NGO: YLBHI

  • TNI tolak tudingan institusinya intimidasi penulis opini di media online

    TNI tolak tudingan institusinya intimidasi penulis opini di media online

    Sumber foto: bit.ly/4dx3moJ

    TNI tolak tudingan institusinya intimidasi penulis opini di media online
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Senin, 26 Mei 2025 – 18:25 WIB

    Elshinta.com – Kepala Pusat Penerangan Tentara Nasional Indonesia (Kapuspen TNI) Mayjen Kristomei Sianturi menolak keras tudingan yang diarahkan ke institusinya terkait adanya dugaan intimidasi terhadap seorang penulis opini di media massa online, bernisial YF.

    “Kami menolak keras segala bentuk tuduhan yang diarahkan kepada TNI tanpa bukti, data, fakta yang kredibel dan sah,” ujar Kapuspen dalam keterangannya, Senin (26/5), seperti dilaporkan Reporter Elshinta, Heru Lianto.

    Kristomei menegaskan, TNI tidak pernah dan tidak akan melakukan tindakan-tindakan intimidatif terhadap warga yang menjalankan hak konstitusionalnya dalam menyampaikan pendapat.

    “”Segala bentuk intimidasi terhadap individu maupun kelompok yang menyampaikan pendapat secara sah dan damai merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan,” jelasnya.

    Kapuspen menduga adanya framing dan narasi sesat yang dibuat tanpa dilengkapi data ataupun fakta yang kredibel, tendensius, tidak objektif tersebut untuk menyudutkan TNI dan pemerintah saat ini adalah pemerintahan yang militeristik dan anti demokrasi.

    Lebih lanjut Kapuspen menerangkan, TNI memegang teguh prinsip netralitas dan tidak akan pernah terlibat dalam upaya membungkam suara publik. 

    “Tugas utama TNI adalah menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan melindungi segenap bangsa Indonesia, bukan mencampuri urusan politik praktis,” terang Kapuspen.

    Karenanya, Kapuspen pun mengimbau kepada masyarakat yang mengalami intimidasi, tekanan, atau ancaman, untuk segera melaporkannya kepada kepolisian. 

    Pasalnya, aparat penegak hukum memiliki kewenangan untuk menyelidiki dan menindaklanjuti laporan tersebut guna mengungkap siapa pelaku sesungguhnya. 

    “Mari sama sama kita cari, selidiki, temukan, siapa pelaku sebenarnya, sehingga tidak saling curiga dan membuat narasi, framing yang menyudutkan satu institusi,” imbaunya. 

    Sebelumnya salah satu media online menerbitkan sebuat tulisan opini berjudul “Jenderal di Jabatan Sipil: Di Mana Merit ASN?”. Namun, tulisan itu dihapus atas rekomendasi Dewan Pers, dengan alasan demi keselamatan penulis.

    Lalu beberapa saat kemudian, judul tulisan berganti menjadi “Tulisan Opini Ini Dicabut”. Redaksi media online itu menerangkan bahwa pencabutan isi tulisan itu dilakukan atas permintaan penulis, bukan atas rekomendasi Dewan Pers 

    Pencabutan artikel itu pun mendapat reaksi publik salah satunya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

    Ketua YLBHI M. Isnur mengatakan ancaman dan intimidasi kepada penulis yang menulis opini dan dimuat di salah satu media online adalah serangan kepada kebebasan berpikir, berekpresi dan berpendapat.

    “Ini juga merupakan serangan terhadap kebebasan pers dan kebebasan akademik,” kata Isnur di Jakarta pada Sabtu (24/5). 

    Sumber : Radio Elshinta

  • Episode Pertama 11 Gugatan UU TNI di MK

    Episode Pertama 11 Gugatan UU TNI di MK

    Jakarta

    Revisi Undang-Undang (UU) TNI terus menjadi sorotan sejak sebelum hingga sudah disahkan DPR. Kini, UU TNI diberondong gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

    Setidaknya, sebanyak 11 gugatan terhadap UU TNI akan mulai disidangkan MK besok. Simak poinnya dirangkum detikcom.

    Sidang Perdana Perkara Gugatan UU TNI

    MK akan mulai menggelar sidang perdana pengujian UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Rencananya, sidang perdana itu akan digelar besok.

    Dilihat di situs MK, Kamis (8/5/2025), terdapat 11 perkara pengujian UU TNI yang akan disidangkan. Sidang akan dimulai pukul 09.00 WIB.

    Agenda sidang besok ialah pemeriksaan pendahuluan. Rencananya sidang digelar dengan tiga panel.

    4 Gugatan Belum Teregistrasi

    Diketahui, sejak resmi disahkan, UU TNI telah banyak digugat ke MK. Ada empat gugatan lain yang saat ini belum diregistrasi.

    Keempat gugatan itu yakni dengan pemohon Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, gugatan dengan pemohon Mohammad Arijal Aqil, Nova Aulia, Shanteda Dhiandra. Gugatan ketiga ialah dengan pemohon Muhammad Imam Maulana, Nathan Radot Zudika Parasian Sidabutar. Gugatan keempat ialah dengan pemohon 3 orang individual yakni aktivis HAM Fathia Maulidiyanti, mahasiswa Jentera Eva Nurcahyani, dan aktivis sekaligus putri presiden keempat Inayah Wahid.

    Daftar Perkara Disidang MK Besok

    Koalisi Masyarakat Sipil ajukan uji formil UU TNI. (Maulani/detikcom)

    Adapun berikut daftar perkara UU TNI yang akan disidangkan besok:

    1. 45/PUU-XXIII/2025, dengan pemohon Muhammad Alif Ramadhan, Namoradiarta Siaahan, Kelvin Oktariano, M. Nurrobby Fatih, Nicholas Indra Cyrill Kataren, Mohammad Syaddad Sumartadinata, dan R.Yuniar A. Alpandi.
    2. 55/PUU-XXIII/2025, dengan pemohon Christian Adrianus Sihite dan Noverianus Samosir.
    3. 56/PUU-XXIII/2025, dengan pemohon Muhammad Bagi Shadr, Muhammad Fawwaz Farhan Farabi, Thariq Qudsi Al Fahd
    4. 57/PUU-XXIII/2025, dengan pemohonBilqis Aldila Firdausi, Farhan Azmy Rahmadsyah, dan Lintang Raditya Tio Richwanto.
    5. 58/PUU-XXIII/2025, dengan pemohon Hidayatuddin dan Respati Hadinata.
    6. 66/PUU-XXIII/2025, dengan pemohon Masail Ishmad Mawaqif, Reyhan Roberkat, Muh Amin Rais Natsir, Aldi Rizki Khoiruddin.
    7. 68/PUU-XXIII/2025, dengan pemohon Prabu Sutisna, Haerul Kusuma, Noverianus Samosir, Christian Adrianus Sihite, Fachri Rasyidin, dan Chandra Jakaria
    8. 69/PUU-XXIII/2025, dengan pemohon Moch Rasyid Gumilar, Kartika Eka Pertiwi, Akmal Muhammad Abdullah, Fadhil Wirdiyan Ihsan, dan Riyan Fernando.
    9.74/PUU-XXIII/2025 , dengan pemohon Abdur Rahman Aufklarung, Satrio Anggito Abimanyu, Irsyad Zainul Mutaqin, BagusPutra Handika Pradana.
    10. 75/PUU-XXIII/2025, dengan pemohon Muhammad Imam Maulana, Mariana Sri Rahayu Yohana Silaban, Nathan Radot Zudika Parasian Sidabutar, Ursula Lara Pagitta Tarigan.
    11. 79/PUU-XXIII/2025, dengan pemohon Endrianto Bayu Setiawan, Raditya Nur Sya’bani, Felix Rafiansyah Affandi, Dinda Rahmalia, Muhamad Teguh Pebrian, dan Andrean Agus Budiyanto.

    Halaman 2 dari 2

    (fca/fca)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Ada Nama Inayah Wahid dalam Daftar Pemohon Gugatan UU TNI di MK

    Ada Nama Inayah Wahid dalam Daftar Pemohon Gugatan UU TNI di MK

    Ada Nama Inayah Wahid dalam Daftar Pemohon Gugatan UU TNI di MK
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Putri bungsu presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur,
    Inayah Wahid
    turut menjadi pemohon dalam gugatan uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
    Dalam dokumen permohonan di MK, Inayah menjadi salah satu dari lima pemohon dalam gugatan yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Pertahanan pada Rabu (7/5/2025) kemarin.
    Inayah menjadi pemohon keempat dalam gugatan itu. Pemohon pertama merupakan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial) sebagai pemohon kedua, dan Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) sebagai pemohon ketiga.
    Pemohon kelima dan keenam tercatat Eva Nurcahyani seorang mahasiswa, dan aktivis hak asasi manusia (HAM), Fatiah Maulidiyanty yang juga merupakan eks koordinator KontraS.
    Dalam gugatannya, anggota koalisi dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arief Maulana, mengatakan, tuntutan dalam provisi meminta agar MK menunda pemberlakuan UU TNI dalam putusan sela, sebelum ada putusan final dan mengikat.
    “Putusan sela atau putusan provisi agar Mahkamah Konstitusi, para Hakim Mahkamah Konstitusi, untuk kemudian menunda pemberlakuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang perubahan atas Undang-Undang TNI sampai dengan adanya putusan akhir Mahkamah Konstitusi. Itu yang pertama,” ujar Arief saat ditemui di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu.
    Dalam provisi, Arief juga meminta agar MK memerintahkan Presiden Prabowo Subianto agar tidak menerbitkan peraturan pemerintah yang berkaitan dengan UU TNI yang baru.
    “Kami juga kemudian menuntut dan juga meminta kepada Hakim Mahkamah Konstitusi untuk tidak mengeluarkan kebijakan dan atau tindakan strategis yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang, revisi Undang-Undang TNI sampai dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi,” ucapnya.
    Masih dalam provisi, permintaan agar eksekutif tidak mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan UU TNI yang baru harus diterapkan di segala sektor, termasuk untuk kementerian, lembaga, dan badan terkait.
    “Agar tidak terjadi pelanggaran konstitusi yang kemudian berdampak pada berbagai pelanggaran hak asasi manusia atau kerugian masyarakat,” tuturnya.
    Kemudian dalam pokok permohonan, Arief mengatakan koalisi masyarakat sipil meminta agar seluruh Hakim MK menyatakan UU TNI Nomor 3/2025 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
    “Sehingga kemudian UU 34/2004 tentang TNI seluruhnya diberlakukan kembali,” tandasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pihak Hasto Nyatakan Rekaman yang Jadi Bukti KPK Ilegal karena Tak Berizin

    Pihak Hasto Nyatakan Rekaman yang Jadi Bukti KPK Ilegal karena Tak Berizin

    Pihak Hasto Nyatakan Rekaman yang Jadi Bukti KPK Ilegal karena Tak Berizin
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Tim kuasa hukum Sekjen PDI-P
    Hasto Kristiyanto
    mempermasalahkan legalitas rekaman percakapan antara
    Riezky Aprilia
    dan
    Saeful Bahri
    yang diajukan sebagai alat bukti oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
    Protes dari kubu Hasto Kristiyanto ini disampaikan saat Riezky, yang merupakan mantan anggota DPR RI, dihadirkan sebagai saksi sidang perkara dugaan suap dan perintangan penyidikan
    kasus Harun Masiku
    yang menjerat Hasto Kristiyanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (7/5/2025).
    Kuasa hukum Hasto, Alvon Kurnia Palma, berpandangan bahwa rekaman tersebut bersifat ilegal lantaran dilakukan tanpa seizin pihak yang direkam.
    Ia menilai tindakan ini melanggar prinsip kerahasiaan sebagaimana tertuang dalam Pasal 20 Ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP).
    “Apakah orang yang direkam ketika itu memberikan persetujuan atau tidak, walaupun pada saat ini dikatakan sudah memiliki alat bukti,” ujar Alvon dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, hari ini.
    Adapun rekaman yang didengarkan oleh jaksa di muka persidangan memuat percakapan antara Riezky dengan Saeful saat bertemu di Singapura pada 25 September 2019.
    Riezky mengeklaim bahwa rekaman tersebut merupakan bukti adanya tekanan dari Saeful kepadanya untuk mengundurkan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg).
    Alvon menuturkan bahwa legalitas alat bukti harus diuji sesuai ketentuan hukum.
    Oleh sebab itu, mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini menilai bukti rekaman tersebut tidak sah lantaran tidak diperoleh melalui cara yang sesuai diatur dalam ketentuan perundang-undangan.
    “Rekaman ini ilegal. Ini kan berdasarkan UU. Kalau ini dibolehkan, pertanyaannya seluruh aktivitas kita, termasuk CCTV, yang tidak kita setujui jadi dibolehkan. Mohon pertimbangannya, Majelis Hakim,” kata Alvon.
    Sementara itu, jaksa KPK menyatakan bahwa rekaman tersebut merupakan inisiatif dari Riezky untuk menguatkan keterangannya.
    Setelah diserahkan kepada jaksa, rekaman itu kemudian disita secara sah sebagai bagian dari alat bukti.
    “Rekaman ini digunakan untuk menguatkan keterangan yang bersangkutan. Bukan kami yang merekam, tetapi saksi sendiri,” kata jaksa.
    Menengahi perdebatan ini, Ketua Majelis Hakim, Rios Rahmanto, lantas menyatakan bahwa keberatan dari penasihat hukum akan dicatat dan dipertimbangkan dalam proses penilaian akhir.
    Hakim menegaskan bahwa seluruh pihak diberikan ruang untuk menyampaikan bukti masing-masing, dan sah atau tidaknya suatu bukti diputuskan dalam pertimbangan majelis.
    “Kalau menurut penasihat hukum rekaman ini tidak sah, silakan disampaikan dalam pleidoi. Kami akan mempertimbangkan,” kata hakim Rios.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Arif Maulana: Kita Butuh KUHAP Baru yang Jamin Proses Peradilan Jujur, Adil, dan Hormati HAM – Halaman all

    Arif Maulana: Kita Butuh KUHAP Baru yang Jamin Proses Peradilan Jujur, Adil, dan Hormati HAM – Halaman all

    Arif Maulana: Kita Butuh KUHAP Baru yang Jamin Proses Peradilan Jujur, Adil, dan Hormati HAM

    Fahdi Fahlevi/Tribunnews.com

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan fondasi utama dalam mengatur jalannya proses peradilan pidana di Indonesia, mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, hingga proses persidangan. 

    Saat ini, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tengah melakukan revisi terhadap KUHAP yang didalilkan bertujuan memperkuat sistem peradilan pidana nasional. 

    Melalui Komisi III, DPR RI menargetkan penyelesaian Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP ini pada akhir tahun 2025. 

    Revisi tersebut dinilai penting untuk mengatasi berbagai persoalan dalam praktik penyidikan dan penegakan hukum, sekaligus mendorong terciptanya sistem hukum yang lebih adil, transparan, dan akuntabel. 

    Sebagai bentuk dukungan terhadap upaya reformasi hukum ini, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (FH UPH) menyelenggarakan Seminar Hukum Nasional bertema “Reformasi Hukum Acara Penyidikan” di UPH Kampus Lippo Village, Tangerang.

    Dalam kesempatan itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Arif Maulana, menekankan pentingnya penguatan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam proses penyidikan. 

    “Kita butuh KUHAP baru yang sungguh-sungguh menjamin proses peradilan yang jujur, adil, dan menghormati hak asasi manusia,” ucap Arif melalui keterangan tertulis, Minggu (4/5/2025).

    Dia mengangkat data dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang mencatat adanya 46 kasus kekerasan dan penyiksaan dalam proses penyidikan oleh aparat penegak hukum sepanjang 2022 hingga 2024, dengan total 294 korban. 

    Beberapa di antaranya bahkan dilaporkan meninggal dunia.

    Arif juga menyampaikan pandangannya terkait perlunya peningkatan transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislasi revisi KUHAP. 

    Dirinya menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan antara kewenangan aparat penegak hukum dalam proses penyidikan dengan perlindungan hak-hak dasar semua pihak yang terlibat, termasuk tersangka, terdakwa, korban, dan saksi. 

    Menurutnya, penyediaan bantuan hukum sejak awal proses penyidikan merupakan aspek krusial dalam mewujudkan proses peradilan yang adil dan menghormati prinsip-prinsip HAM.

    “Perlunya revisi KUHAP yang benar-benar berpihak pada keadilan, bukan sekadar memperkuat kekuasaan negara atas rakyat,” katanya. 

    Adapun akademisi Universitas Brawijaya, Dr Fachrizal Afandi, menekankan bahwa penerapan hukum pidana harus tetap menghormati martabat manusia. 

    Dirinya mengingatkan pentingnya menjaga proses penyidikan dari perlakuan yang tidak manusiawi, termasuk membatasi eksposur tersangka di media massa. 

    “Penerapan upaya paksa, seperti penahanan, harus dilakukan secara proporsional dan bertujuan untuk memastikan kehadiran terdakwa di persidangan, bukan sebagai penghukuman sebelum adanya putusan pengadilan,” ujar Dr. Fachrizal.

    Dr Fachrizal juga menyampaikan bahwa reformasi hukum acara pidana perlu mempertimbangkan sejumlah prinsip penting, termasuk exclusionary rules, yaitu ketentuan bahwa bukti yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat digunakan di persidangan. 

    Selanjutnya, Guru Besar Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr. Topo Santoso, membahas konsep keadilan restoratif. 

    Menurutnya, keadilan restoratif adalah cara untuk menyelesaikan masalah dengan melibatkan pelaku, korban, dan keluarga dari kedua belah pihak. 

    Tujuannya adalah untuk mencari solusi bersama, bukan hanya mengandalkan negara atau aparat penegak hukum. 

    “Dalam proses ini, pelaku tidak hanya memberikan ganti rugi kepada korban, tetapi juga melalui pemulihan psikologis, sehingga mereka bisa kembali ke masyarakat dengan lebih baik,” ucap Topo.

    Namun, tidak semua kasus kejahatan dapat diselesaikan dengan pendekatan ini. Kasus-kasus besar, seperti korupsi, mungkin memerlukan langkah-langkah yang lebih kompleks daripada mediasi.

    Dosen Fakultas Hukum UPH, Prof Dr Jamin Ginting, menyoroti pentingnya pemisahan fungsi yang lebih jelas antara penyidik dari Kepolisian dan Kejaksaan. 

    Di banyak negara, penyidik dari Kepolisian dan Kejaksaan memiliki tugas yang terpisah. 

    “Jaksa bertugas untuk melakukan penuntutan, sementara polisi memiliki peran dalam mengumpulkan bukti. Namun, dalam praktiknya di Indonesia, terdapat beberapa tantangan terkait pemisahan tugas antara kedua lembaga ini,” ujar Prof. Ginting.

    Prof Ginting juga menyarankan agar sistem hukum memberikan wewenang kepada hakim untuk melakukan pemeriksaan awal sebelum melanjutkan proses hukum. 

    Langkah ini penting untuk memastikan bahwa bukti yang tersedia cukup untuk mendasari keputusan penahanan.

     

  • Tawuran Antarkelompok Pecah di Kebon Bawang Jakut, Satu Warga Terluka Kena Corbek – Halaman all

    Tawuran Antarkelompok Pecah di Kebon Bawang Jakut, Satu Warga Terluka Kena Corbek – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Peristiwa tawuran antarkelompok terjadi di Jalan Swasembada Barat, Kebon Bawang, Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada Kamis (1/5/2025) dini hari.

    Polsek Tanjung Priok langsung bergerak menangkap dua pelaku pembacokan MT (20) dan RB (15) terhadap korban DA dalam aksi tawuran tersebut.

    “Tawuran ini melibatkan dua kelompok yakni kelompok Empang gabung kelompok Kebon Pisang (Bonpis) melawan kelompok Bakti,” ucap Kapolsek Tanjung Priok Kompol R Sigit Kumono dalam keterangan Sabtu (3/5/2025).

    “Mereka komunikasi melalui media sosial Instagram,” tambahnya.

    Kelompok Empang bersama kelompok Bonpis janjian dengan kelompok Bakti untuk tawuran di tempat kejadian perkara.

    Kompol Sigit berujar kelompok Empang menggunakan tiga motor dan kelompok Bonpis mengendarai 5 motor.

    Pada pukul 02.30 WIB kelompok Empang dan kelompok Bonpis bertemu kelompok Bakti, dan terjadilah tawuran. 

    Karena kalah jumlah, kelompok Bakti mundur namun kelompok Bonpis terus mengejar hingga seorang anggota dari kelompok Bakti terjatuh dan dibacok menggunakan celurit.

    “Kelompok Bakti berinisial DA (22) terjatuh dan dihajar menggunakan celurit,” kata Sigit.

    Warga inisial LF yang mengamankan pelaku RF mengalami luka sobek pada bagian tangan sebelah kiri akibat terkena senjata tajam jenis corbek (cocor bebek).

    Kemudian warga melaporkan kejadian ke Polsek Tanjung Priok  membuat laporan dan langsung dilakukan pengejaran hingga pada hari yang sama ditangkap dua pelaku.

    Dari kedua terduga pelaku, anggota mengamankan dua unit senjata tajam jenis celurit dan cocor bebek, sarung senjata tajam, dan sepeda motor sebagai barang bukti.

    Unit Reskrim Polsek Tanjung Priok juga masih mengejar dua pelaku lain yang terlibat dalam aksi tawuran tersebut.

    Kedua pelaku dijerat pasal 351 KUHP dan pasal 2 ayat 1 UU Darurat tahun 1951 dengan ancaman pidana penjara 10 tahun.

    Polisi memastikan pelaku yang masih di bawah umur akan didampingi Balai Pemasyarakatan (Bapas) dan YLBHI.

  • TNI Bakal Produksi Obat untuk Apotek Kopdes Merah Putih, LBH Makassar: Kenapa Harus TNI?

    TNI Bakal Produksi Obat untuk Apotek Kopdes Merah Putih, LBH Makassar: Kenapa Harus TNI?

    FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — TNI berencana ikut memproduksi obat untuk Koperasi Daerah (Kopdes) Merah Putih.

    Rencana tersebut menjadi sorotan di tengah kencangnya isu dwifungsi TNI.

    Iyan Hidayat Anwar, dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI-LBH) Makassar mengatakan, pada dasarnya negara memang mesti memastikan kesehatan warganya.

    “Kita selalu berharap, negara memenuhi hak masyarakatnya. Termasuk dalam aspek kesehatan. Tapi bagaimana jika itu dilakukan oleh TNI yang notabene adalah bergerak di ranah militer,” kata Iyan kepada fajar.co.id, Kamis (1/5/2025).

    Pasalnya, kata Iyan, saat ini sudah ada institusi yang mengurusi masalah kesehatan. Selain itu, diketahui ada tiga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memproduksi obat. Masing-masing Bio Farma, Kimia Farma, dan Indofarma.

    “Nah sekarang, kondisi di negara ini sudah ada institusi yang mengurusi masalah kesehatan. Jadi, kenapa harus TNI begitu?” ujarnya.

    Di sisi lain, ia menilai hal tersebut menegaskan makin melebarnya otoritas TNI di ranah sipil. Itu, menurutnya, bisa berujung pada militerisasi.

    “Juga yang penting disorot, bagaimana melebarnya otoritas TNI ke ranah sipil. Itu bisa jadi menyebabkan militerisasi,” ujarnya.

    Pada dasarnya, Iyan menjelaskan, tidak ada masalah dengan militerisme. Namun yang mesti dipastikan, militerisme itu tak mengancam demokrasi.

    “Militerisme sebenarnya tidak masalah. Tapi yang jadi masalah ketika militerisasi terjadi di suatu negara, akhirnya sifatnya yang otoriter mengancam demokrasi kita,” terangnya.

  • Kuasa Hukum Minta Kasus Dugaan Pelecehan Dokter AY Segera Diungkap: Demi Keadilan bagi Korban – Halaman all

    Kuasa Hukum Minta Kasus Dugaan Pelecehan Dokter AY Segera Diungkap: Demi Keadilan bagi Korban – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Satria Marwan, penasihat hukum dari QAR (31), terduga korban pelecehan dokter AY, buka suara mengenai perkembangan kasus yang ditangani Polresta Malang Kota.

    Satria mengaku, belum memperoleh informasi secara detail terkait hasil sementara dari penyelidikan kasus dugaan pelecehan yang dilakukan oleh dokter di Persada Hospital tersebut.

    Sejak kliennya melapor pada Jumat (18/4/2025) lalu, jelas Satria, pihak kepolisian sudah memanggil dan meminta keterangan dari dua saksi, yaitu teman korban berinisial Y dan pegawai Persada Hospital berinisial AK.

    “Ada juga tentang CCTV rumah sakit yang sudah diperoleh penyidik. Tetapi, kami belum mendapat informasi detailnya,” jelasnya, dilansir Surya Malang, Rabu (23/4/2025).

    Satria mengatakan, pihaknya berharap, supaya kasus ini bisa segera terungkap sejelas-jelasnya.

    Apalagi, sudah ada korban lain yang melaporkan dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh AY.

    Sebagai informasi, terduga korban baru berinisial A (30) melaporkan AY pada Selasa (22/4/2025).

    Adapun QAR mengalami pelecehan pada tahun 2022, sedangkan korban A mengalaminya pada tahun 2023.

    “Kasus ini perlu untuk segera terungkap. Selain demi rasa keadilan bagi korban, juga dapat dijadikan contoh bagi masyarakat luas, bahwa tidak ada tempat untuk bersembunyi bagi para pelaku kekerasan seksual,” terangnya.

    Dengan adanya dua laporan terhadap AY di lokasi yang sama, Satria menekankan, soal tingkat urgensi kasus ini untuk dapat segera diungkap.

    Lebih lanjut, dirinya mengimbau kepada korban lainnya yang merasa dilecehkan oleh AY supaya berani lapor ke polisi.

    “Untuk korban lain, bisa segera membuat laporan polisi. Hal ini dapat memutus mata rantai kekerasan seksual yang dilakukan dokter AY,” ujarnya.

    Sebelumnya, A yang merupakan perempuan asal Kota Malang yang sudah mempunyai anak melaporkan AY ke polisi.

    A sudah menunjuk kuasa hukum dari YLBHI-LBH Surabaya Pos Malang dan melaporkan kejadian yang dialaminya itu ke Unit PPA Satreskrim Polresta Malang Kota.

    Penasihat hukum korban A, Tri Eva Oktaviani mengatakan, peristiwa yang dialami kliennya itu terjadi pada tahun 2023 lalu di ruang Unit Gawat Darurat (UGD) Persada Hospital.

    “Jadi, korban A ini kecapekan setelah merawat anaknya yang sakit.”

    “Lalu, korban ini datang ke UGD Persada Hospital dan ditangani terduga pelaku (dokter AY),” ucap Eva, Selasa.

    Saat menjalani pemeriksaan di ruang UGD itulah, AY diduga melakukan tindakan pelecehan seksual kepada korban.

    “Saat itu, terduga pelaku tidak didampingi perawat dan tirainya dalam kondisi tertutup rapat.”

    “Tanpa meminta izin, terduga pelaku langsung melakukan pemeriksaan serta menyentuh bagian-bagian atau area intim korban,” terang Eva.

    Ia juga menyebut, sebelumnya korban A sudah mendatangi pihak rumah sakit untuk mengonfirmasi kejadian itu.

    “Ketika itu, kami belum mendampingi karena belum ditunjuk sebagai kuasa hukum.”

    “Kalau dari penuturan korban yang disampaikan ke kami, bahwa telah mengonfirmasi langsung ke Persada Hospital dan terkonfirmasi terduga pelaku adalah dokter AY dan pihak rumah sakit telah meminta maaf,” ungkap Eva.

     

    Akibat kejadian pelecehan seksual itu, jelas Eva, korban A mengalami trauma psikis.

    “Korban mengalami trauma dan saat mendengar nama atau melihat foto terduga pelaku, ia langsung menangis.”

    “Oleh karena itu, kami telah menghubungkan dengan psikolog klinis dari rekanan kami termasuk meminta bantuan pihak kepolisian, dalam memberikan pendampingan psikologis kepada korban.”

    “Dan memang sempat ada tawaran dari Persada Hospital untuk pendampingan dan pemulihan psikologis, tetapi korban menolak tawaran itu,” tuturnya.

    Sebagian artikel ini telah tayang di SuryaMalang.com dengan judul Kasus Pelecehan oleh Dokter di Malang Diharapkan Segera Diungkap, Kuasa Hukum ‘Panggil’ Korban Lain.

    (Tribunnews.com/Deni)(SuryaMalang.com/Kukuh Kurniawan)

  • Akui Publik Belum Tahu Ada Pembahasan Revisi KUHAP, Puan Maharani: Sidang Dimulai 17 April

    Akui Publik Belum Tahu Ada Pembahasan Revisi KUHAP, Puan Maharani: Sidang Dimulai 17 April

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Mayoritas publik belum tahu ada pembahasan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

    Undang-Undang ini mengatur penyelidikan dan penyidikan kejahatan.

    Berdasarkan Survei LSI mengungkapkan, bahwa hanya 29,7 % publik yang mengetahui bahwa DPR dan pemerintah tengah membawa revisi KUHAP.

    Ketua dewan perwakilan rakyat (DPR) RI, Puan Maharani menanggapi bahwa pembahasan substansi memang belum dimulai karena DPR masih dalam masa reses.

    “Belum ada tindak lanjut atau pembahasan resmi. Sidang baru dimulai lagi tanggal 17 April,” kata Puan Maharani pada 15 April 2025

    Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto mengirim surat presiden (surpres) kepada pimpinan DPR untuk membahas Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada 25 Maret 2025.

    Pemerintah pun kini sedang menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terkait rancangan undang-undang (RUU) tersebut.

    Sementara, sejumlah pihak seperti YLBHI dan Koalisi Masyarakat Sipil mendesak agar pembahasan revisi KUHAP dilakukan secara terbuka dan melibatkan pantauan publik secara luas.

    RUU KUHAP sendiri memuat 334 pasal dengan lebih 2.000 poin pembahasan. Isinya krusial, karena menyangkut perlindungan hak warga dan negara dalam proses hukum.

    Harapannya, revisi ini tidak dikebut, melainkan dibahas dengan hati-hati dan melibatkan masyarakat dari berbagai latar belakang.

    Sebagai informasi, revisi KUHAP sebenarnya sudah dibahas sejak hampir dua dekade lalu, Tapi, proses legislasinya belum juga rampung sampai sekarang. (Besse Arma/Fajar)

  • Dilakukan Terbuka, DPR Jamin Tak Ada Kucing-Kucingan Pembahasan RUU KUHAP

    Dilakukan Terbuka, DPR Jamin Tak Ada Kucing-Kucingan Pembahasan RUU KUHAP

    Jakarta: Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menyebut  pembahasan Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) pernah dilakukan pada tahun 2012 tetapi terjadi deadlock.

    Saat itu RUU KUHAP disebut oleh ICW sebagai pembunuh KPK karena dihilangkannya penyelidikan dan adanya pengaturan soal Hakim Pemeriksaan Pendahuluan (HPP) yang memegang kekuasaan menentukan bisa atau tidaknya dilakukan penahanan  dan upaya paksa lainnya.

    “Banyak pihak terutama KPK sendiri yang meminta agar pembahasan RUU KUHAP dihentikan,” kata Habiburokhman dalam keterangan pers, Kamis, 17 April 2025.
     

    Bahkan katanya pada 2014 pemerintah dan DPR sepakat akan menunda pembahasan RUU KUHAP sembari memprioritaskan pembahasan RUU KUHP.

    Pada akhirnya draft RUU KUHAP tersebut tidak bisa untuk dibahas kembali karena DPR telah berganti periode sampai tiga kali dan RUU KUHAP dengan Draft tahun 2012 tersebut tidak termasuk RUU yang masuk dalam status carry over sebagaimana diatur Pasal 71A UU Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

    Politisi Gerindra ini menyatakan dalam rapat internal Komisi III DPR Masa Keanggotaan 2024-2029 pada 23 Oktober 2024, Komisi III melakukan penyusunan RUU Hukum Acara Pidana. Komisi III selanjutnya menugaskan Badan Keahlian DPR untuk menyiapkan NA dan RUU Hukum Acara Pidana.

    Dalam proses menyiapkan NA dan RUU Hukum Acara Pidana, Badan Keahlian telah melakukan serangkaian kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat berupa diskusi dengan aparat penegak hukum antara lain Jampidum Asep Nana Mulyana, Staf Ahli Sosek Polri Iwan Kurniawan hingga Wamenkum Edward Omar Syarief Hiariej, diskusi dengan sejumlah LSM antara lain ICJR, LeIP, IJRS.

    Pada 23 Januari 2025 BK DPR RI mengadakan Webinar dengan narasumber Edward Omar Syarief Hiariej, Jampidum Asep Nana Mulyana, Staf Ahli Kapolri Iwan Kurniawan, Guru Besar FH UNAIR Nur Basuki Wirana, Akademisi Univ Trisakti Albert Aries, Advokat Magdir Ismail, Advokat Teuku Nasrullah, Ketua YLBHI Muhamad Isnur.

    “Webinar diikuti oleh lebih dari 1.000 peserta melalui zoom dan lebih dari 7.300 peserta melalui Youtube DPR RI. Peserta webinar ini berasal dari kalangan perguruan tinggi, kementerian/lembaga, organisasi kemasyarakatan, organisasi advokat, dan aparat penegak hukum,” jelasnya.

    Penyerapan aspirasi masyarakat terus berlanjut di Komisi III yang melakukan 8 kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat yaitu Rapat Kerja dengan Ketua Komisi Yudisial pada 10 Februari 2025, Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung RI dan Ketua Kamar Militer Mahkamah Agung RI tanggal 12 Februari 2025, Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Advokat yaitu Maqdir Ismail, Luhut M.P. Pangaribuan dan Petrus Bala Pattyona, pada  5 Maret 2025, Publikasi NA dan RUU tentang Hukum Acara Pidana melalui laman www.dpr.go.id pada 20 Maret 2025.

    “Kami juga mengadakan konferensi pers terkait launching RUU tentang Hukum Acara Pidana 20 Maret 2025, RDPU dengan Advokat dan Akademisi yaitu Juniver Girsang, Julius Ibrani dan Romli Atmasmita pada 24 Maret 2025, Konferensi Pers terkait Pasal Penghinaan Presiden dalam RUU Hukum Acara Pidana bisa diselesaikan dengan Restorative Justice 24 Maret 2025 dan Penyerapan Aspirasi dengan PBHI, YLBHI, Amnesty International, LEIP, IJRS, ICJR, LBH Jakarta, AJI, dan ILRC 8 April 2025,” jelasnya.

    Habiburokhman menyatakan beberapa hal penting didapat saat penyerapan aspirasi masyarakat tersebut. Yang pertama ternyata MA justru menolak keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP), yang kedua advokat menginginkan adanya pasal khusus yang mengatur imunitas advokat.

    “Yang ketiga seluruh Fraksi setuju agar pasal penghinaan Presiden di KUHP harus diselesesaikan terlebih dahulu dengan RJ dan keempat pasal keharusan adanya izin peliputan media dihapus atas permintaan Aliansi Jurnalis Indepeden,” ujarnya.

    Pada 16 Februari 2025 Komisi III menyampaikan NA dan RUU Hukum Acara Pidana kepada Pimpinan DPR RI melalui Surat Pimpinan Komisi III DPR RI Nomor B/447-DW/KOM.III/MP.II/02/2025. Selanjutnya rapat paripurna 18 Februari 2025 menyepakati RUU Hukum Acara Pidana menjadi RUU usul DPR RI.

    “Menindaklanjuti surat Komisi III tersebut, Ketua DPR menyampaikan NA dan RUU Hukum Acara Pidana kepada Presiden melalui Surat Nomor B/2651/LG.01.01/02/2025 baru kemudian Presiden mengirimkan Surat Presiden RI kepada Ketua DPR RI Nomor R-19/Pres/03/2025 tanggal 19 Maret 2025 perihal Penunjukan Wakil Pemerintah untuk membahas RUU Hukum Acara Pidana,” jelasnya.

    Proses selanjutnya adalah Pembahasan RUU KIUHAP di Komisi III DPR RI secara resmi sebagaimana diatur Pasal 142 ayat (1) Tata Tertib DPR yang diawali dengan Rapat Kerja Komisi III dengan wakil pemerintah. 

    “Sebelum dan setelah rapat Panja, Komisi III akan terus menyerap aspirasi masyarakat. Kami pastikan semua rapat pembahasan KUHAP akan dilaksanakan di Gedung DPR secara terbuka dan disiarkan secara langsung oleh TV Parlemen sehingga bisa diikuti oleh masyarakat di manapun berada,” ujar politisi senior ini.

    Jakarta: Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menyebut  pembahasan Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) pernah dilakukan pada tahun 2012 tetapi terjadi deadlock.
     
    Saat itu RUU KUHAP disebut oleh ICW sebagai pembunuh KPK karena dihilangkannya penyelidikan dan adanya pengaturan soal Hakim Pemeriksaan Pendahuluan (HPP) yang memegang kekuasaan menentukan bisa atau tidaknya dilakukan penahanan  dan upaya paksa lainnya.
     
    “Banyak pihak terutama KPK sendiri yang meminta agar pembahasan RUU KUHAP dihentikan,” kata Habiburokhman dalam keterangan pers, Kamis, 17 April 2025.
     

    Bahkan katanya pada 2014 pemerintah dan DPR sepakat akan menunda pembahasan RUU KUHAP sembari memprioritaskan pembahasan RUU KUHP.

    Pada akhirnya draft RUU KUHAP tersebut tidak bisa untuk dibahas kembali karena DPR telah berganti periode sampai tiga kali dan RUU KUHAP dengan Draft tahun 2012 tersebut tidak termasuk RUU yang masuk dalam status carry over sebagaimana diatur Pasal 71A UU Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
     
    Politisi Gerindra ini menyatakan dalam rapat internal Komisi III DPR Masa Keanggotaan 2024-2029 pada 23 Oktober 2024, Komisi III melakukan penyusunan RUU Hukum Acara Pidana. Komisi III selanjutnya menugaskan Badan Keahlian DPR untuk menyiapkan NA dan RUU Hukum Acara Pidana.
     
    Dalam proses menyiapkan NA dan RUU Hukum Acara Pidana, Badan Keahlian telah melakukan serangkaian kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat berupa diskusi dengan aparat penegak hukum antara lain Jampidum Asep Nana Mulyana, Staf Ahli Sosek Polri Iwan Kurniawan hingga Wamenkum Edward Omar Syarief Hiariej, diskusi dengan sejumlah LSM antara lain ICJR, LeIP, IJRS.
     
    Pada 23 Januari 2025 BK DPR RI mengadakan Webinar dengan narasumber Edward Omar Syarief Hiariej, Jampidum Asep Nana Mulyana, Staf Ahli Kapolri Iwan Kurniawan, Guru Besar FH UNAIR Nur Basuki Wirana, Akademisi Univ Trisakti Albert Aries, Advokat Magdir Ismail, Advokat Teuku Nasrullah, Ketua YLBHI Muhamad Isnur.
     
    “Webinar diikuti oleh lebih dari 1.000 peserta melalui zoom dan lebih dari 7.300 peserta melalui Youtube DPR RI. Peserta webinar ini berasal dari kalangan perguruan tinggi, kementerian/lembaga, organisasi kemasyarakatan, organisasi advokat, dan aparat penegak hukum,” jelasnya.
     
    Penyerapan aspirasi masyarakat terus berlanjut di Komisi III yang melakukan 8 kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat yaitu Rapat Kerja dengan Ketua Komisi Yudisial pada 10 Februari 2025, Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung RI dan Ketua Kamar Militer Mahkamah Agung RI tanggal 12 Februari 2025, Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Advokat yaitu Maqdir Ismail, Luhut M.P. Pangaribuan dan Petrus Bala Pattyona, pada  5 Maret 2025, Publikasi NA dan RUU tentang Hukum Acara Pidana melalui laman www.dpr.go.id pada 20 Maret 2025.
     
    “Kami juga mengadakan konferensi pers terkait launching RUU tentang Hukum Acara Pidana 20 Maret 2025, RDPU dengan Advokat dan Akademisi yaitu Juniver Girsang, Julius Ibrani dan Romli Atmasmita pada 24 Maret 2025, Konferensi Pers terkait Pasal Penghinaan Presiden dalam RUU Hukum Acara Pidana bisa diselesaikan dengan Restorative Justice 24 Maret 2025 dan Penyerapan Aspirasi dengan PBHI, YLBHI, Amnesty International, LEIP, IJRS, ICJR, LBH Jakarta, AJI, dan ILRC 8 April 2025,” jelasnya.
     
    Habiburokhman menyatakan beberapa hal penting didapat saat penyerapan aspirasi masyarakat tersebut. Yang pertama ternyata MA justru menolak keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP), yang kedua advokat menginginkan adanya pasal khusus yang mengatur imunitas advokat.
     
    “Yang ketiga seluruh Fraksi setuju agar pasal penghinaan Presiden di KUHP harus diselesesaikan terlebih dahulu dengan RJ dan keempat pasal keharusan adanya izin peliputan media dihapus atas permintaan Aliansi Jurnalis Indepeden,” ujarnya.
     
    Pada 16 Februari 2025 Komisi III menyampaikan NA dan RUU Hukum Acara Pidana kepada Pimpinan DPR RI melalui Surat Pimpinan Komisi III DPR RI Nomor B/447-DW/KOM.III/MP.II/02/2025. Selanjutnya rapat paripurna 18 Februari 2025 menyepakati RUU Hukum Acara Pidana menjadi RUU usul DPR RI.
     
    “Menindaklanjuti surat Komisi III tersebut, Ketua DPR menyampaikan NA dan RUU Hukum Acara Pidana kepada Presiden melalui Surat Nomor B/2651/LG.01.01/02/2025 baru kemudian Presiden mengirimkan Surat Presiden RI kepada Ketua DPR RI Nomor R-19/Pres/03/2025 tanggal 19 Maret 2025 perihal Penunjukan Wakil Pemerintah untuk membahas RUU Hukum Acara Pidana,” jelasnya.
     
    Proses selanjutnya adalah Pembahasan RUU KIUHAP di Komisi III DPR RI secara resmi sebagaimana diatur Pasal 142 ayat (1) Tata Tertib DPR yang diawali dengan Rapat Kerja Komisi III dengan wakil pemerintah. 
     
    “Sebelum dan setelah rapat Panja, Komisi III akan terus menyerap aspirasi masyarakat. Kami pastikan semua rapat pembahasan KUHAP akan dilaksanakan di Gedung DPR secara terbuka dan disiarkan secara langsung oleh TV Parlemen sehingga bisa diikuti oleh masyarakat di manapun berada,” ujar politisi senior ini.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (DEN)