DKI. Ia selalu memanfaatkan momentum itu untuk menjaring pundi-pundi rezeki.

    Pada HUT Jakarta tahun ini, Ade bersama rekan-rekannya menjajakan makanan khas Betawi pada ajang Jakarta Fair 2025 yang menjadi satu di antara agenda dalam menyemarakkan hari jadi.

    Lain Ade, lain pula yang dirasakan Dodi.  Dia menjadi pekerja lepas setiap kali ada acara HUT DKI. Yang pasti perayaan HUT DKI tidak hanya dinikmati segelintir orang, akan tetapi ratusan bahkan ribuan orang bergantung pada ajang tahunan itu.

    Lapangan pekerjaan

    Jakarta Fair 2025 menjadi satu di antara berbagai agenda untuk merayakan HUT DKI Jakarta. Agenda pameran multiproduk itu biasanya digelar dalam waktu satu bulan penuh untuk memberikan hiburan kepada warga Jakarta dan sekitarnya.

    Pada pameran multiproduk kali ini diikuti sebanyak 2.550 peserta dengan komposisi perusahaan swasta 55 persen, dan pelaku UMKM 45 persen.

    Beragam produk dari berbagai sektor industri dipamerkan mulai dari otomotif, gadget, komputer, alat olah raga, fashion, perlengkapan rumah tangga, kuliner, industri kreatif, kerajinan tangan, perbankan, produk jasa, kosmetik, dan lainnya.

    Para peserta berasal dari berbagai skala usaha, mulai dari perusahaan multinasional, usaha besar, UMKM, BUMN, serta anjungan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten dari berbagai penjuru tanah air.

    Dengan banyaknya perusahaan dan pelaku usaha yang mengikuti pameran tersebut diperkirakan menyerap sebanyak 20 ribu lebih tenaga kerja dari berbagai sektor dan ini menjadi yang penting pada acara tersebut.

    “Tenaga kerja yang terserap di atas 20 ribu,” kata Marketing Director JIEXPO Ralph Sceunemann.

    Jakarta Fair 2025 yang digelar dari tanggal 19 Juni sampai 12 Juli 2025 itu berdampak signifikan bagi perekonomian serta penyerapan tenaga kerja.

    Tenaga kerja yang terserap bukan hanya dari Jakarta, namun daerah lainnya terutama yang menyiapkan produk untuk pameran terbesar tersebut.

    BIasanya, kurang dari dua bulan penyelenggaraan, Jakarta Fair sudah membuka lapangan kerja, seperti pembangunan tenda, perekrutan pramuniaga dan lain sebagainya.

    Bukan hanya Jakarta Fair 2025 yang membuka lapangan pekerjaan, namun ada sejumlah agenda HUT DKI juga menyerap banyak tenaga kerja.

    Jakarta Great Sale 2025 juga menargetkan sebanyak 200.000 pekerja terserap selama ajang yang diselenggarakan di 100 mal.

    Hal itu disampaikan Ketua APPBI DPD DKI Jakarta Mualim Wijoyo. Dia mengatakan rata-rata pekerja di pusat perbelanjaan  sebanyak 2.000 orang, baik yang bekerja di jajaran manajemen maupun operasional toko.

    Sehingga pusat belanja bukan hanya berperan dalam perekonomian di Jakarta, namun juga sebagai penggerak tenaga kerja.

    Perputaran ekonomi

    Pada HUT ke-498 Kota Jakarta terdapat dua agenda yang cukup besar dan menggerakkan roda perekonomian daerah tersebut.

    Kedua agenda yang dimaksud yaitu Jakarta Fair 2025 dan Jakarta Great Sale 2025, di mana keduanya menargetkan perputaran uang mencapai Rp23 triliun selama pelaksanaannya.

    Untuk ajang Jakarta Fair 2025, perputaran uang yang ditargetkan dapat mencapai Rp7,5 triliun.

    Angka tersebut bukan sekadar asumsi, karena dari tahun ke tahun pameran multiproduk yang telah berlangsung puluhan tahun itu sudah membuktikannya.

    Perputaran uang sebanyak itu tentu membuat roda ekonomi akan tumbuh dan lapangan pekerjaan pun bisa terbuka sehingga banyak warga yang mengais rezeki pada ajang itu.

    Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat (Menko PM) Muhaimin Iskandar mengatakan Jakarta Fair Kemayoran menjadi sarana penting untuk mendukung pemberdayaan ekonomi yang sejalan dengan arah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.

    Karena kata dia, Jakarta Fair telah melegenda menjadi sarana penting dan harus diakui sudah memulai langkah-langkah pemberdayaan.

    “Pemberdayaan harus menjadi bagian dari arus utama upaya kita menumbuhkuatkan ekonomi bangsa dan negara,” kata dia.

    Perputaran uang besar juga diharapkan datang dari Festival Jakarta Great Sale (FJGS) 2025  yang mampu mencapai target Rp15,5 triliun.

    Apalagi acara tersebut berlangsung lama dan dilakukan di 100 mal yang berada di daerah itu.

    Semua acara perayaan HUT Kota Jakarta diharapkan dapat membangkitkan perekonomian daerah. Apalagi Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta menyatakan bahwa perekonomian Jakarta pada triwulan pertama 2025 tumbuh sebesar 4,95 persen.

    Bila dibandingkan wilayah di Pulau Jawa lainnya, pertumbuhan ekonomi Jakarta masih di bawah Jawa Timur yang berada di angka 5,00 persen, Jawa Barat 4,98 persen, dan Jawa Tengah 4,96 persen.

    Beragam agenda pada perayaan HUT Kota Jakarta selain menjadi hiburan warga, juga dirancang sebagai penggerak ekonomi sehingga dapat membuka lapangan kerja.

    Sumber : Antara

  • APPBI optimistis FJGS jadi penggerak perekonomian Jakarta

    APPBI optimistis FJGS jadi penggerak perekonomian Jakarta

    ANTARA – Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) DKI Jakarta menggelar acara Festival Jakarta Great Sale (FJGS) di Lippo Mal Nusantara dari tanggal 10 Juni hingga 11 Juli 2025. Acara tersebut resmi dibuka oleh Gubernur Jakarta, Pramono Anung pada Selasa (10/6). (Ibnu Zaki/Rizky Bagus Dhermawan/Gracia Simanjuntak)

  • Jakarta Great Sale bisa berkontribusi 17,1 persen terhadap perdagangan

    Jakarta Great Sale bisa berkontribusi 17,1 persen terhadap perdagangan

    Tahun sebelumnya transaksi mencapai Rp14 triliun, tahun ini diharapkan lebih tinggi yaitu di Rp15,5 triliun

    Jakarta (ANTARA) – Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (PPKUKM) Provinsi DKI menilai penyelenggaraan Festival Jakarta Great Sale (FJGS) yang berlangsung pada 10 Juni-10 Juli 2025 dapat memberikan kontribusi 17,1 persen terhadap sektor perdagangan.

    “Ekonomi Jakarta sekarang ini tumbuh 5,12 persen yang mayoritas berasal dari sektor perdagangan. Sedangkan di sektor perdagangan FJGS bisa memberi kontribusi terbesar yakni 17,1 persen,” kata Kepala Dinas PPKUKM DKI Jakarta Elisabeth Ratu Rante Allo dalam konferensi pers di Lippo Mall Nusantara Jakarta, Selasa.

    Elisabeth mengatakan festival yang rutin diadakan setiap tahun ini mampu berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi di Jakarta.

    Terlebih, adanya target transaksi Festival Jakarta Great Sale (FJGS) yang semakin naik setiap tahunnya.

    “Tahun sebelumnya transaksi mencapai Rp14 triliun, tahun ini diharapkan lebih tinggi yaitu di Rp15,5 triliun,” ucapnya.

    Pada kesempatan ini, Pemerintah Provinsi DKI melalui Dinas PPKUKM melibatkan tujuh pusat perbelanjaan (mall) dalam pelaksanaan Festival Jakarta Great Sale (FJGS).

    Tujuh mall itu mulai dari Grand Indonesia, Lippo Mall Nusantara, Mall Taman Anggrek, hingga Lippo Mall Kemang.

    Kemudian, peresmian FJGS 2025 ini berlangsung di Lippo Mall Nusantara, yang saat ini tampil dengan identitas baru hasil transformasi dari Plaza Semanggi yang kini hadir dengan konsep yang lebih modern, inklusif, dan kaya muatan budaya dengan menghadirkan 200 UMKM makanan Nusantara.

    Festival Jakarta Great Sale (FJGS) 2025 membidik Rp15,5 triliun transaksi retail selama empat minggu pelaksanaan.

    FJGS 2025 merupakan bagian dari momen HUT Ke-498 Kota Jakarta dan program ini telah memasuki tahun ke-18 sejak pelaksanaannya dipercayakan kepada FJGS kepada Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) DKI Jakarta.

    Nanti warga Jakarta akan mendapat penawaran diskon sampai 70 persen untuk masing-masing produk-produk unggulan dan beragam kegiatan menarik seperti program belanja hingga tengah malam (midnight sale), program belanja berhadiah berbasis aplikasi (FJGS eshoppercard), donor darah, dan pemeriksaan kesehatan gratis.

    FJGS akan diikuti ribuan gerai retail yang terdapat di 100 pusat perbelanjaan anggota APPBI DPD DKI Jakarta.

    Pewarta: Luthfia Miranda Putri
    Editor: Ganet Dirgantara
    Copyright © ANTARA 2025