Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Orang RI Berbondong-bondong Pilih Rokok Murah, Ini Jurus Bea Cukai

Orang RI Berbondong-bondong Pilih Rokok Murah, Ini Jurus Bea Cukai

Jakarta, CNBC Indonesia – Bukti-bukti masyarakat ahli hisap atau perokok di Indonesia makin banyak yang beralih ke rokok murah semakin banyak terkuak. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan pun mengambil sejumlah strategi untuk menangani masalah tersebut.

Berdasarkan DJBC, produksi hasil tembakau untuk golongan I turun drastis pada 2024, hanya mencapai 159,1 miliar batang dari tahun sebelumnya 171,1 miliar. Sementara itu, untuk produksi rokok yang lebih murah, yakni golongan II naik dari 87,6 miliar batang menjadi 89 miliar batang, dan rokok golongan III melejit dari 59,4 miliar batang menjadi 67,3 miliar batang.

Demikian juga dari data produksi sigaret kretek mesin atau SKM juga tercatat turun drastis seperti untuk golongan I dari 118,2 miliar menjadi hanya 96,52 miliar batang, dan sigaret putih mesin atau SPM juga anjlok untuk golongan I dari 4,42 miliar batang menjadi 3,19 miliar batang. Sedangkan untuk produksi sigaret kretek tangan (SKT) justru melonjak seperti untuk golongan III dari 59,42 miliar batang menjadi 67,34 miliar batang.

Naiknya produksi jenis SKT dan golongan III yang padat karya turut membuat jumlah tenaga kerja pabrik rokok melonjak drastis pada 2024 menjadi 301.113 ribu orang, dari sebelumnya pada 2023 hanya 278.732. Bahkan, angka pada 2024 ini menjadi tertinggi dalam 10 tahun terakhir, karena pada 2014 hanya sebanyak 183.094 orang.

“Tentunya kalau SKT meningkat tenaga kerja yang diserap juga meningkat,” kata Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna DJBC Nirwala Dwi Heryanto saat konferensi pers di Kantor Pusat DJBC, Jakarta, Jumat (10/1/2025).

Naiknya produksi SKT dan rokok golongan III itu pun membuat pengurusan dokumen CK-1 atau dokumen pemesanan pita cukai hasil tembakau ikut terkerek naik pada 2024 dengan jumlah mencapai 100.552, dari 2023 hanya sebanyak 70.822. Bahkan menjadi yang tertinggi dalam lima tahun terakhir karena pada 2020 hanya sebesar 42.770.

Kasubdit Tarif Cukai dan Harga Dasar, Akbar Harfianto mengatakan, naiknya dokumen CK-1 ini juga dipicu oleh downtrading atau beralihnya konsumsi rokok masyarakat dari yang harganya mahal atau golongan I menjadi rokok murah.

“Memang CK-1 ini menunjukkan perubahan jenis pita cukai yang diorder, jadi preferensi konsumsi masyarakat di 2024 bergeser ke jenis SKT dari SKM, dari golongan 1 ke golongan 2, sistem logikanya, harganya, karena sistem tarif kita layering, jadi konsumen kita cari yang murah, itu sebabkan dokumen CK-1 makin banyak dan jenis yang dipesan dari jenis SKT,” tegas Akbar.

Akbar menekankan, untuk menangani masalah downtrading ini, pemerintah mengambil kebijakan untuk tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada 2025, melainkan hanya mengatur kenaikan harga jual ecerannya (HJE) yang rata-ratanya naik 10%.

“Karena kita perhatikan 2023 dan 2024 di kondisi industri maka 2025 kita tidak naikkan tarif tapi kita naikkan HJE, itu bisa diperhatikan golongan 1 lebih rendah kenaikannya dari golongan 2, untuk jenis SPM (sigaret putih mesin) lebih rendah dari SKM dan lebih rendah dari SKT, ini salah satu kita atasi itu,” tegas Akbar.

Menurut Akbar, kenaikan HJE pada 2025 juga berpihak untuk menangani masalah downtrading, karena kenaikan HJE untuk golongan I hanya 5%, SKM golongan II malah mencapai 7,6%.

“Tapi kita ada sistem monitoring harga SKT rata-rata harga pasar di atas harga bandrol, sehingga kenaikannya relatif lebih tinggi dari SKM, jadi ini skema yang kita gunakan untuk atasi kondisi 2025 tadi,” tutur Akbar.

(dce)