NGO: World Bank

  • Prabowo-Erdogan Cari Cara Redam Dampak Perang Dagang

    Prabowo-Erdogan Cari Cara Redam Dampak Perang Dagang

    Jakarta

    Presiden Prabowo Subianto melakukan kunjungan kenegaraan ke Turki. Kunjungan tersebut sebagai tindaklanjut undangan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan saat berkunjung ke Indonesia Februari lalu.

    Prabowo dijadwalkan akan melakukan pertemuan bilateral dengan Erdogan. Philips Vermonte, Juru Bicara Kantor Komunikasi Presiden (Presidential Communication Office/PCO) menyatakan dalam pertemuan Prabowo dan Erdogan, kedua negara akan memperkuat hubungan melalui perjanjian strategis, tak terkecuali di sektor perekonomian.

    “Indonesia dan Turki akan memperkuat hubungan melalui perjanjian strategis dan komitmen terhadap multilateralisme saat Presiden Indonesia Prabowo mengunjungi Turki,” beber Philips dalam keterangannya, Kamis (10/4/2025).

    Dalam catatan Philips, masih banyak ruang yang dapat ditingkatkan untuk hubungan perdagangan antara Indonesia dan Turki. Sebelumnya, sudah ada kesepakatan untuk meningkatkan perdagangan kedua negara jadi berimbang senilai US$ 10 miliar atau sekitar Rp 167 triliun (kurs Rp 16.700).

    Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China sebagai negara adidaya juga akan jadi bahasan dalam pertemuan Prabowo dan Erdogan. Philips mengatakan Indonesia dan Turki akan mendorong asas multilateralisme atau kerja sama banyak negara untuk meredam dampak perang dagang.

    “Indonesia dan Turki memiliki modalitas yang kuat untuk menegakkan semangat multilateralisme dalam lanskap global saat ini. Kedua negara adalah negara dengan komitmen kuat terhadap penyelesaian damai, dialog, dan inklusivitas, yang memposisikan mereka sebagai pendukung alami kerja sama internasional,” sebut Philips.

    Indonesia dan Turki juga telah aktif dan dapat secara aktif memanfaatkan platform seperti Developing Eight (D-8) dan OKI untuk memperjuangkan tindakan kolektif dalam agenda pembangunan, menumbuhkan rasa solidaritas dan tanggung jawab bersama di antara negara-negara berkembang.

    Lebih jauh, kedua negara juga secara konsisten dan terus-menerus berupaya untuk memperbaiki lembaga-lembaga internasional. Sebagai negara-negara menengah yang berpengaruh, suara Indonesia dan Turki memiliki bobot dalam diskusi seputar reformasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, Bank Dunia, IMF, dan badan-badan multilateral lainnya.

    Selain itu, sebagai negara dengan kekuatan menengah dan mayoritas penduduk muslim, Indonesia dan Turki juga memiliki landasan yang sangat kuat dalam hubungan bilateral.

    Dalam lawatan Prabowo ke Turki, Philips bilang Indonesia akan terus mendorong semangat perdamaian, khususnya terkait konflik di Palestina. Dengan cara mendukung perdamaian abadi bagi Palestina melalui solusi dua negara dan mewujudkan stabilitas di Timur Tengah.

    (acd/acd)

  • Istana ungkap Alasan Prabowo Temui Erdogan di Turki

    Istana ungkap Alasan Prabowo Temui Erdogan di Turki

    Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto melakukan kunjungan kenegaraan ke Turki menindaklanjuti undangan Presiden Recep Tayyip Erdoğan saat kunjungannya ke Jakarta pada Februari lalu. 

    Kunjungan ini menandai babak baru dalam penguatan hubungan bilateral kedua negara yang ditandai dengan penandatanganan 13 kesepakatan kerja sama di berbagai bidang strategis, termasuk energi, industri, pendidikan, hingga urusan keagamaan.

    Juru Bicara Kantor Komunikasi Presiden (Presidential Communication Office/PCO) Philips Vermonte menyatakan bahwa kunjungan ini merupakan kelanjutan dari pertemuan produktif antara kedua kepala negara sebelumnya di Jakarta.

    “Presiden Erdoğan menyampaikan bahwa ia sangat terharu dan belum pernah menerima sambutan seperti itu sepanjang karier politiknya,” ujar Vermonte melalui rilisnya, Kamis (10/4/2025).

    Menambah hangatnya hubungan kedua negara, kedua kepala negara saling bertukar cendera mata yang sarat makna historis.

    Presiden Prabowo menghadiahkan senapan serbu kaliber 5,56 x 46 mm SS2-V4A2 buatan dalam negeri, yang dikenal dengan ketepatan tembaknya, dan diukir khusus dengan nama Presiden Erdoğan. Dia juga memberikan sebilah keris Bali berhulu perak berlapis emas dan dihiasi batu rubi—lambang kekuatan dan cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa.

    Sementara itu, Presiden Erdoğan membalas dengan menghadiahkan vas putih berhiaskan bunga merah muda dan sebuah karya kaligrafi yang berisi puisi doa dan rasa syukur masyarakat Jawa kepada Sultan Abdulmecid Khan serta para pemimpin Islam terdahulu atas perlindungan dan keadilan mereka.

    Selain memperkuat kerja sama bilateral, Indonesia dan Turki juga menegaskan kembali komitmen bersama dalam menyuarakan semangat multilateralisme, di tengah tren global yang condong pada bilateralisme akibat rivalitas geopolitik antara Amerika Serikat dan China

    Keduanya, sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim dan kekuatan menengah, aktif mendorong penyelesaian damai dan dialog inklusif melalui forum seperti Developing Eight (D-8) dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).

    Dalam konteks konflik Palestina, Indonesia tetap konsisten mendorong solusi dua negara demi terciptanya perdamaian berkelanjutan di Timur Tengah.

    Pemerintah Indonesia bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) saat ini tengah menggalang dana kemanusiaan sebesar 200 juta dolar AS untuk Palestina.

    Hubungan Indonesia-Turki juga menyimpan potensi besar dalam peningkatan kerja sama ekonomi. Kedua negara sebelumnya telah menyepakati target peningkatan perdagangan yang seimbang senilai US$10 miliar

    Dalam kerangka global, Indonesia dan Turki berperan penting dalam mendorong reformasi kelembagaan internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, Bank Dunia, dan IMF, agar lebih responsif terhadap kebutuhan negara-negara berkembang. Partisipasi aktif dalam forum MIKTA (Mexico, Indonesia, South Korea, Türkiye, Australia) juga menjadi platform strategis untuk menyuarakan reformasi multilateral yang lebih adil dan inklusif.

    “Dengan menjalin hubungan strategis yang lebih erat dengan negara-negara sehaluan, Turki dan Indonesia dapat membangun momentum untuk perubahan yang memastikan distribusi kekuasaan yang lebih adil,” kata Vermonte.

  • Menyikapi Perang Tarif Trump

    Menyikapi Perang Tarif Trump

    Jakarta

    Pada 2 April 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan penerapan tarif impor baru yang signifikan terhadap berbagai negara, termasuk Indonesia. Kebijakan ini menetapkan tarif sebesar 10% untuk semua barang impor, dengan tarif tambahan yang lebih tinggi bagi beberapa negara tertentu.

    Indonesia, sebagai salah satu mitra dagang AS, dikenakan tarif tambahan sebesar 32%. Langkah ini diambil dengan alasan untuk melindungi industri domestik AS dan mengurangi defisit perdagangan.

    Di balik tujuan untuk melindungi industri dalam negeri Amerika, ada efek domino yang bisa sampai ke kantong dan dapur masyarakat Indonesia. Apa sebenarnya yang sedang terjadi, dan bagaimana kita bisa menyikapinya?

    Apa Itu Perang Tarif?

    Bayangkan Anda jualan sepatu ke luar negeri, lalu tiba-tiba negara tujuan pembeli Anda menambah biaya masuk barang dari Indonesia. Akibatnya, harga sepatu Anda jadi mahal di sana dan orang-orang mulai enggan beli. Inilah yang disebut perang tarif.

    Dengan kata lain, perang tarif adalah kondisi ketika negara saling menaikkan biaya untuk barang-barang yang mereka impor dari satu sama lain. Barang dari luar negeri jadi lebih mahal, agar produk lokal lebih dipilih konsumen. Tapi, ketika negara besar seperti AS melakukannya ke banyak negara sekaligus, gelombangnya bisa sangat luas. Ekspor Indonesia ke AS, misalnya, bisa langsung terpengaruh.

    Dampak Mulai Terasa

    Beberapa sektor industri akan mengalami penurunan pesanan. Misalnya, di sektor tekstil dan alas kaki—dua komoditas unggulan ekspor ke AS—permintaan akan berkurang. Beberapa pabrik diprediksi akan mengurangi jam kerja atau merumahkan karyawan secara bergilir.

    Tidak Langsung Tetapi Tetap Terasa

    Efek lain yang mungkin tidak langsung terlihat adalah membanjirnya barang-barang dari negara lain ke Indonesia. Ketika produk dari China dan Vietnam makin sulit masuk ke AS, mereka mencari pasar alternatif—salah satunya ke negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Ini bisa membuat persaingan di pasar dalam negeri makin ketat, terutama bagi pelaku usaha kecil.

    Bukan hanya sektor perdagangan, dunia investasi juga mulai cemas. Data BKPM menunjukkan bahwa realisasi investasi asing turun 6,2% pada kuartal pertama 2025. Investor cenderung bersikap “wait and see”, menunggu apakah situasi ini membaik atau justru makin rumit.

    Kalau ini terus berlangsung, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa melambat. Bank Dunia sudah memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa turun dari 5,1% menjadi 4,5% di akhir 2025. Ini berarti lebih sedikit proyek, lebih sedikit lowongan kerja, dan lebih lambatnya perputaran uang di masyarakat.

    Bagaimana Menyikapinya?

    Pemerintah Indonesia menyadari bahwa ketegangan dagang global seperti ini perlu dihadapi dengan kepala dingin. Lewat diplomasi dagang dan kerja sama dengan negara-negara lain seperti India dan Uni Emirat Arab, Indonesia memperluas pasar ekspor agar tidak terlalu tergantung pada satu negara.

    Berbagai strategi juga sedang dijalankan, mulai dari dorongan untuk ekspor produk lokal, insentif bagi industri terdampak, hingga mempermudah akses pasar bagi pelaku usaha kecil dan menengah.

    Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan Kabinet Merah Putih untuk melakukan langkah strategis, perbaikan struktural, dan kebijakan deregulasi yaitu penyederhanaan regulasi dan penghapusan regulasi yang menghambat, khususnya terkait dengan Non-Tariff Barrier, (4/4).

    Melalui Kementerian Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri, Indonesia juga menempuh jalur diplomatik di WTO dan juga memperkuat negosiasi bilateral melalui ASEAN-US Dialogue.

    Dalam situasi global yang berubah-ubah seperti sekarang, tidak ada satu jawaban tunggal. Tapi banyak hal baik tetap bisa dilakukan bersama.

    Kita bisa mulai dengan saling mendukung—terutama terhadap produk-produk lokal. Ketika kita membeli barang buatan dalam negeri, kita ikut membantu menjaga kelangsungan usaha, lapangan kerja, dan roda ekonomi.

    Dan, yang tak kalah penting, menjaga solidaritas. Banyak inisiatif lokal, koperasi digital, dan gerakan komunitas yang saling membantu dalam kondisi sulit. Di tengah ketidakpastian global, solidaritas dan gotong royong adalah kekuatan besar yang dimiliki masyarakat Indonesia.

    Perang tarif mungkin terdengar seperti isu besar di panggung dunia. Tapi ternyata, dampaknya bisa menyentuh hal-hal yang dekat dengan kita: harga barang, pekerjaan, dan keberlangsungan usaha kecil di lingkungan kita.

    Namun, krisis tidak selalu berarti akhir. Dalam setiap ketidakpastian, selalu ada ruang untuk tumbuh dan beradaptasi. Ketika pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat saling memahami peran masing-masing, jalan keluar akan lebih mudah ditemukan. Kekuatan terbesar Indonesia adalah pada ketangguhan masyarakatnya.

    Dalam dunia yang terus berubah, bukan kekuatan atau ukuran yang menentukan, melainkan kesiapan untuk beradaptasi. Di tengah tantangan global, justru solidaritas lokal menjadi cahaya penuntun. Dari langkah-langkah sederhana di lingkungan kita—mendukung produk dalam negeri, berbagi keterampilan, hingga saling menguatkan—kita sedang menanamkan benih ketahanan jangka panjang.

    Ketika dunia dalam ketidakpastian, Indonesia tetap bergerak. Bukan karena kita terbebas dari tantangan, melainkan karena kita memilih untuk tidak berhenti. Perubahan besar selalu berawal dari langkah-langkah kecil yang kita lakukan bersama.

    Steph Subanidja dosen Institut Perbanas

    (mmu/mmu)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Apakah Indonesia terlambat merespons kebijakan tarif Trump?

    Apakah Indonesia terlambat merespons kebijakan tarif Trump?

    Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) menyarankan Pemerintah Indonesia segera mengambil langkah konkret guna melindungi industri dalam negeri akibat penerapan tarif resiprokal AS, Jakarta, Senin (7/4/2025) (ANTARA/Bayu Saputra)

    Apakah Indonesia terlambat merespons kebijakan tarif Trump?
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Selasa, 08 April 2025 – 08:53 WIB

    Elshinta.com –  Respons pemerintah Indonesia terhadap kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat Donald Trump layak diapresiasi dari sisi kehati-hatian, namun juga pantas dikritisi dari sisi kecepatan dan keberanian strategis.

    Ketika Trump memutuskan untuk menaikkan tarif hingga 32 persen terhadap produk ekspor Indonesia, termasuk tekstil, alas kaki, dan komponen elektronik, negara-negara seperti Vietnam dan Thailand bergerak cepat dalam merumuskan respons diplomatik dan proteksi ekonomi.

    Sementara Indonesia, dijadwalkan baru hari ini atau sehari sebelum kebijakan tersebut efektif diberlakukan pada 9 April 2025 untuk menyatakan sikap resmi melalui pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam sebuah forum terbuka. Tentu pendekatan diplomatik dan tidak reaktif adalah prinsip bijak dalam tata kelola hubungan internasional.

    Namun dalam konteks ekonomi global yang semakin kompleks dan berubah dengan cepat, waktu menjadi faktor strategis. Delay dalam menyampaikan sikap resmi bisa memberikan kesan bahwa Indonesia kurang sigap dalam melindungi kepentingan ekonominya, apalagi dalam konteks tarif yang berdampak langsung pada jutaan pekerja sektor manufaktur ekspor.

    Selama ini ada kecenderungan bahwa kecepatan respons pemerintah terhadap disrupsi pasar internasional sangat mempengaruhi persepsi investor dan mitra dagang terhadap kredibilitas negara tersebut. Negara-negara yang umumnya mampu menunjukkan ketegasan dan arah kebijakan yang jelas dalam waktu 48 jam untuk merespons sesuatu, cenderung mengalami penurunan risiko pasar dan peningkatan negosiasi bilateral yang menguntungkan.

    Sebuah studi berjudul “Business resilience: Lessons from government responses to the global COVID-19 crisis” yang diterbitkan dalam International Business Review pada Oktober 2023 oleh Harvey Nguyen, Anh Viet Pham, Man Duy (Marty) Pham, dan Mia Hang Pham, mengeksplorasi ketahanan bisnis di berbagai negara dan faktor-faktor yang memungkinkan perusahaan bertahan dalam menghadapi guncangan ekonomi besar seperti pandemi COVID-19.

    Penelitian ini menyoroti peran penting respons cepat dan efektif dari pemerintah dalam mendukung ketahanan bisnis. Tindakan pemerintah yang tepat waktu, seperti pemberian stimulus ekonomi, bantuan finansial, dan kebijakan pendukung lainnya, terbukti membantu perusahaan dalam mempertahankan operasi dan mengurangi dampak negatif dari krisis.

    Temuan ini menggarisbawahi bahwa kecepatan dan efektivitas respons pemerintah tidak hanya mempengaruhi stabilitas ekonomi secara keseluruhan, tetapi juga meningkatkan kepercayaan bisnis dan investor terhadap kemampuan negara dalam mengelola krisis.

    Kontes Indonesia

    Dalam konteks Indonesia tentu ini tidak bisa disamakan secara langsung, namun pola yang sama berlaku. Ketika Vietnam langsung mengirimkan tim negosiator ke Washington dan Thailand mengumumkan insentif substitusi pasar ekspor, Indonesia justru tampak terkesan lebih lama berkutat di tahap penyusunan strategi bahkan narasi.

    Implikasinya bukan hanya pada perdagangan, tetapi pada posisi daya tawar Indonesia dalam lanskap global yang semakin bergeser ke arah kompetisi cepat dan real-time. Namun, penting juga dipahami bahwa pendekatan Indonesia menolak opsi retaliasi dan memilih jalur diplomasi tidak dapat serta-merta dianggap sebagai kelemahan.

    Sebagaimana sebelumnya Menko Airlangga menegaskan bahwa Indonesia tidak akan mengambil langkah retaliasi atas kebijakan tarif dan memilih menempuh jalur diplomasi dan negosiasi untuk mencari solusi yang saling menguntungkan bagi kedua negara. Pendekatan tersebut diambil dengan mempertimbangkan kepentingan jangka panjang hubungan perdagangan bilateral, serta untuk menjaga iklim investasi dan stabilitas ekonomi nasional.

    Ini menunjukkan adanya kehendak untuk menjaga hubungan jangka panjang dan stabil dengan mitra dagang utama, dalam hal ini Amerika Serikat. Di sisi lain, keputusan untuk tidak membalas dengan tarif serupa juga mengandung risiko munculnya asumsi bahwa Indonesia akan selalu bersikap lunak terhadap tekanan ekonomi.

    Pendekatan “tidak membalas tapi memperkuat dalam negeri” sebenarnya bisa menjadi strategi efektif jika dilengkapi dengan reformasi regulasi yang nyata dan percepatan diplomasi ekonomi yang terukur.

    Misalnya, reformasi logistik nasional yang masih menjadi hambatan utama daya saing produk ekspor Indonesia. Menurut laporan World Bank Logistics Performance Index 2023, Indonesia masih berada di peringkat 63 dari 139 negara. Bandingkan dengan Vietnam yang berada di posisi 43 dan Thailand di posisi 34.

    Artinya, upaya penguatan ekspor Indonesia seharusnya tidak hanya berhenti pada sektor hilir seperti diplomasi, tetapi harus menyentuh akar struktural yang selama ini menjadi penghambat utama. Selain itu, langkah pemerintah yang paling strategis saat ini bukan hanya merespons kebijakan Trump, tetapi menjadikan momentum ini sebagai lompatan untuk membangun kemandirian industri ekspor.

    Indonesia perlu memanfaatkan krisis tarif ini sebagai peluang untuk membangun konsorsium ekspor kawasan Asia Tenggara yang tidak hanya memperkuat posisi tawar Indonesia, tetapi juga membuka opsi pasar alternatif secara kolektif.

    Dalam studinya berjudul The Importance of Export Diversification for Developing ASEAN Economies, Phi Minh Hong dari ISEAS – Yusof Ishak Institute yang dimuat di ISEAS Perspective No. 2021/80, 2021 menekankan pentingnya diversifikasi ekspor bagi negara-negara berkembang di ASEAN untuk meningkatkan ketahanan ekonomi dan mengurangi volatilitas pendapatan ekspor.

    Studi ini juga mencatat bahwa negara-negara dengan diversifikasi ekspor yang lebih tinggi cenderung mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan. Sebuah studi yang patut untuk menjadi acuan untuk memperluas pasar ekspor Indonesia.

    Membangun narasi

    Langkah lain yang patut dipertimbangkan adalah mempercepat harmonisasi standar produk ekspor Indonesia dengan pasar non-AS, termasuk Uni Eropa dan negara-negara BRICS. Harmonisasi ini memerlukan peran aktif Kementerian Perdagangan, BPOM, dan Lembaga Standardisasi Nasional untuk bergerak cepat dan koordinatif.

    Dalam situasi di mana satu pintu mulai tertutup, jangan hanya menunggu dibukakan, tapi mulailah membangun rumah dagang sendiri di tempat lain. Penting pula diingat bahwa dalam era ekonomi politik global saat ini, narasi menjadi alat kekuatan tersendiri.

    Pemerintah Indonesia juga perlu membangun narasi yang kuat di hadapan publik internasional, bahwa sikap “tidak membalas” bukan bentuk kelemahan, tetapi posisi strategis berdasarkan prinsip kemitraan yang setara dan respek terhadap hukum internasional. Namun narasi ini tidak akan hidup tanpa langkah konkret di lapangan yang dirasakan langsung oleh pelaku ekspor, UMKM, dan buruh pabrik yang terancam kehilangan pasar.

    Sikap resmi Presiden Prabowo yang akan disampaikan hari ini harus menjadi titik awal bukan akhir. Ia harus segera diikuti dengan langkah-langkah teknokratis yang konkret dan terukur. Diplomasi tingkat tinggi harus dilengkapi dengan aktivasi jalur ekonomi tingkat menengah, termasuk memperkuat kapasitas negosiasi duta besar di negara tujuan ekspor.

    Reformasi regulasi juga harus menyasar pada percepatan perizinan ekspor, transparansi rantai pasok, dan insentif fiskal berbasis performa ekspor. Sebagai negara dengan populasi besar dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia tidak boleh hanya menjadi reaktif dalam setiap perubahan kebijakan internasional.

    Indonesia harus menjadi bagian dari arsitek ekonomi global baru yang lebih adil dan berkelanjutan. Saatnya Indonesia berhenti bersikap seperti anak yang dimarahi, lalu diam. Sudah waktunya negeri ini berbicara lantang, cerdas, dan dengan solusi yang kuat.

    Sumber : Antara

  • Tarif Trump: Kontradiksi Kapitalisme Amerika

    Tarif Trump: Kontradiksi Kapitalisme Amerika

    Jakarta

    Dalam The End of History and the Last Man (1992), Francis Fukuyama, filsuf modern Amerika menyatakan bahwa evolusi manusia berakhir semenjak hadir demokrasi liberal Barat, secara khusus demokrasi Amerika. Salah satu “anaknya” adalah sistem politik Indonesia pasca reformasi.

    Namun, demokrasi liberal tidak berdiri sendiri, ada dua saudara kandung, kapitalisme dan globalisasi, di mana bertiga mereka menjadi penanda selesainya evolusi sosial, budaya, politik, dan ekonomi umat manusia.

    Pemerintah Amerika menjadi Ketua dari dunia, “kepala suku” dari seluruh pemerintahan sejagat. Disebut sebagai “suku” karena masalah-masalah akhirnya diselesaikan dengan cara “adat” daripada hukum, dan dengan “cara adat”, artinya sesuka Kepala Sukunya.

    Disebut sebagai “ketua”, karena di Indonesia masa lalu, KUD bukanlah kepanjangan Koperasi Unit Desa, melainkan Ketua Untung Dulu. Bahkan, untung kemudian, dan untung di akhir, serta untung selamanya. Tidak ada manusia dengan kepentingan daging yang dapat lepas dari hasrat yang tempted tersebut.

    Amerika adalah penghela The True Capitalism. Tidak salah dengan kapitalisme, hanya mereka yang tidak menguasainya saja yang menyalah-salahkannya. Makanya, China juga tidak menjelekkan kapitalisme, meski mereka adalah anak dari Sosialisme Marx. Kapitalisme dan liberalisme adalah pasangan sejoli. Kapitalisme berjalan dengan menyenangkan jika ada liberalisme. Liberalisme tidak ada gunanya jika tidak ada kapitalisme di sampingnya.

    Itulah kredo Amerika, yang dipasarkan ke seluruh dunia. Namun, kapitalisme dan liberalisme adalah mahluk yang “serakah”, dan serakah tidak haram dalam kapitalisme, greed is good. Panggung dari Kapitalisme (+ Liberalisme) adalah Globaliasasi. Lembaga buatan Bretton Wood pada Juli1944, Bank Dunia (International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) dan IMF (International Monetary Fund), sudah lengkap dengan kehadiran dilengkapi dengan WTO (Badan (Liberalisasi) Perdagangan Dunia) pada 1 Januari 1995, yang embrionya diawali dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang dibuat 1947.

    Kontradiksi

    Amerika bercita-cita luhur, menjadi kota yang berdiri di atas bukit, menyinari seluruh dunia. Amerika adalah penolong dunia. Amerika membentuk penyelesaian Perang Dunia I pada tahun 1918, setelah menjadi bagian dari Sekutu untuk mengalahkan Blok Sentral. Juga pada Perang Dunia. Tanpa bantuan Amerika, Jerman tidak pernah dapat dikalahkan.

    Demikian juga Jepang, di Asia dan Pasifik. Setelah PD II Amerika menjadi Dewa Penolong Eropa dengan bantuan massif Marshall Plan-nya, dengan mentransfer $13,3 miliar (setara dengan $173,8 miliar pada tahun 2024) dalam program pemulihan ekonomi ke ekonomi Eropa Barat.

    Tapi, bagi Amerika, there is no such of free lunch. Investasi America membanjiri Eropa dan kemudian ke seluruh dunia. Perusahaan minyaknya mengusasai ladang-ladang minyak raksasa di penjuru bumi. Produknya menjadi pilihan sebagai produk terbaik.

    Sejak tahun 1950an ekonominya menguasai dunia, meski berjuang untuk melawan Blok Timur hingga kejatuhan Uni Soviet pada 1991. Premis Fukuyama benar: the end of history. Blok Timur, termasuk Rusia, sisa terbesar Soviet, memilih menjadi kapitalis. China, dengan ideologi komunisnya, juga memilih jalan kapitalis.

    Seharusnya Amerika berbahagia selamanya, seperti dongeng HC Andersen. Namun ternyata, KUD tidak berlaku seluruhnya. Ketua Untung Dulu, berlaku hanya untung di depan, di Tengah dan belakang. Kapitalisme punya hukum sendiri yang mungkin tidak pernah dibayangkan Amerika. Pertama, persaingan. Malangya, pada globalisasi, seperti kata Gary Hamel dalam Reinventing the Basis of Competition (1996), bahwa globalisasi bukanlah persaingan antar negara, melainkan perusahaan-perusahaan dari negara-negara tersebut.

    Liberalisme memungkinkan teknologi, pengetahuan, dan ketrampilan berpindah dari satu koloni ke koloni lain dengan sangat cepat. Pada tahun 1980an perusahaan-perusahaan di Jepang mulai mengambil alih dominasi Amerika bahkan di Amerika. Pada tahun 2000an perusahaan-perusahaan Korea menjadi pesaing kuat baru.

    Pada periode yang sama, China menjadi pemain dominan, bahkan di semua lini, termasuk berkenaan dengan pendapatan. Untuk memperoleh laba yang tinggi, sebagaimana kredo kapitalisme, maka perusahaan-perusahaan besar Amerika melakukan outsourcing produksinya ke China. Mulai dari Nike hingga Iphone.

    Tapi, China lebih cerdas dari kita, bahkan lebih cerdas dibanding Amerika. Mereka bukan saja “menggerojok” Amerika dengan produk elektronik, mesin, mobil, tekstil dan produk tekstil, bahkan hingga buah, sayur, bawang putih, hingga ikan dan udang. Masyarakat Amerika menikmati produk berukualitas dan murah.

    Di balik itu, kedayasaingan industri modern dan pertanian Amerika semakin terdesak oleh China. Amerika mungkin masih digdaya di pesawat tebang, peralatan militer, kedelai, jagung, dan gandum.

    Namun, sebagian besar lain mudah terdesak. Aturan main yang sebelumnya menguntungkan Amerika, kini, secara fair, menguntungkan semua pelaku dari setiap negara. Sebelumnya Amerika menjadi juara karena teknologi, pengetahuan, dan ketrampilannya jauh lebih maju, kini jarak tersebut makin dekat, bahkan ada yang sudah melewati.

    Strategi melakukan standarisasi lokasi eksport tidak menjadi solusi. Pelabuhan-pelabuhan di China sudah memenuhi persyaratan Amerika. Mulai dari Shanghai, Ningbo-Zhoushan, Shenzhen, Qingdao, Guangzhou, hingga Hongkong. Apalagi standarisasi manajemen seperti ISO hingga Malcolm Baldrige. Semuanya dipenuhi. Termasuk standar etika dan anti-korupsi. Belum lagi negara-negara Eropa Barat yang dengan cepat mengejar ketertinggalannya, seperti Jerman, Inggris, dan Belanda. Balapan kapitalisme yang diperkenalkan Amerika sebagai standar balapan dunia sudah tidak lagi menguntungkan Amerika.

    Memang, mereka nasih punya Meta (grup facebook) dan Alphabet (grup google) serta Microsoft, hingga Amazon, ditambah kluster industri digital di California dan sekitarnya, termasuk Dell, Intel, AMD, NVIDIA, dan sejenisnya. Juga industri keuangan, konsultan, dan jasa lainny. Namun, bagi Amerika, tidak cukup kemenangan ditentukan oleh beberapa kluster saja. Amerika harus menang di semua kluster kapitalisme. Itulah kredo Amerika yang diyakini Trump.

    Tapi, menggunakan “cara kapitalisme” ternyata tidak cukup, karena sudah terjadi kontradiksi kapitalisme Amerika. Sistem yang mereka buat dan diekspor ke seluruh dunia, menjadi backfire bagi dirinya sendiri. Donald Trump berfikir keras untuk menguasai dunia selain dengan cara kapitalisme. Inilah yang dilakukan hari ini.

    Strategi Trump, Strategi Baru Amerika

    Hari ini Amerika, di bawah Trump, hendak membuat Amerika sehebat dulu. Kebijakan besarnya sangat jelas MAGA: Making America Great Again. Strategi pertama adalah strategi tarif. Trump menerapkan tarif berlapis.

    Pertama, tarif dasar 10%yang berlaku untuk semua impor dari semua negara. Kedua, tarif tambahan (timbal balik) untuk negara tertentu, yang dihitung berdasarkan setengah dari tarif yang negara tersebut kenakan pada AS.

    Ketiga, tarif eksisting (jika ada), misalnya China sudah memiliki tarif sebelumnya, yang tetap berlaku dan ditambahkan ke tarif baru. China akan dikenakan tarif berlapis sebesar tarif eksisting 20% dan 34%, sehingga total tarifnya mencapai 54%. Indonesia dikenakan tarif sebesar 32% yang akan berlaku mulai tanggal 9 April 2025. Vietnam dikenakan tarif sebesar 46%

    Kebijakan publik yang diajarkan hari ini adalah bagaimana mengatur domestik dan hubungan internasional. Satu hal yang jarang, atau bahkan tidak pernah diajarkan, adalah memahami pikiran negara lain. Nampaknya policy makers Indonesia tidak memikirkan itu. Model dan modal berfikir kita adalah hubungan baik dengan Amerika, dan kita menikmati berbagai fasilitas yang mereka berikan.

    Ketika “badai” datang, baru kita sepertinya “plonga-plongo”. Indonesia jelas bukan musuh Amerika, dan Amerika pun tidak pernah memusuhi Indonesia. Hanya, Amerika tidak bisa secara membuat kebijakan untuk dunia secara asmiterik, apalagi itu untuk memenuhi kepentingannya sendiri.

    Vietnam langsung menge-nol-kan bea masuk produk AS, dan meningkatkan impor dari AS, untuk menyeimbangkan defisit transaksi keduanya. Amerika akan melakukan hal yang sama, mengenolkan tarif buat Vietnam. Apalagi Vietnam adalah proksi industri Amerika terhadap China. Mereka telah menggantikan China sebagai produsen produk yang diperlukan AS dan melakukan eskport langsung ke AS.

    Bagaimana Indonesia? Indonesia punya ekspor tekstil dan produk tekstil, alas kaki, minyak sawit, karet, furnitur, udang dan produk-produk perikanan laut. Pada Februari 2025, ekspor nonmigas Indonesia ke Amerika Serikat (AS) mencapai11,35%dari total ekspor nonmigas. Persentase yang signifikan. Jika total ekspor 20204 mencapai US$264,7 miliar, maka setidaknya total ekspor ke AS pada tahun 2025, dengan asumsi sama, US $ 30 miliar, bahkan lebih. Atau, setidaknya 19,42% dari Cadangan devisa RI yang US $154,5 miliar.

    Pertanyannya adalah bagaimana respons kebijakan kita. Dari ilmu kebijakan publik, disarankan tiga respon kebijakan. Pertama, dan yang paling penting, adalah memanfaatkan kebijakan Amerika. Meskipun Trump dapat mengklaim mereka juga comply kepada aturan WTO, sebenarnya mereka juga tidak comply.

    Namun, karena kekuatan dan kekuasaannya, maka kebijakan impos tarif tersebut tidak dapat dihalangi. Indonesia dapat menggunakan kebijakan Amerika untuk membuat kebijakan yang sama. Istilahnya, riding the wave. Terutama kepada negara-negara selain Amerika yang merugikan neraca perdagangan dan industri dalam negeri. Mungkin juga kita perlu merevisi UU 6/2023 tentang Cipta Kerja, dan sejumlah kebijakan ekstra liberalisasi kita.

    Kedua, buka keran impor dari Amerika, khususnya untuk produk yang selama ini diembargo, termasuk alutsista atau persenjataan militer. Dengan demikian, meskipun mereka tetap mengembargo, kita telah memberikan kebijakan resiprokal, dan mereka tidak dapat menolak resirokalitas tersebut, karena tidak bersifat eksepsionalitas.

    Buka juga keran untuk impor produk yang diperlukan Indonesia ke depan, mulai dari super konduktor hingga pusat-pusat data, dengan tarif nol persen. Kementerian investasi perlu bekerjasama dengan BIN dan Lemhannas untuk memastikan produk masa depan tersebut segera bisa diakuisisi.

    Ketiga, mengembangkan kebijakan keseimbangan geopolitik, dari keterdekatan berlebihan dengan kekuatan-kekuatan anti AS, termasuk BRICS, menjadi keseimbangan. Amerika, dalam jangka waktu panjang akan tetap menjadi kekuatan inovasi dunia, pasar yang kuat, dan sumber pertahanan militer yang selalu adidaya. Kebijakan Trump pun, dalam waktu setahun ke depan, akan nampak manfaatnya bagi Amerika, yaitu kebangkitan produktivitas domestik mereka.

    Saat ini mungkin tidak mudah bagi Trump, namun jika ia mampu bertahan dan membuktikan MAGA-nya, ia akan diterima. Tidak berbeda dengan Roosevelt di tahun 1933, dengan kebijakan New Deal-nya, dengan motto “3 Rs”: Relief, Recovery, dan Reform, yang kontroversal. Keberhasilan menyelamatkan Amerika, membuatnya dipilih menjadi Presiden melampaui masa jabatan yang dibolehkan konstitusi (1933 – 1945).

    Pembelajaran

    Kebijakan Trump membuat setiap negara “jantungan”. Saya tidak begitu sepakat dengan para senior yang mengatakan “Ini sudah biasa, tidak usah terkejut, toh mereka yang rugi”. Mengirimkan delegasi ke AS, dipimpin oleh Prof. Bambang Brojonegoro, Mantan Menristek, Menkeu, dan Kepala Bappenas, adalah baik.

    Harapan kita adalah, mereka tidak melakukan pertemuan dengan gagasan yang standar, yang biasa. Karena, dalam kondisi luar biasa, cara-cara lama tidak banyak nilainya. Parajuru runding perlu dibekali dengan gagasan yang out of the box, yang membuat Indonesia mempunyai possi riding the wave. Tentu saja, gagasan tersebut harus merupakan gagasan dari Presiden sebagai CEO Republik Indonesia, atau setidaknya gagasan yang disetujui Presiden. Artinya, Tim Krisis yang dipimpin langsung oleh Presiden perlu mindset tersebut.

    Pembelajaran selanjutnya, bahwa kebijakan publik yang diajarkan di kelas-kelas, termasuk di negara maju, sudah tidak cukup lagi dalam merespon perubahan terkini. Kebijakan publik sebagai praktek dalam dunia dengan terra incognita-nya, adalah kebijakan publik yang beyond public policy.

    Kini waktunya bagi para akademisi dan praktisi untuk belajar kembali untuk membangun kekuatan baru. Kejadian impos kebijakan tarif yang ekstrem dari Pemerintahan Trump adalah pelajaran besar bagi kita para policy makers, seperti nasihat Marshall Goldsmith, bahwa What Got You Here Won’t Get You There (2014). Kemampuan-kemampuan yang membuat Indonesia sampai menjadi hari ini, tidak cukup untuk membawa Indonesia ke masa depan. Kita perlu learning government, kita perlu menjadi the learning nation.

    Riant Nugroho, Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (MAKPI)

    (hns/hns)

  • Transformasi Digital Sebagai Pilar Ketahanan Ekonomi Nasional di Era Perang Dagang Global – Halaman all

    Transformasi Digital Sebagai Pilar Ketahanan Ekonomi Nasional di Era Perang Dagang Global – Halaman all

     

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dunia sedang mengalami pergeseran geopolitik dan ekonomi yang luar biasa.

    Direktur Indonesia Digital & Cyber Institute (IDCI) Yayang Ruzaldy mengatakan di tengah tekanan inflasi, krisis energi, dan ketegangan antara negara-negara besar, kebijakan proteksionisme kembali muncul dalam bentuk perang dagang modern. 

    Amerika Serikat baru-baru ini memberlakukan tarif resiprokal terhadap semua mitra dagangnya, termasuk Indonesia dengan tarif sebesar 32 persen. 

    “Hal ini tidak hanya menjadi pukulan bagi neraca perdagangan, tetapi juga menjadi sinyal yang jelas bahwa kekuatan ekonomi di masa depan tidak lagi bergantung pada ekspor fisik saja, tetapi juga pada nilai tambah dari inovasi dan digitalisasi,” ujar Yayang Ruzaldy di Jakarta, Sabtu (5/4/2025).

    Alih-alih melihat kebijakan tarif sebagai batu sandungan, Indonesia harus menggunakannya sebagai momentum untuk bertransformasi.

     Menurut dia ketika biaya logistik meningkat dan akses pasar menjadi lebih terbatas, saluran digital tetap terbuka lebar. 

    “Oleh karena itu, transformasi digital harus menjadi pilar utama dalam strategi ketahanan dan kedaulatan ekonomi nasional, bukan sekadar pelengkap modernisasi,” ujarnya.

    Berikut penjelasan selengkapnya Yayang Ruzaldy soal dampak tarif global terhadap struktur ekonomi Indonesia :

    Tarif 32% yang dikenakan pada sejumlah komoditas unggulan Indonesia berdampak langsung pada sektor manufaktur, pertanian, dan logistik. 

    UMKM yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian nasional juga tertekan oleh lonjakan biaya produksi dan kesulitan mengakses pasar luar negeri.

     Data statistik dari World Integrated Trade Solution (WITS) memperkirakan bahwa setiap kenaikan tarif sebesar 10?pat mengurangi volume ekspor sebesar 7%.

    Dalam konteks Indonesia, dia mengatakan tarif sebesar 32?rarti potensi kerugian ekspor yang signifikan dan efek domino terhadap pendapatan negara, lapangan kerja, dan stabilitas makroekonomi.

    “Namun, justru di tengah tekanan inilah peluang muncul. 

    Dunia sedang memasuki fase penyeimbangan kembali di mana kekuatan ekonomi global tidak lagi semata-mata ditentukan oleh produksi fisik, tetapi oleh efisiensi, kreativitas, dan kecepatan inovasi melalui teknologi digital,” ujar Ruzaldy.

    Transformasi Digital sebagai Solusi Strategis dan Adaptif

    1. Digitalisasi Industri dan Rantai Nilai

    Teknologi digital seperti AI, IoT, dan big data dapat merevolusi proses produksi industri nasional, terutama manufaktur dan logistik. Dengan otomatisasi, efisiensi meningkat dan biaya operasional menurun. 

    Studi McKinsey Global Institute menunjukkan bahwa digitalisasi dapat meningkatkan produktivitas sektor manufaktur sebesar 25%. 

    Blockchain memberikan transparansi dan kecepatan dalam rantai pasokan, bahkan lintas negara, mengurangi ketergantungan pada sistem konvensional yang rentan terguncang oleh kebijakan tarif.

    2. Pemberdayaan UMKM melalui Ekosistem Digital

    Transformasi digital memungkinkan UMKM untuk keluar dari keterbatasan pasar lokal dan menembus pasar global melalui e-commerce, pemasaran berbasis AI, dan pembayaran digital. Laporan Google-Temasek-Bain 2023 memperkirakan bahwa ekonomi digital Indonesia akan mencapai USD 146 miliar pada tahun 2025. Dalam ekosistem ini, fintech dan pinjaman blockchain memfasilitasi akses keuangan untuk usaha kecil, yang secara struktural memperkuat daya saing mereka.

    3. Pengembangan Infrastruktur dan Regulasi Pendukung

    Digitalisasi nasional tidak akan berhasil tanpa infrastruktur yang solid. Indonesia harus mempercepat pembangunan jaringan serat optik, pusat data nasional, dan sistem cloud yang berdaulat. Laporan Bank Dunia 2023 mencatat bahwa logistik digital dan regulasi yang cerdas dapat meningkatkan efisiensi perdagangan lintas batas sebesar 20%. Di saat yang sama, negara harus memastikan kedaulatan data dan keamanan siber untuk menjaga kepercayaan publik dan pelaku bisnis.

    Analisis Strategis: Data, Daya Saing, dan Daya Tahan

    Analisis Kuantitatif

    Transformasi digital memiliki dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia. Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) mencatat bahwa digitalisasi dapat menyumbang tambahan 0,75?ri pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tahunan. 

    Hal ini menunjukkan bahwa adopsi teknologi digital di berbagai sektor dapat meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan daya saing perekonomian nasional. Peningkatan ini berasal dari berbagai faktor, seperti digitalisasi industri, adopsi teknologi canggih dalam rantai pasok, dan penguatan ekosistem bisnis berbasis teknologi.

    Selain itu, Bank Dunia memperkirakan sektor digital dan turunannya memiliki potensi besar dalam menciptakan lapangan kerja baru. Menurut laporan terbaru, transformasi digital dapat menciptakan sekitar 27 juta lapangan kerja baru di Indonesia pada tahun 2030. Peningkatan ini akan terjadi seiring dengan semakin banyaknya perusahaan yang mengandalkan teknologi digital, baik dalam proses produksi, pemasaran, maupun distribusi. Hal ini mencerminkan betapa pentingnya digitalisasi dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi dan membuka akses lapangan pekerjaan bagi masyarakat.

    Analisis Kualitatif

    Transformasi digital tidak hanya berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi secara kuantitatif, tetapi juga membentuk ekosistem bisnis dan sosial yang lebih tangguh, kolaboratif, dan adaptif terhadap perubahan global. Dengan digitalisasi, para pelaku bisnis, baik dari sektor besar maupun UMKM, dapat lebih fleksibel dalam menyesuaikan strategi bisnisnya dengan perubahan kondisi pasar dan ekonomi global. Teknologi digital juga mendorong peningkatan kolaborasi antar industri, di mana perusahaan-perusahaan dari berbagai sektor dapat terhubung melalui platform digital untuk berbagi sumber daya, informasi, dan inovasi.

    Selain itu, transformasi digital juga memperkuat kapasitas nasional dalam menghadapi guncangan eksternal, seperti embargo perdagangan, fluktuasi harga komoditas, atau gangguan logistik global.

     Dengan sistem berbasis digital, ketahanan ekonomi Indonesia menjadi lebih kuat karena rantai pasok dapat dioptimalkan secara real-time dan ketergantungan terhadap mekanisme konvensional yang rentan terhadap hambatan geopolitik dapat dikurangi. Digitalisasi juga memungkinkan diversifikasi sumber pendapatan bagi negara, sehingga perekonomian tidak hanya bergantung pada ekspor komoditas, tetapi juga sektor-sektor berbasis inovasi dan teknologi.

    Rekomendasi Strategis untuk Semua Pemangku Kepentingan

    1. Pemerintah

    Pemerintah perlu mendesain ulang kebijakan perdagangan luar negeri dengan mengadopsi pendekatan yang mengutamakan digital. Dalam menghadapi tantangan perang dagang global dan proteksionisme, strategi perdagangan berbasis digital akan membantu Indonesia memperluas akses pasar internasional tanpa harus bergantung pada ekspor fisik.

     Pemerintah juga perlu memberikan insentif fiskal bagi perusahaan yang mengadopsi teknologi digital, seperti keringanan pajak bagi industri yang menerapkan otomatisasi, kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), atau digitalisasi rantai pasok. Selain itu, pembentukan Digital Sovereign Fund merupakan langkah strategis untuk mendukung investasi di sektor teknologi nasional, sehingga mendorong inovasi dan pengembangan ekosistem digital yang mandiri dan berdaya saing tinggi.

    2. Industri dan Sektor Swasta

    Pelaku industri dan perusahaan swasta harus mulai menerapkan otomatisasi dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dalam rantai pasok mereka. Dengan penerapan teknologi ini, efisiensi operasional dapat meningkat, biaya produksi dapat ditekan, dan daya saing produk di pasar global akan semakin kuat. Selain itu, industri juga perlu membangun kemitraan regional melalui platform digital Business-to-Business (B2B). Kolaborasi lintas batas berbasis digital ini memungkinkan perusahaan-perusahaan Indonesia untuk terus berpartisipasi dalam rantai pasokan global, meskipun di tengah pengetatan kebijakan proteksionisme dan tarif perdagangan.

    3. UMKM

    UMKM harus bertransformasi menjadi bisnis digital-native untuk memperluas jangkauan pasar mereka ke tingkat global. Dengan memanfaatkan e-commerce lintas negara, para pelaku UMKM dapat menjangkau konsumen internasional tanpa harus bergantung pada ekspor konvensional. Selain itu, penggunaan teknologi finansial (tekfin) menjadi kunci dalam meningkatkan akses permodalan dan pengelolaan keuangan yang lebih modern. Fintech memungkinkan UMKM memperoleh modal usaha melalui skema kredit digital atau blockchain lending, sehingga dapat lebih mudah berkembang tanpa terkendala keterbatasan akses perbankan tradisional.

    4. Investor

    Investor sebaiknya memprioritaskan investasi pada perusahaan rintisan teknologi lokal, terutama yang berfokus pada sektor logistik digital dan ekosistem kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Investasi di bidang-bidang ini akan mempercepat transformasi digital nasional sekaligus meningkatkan daya saing Indonesia dalam ekonomi digital global. Selain itu, kolaborasi antara modal ventura dan inkubator digital nasional juga perlu didorong. Dengan ekosistem yang kuat, perusahaan rintisan teknologi di Indonesia dapat berkembang lebih cepat dan memberikan dampak ekonomi yang signifikan, baik dalam penciptaan lapangan kerja maupun peningkatan produktivitas industri.

    5. Akademisi dan Komunitas Digital

    Dunia akademis perlu melakukan reformasi kurikulum pendidikan vokasi dan universitas agar dapat menghasilkan talenta digital yang siap bersaing di industri. Kurikulum yang relevan dengan perkembangan teknologi, seperti AI, data science, dan blockchain, harus segera diimplementasikan untuk memastikan lulusannya siap menghadapi tantangan dunia kerja yang semakin terdigitalisasi. Selain itu, para akademisi dan komunitas digital juga harus aktif dalam penelitian berbasis data dan inovasi kebijakan untuk mendukung arah pengembangan digital nasional. Hasil riset ini dapat menjadi dasar bagi pemerintah dan sektor industri dalam merancang kebijakan dan strategi bisnis berbasis teknologi yang lebih efektif dan berkelanjutan.

    Dengan langkah-langkah strategis tersebut, seluruh pemangku kepentingan dapat berperan aktif dalam membangun ketahanan ekonomi digital Indonesia. 

    Kolaborasi antara pemerintah, industri, UMKM, investor, dan akademisi menjadi kunci utama dalam memastikan bahwa transformasi digital tidak hanya sekadar adaptasi terhadap perkembangan zaman, tetapi juga menjadi fondasi bagi kemandirian dan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan.

    Menyatukan Langkah, Mencapai Kedaulatan Ekonomi Digital

    Kebijakan tarif resiprokal dan perang dagang global bukanlah akhir dari kisah pertumbuhan Indonesia, melainkan titik balik menuju kemandirian yang lebih besar.

     Transformasi digital bukan sekadar adopsi teknologi, tetapi merupakan lompatan strategis bagi bangsa ini untuk keluar dari ketergantungan struktural dan membangun ekonomi berbasis pengetahuan, kreativitas, dan inovasi.

    Dengan kepemimpinan yang berani dan kolaborasi lintas sektor-pemerintah, bisnis, akademisi, dan komunitas-Indonesia tidak hanya dapat bertahan, tetapi juga unggul sebagai kekuatan digital baru di Asia dan dunia.

  • Orang Sudah Bisa Disebut Kaya di RI kalau Sudah Lakukan Ini

    Orang Sudah Bisa Disebut Kaya di RI kalau Sudah Lakukan Ini

    Jakarta

    Badan Pusat Statistik (BPS) membagi masyarakat dalam lima golongan yaitu miskin, rentan, kelas bawah, kelas menegah, dan kelas atas alias kaya berdasarkan jumlah pengeluaran per bulan. Lantas kapan seseorang dapat dikategorikan sebagai orang kaya?

    Melansir dari situs resmi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Learning Center, pengelompokan kelas masyarakat RI didasarkan pada ukuran Bank Dunia, yakni seberapa besar pengeluaran masyarakat jika dibandingkan dengan kelas pengeluaran dengan garis kemiskinan.

    Secara rinci masyarakat yang masuk dalam kelompok miskin memiliki pengeluaran per kapita kurang dari garis kemiskinan, lalu kelompok rentan dengan pengeluaran 1-1,5 kali dari garis kemiskinan, dan kelas menuju menengah memiliki pengeluaran 1,5-3,5 kali dari garis kemiskinan.

    Kemudian itu kelompok kelas menengah memiliki pengeluaran per kapita sekitar 3,5-17 kali dari garis kemiskinan. Barulah setelah itu mereka dengan pengeluaran per kapita di atas 17 kali garis kemiskinan yang dapat dikategorikan sebagai orang kelas atas alias kaya.

    Merujuk dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada 2024 lalu, garis kemiskinan di Indonesia sebesar Rp 582.932 per kapita per bulan. Artinya kelompok kelas atas adalah mereka yang ‘uang jajan’ per bulannya sebesar Rp 9.909.844.

    Jika dibulatkan kelas atas atau orang kaya adalah mereka yang memiliki gaji minimal Rp 10 juta. Ini merupakan kelompok kelas dalam pembagian menurut BPS, sehingga mereka yang punya gaji jauh lebih besar dari itu tetap masuk dalam kelas atas.

    Kemudian untuk kelas menengah ukurannya ialah memiliki pengeluaran 3,5-17 kali dari garis kemiskinan atau sekitar Rp 2,04 juta sampai Rp 9,90 juta per kapita per bulan.

    Sedangkan menuju kelas menengah 1,5-3,5 kali garis kemiskinan atau senilai Rp 874,39 ribu sampai Rp 2,04 juta, kemudian rentan miskin ialah 1-1,5 kali garis kemiskinan atau Rp 582,93 ribu sampai dengan Rp 874,39 ribu.

    (fdl/fdl)

  • Tarif Trump Ganas, Pulau Penguin di Kutub Ini Juga Ikut Kena!

    Tarif Trump Ganas, Pulau Penguin di Kutub Ini Juga Ikut Kena!

    Jakarta, CNBC Indonesia – Tarif yang dicanangkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tidak hanya menyasar negara-negara besar dunia. Bahkan, pulau yang hanya berpenghuni penguin saja ikut kena.

    Kejadian ini dialami oleh Kepulauan Heard dan McDonald, wilayah sekelompok pulau vulkanik tandus dan tak berpenghuni di dekat Antartika. Kepulauan yang tertutup gletser dan menjadi rumah bagi penguin itu terseret dalam perang dagang Donald Trump, karena presiden AS memukul mereka dengan tarif 10% untuk barang-barang.

    Meski masuk menjadi wilayah Australia, Kepulauan Heard dan McDonald masuk dalam daftar yang dirilis oleh Gedung Putih berisi “negara-negara” yang akan dikenakan tarif perdagangan baru.

    “Tidak ada tempat di bumi ini yang aman,” kata Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, menanggapi tarif ini, Kamis (3/4/2025) dikutip Guardian.

    Angka ekspor dari Kepulauan Heard dan McDonald bahkan lebih membingungkan. Wilayah tersebut memang memiliki perikanan, tetapi tidak ada bangunan atau tempat tinggal manusia sama sekali yang berada di atasnya.

    Namun, menurut data ekspor dari Bank Dunia, AS mengimpor produk senilai US$1,4 juta (Rp 23 miliar) dari Kepulauan Heard dan McDonald pada tahun 2022, yang hampir semuanya merupakan impor “mesin dan listrik”. Tidak jelas barang apa saja yang dimaksud. Dalam lima tahun sebelumnya, impor dari daerah itu berkisar antara US$15.000 (Rp 248 juta) hingga US$325.000 (Rp 5,3 miliar) per tahun.

    Selain Kepulauan Heard dan McDonald, wilayah Australia lainnya yang terkena tarif Trump adalah Kepulauan Cocos (Keeling), Pulau Christmas, dan Pulau Norfolk. Pada tahun 2023, Pulau Norfolk mengekspor barang senilai US$655.000 (Rp 10,8 miliar) ke AS, dengan ekspor utamanya adalah alas kaki kulit senilai US$413.000 (Rp 6,8 miliar).

    Namun, data ini dibantah keras oleh Administrator Pulau Norfolk, George Plant. Menurutnya, wilayah itu tidak mengekspor barang apapun ke AS.

    “Tidak ada ekspor yang diketahui dari Pulau Norfolk ke AS dan tidak ada tarif atau hambatan perdagangan non-tarif yang diketahui atas barang yang masuk ke Pulau Norfolk.”

    (tps/wia)

  • Program MBG Dipaparkan di KTT N4G Paris 2025 – Halaman all

    Program MBG Dipaparkan di KTT N4G Paris 2025 – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dipaparkan di Konfernsi Tingkat Tinggi (KTT) Nutrisi Pertumbuhan/Nutrition for Growth (N4G) Summit di Paris, Prancis, 27-28 Maret 2025.

    KTT N4G Paris 2025 merupakan forum pertemuan puncak multi-pemangku kepentingan yang mengadvokasi komitmen keuangan dan politik tentang gizi dan keterkaitan dengan sektor-sektor yang lain.

    Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan (PMK) Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Amich Alhumami mewakili tim delegasi Indonesia. 

    Peserta inti KTT ini terdiri dari 32 negara dan peserta non intinya terdiri dari puluhan kelembagaan internasional yang mencakup sektor swasta, perbankan, industri, lembaga penelitian, organisasi masyarakat sipil, filantropi, dan sebagainya. 

    KTT N4G 2025 diselenggarakan oleh Kementerian Eropa dan Kementerian Luar Negeri Prancis atas sokongan UNICEF, Stronger Foundations for Nutrition, dan Scaling Up Nutrition (SUN), Paris Peace Forum, The Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN), dan organisasi global lainnya. 

    Selain Amich, palenis lainnya adalah H.E. Baroness Chapman, Menteri Bidang Pembangunan Internasional Inggris; H.E. Carlos Gabriel Cardoza, Wakil Menteri Bidang Kebijakan Publik dan Manajemen Kesehatan El Salvador; dan Juan Pablo Uribe, Direktur Global untuk Kesehatan Gizi dan Populasi di Bank Dunia dan Direktur di Global Financing Facility for Women Children and Adolescents (GFF).

    “Gizi bukan hanya masalah kesehatan. Masalah ini juga sangat terkait dengan pendidikan, perlindungan sosial, pertanian, dan pembangunan ekonomi. Itulah sebabnya kebijakan kami berfokus pada tata kelola yang kuat, pembiayaan yang berkelanjutan, dan akuntabilitas untuk memastikan dampak yang nyata,” papar Amich Alhumami pada sesi diskusi panel N4G Paris 2025, dikutip dari keterangan tertulis yang diterima Tribunnews, Kamis (3/4/2025). 

    Ia mengatakan, bagi Indonesia, di antara nilai-nilai yang menginspirasi dari KTT N4G Paris 2025 adalah energi, komitmen, dan visi bersama secara global dalam mengatasi kesenjangan akses, kualitas, dan keterkaitan erat gizi dengan sektor pembangunan yang lain. 

    “Nutrisi bukan hanya masalah teknis, ini adalah masalah keadilan, martabat, dan kesempatan untuk semua, nutrisi dan makanan sehat adalah hak rakyat,” lanjut Amich.

    Pada kesempatan itu, Amich memaparkan lima strategi pemerintah RI mengatasi permasalahan gizi, termasuk melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG).

    Pertama, mengintegrasikan kebijakan pembangunan gizi dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2025-2029 agar gizi tetap menjadi prioritas utama secara konstitusional. 

    Kedua, melacak dan menandai pengeluaran, baik belanja maupun alokasi anggaran, untuk gizi, yang ditempuh dengan memastikan investasi mengarah pada perbaikan dalam kehidupan masyarakat. 

    “Setiap satu dolar yang dibelanjakan untuk gizi, harus dipertanggungjawabkan kepada publik untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat,” papar Amich.

    Ketiga, alumnus Universitas Sussex, Inggris itu juga menyebut penguatan peran pemerintah daerah (Pemda) melalui pendanaan dan pengembangan kapasitas untuk memastikan program gizi efektif di tingkat masyarakat.

    “Oleh karena itu, pelaksanaan program pembangunan gizi juga cukup rumit dalam hirarki tata kelola pemerintahan yang bertingkat, pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, sehingga peran Pemda sangat perlu diperkuat dalam pembangunan gizi masyarakat,” papar Amich.  

    Keempat, penggunaan teknologi seperti platform e-HDW atau e-PPGBM. Berbagai perangkat ini, lanjut Amich, untuk membantu pekerja garis depan dalam melacak layanan gizi secara real time.

    Strategi terakhir, berupa perluasan program gizi utama, melalui program MBG di sekolah-sekolah, inisiatif gizi ibu dan anak, dan suplementasi gizi mikro atau mikronutrien.

    Menurut Amich Alhumami, pemerintah Indonesia sudah relatif lama menjadikan gizi sebagai prioritas nasional dan agenda strategis, tetapi pada periode pemerintahan 2024-2029 semakin menonjol. 

    “Itu karena diperkuat oleh Presiden Prabowo Subianto dengan berinvestasi dalam pembangunan gizi melalui program MBG, dengan target anak-anak sekolah, santri, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita, suatu kelompok sasaran strategis yang akan berdampak langsung pada upaya meningkatkan kualitas manusia Indonesia,” ungkapnya. 

    Program MBG sebetulnya tidak disorot secara spesifik oleh para peserta N4G Paris 2025, tetapi menjadi stimulus perbincangan tentang pengalaman pemerintah RI mengatasi kekurangan gizi dan gizi buruk, sehingga menjadi sorotan dunia. 

    Menurutnya, hal itu mengemuka di kalangan pemerintah Prancis, Inggris, Jerman, Swiss, Venezuela, India, Singapura, Kerajaan Lesotho, dll; serta para pemimpin organisasi dunia seperti Bank Dunia untuk Kesehatan, Asian Development Bank (ADB), International Fund for Agricultural Development (IFAD), Nutrition International, The Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN), dan sebagainya. 

    “Rata-rata mereka berpandangan, pengalaman pelaksanaan strategi utama pemerintah RI dalam mengatasi permasalahan gizi dapat meningkatkan human capital & human development untuk mendorong produktivitas dan pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen sampai 2029,” ungkapnya. 

    Program MBG dinilai dapat menjangkau lintas sektor dalam mengatasi permasalahan gizi, prestasi belajar siswa, dan pangan dengan kelompok sasaran yang besar sekitar lebih dari 82 juta jiwa.

    Sehingga program MBG diharap dapat menjadi instrumen penting dalam mengonsolidasi kebijakan pembangunan manusia dan pertumbuhan ekonomi serta mempercepat target kedaulatan pangan.

    Faktor Penghambat Pembangunan Gizi

    Pada kesempatan itu, Amich juga memaparkan tiga faktor utama yang memungkinkan dan menghambat kemajuan pembangunan gizi di Indonesia. 

    Pertama, kemauan politik yang kuat.

    “Gizi merupakan prioritas nasional, dan komitmen ini memastikan kami untuk tetap berada di jalur yang benar,” terang Amich. 
     
    Kedua, tata kelola dan akuntabilitas yang lebih baik.

    “Melacak anggaran gizi dan memantau hasilnya membantu memastikan bahwa investasi membuat perbedaan menjadi faktor ini,” sambung Amich.

    Ketiga, kolaborasi lintas sektor.

    “Gizi bukan hanya tentang makanan, ini tentang pendidikan, sanitasi, perlindungan sosial, dan stabilitas ekonomi,” lanjut Amich.  

    Tantangan selanjutnya mengubah pola pikir dan perilaku. 

    Nutrisi, ujar Amich Alhumami, juga berkaitan dengan budaya dan kebiasaan. Mendorong pilihan makanan yang lebih sehat memerlukan waktu dan upaya.
     
    Tantangan lainnya mempertahankan pembiayaan jangka panjang.

    Pemerintah Indonesia, kata Amich, terus memastikan bahwa dana untuk nutrisi tetap stabil dan terus bertambah seiring berjalannya waktu. 

    “Kami melihat sejumlah tantangan ini sebagai peluang untuk berinovasi dan melakukan yang lebih baik. Itulah sebabnya kami berinvestasi dalam sistem yang lebih kuat, keterlibatan masyarakat yang lebih baik, dan kebijakan yang lebih cerdas untuk mengatasinya,” papar Amich.

    Sementara itu diketahui, hingga Februari 2025, program MBG telah menjangkau 770 ribu anak, dengan target mencapai 1 juta anak pada akhir Februari 2025.

    Pemerintah menargetkan percepatan program MBG dengan harapan dapat menjangkau 15 juta anak pada September 2025.

    Untuk mendukung pelaksanaan program ini, Badan Gizi Nasional (BGN) telah dibentuk sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam pemenuhan gizi masyarakat Indonesia

    (Tribunnews.com/Gilang Putranto)

  • Ekonom dan IMF Wanti-wanti Dampak Tarif Impor Trump, Resesi Global di Depan Mata?

    Ekonom dan IMF Wanti-wanti Dampak Tarif Impor Trump, Resesi Global di Depan Mata?

    Bisnis.com, JAKARTA – Langkah kontroversial Presiden AS Donald Trump yang mengumumkan tarif impor terbaru ke Amerika Serikat pada Rabu sore (2/4/2025) semakin menambah ketidakpastian ekonomi global yang baru saja pulih dari lonjakan inflasi pascapandemi Covid-19. 

    Kebijakan Trump terkait penetapan tarif minimum dan tarif resiprokal untuk negara-negara mitra dagang AS dapat menjadi titik balik bagi sistem global yang hingga saat ini telah menerima kontribusi kekuatan dan keandalan Amerika sebagai komponen terbesarnya.

    “Tarif impor Trump membawa risiko menghancurkan tatanan perdagangan bebas global yang telah dipelopori oleh AS sendiri sejak Perang Dunia Kedua,” kata Takahide Kiuchi, kepala ekonom di Nomura Research Institute dilansir dari Reuters, Kamis (3/4/2025). 

    Dia memprediksi dampak atas aturan tarif impor AS akan terjadi dalam beberapa bulan mendatang. Inflasi atau kenaikan harga, diikuti dengan penurunan permintaan konsumen, merupakan konsekuensi atas pungutan baru yang diterapkan pada ribuan barang yang dibeli dan dijual oleh konsumen dan bisnis di seluruh dunia. 

    Antonio Fatas, ekonom makro di sekolah bisnis INSEAD di Prancis bahkan melihat keputusan tarif impor Trump sebagai pergeseran ekonomi AS dan global menuju kinerja yang lebih buruk.

    “Lebih banyak ketidakpastian dan mungkin menuju sesuatu yang dapat kita sebut sebagai resesi global. Kita bergerak menuju dunia yang lebih buruk bagi semua orang karena lebih tidak efisien,” kata Fatas, yang pernah menjadi konsultan untuk Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia itu. 

    Berbicara di Rose Garden, Gedung Putih pada Rabu Sore (2/4/2025), Trump mengatakan dia akan mengenakan tarif dasar 10% pada semua barang impor yang masuk ke AS.

    Dalam kesempatan tersebut, Trump juga menunjukkan bagan yang berisi daftar negara mitra dagang terbesar AS yang menerima bea masuk lebih tinggi, antara lain China 34%, Uni Eropa 20%, Vietnam 46%, dan Indonesia 32%.

    Tarif mobil dan suku cadang mobil sebesar 25% telah dikonfirmasi sebelumnya. Trump mengatakan tarif tersebut akan mengembalikan kemampuan manufaktur yang sangat penting secara strategis ke Amerika Serikat.

    Olu Sonola, kepala penelitian ekonomi AS di Fitch Ratings menuturkan di bawah pungutan global baru yang dikenakan oleh Trump, tarif AS pada semua produk impor melonjak menjadi 22%, tarif yang terakhir terlihat sekitar tahun 1910, dari hanya 2,5% pada 2024. 

    “Ini adalah game changer, tidak hanya untuk ekonomi AS tetapi juga untuk ekonomi global,” kata Sonola. “Banyak negara kemungkinan akan berakhir dalam resesi.”

    Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan dalam acara Reuters minggu ini bahwa ia tidak melihat adanya resesi global untuk saat ini. Dia menambahkan bahwa Dana tersebut memperkirakan akan segera melakukan “koreksi” kecil terhadap perkiraan pertumbuhan global 3,3% pada 2025.

    Namun dampaknya terhadap ekonomi nasional akan sangat berbeda, mengingat spektrum tarif yang berkisar dari 10% untuk Inggris, 34% untuk China, hingga 49% untuk Kamboja.

    Jika hasilnya adalah perang dagang yang lebih luas, hal itu akan berdampak lebih besar bagi produsen seperti China, yang akan terus mencari pasar baru dalam menghadapi permintaan konsumen yang menurun di seluruh dunia.

    “Dan jika tarif impor mendorong AS sendiri menuju resesi, hal itu akan sangat membebani negara-negara berkembang yang peruntungannya terkait erat dengan perekonomian terbesar di dunia,” kata Kristalina.