NGO: World Bank

  • Ekonomi Dipengaruhi 80 Persen Pasar Domestik, Menkeu Purbaya Tak Peduli Gonjang Ganjing Ekonomi Global

    Ekonomi Dipengaruhi 80 Persen Pasar Domestik, Menkeu Purbaya Tak Peduli Gonjang Ganjing Ekonomi Global

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan kekuatan permintaan (demand) domestik tetap menjadi kunci perekonomian nasional.

    Dia menegaskan, kekuatan domestik demand Indonesia berada sekitar 90 persen, sedangkan global hanya pengaruhnya sekitar 10 persen.

    “Kalau ekspor mungkin 20 persen. Let’s say 20 persen, jadi kita masih 80 persen menguasai arah ekonomi kita,” ujar Purbaya dalam Rapat Kerja dengan Komite IV DPD RI di Jakarta, Senin (3/11).

    Menurut Purbaya, jika melihat perekonomian global, maka sering mendengar ekonomi global hancur dari beberapa tahun yang lalu.

    Semua pihak merasa ketakutan dibayang-bayangi kehancuran ekonomi global, namun ketidakpastian global selalu ada.

    “Setiap tahun ketidakpastian dunia selalu datang dari sisi mana pun,” katanya.

    Purbaya menuturkan selama 25 tahun dirinya sebagai ekonom dirinya selalu menghadapi hal itu. Akhirnya dia menyimpulkan ketidakpastian global ini selalu terjadi.

    “Jadi yang paling pintar, yang paling bagus bagi saya adalah menentukan kebijakan dalam negeri yang baik. Walaupun ekonomi global gonjang ganjing, kami tidak peduli,” kata Purbaya.

    Kebijakan ekonomi di dalam negeri ada di tangan Indonesia sendiri, karena 80 persen dipengaruhi pasar domestik.

    Purbaya mengatakan bahwa situasi perekonomian global ternyata tidak sejelek yang diperkirakan banyak orang.

    “Bank Dunia (World Bank) proyeksi pertumbuhan global pada tahun 2025 masih tumbuh 2,3 persen, dan tahun depan diproyeksikan akan lebih baik 2,4 persen. Kemudian, likuiditas di pasar global juga lebih longgar,” ungkapnya. (fajar)

  • Harga Emas Dunia Diprediksi Tembus Level Segini, Jangan Kaget!

    Harga Emas Dunia Diprediksi Tembus Level Segini, Jangan Kaget!

    Dalam Konferensi Global Logam Mulia Tahunan LBMA (London Bullion Market Association), para delegasi menunjukkan optimisme tinggi terhadap prospek harga emas. Mereka memperkirakan harga logam mulia tersebut akan menguji level resistensi di bawah USD 5.000 per ons dalam satu tahun ke depan, atau naik sekitar 25% dari posisi saat ini.

    Ini menjadi proyeksi paling bullish dari LBMA dalam beberapa tahun terakhir, setelah sebelumnya mereka dua kali meremehkan kekuatan reli emas.

    Prediksi optimistis ini juga didukung oleh sejumlah lembaga keuangan besar dunia. HSBC, Bank of America, dan Société Générale kompak memperkirakan harga emas mencapai USD 5.000 per ons pada tahun 2026.

    Sementara itu, firma riset Inggris Metals Focus memperkirakan emas akan mencapai target yang sama bahkan lebih cepat, yaitu pada tahun depan, dengan harga perak ikut melonjak hingga USD 60 per ons.Namun, tidak semua lembaga seoptimistis itu.

    Bank Dunia memperkirakan kenaikan harga emas hanya sekitar 5% tahun depan, sementara Natixis memprediksi harga rata-rata emas akan bertahan di kisaran USD 3.800 per ons pada 2026. Meski lebih konservatif, kedua lembaga tersebut tetap menilai tren harga emas akan bertahan di atas rata-rata historisnya.

     

  • Megawati usul pembentukan KAA Plus lawan ketimpangan global

    Megawati usul pembentukan KAA Plus lawan ketimpangan global

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) dan Presiden Kelima Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri mengusulkan pembentukan Konferensi Asia Afrika Plus (Asia Africa Plus Conference) untuk melawan ketimpangan global.

    “Saya mengusulkan pentingnya penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika Plus, sebuah forum lanjutan dalam format yang lebih luas, mencakup negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin,” ucap Megawati dalam pidatonya di Museum Bung Karno, Blitar, Jawa Timur, Sabtu dalam rangka memperingati 70 Tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) sebagaimana keterangan diterima di Jakarta.

    Forum tersebut, sebut dia, diharapkan menjadi wadah permanen bagi negara-negara Selatan Dunia (Global South) untuk membangun masa depan bersama, yang bebas dari ketimpangan, hegemoni, dan ketidakadilan struktural global.

    Gagasan KAA Plus itu menegaskan semangat Bandung 1955 dalam konteks abad ke-21. Bila enam dekade lalu KAA mempersatukan negara-negara yang baru merdeka melawan kolonialisme, kini Megawati menyerukan solidaritas baru untuk menghadapi ketimpangan ekonomi, hegemoni teknologi, dan dominasi geopolitik.

    “Jika pada 1955 Bung Karno dan para pemimpin dunia ketiga mampu mengguncang tatanan kolonial, maka pada abad ke-21 kita juga mampu mengguncang tatanan digital dan ekonomi yang tidak adil,” ujar Megawati.

    Seruan tersebut sejalan juga dengan tren global, di mana negara-negara Global South kini semakin memperkuat koordinasi lewat forum seperti BRICS Plus, G77 + China, dan Non-Aligned Movement Revival.

    Namun, forum yang menyatukan Asia, Afrika, dan Amerika Latin secara permanen belum ada. Ide KAA Plus menjadi langkah diplomasi strategis untuk mengisi ruang itu.

    Megawati menekankan bahwa arsitektur global saat ini masih timpang. Menurut data World Bank (2025), 84 negara Global South menampung lebih dari 75 persen populasi dunia, tetapi hanya menguasai sekitar 37 persen PDB global.

    Di sisi lain, ketergantungan ekonomi dan teknologi terhadap negara maju semakin tinggi.

    Laporan UNCTAD 2024 juga menyoroti bahwa negara berkembang hanya menerima 15 persen investasi global di sektor teknologi tinggi, memperlebar kesenjangan inovasi.

    “Asia, Afrika, dan Amerika Latin perlu membangun arsitektur baru ekonomi dan teknologi global yang lebih setara,” kata Megawati.

    Megawati menilai diplomasi internasional ke depan tidak bisa lagi berlandaskan kekuatan militer atau dominasi ekonomi semata. Dunia memerlukan moralitas peradaban, sebagaimana pernah diserukan Bung Karno dalam pidatonya di PBB tahun 1960 berjudul To Build the World Anew.

    “Dunia yang baru tidak boleh dibangun di atas kekuasaan dan ketakutan, tetapi di atas kesetaraan, solidaritas, dan kemanusiaan,” ujarnya.

    Melalui KAA Plus, Megawati ingin menegaskan bahwa negara-negara Global South harus bersatu dalam agenda Bersama, yakni kedaulatan data, ketahanan energi, keadilan ekonomi, dan tata kelola teknologi yang adil.

    Megawati ingin mengobarkan kembali “obor Bandung” sebagai cahaya bagi dunia yang tengah terpecah.

    “Dari Blitar ini, mari kita bangun dunia baru yang tidak tunduk pada mesin dan modal, tetapi menempatkan manusia sebagai pusat peradaban,” ucapnya.

    Pewarta: Benardy Ferdiansyah
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • OPINI: Tantangan Independensi Pelaporan Keuangan

    OPINI: Tantangan Independensi Pelaporan Keuangan

    Bisnis.com, JAKARTA – Peraturan Pemerintah mengenai Pelaporan Keuangan yang dinantikan oleh profesi akuntan dan para pelaku bisnis akhirnya dikeluarkan pada 19 September 2025.

    PP No. 43/2025 merupakan produk turunan dari UU No. 4/2023 Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) dan setidaknya membuat 3 hal penting: (1) siapa yang membuat laporan keuangan (LK), (2) apa dan bagaimana LK ini dilaporkan, serta (3) siapa yang akan menyusun standar LK yang akan digunakan para penyusun LK.

    Pihak yang wajib menyusun LK sesuai PP No.43/2025 menjadi lebih luas meliputi entitas di sektor keuangan dan pihak pihak yang melakukan interaksi bisnis dengan sektor keuangan baik yang berbadan hukum maupun tidak (Pasal 3). PP ini sangat penting untuk meningkatkan integritas LK di Indonesia, sebagai rujukan investor dan pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan strategis

    PP No 43/2025 menegas-kan, penyusun LK harus-lah mereka yang memiliki kompetensi dan berintegri-tas (Pasal 5) salah satunya buktinya dengan menunjukan piagam Register Negara Akuntansi (RNA), setelah lulus ujian sertifikasi profesi akuntan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Institute Akuntan Manajemen Indonesia (IAMI) dan Institute Akuntan Publik Indonesia (IAPI).

    Kepastian profesi akuntan sebagai syarat kompetensi penyusun LK tentu diharapkan akan mampu meningkatkan kualitas LK secara keseluruhan. Hal ini juga menjadi angin segar bagi para akuntan beregister yang selama ini merasa sertifikasi profesi yang telah mereka miliki kurang diakui oleh dunia bisnis.

    Salah satu yang diatur dalam PP tersebut adalah lembaga yang akan menyusun Standar LK (SLK). Selama ini para penyusun LK menggunakan standar akuntansi keuangan yang diterbitkan oleh Dewan Standar IAI (DSAK dan DSAS IAI). PP ini menjadi tonggak sejarah baru karena tanggung jawab menyusun standar akuntansi akan beralih kepada Komite Standar (KS) yang independen dan bertanggung jawab kepada Presiden (Pasal 11).

    KS terdiri atas Komite Pelaksana dan Komite Pengarah. Komite Pelaksana kemudian dibagi kembali menjadi tiga sub-komite yakni sub-komite pengelola dan konsultatif, sub-komite penyusun standar LK umum dan sub-komite penyusun standar LK syariah. Anggota ketiga sub-komite ini akan terdiri dari perwakilan berbagai pemangku kepentingan termasuk beberapa kementerian, lembaga tinggi negara seperti BPK, OJK, asosiasi profesi akuntan, perwakilan profesional, asosiasi industri dan akademisi.

    Unsur-unsur pemangku kepentingan yang beragam membuat penyusunan standar LK menjadi lebih inklusif. Namun ini juga akan menimbulkan tantangan tersendiri dengan makin banyaknya kepentingan sehingga makin sulit mencapai konsensus dalam pengambilan keputusan. Terlebih apabila yang akan duduk di komite penyusun adalah para pejabat di lembaga pemerintahan sebagai ex-officio dan tidak memiliki kompetensi teknikal di bidang standar akuntansi.

    SLK atau SAK di Indonesia dibuat untuk melindungi kepentingan publik yang memerlukan LK yang relevan dan objektif. SAK selama ini berkiblat pada standar akuntansi internasional (IFRS), namun IAI juga membuat standar akuntansi yang khas Indonesia dan tidak diatur oleh IFRS. Kentalnya peran pemerintah di dalam KS ini berpotensi mengancam independensi dan kualitas standar LK ke depan.

    Sekretariat dari KS ini akan berada di dalam Kementerian Keuangan. Pendanaan dari KS ini akan berasal dari APBN walaupun juga terbuka dari sumber-sumber lain. Sekretariat dan kelompok kerja memiliki peranan yang sangat penting karena mereka yang akan menyusun agenda rapat, melakukan riset dan menyusun bahan rapat untuk sub-komite.

    Anggota KS yang merupakan para pejabat dan profesional, tidak bisa bekerja penuh waktu untuk pekerjaan KS ini sehingga akan sangat bergantung pada sekretariat dan kelompok kerja. Harapan kami, tim sekretariat dan kelompok kerja diisi oleh orang-orang berkompetensi tinggi, idealnya independen dari pemerintah dan bekerja penuh waktu untuk KS.

    Meningkatnya peran pemerintah di dalam penyusunan standar LK dalam PP tersebut bertentangan dengan rekomendasi World Bank dan juga kurang selaras dengan praktik-praktik di negara lain. Rekomendasi ROSC World Bank pada 2018 adalah untuk membentuk Financial Reporting Authority (FRA) sebagai lembaga penyusun standar LK yang independen dari pemerintah dan terpisah dari profesi akuntan.

    Lembaga penyusun independen ini adalah hal yang lazim dan lebih dulu dilakukan di berbagai negara seperti Malaysia, Jepang, Inggris, Amerika, dan Korea. Independensi KS menjadi lebih penting lagi ketika suatu negara memiliki badan usaha yang perlu mengerjakan proyek-proyek pemerintah dan memerlukan kebijakan akuntansi khusus yang berbeda dengan bisnis pada umumnya.

    Kepentingan politis pada gilirannya secara sadar atau tidak sadar dapat mereduksi independensi KS. Standar akuntansi haruslah independen dari kepentingan politik atau sekelompok orang tertentu. PP No 43/2025 menjadi tonggak sejarah pelaporan keuangan dan selayaknya kita dukung demi ekosistem bisnis di Indonesia yang lebih akuntabel.

  • Dari Bumi Bung Karno Blitar, Megawati Cetuskan ‘KAA Plus’ untuk Satukan Asia-Afrika-Amerika Latin

    Dari Bumi Bung Karno Blitar, Megawati Cetuskan ‘KAA Plus’ untuk Satukan Asia-Afrika-Amerika Latin

    Blitar (beritajatim.com) – Di tengah peringatan 70 tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang bersejarah, sebuah gagasan diplomasi strategis baru menggema dari Kota Blitar. Presiden Kelima RI, Megawati Soekarnoputri, secara resmi menginisiasi pembentukan “Konferensi Asia–Afrika Plus” (KAA Plus).

    Gagasan ini bukan sekadar nostalgia, melainkan seruan untuk membangun blok baru negara-negara Global South yang mencakup Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Dalam pidatonya yang berapi-api di Museum Bung Karno, Blitar, Sabtu (1/11/2025), Megawati menyerukan solidaritas baru untuk melawan ketimpangan global di abad ke-21.

    “Saya mengusulkan pentingnya penyelenggaraan ‘Konferensi Asia–Afrika Plus’ sebuah forum lanjutan dalam format yang lebih luas, mencakup negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin,” ujar Megawati dalam pidatonya di Museum Bung Karno, Blitar, Sabtu (1/11/2025).

    “Forum ini diharapkan menjadi wadah permanen bagi negara-negara Global South untuk membangun masa depan bersama, yang bebas dari ketimpangan, hegemoni, dan ketidakadilan struktural global.”

    Gagasan “KAA Plus” ini menegaskan semangat Bandung 1955 dalam konteks abad ke-21. Bila enam dekade lalu KAA mempersatukan negara-negara yang baru merdeka melawan kolonialisme, kini Megawati menyerukan solidaritas baru untuk menghadapi ketimpangan ekonomi, hegemoni teknologi, dan dominasi geopolitik.

    “Jika pada 1955 Bung Karno dan para pemimpin dunia ketiga mampu mengguncang tatanan kolonial, maka pada abad ke-21 kita juga mampu mengguncang tatanan digital dan ekonomi yang tidak adil,” tegas Megawati.

    Seruan ini sejalan dengan tren global: negara-negara Global South kini semakin memperkuat koordinasi lewat forum seperti BRICS Plus, G77 + China, dan Non-Aligned Movement Revival. Namun, forum yang menyatukan Asia, Afrika, dan Amerika Latin secara permanen belum ada. Ide “KAA Plus” menjadi langkah diplomasi strategis untuk mengisi ruang itu.

    Megawati menekankan bahwa arsitektur global saat ini masih timpang. Menurut data World Bank (2025), 84 negara Global South menampung lebih dari 75% populasi dunia, tetapi hanya menguasai sekitar 37% PDB global. Di sisi lain, ketergantungan ekonomi dan teknologi terhadap negara maju semakin tinggi.

    Laporan UNCTAD 2024 juga menyoroti bahwa negara berkembang hanya menerima 15% investasi global di sektor teknologi tinggi, memperlebar kesenjangan inovasi.

    “Asia, Afrika, dan Amerika Latin perlu membangun arsitektur baru ekonomi dan teknologi global yang lebih setara,” kata Megawati.

    Megawati menilai bahwa diplomasi internasional ke depan tidak bisa lagi berlandaskan kekuatan militer atau dominasi ekonomi semata. Dunia memerlukan moralitas peradaban, sebagaimana pernah diserukan Bung Karno dalam pidatonya di PBB tahun 1960 berjudul To Build the World Anew.

    “Dunia yang baru tidak boleh dibangun di atas kekuasaan dan ketakutan, tetapi di atas kesetaraan, solidaritas, dan kemanusiaan,” ujarnya.

    Melalui “KAA Plus”, Megawati ingin menegaskan bahwa negara-negara Global South harus bersatu dalam agenda bersama: kedaulatan data, ketahanan energi, keadilan ekonomi, dan tata kelola teknologi yang adil.

    Megawati ingin mengobarkan kembali “obor Bandung” sebagai cahaya bagi dunia yang tengah terpecah.

    “Dari Blitar ini, mari kita bangun dunia baru yang tidak tunduk pada mesin dan modal, tetapi menempatkan manusia sebagai pusat peradaban,” tutup Megawati. (owi/ian)

  • Perempuan di Jantung Parlemen

    Perempuan di Jantung Parlemen

    Perempuan di Jantung Parlemen
    Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UNNES, Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, dan Penulis
    PUTUSAN
    Mahkamah Konstitusi Nomor 169/PUU-XXII/2024 menjadi tonggak penting dalam sejarah demokrasi representatif Indonesia.
    MK secara tegas memerintahkan agar seluruh alat kelengkapan dewan (AKD) di DPR — mulai dari Badan Musyawarah, Komisi, Badan Legislasi, hingga Mahkamah Kehormatan Dewan — wajib memuat keterwakilan perempuan secara proporsional.
    Tak hanya itu, komposisi pimpinan AKD kini harus menjamin keterlibatan perempuan paling sedikit 30 persen.
    Putusan ini sejatinya bukan sekadar koreksi terhadap undang-undang yang abai terhadap kesetaraan, melainkan penegasan bahwa politik hukum Indonesia tidak boleh terus berwajah maskulin.
    Selama dua dekade terakhir, keterwakilan perempuan di parlemen sering berhenti pada batas formal: ada kuota dalam daftar calon legislatif, tetapi kuota itu menguap ketika perempuan sudah duduk di kursi kekuasaan. Di balik jargon partisipasi, yang terjadi justru marginalisasi.
    Melalui amar putusan ini, MK mengingatkan bahwa keadilan substantif tidak akan lahir dari demokrasi yang timpang gender.
    Keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan politik bukanlah kemurahan hati sistem, melainkan hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945.
    MK bahkan menegaskan kembali prinsip
    affirmative action
    sebagai “kesepakatan nasional” — jalan menuju kesetaraan yang nyata, bukan seremonial.
    Selama ini, wacana keterwakilan perempuan dalam politik sering terjebak dalam angka. Kuota 30 persen seolah menjadi garis finis perjuangan, padahal semestinya hal demikian menjadi titik awal menuju keadilan substantif.
    Politik kuota tanpa distribusi peran hanyalah kosmetik demokrasi. Dalam banyak kasus, perempuan memang hadir di parlemen, tetapi tidak pada ruang-ruang strategis pengambilan keputusan—tidak di jantung kekuasaan, melainkan di pinggiran simbolik representasi.
    Putusan MK kali ini mengubah arah politik hukum tersebut. MK tidak hanya menegaskan hak perempuan untuk duduk di kursi kekuasaan, tetapi juga mengintervensi struktur internal lembaga legislatif agar ruang pengaruh itu benar-benar terbuka bagi perempuan.
    Inilah bentuk konkret dari
    constitutional feminism
    —pandangan bahwa Konstitusi harus aktif melindungi dan memberdayakan kelompok yang selama ini terpinggirkan.
    Secara sosiologis, putusan ini menantang budaya politik patriarkal yang telah lama mengakar. DPR selama ini lebih sering dikuasai oleh logika fraksi dan patronase, posisi strategis kerap diberikan berdasarkan loyalitas politik, bukan perspektif kesetaraan.
    Padahal, kehadiran perempuan bukan hanya soal keadilan numerik, melainkan soal kualitas kebijakan yang lebih inklusif, empatik, dan berpihak pada kepentingan publik yang lebih luas.
    Dengan membuka ruang perempuan di seluruh AKD, MK sejatinya sedang mendorong redistribusi kekuasaan— langkah penting untuk memastikan bahwa demokrasi Indonesia bukan hanya prosedural, tetapi juga berkeadilan gender.
    Putusan Mahkamah Konstitusi ini pada dasarnya menegaskan kembali bahwa demokrasi sejati tidak hanya berbicara tentang siapa yang berkuasa, tetapi juga siapa yang diwakili dan didengar.
    Demokrasi tanpa keterwakilan perempuan sejatinya adalah demokrasi yang pincang—demokrasi yang gagal menangkap kompleksitas sosial dalam proses pengambilan keputusan publik.
    Dalam teori demokrasi deliberatif ala Jürgen Habermas, legitimasi politik tidak lahir semata dari hasil pemilihan umum, melainkan dari proses diskursif yang inklusif—yakni keterlibatan semua kelompok yang terdampak oleh kebijakan publik dalam proses pembentukannya.
    Dengan demikian, absennya suara perempuan dalam alat kelengkapan Dewan berarti ada separuh warga negara yang tersingkir dari ruang deliberasi kebangsaan.
    Dari perspektif teori keadilan ala John Rawls, prinsip
    fair equality of opportunity
    menuntut agar semua warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk memengaruhi keputusan kolektif.
    Namun, dalam praktiknya, struktur politik yang maskulin justru menciptakan apa yang disebut Nancy Fraser sebagai “subordinasi sistemik dalam representasi politik”, di mana perempuan hadir sebagai simbol, bukan subjek kekuasaan.
    Putusan MK ini mencoba membalik arus tersebut. Dengan mewajibkan keterwakilan perempuan di setiap alat kelengkapan Dewan, Mahkamah sejatinya sedang mengubah arsitektur kekuasaan politik agar lebih adil dan reflektif terhadap realitas sosial.
    Ini bukan semata langkah hukum, tetapi transformasi budaya politik — dari
    politics of exclusion
    menuju
    politics of inclusion.
    Tentu, keberadaan perempuan dalam struktur pengambilan keputusan bukan hanya memperkaya perspektif, melainkan juga memperkuat kualitas kebijakan publik.
    Pelbagai studi, termasuk penelitian World Bank (2020) dan UN Women (2022), menunjukkan bahwa lembaga legislatif yang lebih seimbang secara gender cenderung menghasilkan kebijakan yang lebih berpihak pada kesejahteraan sosial, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan lingkungan.
    Dengan kata lain, keterwakilan perempuan bukan hanya persoalan moral atau etika politik, tetapi juga rasionalitas kebijakan.
    Putusan MK Nomor 169/PUU-XXII/2024 dengan demikian harus dibaca sebagai upaya konstitusionalisasi keadilan sosial berbasis gender.
    MK mengingatkan bahwa konstitusi bukan teks netral, melainkan instrumen emansipatoris yang harus berpihak pada kelompok termarjinalkan.
    Di titik inilah, MK menjalankan fungsinya sebagai penjaga moral konstitusi — memastikan bahwa hukum tidak sekadar mengatur kekuasaan, tetapi juga menata ulang relasi kuasa agar lebih adil.
    Putusan Mahkamah Konstitusi ini seharusnya tidak berhenti sebagai teks hukum, melainkan menjadi momentum politik untuk menata ulang cara bangsa Indonesia memaknai kekuasaan.
    Perintah MK agar keterwakilan perempuan hadir di seluruh alat kelengkapan Dewan menuntut keberanian politik dari partai-partai untuk keluar dari pola lama: politik yang tertutup, hierarkis, dan maskulin.
    Tanpa komitmen politik yang nyata, putusan konstitusional ini akan kembali menjadi simbol tanpa roh.
    Jika dibaca dengan kacamata politik hukum, langkah MK ini menunjukkan bahwa hukum bukan hanya produk dari kekuasaan, tetapi juga alat korektif terhadap ketimpangan struktural.
    MK menggunakan konstitusi sebagai instrumen
    transformative justice
    —keadilan yang tidak sekadar menghukum atau mengatur, tetapi mengubah relasi sosial agar lebih setara. Seperti dikatakan oleh jurist feminis, MacKinnon, hukum harus hadir bukan untuk “menyamakan perempuan dengan laki-laki”, melainkan untuk menghapus struktur dominasi yang membuat perempuan selalu berbeda secara sosial dan politis.
    Kini, tugas besar ada di tangan DPR dan partai politik. Mereka harus menindaklanjuti putusan ini dengan mekanisme konkret: penataan tata tertib DPR, kebijakan afirmatif dalam fraksi, hingga evaluasi rutin atas komposisi alat kelengkapan Dewan.
    Pun, publik sipil dan gerakan perempuan perlu terus mengawal agar prinsip keadilan gender tidak berhenti di ruang sidang MK, tetapi berakar dalam praktik politik keseharian.
    Jadi, keterwakilan perempuan di jantung parlemen bukan sekadar tentang menambah kursi, melainkan menambah cara pandang terhadap keadilan.
    Demokrasi yang sejati hanya bisa hidup jika seluruh warga negara—tanpa terkecuali—dapat berpartisipasi secara bermakna dalam menentukan arah bangsa.
    Putusan MK ini adalah panggilan konstitusional untuk memastikan bahwa politik Indonesia bukan lagi arena eksklusif “kekuasaan laki-laki”, tetapi ruang bersama untuk keadilan yang setara dan manusiawi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Prudensi keuangan negara dalam menjaga kedaulatan ekonomi

    Prudensi keuangan negara dalam menjaga kedaulatan ekonomi

    Ketika banyak negara masih bergulat dengan tekanan utang dan inflasi tinggi, Indonesia justru berhasil menjaga ruang fiskal untuk merespons dinamika global tanpa menimbulkan ketidakstabilan

    Jakarta (ANTARA) – Tanggal 30 Oktober setiap tahun diperingati sebagai Hari Oeang Republik Indonesia, sebuah momentum yang mengingatkan bangsa ini pada pentingnya kedaulatan ekonomi.

    Sejarah mencatat bahwa pada tanggal tersebut tahun 1946, pemerintah Indonesia untuk pertama kalinya mengeluarkan mata uang sendiri sebagai simbol kemandirian ekonomi pasca-kemerdekaan.

    Oeang Republik Indonesia (ORI) bukan sekadar alat transaksi, melainkan lambang kemerdekaan dari penjajahan ekonomi yang selama ratusan tahun membelenggu negeri ini.

    Dalam konteks masa kini, semangat itu tetap relevan. Di bawah kepemimpinan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, pemerintah meneguhkan kembali pentingnya prinsip kehati-hatian atau prudensi dalam setiap langkah pengelolaan fiskal.

    Kebijakan fiskal yang dijalankan Kementerian Keuangan menekankan keseimbangan antara kebutuhan pembangunan dengan keberlanjutan fiskal jangka panjang. Prinsip kehati-hatian ini menjadi landasan moral dan teknokratis dalam setiap keputusan alokasi anggaran.

    Pemerintah tidak tergoda untuk mengeluarkan belanja besar tanpa perhitungan yang matang, melainkan menempatkan efisiensi dan dampak nyata bagi masyarakat sebagai prioritas utama. Dengan menjaga defisit APBN di bawah 3 persen terhadap PDB dan rasio utang di bawah 40 persen, Indonesia menunjukkan komitmen kuat terhadap tata kelola fiskal yang sehat.

    Menjaga stabilitas

    Kondisi ekonomi global dalam beberapa tahun terakhir penuh dengan ketidakpastian. Perang, perubahan iklim, dan disrupsi teknologi menciptakan tekanan yang kompleks terhadap stabilitas ekonomi dunia. Namun di tengah tantangan itu, Indonesia menjadi salah satu negara yang mampu menjaga stabilitas ekonomi dengan baik.

    IMF dalam laporannya tahun 2025 menyebutkan bahwa Indonesia termasuk dalam lima besar negara G20 yang berhasil menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dan stabilitas fiskal. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan tetap di kisaran 5,1 persen, sementara inflasi terkendali pada tingkat 3 persen sebagai suatu capaian yang jarang ditemui di negara berkembang.

    LPEM UI dalam riset terbarunya tahun 2024 menegaskan bahwa keberhasilan tersebut bukan kebetulan, melainkan hasil dari disiplin fiskal yang berkesinambungan. Belanja negara diarahkan untuk memperkuat sektor produktif seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.

    Di sisi lain, Kementerian Keuangan secara konsisten memperbaiki sistem penerimaan negara melalui digitalisasi pajak dan efisiensi administrasi. Reformasi pajak yang dilakukan tidak hanya memperluas basis penerimaan, tetapi juga meningkatkan transparansi dan kepercayaan wajib pajak.

    OECD dalam laporan Economic Outlook for Southeast Asia 2025 menilai strategi fiskal Indonesia sebagai salah satu yang paling adaptif di kawasan. Ketika banyak negara masih bergulat dengan tekanan utang dan inflasi tinggi, Indonesia justru berhasil menjaga ruang fiskal untuk merespons dinamika global tanpa menimbulkan ketidakstabilan.

    Hal ini menjadi bukti bahwa prinsip prudensi dalam kebijakan fiskal tidak berarti menahan pembangunan, melainkan memastikan setiap kebijakan berjalan efektif dan berkelanjutan.

    Dampak nyata bagi rakyat

    Kebijakan fiskal yang prudent terbukti memberikan dampak nyata bagi masyarakat. Data BPS menunjukkan tingkat kemiskinan pada Maret 2025 turun menjadi 9,0 persen, terendah dalam satu dekade terakhir. Penurunan ini tidak hanya disebabkan oleh bantuan sosial, tetapi juga oleh penciptaan lapangan kerja di sektor-sektor produktif.

    Program padat karya, dukungan UMKM, serta insentif pajak untuk investasi domestik menjadi motor penggerak utama pengurangan kemiskinan. Sementara itu, tingkat pengangguran terbuka turun menjadi 4,8 persen, didorong oleh meningkatnya kegiatan ekonomi digital dan manufaktur.

    Dalam laporan Indonesia Economic Prospects yang diterbitkan Bank Dunia pada Mei 2025, disebutkan bahwa disiplin fiskal yang diterapkan Indonesia menjadi faktor kunci dalam menjaga kepercayaan investor. Pengelolaan belanja yang transparan dan terukur membuat ekonomi domestik lebih tangguh menghadapi guncangan eksternal.

    Bahkan, peringkat sovereign credit rating Indonesia tetap stabil di level BBB dengan outlook positif menurut Fitch Ratings dan Standard & Poor’s. Ini mencerminkan keyakinan pasar internasional terhadap kredibilitas fiskal pemerintah.

    Pilar utama

    Kedaulatan ekonomi tidak hanya bergantung pada kemampuan memproduksi barang di dalam negeri, tetapi juga pada kemandirian fiskal. Kementerian Keuangan telah menjalankan reformasi struktural untuk memperkuat fondasi tersebut. Salah satunya adalah penerapan Medium-Term Fiscal Framework (MTFF) yang memastikan kesinambungan kebijakan antarperiode pemerintahan.

    Melalui kerangka ini, setiap rencana belanja negara harus disesuaikan dengan proyeksi pendapatan dan kapasitas fiskal jangka menengah, sehingga mengurangi risiko defisit yang tidak terkendali.

    Riset yang dilakukan Center for Strategic and International Studies (CSIS) tahun 2025 menemukan bahwa penerapan MTFF meningkatkan konsistensi antara perencanaan dan realisasi anggaran hingga 92 persen, lebih tinggi dibanding periode sebelumnya yang hanya 80 persen.

    Hasil ini menunjukkan bahwa tata kelola fiskal Indonesia semakin kredibel dan terukur. Selain itu, upaya memperkuat penerimaan negara dari sektor digital economy dan green economy menjadi langkah strategis dalam memperluas basis fiskal di masa depan.

    Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dalam riset internalnya menyebutkan bahwa digitalisasi perpajakan dan integrasi data keuangan lintas sektor mampu menekan kebocoran penerimaan hingga 15 persen dalam dua tahun terakhir. Langkah ini tidak hanya meningkatkan pendapatan, tetapi juga memperkuat keadilan fiskal karena wajib pajak besar tidak lagi bisa menghindar dari kewajiban.

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Restrukturisasi utang Whoosh dan pergeseran kerja sama infrastruktur

    Restrukturisasi utang Whoosh dan pergeseran kerja sama infrastruktur

    Jika Indonesia dapat menjadikan pengalaman Whoosh sebagai pelajaran untuk memperkuat perencanaan, pelaksanaan, dan operasi proyek besar secara sistemik, maka biaya jangka pendek ini akan menjadi investasi jangka panjang yang berharga.

    Jakarta (ANTARA) – Oktober 2023 ditandai terobosan historis dalam pembangunan infrastruktur kawasan Asia Tenggara, ketika mantan Presiden Indonesia, Joko Widodo, bersama Perdana Menteri Tiongkok saat itu, Li Qiang, meresmikan Kereta Cepat Jakarta – Bandung (Whoosh).

    Dengan kecepatan 350 kilometer per jam, waktu tempuh antara dua kota ini dipangkas dari tiga jam menjadi hanya 40 menit. Proyek ini juga menghasilkan transfer teknologi yang melahirkan tim insinyur lokal Indonesia, serta mendorong terbentuknya koridor ekonomi di sepanjang jalur.

    Namun, belum genap dua tahun kemudian, Kantor Berita Antara mempublikasikan laporan panjang yang secara jujur mengungkap tekanan keuangan proyek tersebut: biaya konstruksi sebesar 7,2 miliar dolar AS, beban bunga tahunan hampir Rp2 triliun, kerugian Rp1,6 triliun pada semester pertama tahun 2025, serta volume penumpang yang masih jauh di bawah harapan.

    Angka-angka tersebut memicu perhatian luas, baik di dalam maupun luar negeri. Namun, penting untuk diluruskan bahwa ini bukan kisah tentang proyek yang “gagal”, melainkan fenomena normal dari proyek infrastruktur besar yang sedang memasuki masa penyesuaian operasional.

    Studi Bank Dunia menunjukkan bahwa proyek kereta cepat di negara berkembang umumnya membutuhkan waktu 5 hingga 10 tahun untuk mencapai keseimbangan operasi. Bahkan Shinkansen Jepang pun pernah mengalami kekurangan penumpang dan tekanan keuangan pada tahap awal.

    Kuncinya bukanlah apakah kesulitan muncul, tetapi bagaimana menghadapi tantangan tersebut dengan sikap pragmatis dan mengubahnya menjadi keuntungan jangka panjang. Dimulainya negosiasi restrukturisasi utang proyek Whoosh justru mencerminkan kematangan kedua negara dalam menghadapi masalah secara terbuka dan bekerja sama mencari solusi.

    Kesenjangan antara Perencanaan dan Realitas

    Kesulitan keuangan proyek Whoosh disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor, tetapi sumber utamanya terletak pada kelemahan dalam perencanaan dan pembangunan infrastruktur pendukung, bukan pada model pembiayaannya.

    Pertama, keterputusan antara proyeksi permintaan dan pengembangan pasar. Realisasi penumpang selama tahun 2024 hanya mencapai sekitar 6 juta orang, jauh di bawah target, dengan pendapatan kotor tahunan kurang dari Rp 1,5 triliun, tidak cukup untuk menutupi beban bunga Rp2 triliun per tahun.

    Kesalahan mendasar di sini adalah Indonesia meremehkan biaya waktu yang dibutuhkan untuk membentuk pasar baru. Kereta cepat, sebagai moda transportasi baru, memerlukan strategi jangka panjang seperti promosi tiket murah, peningkatan layanan, dan edukasi publik agar menjadi pilihan utama masyarakat. Shinkansen Jepang pun butuh waktu lima tahun untuk membangun basis penumpang yang stabil.

    Masalah yang lebih serius adalah absennya konektivitas last mile. Stasiun Tegalluar terletak jauh dari pusat Kota Bandung, sementara transportasi penghubung seperti LRT, bus khusus, dan terminal taksi belum tersedia. Akibatnya, penumpang harus menambah 30–40 menit perjalanan menuju pusat kota, sehingga keunggulan waktu kereta cepat menjadi tidak relevan.

    Kedua, kelemahan dalam pengendalian biaya dan kapasitas manajemen. Biaya proyek meningkat dari 6 miliar menjadi 7,2 miliar dolar AS —kenaikan 20% yang umum terjadi pada proyek infrastruktur besar, tetapi tetap perlu ditelusuri.

    Perlu digarisbawahi bahwa struktur pembiayaan proyek ini sebenarnya adalah pengaturan komersial yang wajar. China Development Bank memberikan 75% pinjaman dengan suku bunga dan tenor yang sesuai standar internasional. Indonesia memilih skema ini karena lembaga keuangan Barat dan Japan International Cooperation Agency (JICA) menawarkan syarat yang lebih ketat, bahkan menolak mendanai proyek tersebut. Oleh karena itu, menyalahkan “syarat pinjaman Tiongkok yang berat” tidak berdasar.

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Bank Dunia: Anak Muda di Asia Timur dan Pasifik Sulit Dapat Kerja – Page 3

    Bank Dunia: Anak Muda di Asia Timur dan Pasifik Sulit Dapat Kerja – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Ekonomi masyarakat di Asia Timur dan Pasifik berkembang pesat seiring pertumbuhan yang berorientasi ekspor dan padat karya menciptakan lapangan kerja lebih produktif.

    Namun, perubahan teknologi, perdagangan dan demografi menjadi tantangan bagi negara yang menerapkan pertumbuhan berorientasi ekspor dan padat karya di Asia Timur dan Pasifik.

    Perkembangan robot industri, kecerdasan buatan dan artificial intelligence dan digitalisasi mendorong produktivitas dan menciptakan lapangan kerja baru sekaligus menggantikan lapangan kerja lainnya.

    Selain itu, meningkatnya hambatan perdagangan berdampak pada pola perdagangan negara-negara. Hal itu juga berdampak terhadap pasar tenaga kerja di Asia Timur dan Pasifik. Berlawanan dengan tren populasi menua di China dan Malaysia, kaum muda di Indonesia dan Kamboja membentuk tenaga kerja abadi.

    Bank Dunia mencatat tingkat pekerjaan tinggi di kawasan Asia Timur Pasifik dibandingkan kawasan lain. Namun, kaum muda kesulitan mencari pekerjaan di China, Indonesia dan beberapa negara lain. Melihat data Bank Dunia, tingkat pengangguran usia 15-24 tahun di Indonesia di atas 10%, usia 25-54 tahun di atas 5%.

    Di sisi lain, partisipasi angkatan kerja rendah di beberapa negara terutama di Pasifik dan khususnya di kalangan perempuan. Berbeda dengan kawasan berkembang lainnya, populasi usia kerja di kawasan Asia Pasifik secara keseluruhan menyusut. Diprediksi akan turun 200 juta antara 2025-2050. Namun, terdapat perbedaan di dalam kawasan ini yakni China, Vietnam, dan Thailand mengalami penuaan penduduk. Sedangkan Filipina, Indonesia dan Kamboja mengalami lonjakan jumlah penduduk.

    Bank Dunia menilai, meningkatkan produktivitas lapangan kerja sangat penting bagi sebagian besar negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Hal ini karena produktivitas tenaga kerja masih relatif rendah dan di bawah rata-rata global kecuali China dan Malaysia.

    “Menciptakan lapangan kerja penting, tidak hanya bagi kaum muda dan perempuan, tetapi juga bagi negara-negara kepulauan Pasifik secara luas karena proporsi penduduk usia kerja yang bekerja di bawah rata-rata global,” demikian seperti dikutip.

     

  • Mewujudkan Ekonomi Konsitusi

    Mewujudkan Ekonomi Konsitusi

    Mewujudkan Ekonomi Konsitusi
    Djarot Saiful Hidayat, Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Ideologi dan Kaderisasi, Anggota DPR RI Periode 2019-2024, Gubernur DKI Jakarta (2017), Wakil Gubernur DKI Jakarta (2014-2017) dan Walikota Blitar (2000-2010). Kini ia menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI Periode 2024-2029.
    PIDATO Presiden Prabowo Subianto yang menegaskan pentingnya kembali kepada amanat konstitusi ekonomi — khususnya Undang-undang Dasar NRI 1945 Pasal 33 — menandai sinyal strategis dalam orientasi pembangunan ekonomi nasional.
    Presiden Prabowo menyampaikan arahan itu pada Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, pada 20 Oktober 2025.
    Dalam arahan tersebut, ia menyatakan bahwa “perekonomian nasional harus dikembalikan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan semata pertumbuhan atau keuntungan jangka pendek”.
    Ia juga menyinggung bahwa Indonesia sebagai produsen terbesar minyak sawit dunia masih mengalami kelangkaan minyak goreng — sebagai indikasi bahwa mekanisme pasar belum mencerminkan keadilan sosial.
    Dalam konteks ini, sangat penting untuk memahami substansi Pasal 33 UUD NRI 1945 sebagai landasan hukum ekonomi negara.
    Pasal 33 ayat (1) menyatakan: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.”
    Ayat (2): “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”
    Ayat (3): “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
    Penjelasan lebih lanjut (termasuk setelah amandemen) menyebut bahwa ayat (4) menyatakan bahwa “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi… dengan prinsip kebersamaan, efisiensi-keadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
    Dalam tinjauan sejarah hukumnya, Pasal 33 dimaknai sebagai “ideologi ekonomi Indonesia” — yaitu suatu rumusan yang menegaskan kedaulatan ekonomi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagai salah satu tujuan dari Indonesia merdeka.
    Penafsiran yuridis-normatif menunjukkan bahwa penguasaan negara atas cabang produksi penting ataupun kekayaan alam tidak dapat direduksi hanya sebagai hak regulasi, melainkan mencakup mandat moral untuk kemakmuran rakyat secara kolektif.
    Dengan demikian, ketika Presiden Prabowo kembali menegaskan Pasal 33 sebagai landasan ekonomi konstitusi dan mendorong kedigdayaan ekonomi rakyat, maka pidato tersebut sesungguhnya menegaskan “ekonomi konstitusi” sebagai kembali ke amanat UUD dan nilai-nilai Pancasila: kedaulatan, kemandirian, pemerataan, dan keberpihakan pada seluruh rakyat.
    Namun, penting dicatat bahwa meskipun landasan tersebut kuat secara konstitusional dan historis, implementasi nyata menghadapi tantangan struktural, yakni masih merajalelanya ideologi kapitalisme, seperti mekanisme pasar yang semakin terbuka hampir tanpa batas, globalisasi modal asing, liberalisasi investasi, termasuk isu persaingan modal besar oligarki versus kepentingan rakyat kecil.
    Pidato Presiden dapat dibaca sebagai momentum korektif terhadap bias kapitalisme yang telah lama mendominasi orientasi pembangunan nasional.
    Pemikiran ekonomi bangsa Indonesia sejak awal kemerdekaan menegaskan bahwa pembangunan ekonomi tidak hanya soal produksi dan konsumsi, tetapi juga soal kemerdekaan, kedaulatan ­dan keadilan sosial.
    Bung Karno dalam Deklarasi Ekonomi tahun 1963 menegaskan bahwa pembangunan harus diarahkan untuk “menyusun perekonomian yang berdikari”, bebas dari ketergantungan modal asing, dan berorientasi kepada kepentingan rakyat.
    Ekonomi Berdikari menjadi sikap ekonomi bagi perwujudan sosialisme Indonesia yang menjadi visi ekonomi dari Pancasila.
    Sementara itu, Mohammad Hatta dalam “Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun” (1954) memandang koperasi sebagai bentuk organisasi ekonomi yang menempatkan manusia sebagai pusat, bukan modal.
    Ia menulis bahwa “koperasi adalah alat pendidikan sosial yang mengajarkan rakyat untuk saling tolong-menolong dan membangun kekuatan bersama.”
    Pemikiran tersebut mengusung jalan tengah antara kapitalisme yang menindas dan sosialisme yang mengabaikan kebebasan individu.
    Beberapa dekade kemudian, Mubyarto secara konsisten mengembangkan pemikiran “Ekonomi Pancasila” sebagai kerangka sistem ekonomi alternatif.
    Dalam bukunya “Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan” (1987), Mubyarto menyusun konsep sistem ekonomi Pancasila yang merujuk pada “usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan dan kegotong-royongan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan pemerataan sosial dalam kemakmuran dan kesejahteraan.”
    Ia mengkritik arus dominan ekonomi neoklasik yang terlalu menekankan efisiensi pasar dan mengabaikan dimensi moral pembangunan.
    Bagi Mubyarto, ukuran keberhasilan ekonomi bukan hanya pertumbuhan, tetapi sejauh mana kemiskinan berkurang, lapangan kerja terbuka, dan rakyat kecil memperoleh kemandirian ekonomi.
    Ketiga tokoh ini, meskipun berbeda dalam konteks zamannya, menyepakati substansi bahwa ekonomi harus berpihak pada rakyat — bukan hanya tatanan pasar bebas yang tanpa kendali.
    Soekarno dengan kedaulatan ekonomi, Hatta dengan prioritas koperasi dan manusia sebagai subjek ekonomi, serta Mubyarto dengan kerangka sistem ekonomi Pancasila yang menjembatani nilai moral dan struktur ekonomi.
    Warisan pemikiran mereka dapat menjadi fondasi bagi interpretasi “ekonomi konstitusi” masa kini — yaitu, bagaimana melaksanakan ekonomi yang dirancang dalam UUD 1945 dengan nilai-nilai Pancasila dalam kerangka globalisasi dan persaingan pasar yang semakin terbuka.
    Empat dekade terakhir menunjukkan pergeseran tajam dalam orientasi ekonomi nasional menuju liberalisasi dan dominasi mekanisme pasar.
    Kebijakan deregulasi dan liberalisasi sejak 1980-an, undang-undang dilakukan seperti UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang membuka investasi asing dan memperluas ruang swasta tanpa pengaturan kontrol sosial yang memadai.
    Akibatnya, terjadi privatisasi BUMN, pelemahan proteksi sektor rakyat kecil, dan akumulasi modal besar yang semakin kuat.
    Realitas ini membentuk struktur ekonomi yang oleh banyak kritikus sebut sebagai “kapitalistik” dalam arti orientasi kepada akumulasi modal besar yang dikuasai oleh segelintir oligarki yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa pemerataan.
    Dari segi angka, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan rasio Gini pengeluaran penduduk Indonesia per September 2024 tercatat sebesar 0,381.
    Ini menandakan bahwa meskipun terjadi sedikit penurunan dibanding Maret 2023 (0,388) ke Maret 2024 (0,379) , ketimpangan ekonomi masih relatif tinggi.
    Distribusi pengeluaran kelompok 40 persen terbawah pada September 2024 tercatat hanya 18,41 persen dari total pengeluaran nasional.
    Secara struktur, Bank Dunia mencatat 20 persen kelompok teratas menguasai hampir separuh total pendapatan nasional — yang mencerminkan pola akumulasi yang sangat timpang.
    Kondisi ini menunjukkan bahwa orientasi pasar bebas dan akumulasi modal besar belum menciptakan pemerataan yang signifikan.
    Dari aspek hukum, penafsiran Pasal 33 ayat (2) dan (3) menunjukkan bahwa penguasaan negara atas cabang produksi penting dan kekayaan alam harus digunakan untuk kemakmuran rakyat.
    Namun, realitas pengelolaan sumber daya alam kerap menunjukkan bahwa nilai tambah lebih banyak dinikmati oleh korporasi besar atau investor asing, sementara manfaat lokal atau rakyat kecil masih terbatas.
    Untuk menghidupkan kembali semangat “ekonomi konstitusi” sebagai yang ditekankan Presiden, setidak-tidaknya dapat ditempuh melalui empat langkah strategis.
    Pertama, memperkuat kembali peran negara dan BUMN di sektor strategis, bukan sekadar sebagai pelaku bisnis, tetapi sebagai pelindung kepentingan publik.
    Kedua, merevitalisasi koperasi sebagai lembaga ekonomi rakyat modern dan profesional yang tumbuh dari bawah berdasarkan kepentingan ekonomi rakyat banyak (sejalan dengan Hatta dan Mubyarto).
    Ketiga, mengarahkan kebijakan investasi dan hilirisasi sumber daya alam agar tercipta nilai tambah di dalam negeri dan manfaat langsung bagi masyarakat lokal.
    Keempat, memperkuat regulasi sosial dan perlindungan rakyat agar pembangunan tidak hanya efisien tetapi juga adil dan manusiawi.
    Langkah-langkah ini tidak menolak mekanisme pasar modern, melainkan menempatkannya dalam bingkai moral pembangunan: bahwa keterbukaan ekonomi dan persaingan global harus tunduk pada nilai nasional dan kepentingan rakyat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.