NGO: World Bank

  • Tren Gugatan PHK di Pengadilan, Efek Stagnasi Ekonomi & Deindustrialisasi?

    Tren Gugatan PHK di Pengadilan, Efek Stagnasi Ekonomi & Deindustrialisasi?

    Bisnis.com, JAKARTA – Tahun 2024 menjadi yang terberat bagi pekerja di sektor manufaktur. Pemutusan hubungan kerja alias PHK terjadi di mana-mana. Imbasnya, jumlah gugatan perselisihan hubungan industrial (PHI) yang masuk ke pengadilan bak jamur di musim hujan alias banyak.

    Data yang dihimpun Bisnis menunjukkan bahwa wilayah Jawa Barat, Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Tengah, menjadi daerah dengan jumlah sengketa PHI paling banyak. Di Pengadilan Negeri Bandung, misalnya, jumlah sengketa PHI yang masuk untuk periode Januari 2024 – 13 Januari 2025 sebanyak 265 kasus.

    Menariknya, dari jumlah tersebut, mayoritas atau 167 perkara adalah sengketa terkait PHK sepihak, 47 gugatan PHK massal, dan sisanya adalah sengketa PHI lainnya. Sementara itu di Pengadilan Negeri Surabaya, jumlah sengketa PHI tercatat sebanyak 151 kasus. Dari jumlah itu, 102 gugatan dipicu oleh tindakan pidana sepihak dan 13 PHK massal.

    Tren gugatan sengketa PHI juga terjadi di Jawa Tengah, dalam sistem informasi penelusuran perkara PN Semarang, jumlah sengketa PHI Januari 2024-13 Januari 2025 yang tercatat sebanyak 82 perkara dengan perincian, sengketa PHK sepihak 66 gugatan dan 8 terkait PHK massal.

    Adapun, jika mencermati jumlah gugatan yang masuk, sengketa terkait dengan PHK massal tercatat naik cukup signifikan dibandingkan tahun 2023. Di Bandung misalnya, pada tahun 2023, jumlah sengketa PHK massal hanya sebanyak 22 perkara. Secara persentase, ada kenaikan sebanyak 90% pada tahun 2024. Tren serupa juga terjadi di Semarang, dengan jumlah persentase 166%.

    Sementara itu, pengadilan yang paling banyak menerima sengketa PHI adalah PN Jakarta Pusat. Jumlah sengketa PHI di pengadilan tersebut mencapai 357 kasus. Mayoritas sengketa PHI di PN Jakpus adalah PHK sepihak dengan persentase 92,7% atau 331 kasus. Hanya saja, PN Jakpus tidak menerima sengketa PHK massal selama periode 2024 – 3 Januari 2025.

    Tren sengketa PHI baik sengketa PHK sepihak maupun PHK massal yang terjadi di sejumlah pengadilan sejatinya mengonfirmasi catatan pemutusan hubungan kerja yang marak terjadi belakangan ini. Data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa pada periode Januari – November 2024, ada sebanyak 68.870 kasus. Badai PHK itu sebagain besar terjadi di Jakarta, Banten, dan Jawa Tengah. 

    Jumlah PHK Januari – November 2024

    No.
    Provinsi
    Jumlah

    1
    Jakarta
    14.501

    2
    Jawa Tengah
    13.021

    3
    Banten
    10.727

    4
    Jawa Barat
    9.510

    5
    Jawa Timur
    3.757

    Sumber: Kementerian Ketenagakerjaan

    Pabrik Tutup, PHK Menumpuk

    Sementara itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebut bahwa sebanyak 60 perusahaan tekstil terpaksa tutup, sehingga jumlah PHK menumpuk dalam dua tahun terakhir. Kondisi ini menyebabkan 250.000 pekerja terdampak. 

    Direktur Industri Tekstil, Kulit dan Alas Kaki Kemenperin, Adie Rochmanto Pandiangan mengatakan pihaknya masih perlu melakukan evaluasi atas laporan penutupan 60 pabrik tekstil tersebut. Menurut dia, penyebabnya tak hanya masalah daya saing saja. 

    “Apakah semua dari 60 perusahaan itu karena persoalan daya saing? Mungkin saja masalah UMP di satu tempat sehingga dia relokasi, apakah itu bisa dikatakan tutup? misalnya pergerakan dari Banten, Jawa Barat ke Jawa Tengah,” kata Adie, dikutip Selasa (31/12/2024).  

    Adie menerangkan bahwa data yang dihimpun asosiasi industri akan dievaluasi dan disinkronisasi dengan data dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) sehingga diperoleh informasi yang lebih rigid. 

    Dalam hal ini, Kemenperin menyoroti keterpurukan industri tekstil dan produk tekstil serta turunanya diakibatkan kebijakan relaksasi impor sehingga pasar domestik dibanjiri produk impor ilegal maupun legal. 

    Adapun Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat sebanyak 80.000 pekerja di Indonesia terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) selama periode Januari—awal Desember 2024.

    Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer Gerungan menyampaikan bahwa tingginya angka tenaga kerja yang terkena PHK ini belum termasuk dengan rencana dari puluhan perusahaan yang bakal melakukan PHK.

    “80.000-an [pekerja yang ter-PHK], belum lagi kemarin saya diskusi dengan beberapa kawan-kawan ada sekitar 60 perusahaan yang akan melakukan PHK. Dan ini kan mengerikan sekali gitu lho,” kata Immanuel saat ditemui di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan, Jakarta, Senin (23/12/2024).

    Imbas Ekonomi Stagnan?

    Adapun ribut-ribut mengenai PHK juga terjadi di tengah stagnasi ekonomi. Indonesia membutuhkan angka pertumbuhan di kisaran 7% untuk keluar dari jebakan middle income trap country atau jebakan negara berpenghasilan menengah. Namun alih-alih tumbuh tinggi, pertumbuhan ekonomi Indonesia justru stagnan di angka 5%. Pun tahun 2024 lalu estimasi tetap di angka 5%.

    Nasib Indonesia berbanding terbalik dengan Vietnam. Negara yang berbatasan langsung dengan China itu justru menikmati pertumbuhan yang cukup impresif. Sepanjang tahun 2024, negara Paman Ho (Ho Chi Minh) itu, berhasil menembus angka 7,09%. Ekspor yang kuat dan arus masuk investasi asing menjadi motor pertumbuhan Vietnam.

    Data dari Kantor Statistik Umum (GSO) Vietnam pada Senin (6/1/2025) mencatat pertumbuhan sepanjang 2024 itu lebih tinggi dari realisasi sebesar 5,05% pada 2023. Sementara itu, PDB tumbuh 7,55% pada kuartal IV/2024, pertumbuhan kuartalan tercepat dalam lebih dari dua tahun.

    Vietnam yang merupakan pusat manufaktur regional Asia Tenggara telah diuntungkan dari pemulihan konsumsi global meskipun sangat terpengaruh oleh bencana topan terkuat di Asia pada tahun lalu.”Ini adalah hasil positif di tengah berbagai kesulitan termasuk, bencana alam, dan merupakan landasan yang baik untuk pertumbuhan pada tahun 2025,” kata Nguyen Thi Huong, dikutip dari Reuters.

    Capaian moncer pada tahun 2024 itu juga semakin meneguhkan prospek tinggi ekonomi Vietnam di kawasan regional, khususnya Asia Tenggara. Data World Bank atau Bank Dunia, setidaknya memberikan gambaran bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi Vietnam selama 2015-2024 mencapai 6,09%. Vietnam bahkan pernah tumbuh di atas 8% pada tahun 2022 lalu.ilustrasi manufakturPerbesar

    Kunci utama dari tingginya pertumbuhan tinggi Vietnam adalah sektor manufaktur. Kontribusi manufaktur ke PDB Vietnam tembus di angka 23,88 (2023), tahun 2024 kemungkinan lebih tinggi. Kinerja apik manufaktur Vietnam juga tidak bisa lepas dari mengucurnya investasi asing yang terus tumbuh cukup positif. Tahun 2023 lalu, kontribusi investasi ke PDB Vietnam ada di angka 32%.

    Sebaliknya, Indonesia alih-alih menguat, struktur perekonomin Indonesia justru terus melambat. Kontribusi manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) masih nyaman di bawah angka 20%. Angka pada kuartal 3/2024 lalu, share manufaktur ke PDB di angak 19%. Terakhir kali kontribusi manufaktur ke PDB di atas 20% terjadi pada tahun 2017.

    Di sisi lain, perekonomian Indonesia juga mayoritas juga digerakkan oleh konsumsi rumah tangga. Kalau menilik data PDB kuartal II1/2024, kontribusi konsumsi rumah tangga masih di atas 50%. Sementara itu ekspor dan investasi masih di kisaran angka 22% dan 29%. Satu lagi yang menjadi catatan adalah, arah investasi Indonesia justru mayoritas didominiasi oleh investasi padat modal.

    Sekadar catatan data Kementerian Investasi kuartal III/2024, investasi asing yang masuk ke RI mayoritas dalah di sektor industri logam dasar dengan kontribusi di angka 19,6%, transportasi 13%, dan pertambangan 10%. Industri manufaktur padat karya, salah satunya adalah makanan, hanya di angka 5%.

    Manufaktur Jeblok, Informal Dominan

    Tren stagnasi ekonomi Indonesia yang hanya tumbuh di angka 5 persen dipicu oleh banyak aspek salah satunya tren kinerja sektor manufaktur. Jika melihat struktur pertumbuhan ekonomi, kontribusi manufaktur terhadap produk domestik bruto hanya di kisaran 18 – 19%. Secara teoritik, Indonesia sedang berada fase deindustrialisasi atau melemahnya kontribusi industi pengolahan alias manufaktur terhadap PDB.

    Lemahnya kontribusi tersebut tentu menjadi alarm dini, pasalnya manufaktur adalah penyumbang utama PDB Indonesia. Selain itu, jika melihat benchmark, di level internasional, negara dengan struktur manufaktur yang mapan, cenderung memiliki ekonomi yang jauh lebih stabil, ketimbang negara-negara yang menggantungkan perekonomiannya dari sisi komoditas.

    pedagang kaki limaPerbesar

    Indonesia, sejauh ini masih sangat tergantung dengan komoditas. Kinerja perekonomian tahun 2022 lalu mengonfirmasi keterkaitan antara kenaikan harga komoditas dengan capaian pertumbuhan 5,3 persen. Kontribusi pertambangan ke PDB naik, sementara manufaktur tertekan.

    Dampak paling terasa dari menurunnya kinerja manufaktur adalah jumlah pekerjanya yang fluktuatif bahkan cenderung turun. Pada Agustus 2019 misalnya, jumlah pekerja sektor manufaktur menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 14,96 persen, kemudian turun menjadi 13,61 persen pada Agustus 2020 (efek pandemi). Agustus tahun 2021 jumlah pekerja manufaktur naik menjadi 14,26 persen.

    Namun demikian, pada tahun Agustus 2022, kontribusi manufaktur ke total jumlah pekerja di Indonesia turun menjadi 14,17 persen. Kontribusi manufaktur terus terkoreksi pada tahun Agustus 2023 tersisa 13,83 persen. Pada waktu itu, jumlah orang Indonesia yang bekerja mencapai 139,85 juta orang. Itu artinya saat ini orang yang bekerja di sektor manufaktur hanya 19,34 juta orang.

    Yang menarik dari struktur pekerja di Indonesia itu adalah adanya dominasi sektor informal yang cukup besar. Pada Februari 2024 jumlah pekerja informal mencapai 59,17 persen. Sementara pekerja formal hanya sebesar 40,83 persen. Memang ada tren penurunan pekerja informal dibandingkan Februari 2023 yang sebanyak 59,31 persen dan Februari 2022 sebesar 59,97 persen.

    Kebijakan Pro Pekerja

    Sementara itu, Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi) meminta Presiden Prabowo Subianto untuk membuat kebijakan yang dapat melindungi dan mensejahterakan pekerja/buruh, pengusaha, serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia pada 2025.

    Permintaan tersebut muncul seiring maraknya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang 2024 yang dinilai sebagai akibat dari regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah, salah satunya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.8/2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.

    “Kami harap di 2025, pemerintah Presiden Prabowo Subianto membuat peraturan yang isinya melindungi dan mensejahterakan pekerja/buruh dan pengusaha, serta Pelaku UMKM Indonesia,” kata Presiden Aspirasi Mirah Sumirat dalam keterangannya, Selasa (31/12/2024).

    Adapun sepanjang 2024, Mirah menyebut bahwa hampir seluruh sektor industri melakukan PHK massal. 

    Salah satu sektor terbesar yang mengalami PHK yakni industri tekstil dan produk tekstil, mengingat ini merupakan sektor terbesar yang mempekerjakan pekerja/buruh. Disusul industri otomotif, telekomunikasi, perbankan, dan sektor lainnya. 

  • Pemerintah Mau Pangkas ICOR ke Level 4 hingga Akhir Masa Jabatan Prabowo, Ini Strateginya

    Pemerintah Mau Pangkas ICOR ke Level 4 hingga Akhir Masa Jabatan Prabowo, Ini Strateginya

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah terus berusaha menurunkan ICOR dari level 6,5 menjadi 4 dalam rangka membuat investasi yang masuk ke Indonesia semakin efektif mendorong pertumbuhan ekonomi.

    Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan untuk menurunkan level Incremental Capital Output Ratio (ICOR) ke 4, tidak dapat terjadi dalam satu tahun dan butuh waktu lebih lama.

    “Perlu program lebih panjang karan ICOR kan terkait investasi jadi enggak bisa instan. Jadi dalam ICOR ke 4 itu target kita dalam 3—4 tahun ke depan,” ujarnya di Raffles Hotel Jakarta, Senin (13/1/2025).

    Sementara untuk tahun ini, Airlangga menuturkan belum menargetkan seberapa besar level penurunan ICOR yang diharapkan.

    ICOR menunjukkan jumlah investasi yang diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 1%. Artinya, setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi 1% membutuhkan peningkatan investasi sebesar 6,5%.

    Apabila nilai ICOR tidak berubah, tetap 6,5, maka perlu pertumbuhan investasi hingga 52% untuk bisa mencapai target pertumbuhan ekonomi Presiden Prabowo Subianto yakni 8%. Padahal, jika ICOR lebih rendah seperti negara lain yang berada di angka 3, Indonesia hanya perlu pertumbuhan investasi sebesar 19,5% demi mencapai target pertumbuhan ekonomi.

    Airlangga meyakini investasi di Indonesia mampu semakin efisien, tercermin dari kinerja Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di sejumlah wilayah yang bahkan mencatatkan ICOR hingga 2.

    Salah satunya, KEK Weda Bay di Maluku Utara dengan nilai investasi US$16 miliar mampu melakukan ekspor pertahunnya sejumlah US$8 miliar.

    “Jadi untuk mencapai ICOR 4, kita perlu mengembangkan lebih banyak KEK, sehingga kita bisa mengungkit KEK dengan kawasan lain,” lanjut Airlangga.

    Dirinya tidak menampik saat ini KEK di wilayah lainnya masih terkendala persoalan infrastruktur dan jauh dari pusat ekonomi. 

    Selain KEK dengan basis industri hilirisasi, pemerintah berharap dapat mendorong KEK berbasis pariwisata. Sayangnya, harga tiket pesawat masih menjadi persoalan yang perlu diselesaikan. 

    Selain melalui KEK, sebelumnya Airlangga bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mendorong optimalisasi Indonesia Nasional Single Window/INSW yang salah satu tujuannya menekan ICOR ke target angka 4.

    Sri Mulyani menyebutkan perbaikan sistem, integrasi dari kementerian/lembaga (K/L) hingga pelayanan, dapat mengurangi biaya dan waktu serta memberikan kepastian ekspor impor Indonesia yang pada akhirnya akan berdampak pada angka ICOR.

    “Jadi bisa mengurangi biaya dan waktu dan memberi kepastian kepada dunia usaha untuk ekspor-impor. Iya [ini salah satu untuk menurunkan ICOR],” ujarnya kepada media massa usai Rapat Koordinasi INSW bulan lalu. 

    Pasalnya, persoalan efisiensi telah disoroti Bank Dunia. Dalam laporan B-Ready 2024 –pengganti Ease of Doing Business—menyebutkan peringkat Indonesia pada pilar Regulatory Framework dan Operational Efficiency tahun lalu masih di bawah rata-rata 50 negara.

    Hanya satu peringkat yang di atas rata-rata, yakni pada pilar Public Service dengan capaian 63,44 poin, satu peringkat di bawah Kosta Rika dan tiga peringkat di atas Hongkong.

  • Strategi kepemimpinan ekonomi berlandaskan etika

    Strategi kepemimpinan ekonomi berlandaskan etika

    Presiden Prabowo Subianto (kanan) dan Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba (kiri) duduk bersama di ruang kerja presiden saat kunjungan kenegaraan di Istana Bogor, Kota Bogor, Jawa Barat, Sabtu (11/1/2025). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/agr/Spt.

    Strategi kepemimpinan ekonomi berlandaskan etika
    Dalam Negeri   
    Editor: Widodo   
    Minggu, 12 Januari 2025 – 17:49 WIB

    Elshinta.com – Kepemimpinan ekonomi yang berbasis etika menjadi landasan penting untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dalam era globalisasi yang penuh tantangan.

    Berdasarkan data Indeks Pembangunan Berkelanjutan (SDG Index, 2023), negara-negara yang menunjukkan kemajuan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) –yang mencakup kepemimpinan beretika, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan– memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

    Kepemimpinan ekonomi di Indonesia menghadapi tantangan yang kompleks, mulai dari ketimpangan sosial, korupsi, hingga perubahan dinamika global.

    Dalam konteks ini, pendekatan berbasis etika menjadi krusial untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

    Etika dalam kepemimpinan ekonomi tidak hanya mencakup kejujuran dan transparansi, tetapi juga keadilan dan tanggung jawab terhadap lingkungan sosial dan ekologis.

    Indonesia membutuhkan strategi kepemimpinan ekonomi berlandaskan etika karena berbagai alasan yang berhubungan dengan kondisi sosial, ekonomi, lingkungan, dan tata kelola pemerintahan.

    Strategi ini penting untuk memastikan pembangunan ekonomi yang inklusif, berkelanjutan, dan berkeadilan.

    Laporan Bank Dunia (2022) menyatakan bahwa negara-negara dengan tata kelola yang baik, termasuk kepemimpinan beretika, cenderung memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, yaitu rata-rata memiliki PDB per kapita 2-3 kali lebih besar dibandingkan negara dengan tata kelola yang lemah.

    Beberapa tinjauan konseptual dapat menjadi pondasi pemahaman pemikiran kepemimpinan ekonomi berlandaskan etika, di antaranya Teori Pertumbuhan Endogen (Endogenous Growth Theory).

    Teori ini menekankan bahwa inovasi, modal manusia, dan institusi yang baik merupakan faktor utama dalam pertumbuhan ekonomi. Etika dalam kepemimpinan dapat memperkuat institusi ekonomi melalui transparansi dan akuntabilitas. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Romer dalam karyanya (1986) yang menekankan pentingnya pengetahuan dan inovasi teknologi sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

    Dasar pemikiran selanjutnya adalah Teori Pembangunan Berbasis Nilai (Value-Based Development). Menurut teori ini, pembangunan ekonomi harus berorientasi pada nilai-nilai moral dan sosial. Hal ini mencakup distribusi yang adil dan pemberdayaan komunitas lokal.

    Hal ini pernah disampaikan oleh Sachs, melalui pendekatannya dalam The Age of Sustainable Development (2015), yang mengintegrasikan nilai-nilai keberlanjutan dalam strategi pembangunan, antara lain pembangunan ekonomi harus mempertimbangkan dimensi sosial dan lingkungan.

    Kemudian, Teori Triple Bottom Line. Konsep ini memperluas fokus ekonomi tradisional yang hanya berorientasi pada keuntungan, menjadi tiga dimensi, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan.

    Pemimpin ekonomi yang beretika akan memperhatikan keberlanjutan di ketiga dimensi. Hal ini, antara lain didukung oleh Raworth, dengan konsep Doughnut Economics (2017), memperluas gagasan TBL dengan dinyatakan oleh Raworth, dengan konsep Doughnut Economics (2017), yaitu mengintegrasikan batas sosial dan ekologis pembangunan harus berada dalam doughnut, yaitu zona aman dan adil untuk manusia, yang menghormati batas-batas ekologis.

    Strategi kepemimpinan ekonomi

    Ada beberapa strategi yang bisa diambil dalam kepemimpinan ekonomi berlandaskan etika. Pertama, peningkatan tata kelola (governance). Faktor yang mempengaruhi strategi ini adalah transparansi dalam pengelolaan anggaran dan kebijakan, serta pemberantasan korupsi melalui sistem kontrol yang efektif.

    Contoh penerapannya, antara lain pemerintah daerah dapat mengadopsi platform digital untuk pelaporan anggaran secara real-time, sehingga masyarakat dapat memantau penggunaan dana publik. Sistem pengawasan, seperti e-audit juga dapat diimplementasikan untuk mencegah penyelewengan anggaran.

    Kedua, investasi dalam modal manusia. Faktor yang mempengaruhi strategi ini adalah meningkatkan akses pendidikan yang berkualitas, serta mengintegrasikan pendidikan nilai dalam kurikulum ekonomi.

    Contoh penerapannya, antara lain adanya Program Pendorong Strategis, misalnya Kartu Indonesia Pintar (KIP) dapat diperluas untuk mencakup pelatihan keterampilan kerja yang berorientasi pada kebutuhan industri. Selain itu, materi pelajaran dapat mencakup studi kasus kepemimpinan beretika untuk membentuk karakter generasi muda.

    Ketiga, inovasi teknologi berbasis etika. Faktor yang mempengaruhi strategi ini adalah mengembangkan teknologi ramah lingkungan serta mendorong digitalisasi yang inklusif bagi UMKM. Contoh penerapannya, antara lain pengembangan panel surya murah yang dapat diakses oleh masyarakat perdesaan untuk kebutuhan energi. Selain itu, platform e-commerce berbasis lokal yang mendukung UMKM dengan biaya rendah dapat diinisiasi untuk memperluas pasar mereka.

    Keempat, kolaborasi dengan pemangku kepentingan. Faktor yang mempengaruhi strategi ini adalah menggalang kemitraan dengan sektor swasta dan masyarakat sipil, serta menciptakan forum dialog untuk memastikan aspirasi masyarakat terakomodasi.

    Contoh penerapannya, antara lain pemerintah dapat membentuk forum diskusi reguler antara pemerintah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat sipil untuk membahas prioritas pembangunan. Inisiatif seperti “Public-Private Partnership” (PPP) dapat diterapkan untuk proyek infrastruktur yang inklusif.

    Kelima, kebijakan pro-inklusi. Faktor yang mempengaruhi strategi ini adalah memberikan insentif kepada usaha kecil dan menengah, serta mendorong partisipasi perempuan dalam ekonomi.

    Contoh penerapannya adalah kebijakan pajak yang lebih ringan untuk UMKM yang dikelola oleh perempuan atau masyarakat lokal. Selain itu, program pelatihan kewirausahaan untuk perempuan dapat dilaksanakan untuk meningkatkan partisipasi mereka dalam sektor ekonomi.

    Tantangan 

    Tentu saja, untuk mewujudkan kepemimpinan ekonomi berlandaskan etika ini ada berbagai tantangan yang harus dihadapi.

    Berdasarkan data Transparency International, skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia pada tahun 2023 adalah 34/100. Hal ini menunjukkan masih adanya tantangan besar dalam menciptakan tata kelola yang bersih.

    Tantangan selanjutnya adalah investasi di bidang pendidikan dan pelatihan. Menurut Laporan Bank Dunia (2022), investasi dalam pendidikan dan pelatihan kerja dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja hingga 15 persen dalam satu dekade.

    Berikutnya apabila mengacu pada hasil Penelitian McKinsey (2021). McKinsey menyebutkan bahwa perusahaan yang mengadopsi prinsip keberlanjutan memiliki peluang pertumbuhan 2,5 kali lebih besar dibandingkan yang tidak.

    Hal ini juga sejalan dengan hasil studi Bappenas pada 2020 yang menemukan bahwa daerah yang menerapkan tata kelola berbasis etika menunjukkan pertumbuhan ekonomi daerah rata-rata 5,2 persen lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya.

    Agar kepemimpinan ekonomi berlandaskan etika ini dapat dijalankan di Indonesia, beberapa rekomendasi bisa dipertimbangkan oleh pemerintah, yaitu bahwa pemerintah perlu mengadopsi kerangka regulasi yang mendorong transparansi dan akuntabilitas, kemudian membentuk lembaga pengawasan independen untuk memastikan kebijakan beretika.

    Dalam sektor pendidikan, pemerintah harus mengintegrasikan nilai-nilai etika dalam pembelajaran ekonomi dengan memberikan pelatihan etika dan kepemimpinan kepada pejabat publik, serta mengajak masyarakat sipil dan sektor swasta terlibat dalam implementasi kebijakan berlandaskan etika.

    Hal-hal yang perlu diantisipasi, seperti resistensi dari pihak yang memiliki kepentingan pribadi perlu dikristalkan dalam sikap moral yang disepakati bersama dan mendorong pendalaman nilai guna menghadapi kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya kepemimpinan beretika.

    Strategi kepemimpinan ekonomi berlandaskan etika bukan hanya pilihan, tetapi kebutuhan bagi Indonesia untuk menghadapi tantangan globalisasi, mengurangi kesenjangan sosial, menjaga kelestarian lingkungan, dan membangun kepercayaan masyarakat.

    Dengan menerapkan prinsip-prinsip etis dalam kepemimpinan, Indonesia dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, berkelanjutan, dan berkeadilan, sekaligus memperkuat posisinya di kancah global.

    *) Dr. M. Lucky Akbar, S.Sos, M.Si adalah Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi

    Sumber : Antara

  • Siap-siap, Masyarakat yang Tunggak Pajak Bakal Sulit Urus Dokumen Penting

    Siap-siap, Masyarakat yang Tunggak Pajak Bakal Sulit Urus Dokumen Penting

    Jakarta, Beritasatu.com – Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan menyebut, masyarakat yang menunggak pajak bisa dipastikan bakal sulit mengurus dokumen penting. Kepastian itu akan diberlakukan apabila sistem Coretax mulai dijalankan.

    Pemerintah berupaya melakukan inovasi sistem perpajakan di Indonesia. Salah satu terobosannya, mengimplementasikan sistem pelayanan dan pengawasan pajak secara digital, atau disebut Coretax.

    Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan, apabila sistem ini berjalan optimal, maka masyarakat yang belum menunaikan tanggungan pajak akan kesulitan dalam mengurus dokumen-dokumen di lembaga pemerintahan.

    Sebagai contoh, untuk mengurus dokumen atau memperpanjang masa aktif paspor, yang bersangkutan harus terbebas dari tunggakan pajak.

    “(Pengawasan pajak) itu dengan sistem. Lebih jauh nanti, kamu ngurus paspor enggak bisa, karena kamu belom bayar pajak. Lebih jauh lagi, kamu perbaharui izin enggak bisa,” ungkap Luhut Binsar Pandjaitan di Kantor DEN, Jakarta, Kamis (9/1/2025).

    Ia mengungkapkan, penggunaan kecerdasan buatan hingga Big Data akan mengubah sistem pelayanan dan pengawasan di berbagai bidang.

    Luhut Pandjaitan menyebut, langkah ini akan memberikan perubahan yang positif bagi negara.

    “Tidak mudah untuk Kementerian Keuangan Ditjen Pajak itu collect. Makanya, kita bantu program (Coretax). Kita lihat hasilnya beberapa waktu ke depan,” ucapnya lagi.

    Diberitakan sebelumnya, Luhut Pandjaitan menyebut pemerintah berpotensi mendapat tambahan penerimaan pajak hingga Rp 1.500 triliun.

    Hal ini dapat terjadi apabila pemerintah dapat mengimplementasikan sistem pelayanan dan pengawasan pajak secara digital, atau disebut Coretax secara optimal.

    Ada pun Coretax ini akan dibuat tersinkronasi dengan sistem teknologi pemerintahan yakni GovTech. Awalnya, Luhut mengungkapkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang rasio atau tingkat kepatuhan pajaknya rendah. Bahkan hal ini juga telah menjadi sorotan Bank Dunia.

    “Jadi World Bank itu mengkritik kita bahwa kita salah satu negara yang meng-collect pajaknya tidak baik. Kita disamakan dengan Nigeria,” ungkap Luhut.

    Oleh karenanya, diperlukan terobosan atau inovasi di sektor perpajakan. Salah satunya mendorong implementasi Coretax.

    Luhut melanjutkan, apabila inovasi tersebut dijalankan dengan baik maka potensi nilai pajak yang diraup pemerintah akan maksimal.

    Tak tanggung-tanggung, nilai potensi yang dapat dimaksimalkan mencapai sekitar 6,5% dari total Pendapatan Domestik Bruto (PDB).

    Jika dikonversi ke rupiah angkanya dapat menembus Rp 1.500 triliun.

    “Menurut World Bank kalau kita bisa melakukan program ini, bisa kita dapat 6,4 persen dari Gross Domestic Product,” ungkap Luhut Binsar Pandjaitan.

  • Coretax Berpotensi Tambah Penerimaan Rp 1.500 T, Luhut: Biarkan Jalan Dulu, Kritiknya Nanti – Halaman all

    Coretax Berpotensi Tambah Penerimaan Rp 1.500 T, Luhut: Biarkan Jalan Dulu, Kritiknya Nanti – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dewan Ekonomi Nasional (DEN) memproyeksikan adanya penambahan penerimaan negara sekira 6,4 persen dari Produk Domestik Bruto atau Rp 1.500 triliun dengan diterapkannya sistem Core Tax Administration System (CTAS) atau Coretax.

    CTAS merupakan bagian dari reformasi pajak yang bertujuan untuk meningkatkan sistem yang ada saat ini. Dengan sistem ini, wajib pajak akan dimudahkan karena kewajiban perpajakan akan otomatis dan digital.

    Ketua DEN Luhut Binsar Pandjaitan berujar, potensi pertambahan peneriaan negara tersebut didapat usah melangsungkan pertemuan dengan World Bank atau Bank Dunia. Luhut berujar, Indonesia dikritik lantaran tingkat kepatuhan pajaknya rendah.

    Bahkan, Indonesia disamakan dengan Nigeria, negara dengan rasio penerimaan pajak terhadap PDB terendah di dunia. Luhut melihat Coretax bisa meningkatkan kepatuhan masyarakat Indonesia mengenai pajak. Karena itu, dia meminta kepada seluruh pihak turut mendukung penerapan Coretax.

    “Jangan berkelahi, tidak usah terus kritik-kritik dulu. Biarkan jalan dulu. Nanti kritik, berikan kritik membangun, karena ini banyak masalah yang harus diselesaikan,” ujar Luhut di Kantor DEN, Jakarta Pusat, Kamis (9/1/2025).

    Luhut mengakui pelaksanaannya menghadapi banyak tantangan. Namun, di sisi lain program ini disebutnya penting untuk meningkatkan penerimaan pajak.

    “Saya hanya mohon semua kita, pejabat-pejabat, pengamat-pengamat, ayo kita ramai-ramai dukung ini. Karena ini untuk kepentingan Republik,” tambahnya.

    Luhut mengungkap pemerintah juga akan melihat penerapannya di India dalam proses implementasi digitalisasi ke depannya.

    “Kami sudah diskusi dengan India, tim akan ke sana. Kita akan belajar dari India untuk mengurangi kesalahan,” terang Luhut.

    Diketahui, Coretax adalah sistem teknologi informasi terbaru yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengintegrasikan seluruh layanan administrasi perpajakan di Indonesia.

    Kebijakan mengenai sistem Coretax tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 yang ditetapkan Sri Mulyani Indrawati pada 14 Oktober 2024. Coretax resmi diluncurkan oleh pemerintah pada 1 Januari 2025.

  • BRICS, babak baru diplomasi ekonomi Indonesia

    BRICS, babak baru diplomasi ekonomi Indonesia

    Logo kelompok kemitraan strategis BRICS. (ANTARA/https://infobrics.org)

    BRICS, babak baru diplomasi ekonomi Indonesia
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Rabu, 08 Januari 2025 – 07:35 WIB

    Elshinta.com –  Resmi menjadi anggota BRICS, Indonesia memasuki babak barunya dalam berdiplomasi ekonomi di tingkat global. Sebagai organisasi antarpemerintah, BRICS seperti tujuan awalnya adalah menciptakan tatanan dunia yang lebih seimbang dengan memberikan suara lebih kuat bagi negara-negara berkembang dalam pengambilan keputusan global.

    Maka bersama negara-negara yang telah lebih dahulu bergabung, yakni Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirates Arab, Indonesia berupaya mengurangi dominasi negara-negara maju dalam lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia dengan membentuk institusi alternatif, seperti New Development Bank (NDB), yang fokus pada pembiayaan proyek infrastruktur dan pembangunan di negara-negara anggotanya.

    Dengan bergabungnya Indonesia secara penuh per 6 Januari 2025, BRICS kini mencakup lebih dari 40 persen populasi dunia dan sekitar 27 persen dari produk domestik bruto (PDB) global, menjadikannya blok ekonomi yang signifikan dalam perekonomian dunia. Bergabungnya Indonesia dalam BRICS sejatinya tidak mengejutkan karena telah melalui penjajakan sejak 2023 dalam KTT di Johannesburg, Afrika Selatan, pada Agustus 2023.

    Dengan bergabungnya Indonesia, kelompok ini semakin relevan, mengingat posisi strategis Indonesia sebagai negara berkembang terbesar di Asia Tenggara. BRICS juga menjadi simbol pergeseran kekuatan ekonomi global yang tak lagi didominasi oleh negara-negara Barat.

    Namun, di balik optimisme ini, penting kemudian untuk ditilik kembali kemanfaatan yang bisa diraih Indonesia dari keanggotaan ini. Dan sejauh mana manfaat risikonya dalam peta geopolitik global yang semakin dinamis.

    BRICS lahir dari kebutuhan untuk menciptakan keseimbangan global di tengah dominasi lembaga-lembaga Barat seperti IMF dan Bank Dunia. Dalam konteks ini, keanggotaan Indonesia memberikan kesempatan untuk berkontribusi dalam membangun tatanan ekonomi yang lebih inklusif.

    Indonesia dapat memanfaatkan platform ini untuk memperjuangkan isu-isu penting seperti pembiayaan pembangunan berkelanjutan, penghapusan ketimpangan ekonomi global, dan reformasi sistem keuangan internasional. Di sisi lain, kehadiran Indonesia juga memperkuat legitimasi BRICS, menjadikannya lebih representatif bagi negara-negara berkembang.

    Namun, sejauh mana manfaat keanggotaan ini dapat dirasakan oleh anggotanya, tentu saja sangat bergantung pada strategi yang diambil masing-masing, termasuk Indonesia. Ketua Umum Kadin Arsjad Rasjid berpendapat keanggotaan penuh merupakan momen bersejarah yang mengukuhkan posisi Indonesia sebagai kekuatan ekonomi global.

    Keanggotaan ini juga menurut dia, akan membuka peluang besar untuk memperluas kerja sama ekonomi, perdagangan, dan investasi antara Indonesia dan negara-negara BRICS, sekaligus mendukung pertumbuhan berkelanjutan. Salah satu potensi terbesar tersebut misalnya, akses pada New Development Bank (NDB) yang didirikan BRICS.

    Bank ini menawarkan alternatif pembiayaan infrastruktur yang tidak hanya lebih fleksibel dibandingkan pinjaman tradisional dari Barat, tetapi juga lebih sensitif terhadap kebutuhan negara berkembang. Dengan bergabungnya Indonesia, proyek-proyek strategis seperti pembangunan ibu kota baru, transisi energi, hingga pengembangan kawasan ekonomi khusus dapat memperoleh suntikan dana baru yang signifikan.

    Di luar aspek finansial, multiplier effect keanggotaan BRICS terletak pada peluang peningkatan perdagangan dan investasi. Negara-negara BRICS adalah pasar besar dengan populasi kolektif lebih dari 40 persen penduduk dunia. Bagi Indonesia, ini adalah kesempatan untuk mengekspor komoditas unggulan seperti kelapa sawit, karet, dan produk manufaktur.

    Selain itu, transfer teknologi dan peningkatan kerja sama di bidang energi terbarukan dapat menjadi katalisator penting dalam perjalanan Indonesia menuju ekonomi hijau.

    Bebas Aktif

    Namun, menjadi bagian dari BRICS bukan tanpa tantangan. BRICS, meski tampak solid, sebenarnya adalah kelompok yang sangat heterogen. Kepentingan ekonomi dan geopolitik Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan sering kali berbeda, bahkan bertentangan. Konflik kepentingan ini bisa saja menghambat efektivitas kelompok dalam mengambil keputusan strategis.

    Misalnya, ketegangan antara China dan India dapat berimbas pada dinamika internal BRICS, sehingga menimbulkan dilema bagi Indonesia untuk memilih posisi. Ada pula risiko geopolitik yang tak bisa diabaikan. Bergabung dengan BRICS bisa memicu persepsi bahwa Indonesia condong ke blok non-Barat, yang berpotensi mempengaruhi hubungan strategis dengan mitra-mitra tradisional seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa.

    Dalam iklim geopolitik yang semakin bipolar, menjaga keseimbangan dua kutub kekuatan ini adalah tantangan tersendiri. Indonesia harus cermat agar tidak terjebak dalam rivalitas geopolitik yang merugikan.

    Di sisi lain, Anggota Komisi I DPR RI Amelia Anggraini mengatakan bahwa Indonesia yang telah resmi menjadi anggota tetap organisasi internasional BRICS harus bisa memberikan manfaat yang nyata bagi rakyat tanah air. Meski memang secara domestik, manfaat keanggotaan BRICS bisa jadi tidak langsung terasa oleh masyarakat.

    Ketimpangan ekonomi dan kesenjangan digital di Indonesia adalah isu-isu mendesak yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan menjadi anggota aliansi global. Oleh karena itu, pemerintah perlu merancang strategi yang memastikan manfaat dari BRICS benar-benar terdistribusi hingga ke akar rumput. Tanpa ini, keanggotaan hanya akan menjadi sekadar simbol tanpa dampak nyata.

    Sejumlah hal yang harus dilakukan di antaranya, Indonesia perlu memperkuat perannya sebagai jembatan komunikasi dalam BRICS. Dengan posisi netral dan kebijakan luar negeri yang bebas aktif, Indonesia bisa menjadi mediator dalam menyatukan kepentingan yang beragam di antara anggota BRICS.

    Ini adalah peluang untuk memposisikan diri sebagai pemimpin moral di panggung internasional, mengadvokasi agenda-agenda global yang inklusif dan berorientasi pada pembangunan. Indonesia juga harus menggunakan keanggotaan BRICS untuk memperkuat agenda nasional, bukan sekadar menyesuaikan diri dengan prioritas kelompok.

    Dalam konteks transisi energi, misalnya, Indonesia dapat menginisiasi pembentukan dana khusus dalam BRICS untuk mendukung pengembangan teknologi energi terbarukan di negara-negara berkembang. Inisiatif ini tidak hanya memperkuat posisi Indonesia di BRICS tetapi juga memberi manfaat langsung bagi pembangunan domestik.

    Indonesia pun harus proaktif mendorong BRICS untuk lebih melibatkan sektor swasta dan masyarakat sipil dalam pengambilan keputusan. Ini penting agar kebijakan yang dihasilkan lebih relevan dan berdampak luas. Sebagai negara demokrasi terbesar di BRICS, Indonesia memiliki legitimasi untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam kelompok ini.

    Memang, keanggotaan Indonesia di BRICS membuka babak baru dalam diplomasi ekonomi global. Namun, keberhasilan langkah ini tidak terletak pada keanggotaan itu sendiri, melainkan pada bagaimana Indonesia memanfaatkan posisi ini untuk mencapai tujuan strategisnya.

    Di tengah kompleksitas geopolitik dan ekonomi global, Indonesia harus cerdas membaca peluang sekaligus bijak mengelola tantangan. Dengan demikian, keanggotaan BRICS bukan sekadar status, tetapi alat untuk memperkuat posisi Indonesia di pentas dunia.

    Kuncinya adalah fleksibilitas dan keberanian untuk berpikir melampaui paradigma lama. Indonesia tidak hanya harus menjadi pengikut dalam BRICS, tetapi juga pencipta agenda. Dengan pendekatan yang strategis, BRICS bisa menjadi panggung bagi Indonesia untuk menunjukkan kepemimpinan global yang relevan dan progresif.

    Keanggotaan ini bukanlah akhir perjalanan, melainkan awal dari peran baru Indonesia dalam membentuk masa depan ekonomi dunia. Bangsa ini sedang melangkah menuju babak baru diplomasi ekonomi menuju ketangguhan posisi di tingkat global.

    Sumber : Antara

  • Luhut Ungkap World Bank Kritik Cara RI Pungut Pajak hingga Muncul Coretax

    Luhut Ungkap World Bank Kritik Cara RI Pungut Pajak hingga Muncul Coretax

    Jakarta

    Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah meluncurkan sistem pajak baru bernama Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax) mulai 1 Januari. Sistem ini diharapkan dapat menggenjot penerimaan pajak hingga Rp 1.500 triliun.

    Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pihaknya mendukung kehadiran Cortex di Indonesia. Ia bercerita, Coretax hadir dipicu oleh momen briefing Indonesia dengan World Bank pada waktu lampau. Pada kala itu, World Bank mengkritisi cara Indonesia menghimpun pajak.

    “World Bank itu mengkritik kita bahwa kita salah satu negara yang meng-collect pajaknya tidak baik, kita disamakan dengan Nigeria,” kata Luhut dalam Konferensi Pers Perdana DEN di Kantor DEN, Jakarta Pusat, Kamis (9/1/2025).

    Luhut bilang, World Bank memproyeksikan potensi optimalisasi dari penghimpunan pajak bisa berkontribusi sebesar 6,4% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau sekitar Rp 1.500 triliun.

    “Kalau kita bisa lakukan apa program ini itu bisa kita dapat 6,4% dari GDP (PDB) atau setara kira-kira Rp 1.500 triliun dan angka ini kita break down,” ujarnya.

    Di samping itu, ia mengingatkan bahwa implementasi Coretax masih dalam tahap awal. Butuh waktu untuk pemerintahan Indonesia menyesuaikan dengan proses digitalisasi yang saat ini tengah berjalan.

    “Saya lihat sih kalau kita lakukan dengan baik dan semua sepakat jangan berkelahi begini-gini jangan terus kritik-kritikan dulu, biarkan jalan dulu. Nanti ya kritiknya, karena ini banyak masalah yang harus diselesaikan,” kata dia.

    Sementara itu, Sekretaris Eksekutif DEN Septian Hario Seto mengatakan, ada empat pilar utama digitalisasi pemerintahan. Pertama, bagaimana mengoptimalkan pendapatan negara. Dari langkah optimalisasi ini ada dua desain utama yakni ada Coretax dan Sistem Informasi Mineral dan Batubara (SIMBARA).

    “SIMBARA ini terkait dengan pendapatan negara bukan pajak dari sektor tambang, terutama royalty. Jadi ini adalah dua komponen utama, di dalam pilar optimalisasi pendapatan negara, jadi kalau kita bicara pajak dalam konteks digitalisasi, ini sebenarnya hanya salah satu pilar saja,” kata Seto, dalam kesempatan yang sama.

    Menurutnya, Coretax penting dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak dengan signifikan. Oleh karena itu dalam laporan kepada Presiden Prabowo Subianto beberapa waktu lalu DEN menyatakan dukungan mendukung penuh adanya implementasi Cortex ini.

    “Kalau masih ada kekurangan sana sini saya kira wajar ini sistemnya baru diimplementasikan. Tapi kami percaya di Kementerian Keuangan dan Dirjen Pajak akan bekerja keras untuk meng-improve sistemnya supaya bisa berjalan dengan baik,” ujarnya.

    Pilar yang kedua, bagaimana Indonesia mengefisienkan belanja negara, meminimalkan inefisiensi-inefisiensi, salah satunya adalah dengan e-katalog. Kemudian bagaimana mensinkronkan penerima-penerima bantuan sosial (bansos) agar lebih tepat sasaran. Pilar ketiga, memperbaiki dan meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat umum terkait dengan layanan kependudukan, SIM, paspor, dan lain-lain.

    “Pilar keempat, yang terakhir adalah bagaimana kita bisa meningkatkan layanan berusaha. Pada periode Presiden Jokowi kita sudah merintis melalui OSS kita terus melakukan perbaikan dan ini akan menjadi salah satu pilar yang kunci sehingga terkait dengan investasi, pertumbuhan ekonomi nanti bisa difasilitasi,” ujar dia.

    Seto menambahkan, pondasi utama dari keempat pilar ini dinamakan digital public infrastructure atau Digital ID. Presiden Prabowo Subianto akan melihat perkembangan dari Digital ID ini pada 17 Agustus mendatang.

    (shc/ara)

  • Partisipasi Indonesia di BRICS Bisa Dorong Target Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen

    Partisipasi Indonesia di BRICS Bisa Dorong Target Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen

    Jakarta, Beritasatu.com – Ahli ekonomi sekaligus pakar kebijakan publik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jakarta Achmad Nur Hidayat menilai, partisipasi Indonesia dalam BRICS berpotensi mempercepat tercapainya target pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen.

    Melalui kolaborasi dengan negara-negara anggota BRICS, Indonesia dapat memanfaatkan alih teknologi, mempercepat proses industrialisasi, dan memperluas pasar ekspor.

    “Namun, untuk mewujudkan pertumbuhan tersebut, pemerintah harus memprioritaskan peningkatan infrastruktur dalam negeri, melakukan deregulasi, dan memperkuat iklim investasi. Integrasi dengan BRICS sebaiknya dilihat sebagai alat untuk mencapai transformasi ekonomi yang berkelanjutan, bukan sebagai tujuan akhir,” kata Achmad di Jakarta, Rabu (8/1/2025).

    Brasil, sebagai ketua BRICS resmi mengumumkan bahwa Indonesia telah  bergabung sebagai anggota penuh dalam organisasi pada Senin (7/1/2025)

    Menurut Achmad, langkah Indonesia untuk bergabung dengan BRICS merupakan keputusan strategis yang penuh peluang.

    Dengan pendekatan yang tepat, Indonesia dapat menggunakan keanggotaan ini untuk memperkuat perekonomian nasional sekaligus memainkan peran lebih signifikan di level internasional.

    Salah satu manfaat yang bisa diperoleh Indonesia adalah akses yang lebih luas ke pasar global, terutama di kalangan negara anggota BRICS.

    Achmad menjelaskan, bahwa melalui kerja sama multilateral, Indonesia dapat menarik lebih banyak investasi asing langsung dari negara-negara anggota BRICS yang memiliki kelebihan modal dan kemampuan teknologi.

    Selain itu, partisipasi dalam BRICS membuka peluang bagi Indonesia untuk memperkuat posisi diplomatiknya di tingkat global.

    Dalam beberapa tahun terakhir, BRICS telah menjadi forum penting untuk membahas berbagai isu strategis, seperti reformasi sistem pembayaran global, pengurangan ketergantungan pada dolar (dedolarisasi), serta tata kelola global, termasuk peran Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia.

    “Dengan bergabungnya Indonesia, suara negara berkembang dalam BRICS akan semakin kuat, sejalan dengan visi Indonesia untuk berkontribusi lebih aktif dalam membentuk tatanan dunia yang inklusif dan adil,” ujarnya.

    Namun, Achmad juga menyoroti bahwa bergabung dengan BRICS tidak sepenuhnya bebas risiko. Salah satu kekhawatiran adalah kemungkinan pergeseran fungsi BRICS dari forum ekonomi menjadi aliansi geopolitik dengan pendekatan hard power, yang dapat mengancam stabilitas global.

    Jika BRICS condong pada agenda geopolitik yang konfrontatif, Indonesia berisiko terseret dalam konflik yang bertentangan dengan prinsip kebijakan luar negerinya.

    Achmad mengingatkan pentingnya Indonesia untuk tetap berpegang pada prinsip kebijakan luar negeri yang termuat dalam konstitusi, yaitu bersikap nonblok dan berkomitmen pada perdamaian dunia.

    “Keanggotaan di BRICS harus dilandasi oleh kehati-hatian dan persyaratan yang jelas. Indonesia perlu menegaskan bahwa partisipasi ini tidak boleh mengorbankan prinsip dasar kebijakan luar negeri dan kepentingan nasional,” pungkasnya.

  • Evaluasi Rencana Induk, Tirta Pakuan Gelar Konsultasi Publik

    Evaluasi Rencana Induk, Tirta Pakuan Gelar Konsultasi Publik

    JABAR EKSPRES – Perumda Tirta Pakuan Kota Bogor mengevaluasi Rencana Induk Sistem Penyediaan Air Minum (RISPAM) dalam lima tahun terakhir dengan menggelar Konsultasi Publik di Ballroom IICC Botani Square pada Rabu, 8 Januari 2025.

    Direktur Umum Perumda Tirta Pakuan, Rivelino Rizky menjelaskan, dalam kesempatan itu pihaknya juha merumuskan langkah-langkah strategis untuk lima tahun mendatang.

    Ia menegaskan, kegiatan tersebut merupakan kewajiban pemerintah daerah untuk memastikan kelancaran penyediaan air minum.

    “Ini adalah review RISPAM periode 2019-2039, di mana setiap lima tahun dilakukan evaluasi. Beberapa poin perlu diperbarui dan disesuaikan dengan kebutuhan serta masukan dari berbagai pihak, termasuk kementerian,” katanya saat ditemui Jabar Ekspres usai kegiatan.

    BACA JUGA:Ulah Dirut Perumda Tirta Pakuan Kota Bogor Bakal Dibahas di Parlemen

    Rivelino menekankan pentingnya dukungan dari semua pihak. Sebab Perumda Tirta Pakuan membutuhkan dukungan, baik dari pemerintah daerah, provinsi, hingga pusat.

    “Hal ini sangat penting, terutama dalam pembiayaan dan sumber air baku,” jelasnya.

    Pihaknya mencatat bahwa saat ini, Perumda Tirta Pakuan sangat bergantung pada Sungai Cisadane dan Sungai Ciliwung sebagai sumber air baku, yang mencapai 87 persen, sementara 13 persen lainnya berasal dari mata air.

    Untuk itu, ia mengungkapkan perlunya alternatif pembiayaan, pasalnya dari total rencana selama 20 tahun ke depan itu membutuhkan biaya.

    BACA JUGA:Netralitas Dirut Perumda Tirta Pakuan Dipertanyakan, GERAM Desak Pj Wali Kota Bogor Berikan Sanksi Tegas

    “Jadi tidak mungkin semuanya dibebankan ke PDAM,” sebut Rivelino.

    Direktur Teknik Perumda Tirta Pakuan, Ardani Yusuf, telah menyampaikan berbagai alternatif pendanaan yang melibatkan berbagai pihak, termasuk kementerian, perbankan, dan lembaga internasional.

    “Dari total pendanaan yang dibutuhkan untuk program 20 tahun ke depan, 51 persen berasal dari PDAM. Sisanya berasal dari Kementerian PUPR melalui Cipta Karya, APBD, dan APBN,” terang Ardani.

    “Kami juga bekerja sama dengan mitra seperti Bank Dunia dan bank lokal seperti BJB,” inbuhnya.

    Selain itu, Ardani menyoroti target nasional program Asta Cita 2025-2030 yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto untuk meningkatkan akses air minum aman dari 11 persen menjadi 40 persen pada tahun 2030.

  • RI Resmi Gabung BRICS, DPR: Peluang Pertumbuhan Ekonomi di Atas 7%

    RI Resmi Gabung BRICS, DPR: Peluang Pertumbuhan Ekonomi di Atas 7%

    Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Ketua Komisi I DPR RI Ahmad Heryawan (Aher) memandang resminya Indonesia menjadi anggota penuh di aliansi BRICS dapat membuka peluang untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 7%. 

    Menurutnya, negara-negara yang tergabung dalam BRICS memiliki potensi ekonomi yang signifikan dan dapat menjadi pasar serta investasi baru bagi Indonesia.

    “Dengan lebih dari 3,27 miliar orang, BRICS memiliki kekuatan ekonomi yang besar dan pada 2023 mencapai sekitar 35% dari PDB dunia, porsi ekonomi yang luar biasa. Dan jika Indonesia menginginkan pertumbuhan ekonomi di atas 6-7 persen, tentu BRICS adalah peluang yang sangat nyata,” katanya kepada wartwan, di Jakarta pada Rabu (8/1/2025).

    Lantaran BRICS memiliki New Development Bank (NDB) atau bank pembangunan multilateral yang didirikan oleh negara-negara yang tergabung dalam BRICS, dia menilai Indonesia berpotensi mendapatkan alternatif pembiayaan infrastruktur dan lainnya tanpa harus bergantung dengan Bank Dunia atau Dana Moneter Internasional (IMF).

    Sebelumnya, pria yang akrab disapa Aher ini mengatakan dirinya menyambut baik soal resminya Indonesia menjadi anggota penuh BRICS. Dengan demikian, Aher melihat bahwa peran dan ruang pengaruh Indonesia akan semakin besar.

    “Dalam situasi dunia yang tengah bergejolak, Presiden Prabowo dapat memanfaatkan posisinya saat ini untuk dapat lebih berperan dalam menjaga keseimbangan global dan perdamaian dunia sesuai dengan prinsip politik bebas dan aktif,” urainya.

    Politikus PKS ini menyebut dalam hal kolaborasi, BRICS dapat menyediakan tempat bagi Indonesia untuk berkolaborasi mengenai isu-isu global yang mendesak seperti perubahan iklim, pembangunan berkelanjutan, isu kemanusiaan di Palestina, dan sebagainya, dengan negara-negara berkembang lainnya.

    Meski sudah resmi menjadi anggota penuh BRICS, Aher turut menyampaikan di sisi lain Indonesia juga tetap harus membangun hubungan baik dengan siapapun, khususnya di kawasan Asean

    “Asean berpeluang menjadi pusat pertumbuhan baru ekonomi global seiring dengan penguatan kawasan [Regionalism]. Tentu ini bisa menjadi peluang baru, disinkronisasikan dan diperkuat dengan bergabungnya Indonesia ke BRICS,” pungkasnya.