Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

OPINI: Paradoks Over Connected, Hilangnya Relasi di Dunia yang Makin Terhubung – Page 3

OPINI: Paradoks Over Connected, Hilangnya Relasi di Dunia yang Makin Terhubung – Page 3

Relasi impersonal macam di atas, tak jarang diwarnai distraksi digital yang bersaing berebut perhatian. Akibatnya membangun hubungan yang bermakna, jadi sulit.

Alih-alih terjalinnya hubungan yang erat, kekerapan notifikasi, email, peringatan media sosial, maupun aplikasi lainnya, menyerobot kesadaran.

Seluruhnya sekadar membentuk keterlibatan yang dangkal, interaksinya bersifat permukaan. Tak ada tendensi yang melibatkan kuasa kesadaran.

Sebagai ilustrasi keadaan di atas, pengguna media digital yang intensif tak keberatan mengakui: komentar yang diberikannya pada konten, tak jarang sekedar penanda “belum berakhirnya relasi” dengan Sang Penggungah konten.

Juga like, diberikan untuk menyatakan “saya melihat unggahannmu”. Tak benar-benar suka atau kagum. Hal terburuknya, like juga bisa tersemat, lantaran tak sengaja mengetuk tombol suka atau tanda hati. 

Dalam keadaan sejenis, jawaban pada WhatsApp pun sering bertujuan membungkam notifikasi yang terus menggema. Kehadirannya menimbulkan gangguan. Karenanya, relasi yang terbentuk tak lain relasi kosong bukan? Sepi dalam keriuhan.

Dalam implikasi berikutnya, cognitive overload ~yang kemudian dipahami sebagai akar hadirnya relasi kosong~ disebut Cristopher Schimming, melahirkan empat hal.

Pertama, kelumpuhan. Ini akibat otak tak mampu menangani suatu topik atau isu, karena kejenuhan akibat kelebihan beban. Otak melihat suatu peristiwa, seakan lebih rumit dibanding ketika otak tak jenuh.

Kedua, kemarahan. Ini terjadi ketika informasi tak sesuai dengan cara berpikir atau perasaan penerimanya. Seluruhnya dapat terjadi, akibat relasi impersonal yang dilatarbelakangi kebiasaan berbeda, dan belum ditoleransi.

Sebuah keadaan yang memicu kemarahan. Perasaan atau keyakinan diri ditentang. Berulangkalinya pembahasan suatu topik, justru menimbulkan kekesalan atau kecemasan.

Ini dapat dilustrasikan, adanya produk yang tak sesuai selera, namun iklannya hadir terus menerus. Juga jargon-jargon kosong pengundang dukungan politik.

Selanjutnya yang ketiga, kepasifan. Dalam keadaan jenuh, akhirnya otak mengurangi beban, dengan mengikuti pendapat orang lain saja.

Mengalihkan pemberian opini yang terasa berat ~jadi ikut arahan orang lain~ adalah mekanisme termudah mengatasinya.

Maka yang terjadi, daripada sibuk mempersoalkan perselisihan yang sengit berlangsung, pilih saja pendapat yang banyak pengikutnya.

Ini pada akhirnya, keempat, terbentuknya pemahaman. Kepasifan yang mengurangi kejenuhan informasi, memberi ruang mengenali informasi lebih baik.

Pemrosesan informasi dapat dilakukan dengan mengandalkan masukan dari sumber terpercaya. Ini mengakumulasi pengetahuan.

Seluruhnya jadi hal yang mengasyikkan dan membangun keutuhan. Terlebih, jika validitas informasinya meyakinkan.