‘Nyesel Gabung Republik’, Sebuah Panggilan Perbaikan dari Putra Mahkota Keraton Solo

‘Nyesel Gabung Republik’, Sebuah Panggilan Perbaikan dari Putra Mahkota Keraton Solo

Kegelisahan putra mahkota itu harus dibaca agar pemerintah merespon secara bijak. Kritik putra mahkota itu adalah panggilan nyata agar republik kembali berpihak pada rakyat. Karena sejatinya rakyat adalah pemilik republik. “Bahwa pemerintah dan raja sekali pun mereka terpilih sebagai pengelola negara dan raja yang secara turun temurun menjadi pengageng budaya dan wilayah, sejatinya tetap harus memberikan pelayanan kepada rakyat sebagai titah dan sumpahnya,” katanya.

Ditambahkan bahwa unggahan itu bukan penolakan terhadap NKRI, melainkan seruan agar janji kemerdekaan tidak hanya jadi slogan.

Di sisi lain pandangan Gusti Moeng, Ketua Lembaga Dewan Adat Keraton Solo, yang menyoroti stabilitas nasionai lantaran unggahan bagian dari keluarga Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Pernyataan Gusti Moeng merupakan komitmen leluhur Keraton yang ikut mendirikan republik pada tahun 1945 yang juga menjadi pondasi berbangsa. Gusti Moeng menegaskan pernyataan tersebut bukan sikap keraton sebagai lembaga adat. Tetapi adalah sikap pribadi putra mahkota. 

“Dari pernyataan Gusti Moeng kita melihat bahwa Keraton Solo masih bersikap bahwa NKRI tak bisa ditawar. Bahayanya jika ada yang memanfaatkannya untuk menggoyahkan persatuan,” kata Henry.

Diharapkan para penentu nasib negeri mendengarkan aspirasi Putra Mahkota atas kerugian rakyat, sekaligus memastikan semangat persatuan yang digaungkan Gusti Moeng. “Rakyat yang dirugikan harus didengar, tetapi persatuan tetap kita junjung. Ini saatnya bertindak nyata para pengelola negara taubat bahwa rakyat dan kepentingan bangsa dan negara ,menjadi mahkota mereka menerima mandat berkuasa,” katanya.