Organisasi: APINDO

  • Apindo: Putusan MK Tentang UU Cipta Kerja Picu Ketidakpastian Usaha

    Apindo: Putusan MK Tentang UU Cipta Kerja Picu Ketidakpastian Usaha

    Jakarta, Beritasatu.com –  Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait judicial review Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja akan memberikan ketidakpastian ke iklim investasi di Tanah Air. 

    Pasalnnya, keputusan ini membatalkan sejumlah ketentuan penting UU Cipta Kerja.

    Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam mengatakan, putusan MK dapat memicu ketidakpastian regulasi yang berdampak pada iklim investasi. Padahal, kepastian hukum adalah faktor kunci bagi pelaku usaha dan investor dalam membuat perencanaan jangka panjang.

    “Tanpa kepastian ini, Indonesia berisiko menurunkan daya tarik sebagai tujuan investasi, yang pada gilirannya memperlambat aliran modal baru dan bahkan memengaruhi ketahanan investasi yang sudah ada,” kata Bob dalam keterangan resmi yang diterima pada Jumat (1/11/2024).

    Dia mengatakan, perubahan 21 pasal yang diputuskan MK ini akan membuat dunia usaha mengukur kembali dampak terhadap perencanaan perusahaan ke depan, terutama yang berpotensi meningkatkan beban operasional.  Dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, peningkatan biaya berdampak pada kemampuan perusahaan menjaga daya saing.

    “Beban operasional tinggi akan menekan produksi, terutama di sektor padat karya, seperti manufaktur yang memekerjakan tenaga kerja dalam jumlah besar dan sensitif terhadap perubahan biaya tenaga kerja,” kata dia.

    Bob menegaskan, agar Indonesia tidak kehilangan momentum menarik industri manufaktur dan padat karya, perlu memperkuat iklim investasi baik mengingat negara-negara tetangga di ASEAN, seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam, telah lebih dahulu menarik investasi global.

    “Bahkan, negara-negara yang sebelumnya tertinggal, seperti Kamboja, Laos, dan Myanmar mulai menawarkan fleksibilitas ketenagakerjaan dan kebijakan yang ramah investasi,” tegas Bob.

    Lebih lanjut, Apindo akan mengkaji putusan MK terutama kebijakan yang berdampak di klaster ketenagakerjaan. 

    Mengenai proses penetapan upah minimum 2025 yang sudah diambang pintu, Apindo berharap agar proses penetapan upah minimum tetap mengikuti ketentuan yang ada sebelum terbitnya putusan MK Nomor 168/PUU-XX1/2023 tanggal 31 Oktober 2024.

    “Hal ini mengingat kerumitan akan terjadi di seluruh daerah bahkan di perusahaan apabila putusan MK terkait tentang upah minimum langsung diberlakukan dan menjadi acuan penetapan upah minimum 2025,” pungkas Bob.

    Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (31/10/2204) mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan sejumlah pemohon lain terkait Undang-Undang Cipta Kerja. MK pun mengabulkan gugatan terhadap 21 pasal.

    Sejumlah hal yang berubah berdasarkan putusan MK adalah  perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) maksimal 5 tahun dari sebelumnya tidak adanya syarat jangka waktu PKWT. Selain itu, MK menyatakan tenaga kerja berhak mendapat penghasilan layak untuk memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar.

    MK memasukkan makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua sebagai unsur upah. MK menyatakan tenaga kerja asing masih bisa bekerja di Indonesia, tetapi pemberi kerja harus mengutamakan tenaga kerja Indonesia.

    MK juga memperketat proses pemutusan hubungan kerja (PHK) terutama jika terdapat proses perundingan bipartit. Jika tak mencapai kesepakatan antara pekerja dan pengusaha, MK menyatakan PHK hanya dapat dilakukan setelah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap dari lembaga berwenang.

    MK juga memperjelas persoalan nilai minimal pesangon dalam putusannya.

  • Tindaklanjuti Putusan MK Tentang UU Cipta Kerja, Kemenaker Ajak Dialog Buruh dan Pengusaha

    Tindaklanjuti Putusan MK Tentang UU Cipta Kerja, Kemenaker Ajak Dialog Buruh dan Pengusaha

    Jakarta, Beritasatu.com – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah memutuskan perkara judicial review Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang.

    Kemenaker akan mengajak berdialog buruh dan pengusaha merespons putusan MK soal UU Cipta Kerja.

    “Sebagai negara hukum, pemerintah tunduk dan patuh atas putusan MK. Pemerintah juga segera mengambil langkah-langkah strategis untuk menindaklanjuti putusan tersebut,” ucap Menteri Ketenagakerjaan Yassierli dalam keterangan resmi yang diterima pada Jumat (1/11/2024).

    Kemenaker akan berkoordinasi dengan kementerian/lembaga (K/L) dan mengajak serikat pekerja/serikat buruh, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, serta para pemangku kepentingan lainnya untuk berdialog menindaklanjuti putusan MK.

    “Kemenaker akan menggunakan forum-forum dialog baik melalui lembaga kerja sama tripartit, Dewan Pengupahan Nasional, maupun forum dialog lainnya,” ucap Menaker.

    Pemerintah memastikan adanya peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh serta keberlangsungan usaha. Dia juga mengajak seluruh pemangku kepentingan ketenagakerjaan mengambil bagian menyelesaikan permasalahan ketenagakerjaan.

    “Persoalan ketenagakerjaan tidak hanya pekerja/buruh yang sedang aktif bekerja, tetapi juga penciptaan lapangan kerja lebih luas untuk menampung angkatan kerja baru dan perlindungan pekerja yang rentan terkena PHK (pemutusan hubungan kerja),” terang dia.

    Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (31/10/2204) mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan sejumlah pemohon lain terkait Undang-Undang Cipta Kerja. MK pun mengabulkan gugatan terhadap 21 pasal.

    Sejumlah hal yang berubah berdasarkan putusan MK adalah  perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) maksimal 5 tahun dari sebelumnya tidak adanya syarat jangka waktu PKWT. Selain itu, MK menyatakan tenaga kerja berhak mendapat penghasilan layak untuk memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar.

    MK memasukkan makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua sebagai unsur upah. MK menyatakan tenaga kerja asing masih bisa bekerja di Indonesia, tetapi pemberi kerja harus mengutamakan tenaga kerja Indonesia.

    MK juga memperketat proses pemutusan hubungan kerja (PHK) terutama jika terdapat proses perundingan bipartit. Jika tak mencapai kesepakatan antara pekerja dan pengusaha, MK menyatakan PHK hanya dapat dilakukan setelah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap dari lembaga berwenang.

    MK juga memperjelas persoalan nilai minimal pesangon dalam putusannya.

  • Apindo: Putusan MK Soal UU Cipta Kerja Berpotensi Hambat Iklim Investasi

    Apindo: Putusan MK Soal UU Cipta Kerja Berpotensi Hambat Iklim Investasi

    Jakarta, Beritasatu.com – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas judicial review Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja berpotensi menimbulkan ketidakpastian pada iklim investasi di Indonesia. Putusan ini membatalkan sejumlah ketentuan kunci dalam UU Cipta Kerja, yang dinilai dapat berdampak negatif terhadap daya tarik investasi.

    Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam mengungkapkan langkah MK ini memicu ketidakpastian regulasi terkait investasi di Indonesia. Menurut Bob, stabilitas regulasi dan kepastian hukum adalah hal penting bagi pelaku usaha dan investor dalam membuat perencanaan jangka panjang.

    “Tanpa adanya kepastian, Indonesia berisiko menurunkan daya tariknya sebagai tujuan investasi. Hal itu dapat memperlambat aliran modal baru dan mengganggu ketahanan investasi yang sudah ada,” ujar Bob dalam pernyataan resminya pada Jumat (1/11/2024).

    Ia menjelaskan perubahan 21 pasal dalam UU Cipta Kerja yang diputuskan oleh MK membuat pelaku usaha harus menilai kembali dampaknya terhadap rencana bisnis dan kondisi perusahaan. Hal itu berdampak pada potensi peningkatan beban operasional. Dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, peningkatan biaya operasional ini bisa memengaruhi daya saing perusahaan.

    “Biaya operasional yang lebih tinggi akan berdampak pada stabilitas produksi, terutama di sektor padat karya seperti manufaktur, yang mempekerjakan banyak tenaga kerja dan rentan terhadap perubahan biaya tenaga kerja,” kata Bob.

    Bob juga mengingatkan pentingnya menjaga momentum untuk menarik investasi di sektor manufaktur dan industri padat karya. Menurutnya, iklim investasi yang kuat perlu diperkuat, terlebih negara-negara ASEAN, seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam sudah berhasil menarik minat investor global ke sektor manufaktur mereka.

    “Bahkan, negara-negara yang sebelumnya tertinggal seperti Kamboja, Laos, dan Myanmar, kini mulai menawarkan fleksibilitas tenaga kerja dan kebijakan yang ramah investasi, menjadikannya semakin kompetitif sebagai tujuan investasi,” tegas Bob.

    Apindo akan melakukan kajian mendalam terhadap dampak putusan MK, khususnya pada klaster ketenagakerjaan. Apindo juga berharap pemerintah melibatkan pelaku usaha dalam pembahasan untuk merespons putusan MK secara substantif.

    “Pelibatan dunia usaha secara berarti, seperti yang diamanatkan dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sangat kami harapkan dalam penyusunan berbagai kebijakan,” tambahnya.

    Terkait penetapan upah minimum pada 2025, Apindo berharap penetapan upah minimum masih merujuk pada ketentuan sebelum adanya putusan MK Nomor 168/PUU-XX1/2023 yang diterbitkan pada Kamis (31/10/2024). Menurut Bob, implementasi putusan ini secara langsung dapat menyebabkan kerumitan di tingkat daerah dan perusahaan.

    Dalam kesempatan terpisah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan pemerintah akan mematuhi putusan MK terkait UU Cipta Kerja.

    “Pemerintah akan mengikuti putusan MK, khususnya pada aspek pengupahan, dengan melibatkan dialog antara Kemenaker, pekerja, buruh, dan pengusaha,” kata Airlangga.

    Dalam putusannya, MK meminta pemerintah untuk memperbaiki aturan yang berkaitan dengan pengupahan, perjanjian kerja, outsourcing, dan hak pekerja lainnya. Salah satu regulasi turunan mengenai pengupahan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan, yang berlandaskan pada indeks biaya hidup layak.

  • Pemerintah hormati putusan MK terkait UU 6/2023

    Pemerintah hormati putusan MK terkait UU 6/2023

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Pemerintah hormati putusan MK terkait UU 6/2023
    Dalam Negeri   
    Sigit Kurniawan   
    Jumat, 01 November 2024 – 20:11 WIB

    Elshinta.com – Pemerintah menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah memutuskan perkara judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang.

    “Sebagai negara hukum, pemerintah tentunya tunduk dan patuh atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Pemerintah juga akan segera mengambil langkah-langkah strategis untuk menindaklanjuti putusan tersebut,” ucap Menteri Ketenagakerjaan Yassierli melalui siaran pers di Jakarta, Jumat (1/11).

    Langkah yang akan diambil Kemnaker, di antaranya dengan menginisiasi koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait. Kemnaker juga akan mengajak serikat pekerja/serikat buruh, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Kadin dan para pemangku kepentingan lainnya untuk berdialog mengenai tindak lanjut pasca-putusan MK.

    “Kemnaker akan menggunakan forum-forum dialog baik melalui Lembaga Kerja Sama Tripartit, Dewan Pengupahan Nasional, maupun forum dialog lainnya,” katanya.

    Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa pemerintah memastikan adanya peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh serta keberlangsungan usaha.

    Ia juga mengajak seluruh pemangku kepentingan ketenagakerjaan untuk turut mengambil bagian dalam penyelesaian permasalahan ketenagakerjaan.

    Pasalnya, persoalan ketenagakerjaan tidak hanya menyangkut pekerja/buruh yang sedang aktif bekerja, tetapi juga berkaitan dengan tantangan yang lebih besar, seperti penciptaan lapangan kerja yang lebih luas untuk menampung angkatan kerja baru dan perlindungan bagi pekerja yang rentan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

    Sumber : Antara

  • Apindo patuhi putusan MK terkait judical review UU Cipta Kerja

    Apindo patuhi putusan MK terkait judical review UU Cipta Kerja

    Kami juga mendorong pemerintah untuk melibatkan dunia usaha dalam pembahasan substantif untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi iniJakarta (ANTARA) – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menegaskan akan menghormati dan mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait judicial review Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, yang telah diputuskan pada 31 Oktober 2024.

    Melalui keterangan resmi Apindo yang dikutip di Jakarta pada Jumat, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam mengatakan bahwa pihaknya memahami pentingnya menjaga keseimbangan antara perlindungan hak pekerja atau buruh dan kepentingan dunia usaha.

    “Namun, kami juga mendorong semua pihak untuk dapat melihat dampak dari putusan ini dalam perspektif yang lebih luas, terutama di tengah dinamika ekonomi saat ini,” ujar Bob.

    Bob menyampaikan, perekonomian Indonesia sedang menghadapi tekanan dan pelambatan imbas dari tantangan ekonomi global. Selama beberapa bulan terakhir, tren deflasi menunjukkan penurunan daya beli masyarakat, yang berdampak besar pada konsumsi domestik.

    Menurutnya, kondisi ini secara langsung mempengaruhi berbagai sektor usaha, terutama industri padat karya yang memiliki ketergantungan besar pada stabilitas perekonomian nasional.

    Dalam situasi ini, kata Bob, fleksibilitas dalam kebijakan ketenagakerjaan menjadi sangat penting untuk memungkinkan dunia usaha menyesuaikan diri dengan cepat dan efektif, guna mempertahankan kelangsungan operasional dan tetap berkontribusi pada perekonomian.

    Stabilitas regulasi dan kepastian hukum adalah faktor kunci bagi pelaku usaha dan investor dalam membuat perencanaan jangka panjang.

    Tanpa kepastian ini, disebut Bob membuat Indonesia berisiko menurunkan daya tariknya sebagai tujuan investasi, yang pada gilirannya dapat memperlambat aliran modal baru dan bahkan mempengaruhi ketahanan investasi yang sudah ada.

    Saat ini, Apindo akan mengkaji lebih dalam dampak dari putusan MK, terutama untuk kebijakan yang berdampak di klaster ketenagakerjaan.

    “Kami juga mendorong pemerintah untuk melibatkan dunia usaha dalam pembahasan substantif untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi ini,” katanya.

    Sementara itu, terkait dengan proses penetapan Upah Minimum untuk 2025 yang sudah diambang pintu, Apindo berharap agar proses penetapan upah minimum untuk 2025 masih tetap mengikuti ketentuan yang ada sebelum terbitnya putusan MK No.168/PUU-XX1/2023 tanggal 31 Oktober 2024.

    Hal ini mengingat kerumitan yang akan terjadi di seluruh daerah, bahkan di tingkat perusahaan apabila putusan MK terkait tentang upah minimum langsung diberlakukan dan menjadi acuan penetapan upah minimum 2025.

    Apindo berharap, dalam menyusun kebijakan ketenagakerjaan ke depan, keputusan-keputusan yang diambil agar mempertimbangkan situasi ekonomi makro yang dihadapi dunia usaha.

    Menurut Bob, kebijakan yang adaptif dan proporsional memberikan dampak positif tidak hanya bagi pekerja, tapi juga bagi dunia usaha secara keseluruhan, serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

    Baca juga: Apindo dorong pengusaha dan pekerja dialog soal kenaikan upah
    Baca juga: Airlangga bertemu dengan asosiasi pengusaha guna bahas UMP 2025

    Pewarta: Maria Cicilia Galuh Prayudhia
    Editor: Ahmad Wijaya
    Copyright © ANTARA 2024

  • Usai Putusan MK, Pengusaha Minta UMP 2025 Tetap Sesuai PP 51

    Usai Putusan MK, Pengusaha Minta UMP 2025 Tetap Sesuai PP 51

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pengusaha meminta penetapan upah minimum provinsi (UMP) tahun 2025 tetap mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No 51/2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No 36/2021 tentang Pengupahan yang diterbitkan pada 10 November 2023. PP itu berlaku di tanggal yang sama.

    Di dalam PP tersebut ditetapkan formula perhitungan Upah Minimum yang tercantum pada pasal 26. Formula itu mencakup 3 variabel yaitu Inflasi, Pertumbuhan Ekonomi, dan Indeks Tertentu (disimbolkan dalam bentuk α). Indeks tertentu berada dalam rentang nilai 0,10 sampai dengan 0,30. PP ini pun mendapat penolakan dari pekerja/ buruh.

    Hasilnya, dengan menggunakan data-data ekonomi tahun 2023, formula itu memperhitungkan kenaikan UMP tahun 2024 sekitar 4%. Pada praktiknya, DKI Jakarta menetapkan UMP 2024 naik 3,6% atau Rp 165.583 menjadi Rp5.067.381. Sementara, UMP Maluku Utara naik 7,50% dan DI Yogyakarta naik 7,27%.

    Sementara itu, pasal 28A PP No 51/2023 menetapkan, upah minimum provinsi (UMP) paling lambat diputuskan dengan Keputusan Gubernur dan diumumkan pada setiap tanggal 21 November tahun berjalan. Jika tanggal 21 November bertepatan dengan hari Minggu atau hari libur nasional, maka UMP harus diputuskan dan diumumkan sehari sebelum hari Minggu atau hari libur tersebut.

    Ketua Bidang Ketenagakerjaan dan K3 Apindo DKI Jakarta Nurjaman mengatakan, meski MK telah menetapkan putusannya, pengusaha berharap penentuan UMP tahun 2025 tetap mengacu pada PP No 51/2024. 

    “Harapan kami penetapan UMP 2025 tetap mengacu pada PP No 51/2023. Lalu siapa tahu kan tahun 2025 kita tidak harus lagi menetapkan upah minimum. Selama belum ada regulasinya, penetapan upah minimum provinsi tetap mengacu pada PP No 51/2023,” kata Nurjaman kepada CNBC Indonesia, Jumat (1/11/2024).

    “Putusan MK itu juga kan memerintahkan agar ada UU terpisah untuk ketenagakerjaan. Nah dalam penetapan upah ini kan tentu harus ada regulasinya. Jadi jangan putusan MK itu ditelan mentah-mentah,” ujarnya. 

    Apindo, kata Nurjaman, akan mengkaji setiap putusan MK tersebut.

    “Kami menghormati proses hukum di MK. Kami sangat memahami pentingnya menjaga keseimbangan kepentingan pekerja dan dunia usaha,” ujarnya.

    Hanya saja, menurut dia, putusan itu dapat memicu dampak tidak positif bagi Indonesia, yang dapat menyebabkan Indonesia tak lagi ramah investasi.

    “Padahal investasi dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi. Jangan sampai regulasi menimbulkan dampak tidak bagus. Sebab investasi membutuhkan iklim yang sehat, yang dibutuhkan untuk menstabilkan ekonomi agar bisa tumbuh bagus. Jika Indonesia tidak ramah investasi, target pertumbuhan ekonomi nasional bisa tidak tercapai. Ini bukan cuma tugas pengusaha, tapi juga pemerintah dan pekerja,” cetus Nurjaman. 

    ‘Kami akan kaji, hitung dampak dari masing-masing putusan itu, yang mencakup sekitar 21 pasal itu. Kami akan ukur kembali dampaknya terhadap kondisi, perencanaan perusahaan, dan potensinya terhadap beban operasional. Terutama di kondisi saat ini di tengah dinamika turbulensi akibat efek global,” katanya.

    Putusan MK

    Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan sebagian besar permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).

    Putusan tersebut atas perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan dua orang perseorangan, yaitu Mamun dan Ade Triwanto yang berprofesi sebagai buruh.

    MK juga meminta pembentuk Undang-Undang (UU), dalam hal ini pemerintah, segera membentuk UU ketenagakerjaan yang baru. Dan memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur dalam UU Cipta Kerja. Demikian mengutip situs resmi MK, Jumat (1/11/2024).

    Dalam keputusan itu, salah satu dalil yang ditetapkan menyangkut penetapan upah pekerja, yaitu atas pasal 88 UU Cipta Kerja.

    MK menyatakan, Pasal 88 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU Ciptaker yang menyatakan “Setiap Pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua”.

    Dan, menyatakan Pasal 88 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU Ciptaker yang menyatakan, “Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai, “dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan.

    Foto: Buruh melakukan sujud syukur saat aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (31/10/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
    Buruh melakukan sujud syukur saat aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (31/10/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

    Menyatakan frasa “dalam keadaan tertentu” dalam Pasal 88F dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU Ciptaker bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Yang dimaksud dengan “dalam keadaan tertentu” mencakup antara lain bencana alam atau non-alam, termasuk kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional yang ditetapkan oleh Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

    Menyatakan Pasal 90A dalam Pasal 81 angka 31 Lampiran UU Ciptaker yang menyatakan “Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh di Perusahaan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Upah di atas Upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh di perusahaan”.

    (dce/dce)

  • Pemerintah Pertimbangkan Pembebasan Pajak Karyawan

    Pemerintah Pertimbangkan Pembebasan Pajak Karyawan

    Jakarta, Beritasatu.com – Pemerintah sedang mempertimbangkan untuk memberikan relaksasi terhadap pajak penghasilan (PPh) karyawan. Kebijakan tersebut diharapkan akan menyokong daya beli masyarakat.

    Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan saat ini pemerintah melalui kementerian/lembaga (K/L) terkait sedang membahas opsi-opsi yang terjadi apabila kebijakan tersebut dijalankan. Sebagai regulator pemerintah  melihat semua kemungkinan yang ada bila pembebasan PPh ini dijalankan.

    “Sebagai opsi kebijakan, usulan apa pun kami dengarkan, tinggal pilihan kebijakan yang terbaik. Saya rasa  kita harus pertimbangkan dari berbagai aspek,” kata Anwar kepada awak media di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada Kamis (31/10/2024).

    PPh 21 adalah pemotongan atas penghasilan yang dibayarkan kepada orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan, jabatan, jasa, dan kegiatan. PPh Pasal 21 adalah pajak terutang atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dibayarkan oleh pemerintah dengan pagu anggaran yang telah ditetapkan dalam UU APBN.

    Pemerintah sedang melakukan kajian lebih lanjut apabila menerapkan kebijakan PPh Pasal 21 DTP.  Apalagi kebijakan tersebut melibatkan banyak pemangku kepentingan terkait. 

    “Saya sudah  beberapa kali  mendengar (usulan PPh Pasal 21 DTP), tetapi tentunya kan akan kita pertimbangkan,” kata Anwar.

    Sebelumya pemerintah memberlakukan insentif tersebut pada awal pandemi Covid-19, tetapi  insentif tersebut tidak diperpanjang setelah berlakunya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak yang Terdampak Pandemi Covid-19.

    Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia Anne Patricia Sutanto mengatakan  kalangan pengusaha  meminta agar pemerintah kembali memberikan relaksasi dalam bentuk pembebasan PPh 21 DTP.  Langkah ini dilakukan untuk mendorong konsumsi masyarakat dan mengantisipasi tekanan yang terjadi pada industri.

    Menurut dia dengan pemberian relaksasi ini akan memberikan daya dorong terhadap konsumsi masyarakat. Dana yang diterima dari PPh Pasal 21 DTP ini dapat digunakan masyarakat untuk belanja yang akan memberikan efek domino ke pertumbuhan ekonomi nasional. Apalagi konsumsi masyarakat merupakan penopang terbesar pertumbuhan ekonomi nasional.

    “Untuk mendorong konsumen sih, tepat. Itu kan sudah pernah kita jalankan dan berhasil. Nah itu kan juga bisa membuat ekonomi cair lagi.  PPH 21 tidak dipungut pemerintah, tetapi bisa dinikmati pekerjanya sendiri untuk bisa membeli produk atau barang lebih banyak untuk kebutuhan rumah tangganya,” kata Anne. 

  • Pemerintah Kaji Pembebasan Pajak Penghasilan (PPh 21) untuk Industri Padat Karya

    Pemerintah Kaji Pembebasan Pajak Penghasilan (PPh 21) untuk Industri Padat Karya

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah akan mengkaji kebijakan pembebasan pajak penghasilan orang pribadi atau PPh 21 untuk industri padat karya yang belakangan sedang terpuruk.

    Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengakui bahwa pemerintah telah menerima masukan dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) terkait insentif PPh 21 ditanggung pemerintah (DTP). Pemerintah, sambungnya, sedang membahas masukan tersebut.

    “Kalau itu [PPh 21 DTP] kita sedang bahas ya. Nanti kalau sudah selesai kita akan sampaikan,” ujar Anwar di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Kamis (31/10/2024).

    Dia menjelaskan pemerintah akan menampung segala opsi kebijakan yang ditawarkan pihak lain. Menurutnya, pemerintah akan memilih opsi kebijakan yang terbaik.

    Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara lebih irit bicara. Dia tidak menampik maupun mengonfirmasi ihwal wacana pembebasan PPh 21 ke industri padat karya tersebut.

    “Nanti kita ngomongin kebijakan,” jelas Suahasil di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Kamis (31/10/2024).

    Sebelumnya, Apindo meminta pemerintah memberikan stimulus berupa PPh 21 atau potongan atas penghasilan karyawan untuk memulihkan industri padat karya. 

    Ketua Bidang Perdagangan Apindo Anne Patricia Sutanto mengatakan insentif perpajakan bagi pekerja sektor padat karya dapat menjadi angin segar bagi ekonomi nasional karena mendorong peningkatan daya beli masyarakat.

    “Kita sudah request sama pemerintah, pada saat kontraksi seperti ini seperti kayak yang lalu [Covid-19], PTKP [Penghasilan Tidak Kena Pajak] ditinggiin atau PPh 21 misalnya dibebaskan,” kata Anne di Kantor Kementerian Perekonomian, Rabu (30/10/2024). 

    Sebagaimana diketahui, stimulus keringanan PPh 21 sempat diberlakukan kala pandemi Covid-19 hingga 2021. Menurut Anne, insentif PPh 21 DTP tersebut dapat kembali diterapkan untuk menstimulus kinerja industri padat karya.

    Dia menerangkan bahwa pihaknya telah mengajukan usulan pembebasan PPh 21 kepada pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan dan Kemenko Perekonomian. Kendati demikian, belum ada tanggapan tegas dari usulan tersebut.

    “Itu [PPh 21 DTP] juga bisa membuat ekonomi juga cair, daripada mohon maaf, melalui bansos. Ini kan lebih efektif karena orangnya bekerja, tapi PPh 21 enggak dipungut pemerintah, tapi bisa dinikmati pekerjanya sendiri untuk membeli produk atau barang lebih banyak untuk kebutuhan rumah tangganya,” ujarnya. 

    Senada, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam menambahkan bahwa PPh 21 sebagai relaksasi pajak bagi karyawan juga dapat mendorong pendapatan negara dibandingkan pemberlakuan PPN 12% yang dicanangkan berlaku tahun depan. “Kenaikan PPN itu enggak selalu berujung ke kenaikan revenue, jadi hati-hati,” terangnya. 

    Dia memberi contoh pendapatan negara mengalami peningkatan kala pandemi Covid-19, tepatnya tahun 2020 dan 2021. Hal ini ditenggarai relaksasi pajak untuk beberapa sektor. 

  • Soal Usulan Pajak Karyawan Ditanggung Pemerintah, Ini Respons Kemenkeu

    Soal Usulan Pajak Karyawan Ditanggung Pemerintah, Ini Respons Kemenkeu

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) irit bicara menanggapi usulan pengusaha supaya pemerintah memberikan insentif fiskal berupa pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 atau PPh Karyawan kini ditanggung pemerintah (DTP).

    Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, untuk persoalan kebijakan PPh ini akan dibicarakan terlebih dahulu. Ia enggan bicara banyak terkait itu.

    “Nanti, kita ngomongin kebijakan,” kata Suahasil saat ditemui di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Kamis (31/10/2024).

    Demikian juga dengan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu. Ketika ditanya apakah usulan pengusaha itu akan dikaji pemerintah atau tidak, ia hanya menjawab dengan kalimat “nanti ya”.

    Sementara itu, Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro BKF Noor Faisal Achmad mengatakan, akan melihat terlebih dahulu apakah usulan resmi dari pengusaha itu telah sampai atau tidak ke BKF.

    “Di sebelah (Gedung Kemenkeu) kelihatannya belum terima, tapi nanti saya cek lagi ya,” ucap Faisal di Gedung Kemenko Perekonomian.

    Sebelumnya, Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo Anne Patricia Sutanto mengatakan pihaknya sudah mengajukan usulan ke pemerintah supaya insentif PPh 21 DTP kembali diberikan pemerintah, karena ekonomi Indonesia kini tengah dalam masa tekanan.

    Sebagaimana diketahui insentif itu pernah diberikan pemerintah saat ekonomi Indonesia tengah terkontraksi akibat krisis yang disebabkan Pandemi Covid-19.

    “Kita sudah request sama pemerintah, salah satunya pada saat kontraksi seperti ini, seperti kayak yang lalu, PTKP ditinggiin atau PPh 21 misalnya dibebaskan untuk yang sekian dan sekian,” ucapnya saat Apindo mengadakan pertemuan di Kemenko Perekonomian kemarin malam.

    “Ini pada saat kontraksi ya, karena kan memang ini lagi kontraksi. Tapi nanti setelah normal kembali, ya kembali ke normal. Ini kan persis seperti waktu pandemi kan, pernah ada insentif dari pemerintah, karena itu tujuannya untuk pekerja, bukan pengusaha,” tegas Patricia.

    Ia menganggap, kebijakan itu bisa mendorong daya beli masyarakat kelas pekerja di tengah masa-masa sulit. Indonesia kini tengah dihadapkan pada masalah maraknya fenomena pemutusan hubungan kerja atau PHK dan banyak gulung tikarnya industri padat karya.

    “Kan ini yang lebih penting adalah untuk pekerjanya. Karena kan PPh 21 kan wajib, wajib pungut di kita, tapi kan bebannya, beban pekerja,” ungkapnya.

    (haa/haa)

  • Pengusaha Minta Pemerintah Bijak Tentukan Besaran UMP

    Pengusaha Minta Pemerintah Bijak Tentukan Besaran UMP

    Jakarta

    Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta semua pemangku kepentingan bersikap bijaksana dalam menyikapi pembahasan besaran Upah Minimum Provinsi (UMP) yang akan diputuskan pemerintah pada November mendatang. Pasalnya, penetapan UMP 2025 sangat menentukan minat investasi asing di tengah upaya Pemerintahan baru mencari suntikan dana guna melanjutkan pembangunan.

    Bob Azam, Ketua Apindo Bidang Ketenagakerjaan menilai Pemerintah Indonesia telah berhasil merumuskan formula penghitungan UMP yang adil bagi pekerja dan pengusaha seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan. PP tersebut merupakan revisi dari dua aturan terdahulu yaitu PP Nomor 36 Tahun 2021 dan PP Nomor 78 Tahun 2015.

    “Dalam menetapkan UMP yang baru sebaiknya tetap gunakan formula PP 51, jangan berubah lagi formulanya. Karena kepastian hukum itu bukan hanya penting bagi dunia usaha, tetapi juga untuk pekerja dan para investor juga,” ujar Bob dalam keterangannya ditulis Kamis (31/10/2024).

    Ia mencontohkan, apabila ada investor asing yang berminat menanamkan modal di Indonesia pasti akan menghitung berapa besar biaya operasional termasuk gaji pekerja minimal selama 5 tahun ke depan. Jika rumusan perhitungan penetapan UMP berubah setiap tahun, maka hal tersebut bisa memicu investor asing lebih memilih berinvestasi di negara tetangga.

    “Bagaimana cara menghitung labour cost selama 5 tahun ke depan kalau tiap tahun ditetapkan semau-maunya. Kalau upah dinaikkan tinggi dalam situasi permintaan yang lemah saat ini, mustahil bagi perusahaan menaikkan harga jual produknya. Opsinya adalah menekan margin. Tetapi kalau margin dikurangi terlalu besar, investor tidak akan masuk. Mereka akan menghitung potensi margin lebih besar jika investasi di Vietnam misalnya. Jadi ini semua harus kita pertimbangkan,” papar Bob.

    Dia menyebut, Apindo mendukung upaya pemerintah untuk memperkuat perekonomian nasional dengan prinsip ekonomi kerakyatan. Sebagai bagian dari rakyat, Apindo sependapat bahwa buruh juga menjadi target yang perlu dinaikkan daya belinya agar ekonomi negara berputar lebih kencang.

    Oleh karena itu, Apindo menurutnya tidak mempermasalahkan aksi demonstrasi sejumlah kelompok buruh menuntut kenaikan UMP sebesar 8-10%.

    “Dari sisi ini kita sangat setuju, bahwa harus ditingkatkan pendapatannya. Tetapi yang sifatnya sustain, jangan sampai sekarang naik tinggi tetapi kemudian kehilangan pekerjaan karena perusahaannya rugi. Kenaikan yang tidak sustain itu adalah yang kenaikan UMP-nya melebihi produktivitas. Suatu perusahaan katakanlah produktivitasnya 5%, lalu upahnya naik 7%, selisih 2% nya itu pasti akan dilempar ke harga jual produk. Jadi kalau kita naikkan tinggi upah buruh, lalu harga-harga ikutan naik, ujungnya tidak ada artinya,” ujarnya.

    Menurut Bob, UMP 2025 yang ditetapkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) tidak bisa diterapkan secara merata di semua daerah. Sebab kondisi ekonomi dan kemampuan perusahaan di tiap daerah berbeda. Oleh karena itu, Apindo terus mendorong seluruh anggotanya untuk terus memperkuat hubungan bipartit dengan para pekerja demi mendapatkan titik temu besaran upah yang ideal di setiap perusahaan.

    “Komunikasi bipartit bisa menjadi solusi soal besaran upah ini dengan menyepakati Struktur Upah dan Skala Upah (SUSU). Kami mendorong anggota Apindo untuk membangun SUSU berdasarkan kompetensi. Caranya setiap perusahaan berdiskusi dengan serikat pekerja untuk membangun struktur skala upah. Nantinya serikat akan memberi masukan dan pendapat kepada perusahaan sampai terjadi kesepakatan. Jadi jangan hanya fokus pada UMP nasional saja, tetapi di tingkat perusahaan juga harus ada dialog,” kata Bob.

    SUSU tersebut nantinya akan berbeda di setiap perusahaan sesuai dengan kemampuannya masing-masing. “Kalau keuangan perusahaannya bagus, lalu profesionalisme pekerjanya bagus silakan bisa dibicarakan. Tetapi kalau perusahannya tidak bagus, mungkin akan menahan diri,” imbuhnya.

    Ia menambahkan, di bidang industri dikenal istilah Kaitz index, yaitu salah satu metode internasional yang digunakan untuk mengukur tinggi rendahnya upah minimum di suatu wilayah. Caranya adalah dengan membandingkan upah minimum yang ditetapkan dengan upah rata-rata riil yang diterima pekerja di daerah tersebut.

    Bob menyebut angka ideal Kaitz index adalah 0,4 sampai 0,6 atau 40% sampai 60% upah rata-rata dibandingkan dengan upah minimum.

    “Di Indonesia angka indeksnya itu hampir 1,2. Artinya upah minimum yang ditetapkan malah lebih tinggi dari upah rata-rata yang riil diterima pekerja. Karena masalahnya ada di pembahasan bipartit yang tidak jalan. Struktur terkecil dari hubungan industrial di Indonesia tidak terbangun, akibatnya jadi titik negatif investasi negara kita. Tanpa adanya investasi dari luar mana bisa, karena investasi itu perlu konsistensi regulasi,” pungkas Bob.

    Kemnaker sendiri memastikan akan menetapkan UMP 2025 pada November 2024. Menaker Yassierli menyebut pembahasan soal UMP masih berjalan saat rapat kerja dengan Komisi IX di Gedung DPR.

    Kemnaker menurutnya akan menggunakan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai basis dalam menentukan UMP 2025 berdasarkan simulasi, perhitungan inflasi hingga pertumbuhan ekonomi.

    “Kita tunggu dulu data dari BPS sesudah itu kita lihat perhitungannya seperti apa, skenarionya seperti apa,” ungkapnya.

    Pemerintah menurutnya belum memutuskan formulasi perhitungan UMP 2025. Namun, ia menyebut formulasi perhitungan UMP tahun-tahun sebelumnya adalah inflasi + (pertumbuhan ekonomi X indeks tertentu/α) seperti yang diatur dalam PP Nomor 51.

    Dalam pasal 26 beleid tersebut, formula perhitungan Upah Minimum mencakup tiga variabel, yaitu inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu (disimbolkan dalam bentuk α atau alfa). Indeks tertentu berada dalam rentang nilai 0,10 sampai dengan 0,30.

    (kil/kil)