Organisasi: APJII

  • APJII Sebut Harga Dasar Lelang 1,4 GHz Terlalu Mahal untuk Internet Murah

    APJII Sebut Harga Dasar Lelang 1,4 GHz Terlalu Mahal untuk Internet Murah

    Bisnis.com, JAKARTA— Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menilai harga dasar lelang frekuensi 1,4 GHz untuk layanan akses nirkabel pita lebar atau Broadband Wireless Access (BWA) pada 2025 masih terlalu tinggi.

    Ketua Umum APJII Muhammad Arif mengatakan harga dasar yang ditetapkan pemerintah belum sejalan dengan misi menghadirkan internet murah bagi masyarakat.

    Harga dasar lelang frekuensi masih terlalu mahal untuk menghadirkan internet cepat 100 Mbps seharga Rp100.000. 

    Logikanya, dengan harga frekuensi yang tinggi maka harga layanan yang diberikan ke masyarakat relatif cukup tinggi terlebih jika ekosistem belum mendukung.

    “APJII menilai harga dasar lelang frekuensi 1.4 GHz sebesar Rp233 miliar di Region 1 terlalu tinggi untuk tujuan pemerataan akses,” kata Arif saat dihubungi Bisnis pada Rabu (20/8/2025).

    Adapun untuk Region 1, objek seleksi mencakup wilayah pada Zona 4 hingga Zona 10. Zona 4 meliputi Provinsi Banten, DKI Jakarta, Kota dan Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota Bekasi, serta Kabupaten Bekasi. Zona 5 mencakup Provinsi Jawa Barat (kecuali wilayah Bogor, Depok, dan Bekasi). 

    Zona 6 meliputi Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Zona 7 adalah Provinsi Jawa Timur. Zona 9 meliputi Provinsi Papua, Papua Barat, Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya. Sementara Zona 10 mencakup Provinsi Maluku dan Maluku Utara.

    Arif menekankan pita frekuensi 1,4 GHz dirancang untuk mendukung penyediaan internet murah hingga ke pelosok negeri, sehingga harga dasar lelang seharusnya mempertimbangkan fungsi strategis tersebut. 

    Pihaknya pun mendorong Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) meninjau kembali agar harga dasar lelang sesuai dengan misi internet terjangkau bagi semua.

    Lebih lanjut, dia berharap para peserta lelang tidak semata-mata bersaing untuk memberikan harga setinggi-tingginya. Dia ingin penyelenggara fokus pada tujuan akhirnya. 

    “Yaitu percepatan pemerataan akses dan peningkatan kualitas layanan internet di Indonesia,” ungkapnya.

    Adapun kabar yang bererdar, nilai dasar lelang frekuensi 1,4 GHz mencapai Rp400 miliar per regional untuk 80 MHz. Dengan perkiraan harga per MHz sebesar Rp5 miliar. Informasi lain menyebut nilai dasar lelang 1,4 GHz sebesar Rp230 miliar per regional, yang berarti lebih murah. 

    Dalam skema nilai dasar lelang diambil yang terendah sebesar Rp230 miliar untuk harga dasar, maka pada tahun pertama pemenang akan membayar up front free 2x dari nilai yang mereka tawarkan, ditambah 1x pembayaran untuk tahun tersebut. Artinya, pemenang harus membayar sekitar Rp690 miliar. Nilai tersebut berpotensi berubah karena ada proses tawar-menawar. 

    Jika menggunakan skema Rp400 miliar per regional, maka pada tahun pertama nilai yang dibayarkan mencapai Rp1,2 triliun. Nilai tersebut lebih mendekati nilai yang dibayarkan pemenang lelang pada lelang terakhir pita 2,1 GHz. 

    Bisnis coba mengonfirmasi kabar tersebut kepada Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Hingga berita ini diturunkan Komdigi tak memberi jawaban.

    Sebelumnya, Komdigi resmi membuka lelang frekuensi 1,4 GHz berdasarkan pengumuman Nomor: 1/SP/TIMSEL1,4/KOMDIGI/2025 tentang Seleksi Pengguna Pita Frekuensi Radio 1,4 GHz untuk layanan BWA Tahun 2025 pada 28 Juli 2025.

    Dalam pengumuman itu disebutkan, pemerintah akan melelang pita frekuensi radio pada rentang 1432–1512 MHz untuk layanan Time Division Duplexing (TDD) di sejumlah wilayah Indonesia.

    Pada 14 Agustus 2025, Komdigi melalui Tim Seleksi mengumumkan tujuh perusahaan yang telah mengambil akun sistem lelang elektronik (e-auction) sebagai syarat mengikuti seleksi pita frekuensi tersebut.

    Ketujuh perusahaan itu adalah PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk, PT XLSMART Telecom Sejahtera, PT Indosat Tbk, PT Telemedia Komunikasi Pratama, PT Netciti Persada, PT Telekomunikasi Selular, dan PT Eka Mas Republik.

  • Sektor Digital Butuh Regulasi Baru, APJII Minta Komdigi Perbaiki Aturan

    Sektor Digital Butuh Regulasi Baru, APJII Minta Komdigi Perbaiki Aturan

    Bisnis.com, JAKARTA— Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menekankan sektor digital perlu regulasi baru, meskipun tidak tercantum dalam delapan agenda prioritas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.

    Ketua Umum APJII Muhammad Arif mengatakan, ke depan di era digital, seluruh aspek kehidupan akan terkoneksi dengan inovasi digital. Karena itu, APJII akan terus memberikan masukan kepada pemerintah, khususnya melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) serta Komisi I DPR yang membidangi industri komunikasi dan informatika. 

    “Sebenarnya untuk mendukung digitalisasi ini perlu kebijakan-kebijakan baru oleh Komdigi di mana memang APJII sendiri fokus pada keberlangsungan dari industri internet di Indonesia,” kata Arif saat dihubungi Bisnis pada Selasa (19/8/2025). 

    Arif menambahkan, pihaknya juga mendorong Komdigi untuk membenahi sejumlah regulasi yang dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan dunia telekomunikasi. 

    Salah satunya adalah usulan moratorium penyelenggara ISP di Indonesia, karena jumlahnya saat ini dinilai terlalu banyak. 

    “Bukan selamanya tentu, tapi dalam artian untuk merapikan dulu regulasi-regulasi yang ada,” imbuhnya.

    Menurut Arif, langkah tersebut diharapkan dapat menata industri telekomunikasi, khususnya bisnis ISP, sehingga para penyelenggara mampu meningkatkan kualitas layanan.

    “Dan juga kualitas dari servisnya kepada konsumen dalam hal ini masyarakat,” pungkasnya.

    Menyatu dengan Pembangunan

    Sementara itu, pengamat telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Agung Harsoyo menilai, sektor teknologi komunikasi dan informasi telah menyatu dengan seluruh sektor pembangunan. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pelaporan, hingga evaluasi, semuanya melibatkan teknologi digital.

    “Pembangunan infrastruktur digital akan tetap dilakukan oleh penyelenggara jaringan maupun jasa. Jadi, meski tidak secara spesifik disebut [dalam program prioritas], industri ini akan tumbuh seiring dibangunnya sektor-sektor lain,” ungkap Agung.

    Mengutip laman Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Presiden Prabowo Subianto mengatakan RAPBN 2026 akan mengedepankan delapan agenda prioritas. Hal tersebut diungkapkan dalam Pidato Pengantar RAPBN 2026 dan Nota Keuangannya di Rapat Paripurna DPR pada Jumat (15/8/2025). 

    Delapan agenda prioritas tersebut antara lain, pertama ketahanan pangan sebagai fondasi kemandirian bangsa. 

    Kedua, ketahanan energi untuk kedaulatan bangsa. Hal ini dilakukan dengan cara peningkatan produksi minyak dan gas, menjaga harga energi, dan percepatan transisi energi menuju energi bersih.

    Ketiga, Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk generasi unggul. Program MBG yang telah menjangkau seluruh provinsi, ditargetkan menyentuh 82,9 juta penerima manfaat, termasuk siswa, ibu hamil, dan balita. 

    Keempat, pendidikan bermutu untuk SDM berdaya saing global. Dengan alokasi anggaran Rp757,8 triliun, RAPBN 2026 mencatat rekor tertinggi dalam sejarah belanja pendidikan. Fokus utamanya meliputi peningkatan kualitas guru, pendidikan vokasi, dan kesesuaian kurikulum dengan dunia kerja. 

    Kelima, kesehatan berkualitas yang adil dan merata. Anggaran kesehatan untuk memperkuat efektivitas dan memperluas akses layanan asuransi kesehatan dengan Program Jaminan Kesehatan Nasional.

    Keenam, penguatan ekonomi rakyat melalui  KDMP. Ketujuh, pertahanan semesta untuk menjaga kedaulatan bangsa. Pemerintah akan memodernisasi alutsista, memperkuat komponen cadangan, serta mendukung industri strategis nasional dan kesejahteraan prajurit. 

    Kedelapan, percepatan investasi dan perdagangan global. Melalui peran Danantara, pemerintah memperkuat investasi produktif dan mewujudkan Indonesia lebih kuat dalam rantai pasok dunia.

  • Kedaulatan Digital Ditukar Tarif Ekspor?

    Kedaulatan Digital Ditukar Tarif Ekspor?

    Bisnis.com, JAKARTA – Pada 23 Juli 2025, Gedung Putih merilis Joint Statement on the Framework for United States–Indonesia Agreement on Reciprocal Trade. Pernyataan bersama ini menguraikan rencana ambisius untuk mengurangi hambatan perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat.

    Pemerintah Indonesia menyepakati penghapusan sejumlah tarif dan hambatan non-tarif untuk produk asal AS, seperti barang elektronik, alat kesehatan, dan komoditas pertanian tertentu.

    Sebagai imbalannya, AS menawarkan penurunan tarif impor untuk barang Indonesia dari rata-rata 32% menjadi 19%, disertai janji relaksasi tambahan untuk komoditas prioritas seperti tekstil, produk kelautan, dan komponen otomotif (White House & U.S. Embassy, 2025).

    Namun, ini bukan sekadar soal liberalisasi perdagangan. Salah satu poin dalam dokumen itu memicu gelombang kritik. Indonesia menyatakan sistem perlindungan data pribadi di AS telah “memadai” untuk menjamin kelancaran transfer data lintas batas. Sekilas, pernyataan ini tampak sebagai formalitas teknis. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, substansinya menyentuh isu krusial, yaitu kedaulatan digital nasional. Keputusan ini bukan sekadar soal pertukaran ekonomi, melainkan pertaruhan atas kontrol negara terhadap aset digital rakyatnya.

    Dalam ekonomi politik digital, data pribadi bukan lagi sekadar kumpulan angka atau informasi acak. Data adalah aset strategis. Setara dengan komoditas seperti minyak, tanah, atau logam langka. Data menjadi bahan bakar utama ekonomi berbasis algoritma, fondasi bagi kecerdasan buatan (AI), pengiklanan digital, hingga sistem prediksi perilaku konsumen. Shoshana Zuboff, dalam The Age of Surveillance Capitalism (2019), menyebut data sebagai “minyak baru” yang mendorong akumulasi kapital di era digital. Perusahaan raksasa teknologi seperti Google, Meta, atau Amazon membangun imperium mereka dengan mengolah data pribadi menjadi komoditas yang menguntungkan.

    Ketika sebuah negara membiarkan data warganya mengalir ke luar tanpa pengendalian ketat, ia bukan hanya kehilangan aset berharga, tetapi juga menyerahkan kendali atas kekayaan informasi rakyatnya kepada entitas asing. Ini bukan kemajuan teknologi, melainkan pengabaian kedaulatan. Indonesia, dengan populasi 280 juta jiwa dan penetrasi internet yang mencapai 78% pada 2024 (APJII, 2024), memiliki potensi data yang sangat besar. Namun, tanpa kebijakan yang jelas, potensi ini justru menjadi celah eksploitasi.

    Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) sebenarnya telah meletakkan landasan untuk melindungi data warga. UU ini mensyaratkan bahwa transfer data lintas negara hanya boleh dilakukan ke yurisdiksi dengan standar perlindungan setara atau lebih tinggi. Pasal 56 UU PDP secara eksplisit menegaskan bahwa negara tujuan harus memiliki regulasi yang menjamin privasi warga Indonesia (Kominfo, 2024).

    Namun, hingga pertengahan 2025, otoritas pengawas independen yang diamanatkan UU belum terbentuk sepenuhnya. Peraturan turunan yang seharusnya memperkuat implementasi UU juga masih terjebak dalam proses harmonisasi antar kementerian, mencerminkan lemahnya koordinasi birokrasi (Kominfo, 2024).

    DAMPAK

    Di dalam negeri, kesepakatan ini berpotensi memperdalam ketimpangan digital. Lebih dari 20 juta UMKM Indonesia aktif di platform digital pada 2024 (Kominfo, 2024), tetapi mayoritas tidak memiliki akses ke data perilaku pelanggan. Data ini dikuasai oleh platform asing seperti Shopee, Amazon, atau TikTok, yang menyusun algoritma berdasarkan kepentingan mereka sendiri. Akibatnya, UMKM lokal hanya menjadi pelengkap dalam rantai pasok digital, tanpa kuasa untuk bersaing secara setara.

    Kesenjangan ini makin terasa di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Menurut BPS (2023), hanya 57% rumah tangga di wilayah 3T memiliki akses internet stabil. Literasi digital juga rendah, dengan hanya 34% penduduk di wilayah ini memahami hak mereka atas data pribadi (SAFEnet, 2024). Tanpa intervensi yang terarah, digitalisasi justru menjadi alat eksploitasi struktural baru terhadap kelompok marginal.

    Selain itu, rendahnya literasi digital di kalangan masyarakat umum memperburuk situasi. Survei SAFEnet (2024) menunjukkan bahwa 62% warga Indonesia tidak mengetahui bahwa data mereka dapat digunakan untuk kepentingan komersial tanpa persetujuan. Ketidaktahuan ini menciptakan celah bagi platform asing untuk memanen data tanpa hambatan, sementara warga tidak memiliki kuasa untuk menuntut hak mereka.

    Untuk menghadapi ancaman terhadap kedaulatan digital, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah tegas dan terukur. Pertama, pelaksanaan transfer data lintas batas harus ditunda hingga otoritas pengawas independen yang diamanatkan oleh Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) benar-benar berfungsi penuh. Penundaan ini mencakup penyelesaian seluruh peraturan turunan serta penguatan infrastruktur keamanan siber nasional yang saat ini masih lemah.

    Kedua, Indonesia perlu membangun kerangka tata kelola data nasional yang kokoh, berbasis pada tiga pilar utama: (1) lokalisasi data untuk sektor-sektor strategis, (2) pemerataan akses data (data equity) bagi pelaku lokal, dan (3) model insentif seperti data dividend agar manfaat ekonomi dari data pribadi dapat kembali ke masyarakat secara adil.

    Ketiga, seluruh perjanjian internasional yang menyangkut isu data dan privasi harus melewati proses uji publik yang transparan serta mendapatkan persetujuan DPR. Kajian risiko terkait harus dipublikasikan untuk memastikan akuntabilitas dan pengawasan demokratis.

    Di tingkat global, Indonesia juga memiliki peluang untuk memainkan peran strategis. Pemerintah dapat memimpin gerakan non-blok digital di forum seperti UN Global Digital Compact, dengan menggandeng negara-negara di Global South untuk menegaskan bahwa kedaulatan data adalah hak kolektif yang tidak bisa dinegosiasikan secara sepihak.

    Selain aspek regulasi dan diplomasi, aspek kapasitas juga penting. Pemerintah harus meluncurkan program nasional literasi digital yang menyasar wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Program ini harus mencakup edukasi mengenai hak privasi warga serta pelatihan bagi pelaku UMKM agar dapat memanfaatkan data secara mandiri dan berdaya saing.

    Akhirnya, negara perlu memprioritaskan investasi pada pusat data lokal dan pengembangan platform digital berbasis domestik. Salah satu contoh konkret adalah pengembangan super app nasional yang mampu menandingi dominasi platform asing, sebagaimana dilakukan India melalui inisiatif Open Network for Digital Commerce (ONDC).

    Digitalisasi bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk membangun masyarakat yang adil dan berdaulat. Jika hak digital warga dinegosiasikan secara diam-diam demi keuntungan jangka pendek seperti penurunan tarif ekspor, Indonesia sedang membayar masa depan dengan harga murah. Potensi ekonomi digital yang mencapai USD 360 miliar pada 2030 bukanlah sekadar angka, tetapi cerminan peluang untuk menciptakan kesejahteraan yang inklusif—jika dikelola dengan bijak.

    Kini saatnya memilih. Apakah Indonesia akan menjadi pemasok data mentah bagi korporasi global, atau menjadi pemilik masa depan digitalnya sendiri? Keputusan ini tidak hanya menentukan arah ekonomi, tetapi juga martabat bangsa di era digital. Dengan langkah yang tepat, Indonesia dapat menjadikan data sebagai fondasi kedaulatan, bukan komoditas yang diperdagangkan.

  • Internet Rumah Nomor 2 di RI Jarang yang Tahu, Ternyata Punya BUMN

    Internet Rumah Nomor 2 di RI Jarang yang Tahu, Ternyata Punya BUMN

    Jakarta, CNBC Indonesia – Layanan internet rumah paling laris nomor dua di Indonesia ternyata dimiliki oleh salah satu BUMN paling terkenal, PLN. Layanan tersebut adalah Iconnet, yang kini berada di posisi dua pasar internet tetap (fixed broadband) di tanah air setelah IndiHome milik Telkomsel.

    Berdasarkan hasil Survei Internet Indonesia 2025 yang dirilis Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), IndiHome mencatatkan pangsa pasar terbesar di Indonesia.

    Dalam laporan tersebut, IndiHome menguasai 43,96% pangsa pasar pengguna internet tetap di 2025. Capaian ini menempatkan IndiHome jauh di atas pesaing-pesaing lainnya.

    Di posisi kedua ada  Iconnet dengan 4,24%, Biznet 3,87%, dan My Republic 2,82%. Sementara pemain lain seperti MNC Play, Oxygen, XL Home, hingga CBN mencatatkan pangsa pasar di bawah 3%. Kategori “lainnya” dalam survei tersebut dipilih oleh 23,83% pengguna internet RI.

    Data tersebut juga mengungkap, sebanyak 33,01% responden memilih operator berdasarkan harga paket yang terjangkau, disusul oleh referensi dari kerabat (19,35%) dan penawaran promo menarik saat pendaftaran awal (18,82%).

    Sementara 13,94% responden menyebut reputasi operator yang sudah tepercaya sebagai faktor kunci

    APJII mencatat bahwa alasan lain seperti ketersediaan operator di lokasi (11,79%) dan bundling dengan layanan lain (1,73%) juga ikut memengaruhi pilihan masyarakat.

    Di balik dominasi IndiHome, Ketua Umum APJII Muhammad Arif mengungkapkan kondisi ekosistem penyedia jasa internet (ISP) di tanah air. Menurutnya, struktur industri saat ini sudah terdestruksi yang cukup dalam.

    “Ekosistem internet di Indonesia sudah sangat terdestruksi dengan luar biasa, dengan jumlah ISP sudah mencapai lebih dari 1.300 perusahaan,” ujat Arif, dikutip Selasa (12/8/2025).

    Lebih lanjut, Arif menyebutkan bahwa animo untuk menjadi penyedia internet juga masih sangat tinggi.

    “Bahkan yang saya dengar dari data di Komdigi, ada sekitar hampir 500 antrean untuk menjadi internet provider. Oleh karena itu memang tatanan harus dirapikan kembali, kita melihat ini dalam rangka menuju ekosistem internet yang berkelajuan,” tegasnya.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Alasan Internet di Indonesia Lelet, Kecepatannya Cuma Segini

    Alasan Internet di Indonesia Lelet, Kecepatannya Cuma Segini

    Jakarta, CNBC Indonesia – Ketua Umum APJII Muhammad Arif mengakui kondisi kecepatan internet di Indonesia belum optimal. Hal tersebut disampaikan dalam sambutan pembukaan acara DTI-CX 2025 di JCC, Jakarta, pada Rabu (6/8) pekan ini.

    Arif mengatakan kecepatan internet yang masih “belum menggembirakan” menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia yang tengah mendorong transformasi digital dan konektivitas nasional. Adapun salah satu alasannya adalah infrastruktur yang belum merata.

    “Faktanya saat ini infrastruktur Indonesia, infrastruktur digital Indonesia, belum merata. Ini yang menjadi kegelisahan, ya tentunya PR kita bersama. Bagaimana ke depan kita meningkatkan kualitas internet di Indonesia,” kata Arif.

    Omongan Arif tersebut tercermin dari laporan ‘Profil Internet Indonesia 2025’ terbaru yang dirilis APJII. Laporan itu menunjukkan kecepatan internet tetap di Indonesia masih didominasi oleh kecepatan rendah.

    Sebanyak 33,43% pengguna internet tetap di Indonesia hanya menikmati kecepatan 10-20 Mbps.

    Sementara itu, pengguna internet tetap yang menikmati kecepatan 20-30 Mbps baru sekitar 21,06%. Masih ada pula yang menikmati kecepatan internet di bawah 10 Mbps, meski nominalnya sedikit, yakni 18,71%.

    Lantas, lebih kecil lagi yang menikmati internet tetap berkecepatan di atas 100 Mbps, yakni 2,31%. Terakhir, ada yang sudah menikmati internet 100 Mbps hingga di bawah 300 Mbps, yakni 0,58%.

    Jika dibandingkan dari tahun lalu, sebenarnya ada pergeseran yang menunjukkan peningkatan. Pengguna internet tetap yang hanya menikmati kecepatan di bawah 10 Mbps turun dari 26,51% pada 2024 menjadi 18,71% di 2025.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Raja Internet RI Enggak Ada Lawannya, Lainnya Cuma Dapat Remah

    Raja Internet RI Enggak Ada Lawannya, Lainnya Cuma Dapat Remah

    Jakarta, CNBC Indonesia – Layanan internet tetap milik Telkomsel, IndiHome, menjadi operator paling favorit di Indonesia berdasarkan hasil Survei Internet Indonesia 2025 yang dirilis Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII).

    Dalam laporan tersebut, IndiHome menguasai 43,96% pangsa pasar pengguna internet tetap di 2025. Capaian ini menempatkan IndiHome jauh di atas pesaing-pesaing lainnya.

    Di posisi kedua ada kategori “Lainnya” dengan 23,83%, diikuti oleh Iconnet dengan 4,24%, Biznet 3,87%, dan My Republic 2,82%. Sementara pemain lain seperti MNC Play, Oxygen, XL Home, hingga CBN mencatatkan pangsa pasar di bawah 3%.

    Data tersebut juga mengungkap, sebanyak 33,01% responden memilih operator berdasarkan harga paket yang terjangkau, disusul oleh referensi dari kerabat (19,35%) dan penawaran promo menarik saat pendaftaran awal (18,82%).

    Sementara 13,94% responden menyebut reputasi operator yang sudah tepercaya sebagai faktor kunci

    APJII mencatat bahwa alasan lain seperti ketersediaan operator di lokasi (11,79%) dan bundling dengan layanan lain (1,73%) juga ikut memengaruhi pilihan masyarakat.

    Di balik dominasi IndiHome, Ketua Umum APJII Muhammad Arif mengungkapkan kondisi ekosistem penyedia jasa internet (ISP) di tanah air. Menurutnya, struktur industri saat ini sudah terdestruksi yang cukup dalam.

    “Ekosistem internet di Indonesia sudah sangat terdestruksi dengan luar biasa, dengan jumlah ISP sudah mencapai lebih dari 1.300 perusahaan,” ungkap Arif saat pembukaan acara DTI-CX 2025 di JCC, Jakarta, Rabu (6/8/2025).

    Lebih lanjut, Arif menyebutkan bahwa animo untuk menjadi penyedia internet juga masih sangat tinggi.

    “Bahkan yang saya dengar dari data di Komdigi, ada sekitar hampir 500 antrian untuk menjadi internet provider. Oleh karena itu memang tatanan harus dirapihkan kembali, kita melihat ini dalam rangka menuju ekosistem internet yang berkelajuan,” tegasnya.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Mineral-batu bara berpotensi besar dongkrak pertumbuhan ekonomi

    Mineral-batu bara berpotensi besar dongkrak pertumbuhan ekonomi

    Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana memberikan sambutan pada acara Digital Transformation Indonesia Conference and Expo (DTI-CX) di Jakarta, Rabu (6/8/2025). ANTARA/HO-Kementerian ESDM

    ESDM: Mineral-batu bara berpotensi besar dongkrak pertumbuhan ekonomi
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Kamis, 07 Agustus 2025 – 09:23 WIB

    Elshinta.com – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan komoditas mineral dan batu bara memiliki potensi besar dalam rangka mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana, dalam sambutannya pada acara Digital Transformation Indonesia Conference and Expo (DTI-CX), mengatakan cadangan dan potensi komoditas mineral dan batu bara Indonesia, termasuk terbanyak di dunia, dan menjadi salah satu senjata utama dalam meningkatkan ketahanan energi, yang menjadi Astacita Pemerintahan Presiden Prabowo.

    “Jadi, ini diharapkan bisa mendorong perekonomian yang baik, mendukung, berkontribusi, dan menurut Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), ini salah satu yang memang akan berkontribusi utama untuk memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi delapan persen itu bisa tercapai dengan hilirisasi,” ujar Dadan dalam keterangan resminya di Jakarta, Kamis.

    Sejak 2022, subsektor minerba memiliki kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Kementerian ESDM. Pada 2024, PNBP subsektor minerba memberi sumbangsih sebesar Rp140,5 triliun dari total PNBP Kementerian ESDM sebanyak Rp269,6 triliun.

    Dadan juga mengatakan dari sisi pemanfaatan teknologi, subsektor minerba telah menggunakan teknologi yang cukup maju, baik pada tahapan eksplorasi, produksi, hingga pelaporannya. Pemanfaatan teknologi juga didukung regulasi.

    “Sudah disebut di dalam undang-undang kita yang terkait dengan minerba, bahwa pemanfaatan teknologi, pemanfaatan sistem informasi, ini yang menjadi salah satu driver utama untuk mendorong, baik itu secara ekonomi lebih baik, maupun juga untuk memastikan bahwa datanya itu data yang benar, data yang dipercaya,” katanya.

    Kementerian ESDM juga terbuka dalam pemanfaatan teknologi informasi. Sistem perencanaan dan pelaporan sudah sepenuhnya menggunakan sistem informasi, seperti Sistem Informasi Mineral dan Batubara Antar Kementerian/Lembaga (SIMBARA) untuk memastikan penerimaan negara, Minerba One Data Indonesia (MODI), dan e-RKAB untuk memastikan kegiatan pertambangan berjalan sesuai peraturan perundang-undangan.

    Secara umum, Dadan juga menyampaikan posisi strategis sektor ESDM terhadap perekonomian Indonesia. Indonesia memiliki cadangan dan potensi sumber daya alam yang melimpah, yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi.

    Digital Transformation Indonesia Conference and Expo (DTI-CX) merupakan ajang khusus yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), dan Indonesia Data Center Provider (IDPRO).

    Acara tersebut mempertemukan para profesional dan pengambil keputusan di bidang teknologi informasi dengan berbagai solusi inovatif, serta menghubungkan teknologi terbaru dengan 13 sektor industri utama di Indonesia, mulai dari pemerintahan, infrastruktur, keuangan, FMCG, telekomunikasi, pertanian, logistik dan transportasi, manufaktur, pariwisata dan perhotelan, pertambangan serta minyak dan gas, e-commerce, pendidikan, hingga kesehatan.

    Sumber : Antara

  • Wamenkomdigi Tekankan Transformasi Digital Mesin Utama Pertumbuhan Ekonomi 8%

    Wamenkomdigi Tekankan Transformasi Digital Mesin Utama Pertumbuhan Ekonomi 8%

    Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Nezar Patria menekankan urgensi transformasi digital dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. 

    Dalam konferensi dan pameran teknologi Digital Transformation Indonesia Conference & Expo (DTI-CX 2025), Nezar mengatakan pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. Adapun saat ini pertumbuhan ekonomi telah menyentuh 5,12%. 

    Dalam mencapai pertumbuhan tersebut, kunci utama sekaligus mesin pendorong adalah transformasi digital yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta. 

    “Transformasi digital bukan lagi pilihan, tapi mesin utama penggerak kinerja ekonomi,” kata Nezar dikutip, Kamis (7/8/2025). 

    Nezar juga mengatakan pentingnya kehadiran forum yang membuka seluruh pemangku kepentingan untuk mendorong percepatan transformasi digital. 

    Ketua Umum Mastel Sarwoto Atmosutarno mengatakan terdapat lebih dari 30 asosiasi dan 300 pembicara yang terlibat dalam DTI-CX 2025 dan DCTI-CX .

    DTI-CX 2025 dan DCTI-CX diselenggarakan di Jakarta International Convention Center, Senayan, selama dua hari, yaitu 6-7 Agustus 2025. 

    Data Center

    Sementara itu, Ketua Umum IDPRO, Hendra Suryakusuma menyebut bahwa data center tidak dapat lagi dianggap sebagai infrastruktur pendukung, melainkan jantung transformasi digital.   

    Di tengah isu peralihan data ke Amerika Serikat, data center tetap memiliki peran penting di Indonesia yang tidak dapat digantikan. 

    “DCTI-CX mencerminkan pergeseran peran data center dari sekadar infrastruktur pendukung, menjadi jantung dari seluruh proses transformasi digital,” kata Hendra.

    Dalam mendukung pertumbuhan industri data center, Schneider Electrics fokus mengembangkan talenta data center di Indonesia.

    “Untuk mendukung hal tersebut, kami menggunakan pendekatan 3E: Education, Exposure, Experience,” jelas Senior HR Business Partner Schneider Electric, Jessy Tiara.

    Pendekatan edukasi (education) dijalankan Schneider dengan menawarkan Flagship Development Program berupa Student Ambassador, dan juga kerja sama dengan Politeknik Batam untuk instalasi produk Schneider di dalam kampus.

    Pengguna Internet

    Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 229,43 juta jiwa pada 2025. Angka tersebut naik dibandingkan 2024 yang mencapai 221,56 juta orang.

    “Kita sudah menjangkau sekitar 229 juta penduduk di seluruh Indonesia,” Ketua Umum APJII Muhammad Arif dalam Peluncuran Hasil Survei APJII: Profil Internet Indonesia 2025 di Jakarta pada Rabu (6/8/2025). 

    Dari sisi penetrasi, Arif mengungkapkan, tingkat penetrasi internet di Indonesia saat ini mencapai 80,66%, meningkat dari 79,50% pada 2024, 78,19% pada 2023, dan 77,01% pada 2022.

    Arif menambahkan, meski penetrasi terus meningkat, masih ada hampir 20% masyarakat yang belum menikmati layanan internet. Dia menyebut, salah satu kendala yang dihadapi dalam pemerataan layanan internet adalah infrastruktur telekomunikasi yang masih menumpuk di wilayah tertentu dan belum merata. 

    Padahal, Arif menuturkan, jumlah penyedia jasa internet (ISP) di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 1.320. (Muhamad Rafi Firmansyah Harun)

  • Makin Banyak Warga RI Pakai Pinjol, Terutama Golongan Orang Ini

    Makin Banyak Warga RI Pakai Pinjol, Terutama Golongan Orang Ini

    Jakarta, CNBC Indonesia – Laporan ‘Profil Internet Indonesia 2025’ yang dirilis Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan perilaku masyarakat Indonesia dalam memanfaatkan layanan pinjaman online (pinjol).

    Menurut hasil survei 8.700 responden yang tersebar proporsional di 38 provinsi di Indonesia, jumlah pengguna pinjol meningkat di Tanah Air. Persentasenya di 2025 sebesar 8,21% berbanding 5,42% pada 2024.

    Kendati demikian, memang masih lebih banyak masyarakat Indonesia yang tidak menggunakan pinjol, yakni 91,79% di 2025. Angka itu menurun dibandingkan tahun lalu sebesar 94,58%. 

    Kelompok Milenial merupakan yang paling banyak menggunakan pinjol, yakni sekitar 45,15%. Hampir seperempat dari kelompok Milenial (25,87%) menggunakan pinjol untuk membeli barang dengan cicilan tanpa kartu kredit.

    Berikutnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan mendesak (22,73%) yakni untuk biaya kesehatan, terjerat utang, atau hal-hal bersifat darurat lainnya. Kemudian 17,13% menggunakannya untuk berbelanja barang kebutuhan sehari-hari.

    Kelompok kedua yang paling rajin menggunakan pinjol adalah Gen Z, yakni sebanyak 41,44%. Mayoritas Gen Z (23,42%) menggunakan pinjol untuk memenuji kebutuhan mendesak.

    Sebanyak 20,45% menggunakannya untuk membeli barang dengan cicilan. Sementara itu, 16,36% juga membutuhkan pinjol untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari.

    Gen X juga tercatat sebagai pengguna pinjol, meski angkanya tak sebanyak Milenial dan Gen X, dengan kontribusi 11,75%.

    Kelompok ini kebanyakan menggunakan untuk belanja barang kebutuhan sehari-hari dan membeli barang dengan cicilan (masing-masing 21,05%). Berikutnya adalah 18,42% menggunakannya karena proses pengajuannya mudah dan cepat.

    Laporan tersebut juga mengungkapkan penetrasi penggunaan pinjol berdasarkan pengeluaran. Ternyata kebanyakan pengguna pinjol memiliki pengeluaran Rp 2,5 juta-Rp 3,5 juta (21,44%).

    Berikutnya diikuti oleh kelompok pengeluaran Rp 1 juta-Rp 1,5 juta (17,53%), Rp 1,5 juta-Rp2 juta (16,91%), Rp 2 juta-Rp 2,5 juta (15,88%), kurang dari Rp 1 juta (13,61%), Rp 3,5 juta-Rp6 juta (12,16%), dan di atas 6 juta sebanyak 2,47%.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Pengguna Internet di RI Capai 229 Juta Penduduk

    Pengguna Internet di RI Capai 229 Juta Penduduk

    Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebut tingkat penetrasi internet RI tahun 2025 naik 1,16 persen dibanding tahun lalu.

    Total hingga saat ini ada 229 juta masyarakat Indonesia yang sudah menikmati layanan internet. Penetrasi tertinggi berada di pulau Jawa yaitu 84,69 persen.

    Klik di sini untuk melihat video lainnya!