TRIBUNNEWS.COM – Kepala pengawas senjata kimia Internasional, Fernando Arias, meminta pemimpin baru Suriah untuk memberikan akses kepada penyelidik guna mencari tahu pelaku serangan yang menewaskan ribuan warga selama perang saudara.
Dalam pertemuan khusus Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW), Arias mengatakan setelah Presiden Suriah, Bashar Al-Assad, digulingkan, ia telah melihat adanya sinyal positif dari pemerintahan baru Suriah untuk membersihkan negara itu dari senjata kimia.
Namun, hingga saat ini belum terlihat adanya pernyataan secara resmi dari pihak pemerintahan baru Suriah.
Menurut Arias, sejak runtuhnya rezim Assad, politik Suriah telah bangkit.
Ini ditandai dengan klarifikasi yang diberikan oleh pemerintahan baru Suriah kepada OPCW tentang luas dan cakupan program senjata kimia Suriah setelah 11 tahun inspeksi.
Dengan kesempatan ini, Arias berharap dapat mengidentifikasi pelaku serangan senjata kimia selama belasan tahun perang di Suriah.
“Para korban berhak agar para pelaku yang kami identifikasi diadili,” tegasnya, dikutip dari Al Jazeera.
Dalam waktu dekat, Arias akan meminta akses kepada pemerintahan baru Suriah agar Tim Investigasi dan Identifikasi OPCW dapat melakukan penyelidikan senjata kimia.
Menurut mekanisme gabungan PBB-OPCW, sejak 2015-2017, angkatan bersenjata Suriah telah menggunakan senjata kimia sebanyak sembilan kali.
Sementara, pelaku serangan hingga saat ini masih banyak yang belum diidentifikasi.
Sebagai informasi, pertemuan khusus dewan eksekutif OPCW ini diadakan di Den Haag pada Kamis (12/11/2024).
Pertemuan 41 anggota Dewan eksekutif OPCW ini membahas langkah selanjtunya setelah rezim Assad runtuh.
Sebelum pertemuan digelar, duta besar Amerika Serikat untuk OPCW, Nicole Shampaine mengatakan runtuhnya Assad ini menjadi kesempatan yang sangat besar dalam membersikan senjata kimia di Suriah.
“Kami ingin menuntaskan pekerjaan ini, dan ini benar-benar kesempatan bagi pemimpin baru Suriah untuk bekerja sama dengan komunitas internasional, bekerja sama dengan OPCW untuk menuntaskan pekerjaan ini sekali dan untuk selamanya,” kata Shampaine.
Awal Mula Suriah Bergabung dengan OPCW
Pada 2013, Suriah memutuskan untuk bergabung dengan OPCW.
Namun dalam bergabungnya Suriah dengan OPCW, terdapat suatu kesepakatan, yaitu kesepakatan AS-Rusia.
Di mana 1.300 metrik ton senjata kimia dan prekursor dihancurkan oleh masyarakat internasional.
Namun, ternyata Suriah masih memiliki amunisi terlarang selama ini yang belum dimusnahkan.
Amuninisi terlarang ini diduga digunakan selama perang saudara.
Akan tetapi, hal tersebut dibantah oleh Suriah yang diperintah Al-Assad dan sekutu militernya Rusia pada saat itu.
Penggulingan Assad
Sebagai informasi, pasukan rezim Assad dan kelompok antirezim kembali bentrok pada 27 November 2024.
Bentrokan antara 2 kelompok ini terjadi di daerah pedesaan sebelah barat Aleppo, kota besar di Suriah utara.
Bentrokan ini terjadi selama 10 hari.
Kelompok pemberontak melancarkan berbagai serangan hingga merebut kota-kota penting di Suriah.
Puncaknya terjadi pada hari Minggu (8/12/2024) ketika pemberontak yang didukung oleh unit-unit militer yang membelot menyebabkan rezim Assad runtuh setelah perang saudara selama 14 tahun.
Setelah digulingkan, Assad dilaporkan kabur dari Suriah dan berada di Moskow setelah mendapat tawaran suaka dari Rusia.
Hal tersebut dilaporkan oleh kantor berita Rusia, Interfax pada hari Minggu (8/12/2024).
Tak sendiri, Assad dikabarkan kabur dari Suriah bersama keluarganya.
“Presiden al-Assad dari Suriah telah tiba di Moskow. Rusia telah memberi mereka (dia dan keluarganya) suaka atas dasar kemanusiaan,” tulis Interfax, dikutip dari Al-Arabiya.
(Tribunnews.com/Farrah)
Artikel Lain Terkait Konflik Suriah