NGO: World Bank

  • Tolak ukur kinerja pemerintah merujuk kepada UUD 45

    Tolak ukur kinerja pemerintah merujuk kepada UUD 45

    Presiden Prabowo Subianto memberikan arahan saat memimpin sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (22/1/2025). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc/pri.

    Istana: Tolak ukur kinerja pemerintah merujuk kepada UUD 45
    Dalam Negeri   
    Editor: Widodo   
    Senin, 31 Maret 2025 – 22:19 WIB

    Elshinta.com – Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) menyatakan tolak ukur menilai kinerja pemerintah seharusnya merujuk kepada empat tujuan bernegara yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 45).

    Deputi Bidang Diseminasi dan Media Informasi PCO Noudhy Valdryno kepada wartawan di Jakarta, Senin, menilai jika tolak ukur UUD 45 digunakan, maka kinerja pemerintah sejauh ini masih tetap on track alias sejalan dengan tujuan-tujuan bernegara yang diamanatkan oleh konstitusi.

    Dalam bab pembukaan UUD 45, empat tujuan bernegara, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

    “Pak Presiden bekerja tanpa letih, secara tekun, untuk memastikan kebijakan yang tepat. Data-data yang ada digunakan sebagai acuan ilmiah agar manfaatnya langsung terasa oleh masyarakat. Insyaallah, ketekunan beliau akan terefleksikan dalam peningkatan angka harapan hidup, PNB per kapita, skor PISA, dan posisi Indonesia dalam menjaga ketertiban dunia. Kalau kita lihat esensinya (bukan superfisialnya), tampak jelas pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Prabowo sudah berada di jalur yang benar untuk mencapai tujuan bernegara yang telah diamanatkan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berdasar Pancasila sebagai leitstar atau bintang penuntun agar kita tak salah arah,” kata Noudhy.

    Dalam siaran resmi PCO, Noudhy kemudian menjelaskan untuk tujuan pertama, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, penilaian terhadap kinerja pemerintah dapat merujuk kepada angka harapan hidup (AHH) Indonesia.

    “AHH dipengaruhi oleh faktor faktor seperti keamanan negara, ketersediaan pangan, fasilitas kesehatan, dan pendidikan yang memadai. Oleh karena itu, Presiden Prabowo mengeluarkan kebijakan untuk menyediakan tiga juta rumah layak huni, memastikan ketahanan dan kemandirian pangan serta melahirkan program MBG (makanan bergizi gratis). Selain itu, pemerintah memberikan layanan CKG (cek kesehatan gratis) bagi seluruh rakyat Indonesia sekaligus membenahi fasilitas rumah sakit dan mencetak tenaga kesehatan berkualitas. Semua program tersebut merupakan wujud nyata upaya pemerintah menjaga kesejahteraan dan kesehatan masyarakat Indonesia,” kata Noudhy.

    Kemudian untuk tujuan kedua, yaitu memajukan kesejahteraan umum, Noudhy menyebut indikatornya ialah pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita.

    “PNB per kapita menjadi tolak ukur utama Bank Dunia menentukan sebuah negara sudah maju atau belum. Sebagaimana kita ketahui, saat ini Presiden Prabowo fokus untuk memastikan daya beli masyarakat terjaga melalui kebijakan yang mendukung sektor ekonomi, seperti pendirian Danantara yang akan memberikan modal bagi pembangunan nasional dan mengurangi ketergantungan pada pihak asing,” kata Noudhy.

    Dia melanjutkan pemerintah juga saat ini mempersiapkan Koperasi Desa Merah Putih dan inisiatif lainnya yang bertujuan menciptakan jutaan lapangan kerja baru bagi masyarakat.

    Terkait tujuan bernegara ketiga, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, Noudhy menyebut Presiden Prabowo berencana merenovasi sekolah-sekolah, kemudian meluncurkan program seperti Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan, serta meningkatkan kesejahteraan guru.

    Kemudian, pemerintah juga menyediakan fasilitas seperti smart boarding di sekolah-sekolah dan program MBG untuk anak-anak adalah kerja nyata pemerintah untuk mencerdaskan generasi mendatang, termasuk dengan memperhatikan penggunaan gawai anak-anak di sekolah melalui penerbitan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan Anak di Ruang Digital (PP Tunas).

    Terakhir, terkait tujuan keempat bernegara, yaitu ikut melaksanakan ketertiban dunia, indikator untuk menilai kinerja pemerintah dapat merujuk kepada posisi Indonesia dalam konflik internasional atau peran dalam memelihara perdamaian
    dunia.

    “Presiden Prabowo aktif terlibat dalam forum internasional dan konferensi tingkat tinggi (KTT), menyuarakan pentingnya perdamaian dan menghentikan perang di Palestina, Ukraina, dan negara-negara lain yang terlibat konflik. Salah satu langkah signifikan yang diambil adalah merumuskan Solusi DMZ Prabowo untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata antara Rusia dan Ukraina,” kata Noudhy.

    Dia melanjutkan Indonesia juga menyalurkan bantuan kemanusiaan, baik melalui udara maupun laut, untuk rakyat Palestina di Gaza.

    Sumber : Antara

  • Istana Sebut Tolak Ukur Kinerja Pemerintah Merujuk Pada UUD 1945

    Istana Sebut Tolak Ukur Kinerja Pemerintah Merujuk Pada UUD 1945

    Bisnis.com, JAKARTA — Istana menyebut tolok ukur pemerintah seharusnya merujuk pada empat tujuan bernegara sebagai tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 45). 

    Istana mengeklaim dengan tolok ukur itu, maka kinerja pemerintah sejauh ini masih on the track alias sejalan dengan tujuan-tujuan bernegara yang diamanatkan oleh konstitusi.

    Deputi Bidang Diseminasi dan Media Informasi PCO Noudhy Valdryno mengatakan bahwa kinerja pemerintah sejauh ini masih tetap on track alias sejalan dengan tujuan-tujuan bernegara yang diamanatkan oleh konstitusi. 

    Dalam bab pembukaan UUD 45, empat tujuan bernegara, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

    “Pak Presiden bekerja tanpa letih, secara tekun, untuk memastikan kebijakan yang tepat,” ujarnya kepada wartawan, Senin (31/3/2025) seperti dilansir Antara. 

    Noudhy menyebutkan data-data yang ada digunakan sebagai acuan ilmiah agar manfaatnya langsung terasa oleh masyarakat.

    “Insyaallah, ketekunan beliau akan terefleksikan dalam peningkatan angka harapan hidup, PNB per kapita, skor PISA, dan posisi Indonesia dalam menjaga ketertiban dunia. Kalau kita lihat esensinya [bukan superfisialnya], tampak jelas pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Prabowo sudah berada di jalur yang benar untuk mencapai tujuan bernegara yang telah diamanatkan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berdasar Pancasila sebagai leitstar atau bintang penuntun agar kita tak salah arah,” kata Noudhy.

    Dalam siaran resmi PCO, Noudhy kemudian menjelaskan untuk tujuan pertama, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, penilaian terhadap kinerja pemerintah dapat merujuk kepada angka harapan hidup (AHH) Indonesia.

    “AHH dipengaruhi oleh faktor faktor seperti keamanan negara, ketersediaan pangan, fasilitas kesehatan, dan pendidikan yang memadai. Oleh karena itu, Presiden Prabowo mengeluarkan kebijakan untuk menyediakan tiga juta rumah layak huni, memastikan ketahanan dan kemandirian pangan serta melahirkan program MBG [makanan bergizi gratis]. Selain itu, pemerintah memberikan layanan CKG [cek kesehatan gratis] bagi seluruh rakyat Indonesia sekaligus membenahi fasilitas rumah sakit dan mencetak tenaga kesehatan berkualitas. Semua program tersebut merupakan wujud nyata upaya pemerintah menjaga kesejahteraan dan kesehatan masyarakat Indonesia,” kata Noudhy.

    Kemudian untuk tujuan kedua, yaitu memajukan kesejahteraan umum, Noudhy menyebut indikatornya ialah pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita.

    “PNB per kapita menjadi tolak ukur utama Bank Dunia menentukan sebuah negara sudah maju atau belum. Sebagaimana kita ketahui, saat ini Presiden Prabowo fokus untuk memastikan daya beli masyarakat terjaga melalui kebijakan yang mendukung sektor ekonomi, seperti pendirian Danantara yang akan memberikan modal bagi pembangunan nasional dan mengurangi ketergantungan pada pihak asing,” kata Noudhy.

    Dia melanjutkan pemerintah juga saat ini mempersiapkan Koperasi Desa Merah Putih dan inisiatif lainnya yang bertujuan menciptakan jutaan lapangan kerja baru bagi masyarakat.

    Terkait tujuan bernegara ketiga, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, Noudhy menyebut Presiden Prabowo berencana merenovasi sekolah-sekolah, kemudian meluncurkan program seperti Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan, serta meningkatkan kesejahteraan guru.

    Kemudian, pemerintah juga menyediakan fasilitas seperti smart boarding di sekolah-sekolah dan program MBG untuk anak-anak adalah kerja nyata pemerintah untuk mencerdaskan generasi mendatang, termasuk dengan memperhatikan penggunaan gawai anak-anak di sekolah melalui penerbitan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan Anak di Ruang Digital (PP Tunas).

    Terakhir, terkait tujuan keempat bernegara, yaitu ikut melaksanakan ketertiban dunia, indikator untuk menilai kinerja pemerintah dapat merujuk kepada posisi Indonesia dalam konflik internasional atau peran dalam memelihara perdamaian
    dunia.

    “Presiden Prabowo aktif terlibat dalam forum internasional dan konferensi tingkat tinggi (KTT), menyuarakan pentingnya perdamaian dan menghentikan perang di Palestina, Ukraina, dan negara-negara lain yang terlibat konflik. Salah satu langkah signifikan yang diambil adalah merumuskan Solusi DMZ Prabowo untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata antara Rusia dan Ukraina,” kata Noudhy.

    Dia melanjutkan Indonesia juga menyalurkan bantuan kemanusiaan, baik melalui udara maupun laut, untuk rakyat Palestina di Gaza.

  • PCO: Tolak ukur kinerja pemerintah merujuk kepada UUD 45

    PCO: Tolak ukur kinerja pemerintah merujuk kepada UUD 45

    Jakarta (ANTARA) – Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) menyatakan tolak ukur menilai kinerja pemerintah seharusnya merujuk kepada empat tujuan bernegara yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 45).

    Deputi Bidang Diseminasi dan Media Informasi PCO Noudhy Valdryno kepada wartawan di Jakarta, Senin, menilai jika tolak ukur UUD 45 digunakan, maka kinerja pemerintah sejauh ini masih tetap on track alias sejalan dengan tujuan-tujuan bernegara yang diamanatkan oleh konstitusi.

    Dalam bab pembukaan UUD 45, empat tujuan bernegara, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

    “Pak Presiden bekerja tanpa letih, secara tekun, untuk memastikan kebijakan yang tepat. Data-data yang ada digunakan sebagai acuan ilmiah agar manfaatnya langsung terasa oleh masyarakat. Insyaallah, ketekunan beliau akan terefleksikan dalam peningkatan angka harapan hidup, PNB per kapita, skor PISA, dan posisi Indonesia dalam menjaga ketertiban dunia. Kalau kita lihat esensinya (bukan superfisialnya), tampak jelas pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Prabowo sudah berada di jalur yang benar untuk mencapai tujuan bernegara yang telah diamanatkan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berdasar Pancasila sebagai leitstar atau bintang penuntun agar kita tak salah arah,” kata Noudhy.

    Dalam siaran resmi PCO, Noudhy kemudian menjelaskan untuk tujuan pertama, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, penilaian terhadap kinerja pemerintah dapat merujuk kepada angka harapan hidup (AHH) Indonesia.

    “AHH dipengaruhi oleh faktor faktor seperti keamanan negara, ketersediaan pangan, fasilitas kesehatan, dan pendidikan yang memadai. Oleh karena itu, Presiden Prabowo mengeluarkan kebijakan untuk menyediakan tiga juta rumah layak huni, memastikan ketahanan dan kemandirian pangan serta melahirkan program MBG (makanan bergizi gratis). Selain itu, pemerintah memberikan layanan CKG (cek kesehatan gratis) bagi seluruh rakyat Indonesia sekaligus membenahi fasilitas rumah sakit dan mencetak tenaga kesehatan berkualitas. Semua program tersebut merupakan wujud nyata upaya pemerintah menjaga kesejahteraan dan kesehatan masyarakat Indonesia,” kata Noudhy.

    Kemudian untuk tujuan kedua, yaitu memajukan kesejahteraan umum, Noudhy menyebut indikatornya ialah pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita.

    “PNB per kapita menjadi tolak ukur utama Bank Dunia menentukan sebuah negara sudah maju atau belum. Sebagaimana kita ketahui, saat ini Presiden Prabowo fokus untuk memastikan daya beli masyarakat terjaga melalui kebijakan yang mendukung sektor ekonomi, seperti pendirian Danantara yang akan memberikan modal bagi pembangunan nasional dan mengurangi ketergantungan pada pihak asing,” kata Noudhy.

    Dia melanjutkan pemerintah juga saat ini mempersiapkan Koperasi Desa Merah Putih dan inisiatif lainnya yang bertujuan menciptakan jutaan lapangan kerja baru bagi masyarakat.

    Terkait tujuan bernegara ketiga, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, Noudhy menyebut Presiden Prabowo berencana merenovasi sekolah-sekolah, kemudian meluncurkan program seperti Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan, serta meningkatkan kesejahteraan guru.

    Kemudian, pemerintah juga menyediakan fasilitas seperti smart boarding di sekolah-sekolah dan program MBG untuk anak-anak adalah kerja nyata pemerintah untuk mencerdaskan generasi mendatang, termasuk dengan memperhatikan penggunaan gawai anak-anak di sekolah melalui penerbitan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan Anak di Ruang Digital (PP Tunas).

    Terakhir, terkait tujuan keempat bernegara, yaitu ikut melaksanakan ketertiban dunia, indikator untuk menilai kinerja pemerintah dapat merujuk kepada posisi Indonesia dalam konflik internasional atau peran dalam memelihara perdamaian
    dunia.

    “Presiden Prabowo aktif terlibat dalam forum internasional dan konferensi tingkat tinggi (KTT), menyuarakan pentingnya perdamaian dan menghentikan perang di Palestina, Ukraina, dan negara-negara lain yang terlibat konflik. Salah satu langkah signifikan yang diambil adalah merumuskan Solusi DMZ Prabowo untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata antara Rusia dan Ukraina,” kata Noudhy.

    Dia melanjutkan Indonesia juga menyalurkan bantuan kemanusiaan, baik melalui udara maupun laut, untuk rakyat Palestina di Gaza.

    Pewarta: Genta Tenri Mawangi
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

  • Rasio Pajak RI Rendah, Guru Besar UI Dorong Pembentukan Badan Penerimaan Negara

    Rasio Pajak RI Rendah, Guru Besar UI Dorong Pembentukan Badan Penerimaan Negara

    Bisnis.com, JAKARTA — Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Haula Rosdiana mendorong Presiden Prabowo Subianto segera merealisasi pembentukan Badan Penerimaan Negara.

    Haula menilai ada kelemahan mendasar dari aspek kelembagaan dalam hal memungut penerimaan negara. Akibatnya, rasio perpajakan Indonesia kerap menjadi salah satu yang terendah di dunia.

    Laporan Bank Dunia bertajuk Estimating Value Added Tax (VAT) and Corporate Income Tax (CIT) Gaps in Indonesia misalnya, yang mengungkap rasio pajak Indonesia menjadi yang terendah di dunia.

    Pada 2021, rasio pajak Indonesia hanya sebesar 9,1%. Di antara negara kawasan saja, rasio pajak Indonesia lebih rendah dari Kamboja (18%), Malaysia (11,9%), Filipina (15,2%), Thailand (15,7%), dan Vietnam (14,7%).

    Oleh sebab itu, Haula meyakini perlu adanya perombakan secara kelembagaan. Caranya, dengan peleburan lembaga-lembaga pemungut setoran penerimaan negara ke Badan Penerimaan Negara.

    “Pak Sumitro [Sumitro Djojohadikoesoemo saja, mantan menteri keuangan, ayah Prabowo], tahun 1955 itu sudah bilang kelembagaan itu satu hal yang krusial, satu hal yang penting. Jadi kalau mau ingin mengadakan transformasi di dalam penerimaan negara, ya memang kelembagaan itu menjadi hal yang penting,” jelas Haula kepada Bisnis, dikutip Sabtu (29/3/2025).

    Profesor perempuan bidang perpajakan pertama di Indonesia ini pun mengkritisi langkah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang kembali melaksanakan joint programme alias program bersama antar lembaga di Kementerian Keuangan untuk menggenjot penerimaan negara.

    Haula menjelaskan joint programme merupakan cara lama. Saat masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), program serupa sempat dilaksanakan oleh Sri Mulyani pada 2018 hingga 2019.

    Masalahnya, masih ditemukan kelemahan dari program tersebut sehingga tidak secara maksimal menambah kas negara. Haula mengaku sudah sempat melakukan evaluasi terhadap program tersebut.

    Dia mencontohkan, pertukaran data antara lembaga yang ikut dalam joint programme tersebut tidak terlaksana secara otomatis dalam sistem. Artinya, antar lembaga masih harus meminta konfirmasi apabila ingin menerima atau meminta data.

    Oleh sebab itu, Haula meyakini joint programme tersebut hanya sekadar kebijakan yang dipaksakan dari atas ke bawah. Masing-masing lembaga masih memiliki ego sektoral dan fokus ke target kelembagaan masing-masing.

    Akibatnya, nilai kerja sama antar lembaga tidak terinternalisasi di lingkungan Kementerian Keuangan. Akhirnya, simpul Haula, joint programme hanya sekedar formalitas saja.

    “Kata Einstein gitu kan, ‘Insanity [kegilaan] itu adalah kalau kamu mengharapkan result [hasil] yang berbeda tapi masih dengan cara-cara yang sama,” ujarnya.

    Joint Programme

    Sebelumnya, Sri Mulyani meresmikan penyelenggara joint programme antara tujuh lembaga di lingkungan Kementerian Keuangan untuk menggenjot penerimaan negara pada Kamis (27/3/2025) kemarin.

    Sri Mulyani meyakini program bersama tersebut bisa membuat penerimaan pajak, kepabeanan dan cukai, serta penerimaan negara bukan pajak akan terus meningkat.

    “Optimalisasi penerimaan negara tahun 2025 melalui joint program dimulai hari ini,” ungkap Sri Mulyani dalam keterangannya, Kamis (27/3/2025).

    Program bersama ini akan mensinergikan unit Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak atau DJP), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), Sekretariat Jenderal (Setjen), Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Inspektorat Jenderal (Itjen), dan Lembaga National Single Window (LNSW).

    Nantinya, tujuh lembaga tersebut akan melakukan analisis, pengawasan, pemeriksaan, penagihan, hungga intelijen bersama. Sri Mulyani mengungkapkan, kerja sama tersebut merupakan tindak lanjut dari amanat Presiden Prabowo Subianto untuk meningkatkan rasio perpajakan Indonesia.

    “DJP, DJBC, Setjen, BKF, DJA, Itjen, dan LNSW yang akan saling bekerja sama menerjemahkan amanat Presiden ke dalam tugas dan fungsi Kemenkeu untuk meningkatkan penerimaan negara dan menciptakan fondasi fiskal yang berkelanjutan,” tutup bendahara negara itu.

  • Belajar dari negara yang selamatkan anggaran

    Belajar dari negara yang selamatkan anggaran

    Defisit Rp31,2 triliun bukanlah akhir dari cerita, melainkan panggilan untuk transformasi

    Jakarta (ANTARA) – Pada Februari 2025, Indonesia menghadapi defisit anggaran belanja sebesar Rp31,2 triliun, sebuah kondisi yang mempertegas urgensi reformasi manajemen keuangan publik.

    Defisit ini muncul di tengah tekanan geopolitik global, pergeseran demografi, dan ketidakpastian ekonomi pasca-pandemi.

    Seperti diungkapkan dalam berbagai artikel di media massa, paradigma lama pengelolaan keuangan publik yang hanya berfokus pada pemotongan belanja, peningkatan utang, atau kenaikan pajak telah terbukti tidak memadai.

    Indonesia perlu belajar dari kesuksesan negara lain, seperti Singapura dan negara-negara Eropa, yang mengoptimalkan aset publik untuk menciptakan aliran pendapatan baru.

    Sebagian besar negara, termasuk Indonesia, masih mengadopsi sistem akuntansi berbasis kas (cash-based accounting), yang hanya mencatat transaksi saat uang fisik berpindah. Sistem ini mengabaikan nilai aset dan kewajiban jangka panjang, seperti properti pemerintah, infrastruktur, atau pensiun pegawai negeri.

    Padahal, akuntansi akrual yang mencatat pendapatan dan pengeluaran saat terjadi, bukan saat kas diterima, dapat memberikan gambaran utuh kesehatan fiskal. Contohnya, kota Pittsburgh di AS menemukan nilai aset propertinya 70 kali lebih tinggi dari catatan keuangan resmi. Jika dikelola dengan baik, aset ini bisa menghasilkan pendapatan non-pajak yang signifikan.

    Di sisi lain, kegagalan mengelola kewajiban non-utang seperti pensiun pegawai negeri atau liabilitas BUMN juga memperparah defisit. Menurut IMF, rasio kewajiban pensiun pemerintah di Indonesia mencapai 45 persen dari PDB pada 2023, tetapi ini jarang dimasukkan dalam perdebatan fiskal.

    Padahal, negara seperti Swedia dan Kanada telah membuktikan bahwa transparansi liabilitas jangka panjang melalui laporan neraca sektor publik mendorong kebijakan yang lebih berkelanjutan.

    Pemerintah perlu mempercepat transisi ke akuntansi akrual seperti yang dilakukan Selandia Baru. Membentuk sistem pelaporan aset publik yang transparan, termasuk properti, BUMN, dan infrastruktur strategis. Mengadopsi metrik nilai bersih sektor publik (public-sector net worth) sebagai indikator utama kesehatan fiskal.

    Singapura (melalui Temasek Holdings) dan Malaysia (via Khazanah Nasional) telah membuktikan bahwa pengelolaan aset komersial melalui dana kekayaan publik (PWFs) dapat menghasilkan pendapatan besar.

    Temasek, misalnya, mengelola portofolio senilai $315 miliar pada 2024, menyumbang sekitar 20 persen belanja pemerintah Singapura melalui hasil investasi. PWFs dirancang untuk memaksimalkan keuntungan bagi pembayar pajak, terlepas dari campur tangan politik.

    Selama enam dekade terakhir, Singapura telah membangun salah satu portofolio kekayaan negara terbesar di dunia, dengan aset yang terbagi di antara Temasek dan dua dana kekayaan negara (SWF) yaitu GIC dan Otoritas Moneter Singapura.

    Secara kolektif, aset dana-dana ini diperkirakan bernilai tiga hingga empat kali lipat PDB tahunan Singapura melebihi SWF negara-negara kaya hidrokarbon seperti Norwegia dan Arab Saudi.

    Tanpa sumber daya alam, bahkan tanpa kemampuan menghasilkan listrik saat merdeka pada 1965, kesuksesan Singapura digerakkan oleh kerja keras, inovasi, dan disiplin finansial. Saat ini, sekitar seperlima belanja pemerintahnya dibiayai dari hasil investasi dana kekayaan negara, yang menyumbang aliran pendapatan rata-rata setara 3,4% PDB per tahun dalam lima tahun terakhir hampir menyamai pendapatan pajak korporasi Singapura.

    Secara hukum, separuh dari laba investasi bersih dana tersebut wajib diinvestasikan kembali untuk menjamin stabilitas finansial jangka panjang.

    Indonesia memiliki aset serupa yang belum tergarap. Kementerian BUMN mencatat nilai aset BUMN mencapai Rp11.000 triliun (2023), tetapi kontribusinya ke APBN hanya Rp60 triliun/tahun. Bandingkan dengan Malaysia, di mana Khazanah Nasional, PWFs milik pemerintah menyumbang 5% dari PDB melalui pengelolaan aset strategis.

    Jika Indonesia membentuk PWFs nasional untuk mengonsolidasi aset BUMN, properti pemerintah, dan lahan militer yang idle, defisit Rp31,2 triliun bisa tertutup hanya dari peningkatan efisiensi 3-5 persen saja.

    Indonesia perlu membentuk PWFs di tingkat nasional dan daerah untuk mengelola aset seperti properti pemerintah, BUMN, dan infrastruktur dan juga menjamin independensi PWFs melalui dewan direksi profesional dan target komersial yang jelas.

    Namun, pembentukan PWFs harus disertai reformasi hukum dan transparansi. Kasus Birmingham, Inggris, yang bangkrut pada 2023 karena salah urus aset, menjadi peringatan: penjualan aset publik secara terburu-buru hanya akan merugikan negara.

    Alih-alih menjual aset, pemerintah harus memaksimalkan pendapatan operasionalnya. Misalnya, Gedung DPR Senayan atau kompleks militer di daerah strategis bisa disewakan untuk kegiatan komersial dengan skema public-private partnership.

    Kita ketahui bahwa kebijakan fiskal Trump ditandai oleh pemotongan pajak korporasi (Tax Cuts and Jobs Act 2017) dan pengurangan belanja sosial, yang meningkatkan defisit AS hingga 3.1 triliun dolar AS padaDana kekayaan publik 2020.

    Pendekatan ini seperti dikritik dalam beberapa artikel dianggap “ceroboh” karena mengorbankan layanan publik dan mengabaikan pengelolaan aset.

    Dampak bagi Indonesia adalah ketidakpastian perdagangan. Kebijakan proteksionis Trump (misalnya perang dagang dengan China) mengganggu ekspor Indonesia, terutama komoditas seperti minyak sawit. Penurunan investasi AS. Iklim kebijakan yang tidak stabil mengurangi minat investor AS di pasar emerging seperti Indonesia.

    Kita bandingkan dengan administrasi Biden ysng lebih fokus pada pemulihan ekonomi melalui paket infrastruktur 1.2 triliun dolar AS (Infrastructure Investment and Jobs Act) dan insentif hijau (Inflation Reduction Act). Kebijakan ini menciptakan stabilitas global dan peluang bagi Indonesia berupa peningkatan kerja sama hijau. Stabilitas kebijakan AS di bawah Biden mendorong aliran investasi asing (FDI) ke Indonesia. Program transisi energi Biden membuka peluang pendanaan untuk proyek EBT di Indonesia.

    Permintaan AS untuk produk seperti baterai kendaraan listrik dan komponen elektronik meningkat. Namun, tekanan standar lingkungan dari kebijakan hijau Biden juga memaksa Indonesia mempercepat reformasi subsidi energi.

    Pada 2024, alokasi subsidi BBM Indonesia mencapai Rp350 triliun, dana yang bisa dialihkan ke sektor produktif jika defisit ingin dikendalikan.

    Implikasi Kebijakan

    Pertama, reformasi akuntansi dan transparansi. Kementerian Keuangan perlu memperkuat kapasitas SDM dan sistem IT untuk transisi ini. Pelatihan akuntansi sektor publik harus menjadi prioritas. Portal data harus terbuka dengan membuat platform digital yang memetakan nilai aset pemerintah secara real-time, mirip dengan sistem land registry di Singapura.

    Kedua, optimalisasi aset melalui PWFs untuk tingkat nasional dapat dilakukan dengan membentuk badan mirip Temasek untuk mengelola BUMN strategis (misalnya Pertamina, PLN) dengan prinsip komersial. Ini sudah dilakukan dengan dibentuknya badan pengelola investasi Danantara namun untuk tingkat daerah, kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya dapat membentuk PWFs untuk mengembangkan properti pemerintah menjadi pusat bisnis atau perumahan terjangkau.

    Ketiga, mitigasi risiko defisit dengan menghindari penjualan aset likuid. Alih-alih menjual aset untuk menutup defisit (seperti kasus TfL di London), pemerintah harus meningkatkan pendapatan operasional aset tersebut. Perlu dilakukan negosiasi ulang suku bunga utang luar negeri dan diversifikasi sumber pendanaan.

    Keempat, sinergi dengan kebijakan global dapat dilakukan dengan memanfaatkan pendanaan iklim. Program seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai 20 miliar dolar AS bisa digunakan untuk mengurangi defisit energi. Penting juga untuk memperkuat kerja sama dengan IMF dan World Bank untuk memperoleh asistensi teknis dalam reformasi akuntansi.

    Defisit Rp31,2 triliun bukanlah akhir dari cerita, melainkan panggilan untuk transformasi. Indonesia harus belajar dari kegagalan Eropa dan AS yang mengabaikan nilai aset publik, serta mencontoh kesuksesan Singapura dalam mengelola kekayaan negara. Dengan mengadopsi akrual akuntansi, membentuk PWFs, dan memanfaatkan momentum kerja sama global di era Biden, Indonesia dapat mengubah defisit menjadi peluang pertumbuhan.

    Indonesia perlu membangun budget culture yang menghargai transparansi, akuntabilitas, dan inovasi. Jika tidak, kita hanya akan terus mengulangi kesalahan yang sama yaitu mengelola anggaran dengan kalkulator, tetapi mengabaikan neraca.

    Langkah ini tidak hanya adil bagi generasi mendatang, tetapi juga memperkuat ketahanan ekonomi dalam menghadapi gejolak geopolitik. Kelangsungan hidup bergantung pada tindakan kini dan waktu Indonesia untuk bertindak semakin sempit.

    *) Dr.Aswin Rivai,SE.,MM adalah Pemerhati Ekonomi, Dosen FEB-UPN Veteran, Jakarta

    Copyright © ANTARA 2025

  • Inflasi harga komoditas perkebunan global dan peluang bagi Indonesia

    Inflasi harga komoditas perkebunan global dan peluang bagi Indonesia

    ​Sebagai produsen minyak kelapa sawit mentah (CPO) terbesar di dunia dengan pangsa pasar 58 persen, Indonesia diuntungkan oleh harga CPO yang tetap tinggi.

    Jakarta (ANTARA) – Harga komoditas perkebunan global berfluktuasi signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

    Setelah mencapai puncaknya pada tahun 2022 akibat pandemi dan konflik geopolitik, harga-harga tersebut sempat mereda pada 2023, namun tetap berada jauh di atas level sebelum pandemi.

    Bank Dunia memproyeksikan bahwa indeks harga komoditas untuk periode 2024–2025 hanya akan melemah tipis, tetapi masih 38 persen lebih tinggi dibandingkan masa sebelum Covid-19.​

    Bagi Indonesia, sebagai eksportir utama kelapa sawit, karet, kopi, kakao, dan teh, fluktuasi harga ini memiliki dampak ganda. Di satu sisi, lonjakan harga komoditas dapat meningkatkan pendapatan ekspor dan memperkuat perekonomian nasional.

    Namun, di sisi lain, volatilitas yang tinggi berisiko mengganggu stabilitas ekonomi, terutama jika harga tiba-tiba anjlok. Fluktuasi harga yang tidak terkendali dapat mempengaruhi kesejahteraan petani dan pelaku usaha di sektor perkebunan.

    ​Fluktuasi harga komoditas perkebunan global signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Minyak kelapa sawit (CPO), sebagai salah satu komoditas andalan Indonesia, mencapai rekor harga 1.276 dolar AS per ton pada tahun 2022 akibat berbagai faktor, termasuk pandemi dan gangguan rantai pasok.

    Namun, harga tersebut turun tajam sebesar 30,5 persen menjadi 886 dolar AS per ton pada tahun 2023. Bank Dunia memproyeksikan harga CPO akan sedikit meningkat menjadi 905 dolar AS per ton pada tahun 2024 sebelum kembali turun ke 825 dolar AS per ton pada tahun 2025, yang masih berada di atas rata-rata historis. ​

    Di sisi lain, harga kakao melonjak dramatis. Pada Desember 2024, harga kakao melonjak 30 persen mencapai lebih dari 10 dolar AS per kilogram, didorong oleh kekhawatiran terhadap kondisi cuaca buruk di Afrika Barat dan permintaan musiman yang kuat.

    Produksi global kakao diperkirakan turun 14 persen pada musim 2023–2024 menjadi 4,2 juta metrik ton, terutama akibat penurunan output di Pantai Gading dan Ghana. Meskipun pasokan diperkirakan membaik pada musim 2024–2025, harga kakao tetap tinggi dan diproyeksikan turun sekitar 13 persen pada tahun 2025 dan 2 persen lagi pada tahun 2026 seiring masuknya pasokan tambahan ke pasar.

    Komoditas lainnya menunjukkan tren harga yang beragam. Harga kopi robusta mencapai titik tertinggi dalam tiga dekade pada Februari 2024 akibat kekhawatiran pasokan, sementara harga arabika juga meningkat 3 persen pada bulan yang sama. Namun, harga kopi diperkirakan melemah pada tahun 2025 seiring pemulihan produksi di negara-negara produsen utama.

    Sementara itu, harga karet alam yang sempat tertekan pada tahun 2023 mulai pulih dengan kenaikan 12 persen pada tahun 2024 berkat permintaan industri otomotif yang meningkat. Secara keseluruhan, harga komoditas perkebunan tetap tinggi, memberikan tantangan tersendiri bagi upaya pengendalian inflasi global. ​

    Biaya produksi, iklim, dan gangguan logistik

    Kenaikan biaya produksi menjadi faktor kunci di balik inflasi harga. Harga pupuk global melonjak 89 persen pada 2021–2022 akibat gangguan pasokan gas alam dan perang Ukraina.

    Di Indonesia, petani sawit terpaksa mengurangi pemupukan, menyebabkan produktivitas stagnan. Biaya energi dan upah buruh juga meningkat, memaksa produsen menaikkan harga jual untuk mempertahankan margin.

    Perubahan iklim memperburuk situasi. Cuaca ekstrem seperti embun beku di Brasil (2021) merusak 11 persen kebun kopi arabika, sementara El Niño 2023 memicu kekeringan di Asia Tenggara yang mengurangi panen robusta Vietnam.

    Di India, produksi teh 2024 anjlok 30 persen akibat gelombang panas, terendah dalam satu dekade. Fenomena ini mengganggu pasokan global, mendorong naiknya harga.

    Disrupsi rantai pasok pasca-pandemi dan konflik geopolitik turut menyumbang inflasi. Biaya angkutan laut melonjak 300 persen selama pandemi, sementara serangan Houthi di Laut Merah (2024) menghambat pengiriman teh dari Afrika Timur. Perang Rusia-Ukraina juga mengacaukan pasokan pupuk dan komoditas substitusi seperti minyak bunga matahari, memperparah ketegangan harga.

    Kebijakan perdagangan negara produsen semakin memanaskan pasar. Larangan ekspor CPO Indonesia (April 2022) dan pembatasan ekspor kakao oleh Pantai Gading (2024) menciptakan gejolak pasokan. Di sisi lain, aturan bebas deforestasi Uni Eropa (2023) memaksa produsen sawit meningkatkan standar keberlanjutan, dan ini menjadi tantangan tambahan bagi negara-negara eksportir.

    Dampak bagi Indonesia

    ​Sebagai produsen minyak kelapa sawit mentah (CPO) terbesar di dunia dengan pangsa pasar 58 persen, Indonesia diuntungkan oleh harga CPO yang tetap tinggi.

    Pada Maret 2024, nilai ekspor CPO dan produk turunannya meningkat 29,8 persen secara bulanan menjadi 1,56 miliar dolar AS meskipun volume ekspor turun akibat permintaan global yang lesu. Pembatasan ekspor pada 2022 sempat menurunkan harga minyak goreng dalam negeri, tetapi mengguncang pasar global. ​

    Di sektor kakao, kenaikan harga menjadi berkah tersendiri. Meskipun produksi nasional stagnan di angka 200 ribu ton per tahun, jauh di bawah Pantai Gading dan Ghana, harga referensi biji kakao periode April 2024 ditetapkan sebesar 7.114,93 dolar AS per metrik ton, meningkat 31,84 persen dari bulan sebelumnya. Sayangnya, industri pengolahan dalam negeri terpukul karena ketergantungan pada impor biji kakao bermutu tinggi.​

    Kenaikan harga kopi robusta sebesar 33 persen pada 2024 membawa angin segar bagi petani Indonesia, meskipun produksi tahun tersebut diprediksi turun 18 persen akibat dampak El Niño. Sebaliknya, industri pengolahan kopi domestik menghadapi tekanan biaya bahan baku.

    Di sektor karet, pemulihan harga dengan kenaikan 12 persen pada 2024 mengembalikan optimisme petani di Sumatera dan Kalimantan, meskipun produktivitas kebun masih rendah akibat tanaman tua dan serangan jamur.

    Indonesia, sebagai produsen teh peringkat ke-7 dunia dengan produksi 139.362 ton pada 2022, kurang terdampak gejolak harga global. Pada komoditas teh, kenaikan harga dunia akibat gagal panen di India dan Kenya bisa menjadi peluang ekspor jika kualitas teh Indonesia dapat ditingkatkan.​

    Peluang hilirisasi dan adaptasi iklim

    ​Fluktuasi harga komoditas perkebunan global yang diperkirakan akan terus berlanjut menuntut Indonesia untuk mempercepat hilirisasi industri guna memaksimalkan manfaat ekonomi dan mengurangi dampak negatif volatilitas pasar.

    Salah satu langkah strategis adalah mengolah CPO menjadi produk bernilai tambah seperti biodiesel dan oleokimia. Peningkatan hilirisasi ini tidak hanya meningkatkan nilai ekspor, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain utama dalam industri hilir sawit.

    Selain hilirisasi, adaptasi terhadap perubahan iklim menjadi krusial dalam menjaga keberlanjutan produksi perkebunan. Petani kopi dan kakao perlu didorong untuk menggunakan varietas tanaman yang tahan terhadap kondisi kekeringan dan penyakit. Sementara itu, perkebunan kelapa sawit dan karet memerlukan sistem irigasi berkelanjutan untuk memastikan ketersediaan air yang memadai selama musim kemarau.

    Pemerintah dan pemangku kepentingan sektor perkebunan juga perlu memperkuat diplomasi perdagangan untuk melobi aturan keberlanjutan global yang adil dan tidak merugikan eksportir dari negara berkembang.

    Menjaga stabilitas kebijakan ekspor sangat penting untuk memberikan kepastian bagi pelaku industri dan menarik investasi di sektor hilir.

    Kombinasi strategi hilirisasi, adaptasi iklim, dan diplomasi perdagangan yang efektif akan membantu Indonesia memanfaatkan peluang sekaligus menghadapi tantangan dalam dinamika pasar komoditas perkebunan global.

    *) Kuntoro Boga Andri adalah Kepala Pusat Perakitan dan Modernisasi Pertanian (BRMP), Perkebunan, Kementerian Pertanian

    Copyright © ANTARA 2025

  • CITA Kritisi Laporan Bank Dunia soal RI Kehilangan Potensi Pajak Rp944 Triliun per Tahun

    CITA Kritisi Laporan Bank Dunia soal RI Kehilangan Potensi Pajak Rp944 Triliun per Tahun

    Bisnis.com, JAKARTA — Center for Indonesia Taxation Analysis alias CITA mengkritisi laporan Bank Dunia yang menunjukkan pemerintah Indonesia kehilangan potensi setoran pajak hingga Rp944 triliun per tahun.

    Manajer Riset CITA Fajry Akbar meragukan angka-angka dalam laporan tersebut. Dia menggarisbawahi bahwa selalu ada biaya administrasi yang timbul pemungutan pajak.

    Fajry mencontohkan jika jumlah wajib pajak yang masuk ke dalam sistem maka jumlah pegawai pajak yang mengawasi juga perlu ditambah. Tak hanya itu, selalu ada hambatan teknis apabila ada objek pajak baru yang ingin diincar atau malah dihilangkan.

    “Jadi, kalau biaya yang ditimbulkan tersebut lebih besar dari potensi penerimaannya maka pemungutan pajaknya menjadi tidak feasible [mungkin dilaksanakan]. Bukannya untung malah buntung,” ujar Fajry kepada Bisnis, Kamis (27/3/2025).

    Oleh sebab itu, sambungnya, di berbagai negara terdapat ambang batas pengenaan pajak. Di Indonesia sendiri, hanya usaha dengan omzet di atas Rp4,8 miliar per tahun yang wajib memungut PPN dan menyetor PPh Badan.

    Di bawah ambang batas tersebut, menurut Fajry, pemungutan pajaknya menjadi sulit untuk dijalankan karena termasuk sektor hard to tax (HTT) alias sulit untuk dipajaki.

    Dia mencontohkan, jika akhirnya pemerintah menurunkan ambang batas pengusaha kena pajak (PKP) ke kisaran Rp2—2,5 miliar maka potensi penerimaan tambahan tak cukup besar untuk menambal target penerimaan pajak. Menurutnya, kisaran Rp2—2,5 miliar termasuk kisaran yang masih mungkin dilaksanakan.

    “Perhitungan saya, besarannya [penerimaan tambahan] tidak akan mencapai Rp3 triliun. Jadi, angka ‘wah’ yang dipaparkan oleh Bank Dunia tersebut tidak tepat atau kurang tepat,” jelas Fajry.

    Dia pun takut otoritas merespons dan salah mengartikan laporan Bank Dunia tersebut. Fajry khawatir Direktorat Jenderal Pajak malah akan bertindak lebih ‘agresif’ yang akan mengakibatkan dunia usaha dan pada pekerja sektor formal menjadi korban.

    Secara historis, lanjutnya, upaya agresif otoritas pajak yang berdampak ke penurunan penerimaan pajak dan keluhan pelaku usaha sempat terjadi ketika peralihan pemerintahan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Joko Widodo (Jokowi).

    Selain itu, pemerintah juga berpotensi melakukan belanja yang jor-joran karena dianggapnya ada sekian ratus triliun penerimaan yang bisa digali atau dioptimalkan. Padahal, pada kenyataan sulit dilakukan.

    “Alhasil, bendahara negara akan kesulitan dalam mengelola keuangan negara secara hati-hati, ada peningkatan risiko bagi defisit APBN. Kembali, hal ini pernah terjadi sebelumnya pada era peralihan dari Presiden SBY ke Jokowi. Sudah ada preseden sebelumnya,” katanya.

    Apalagi, laporan Bank Dunia mendorong pemerintah untuk memajaki kelompok kecil dan mikro. Fajry mengingatkan bahwa pada saat yang sama Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan ingin memberikan keringanan pajak bagi kelompok konglomerat melalui family office.

    “Jadi, yang kecil dihantam, yang super kaya diberikan keringanan. Kalau desainnya seperti ini, ini sangat tidak berkeadilan sekali,” tutupnya.

  • Sri Mulyani Mulai Lapor RAPBN 2026 ke Prabowo, Begini Lini Masa Penyusunan Anggaran

    Sri Mulyani Mulai Lapor RAPBN 2026 ke Prabowo, Begini Lini Masa Penyusunan Anggaran

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beserta jajarannya mulai melaporkan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 kepada Presiden Prabowo Subianto, meski 2025 belum genap tiga bulan berjalan. 

    Sri Mulyani usai menghadiri rapat terbatas (ratas) bersama dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin, Rabu (26/3/2025), menyampaikan bahwa program-program penting yang telah dijalankan dalam APBN 2025, bakal masuk di RAPBN 2026.  

    “APBN 2026 sedang disiapkan. Ya program-program yang penting tetap akan dijalankan, oleh karena itu penganggarannya dibuat,” ungkap Sri Mulyani. 

    Mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut menuturkan nantinya pemerintah akan menyusun Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal atau KEM PPKF bersama DPR. 

    Bukan terburu-buru, faktanya penyusunan RAPBN untuk tahun berikutnya memang dilakukan sejak awal tahun berjalan. 

    Penyusunan tersebut pun telah dimandatkan dalam Undang-Undang (UU) No. 17/2003 tentang Keuangan Negara dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 17/2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Nasional. 

    Bahkan pada 16 Agustus setiap tahunnya, pemerintah harus menyampaikan Nota Keuangan dan RAPBN. Artinya, pemerintah memiliki sisa waktu kurang lebih 4 bulan untuk menyusun rancangan tersebut. Tak heran bila penyusunan dilakukan sedari awal tahun. 

    Berkaca dari penyusunan APBN 2025, Sri Mulyani kala itu mulai membahas KEM PPKF sebagai dasar acuan penyusunan rancangan, pada 12 Februari 2025 atau dua hari menjelang pencoblosan Pemilu 2024. 

    Proses standar yang terjadi setiap tahunnya dalam penyusunan anggaran ini meliputi penetapan tema, sasaran, arah kebijakan, dan prioritas pembangunan nasional.  

    Kemudian penyusunan kapasitas fiskal, meninjau angka dasar K/L, dan dilanjutkan dengan penyampaian KEM-PPKF serta ketersediaan anggaran ke Presiden pada Maret.  

    Pada bulan Maret juga Kementerian Keuangan harus menyampaikan pagu indikatif. Sementara pagu anggaran akan disampaikan pada akhir Juni setelah diskusi dengan wakil rakyat di Senayan.  

    Sebelum finalisasi, terjadwal penelaahan RKA-KL pada akhir Juli dan penyusunan Nota Keuangan pada awal Agustus. 

    Setelah nantinya RAPBN ditetapkan sebagai UU, pemerintah akan menerbitkan perincian APBN yang umumnya dilakukan pada akhir Oktober.

    Berikut linimasa KEM-PPKF dan RAPBN: 

    -Penyampaian KEM PPKF dan ketersediaan anggaran ke presiden (Maret)

    -Pagu Indikatif (Maret) 

    -Penyampaian KEM PPKF ke DPR (minggu ketiga Mei) 

    -Pembicaraan Pendahuluan RAPBN (Mei-Juni)

    -Penyampaian RUU APBN 2025 & Nota Keuangan ke DPR (16 Agustus) 

    -Pembahasan RUU APBN 2025 & NK (Agustus-September) 

    -Penetapan APBN TA 2025 (Oktober)

  • Setoran Pajak RI Buruk, Bank Dunia Saran Pajaki UMKM hingga Ekonomi Bawah Tanah

    Setoran Pajak RI Buruk, Bank Dunia Saran Pajaki UMKM hingga Ekonomi Bawah Tanah

    Bisnis.com, JAKARTA – Hasil studi terbaru dari Bank Dunia menyatakan kinerja pengumpulan pajak Indonesia sangat buruk. Bank Dunia pun menyarankan agar pemerintah Indonesia memajaki UMKM hingga aktivitas ekonomi bawah tanah.

    Pernyataan dan saran tersebut tercantum dalam laporan studi Bank Dunia bertajuk Estimating Value Added Tax (VAT) and Corpotate Income Tax (CIT) Gaps in Indonesia yang terbit pada 3 Maret 2025.

    Studi tersebut menganalisis kepatuhan setoran pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan korporasi (PPh Badan) di Indonesia selama 2016—2021. Hasilnya, besarnya kesenjangan pajak (tax gap) menyebabkan efisiensi setoran dua sumber utama penerimaan pajak tersebut sangat rendah.

    Bank Dunia pun menyatakan kinerja pengumpulan pajak pemerintah Indonesia sangat buruk. Mereka mencontohkan, pada 2021 rasio pajak Indonesia hanya sebesar 9,1%.

    Rasio pajak Indonesia itu lebih rendah dari negara-negara di kawasan seperti Kamboja (18%), Malaysia (11,9%), Filipina (15,2%), Thailand (15,7%), dan Vietnam (14,7%). Bahkan, Bank Dunia menyatakan rasio pajak Indonesia sebagai salah satu yang terendah di dunia.

    Bank Dunia mengindikasikan bahwa salah satu penyebab belum maksimalnya penerimaan PPN dan PPh Badan di Indonesia karena tingginya ambang batas pengenaan pajak usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

    Memang, hanya usaha dengan omzet di atas Rp4,8 miliar yang wajib memungut PPN dan menyetor PPh Badan.

    Bank Dunia melihat, tingginya ambang batas tersebut menyebabkan banyak korporasi yang tak dikenai pajak. Selain itu, UMKM menjadi kurang diawasi dan meningkatkan ketidakpatuhan pelaporan pajak formal.

    “Menurunkan ambang batas serta memperkenalkan larangan hukum pengelompokan dapat mengurangi selisih [penerimaan yang seharusnya dengan yang sebenarnya] PPN dan PPh,” tulis Bank Dunia dalam laporan tersebut, dikutip Rabu (26/3/2025).

    Selain itu, Bank Dunia melihat pangsa aktivitas ekonomi bawah tanah (underground economy) di Indonesia juga sangat besar yang nilainya bisa mencapai 17,6% hingga 21,8% dari total PDB. Masalahnya, aktivitas ekonomi bawah tanah tidak terdeteksi secara administrasi perpajakan.

    Oleh sebab itu, Bank Dunia menyarankan agar pemerintah harus memperluas akses informasi tentang seluruh kegiatan ekonomi dengan memanfaatkan data pihak ketiga untuk meningkatkan penegakan kepatuhan pajak.

    “Wajib pajak yang masih berada di luar sistem—UMKM dan sektor yang tidak dikenakan pajak—harus dimasukkan ke dalam pelaporan PPN dan PPh untuk mengintegrasikan mereka sepenuhnya ke dalam sistem di masa mendatang,” tulis Bank Dunia.

    Lebih lanjut, hasil perhitungan Bank Dunia menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia kehilangan potensi setoran pajak hingga Rp944 triliun selama 2016—2021.

    “Estimasi kesenjangan PPN dan PPh Badan yang tercatat rata-rata mencapai 6,4% dari PDB atau Rp944 triliun pada periode 2016—2021,” tulis Bank Dunia, dikutip Rabu (26/3/2025).

    Padahal, PPN dan PPh Badan yang merupakan sumber utama penerimaan pajak Indonesia tidak bekerja secara maksimal.

    Bank Dunia menunjukkan, rata-rata selisih antara PPN yang seharusnya dibayar dengan PPN yang sebenarnya dibayar mencapai 43,9% atau setara 2,6% dari PDB selama 2016—2021. Dalam nominal, selisih tersebut setara Rp386 triliun.

    Sementara itu untuk PPh Badan, rata-rata selisih yang seharusnya dibayar dengan yang sebenarnya dibayar mencapai 33% atau setara 1,1% PDB selama 2016—2021. Dalam nominal, selisih tersebut setara Rp160 triliun.

    “Itu dapat disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor, termasuk kepatuhan yang rendah, tarif pajak efektif yang relatif rendah, dan basis pajak yang sempit,” tulis Bank Dunia.

  • Kisah Rupiah Jatuh, Krisis Ekonomi dan Runtuhnya Suatu Rezim Politik

    Kisah Rupiah Jatuh, Krisis Ekonomi dan Runtuhnya Suatu Rezim Politik

    Bisnis.com, JAKARTA — Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terpuruk hingga mendekati kondisi ketika krisis ekonomi 1998. Pada Selasa (25/3/2025) lalu, rupiah ditutup di angka Rp16.622 per dolar AS. 

    Depresiasi rupiah yang terjadi kemarin terendah selama tahun 2025 dan mendekati titik kritis ketika krisis ekonomi menerjang pada tahun 1998 lalu. Krisis ekonomi ini berujung dengan krisis politik yang mencapai puncaknya ketika Presiden Soeharto lengser keprabon karena protes mahasiswa dan elemen sipil yang menuntut demokratisasi.

    Namun demikian, membandingkan ekonomi sekarang dengan krisis ekonomi 1998, tidak sepenuhnya tepat. Depresiasi rupiah tahun ini cenderung simultan. Sementara itu pada tahun 1998, penurunan rupiah terhadap dolar berlangsung sangat dramatis dari Rp8.000 melonjak ke angka Rp16.600-an per dolar AS. Ekonomi ambruk, rezim Orde Baru runtuh. 

    Dalam catatan Bisnis, Soeharto sejatinya muncul setelah Sukarno jatuh. Ada perbedaan orientasi yang mencolok antara rezim Sukarno dan Soeharto. Jika era Sukarno, politik sebagai panglima. Pada zaman Orde Baru atau rezim daripadanya Soeharto, perbaikan dan pembaruan orientasi ekonomi mulai menjadi fokus utama.

    Soeharto tidak sendiri untuk melakukan tugas besar itu. Dia didukung oleh orang-orang yang ‘mumpuni’. Selain tokoh intelijen, penggagas pondasi pemerintahan Orde Baru, Ali Moertopo, di belakangnya juga ada kalangan ekonom lulusan Berkeley, Amerika Serikat.

    David Ransom, aktivis dan penulis kiri asal Amerika Serikat dalam buku The Berkeley Mafia and the Indonesian Massacre menjuluki kelompok ekonom ini dengan istilah ‘Mafia Berkeley’.

    Dalam sejarah ekonomi Indonesia, ‘Mafia Berkeley’, salah satu tokohnya adalah Widjojo Nitisastro dkk. punya peran penting, bahkan hingga kini anak cucu didiknya dikenal sebagai arsitek utama ekonomi Indonesia.

    Salah satu pengaruh sekaligus warisan kelompok Berkeley dalam kebijakan Orde Baru adalah mulai terbukanya keran investasi asing dan pembangunan yang lebih terstruktur.

    Apabila pada era Sukarno ada Rencana Ekonomi Perdjoeangan, di era Soeharto mengenal istilah Rencana Pembangunan Lima Tahun atau Repelita. Inflasi menjadi bagian paling diperhatikan oleh rezim daripadanya Soeharto.

    Soe Hok Gie, aktivis angkatan 66 dalam tulisan yang diterbitkan sebuah surat kabar pada 16 Juli 1969 menaruh harapan besar pada rencana Soeharto dengan repelita-nya.

    Dia menulis, melalui rencana itu, Soeharto punya cita-cita yang tak kalah besar (dari Sukarno) untuk menyejahterakan masyarakat desa. “Tahun ini adalah tahun pertama pembangunan lima tahun, tapi kesan saya masyarakat masih acuh terhadap rencana besar ini,” tulis Gie.

    Adapun, Soeharto dalam setiap kesempatan selalu menekankan bahwa repelita merupakan acuan sekaligus pegangan untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur.

    “Sehingga akhirnya nanti sesudah melampaui kesekian banyak repelita kita tiba pada tujuan akhir yang kita cita-citakan: masyarakat maju, adil dan makmur berdasarkan Pancasila,” ucap Soeharto dalan pidato kenegaraan di DPR pada tahun 1972.

    Orde Baru mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1970-an. Saat itu pendapatan negara mengalir deras karena booming minyak. Pembangunan dikebut di berbagai daerah. Jalanan aspal, listrik masuk desa, hingga waduk-waduk dibangun untuk menopang ekonomi masyarakat pedesaan.

    Sayangnya, kejayaan Orde Baru tidak berlangsung lama. Pada awal tahun 1980-an terjadi guncangan ekonomi global. Akibatnya, harga komoditas khususnya migas anjlok.

    Menuju Krisis Ekonomi

    Setelah resesi global pada 1982, arah ekonomi Indonesia mulai sedikit bergeser. Sektor nonmigas yang sebelumnya menjadi anak tiri mulai diperhatikan.

    Ekspor dan impor, reformasi pajak hingga investasi berbasis industri terus didorong. Tak heran hingga 1996 kondisi ekonomi Indonesia relatif stabil. Pertumbuhan ekonomi rata-rata bisa di atas 6 persen.

    Thee Kian Wie, ekonom senior dalam The Soeharto Era & After: Stability, Development and Crisis 1966 – 2000 menulis bahwa perkembangan positif tersebut tak lepas dari peran tim ekonomi Orde Baru. Pertumbuhan sektor manufaktur menjadi salah satu yang paling cepat di kawasan.

    Pada tahun 1995, World Bank bahkan mencatat bahwa manufaktur Indonesia masuk tujuh kekuatan terbesar di antara negara-negara berkembang. Pertumbuhan manufaktur ini menunjukkan bahwa transformasi struktur perekonomian Indonesia mulai berjalan.

    Sebagai perbandingan jika pada 1969 peran manufaktur hanya 9,2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), pada 1995 kontribusi manufaktur ke PDB melesat ke angka 24,2 persen. Sebaliknya kontribusi sektor pertanian yang semula 49,3 persen pada 1969 hanya tersisa 17,2 persen pada 1995.

    Namun demikian, perubahan struktur perekonomian ini tidak menjadi jaminan, stabilitas ekonomi Indonesia tidak bisa menahan tensi politik dari gerakan anti-Soeharto yang mulai memanas pada tahun 1996-an. Salah satu perisitiwa yang cukup menohok rezim Orde Baru yaitu penyerangan kantor PDI Pro Mega pada tanggal 27 Juli 1996.

    Dokumen APBN 1996/1997 secara tidak langsung mengonfirmasi bahwa peningkatan tensi politik ikut menjalar ke aktivitas ekonomi. Pada periode tersebut, pemerintah menghadapi overheated economy atau suhu ekonomi yang memanas. Inflasi meroket 8,86 persen pada 1995/1996.

    Sementara itu, defisit transaksi berjalan juga membengkak menjadi US$6,9 miliar dari sebelumnya yang hanya sekitar Rp3 miliar. Kondisi ini semakin parah pada periode-periode setelahnya, apalagi munculnya krisis finansial secara global.

    Seperti banyak diulas oleh para ekonom hingga akademisi, krisis finansial pada 1997 benar-benar menunjukkan bahwa struktur ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru cukup rapuh. Pemerintah sampai harus ngutang ke IMF buat stabilisasi ekonomi.

    Sementara bagi “The Old General”, untuk pertama kalinya harus menghadapi tantangan yang cukup serius bagi kelangsungan kekuasaannya yang sudah berumur tiga dasawarsa.

    Persoalan merosotnya kinerja ekonomi ibarat membuka kotak pandora. Masalah lainnya, terutama praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang dipraktikan orde daripada Soeharto dan kroni-kroninya mulai mengemuka ke publik.

    Puncaknya krisis ekonomi terjadi cukup dalam, inflasi tembus di angka 77,6 persen, ekonomi minus 13,7 persen, rupiah jatuh dari Rp8.000 per dolar menjadi Rp16.650 pada 1998, kerusuhan sosial, demonstrasi dimana-mana dan Soeharto lengser keprabon setelah 32 tahun berkuasa.

    Thee Kian Wie kembali menyinggung bahwa krisis finansial di Asia & terhempasnya ekonomi Indonesia akibat imbas krisis itu menunjukkan betapa pentingnya good governance, yang ironisnya pernah dianggap tidak relevan oleh para ekonom.

    “Indonesia memiliki sistem hukum yang lemah dan ketinggalan zaman, tidak efisien, birokrasi yang korup serta tidak adanya demokrasi,” tulis Thee Kian Wie.