NGO: World Bank

  • Ciptakan Rezim Sendiri, Sekarang Merasa Terzalimi

    Ciptakan Rezim Sendiri, Sekarang Merasa Terzalimi

    Jakarta

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan alasan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menerapkan tarif resiprokal kepada negara mitra dagangnya. Alasan ini diketahuinya setelah melakukan berbagai percakapan bilateral di Washington DC, AS minggu lalu.

    Sri Mulyani mengatakan AS merasa terzalimi oleh sistem atau rezim global saat ini karena dianggap tidak menguntungkannya dan justru dimanfaatkan oleh seluruh negara di dunia. Kondisi sekarang ini menurut AS membuat praktek investasi perdagangan tidak adil.

    “Jadi di Washington kemarin headline dan topik paling menonjol adalah statement AS bahwa mereka merasa dizalimi oleh sistem global,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa di kantornya, Jakarta, Rabu (30/4/2025).

    Padahal, kata Sri Mulyani, sistem global didesain dan diciptakan sendiri oleh AS sebagai pemenang perang dunia II. Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank) disebut diinisiasi oleh AS.

    “Jadi AS menciptakan sendiri suatu rezim global yang sekarang dianggap rezim global itu menjadi suatu rezim atau sistem yang tidak menguntungkan AS sendiri karena dianggap dimanfaatkan oleh seluruh negara di dunia untuk menuju ke marketnya AS dan negara-negara yang kemudian melakukan praktek investasi perdagangan yang dianggap tidak adil, utamanya dengan memberikan subsidi atau trade support kepada dunia usahanya,” ucapnya.

    Sri Mulyani pun heran dengan AS sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia tetapi komplain dengan persaingan global. Padahal yang biasanya komplain adalah negara berkembang.

    “Sempat saya menyampaikan dalam intervensi, selama ini globalisasi dan persaingan global ini yang paling banyak komplain biasanya negara berkembang, negara yang lemah karena merasa susah bersaing secara level playing field, merasa dieksploitasi,” ungkap Sri Mulyani.

    Oleh karena itu, Sri Mulyani mengingatkan bahwa tatanan global telah berubah dan mengalami guncangan sangat besar. Apalagi tarif resiprokal AS dibalas oleh China yang menyebabkan perang dagang.

    “Jadi size (ekonomi) nomor 1 dan 2 saling mengalami persaingan atau peperangan global melalui perdagangan. Dampaknya tidak hanya dampak langsung, namun dampak yang lebih fundamental adalah sistem global akan mengalami perubahan dan belum tahu arahnya seperti apa,” ucap Sri Mulyani.

    (aid/rrd)

  • Sri Mulyani Ungkap Curhat Anak Buah Trump: Amerika Terzalimi oleh Sistem Global

    Sri Mulyani Ungkap Curhat Anak Buah Trump: Amerika Terzalimi oleh Sistem Global

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan alasan mendasar pemberlakukan tarif resiprokal dari Presiden AS Donald Trump, yakni akibat negara tersebut merasa terzalimi dan adanya ketidakadilan atas sistem global.

    Sri Mulyani yang baru saja kembali dari Washington D.C dalam rangka menghadiri pertemuan G20 dan IMF—World Bank Spring Meetings, menyampaikan bahwa keluhan tersebut diungkapkan oleh Menteri Keuangan AS Scott Bessent dan menjadi topik pembicaraan oleh para perwakilan dunia. 

    “Headline dan topik paling menonjol dalam pernyataan AS [dalam pertemuan tersebut] bahwa mereka adalah merasa dizalimi oleh sistem global. Tiba-tiba di forum ini Menteri Keuangan AS mengakatan we are treated unfairly,” ujarnya dalam konferensi pers APBN Kita, Rabu (30/4/2025).  

    Padahal, kata Sri Mulyani, rezim global yang saat ini berlangsung diciptakan oleh AS itu sendiri usai memenangkan Perang Dunia II. 

    Sebut saja pembentukan World Trade Organization (WTO), Bank Dunia atau World Bank, International Monetary Fund (IMF). Kini, kebijakan tarif resiprokal dari Trump membuat lembaga-lembaga tersebut tidak lagi memiliki kekuatan. 

    Sri Mulyani melanjutkan bahwa AS menganggap sistem tersebut tidak menguntungkan Negeri Paman Sam. Salah satunya, saat seluruh negara di dunia melakukan praktik investasi perdagangan dengan memberikan umpan berupa subsidi kepada dunia usaha. 

    Dirinya pun sempat menyampaikan dalam forum tersebut, bahwa umumnnya negara yang merasa terzalimi adalah negara-negara berkembang. 

    “Ternyata yang terzalimi tidak hanya negara berkembang, tetapi negara paling kuat dan paling besar ekonominya di dunia merasa bahwa the global system is unfair yang memunculkan ketidakseimbangan,” lanjutnya. 

    Imbas dari kebijakan taris resiprokal Trump ini, terjadi ketidakseimbangan dan berujung pada volatilitas global. Seperti terjadinya aliran modal ke aset dan negara yang dianggap aman, termasuk emas. Sementara itu, suku bunga tertahan tinggi. 

    Dalam pertemuan Sri Mulyani bersama perwakilan dunia tersebut, masih belum muncul konsensus atau kesepakatan untuk menghadapi tantangan global ini. 

    “Kalau globalisasi tidak adil, ketidakseimbangan menyebabkan konsekuensi setiap negara, bagaimana mengoreksi untuk menciptakan keseimbangan baru? Apa yang akan menjadi konsekuensinya dalam equilibrium baru? Ini yang belum terumuskan,” jelasnya.

  • Oleh-oleh Sri Mulyani dari Amerika Serikat – Page 3

    Oleh-oleh Sri Mulyani dari Amerika Serikat – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, menghadiri Pertemuan Musim Semi (Spring Meeting) Grup Bank Dunia (World Bank Group) dan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund) yang diselenggarakan pada 21–25 April 2025 di Washington, DC, Amerika Serikat (AS).

    Sri Mulyani juga menghadiri Pertemuan Tingkat Menteri dan Gubernur Bank Sentral (Finance Ministers and Central Bank Governors/FMCBG) G20 yang menjadi salah satu agenda utama dalam rangkaian Spring Meeting.

    “Saya baru tadi malam mendarat, baru selesai dalam perjalanan di Amerika Serikat bertemu dengan para investor di New York dan di Washington DC untuk Spring Meeting, IMF and World Bank Spring Meeting dan G20 Meeting, serta berbagai pertemuan bilateral yang dilakukan dengan teman-teman menteri keuangan terkait maupun dengan multilateral development bank,” kata Menkeu dalam konferensi pers APBN KiTa, di Jakarta, Rabu (30/4/2025).

    Dalam pertemuan Spring Meeting World Bank and IMF, Menkeu menyampaikan bahwa Indonesia memiliki perhatian yang sama dengan banyak negara terkait kenaikan tarif impor AS yang berpotensi memberikan dampak signifikan terhadap perdagangan global, pembangunan ekonomi, dan kepercayaan pasar.

    Untuk itu, Menkeu menekankan perlunya persatuan dan peningkatan kolaborasi regional ASEAN melalui berbagai langkah seperti peningkatan integrasi perdagangan regional, percepatan pengembangan rantai pasok, penguatan jaring pengaman keuangan regional serta penguatankolaborasi multilateral di tingkat global dan regional.

    Sementara itu, pembahasan dalam pertemuan FMCBG antara lain mengenai dinamika globalisasi saat ini yang dinilai tidak sehat dan tidak berkelanjutan.

    Kondisi ini mendorong upaya negara tertentu untuk mengurangi defisit perdagangan dan mempertahankan tarifnya. Sebagai respons, beberapa negara berupaya memperkuat konsumsi domestik dan menegaskan kembali pentingnya menolak praktik proteksionisme.

    “Untuk itu, kerja sama internasional untuk memodernisasi aturan perdagangan, memperkuat multilateralisme, dan mereformasi World Trade Organization (WTO) menjadi semakin penting. Selain itu, negara-negara G20 perlu mendorong de-eskalasi ketegangan perdagangan dan menolak perang tarif,” ujarnya.

     

  • Miris! 6 dari 10 Warga RI Masih Miskin Menurut Standar Negara Maju

    Miris! 6 dari 10 Warga RI Masih Miskin Menurut Standar Negara Maju

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Laporan terbaru Bank Dunia mengungkapkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia masih tergolong miskin jika mengacu pada standar pengeluaran negara berpendapatan menengah ke atas.

    Dalam laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025, disebutkan bahwa pada tahun 2024, sebanyak 60,3% dari total populasi Indonesia yang mencapai 285,1 juta jiwa atau sekitar 171,91 juta orang masih masuk dalam kategori miskin.

    Penilaian tersebut didasarkan pada standar garis kemiskinan Bank Dunia untuk negara kategori upper middle income, yaitu pengeluaran harian sebesar US$ 6,85 per kapita. Jika dikonversi dengan kurs Rp16.800 per dolar AS, angka ini setara dengan Rp115.080 per orang per hari.

    Meski angkanya masih tinggi, tren kemiskinan di Indonesia menunjukkan penurunan. Dibanding tahun 2023 yang mencatatkan angka 61,8%, persentase kemiskinan pada 2024 turun 1,5 poin. Bank Dunia juga memproyeksikan angka ini akan terus menurun, menjadi 58,7% pada 2025, 57,2% pada 2026, dan 55,5% pada 2027.

    “Meskipun permintaan yang kuat telah mendukung kinerja ekonomi yang stabil dan menurunkan angka kemiskinan, percepatan pertumbuhan memerlukan penerapan reformasi struktural untuk meningkatkan potensi pertumbuhan negara dan mengurangi risiko overheating,” tulis Bank Dunia dalam laporannya.

    Bank Dunia juga menyajikan ukuran alternatif garis kemiskinan dengan pendekatan Purchasing Power Parity (PPP), atau paritas daya beli. Dalam kategori international poverty line sebesar US$ 2,15 per kapita per hari (sekitar Rp36.120), hanya 1,3% masyarakat Indonesia atau sekitar 3,7 juta jiwa yang tergolong miskin. Sementara itu, jika menggunakan ukuran lower middle income poverty line sebesar US$ 3,65 per kapita per hari (sekitar Rp61.320), maka jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 15,6% atau sekitar 44,47 juta orang.

  • Data Kemiskinan Indonesia versi Bank Dunia Beda Jauh dengan BPS, Adi Prayitno: Rada Nggak Percaya

    Data Kemiskinan Indonesia versi Bank Dunia Beda Jauh dengan BPS, Adi Prayitno: Rada Nggak Percaya

    FAJAR.COID, JAKARTA – Bank Dunia (World Bank) kembali menyoroti tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dalam laporannya, lembaga keuangan internasional ini menyebut bahwa mayoritas penduduk Indonesia masih tergolong miskin.

    Berdasarkan data tahun 2024, sekitar 60,3% dari total populasi Indonesia yang mencapai 285,1 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan versi negara berpendapatan menengah ke atas.

    Angka tersebut berarti sekitar 171,91 juta jiwa belum mencapai ambang batas pengeluaran minimum yang ditetapkan, yakni sebesar US$6,85 per kapita per hari, atau setara dengan Rp115.080 per orang per hari menggunakan kurs Rp16.800 per dolar AS.

    Laporan ini pun memicu respons dari berbagai kalangan, termasuk pengamat politik Adi Prayitno. Melalui akun media sosial pribadinya di X (sebelumnya Twitter), ia mengungkapkan keraguannya terhadap data yang dipaparkan Bank Dunia.

    “Masak sih, angka kemiskinan Indonesia sebanyak ini? Sepertinya sangat jauh dengan data BPS. Rada ndak percaya. Semoga Indonesia baik-baik saja. Soalnya dari dulu banyak sekali laporan, mirip sebuah klaim, kemiskinan selalu turun. Kau, percaya data yang mana? 🙂”, tulis Adi dalam unggahan di akun @Adiprayitno_20 pada Rabu, (30/4/2025).

    Perbedaan standar pengukuran kemiskinan antara lembaga internasional seperti Bank Dunia dan lembaga nasional seperti BPS memang kerap menimbulkan diskusi publik. Sementara BPS menggunakan garis kemiskinan nasional yang lebih rendah dibanding acuan internasional, Bank Dunia menggunakan standar global yang bertujuan menilai daya beli dan kesejahteraan masyarakat secara universal.

  • Bandingkan Negara Tetangga, Penduduk Miskin di Indonesia Jauh Lebih Banyak

    Bandingkan Negara Tetangga, Penduduk Miskin di Indonesia Jauh Lebih Banyak

    FAJAR.CO.ID, Jakarta — Pegiat media sosial, Eko Kuntadhi turut angkat suara terkait Bank Dunia yang melampirkan 60% masyarakat Indonesia berada pada garis kemiskinan.

    Eko menjabarkan maksud dari angka kemiskinan dari Bank Dunia, dengan melampirkan data dari berbagai negara.

    Melalui akun X @ekokuntadhi1, ia memulai mengkategorikan kemiskinan berdasarkan pengeluaran negara menengah dan keatas.

    “Kategori miskin Bank Dunia untuk negara menengah dan atas adalah mereka yang pengeluarannya USD 6,85 atau Rp115. 287 sehari, setidaknya Rp3.450.000 sebulan,” cuitan Eko, dilansir X Selasa, (29/4/2025).

    Kategori sebelumnya, kemudian dibandingkan dengan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

    “Kalau menurut BPS, jumlah penduduk miskin Indonesia 8,57%, dengan ukuran pengeluaran Rp583. 900 sebulan,” jelasnya.

    Lebih lanjut, ia kemudian memberikan angka kemiskinan dengan perbandingan yang diberikan oleh Laos.

    “Angka kemiskinan di Indonesia menurut bank dunia sedikit lebih bagus dari Laos (68,5%),” lanjut Eko.

    Sebagai penutup dari hasil risetnya, Eko membandingkan dengan beberapa negara tetangga, dan mengakhirinya dengan pengakuan bahwa penduduk miskin Indonesia memang jauh lebih banyak.

    “Tapi dibanding Malaysia (hanya 1,3%), Thailand (7,1%), Vietnam (18,2%), dan Filipina (50,6%), penduduk miskin kita jauh lebih banyak,” tutupnya.

    Hasil pengamatan Eko Kuntadhi kemudian menuai respons dari berbagai kalangan masyarakat, khususnya yang aktif di X.

    “Indonesia saat ini memang miskin, yang kaya elite dan para koruptor. Biar miskin pemerintah masih sok kaya, kasih bantuan ke Fiji dan mau relokasi penduduk Gaza,” Pendapat warganet.

  • 60 Persen Warga Indonesia Miskin

    60 Persen Warga Indonesia Miskin

    PIKIRAN RAKYAT – Sebuah laporan terbaru dari Bank Dunia mengungkapkan kenyataan mencengangkan: lebih dari separuh warga Indonesia tergolong miskin jika diukur berdasarkan standar internasional untuk negara berpendapatan menengah-atas.

    Laporan bertajuk Macro Poverty Outlook edisi April 2025 mencatat bahwa 60,3% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan versi Bank Dunia, setara dengan sekitar 172 juta jiwa dari total populasi nasional.

    Standar Kemiskinan Versi Bank Dunia

    Bank Dunia menetapkan ambang batas kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah-atas pada pengeluaran sebesar 6,85 dolar AS per hari per kapita. Jika dikonversikan dengan kurs JISDOR pada 25 April 2025 (Rp16.829 per dolar AS), angka tersebut setara dengan Rp115.278 per hari per orang.

    Artinya, siapa pun yang pengeluarannya di bawah angka ini tergolong miskin dalam standar internasional.

    Sebagai perbandingan, ambang ini jauh lebih tinggi dari standar nasional yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS), yang hanya menetapkan garis kemiskinan sebesar Rp595.242 per bulan per kapita, atau sekitar Rp19.841 per hari. Perbedaan metode inilah yang menyebabkan disparitas besar antara data kemiskinan versi Bank Dunia dan BPS.

    Indonesia: Negara Menengah-Atas, tapi Kemiskinan Masih Tinggi

    Bank Dunia sendiri telah mengklasifikasikan Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah-atas sejak tahun 2023, setelah pendapatan nasional bruto (GNI) mencapai US$4.580 per kapita. Dalam klasifikasinya, negara berpendapatan menengah-atas memiliki GNI antara 4.466 hingga 13.845 dolar AS (Rp74,8-231,9 juta) per kapita.

    Namun, meskipun secara makroekonomi telah naik kelas, kenyataannya sebagian besar penduduk Indonesia masih belum memiliki daya beli yang sebanding. Dari total populasi sebesar 285,1 juta jiwa (berdasarkan Susenas BPS 2024), lebih dari 60 persen belum mampu memenuhi standar pengeluaran harian minimum versi Bank Dunia.

    Proyeksi Kemiskinan Indonesia

    Bank Dunia memproyeksikan tren penurunan angka kemiskinan dalam beberapa tahun mendatang:

    2025: 58,7% 2026: 57,2% 2027: 55,5%

    Meski mengalami penurunan bertahap, angka ini tetap menunjukkan bahwa separuh lebih rakyat Indonesia masih hidup dalam kondisi ekonomi yang rentan.

    Bandingkan dengan Negara Asia Tenggara Lain

    Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, posisi Indonesia berada di peringkat kedua tertinggi dalam hal proporsi penduduk miskin berdasarkan standar menengah-atas Bank Dunia:

    Laos: 68,5% Indonesia: 60,3% Filipina: 50,6% Vietnam: 18,2% Thailand: 7,1% Malaysia: 1,3%

    Angka ini menggambarkan bahwa ketimpangan sosial-ekonomi di Indonesia masih cukup dalam, bahkan di tengah pertumbuhan ekonomi dan peningkatan status pendapatan negara.

    Data Kemiskinan Versi BPS: Kontras Besar

    Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah penduduk miskin Indonesia per September 2024 adalah 24,06 juta orang atau 8,57% dari populasi. Bahkan, BPS menyebut angka ini sebagai yang terendah sepanjang sejarah, sejak penghitungan kemiskinan dimulai pada 1960.

    Menurut Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, garis kemiskinan nasional yang digunakan BPS pada periode tersebut adalah Rp595.242 per kapita per bulan, naik 2,21% dibanding Maret 2024. Dengan standar ini, hanya sebagian kecil penduduk yang dikategorikan miskin.

    “Kemiskinan September 2024 sebesar 8,57%, ini menjadi capaian terendah di Indonesia sejak pertama kali angka kemiskinan diumumkan oleh BPS pada 1960,” ucap dalam konferensi pers di Kantor BPS, Jakarta Pusat, Rabu 15 Januari 2025.

    Kenapa Perbedaan Angka Begitu Jauh?

    Perbedaan data ini bukan semata kesalahan teknis, melainkan karena perbedaan metodologi dan standar kemiskinan. Bank Dunia menggunakan standar yang lebih tinggi karena mencerminkan kebutuhan dasar hidup di negara yang masuk kategori menengah-atas.

    Sementara BPS menggunakan pendekatan kebutuhan minimum nasional, yang lebih rendah dan disesuaikan dengan harga serta pola konsumsi lokal.

    Dengan kata lain, seseorang yang tidak dianggap miskin oleh BPS bisa jadi tergolong miskin jika menggunakan standar global Bank Dunia.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Miris! Bank Dunia Catat 60% Warga RI Tergolong Miskin, Tertinggi Kedua di ASEAN

    Miris! Bank Dunia Catat 60% Warga RI Tergolong Miskin, Tertinggi Kedua di ASEAN

    GELORA.CO – Bank Dunia (World Bank) memproyeksikan bahwa lebih dari separuh penduduk Indonesia masuk dalam kategori miskin jika mengacu pada standar negara berpendapatan menengah ke atas.

    Dalam laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025, dari total 285,1 juta penduduk Indonesia pada tahun 2024, sebanyak 60,3% atau setara dengan 171,9 juta jiwa berada di bawah garis kemiskinan bila menggunakan patokan pengeluaran sebesar US$6,85 per hari, atau sekitar Rp115.422 per hari dengan kurs saat ini.

    Standar ini jauh lebih tinggi dibandingkan garis kemiskinan nasional Indonesia, yang menyebabkan perbedaan tajam dalam estimasi jumlah penduduk miskin.

    Sementara itu, Bank Dunia memberikan estimasi angka penduduk miskin di Indonesia hanya mencapai 15,6% pada 2024, apabila dihitung berdasarkan ambang batas garis kemiskinan negara berpendapatan menengah ke bawah. Angka ini setara 44,4 juta penduduk. 

    Namun, Bank Dunia sebenarnya telah mengkategorikan Indonesia dalam kelompok negara berpendapatan menengah ke atas pada 2023. 

    “Dengan permintaan yang berkelanjutan, tingkat kemiskinan, yang diukur pada garis lower middle income country, diproyeksikan turun menjadi 11,5% pada 2027,” sebagaimana termaktub dalam dokumen tersebut, dikutip Selasa (29/4/2025). 

    Berdasarkan ambang batas garis kemiskinan negara berpendapatan menengah ke atas, Bank Dunia memproyeksikan jumlah penduduk miskin di Indonesia akan turun, yakni menjadi 58,7% pada 2025; 57,2% pada 2026; dan 55,5% pada 2027. 

    Tertinggi Kedua di ASEAN

    Dalam laporan tersebut, Indonesia tercatat memiliki persentase penduduk miskin tertinggi kedua di antara negara berkembang di Asia Tenggara pada 2024.

    Dengan tingkat kemiskinan sebesar 60,3%, Indonesia hanya berada di bawah Laos yang mencatatkan angka 68,9%. Angka ini jauh melampaui negara-negara tetangga seperti Malaysia (1,3%), Thailand (7,1%), Vietnam (18,2%), dan Filipina (50,6%).

    Sebagai catatan, Bank Dunia tidak menyertakan data kemiskinan untuk Kamboja dan Myanmar dalam laporan ini.

    Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya mencatat, sebanyak 24,06 juta penduduk miskin di Indonesia per September 2024. Angka itu mengalami penurunan 1,16 juta orang bila dibandingkan dengan 25,22 juta penduduk miskin per Maret 2024.

    Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, menyampaikan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2024 setara dengan 8,57% dari total populasi. Angka ini menunjukkan penurunan sebesar 0,46 persen poin dibandingkan dengan data pada Maret 2024.

    “Secara umum, sejak Pandemi 2020, persentase dan jumlah penduduk miskin terus mengalami penurunan dan pada September 2024 jumlah penduduk miskin di Indonesia 24,06 juta,” kata Amalia dalam konferensi pers, dikutip Kamis (16/1/2025).

  • KPPU Segera Sidangkan Kasus Kartel Bunga Pinjol

    KPPU Segera Sidangkan Kasus Kartel Bunga Pinjol

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) segera menyidangkan dugaan pelanggaran kartel suku bunga pinjaman online (pinjol) dalam waktu dekat.

    Dalam siaran resminya, penyelidikan KPPU mengungkap adanya dugaan pelanggaran Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

    Sebanyak 97 penyelenggara layanan pinjaman online yang ditetapkan sebagai terlapor diduga menetapkan plafon bunga harian yang tinggi secara bersama-sama melalui kesepakatan internal (eksklusif) yang dibuat asosiasi industri, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).

    Hasil penyelidikan KPPU mengungkap bahwa mereka menetapkan tingkat bunga pinjaman (yang meliputi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya) yang tidak boleh melebihi suku bunga flat 0,8 % per hari. Angka itu dihitung dari jumlah aktual pinjaman yang diterima oleh penerima pinjaman yang kemudian besaran tersebut diubah menjadi 0,4% per hari pada tahun 2021.

    “Kami menemukan adanya pengaturan bersama mengenai tingkat bunga di kalangan pelaku usaha yang tergabung dalam asosiasi selama tahun 2020 hingga 2023. Ini dapat membatasi ruang kompetisi dan merugikan konsumen,” kata Ketua KPPU M. Fanshurullah Asa, Selasa (29/4/2025).

    Fanshurullah menuturkan bahwa dalam melakukan penyelidikan, KPPU telah mendalami model bisnis, struktur pasar, hingga pola keterkaitan antar pelaku di industri pinjol. Model bisnis pinjaman online di Indonesia mayoritas menggunakan pola Peer-to-Peer (P2P) Lending, menghubungkan pemberi dan penerima pinjaman melalui platform digital.

    Berdasarkan regulasi Otoritas Jasa
    Keuangan (OJK), seluruh penyelenggara wajib terdaftar dan menjadi anggota asosiasi yang ditunjuk, yaitu AFPI. Namun, struktur pasar menunjukkan cukup tingkat konsentrasi tinggi.

    Sampai dengan Juli 2023, terdapat 97 penyelenggara aktif, dengan dominasi pasar terpusat pada beberapa pemain utama, antara lain: KreditPintar (13% pangsa pasar), Asetku (11%), Modalku (9%), KrediFazz (7%), EasyCash (6%), dan AdaKami (5%). Sisanya tersebar pada pemain-pemain dengan pangsa minor.

    Konsentrasi pasar diduga semakin kuat dengan adanya afiliasi kepemilikan atau hubungan mereka dengan platform e-commerce.

    Berdasarkan hasil penyelidikan dan pemberkasan, KPPU melalui Rapat Komisi tanggal 25 April 2025 memutuskan untuk menaikkan kasus ini ke tahap Sidang Majelis Pemeriksaan Pendahuluan. Agenda sidang ini bertujuan menyampaikan dan menguji validitas temuan, serta membuka ruang pembuktian lebih lanjut.

    “Jika terbukti melanggar, para pelaku
    usaha dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda hingga 50% dari keuntungan dari pelanggaran atau hingga 10% dari penjualan di pasar bersangkutan dan selama periode
    pelanggaran.”

    Di sisi lain, KPPU menekankan bahwa penanganan kasus ini merupakan bagian dari upaya menjaga ekosistem persaingan usaha yang sehat di sektor keuangan digital. Industri fintech dinilai memiliki peran strategis dalam mendorong inklusi keuangan.

    Hal tersebut dapat dilihat dari ukuran pasar ini yang cukup signifikan dimana hingga pertengahan bulan 2023 telah tercatat sebanyak 1,38 juta pemberi pinjaman aktif, 125,51 juta akun peminjam terdaftar, dengan akumulasi pinjaman yang telah diberikan mencapai
    Rp 829,18 triliun.

    Bahkan menurut Bank Dunia, Indonesia memiliki credit gap (kesenjangan
    kredit) atau kebutuhan pembiayaan yang tidak terpenuhi oleh lembaga keuangan tradisional yang mencapai Rp 1.650 triliun pada tahun 2024. Ini menjadi salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan industri pinjaman online di Indonesia.

    “Melalui penegakan hukum ini, KPPU meminta agar regulator dapat memperbaiki revisi standar industri, memperketat kontrol terhadap asosiasi, mengubah pola bisnis pinjol, hingga memicu penurunan bunga pinjaman ke tingkat yang lebih kompetitif. Dari sisi konsumen, penegakan hukum ini menjadi sinyal positif terhadap perlindungan hak peminjam dan efisiensi biaya layanan keuangan digital,” jelas Ifan, sapaan akrab Ketua KPPU.

  • Indonesia Makin Jor-joran Tarik Utang Baru, Bank Dunia Proyeksi Rasio Utang Bisa Tembus 40% pada 2025

    Indonesia Makin Jor-joran Tarik Utang Baru, Bank Dunia Proyeksi Rasio Utang Bisa Tembus 40% pada 2025

    Sementara dalam dokumen Laporan Kinerja DJPPR 2024, Kementerian Keuangan memastikan bahwa pemerintah akan terus mengambil kebijakan pengendalian rasio utang terhadap PDB pada level yang aman.

    Ditambah dengan pengelolaan yang baik seperti mempertimbangkan kemampuan membayar kembali, keserasian antara komposisi aset dan utang valas, serta parameter risiko keuangan negara lainnya.

    Adapun batas aman debt to GDP ratio yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit APBN dan APBD tidak melebihi 60% dari PDB tahun yang bersangkutan.

    Defisit Fiskal Dikhawatirkan Melonjak

    Penarikan utang baru diproyeksikan untuk pembiayaan sejumlah program prioritas baru pemerintah. Pengeluaran negara yang terus membengkak di tengah seretnya penerimaan negara dikhawatirkan akan mendorong defisit fiskal melonjak 2,7 persen dari PDB.

    Di sisi lain, Undang-undang (UU) No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, mengamanatkan defisit anggaran harus di bawah 3 persen. Jika defisit anggaran melampaui 3 persen, pemerintah bisa disebut melanggar Undang-undang yang berisiko serius.

    Nah, untuk menekan defisit anggaran, salah satu caranya dengan makin jor-joran menerbitkan surat berharga negara (SBN). Namun, batas rasio utang pemerintah juga sudah ditetapkan maksimal 60 persen terhadap PDB.

    Meski rasio utang saat ini masih cukup jauh dari angka 60 persen, tetapi pemerintahan di masa mendatang akan terus menanggung beban utang serta bunganya.