Oknum Polisi, Praktik Pemerasan, dan Eksistensi Kortas Tipikor
Seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menerima penghargaan dari Pimpinan KPK pada tahun 2021 sebagai Penyuluh Antikorupsi Inspiratif.
RADEN
Adipati Joyodiningrat (Bupati Karanganyar 1832-1864), seorang pendukung Pangeran Diponegoro menulis naskah pertama tentang isu korupsi di Jawa.
Begini potongan bunyinya: ”
Agar perkara selesai, segalanya tergantung kehendak Raden Adipati Danurejo IV: barangsiapa yang menyerahkan sogok dan upeti paling banyak berupa uang atau barang atau khususnya perempuan cantik, dialah yang akan dibuat menang
.”
Ringkasan tulisan ini juga pernah dikutip oleh Wisnu Nugroho, pada artikel yang berjudul, “
Diponegoro Tampar Patih Yogya dan Korupsi Pejabat Kita
,” (
Kompas.com
, 19 September 2016).
Dari artikel tersebut, satu pesan yang paling mencolok adalah bahwa cara korupsi yang terjadi pada 200 tahun lalu, juga masih terjadi pada zaman sekarang.
Dari kutipan tulisan Raden Adipati Joyodiningrat, sebenarnya ingin merenungkan peristiwa pemerasan yang baru-baru ini terjadi oleh oknum di lingkungan Kepolisian.
Dari rilis berita resmi, Polda Metro Jaya membeberkan ada empat anggota yang diduga terlibat kasus tindak pidana pemerasan terhadap anak bos klinik kesehatan Prodia sebesar Rp 20 miliar.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi menjelaskan bahwa keempat anggotanya itu, yakni AKBP Bintoro dan AKBP Gogo Galesung selaku mantan Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) di Polres Jakarta Selatan.
Dua oknum anggota lainnya adalah Kanit Resmob AKP Ahmad Zakaria dan Kasubnit Resmob Satreskrim Polres Metro Jaksel berinisial ND.
Mereka sedang dalam tahap pemeriksaan di Propam Polda Metro Jaya. Perlu memperhatikan ‘Presumption of Innocence,’ bahwa setiap orang yang disangka melakukan tindak pidana dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya.
Artinya, yang diperlukan adalah transparansi dan profesionalisme Aparat Penegak Hukum (APH) untuk menggali kebenaran kasus ini.
Namun, berkaca dari peristiwa yang baru terjadi, yaitu pemerasan oleh oknum polisi saat Konser Djakarta Warehouse Project (DWP) pada Desember 2024, tentu secara psikologis membuat publik buru-buru mengekspresikan bahwa kasus pemerasan seperti ini hal lazim dilakukan oleh oknum aparat.
Adapun modus pemerasan yang dilakukan adalah ancaman terhadap penonton, dengan tuduhan penyalahgunaan narkoba.
Dari kasus pemerasan terhadap anak bos Klinik Kesehatan Prodia, sebenarnya bisa dikuliti dari filosofis pengertian korupsi menurut Bank Dunia (World Bank).
Sederhananya, korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi. Jika dibedah, maka terdapat dua unsur yaitu, frasa ‘penyalahgunaan kekuasaan publik’ dan ‘untuk keuntungan pribadi.’
Artinya, ada pihak yang surplus (berlebih) kekuasaan, ada pihak yang defisit (kurang) kekuasaan sehingga harus dirugikan demi memberikan keuntungan pribadi pada pemegang kekuasaan.
Dari relasi kuasa ini, tidak mungkin ada isu yang tiba-tiba datang dengan sendirinya, menentukan pihak-pihak secara subjektif, jika bukan karena adanya konflik kepentingan.
Jadi, secara filosofis, seharusnya sudah mempermudah APH untuk menindaklanjuti kasus ini secara hukum, apakah keempat anggota tersebut bersalah dan harus ditindak tegas, atau harus dipulihkan kembali reputasinya.
Kalau berkaca dari pasal 12 huruf (e) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 2001, yaitu “Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri,” seringkali APH kesulitan menemukan unsur ‘pegawai negeri atau penyelenggara negara.’
Hal tersebut terjadi karena tidak sedikit di jajaran penyelenggara negara hingga oknum APH menyamarkan tangannya dengan menggunakan pihak ketiga yang sering disebut ‘makelar kasus.’
Apalagi jika pelaku pemerasan adalah oknum aparat bisa saja sulit ditindaklanjuti karena ada konflik horizontal antarpemangku kekuasaan.
Pada artikel penulis sebelumnya, juga pernah dijelaskan bahwa banyaknya oknum polisi tidak lepas dari adanya ‘power yang lebih’, yang akhirnya memicu disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.
Jangankan pada kasus kakap, pada kehidupan sehari-hari, seringkali masyarakat dijadikan objek pemerasan karena merasa memiliki ‘power yang berlebih.’
Sebagai pertanyaan kontemplatif (perenungan), “Salah apa bangsa ini sehingga pemerasan dilakukan oleh orang yang mengemban amanah dan telah disumpah di bawah kitab suci?
Apakah warisan korupsi yang disebut Joyodiningrat tidak akan pernah hilang? Apakah ‘Polisi Hoegeng’ tidak akan pernah lahir lagi di bumi nusantara ini?”
Beberapa hari sebelum berakhirnya masa jabatan Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden, telah ditandatangani Peraturan Presiden (Perpres) baru mengenai susunan organisasi Polri, yang secara resmi membentuk Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor), tertuang pada Presiden Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Polri.
Kortas Tipikor Polri diharapkan memberantas praktik korupsi di Tanah Air.
Memang bisa dipandang baik, bisa juga dipandang buruk. Tentu, publik berharap seharusnya menjadi ajang secara positif bagi Polri, KPK, dan Kejaksaan Agung untuk berlomba memberantas tuntas para koruptor, bukan justru semakin ‘stuck’, saling lempar-melempar kewenangan, lempar tanggung jawab, atau memperlambat aktivitas pemberantasan korupsi.
Harapan lainnya, Kortas Tipikor juga bisa semakin runcing untuk memburu oknum-oknum di Kepolisian yang masih membiasakan praktik pemerasan.
Artinya, Kortas Tipikor tidak hanya tajam ke luar, tetapi juga semakin tajam ke dalam untuk mencapai Polri yang semakin presisi.
Jika ujungnya Kortas Tipikor malah semakin memperlemah dan mempersulit ‘bersih-bersih dari dalam’, rasanya sayang jika dukungan kelembagaan, tupoksi, dan anggaran yang diberikan negara, namun secara praktik di lapangan justru semakin lari dan menyimpang dari tujuan awal.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Oknum Polisi, Praktik Pemerasan, dan Eksistensi Kortas Tipikor Megapolitan 29 Januari 2025
/data/photo/2023/08/29/64ed9a4445bac.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)